• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI

DAN PROTEIN DENGAN STATUS KESEHATAN DAN

STATUS GIZI PADA LANSIA DI KOTA BANDUNG

IKA ROHMAH SEKARAYU

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung” ialah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Ika Rohmah Sekarayu NIM I14090112

________________________

(4)
(5)

ABSTRAK

IKA ROHMAH SEKARAYU. Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan DADANG SUKANDAR.

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini ialah penelitian menggunakan data sekunder. Contoh berjumlah 334 orang lansia di Kota Bandung. Rata-rata konsumsi energi dan protein lansia ialah sebesar 1090 kkal dan 35.8 g. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein ialah berturut-turut 51.9% dan 68.9%. Sebanyak 42.5% lansia mengalami overweight. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara TKE dan TKP dengan status kesehatan. Selain itu, adanya hubungan yang negatif antara TKE dengan status gizi dan adanya hubungan yang positif antara TKP dengan status gizi.

Kata kunci: konsumsi pangan, lansia, status gizi, status kesehatan

ABSTRACT

IKA ROHMAH SEKARAYU. Association between Energy and Protein Sufficiency Level with Health Status and Nutritional Status of Elderly in Bandung City. Supervised by ALI KHOMSAN and DADANG SUKANDAR.

The objective of this study is to analyze the association between energy and protein sufficiency level in elderly in Bandung City. The study used secondary data. The total number of sample in this study were 334 elderly in Bandung City. The average consumption of energy and protein of elderly was 1090 kcal and 35.8 g. The average sufficiency levels of energy and protein was 51.9% and 68.9% respectively. As many as 42.5% elderly had overweight nutritional status. The Spearman correlation analysis showed that there was no significant correlation (p>0.05) between energy and protein sufficiency level with health status. In addition, there was negative correlation between energy sufficiency level with nutritional status and positif correlation between protein sufficiency level with nutritional status.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI

DAN PROTEIN DENGAN STATUS KESEHATAN DAN

STATUS GIZI PADA LANSIA DI KOTA BANDUNG

IKA ROHMAH SEKARAYU

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung Nama : Ika Rohmah Sekarayu

NIM : I14090112

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS Pembimbing I

Prof Dr Ir Dadang Sukandar M. Sc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi berjudul “Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana (S1) Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, dapat terselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan masukan dari banyak pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS dan Prof Dr Ir Dadang Sukandar M. Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan bimbingan, arahan, dorongan, saran, dan semangat untuk menyelesaikan skripsi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS selaku dosen pemandu seminar sekaligus dosen penguji sidang yang telah memberikan semangat, masukan, kritik, dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua dan keluarga besar yang selalu mendoakan penulis, memberikan semangat, motivasi, dan dukungan baik moril maupun materi selama masa pendidikan. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman sesama tim penelitian Liza dan Babang, serta sahabat dan teman terdekat Tami, Hanum, Lativa, Evi, Weni, Ibet, Michel, Risa, Ilya, Siti dan Fera serta teman-teman Gizi Masyarakat angkatan 46 atas semua saran, motivasi, bantuan, dan dukungannya selama ini, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

PRAKATA i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR LAMPIRAN iii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Kegunaan Penelitian 2

Hipotesis 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE 5

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 5

Teknik Penarikan Contoh 5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 6

DEFINISI OPERASIONAL 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Karakteristik Lansia 9

Konsumsi Pangan 11

Status Gizi 13

Status kesehatan 13

Hubungan antar Variabel 16

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 24

(14)

DAFTAR TABEL

1 Peubah dan cara pengumpulan data 5

2 Sebaran dan statistik lansia 10

3 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan

lansia 12

4 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein 12

5 Sebaran lansia menurut status gizi 13

6 Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan 14 7 Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami 14

8 Sebaran lansia menurut disabilitas fisik 15

9 Sebaran lansia menurut aktivitas sehari-hari 15

10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat

pendapatan 16

11 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE 17 12 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP 17 13 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE 18 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP 18 15 Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan status kesehatan 19 16 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan status

kesehatan dan status gizi 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner Penelitian 24

2 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat

pendapatan 28

3 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE 28 4 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP 28 5 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE 28 6 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKP 28 7 Sebaran lansia dan hasil uji korelasi Spearman berdasarkan status

gizi dan status kesehatan 29

8 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan status

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan kesejahteraan manusia bergantung dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Peningkatan SDM berhubungan langsung dengan fenomena terjadinya perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit degeneratif, dan perbaikan status gizi. Status kesehatan yang baik berdampak pada peningkatan masa hidup manusia dan banyaknya lansia di Indonesia. Pada umumnya lansia diartikan sebagai usia saat memasuki masa pensiun yang di Indonesia dapat berkisar antara usia di atas 55 tahun (Darmojo dan Boedhi 2006). Akan tetapi, batasan lansia menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia ialah individu yang memiliki umur 60 tahun ke atas.

Menjadi tua ialah sebuah konsekuensi orang hidup dan tidak bisa dihindari. Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang sudah mencapai usia lanjut tersebut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihalangi (Stanley 2006). Pada usia diatas 55 tahun terjadi proses penuaan secara alamiah yang nantinya akan menimbulkan masalah fisik, mental, sosial, ekonomi dan psikologi (Nugroho 2000).

Pertambahan jumlah lansia di beberapa negara, salah satunya Indonesia, telah mengubah profil kependudukan baik nasional maupun dunia. Data Badan Pusat Statistik tahun 2010 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia ialah 18.57 juta jiwa, meningkat sekitar 7.93% dari tahun 2000 yang sebanyak 14.44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan terus bertambah sekitar 450000 jiwa per tahun. Dengan demikian, pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan sekitar 34.22 juta jiwa (BPS 2010).

Pertambahan jumlah lansia tersebut merupakan tantangan besar dalam masalah kesehatan dan gizi. Lansia merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita gizi kurang dan diperburuk oleh adanya penyakit degeneratif. Lansia yang menderita malnutrisi, respon kekebalan tubuhnya buruk dan lebih mudah terserang infeksi. Di samping itu lansia dengan malnutrisi juga berisiko terhadap beberapa komplikasi penyakit yang mempengaruhi kualitas hidup dan terhadap meningkatnya risiko kematian. Saat ini angka kesakitan akibat penyakit degeneratif meningkat jumlahnya di samping masih adanya kasus penyakit infeksi dan kekurangan gizi. Selain masalah gizi lebih yang berdampak pada peningkatan penyakit degeneratif pada lansia, masalah gizi lain yang sering diderita lansia ialah masalah gizi kurang.

(16)

2

fisiologis. Selain itu, penurunan angka metabolisme basal tubuh dan gangguan gigi dapat berpengaruh pada kemampuan mengunyah. Hal ini menyebabkan perubahan asupan makanan, sehingga dapat terjadi defisiensi zat gizi (Wirakusumah 2001).

Meningkatnya jumlah penduduk lansia dengan berbagai masalah gizi dan kesehatan menyebabkan bertambah besarnya kebutuhan perawatan dan pengawasan yang lebih intensif, khususnya perawatan dan pengawasan dari keluarga lansia. Keluarga merupakan suatu kelompok yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan lansia. Peran keluarga salah satunya ialah merawat lansia baik makanan, pemeliharaan kesehatan, dan pakaian. Keluarga harus memperhatikan makanan lansia, agar kebutuhan zat gizinya tercukupi. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi lansia di Kota Bandung.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini ialah mengetahui hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung.

Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan:

1. Mengidentifikasi karakteristik lansia meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan pada lansia di Kota Bandung.

2. Mengidentifikasi tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia di Kota Bandung.

3. Mengidentifikasi status gizi pada lansia di Kota Bandung.

4. Mengidentifikasi status kesehatan meliputi persepsi kondisi kesehatan, penyakit yang dialami, disabilitas fisik dan aktivitas sehari-hari pada lansia di Kota Bandung.

5. Menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan.

6. Menganalisis hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan dengan tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia di Kota Bandung. 7. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan status kesehatan pada

lansia di Kota Bandung.

8. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung.

Kegunaan Penelitian

(17)

3 status kesehatan dan status gizi lansia di Kota Bandung. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan sebagai acuan mengenai pola makan yang aman dan seimbang untuk mengatasi masalah gizi ganda pada lansia agar derajat kesehatan meningkat. Selain itu hasil penelitian ini diharapakan dapat sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini ialah :

1. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan pada lansia di Kota Bandung.

2. Terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan dengan tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia di Kota Bandung.

3. Terdapat hubungan antara status gizi dengan status kesehatan pada lansia di Kota Bandung.

4. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung.

KERANGKA PEMIKIRAN

Status gizi pada lansia dipengaruhi oleh dua faktor ialah faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi ialah konsumsi pangan, status kesehatan, dan aktifitas fisik. Faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi ialah karakteristik sosial ekonomi pada lansia. Karakteristik lansia meliputi usia dan jenis kelamin, sedangkan karakteristik sosial ekonomi lansia yang diteliti meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan.

Usia dan jenis kelamin berhubungan dengan konsumsi energi dan protein. Setiap individu memiliki kebiasaan makan yang berbeda satu sama lain. Salah satu faktor yang mempengaruhinya ialah usia. Kebiasaan makan biasanya terkait dengan jumlah energi yang diperlukan oleh individu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Jumlah energi yang diperlukan tubuh akan mengalami penurunan pada saat usia lanjut.

Tingkat pendidikan berhubungan dengan pengetahuan gizi. Pengetahuan gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Semakin tinggi pengetahuan tentang gizi dan kesehatan, maka semakin beragam pula jenis makanan yang dikonsumsi sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi dan mempertahankan kesehatan individu. Selain itu tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan individu. Tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan peluang yang besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.

(18)

4

berkualitas dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan daya beli yang dimilikinya. Karakteristik sosial ekonomi akan mempengaruhi konsumsi pangan pada lansia serta status kesehatan pada lansia. Konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat kecukupan zat gizi lansia yang kemudian akan berpengaruh juga pada status gizi dan status kesehatan lansia. Status gizi akan mempengaruhi status kesehatan pada lansia. Skema kerangka pemikiran hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Hubungan yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang tidak diteliti

Karakteritik lansia - Usia

- Jenis kelamin - Pekerjaan

Konsumsi pangan

Status kesehatan - Kondisi kesehatan - Penyakit yang dialami - Disabilitas fisik Tingkat kecukupan

energi dan protein

Status gizi Aktivitas

sehari-hari

Tingkat pendidikan lansia

(19)

5

METODE

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “A Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychososial Aspects of the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home” yang dibiayai oleh Neys-van Hoogstaren Faoundation the Netherlands dan diketuai oleh Rita Patriasih S. Pd, M. Si. Desain penelitian tersebut ialah cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2012. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini ialah penelitian menggunakan data sekunder. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari proses pengolahan, analisis dan interpretasi data penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013 sampai Februari 2014 di Kampus Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, Jawa Barat.

Teknik Penarikan Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah lansia.Lansia yang diambil ialah lansia yang memenuhi kriteria inklusi, ialah lansia berusia ≥55 tahun, mampu makan menggunakan mulut, tidak ada bagian tubuh yang diamputasi, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak mempunyai gangguan ingatan, tidak mempunyai gangguan pendengaran, tinggal dengan keluarga dan bersedia diwawancara sebagai responden. Jumlah lansia pada penelitian ini ialah 334 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Berikut ini tabel peubah dan cara pengumpulan data yang terdiri atas: 1). Karakteristik lansia meliputi usia dan jenis kelamin; 2). Karakteristik sosial ekonomi, meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan; 3). Konsumsi pangan, yang meliputi jumlah dan jenis; 4). Status kesehatan, meliputi persepsi status kesehatan, penyakit yang dialami dan disabilitas dan aktivitas sehari-hari; 5). Status gizi, meliputi berat badan dan tinggi badan. Peubah, cara pengumpulan data disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1 Peubah dan cara pengumpulan data

Peubah Cara pengumpulan

1. Karakteristik lansia

 Usia Wawancara langsung dengan lansia

 Jenis kelamin

2. Karakteristik sosial ekonomi

Wawancara langsung dengan lansia

 Tingkat pendidikan

 Pekerjaan

(20)

6

Tabel 1 Peubah dan cara pengumpulan data (lanjutan)

Peubah Cara pengumpulan

3. Konsumsi pangan

 Jumlah Wawancara langsung dengan lansia

 Jenis 4. Status kesehatan

 Persepsi kondisi kesehatan

 Penyakit yang dialami Wawancara langsung dengan lansia

 Disabilitas fisik

5. Aktivitas sehari-hari Wawancara langsung dengan lansia 6. Status gizi Pengukuran langsung

 Berat badan (kg) Penimbangan dengan timbangan injak

 Tinggi badan (cm) Pengukuran menggunakan meteran

Pengolahan dan Analisis Data

Tahapan pengolahan data dimulai dari proses editing, coding, entry, cleaning dan selanjutnya dianalisis. Proses editing dilakukan untuk pengecekan data. Selanjutnya, dilakukan coding untuk penggolongan sesuai dengan peubah dan dilakukan entry data sesuai dengan coding yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah selesai, dilakukan cleaning yang bertujuan mengecek data untuk melihat kesesuaian pada kode yang telah ditentukan dan melihat data yang tidak sesuai. Untuk pengolahan dan analisis data, digunakan program Microsoft Excell 2007 dan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16.0 for windows.

Karakteristik lansia meliputi usia dan jenis kelamin, sedangkan karakteristik sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan diolah dengan memberikan pengelompokan atau skala pada setiap peubah. Pengelompokkan usia lansia dikelompokkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, ialah kelompok usia lanjut dini (55–64 tahun), kelompok usia lanjut (>65 tahun), dan usia lanjut (>70 tahun) (Notoatmodjo 2007). Pengkategorian jenis kelamin lansia dibedakan menjadi dua, ialah laki-laki dan perempuan. Tingkat pendidikan lansia dikategorikan menjadi dua, ialah rendah (tidak sekolah (TS), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP)), tinggi (sekolah menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT)). Pekerjaan lansia dikategorikan menjadi delapan, ialah tidak bekerja, pedagang, PNS/ABRI, swasta, pensiunan, buruh, petani, dan lain-lain. Tingkat pendapatan didapatkan berdasarkan standar Bank Dunia sebesar 2 dolar/hari dan dibedakan menjadi dua kategori, ialah miskin (<Rp540 000) dan tidak miskin (≥Rp540 000).

Data konsumsi pangan terdiri atas jenis dan jumlah pangan. Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh lansia dikonversikan dari ukuran rumah tangga ke ukuran berat dengan menggunakan ukuran yang ada di daftar komposisi bahan makanan (DKBM) sehingga diperoleh konsumsinya sendiri (Supariasa et al. 2001). Setelah dikonversi, dihitung kandungan zat gizi seperti energi dan protein dengan menggunakan DKBM.

Sebelum dilakukan perhitungan terhadap tingkat kecukupan zat gizi maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan konsumsi zat gizi terlebih dahulu. Berikut ialah rumus yang digunakan dalam menghitung konsumsi zat gizi:

(21)

7

Keterangan:

KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan j BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

Setelah konsumsi energi dan protein di hitung, kemudian Angka Kecukupan Zat Gizi (AKG) baik energi dan protein di hitung. Perhitungan AKG aktual energi dan protein menggunakan koreksi berat badan lansia. Perhitungan AKG aktual sebagai berikut:

Keterangan:

BBi : berat badan lansia (kg) BBj : berat badan standar (kg)

Nilai AKG selanjutnya digunakan untuk menghitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKG). Rumus yang digunakan untuk menghitung TKG ialah:

Selanjutnya, Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP) diklasifikasikan ke dalam lima tingkat, ialah defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70−79%), defisit ringan (80−89%), normal (90−119%) dan lebih (≥120%) (Gibson 2005). Namun, lima kategori tersebut dikategorikan menjadi tiga ialah defisit (<90%), normal (90−119%) dan lebih (≥120%).

Status gizi contoh di lihat dari Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai IMT didapatkan dari data berat badan dan tinggi badan, kemudian IMT di hitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Hasil IMT diklasifikasikan menurut WHO (2005) ialah sangat kurus (<14.9 kg/m2), kurus (15−18.4 kg/m2), normal (≥18.5−22.9 kg/m2), overweight (23−27.5 kg/m2), obesitas 1 (27.6−40.0 kg/m2), dan obesitas 2 (≥40 kg/m2). Status kesehatan meliputi persepsi kondisi kesehatan, penyakit yang dialami, disabilitas dan aktivitas sehari-hari lansia. Penyakit yang dialami dikategorikan menjadi dua ialah sehat (tidak ada penyakit yang dialami) dan sakit (ada penyakit yang dialami) kemudian akan di analisis.

Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan uji statistik yang sesuai jenis data. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui kecenderungan hubungan antar peubah-peubah penelitian meliputi hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dengan TKE dan TKP, status gizi dengan status kesehatan, TKE dan TKP dengan status kesehatan dan status gizi. Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP.

IMT = Berat Badan /Tinggi Badan (m)2 AKG=∑ [BBi/BBj x zat gizi yang dianjurkan

(22)

8

DEFINISI OPERASIONAL

Contoh ialah lansia berusia ≥55 tahun ke atas yang tinggal dengan keluarga yang memenuhi persyaratan mampu makan menggunakan mulut, tidak ada bagian tubuh yang diamputasi, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak mempunyai gangguan ingatan, tidak mempunyai gangguan pendengaran, tinggal bersama keluarga dan bersedia diwawancara sebagai responden. Lansia ialah seseorang dapat dikatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia

setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun.

Karakteristik contoh ialah ciri khusus yang dimiliki oleh lansia yang meliputi usia dan jenis kelamin.

Karakteristik sosial ekonomi ialah ciri khusus terkait sosial ekonomi lansia seperti tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan.

Tingkat pendidikan ialah tingkatan sekolah yang pernah dialami oleh lansia dalam kegiatan belajar mengajar dan menuntut ilmu di pendidikan formal berdasarkan kategori SD/sederjat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan Perguruan Tinggi/sederajat.

Pekerjaan ialah ialah predikat yang dimiliki oleh lansia dalam usaha memperoleh penghasilan berupa uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari berupa kebutuhan pangan, transportasi, pendidikan, kesehatan, tabungan, dan lainnya.

Tingkat pendapatan ialah materi yang didapatkan lansia dari pekerjaannya, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya baik sandang, pangan, dan papan.

Konsumsi pangan ialah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh lansia berupa makanan dan minuman dalam setiap waktu makan dengan menggunakan metode recall 24 jam.

Tingkat kecukupan gizi ialah angka perbandingan jumlah zat gizi pangan yang dikonsumsi oleh lansia dengan angka kecukupan gizi berdasarkan usia, jenis kelamin dan berat badan lansia.

Status gizi ialah ukuran mengenai kondisi tubuh lansia yang ditentukan dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk kemudian di hitung IMT dan dikategorikan menjadi sangat kurus (<14.9 kg/m2), kurus (15–18.4 kg/m2), normal (≥18.5–22.9 kg/m2), overweight (23–27.5 kg/m2), obesitas 1 (27.6–40.0 kg/m2), dan obesitas 2 (≥40 kg/m2).

Status Kesehatan ialah kondisi kesehatan lansia yang dilihat dari skor atau jumlah penyakit yang dialami.

Persepsi status kesehatan ialah penilaian lansia terhadap kondisi kesehatan. Aktivitas sehari-hari ialah kegiatan dasar yang umum dilakukan lansia

(23)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lansia

Jenis Kelamin

Lansia yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian ini ialah semua lansia yang tinggal dengan keluarga di Kota Bandung. Lansia dalam penelitian ini terdiri atas lansia laki-laki dan perempuan. Lansia perempuan di Indonesia mempunyai proporsi jumlah lebih banyak daripada lansia pria. Tabel 2 memperlihatkan bahwa proporsi jenis kelamin terbanyak ialah pada perempuan sebanyak 80.5% dan sisanya laki-laki sebanyak 19.5%. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Marhamah (2005) yang menyatakan bahwa sebagian besar (55.4%) lansia berjenis kelamin perempuan dan laki-laki sebanyak 44.5%. Selain itu, penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jauhari (2003) yang menyatakan bahwa sebaran responden di Panti Werdha Budi Mulia 4 Jakarta terdiri atas 75% perempuan dan 25% laki-laki. Tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah lansia perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Usia

Undang-Undang (UU) No 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dinyatakan bahwa lanjut usia ialah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Pada penelitian ini kisaran usia lansia antara 55 tahun dan 55 tahun ke atas. Pengelompokkan usia dibagi menjadi tiga, ialah rentang usia 55−64 tahun, >65 tahun dan >70 tahun (Notoatmodjo 2007). Usia lansia yang semakin tinggi menunjukkan adanya peningkatan angka harapan hidup. Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar lansia berusia 55−64 tahun dengan persentase sebesar 53.3%. Rata-rata usia lansia ialah 65.6 ± 8.5 tahun.

Tingkat pendidikan

(24)

10

pendapatan rendah pada umumnya mempunyai usia harapan hidup yang lebih rendah.

Tabel 2 Sebaran dan statistik lansia

Variabel N %

(25)

11 Tingkat pendapatan

Pendapatan merupakan indikator tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga dalam bentuk uang yang dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). Pada penelitian ini ada lansia potensial dan lansia yang tidak potensial, namun tetap saja lansia sangat bergantung kepada keluarganya dalam masalah ekonomi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pendapatan yang diterima atau tidak mempunyai pendapatan sama sekali. Pada penelitian ini pendapatan dibedakan menjadi dua kategori ialah miskin dan tidak miskin. Tingkat pendapatan lansia diperoleh dari total penerimaan lansia dan anggota keluarga. Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar lansia (69.8%) tergolong tidak miskin (≥Rp540 000) dan lansia yang tergolong miskin (<Rp540 000) sebanyak 30.2%. Rata-rata tingkat pendapatan lansia sebesar Rp1 301 189.4±Rp1 449 878.0. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rolland et al. (2009) yang menyatakan bahwa lebih dari setengah lansia perempuan (59.4%) di Perancis memiliki tingkat pendapatan yang tinggi (>$900/bulan).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan ialah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu. Konsumsi pangan erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan serta perencanaan produksi pangan. Jenis dan jumlah pangan merupakan hal yang penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah dan Briawan 1994). Kebutuhan gizi pada lansia secara umum sedikit lebih rendah dibandingkan kebutuhan gizi di usia dewasa. Kondisi ini merupakan konsekuensi terjadinya penurunan tingkat aktivitas dan metabolisme basal tubuh lansia. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan patokan bagi lansia yang sehat. Akibatnya, kecukupan gizi tersebut bersifat fleksibel dan tidak mutlak (Wirakusumah 2001).

Lansia memerlukan pangan yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi mutunya. Mutu yang tinggi dimaksudkan untuk mengimbangi penyusutan faali yang cepat serta untuk mempertahankan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Konsumsi pangan dalam jumlah yang kecil tercermin dari nilai energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan lansia (Arisman 2009). Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi makanan terdiri atas jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka panjang (food frequency questionnaire) (Fatmah 2010). Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu metode penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Metode ini dapat menaksir asupan gizi individu (Gibson 2005).

(26)

12

protein hewani dan nabati. Sayuran yang umum di konsumsi lansia ialah buncis, wortel dan labu siam, sedangkan protein hewani yang umum di konsumsi ialah ayam, telur ayam, daging sapi dan ikan mas. Berikut ini disajikan tabel rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan lansia.

Tabel 3 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan lansia

Rata-rata Energi (kkal) Protein (g)

Konsumsi 1090 35.8

Angka kecukupan 2098 52.0

Tingkat kecukupan (%) 51.9 68.9

Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata konsumsi energi dan protein lansia ialah 1090 kkal dan 35.8 g. Rata-rata konsumsi energi pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Nisa (2006) yang menyatakan bahwa rata-rata konsumsi energi lansia di Panti Werdha Pemerintah DKI Jakarta ialah 1595 kkal. Rata-rata konsumsi energi dan protein yang rendah diduga karena adanya perubahan pola makan pada kelompok usia lanjut yang dipengaruhi oleh faktor fisiologis atau fisik seperti berkurangnya kemampuan gigi dalam mengunyah makanan, penurunan kemampuan mencium bau dan rasa makanan, serta faktor psikologis yakni merasa diri kesepian, depressi, dan stress (Fatmah 2006). Rata-rata konsumsi protein pada penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Devine et al. (2005) yang menyatakan bahwa rata-rata konsumsi protein lansia di Australia ialah 80.5 g/hari atau hampir dua kali angka protein yang direkomendasikan untuk wanita usia >55 tahun di Australia, ialah 45 g/hari. Bila jumlah kalori yang dikonsumsi berlebihan, maka sebagian energi akan disimpan berupa lemak, sehingga akan timbul obesitas. Sebaliknya, bila terlalu sedikit, maka cadangan energi tubuh akan digunakan, sehingga tubuh akan menjadi kurus (Depkes 2003). Selain itu, menurut Gross et al. (2004) menyatakan bahwa asupan energi yang berlebihan dan tertimbun di dalam tubuh, terutama dalam jaringan adipose dalam bentuk lemak dapat menimbulkan obesitas yang akhirnya akan menyababkan resistensi insulin dan sindrom metabolik. Chernoff (2005) menyatakan bahwa kebutuhan protein lansia meningkat dengan adanya peningkatan usia.

Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dari rata-rata konsumsi energi dan protein dibandingkan dengan rata-rata angka kecukupannya, maka diperoleh tingkat kecukupan energi dan protein ialah masing-masing sebesar 51.9% dan 68.9%. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein lansia berada dalam kategori defisit, ialah <90%.

Tabel 4 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein

Kategori TKE TKP

(27)

13 Tabel 4 memperlihatkan bahwa hampir seluruh (90.4%) lansia tingkat kecukupan energinya tergolong defisit dan sebanyak 75.1% TKP lansia juga tergolong defisit.

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi (Riyadi 2003). Menurut Almatsier (2006) status gizi ialah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih. Status gizi lansia ditentukan berdasarkan perhitungan IMT, ialah perbandingan berat badan aktual dengan tinggi badan. Batas ambang nilai IMT menurut WHO (2005) ialah sangat kurus (<14.9 kg/m2), kurus (15–18.4 kg/m2), normal (≥18.5–22.9 kg/m2), overweight (23–27.5 kg/m2), obesitas 1 (27.6–40.0 kg/m2), dan obesitas 2 (≥40 kg/m2).

Hasil pengelompokkan tersebut, dapat di lihat persentase lansia berdasar status gizi seperti yang disajikan pada Tabel 5. Sebanyak 42.5% lansia yang tergolong overweight, 26.0% yang tergolong obesitas 2 dan hanya 7.2% lansia yang tergolong kurus. Fisher et al. (2007) menyatakan bahwa ukuran porsi makanan berkontribusi terhadap kejadian obesitas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ambartana (2010) yang menyebutkan bahwa lansia dengan IMT <18.5 (kurus) persentase tertinggi pada kelompok usia 70−75 tahun ialah 54.2% sedangkan lansia dengan IMT >25 (Overweight ) tertinggi pada kelompok usia 60−64 tahun ialah 69.7%.

Tabel 5 Sebaran lansia menurut status gizi

Status gizi n %

Sangat kurus (<14.9 kg/m2) 2 0.6

Kurus (15.00-18.4 kg/m2) 24 7.2

Normal (18.5-22.9 kg/m2) 79 23.7

Overweight (23-27.5 kg/m2) 142 42.5

Obesitas 1 (27.6-40 kg/m2) 0 0.0

Obesitas 2 (>40 kg/m2) 87 26.0

Total 334 100

Status kesehatan

Persepsi kondisi kesehatan

(28)

14

yang sangat buruk dan garis paling kanan dengan angka 10 menunjukkan kesehatan yang baik. Lansia di minta untuk mengatakan skala angka untuk menggambarkan kondisi kesehatannya saat ini dan menceritakan kondisi kesehatannya. Pengukuran di atas angka 5.5 dinyatakan baik, nilai antara 5−5.5 dinyatakan sedang dan kurang dari 5 dinyatakan sangat buruk. Tabel 6 memperlihatkan bahwa lebih dari setengah (63.5%) kondisi kesehatan lansia berada dalam kondisi baik, 28.1% dalam kondisi sedang dan 8.4% dalam kondisi sangat buruk.

Tabel 6 Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan

Kategori n %

Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap serangan penyakit. Menurut Depkes (2003) gangguan kesehatan pada usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit kronik menahun dan degeneratif seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan, dan lain-lain. Penyakit yang dialami lansia di lihat berdasarkan penyakit lansia selama satu tahun terakhir. Tabel 7 memperlihatkan bahwa penyakit yang paling banyak di derita ialah hipertensi (43.0%) dan arthritis (43.0%). Penyakit lainnya yang juga dialami lansia ialah maag (28.7%), jantung pembuluh darah (8.7%), diabetes (8.1%), pernapasan (4.8%), dislipidemia (18.8%), batu ginjal (3.0%), dan katarak (5.7%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lee et al. (2004) yang menyatakan bahwa banyaknya lansia kulit putih dan kulit hitam di Pittsburgh dan Memphis Amerika Serikat yang menderita hipertensi ialah sebanyak 38.4% lansia kulit putih dan kulit hitam (53.8%).

Tabel 7 Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami

Penyakit n %

Hipertensi 144 43.0

Arthritis 144 43.0

Maag 96 28.7

Jantung pembuluh darah 29 8.7

Diabetes 27 8.1

(29)

15 lansia terjadinya degenerasi struktur jaringan lensa mata, iris, pupil dan retina menyebabkan kemampuan penglihatan pada lansia menurun dan menimbulkan berbagai penyakit seperti katarak dan glaukoma. Bentuk bola mata lebih cekung sedangkan bentuk kelopak mata menjadi cembung disebabkan oleh terjadinya penyusutan lemak periorbital dan 65−70% lansia menunjukkan kemunduran pendengaran secara fungsional (tuli fungsional) setelah berusia 80 tahun dan 5% dari populasi usia di atas 65 tahun (Fatmah 2010). Masing-masing permasalahan dibedakan menjadi dapat melihat/mendengar dengan baik, melihat/mendengar dengan menggunakan kacamata/alat bantu dengar dan masalah penglihatan/pendengaran yang serius.

Tabel 8 memperlihatkan bahwa sebanyak 59.6% bisa melihat tanpa kacamata, 37.7% bisa melihat dengan bantuan kacamata dan hanya 2.7% lansia yang mengalami masalah penglihatan serius. Berbeda dengan masalah pendengaran dari 334 orang lansia 93.1% bisa mendengar dengan baik, 6.3% bisa mendengar dengan Alat Bantu Dengar (ABD) dan sisanya 0.6% lansia yang mengalami masalah pendengaran serius. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suryanto (2002) yang menyatakan bahwa proporsi lansia di Jakarta dan Bogor yang tidak berkacamata lebih tinggi dibandingkan yang berkacamata ialah sebanyak 67.1% dan kondisi pendengarannya masih normal sebanyak 78.5%.

Tabel 8 Sebaran lansia menurut disabilitas fisik

Disabilitas N %

Penglihatan

Bisa melihat tanpa kacamata 199 59.6

Bisa melihat dengan bantuan kacamata 126 37.7

Masalah penglihatan serius 9 2.7

Total 334 100

Pendengaran

Bisa mendengar dengan baik 311 93.1

Bisa mendengar dengan bantuan Alat Bantu Dengar (ABD) 21 6.3

Masalah pendengaran serius 2 0.6

Total 334 100

Aktivitas sehari-hari

Pada aktivitas sehari-hari lansia diminta menyebutkan kesan lansia dalam melakukan aktivitas dasar harian. Kesan tersebut terbagi menjadi dua, ialah tidak mengalami kesulitan dalam melakukan dan sulit dalam melakukan. Sebaran lansia menurut aktivitas sehari-hari disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran lansia menurut aktivitas sehari-hari

Kegiatan Tidak sulit Sulit

n % n %

(30)

16

mengalami kesulitan dalm minum menyatakan bahwa lansia minum menggunakan tangan kiri karena tangan kanannya sulit digerakkan. Selain minum menggunakan gelas, kegiatan lainnya yang dapat dilakukan lansia tanpa kesulitan ialah memakai pakaian (97.9%), mandi (97.0%) dan menggantungkan baju (94.3%). Kegiatan yang sulit dilakukan oleh lansia ialah olahraga sebanyak 18.9%.

Hubungan antar Variabel

Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan

Tabel 10 memperlihatkan bahwa tingkat pendapatan yang tergolong miskin lebih besar pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak 27.8% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak 2.4%. Pada tingkat pendapatan yang tergolong tidak miskin proporsi tertinggi terdapat pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak 43.7% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak 26.0%.

Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan

Tingkat pendidikan

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan (r=0.564 dan p=0.000) yang berarti semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Atmaja (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan (p<0.01 dan r=0.379). Pendapatan seseorang identik dengan mutu sumber daya manusia sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Suhardjo 1989).

Hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP

(31)

17 Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE

Tingkat pendapatan

Tabel 12 memperlihatkan bahwa TKP yang defisit lebih besar pada lansia yang tingkat pendapatannya tergolong tidak miskin ialah sebanyak 15.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendapatannya tergolong miskin ialah sebanyak 11.7%. Pada TKP yang lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat pendapatannya tergolong tidak miskin sebanyak 15.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendapatannya tergolong miskin ialah sebanyak 3.6%.

Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP

Tingkat pendapatan

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP. Hal ini diduga karena TKE dan TKP diperoleh dari jumlah asupan lansia dalam dua hari saat recall dan seseorang dengan tingkat pendapatan tinggi tidak menjamin dapat mencukupi kecukupan energi dan proteinnya karena walaupun tingkat pendapatannya tinggi tetapi kebutuhan dan konsumsinya tidak semakin tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Horner et al. (2002) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKE dan sejalan dengan hasil penelitian Zaddana (2011) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKP.

Hubungan antara tingkat pendidikan dengan TKE dan TKP

Tingkat pendidikan umumnya akan berhubungan dengan tingkat pengetahuan termasuk pengetahuan gizi seseorang. Pengetahuan gizi akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan, semakin tinggi pengetahuan gizi maka semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsinya sehingga dapat memenuhi kecukupan gizinya. Tabel 13 memperlihatkan bahwa TKE yang defisit lebih besar pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak 19.5% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak 9.9%. Pada TKE yang lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah sebanyak 15.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak 2.7%.

(32)

18

menjamin dapat menerapkan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga seseorang yang berpendidikan tinggi, tingkat kecukupan energinya rendah. Hasil ini berbeda dengan pernyataan Suhardjo (1989) yang menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi akan cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Wijiastuti (2000) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan TKE.

Tabel 13 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE

Tingkat pendidikan

Tabel 14 memperlihatkan bahwa TKP yang defisit lebih besar pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak 22.5% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak 4.2%. Pada TKP yang lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah sebanyak 12.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak 6.6%. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat pendidikan dengan TKP (r=0.075 dan p=0.172). Hal ini diduga karena terjadinya penurunan nafsu makan pada lansia. Pada lansia ujung-ujung indra pengecap di lidah mulai berkurang jumlahnya sehingga indra pengecap kurang peka (Santoso dan Andar 2009). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zaddana (2011) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan TKP.

Tabel 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP

Tingkat pendidikan

Hubungan antara status gizi dengan status kesehatan (penyakit yang dialami)

(33)

19 Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang positif antara status gizi dengan status kesehatan (r=0.112 dan p=0.034) yang berarti semakin tinggi IMT maka akan semakin tinggi pula risiko penyakit yang akan dialami seseorang atau sebaliknya. Supariasa et al. (2001) menyatakan bahwa kebiasaan mengonsumsi makanan yang berlebihan dapat mempengaruhi status gizi seseorang dan berpengaruh pada keadaan kesehatannya.

Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan status kesehatan

Status gizi

Nutrisi berperan penting dalam peningkatan respons imun. Orang tua rentan terhadap gangguan gizi buruk (undernutrition), disebabkan oleh faktor fisiologi dan psikologi yang mempengaruhi keinginan makan dan kondisi fisik serta ekonomi. Gizi kurang pada orang tua disebabkan oleh berkurangnya kemampuan penyerapan zat gizi atau konsumsi makanan bergizi yang tidak memadai. Berkurangnya asupan kalori diketahui dapat memperlambat proses penuaan. Konsumsi protein yang tidak cukup mempengaruhi status imun karena berhubungan dengan kerusakan jumlah dan fungsi imun serta penurunan respons antibodi (Fatmah 2006).

Tabel 16 memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara TKE dan TKP dengan status kesehatan. Hal ini diduga karena tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dari jumlah asupan lansia dalam dua hari saat recall sedangkan penyakit yang dialami oleh lansia ialah penyakit

(34)

20

asupan zat gizi yang di recall selama 3 hari belum bisa menggambarkan kebiasaan makan contoh yang telah membentuk status gizinya sekarang.Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Paramita (2002) yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang positif antara TKE dengan status gizi.

Hasil uji korelasi Spearman antara TKP dengan status gizi menunjukkan adanya hubungan yang positif yang berarti semakin tinggi TKP maka akan semakin tinggi status gizi seseorang atau sebaliknya. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Puspitasari (2011) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara TKP dengan status gizi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Contoh dalam penelitian ini ialah lansia yang berusia 55 tahun dan 55 tahun ke atas yang berjumlah 334 orang dengan banyaknya lansia yang berusia 60–74 tahun dengan rata-rata 65.6 tahun. Proporsi jenis kelamin paling banyak ialah perempuan sebanyak 80.5% dan sisanya laki-laki. Lebih dari setengah lansia, tingkat pendidikannya tergolong rendah dan tidak bekerja. Sebanyak 68.9% tingkat pendapatan lansia tergolong tidak miskin (≥Rp540 000). Sayuran yang umum di konsumsi lansia ialah buncis, wortel dan labu siam. Sedangkan protein hewani yang umum di konsumsi ialah ayam, telur ayam, daging sapi dan ikan mas. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein tergolong dalam kategori defisit. Sebanyak 42.5% status gizi lansia paling banyak lansia yang tergolong overweight.

Lebih dari setengah lansia persepsi kondisi kesehatan tergolong baik. Penyakit yang paling banyak di derita ialah hipertensi (43.0%) dan arthritis (43.0%). Disabilitas fisik lansia menunjukkan bahwa hampir seluruh lansia bisa mendengar dengan baik dan sebanyak 59.6% lansia bisa melihat tanpa kacamata. Hampir seluruh lansia menyatakan bahwa tidak mengalami kesulitan dalam minum menggunakan gelas dan sebanyak 18.9% lansia yang menyatakan mengalami kesulitan dalam berolahraga.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan, terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pendidikan dengan TKE, namun tidak terdapat hubungan anatara tingkat pendidikan dengan TKP dan terdapat hubungan yang positif antara status gizi dengan status kesehatan. Selain itu, terdapat hubungan yang negatif antara TKE dengan status gizi dan terdapat hubungan yang positif antara TKP dengan status gizi. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP.

Saran

(35)

21 kecukupannya. Penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti tentang pengaruh antara tingkat kecukupan energi dan protein terhadap status kesehatan dan status gizi lansia dengan cara pengambilan data konsumsi pangan menggunakan metode Food Weighing. Metode Food Weighing diharapkan akan mendapatkan hasil yang lebih menggambarkan konsumsi lansia.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

__________.2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

Ambartana W. 2010. Hubungan Status Gizi dengan Kekuatan Otot Lanjut Usia di Kelurahan Gianyar Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. J Ilmu Gizi. 1(1):67-74.

Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Palembang (ID): Universitas Sriwijaya.

Atmaja Nining T T. 2012. Konsumsi Kalsium, Status Gizi, Tekanan Darah dan Hubungannya terhadap Keluhan Sendi pada Lansia di Panti Werdha Kota Bandung. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Laju Penduduk Indonesia 2010. Jakarta (ID): BPS.

Chernoff R. 2005. Micronutrient requirements in older women. American Journal of Clinical Nutrition 81:1240-1245.

Darmojo dan Boedhi R. 2006. Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta (ID): FK-UI.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

________________________________. 2007. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta (ID): Depkes RI.

Devine et al. 2005. Protein consumption is an important predictor of lower limb bone mass in elderly women. American Journal of Clinical Nutrition 8:1423-1428.

Drewnowski A dan Specter SE. 2004. Poverty and Obesity: The Role of Energy Density and Energy Costs. American Journal of Clinical Nutrition 79:6-16.

Fatmah. 2006. Persamaan (Equation) Tinggi Badan Manusia Usia Lanjut (Manula) Berdasarkan dan Etnis pada 6 Panti Terpilih di DKI Jakarta dan Tangerang Tahun 2005. Makara Kesehatan 10:7-16.

______. 2006. Respons Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Makara Kesehatan 10:47-53.

(36)

22

Fisher JO, Angels A, Leann LB, Barbara JR. 2007. Portion size effects on daily energi intake in low-income Hispatic and African American children and their mother. American Journal of Clinical Nutrition. 86:1709-1716. Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Asessment. Second Edition. New York:

Oxford University Press.

Gross LS, Li Li, Ford ES, Liu S. 2004. Increased consumption of refined carbohydrates and the epidemic of type 2 diabetes in the United States : an ecologic assessment. Am J Clin Nutr. 79: 774–9.

Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Horner NK, Ruth EP, Marian LN, Johanna WL, Shirley AB, Ross LP. 2002. Participant characteristics associated with errors in self-reportedenergy intake from the womens health initiative food-frequency questionnaire. American Journal of Clinical Nutrition. 76:766-773.

Jauhari M. 2003. Status gizi, kesehatan dan kondisi mental lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Jakarta [Tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lee J, Robert J, Patricia C, Stephen B, Tamara B, Ronica R, Susam M, Anne B. 2004. Edentulism and Nutrional Status in a Biracial Sample of Well Functioning Community-Dwelling Elderly the Health, Aging, and Body Composition Study. American Journal of Clinical Nutrition 75:295-302. Marhamah. 2005. Konsumsi Gizi dan Aktivitas Fisik Usia Lanjut di Kota Depok Kaitannya dengan Status Kesehatan dan Kemampuan Kognitif [Skripsi]. Banten (ID): Universitas Terbuka Serang.

Nisa H. 2006. Faktor Determinan Status Gizi Lansia Penghuni Panti Werdha Pemerintah DKI Jakarta Tahun 2004. Media Litbang Kesehatan 16(3):24-34.

Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta (ID): PT Rineka Cipta.

Nugroho W. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta (ID): EGC.

Paramita L. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan dan Status Gizi [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Puspitasari A. 2011. Keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur, Jakarta Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Riyadi H. 2003. Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, IPB.

Rolland Y, Valerie L, Marco P, Judith F, Helene G, Bruno V. 2004. Muscle Strength in Obese Elderly Women: effect of Recreational Physical Activity in a Cross-Sectional Study. American Journal of Clinical Nutrition 79:552-557.

(37)

23 and Sarcopenic-Obesity in Community-Dwelling Elderly Women. American Journal of Clinical Nutrition 89:1895-1900.

Santoso H dan Andar I. 2009. Memahami Krisis Lanjut Usia. Jakarta (ID): Gunung Mulia.

Sharkey J. 2002. Inadequate Nutrition Intakes Among Homebound Elderly and Their Correlation With Individual Characteristic and Health Related Factors. American Journal of Clinical Nutrition 76(6):1435-1445.

Stanley M . 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta (ID): EGC.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Supariasa, Bakri, Fajar. 2001. Penialaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Suryanto A. 2002. Perilaku Makan, Status Gizi dan Kesehatan Wanita Usia Lanjut di Kelurahan Cakung Timur, Jakarta dan Kelurahan Baranangsiang, Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Undang-Undang Republik Indonesia. 1998. Kesejahteraan Lanjut Usia.

http://www.google.co.id/UUNo13Tahun1998 [diakses 10 Oktober 2013].

[WHO] World Health Organization. 2005. Cut off point nutritional status. http://www.euro.who.intnutrtion–20030507_1 [diakses 10 Oktober 2013]. Wijiastuti YN. 2000. Keragaan Konsumsi Pangan Keluarga menurut Tingkat

Pendidikan Kepala Keluarga di Kotamadya Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Wirakusumah ES. 2001. Menu Sehat Untuk Lanjut Usia. Jakarta (ID): EGC. Yenny dan Herwana E. 2006. Prevalensi Penyakit Kronis dan Kualitas Hidup

pada Lanjut Usia di Jakarta Selatan. 25(4): 164-171.

Zaddana C. 2011. Keadaan Sosial Ekonomi, Pola Konsumsi Makan, Status Gizi, Tingkat Stress dan Status KesehatanLansia Wanita Peserta Pemberdayaan Lansia di Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

(38)

24

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian

STUDI STATUS GIZI, KARAKTERISTIK KESEHATAN DAN ASPEK PSIKOSOSIAL LANSIA YANG TINGGAL DENGAN KELUARGA DAN

DI PANTI WREDHA

Sheet 1: CoLans

1. Enumerator A1 : 1. Wiwi 2. Okta 3. Iin 4. Nining 5. Nisa 2. Tanggal wawancara A2 : ______________2012

3. Nomor responden A3 : ______________

4. Nama responden A4 : __________________________________ 5. Tinggal bersama dengan A5 : 1. Panti wredha, A5L nama: Panti_______

2. keluarga

3. tinggal sendiri/berdua, dekat keluarga 4. tinggal sendiri/berdua, jauh dari keluarga Alamat rumah/panti

6. Rt A6 :

7. Rw A7 :

8. Desa A8 :

9. Kelurahan A9 :

10.Kecamatan A10 :

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(39)

25

Sheet 2: Karaklans

B. KARAKTERISTIK LANSIA

1. Jenis Kelamin B1 1. Laki-laki 2. Perempuan

2. Umur B2 ____ Tahun

4. Pekerjaan B4 1. Tidak bekerja

2. Pedagang

1) Pilih salah satu (hari, minggu, bulan, tahun)

(40)

26

No. Kode1) Pangan/bahan2) URT gr/URT bersih (gr)Berat

satuan

1) Berikan kode pangan/bahan pada saat editing sesuai kode pangan

2) Sebut nama bahan pangan bila pangan tersebut tidak tercantum pada DKBM 3) Berat bersih = (gr/URT) – (gr/URT sisa)

Sheet 5: Statgizlans

E.STATUS GIZI LANSIA

1. Berat Badan E1 kg

(41)

27

2. Penyakit yang terdiagnosis (berdasarkan diagnosis

dokter):

3. Masalah penglihatan F3: 1. Bisa melihat tanpa kacamata

2. Bisa melihat dengan bantuan kacamata 3. Masalah penglihatan serius

4. Masalah pendengaran F4: 1. Bisa mendengar dengan baik.

2. Bisa mendengar dengan bantuan alat bantu dengar (ABD)

3. Masalah pendengaran serius

Aktifitas sehari-hari

5 Masalah mobilitas apakah Anda mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas

berikut ini F5

5.1 Memakai pakaian, termasuk

mengikat tali sepatu dan memakai kancing

F51 0 1 2 3

5.2 Minum menggunakan gelas F52 0 1 2 3

5.3 Mandi F53 0 1 2 3

5.4 Menggantungkan baju F54 0 1 2 3

5.5 Turun naik bis, mobil, atau

kereta F55 0 1 2 3

5.6 Berolahraga (jalan sehat,

senam dll) F56 0 1 2 3

SANGAT BURUK SEDANG

0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5

BAIK

(42)

28

Lampiran 2 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan

Tingkat pendidikan

Uji korelasi Spearman r=0.564 p=0.000

Lampiran 3 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE

Tingkat pendapatan

Uji korelasi Pearson r=0.000 p=0.987

Lampiran 4 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP

Tingkat pendapatan

Lampiran 5 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE

Tingkat pendidikan

Lampiran 6 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKP

Tingkat pendidikan

(43)

29 Lampiran 7 Sebaran lansia dan hasil uji korelasi Spearman berdasarkan status gizi

dan status kesehatan

Status gizi

Status kesehatan

Total

Sehat Sakit

n % n % n %

Sangat kurus (<14.9 kg/m2) 0 0.0 2 0.6 2 0.6

Kurus (15.00-18.4 kg/m2) 6 1.8 18 5.4 24 7.2

Normal (18.5-22.9 kg/m2) 19 5.7 60 18.0 79 23.7

Overweight (23-27.5 kg/m2) 32 9.6 110 32.9 142 42.5

Obesitas 2 (>40 kg/m2) 13 3.9 74 22.2 87 26.0

Total 70 21.0 264 79.0 334 100.0

Uji korelasi Spearman r=0.112 p=0.034

Lampiran 8 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan status kesehatan dan status gizi

Peubah TKE TKP

Status kesehatan r -0.063 -0.037

p 0.254 0.495

Status gizi r -0.347 0.133

(44)

30

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 15 Oktober 1991, dari seorang Ayah yang bernama Sunarto dan seorang Ibu yang bernama Suwanti Asih (alm). Penulis merupakan anak tunggal. Awal pendidikan penulis dimulai dari taman kanak-kanak ialah di TK Mexindo Bogor pada tahaun 1996-1997, kemudian melanjutkan sekolah dasar di SDN Ciheuleut 2 Bogor pada tahun 1997-2003. Tahun 2003-2009 penulis menduduki pendidikan SMP ialah di SMPN 3 Bogor dan SMA di SMA Plus YPHB Bogor. Pada tahun 2009, melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN), penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran
Tabel 2  Sebaran dan statistik lansia
Tabel 7  Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami

Referensi

Dokumen terkait

Jika bentuk primer pelaporan informasi segmen perusahaan ialah segmen geografis yang didasarkan pada lokasi aset dan lokasi pelanggannya berbeda dengan lokasi asetnya, maka

Peranan Public Relations dalam penelitian ini digambarkan melalui kegiatan keseharian yang dilakukan baik oleh para pejabat humas maupun pejabat lainnya yang menangani citra

contextual teaching &amp; learning approach dalam senam irama tanpa alat dapat meningkatkan hasil kompetensi peserta didik kelas XI A SMK Analis Kesehatan

Kubu ini mendukung pendekatan yang lebih deskriptif, dan menekankan pada suasana pragmatik bahasa natural; Penelitian kubu ini mendorong munculnya suatu disiplin

Hasil penelitian menunjukan bahwa jawapostv menggunakan komponen- komponen yang sama dengan landasan teori Integrated Marketing Communication serta penggunaan

Authentication dan Digital Signature Scheme , serta dapat meningkatkan kemampuan pembuatan perangkat lunak dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0..

Bertindak untuk dan atas nama SD Negeri 1 Asemrudung UPTD Pendidikan Kecamatan Geyer Dinas Pendidikan Kabupaten Grobogan dengan ini menyatakan bahwa saya

Dengan demikan, perlu internalisasi nilai-nilai demokrasi sebagai proses pendidikan pada siswa seperti yang dikemukakan Djahiri bah wa: Pendidikan adalah suatu upaya