INTEGRASI REMOTE SENSING DAN PEMODELAN FISIOLOGI
UNTUK PENDUGAAN NPP (NET PRIMARY PRODUCTION)
PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT
HENY MARIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Integrasi Remote Sensing
dan Pemodelan Fisiologi untuk Pendugaan NPP (Net Primary Production) pada Pertanaman Kelapa Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Heny Mariati
RINGKASAN
HENY MARIATI. Integrasi Remote Sensing dan Pemodelan Fisisologi untuk Pendugaan NPP (Net Primary Production) pada Pertanaman Kelapa Sawit. Dibimbing oleh TANIA JUNE dan MUHAMMAD ARDIANSYAH.
Kelapa sawit salah satu tanaman penghasil bahan baku minyak nabati yang memiliki produktivitas tinggi, dan tanaman tersebut terus dibudidayakan dan penanamannya masih diperluas. Kebutuhan lahan untuk pengembangan kelapa sawit menjadi penyebab berlangsungnya konversi lahan dari hutan menjadi perkebunan. Terjadinya konversi lahan tersebut menjadi pemicu konflik utama lingkungan karena penanaman kelapa sawit dianggap telah merusak ekosistem hutan dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan CO2 di atmosfer. Disisi
lain kelapa sawit termasuk salah satu ekosistem terresterial yang juga berperan pada siklus karbon global. Kelapa sawit berperan sebagai karbon sink yang secara langsung merupakan tanaman yang memiliki potensi sebagai penyerap CO2.
Penelitian ini bertujuan menduga kemampuan kelapa sawit dalam menyerap CO2 dengan menggunakan pemodelan fisiologi dan remote sensing. Penelitian
dilakukan pada Agroekosistem Kelapa Sawit PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL) Jambi, Sumatera, Indonesia. Penelitian ini berfokus pada areal kelapa sawit umur 1, 5, 10, 14, dan 19 tahun dan memanfaatkan data citra Landsat 5 dan Landsat 8
path/row125/62. Pendugaan penyerapan CO2 oleh suatu ekosistem dapat
dilakukan dengan terlebih dahulu menduga nilai NPP (Net Primary Production).
NPP konsisten dalam mengkuantifikasi aktifitas produksi dan pertumbuhan vegetasi terrestrial dan banyak digunakan dalam menduga penyerapan CO2.
Hasil integrasi remote sensing dan pemodelan fisiologi pada berbagai umur menunjukan variasi nilai NPP bergantung pada nilai efisiensi cahaya matahari yang dipengaruhi variasi iklim (suhu). Kemudian variasi nilai NPP akan mempengaruhi nilai penyerapan CO2. Semakin tinggi nilai NPP maka penyerapan
CO2 semakin meningkat. Kemampuan penyerapan CO2 kelapa sawit meningkat
seiring peningkatan umur, namun peda usia produktif tidak terjadi peningkatan penyerapan secara signifikan, hampir stabil. Umur 1, 5, 10, 14, dan 19 tahun secara berturut memiliki kemampuan menyerap CO2 yaitu 20, 92, 80, 89, dan 98
ton ha-1 tahun-1.
SUMMARY
HENY MARIATI. Integration of Remote Sensing and Physiology Modeling to Estimate NPP (Net Primary Production) of Oil Palm Plantations. Supervised by TANIA JUNE and MUHAMMAD ARDIANSYAH.
Oil palm is one of plant that produce raw materials for making natural oil and renewable biofuel with high productivity and over a considerable time frame, oil palm continues to be grown and plantation development has been rapidly expanding. The increasing demand of land for oil palm plantation development has led to the steady conversion offorest lands into plantation, either in small farm scale or in industrial estates. This has, in turn, led to major environmental conflict since oil palm plantations have been considered to damage forest ecosystems and contribute to the worsening CO2 emission into the atmosphere. On the other hand,
some other researchers have argued that oil palm plantations are, in fact, among
modeling integrated with remote sensing technology. The study site was at the PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL) Oil Palm Agroecosystem in Jambi, Sumatera, Indonesia. This study focused on the area of oil palm plantations of different ages 1, 5, 10, 14, and 19 years, this study made use of Landsat 5 and Landsat 8 path/row 125/62 images. CO2 absorption by an ecosystem can be estimated by
NPP (Net Primary Production). This is so because NPP serves as a consistent parameter to describe and quantify the bio-physical processes and growth of terrestrial vegetation hence, is widely used in estimating CO2 absorption.
The integration of remote sensing and physiology modeling at different ages has shown that the value of NPP depends on the light use efficiency value which is influenced by variation in climatic condition (temperature). Consequently, the variation in NPP would likewise influence the rate of CO2 absorption: the higher
the value of NPP, the higher would be CO2absorption. The capacity of oil palm to
absorbCO2 increases markedly as it grows older. The productive ages show no
significantly increases absorption and pretend to be stable. To illustrate, the amounted CO2 absorbed by oil palm are 20, 92, 80, 89, and 98 tonha-1year-1 at
ages 1, 5, 10, 14, and 19 years, respectively.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Klimatologi Terapan
INTEGRASI REMOTE SENSING DAN PEMODELAN FISIOLOGI
UNTUK PENDUGAAN NPP (NET PRIMARY PRODUCTION)
PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
PR AKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Integrasi Remote Sensing dan Pemodelan Fisiologi untuk Pendugaan NPP (Net Primary Production) pada Pertanaman Kelapa Sawit dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Tania June dan Bapak Dr Ir Muhammad Ardiansyah atas segala ilmu, motivasi, nasehat, dan bantuan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah mensponsori penulis dalam memperoleh Beasiswa Unggulan. Research Center 990 (CRC990) grup A3 atas bantuan pendanaan untuk topik penelitian ini. Kepada Eko Suryanto, Dede Herianto, Fauzan Nurachman, Putri Yasmin dan Iqhrima atas diskusi dan bantuannya dalam penelitian ini. Teman-teman KLI 2011, teman-teman Wisma Kurma serta sahabat-sahabat seperjuangan MHTI yang telah memberikan motivasi selama perkuliahan.
Tesis ini penulis dedikasikan untuk ibu, ayah dan adik tersayang Mairza Azra serta seluruh keluarga, tanpa doa dari mereka sungguh penelitian tidak mudah untuk diselesaikan. Terimaksih atas motivasi dan kasih sayangnya yang tentu tak terbalaskan.
Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
2 METODE 2
Lokasi 2
Bahan 3
Alat 3 Prosedur Analisis Data 3
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Hubungan Suhu Permukaaan dan Suhu Udara dan Umur Kelapa Sawit 10 Hubungan Efisiensi Penggunaan Cahaya (εg) dan Umur Kelapa Sawit 11
Hubungan FAPAR, LAI, dan Umur Kelapa Sawit 13
Hubungan GPP (Gross Primary Production) dan Umur Kelapa Sawit 14 Hubungan Biomasa Total dan Umur Kelapa Sawit 15 Hubungan NPP (Net Primary Production) dan Umur Kelapa Sawit 16 Perkiraan Penyerapan C dan CO2 Kelapa Sawit 18
4 SIMPULAN DAN SARAN 19
Simpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
LAMPIRAN 23
DAFTAR TABEL
1 Nilai berat kering pelepah (BKP) kelapa sawit pada beberapa umur 9
2 Nilai GPP pada beberapa umur kelapa sawit 15
3 Nilai biomasa total pada beebrapa umur kelapa sawit 16 4 Nilai NPP pada pada beberapa umur kelapa sawit 18 5 Nilai potensi penyerapan C dan CO2 pada beberapa umur kelapa sawit 19
DAFTAR GAMBAR
1 Peta perkebunan kelapa sawit 2
2 Hubungan umur kelapa sawit dan suhu udara 11
3 Hubungan umur kelapa sawit dan suhu permukaan 11
4 Hubungan umur kelapa sawit dan Tscalar 12
5 Hubungan umur kelapa sawit dan Wscalar 12
6 Hubungan umur kelapa sawit dan Pscalar 13
7 Hubungan umur kelapa sawit dan εg 13
8 Hubungan umur kelapa sawit dan LAI 14
9 Hubungan umur kelapa sawit dan FAPAR 14
10 Hubungan umur kelapa sawit dan GPP 15
11 Hubungan umur kelapa sawit dan bomassa total 16
12 Hubungan umur kelapa sawit dan Rgr 17
13 Hubungan umur kelapa sawit dan Rmt 17
14 Hubungan umur kelapa sawit dan NPP 17
15 Hubungan umur kelapa sawit dan Penyerapan CO2 18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar Istilah/Glossary 23
2 Tahapan penelitian 25
3 Nilai rata-rata dan standar deviasi suhu permukaan (Ts) dan suhu udara
(Ts) 26
4 Nilai rata-rata dan standar deviasi Tscalar, Wscalar, Pscalar, dan εg 26
5 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya(εg) kelapa sawit PT EMAL umur 5
tahun 27
6 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT EMAL umur 10
tahun 28
7 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT EMAL umur 14
tahun 29
8 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT EMAL umur 19
tahun 30
9 Peta sebaran nilai GPP (Gross Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 5 tahun 31
10 Peta sebaran nilai GPP (Gross Primary Production) kelapa sawit PT
11 Peta sebaran nilai GPP (Gross Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 14 tahun 33
12 Peta sebaran nilai GPP (Gross Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 19 tahun 34
13 Peta sebaran nilai NPP (Net Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 5 tahun 35
14 Peta sebaran nilai NPP (Net Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 10 tahun 36
15 Peta sebaran nilai NPP (Net Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 14 tahun 37
16 Peta sebaran nilai NPP (Net Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 19 tahun 38
17 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah, tinggi batang, dan tinggi total kelapa sawit umur 1 tahun 39 18 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah,
tinggi batang, dan tinggi total kelapa sawit umur 5 tahun 40 19 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah,
tinggi batang, dan tinggi total kelapa sawit umur 14 tahun 41 20 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah,
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil bahan baku minyak nabati yang memiliki produktivitas tinggi, dan terus dibudidayakan dan penanamannya masih diperluas. Kebutuhan lahan untuk pengembangan kelapa sawit menjadi penyebab berlangsungnya konversilahan dari hutan menjadi perkebunan. Terjadinya konversi lahan tersebut menjadi pemicu konflik utama lingkungan karena penanaman kelapa sawit dianggap telah merusak ekosistem hutan dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan CO2 di atmosfer. Menurut
Morel et al. (2011) resiko lingkungan yang terjadi selama proses konversi hutan menjadi kelapa sawit mengakibatkan punahnya keanekaragaman hayati dan peningkatan emisi gas rumah kaca, termasuk karbon (CO2).
1
Kelapa sawit termasuk salah satu ekosistem teresterial yang berperan pada siklus karbon global serta karbon sink yang secara langsung merupakan tanaman yang memiliki potensi sebagai penyerap CO2. Berdasarkan penelitian sebelumnya
kelapa sawit mampu menyerap CO2 lebih tinggi dibandingkan hutan hujan tropis
pada setiap tahunnya. Henson et al. (1997; 1999) melaporkan kelapa sawit di Malaysia mampu menyerap CO2 74 dan 64.5 ton ha-1 tahun-1, sedangkan Nugroho
(2006) menyatakan bahwa hutan hujan tropis berkisar 26 sampai 40 ton ha-1 tahun-1 dengan rata-rata 32.18 ton ha-1 tahun-1. Dilihat dari kandungan biomassa, hutan hujan tropis memiliki biomassa lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit. Hal tersebut dikarenakan siklus hidup hutan yang lebih lama dibandingkan kelapa sawit. Pada hutan lindung memiliki nilai biomassa diatas permukaan 353 ton ha-1 sedangkan untuk kelapa sawit umur dewasa 52 ton ha-1 (Morel et al. 2011).
Pendugaan penyerapan CO2 oleh suatu ekosistem dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu menduga nilai NPP (Net Primary Production). NPP konsisten dalam mengkuantifikasi aktifitas produksi dan pertumbuhan vegetasi terrestrial
dan banyakdigunakan dalam menduga penyerapan CO2. NPP merupakan
perhitungan matematis sederhana untuk mengetahui banyaknya CO2 yang diserap
tanaman dalam proses fotosintesis (Zhang et al. 2012).
June et al. (2006) dan Tan et al. (2012) menyatakan untuk mengetahui NPP serta penyerapan CO2 pada ekosistem dalam skala besar dapat dilakukan
dengan kombinasi pemodelan dengan teknologi remote sensing serta Sistem Informasi Geografis (SIG). Pemanfaatan model LUE (Light Use Efficiency) (Running et al. 1999, 2000) merupakan dasar beberapa model untuk menduga NPP diantaranya CASA, GLO-PEM, VPM, C-Fix, TURC, EC-LUE, VI, TG, dan 3-PGS (Tan et al. 2012).
Model VPM (Vegetation Photosyntesis Model) memiliki keunggulan dalam menduga NPP, beberapa penelitian menunjukan nilai NPP yang diperoleh dengan menggunakan model VPM sangat relevan dengan hasil pengukuran NPP di lapangan (Nugroho 2006). Model VPM pada beberapa penelitian selalu menggunakan citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) (Nugroho 2006; Xiao et al. 2004). Citra MODIS memiliki resolusi spasial 1 x 1 km dan 0.5 x 0.5 km. Hal tersebut mengakibatkan citra MODIS tidak dapat
2
digunakan untuk menginterpretasi areal yang lebih sempit. Citra Landsat 5 ETM dan Landsat 8 ETM memiliki resolusi spasial 30 x 30 m lebih tinggi dibandingkan MODIS. Penelitianini mencoba mengaplikasikan citra Landsat dan meng-kombinasikan model VPM (Xiao et al. 2004) dengan beberapa persamaan (June 2002; Kanniah et al. 2012).
Upaya mengkuantifikasi kemampuan kelapa sawit menyerap CO2 secara
akurat sangat penting. Variasi umur dan iklim sangat menetukan adalah variabel NPP.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu menduga biomassa tanaman kelapa sawit pada berbagai periode umur, menerapkan integrasi remote sensing dengan model fisiologi pada berbagai periode umur dengan kondisi iklim berbeda (suhu) dan menduga penyerapan CO2 oleh tanaman kelapa sawit pada berbagai periode umur
kondisi iklim berbeda (suhu).
METODE
Lokasi
Lokasi penelitian ini terletak pada Agroekosistem Kelapa Sawit PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL) Jambi, Sumatera, Indonesia (Gambar 1). Penelitian ini berfokus pada areal kelapa sawit umur 1, 5, 10, 14, dan 19 tahun.
3 Bahan
Data tinggi kelapa sawit diperoleh dari masing-masing umur sebanyak 15 pohon, umur 1, 5, 10, 14, dan 19 dipilih sebagai sampel digunakan untuk menghitung nilai biomassa diatas permukaan (AGB). Kemudian peta vektor blok kebun kelapa sawit PT.EMAL digunakan untuk membatasi wilayah kajian. Citra Landsat 5 path/row 125/62 perekaman tanggal 29 April 2009, tanggal 3 Agustus 2009 dan Landsat 8 path/row 125/62 perekaman tanggal 28 Juni 2013. Data iklim diantaranya suhu diperoleh dari hasil ekstraksi citra, radiasi global dan lama penyinaran matahari diperolah dari stasiun klimatologi Jambi.
Alat
Untuk penelitian dilapangan diperlukan beberapa peralatan berupa pengukur tinggi kelapa sawit, meteran dan GPS (Global Positioning System), yang digunakan untuk menentukan titik plot pengambilan sampel dari biomassa. Untuk pengolahan data alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa perangkat lunak pengolah citra ER Mapper 7.0 dan Arc GIS 9.1.
Prosedur Analisis Data
Adapun tahapan analisis data diantaranya proses awal pengolahan citra landsat 5 dan 8 yang terdiri dari proses mendownload citra, koreksi geometrik, pemotongan citra, kombinasi band. Selanjutnya, dilakukan pemodelan fisiologi untuk memperoleh nilai penyerapan CO2 kelapa sawit. Parameter-parameter yang
dibutuhkan dalam penentuan penyerapan CO2 yaitu efisiensi cahaya matahari
kelapa sawit yang digunakan untuk fotosintesis, FAPAR, PAR sehingga diperoleh nilai GPP dan NPP ( Lampiran 2).
Proses Awal Pengolahan Citra
Proses Download Citra
Data citra Landsat 5 dan Landsat 8 ETM tersedia dan dapat didownload melalui USGS http://glovis.usgs.gov/. Untuk mendownload citra tahap pertama dilakukan registrasi data pengguna dan memastikan komputer telah diinstal program Java. Selanjutnya memasukan kode path dan row wilayah Jambi, Sumatera, Indonesia pada web tersebut. Kemudian memasukkan rentang tanggal akuisisi citra landsat yang ingin dimunculkan untuk dipilih yang terbaik. Setelah itu citra yang diinginkan akan muncul secara otomatis sehingga proses download
dapat dilakukan.
Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik bertujuan untuk meminimalisir kesalahan atau distorsi geometri pada citra. Perbedaan tinggi permukaan tanah, rotasi bumi, kelengkungan bumi, sudut pandang perekaman atau gangguan sensor yang tidak normal,menyebabkan hasil akuisisi terdistorsasi geometrik yang mengakibatkan pergeseran sistem koordinat dan datum. Untuk Indonesia menggunakan UTM (Universal Transverse Mercator) sebagai sistem proyeksi dan datum WGS84. Kemudian dilakukan proses geodetic pada citra dengan menggunakan ER Mapper
4
Pemotongan Citra
Peta vector areal kelapa sawit tahun tanam 2008, 1999, dan 1994(format shape file, shp) digunakan untuk memotong Citra Landsat 5 path/row 125/62 perekaman tanggal 29 April 2009 dan 3 Agustus 2009, dari kedua citra Landsat 5 tersebut dipilih yang paling baik untuk memperoleh wilayah kajian umur1 dan 10 tahun. Selanjutnya dengan peta vector yang sama dilakukan pemotongan citra Landsat 8 path/row 125/62 perekaman tanggal 28 Juni 2013 untuk memperoleh batas wilayah kajian umur 5, 14, dan 19 tahun. Setelah dilakukan proses pemotongan masing-masing citra diperoleh potongan citra dari beberapa umur kelapa sawit sebagai wilayah kajian diantaranya umur 1, 5,10, 14, dan 19 tahun.
Kombinasi Band
Pada penelitian ini dilakukan beberapa kombinasi band pada masing-masing citra untuk Landsat 5: band 1, 2 dan 3 untuk menentukan Rsout (persamaan (15)),
band 3 dan 4 untuk menentukan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) (persamaan (12)) serta band 4 dan 5 untuk menentukan LSWI(Land Surface
Water Index) (persamaan (5)). Pada citra Landsat 8: band 2,3 dan 4 untuk menentukan Rsout (persamaan (16,17)), band 4 dan 5 menetukan NDVI, kemudian
band 5 dan 6 untuk menentukan LSWI. Pemodelan Fisiologi
Menetukan Efisiensi Cahaya Matahari (εg) Tanaman Kelapa Sawit
Efisiensi penggunaan cahaya matahari dapat dijelaskan sebagai jumlah energi radiasi yang dimanfaatkan oleh tanaman untuk fotosintesis. Setiap tanaman memiliki nilai efisiensi penggunaan cahaya yang berbeda-beda pada saat proses pertumbuhannya.Perbedaan efisiensi penggunaan cahaya matahari tersebut dipengaruhi faktor fisiologi dan keadaan iklim mikro lingkungan. Menurut Wanget al. (2011) efisiensi penggunaan cahaya matahari dipengaruhi oleh batas nilai cahaya maksimum yang dimiliki oleh tanaman, fenologi daun, kondisi suhu, dan ktersediaan air. Liet al.(2012) mengatakan nilai efisiensi penggunaan cahaya matahari yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman bergantung pada kondisi ekstrim lingkungan seperti suhu, tekanan uap defisit (VPD) dan ketersediaan air pada tanah.
Efisiensi penggunaan cahaya matahari (εg) untuk fotosintesis pada
tumbuhan dipengaruhi oleh kondisi suhu, kelembaban permukaan tanah, dan
tekanan uap defisit.Efisiensi penggunaan cahaya maksimum (ε0) yang dibutuhkan
berbeda berdasarkan masing-masing jenis individu tumbuhan tertentu. Xiao et al.(2004) menyatakan efisiensi cahaya matahari pada model VPM ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
εg= ε0 × Tscalar × Wscalar × Pscalar
dimana εg adalah efisiensi penggunaan cahaya (gC m-2 MJ-1), ε0 adalah efisiensi
cahaya maksimum (µmol CO2 µmol-1 PAR). Menurut Dufrene dan Saugier (1993)
ε0 kelapa sawit memiliki nilai 0.051 (mol CO2 photon-1) atau 2.805 (gC m-2 MJ-1).
Tscalar merupakan indeks pengaruh suhu berfungsi untuk mendeteksi efek suhu
pada proses fotosintesis yang berlangsung di kanopi daun, Wscalar adalah indeks
pengaruh air berfungsi mengetahui efek air pada proses fotosisntesis dan Pscalar
adalah indeks pengaruh fenologi daun.
5 Persamaan untuk menentukan Tscalar dapat ditentukan sebagai berikut :
Tscalar =
Tscalar dihitung dari (Ta) suhu udara (oC), Tmin, Tmax, Topt suhu minimum,
maksimum, dan optimum yang digunakan untuk proses fotosintesis. Jika suhu udara yang diperoleh berada dibawah suhu minimum maka Tscalar bernilai 0 (Xiao
et al. 2005). Tanaman kelapa sawit memiliki suhu minimum 11.5oC dan suhu maksimum 38oC, suhu optimum sawit 23oC nilai tersebut didapatkan dari kompilasi dari beberapa penelitian Pahanet al.(2008), suhu udara (Ta) dihitung menggunakan citra Landsat.
Persamaan untuk menentukan Wscalar dapat ditentukan sebagai berikut :
Wscalar =
Wscalar yang dapat diperkirakan dengan menggunakan LSWI (Land Surface Water
Index) menurut persamaan, LSWImax yang merupakan LSWI maksimum diperoleh
dari nilai maksimum LSWI satu piksel pada musim tanaman yang tumbuh bergantung pada time series sensor optik dan data citra.
Persamaan untuk menentukan Pscalar dapat ditentukan sebagai berikut :
Pscalar =
Pscalar memperhitungkanpengaruhumurdaunpadafotosintesispada tingkatkanopi.
Wscalar dan Pscalar dapat diperkirakan dengan menggunakan LSWI menurut
persamaan sebagai berikut :
LSWI =
LSWI mendeskripsikan tingkat kelembaban vegetasi dan tanah karena (reflektan short wave infrared) sangat sensitif terhadap ketersediaan air dan kelembaban tanah. Daun hijau sangat sensitif pada (reflektan infrared). Jika nilai tinggi dari pada maka nilai LSWI > 0.0.
Pendugaan Suhu Udara (Ta) Wilayah Studi
Suhu udara adalah salah satu parameter diperlukan untuk menentukan Tscalar
yang merupakan indeks pengaruh suhu pada proses fotosintesis.
6
Pendugaan Suhu Permukaan (Ts) Wilayah Studi
Suhu permukaan dibutuhkan untuk menduga suhu udara dari citra Landsat 8, untuk mengetahui derajat suhu permukaan diperlukan beberapa tahapan seperti konversi nilai digital number dari band 6 pada Landsat 5 dan band 11 (TIRS) pada Landsat 8 untuk mendapatkan nilai spectral radiance, lalu nilai spectral radiance
( ) dikonversi dalam suhu kecerahan( ), selanjutnya nilai suhu kecerahan di konversi menjadi nilai suhu permukaan.
Pada Landsat 5 suhu kecerahan dihitung dengan menggunakan nilai spectral radiance yang diperoleh dari nilai digital number USGS (2009), persamaannya
Sedangkan untuk memperoleh suhu kecerahan pada Landsat 8 juga dihitung dengan mengkonversi nilai digital number kedalam spectral radiance (GISAM 2011), dengan persamaan sebagai berikut :
Lλ = ML QCAL + AL
dimana adalah TOA spectral radiance pada band ke-i (Wm-2sr-1µm-1), ML
adalah nilai specific multiplicative rescaling factor band ke-i yang diperoleh dari meta data, AL adalah nilai specific additive rescaling factor band ke-i yang
diperoleh dari meta data, dan QCAL adalah nilai digital number kanal ke-i.
Suhu kecerahan diperoleh dengan persamaan yang mengikuti hukum Planck (USGS 2009; 2013) dinyatakan dengan :
Tb=
Selanjutnya dilakukan konversi nilai suhu kecerahan menjadi nilai suhu permukaan.Untuk mendapatkan suhu permukaan dari citra Landsat ETM+, perlu dikoreksi dengan emisivitas benda melalui persamaan :
=
dimana Ts adalah suhu permukaan yang terkoreksi (K), Λ adalah panjang
gelombang radiasi emisi (12 m), ∂ adalah hc/σ (1.438 x 10-2 m K), h adalah
konstanta Planck (6.26x10-34 J sec),c adalah kecepatan cahaya (2.998 x 108 m sec
-1
), ε adalah emisivitas, σ adalah konstanta Stefan Boltzman (1.38 x 10-23 JK
-1
).Nilai emisivitas vegetasi sekitar 0.95 (Weng 2001).
(7)
(8)
(9)
7 Menentukan FluksBahangTanah WilayahStudi
Fluks bahang tanah dihitung berdasarkan hubungan antara radiasi netto (Rn), suhu permukaan (Ts), albedo dan NDVI yang dirumuskan oleh Allen et al.(2001).
G =
dimana adalah albedo, Rn adalah radiasi Netto (Wm-2), dan Ts adalah suhu permukaan (oC) dan NDVI adalah rasio reflektan NIR-IR terhadap NIR+IR dengan persamaan sebagai berikut :
NDVI =
Pendugaan Fluks Panas Terasa Wilayah Studi
Pendugaan fluks panas terasa untuk mengetahui suhu udara Monteith and Unsworth (1990) adalah sebagai berikut :
H=
dimana H adalah sensible heat flux (Wm-2), Rn adalah radiasi netto (Wm-2), G
adalah fluks pemanasan udara (Wm-2) dan β adalah bowen ratio. Menetukan Radiasi Netto (Rn) Wilayah Studi
Radiasi netto dinyatakan sebagai radiasi netto gelombang pendek dikurangi dengan radiasi netto gelombang panjang yang dipantulkan ke udara.
Rn = Rs netto + Rl netto
pada citra Landsat 5 radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dapat diduga dengan menggunakan persamaan:
Rsout d2
Untuk citra Landsat 8 radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dapat diduga dengan menggunakan persamaan (GISAM 2011):
Rsout d2
d adalah jarak astronomi bumi matahari, adalah rata-rata nilai solar spectral irradiance pada kanal tertentu (Wm-2sr-1µm-1), adalah spectral radiance (Wm
-2
sr-1µm-1), Lhaze1%rad adalah haze radiance dikurangi 1% reflektan dengan
persamaan sebagai berikut (GISAM 2011):
1% reflektan
Nilai radiasi gelombang pendek yang diterima dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan :
Rsin
dimana adalah nilai albedo yang memiliki nilai 0.12 untuk kelapa sawit umur muda dan 0.09 untuk kelapa sawit dewasa, RSout adalah radisi gelombang pendek
yang dipantulkan (Wm-2), RSin adalah radiasi gelombang panjang yang sampai di
8
Nilai radiasi gelombang panjang yang diterima dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan Waters et al. (2002):
Rlin= εaσTcold4
dimana Rlin adalah radiasi gelombang panjang yang diterima oleh permukaan
objek (Wm-2), εa adalah emisivitas atmosfer, σ adalah tetapan Stefan-Bolzman (5.67x10-8Wm-2K-4), Tcold adalah suhu permukaan paling rendah pada piksel (oK).
Nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan :
Rlout= εσTs4
DimanaRloutadalah radiasi gelombang panjang yang diemisikan oleh permukaan
objek (Wm-2), ε adalah emisivitas, σ adalah tetapan Stefan-Bolzman (5.67x10
-8
Wm-2K-4),Ts adalah suhu permukaan(oK).
Menentukan Nilai FAPAR Wilayah Studi
FAPAR adalah fraksi PAR yang diserap oleh daun untuk proses fotosintesis. Persamaan paling umum yang digunakan untuk menghitung FAPAR adalah dengan menghubungkan nilai LAI (Leaf Area Index) berdasarkan Hukum Beer-Lambert Kanniah et al.(2012) dimana k adalah koefisien pemadaman (k = 0.47):
FAPAR = [
LAI kelapa sawit umur 5, 10, 14, dan 19 tahun diperoleh dari persamaan Kaniah
et al. (2012) persamaan sebagai berikut :
LAI = - 0.156 × radiance NIR + 16.95 Menentukan Nilai PAR Wilayah Studi
PAR (Photosynthetically Active Radiation) digambarkan sebagai bagian dari spektrum radiasi yang digunakan didalam proses fotosintesis. PAR diasumsikan 0,5 dari total radiasi global (MJm-2 hari-1) (June 2002). Radiassi global diperoleh dari stasiun klimatologi Jambi. Pada penelitian ini areal kelapa sawit diasumsikan menerima radiasi global setiap bulanya 10 (MJ m-2 hari-1). Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata harian berdasarkan data bulanan bulan juni 2013.
Menentukan Biomassa Kelapa Sawit
(Perhitungan Biomassa Diatas Permukaan dan Dibawah Permukaan) Kegiatan awal penelitian dilakukan di lapangan yaitu menetapkan beberapa sampel tanaman kelapa sawit berdasarkan tahun tanamnya. Individu-individu kelapa sawit diambil sebanyak 15 pokok sebagai sampel, sampel diambil secara acak pada tiap masing-masing umur 5, 14 dan 19, setiap sampel berasal dari 5 plot yang telah ditentukan yang terdiri dari 3 individu terdekat sebagai satuan plot.
Kegiatan kedua menghitung total biomassa dengan menjumlahkan biomassa diatas permukaan tanah (AGB) dengan biomassa dibawah permukaan (BGB), biomassa pelepah hasil pemangkasa dan buah tandan. Nilai biomassa dibawah permukaan (BGB) diasumsikan 0.25 dari biomassa di atas permukaan tanah biomassa (AGB) (Rogi 2002).Untuk memperkirakan (AGB) digunakan persamaan alometrik. Persamaan alometrik dikembangkan untuk memperkirakan biomassa kelapa sawit tanpa menebang pohon secara langsung/non desktruktif (Aholoukp et al. 2013). Persamaan Alometrik menghubungkan dimensi pohon dengan nilai biomassa pohon (Dewi et al. 2009; Thenkabail et al. 2004). Penelitian ini menggunakan persamaan alometrik yang pernah dikembangkan oleh
(19)
(20)
(21)
9 Dewi et al. (2009) pada tanah mineral di Sumatera, Indonesia adalah sebagai berikut:
Biomasa = Tinggi batang (m) * 0.0976 + 0,0706 (ton pohon-1) R2 = 0.7342
Perhitungan Biomassa Pelepah Hasil Pemangkasan, danBuah Tandan Menurut Yulianti (2009) pada umumnya setiap perkebunan kelapa sawit melakukan prosespemangkasanrata-rata 2 sampai 3 pelepah setiap 6 bulan, sehingga dapat diasumsikan setiap tahunnya dilakukan sistem peruning 6pelepah pada kelapa sawit. Pada penelitian ini biomassa pelepah pemangkasan diperoleh dari persamaan:
BPP = [PP * BKP(kg pelepah-1) * PD] /1000
BPP adalah biomassa pelepah pemangkasan (ton ha-1 tahun-1), PP adalah jumlah pelepah pemangkasan 1 pohon setiap tahun (diasumsikan 6 pelepah 1 pohon tahun-1), PD adalah jumlah kelapa sawit per hektar (126 pohon ha-1). BKP adalah berat kering 1 pelapah (menggunakan nilai rata-rata BKP Henson et al. (2012)).
Tabel 1 Nilai berat kering pelepah (BKP) kelapa sawit pada beberapa umur
Umur BKP (kg pelepah-1)
Untuk menghitung biomassa buah kelapa sawit digunakan persamaan Tan et al.(2014) yang menghubungkan umur kelapa sawit terhadap biomassa tandan buah dengan persamaan sebagai berikut:
Biomassa buah tandan (kg pohon-1) = 78.54 (lnx) – 18.52
Menentukan Nilai GPP (Gross Primary Production), Respirasi Pertumbuhan (Rgr), dan Respirasi Pemeliharaan (Rmt) Kelapa Sawit
10
Rgr adalah jumlah total karbon yang digunakan pada proses respirasi untuk
pertumbuhan pada vegetasi (gC m-2 tahun-1). Menurut Nugroho (2006) dan Running (2000) respirasi pertumbuhan (Rgr) dinyatakan sebagai 0.25 dari GPP.
Rgr= 0.25 × GPP
Rmt adalah respirasi pemeliharaan pada vegetasi (gCm-2 tahun-1 ). Pada saat proses
fotosintesis berlangsung sebagian karbon langsung digunakan untuk respirasi pemeliharaan (Nugroho 2006 dan Running 2000).
Rmt=
[ – ]
Respirasi pemeliharaan (Rmt) dinyatakan sebagai bagian dari GPP yang
hilang karena digunakan untuk respirasi pertumbuhan (Rgr), selain itu respirasi
pemeliharan juga dipengaruhi oleh jumlah biomassa total serta suhu klimatologi (long term) atau karakteristik suhu wilayah penelitian (Tc) dan suhu udara wilayah
penelitian (Ta) (Nugroho 2006). Tc memiliki suhu 26.5 (oC) (Syahrinudin 2005),
Ta suhu udara (oC) diperoleh dari citra satelit.
Menentukan NPP (Net Primary Production) dan Nilai Penyerapan CO2 Kelapa Sawit
NPP adalah sisa karbon total yang berhasil diserap oleh tanaman selama proses fotosintesis setelah sebagiannya digunakan untuk respirasi pertumbuhan dan respirasi pemeliharaan tanaman (Runing et al. 1999 dan Nugroho 2006).
Kuantifikasi NPPbiasanya disajikan dalam tahunan (Running 2000). NPP = GPP - Rgr - Rmt
Penyerapan CO2 kelapa sawit diperoleh dari mengalikan NPP dengan 3.67
sebagai factor konversi CO2 ton ha-1.
CO2 = NPP 3.67
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Suhu Permukaan (Ts) dan Suhu Udara (Ta) dan Umur Kelapa Sawit
11 tahun memiliki tajuk yang paling rapat dibandingkan yang lainnya sehingga memiliki suhu udara (Ta) paling rendah.
Gambar 2 Hubungan umur kelapa sawit dan suhupermukaan
Gambar 3 Hubungan umur kelapa sawit dan suhu udara.
Hubungan Efisiensi Penggunaan Cahaya Matahari (εg)
dan Umur Kelapa Sawit
Gambar 4 menunjukan indeks suhu (Tscalar) bertambah seiring mening-
katnya umur kelapa sawit dan mulai stabil pada umur 10 tahun dengan R2=0.980. Indeks suhu terendah ditunjukan pada kelapa sawit umur 1 tahun dengan nilai rata-rata yaitu 0.982 sedangkan umur 19 tahun yaitu 0.999 paling tinggi dibandingkan umur lainnya. Nilai rata-rata indeks air (Wscalar) terendah terdapat
pada kelapa sawit umur 1 tahun yaitu 0.79 dan tertinggi pada umur 19 tahun. Gambar 5 menunjukan indeks air meningkat ketika umur kelapa sawit meningkat dengan R2= 0.749. Wscalar menggambarkan pengaruh air pada tanaman untuk
proses fotosintesis dilihat dari kondisi kelembaban tanah dan tekanan uap (Xiao et al. 2004). Indeks fenologi daun (Pscalar) juga meningkat seiring bertambahnya
umur kelapa sawit dengan R2= 0.857 (Gambar 6). Kelapa sawit umur 1 tahun memiliki nilai rata-rata Pscalar terendah yaitu 0.61,sedangkan pada umur 19 tahun
memiliki nilai tertingi yaitu 0.69. Pscalar dapat mepresentasikan tingkat kehijauan
serta kapasitas potosintesis yang dimiliki tanaman (Xiao et al. 2004).
12
Efisiensi cahaya matahari dan umur kelapa sawit memiliki nilai R2=0.835. Variasi nilai Tscalar, Wscalar dan Pscalar sangat menentukan besarnya efisiensi cahaya
matahari yang dapat dimanfaatkan untuk proses fotosintesis. Berdasarkan hasil penelitian semakin bertambah umur kelapa sawit maka nilai rata-rata Tscalar, Wscalar
dan Pscalar semakin mendekati nilai 1 dan keragamannya (Sd) semakin kecil
(Lampiran 3). Hal tersebut dapat diartikan bahwa pengaruh lingkungan terhadap pengurangan efisiensi cahaya matahari semakin rendah, sehingga nilai rata-rata efisiensi cahaya matahari bertambah seiring meningkatnya umur kelapa sawit (Gambar 7). Nilai efisiensi cahaya yang digunakan untuk fotosintesis pada umur 1 tahun berkisar antara 0.4 sampai 1.1 gC m-2 MJ-1, sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) paling dominan pada areal umur 5tahun (Lampiran 5) berkisar antara 0.7
sampai 1.9 gC m-2MJ-1, pada areal umur 10 tahun (Lampiran 6) menurun yaitu berkisar 0.4 sampai 1.5 gC m-2 MJ-1 ini disebabkan adanya tutupan awan yang cukup luas pada daerah tersebut sedangkan pada areal umur 14 (Lampiran 7) dan 19 tahun (Lampiran 8) sebaran nilai efisiensi cahaya paling dominan secara berturut-turut berkisar 1.2 sampai 2 dan 0.8 sampai 2 gC m-2 MJ-1. Rata- rata nialai efisiensi cahaya dari umur 1 sampai 19 tahun adalah 1.5 gCm-2 MJ-1 (Tabel 2). Nilai tersebut hampir sesuai dengan hasil pengukuran langsung dilapangan yang dilakukan oleh Tan et al.(2011) pada kelapa sawit di Malaysia yaitu 1.40 gC m-2 MJ-1.
Gambar 4 Hubungan umur kelapa sawit dan Tscalar
13
Gambar 6 Hubungan umur kelapa sawit dan Pscalar
Gambar 7 Hubungan umur kelapa sawit dan εg
Hubungan FAPAR, LAI, dan Umur Kelapa Sawit
Gambar 8 hasil ekstraksi citra Landsat menunjukan hubungan nilai rata-rata LAI terhadap peningkatan umur kelapa sawit memiliki nilai R2= 0.728. Nilai rata-rata LAI pada umur 5,10, dan 14 adalah 4.5, LAI tertinggi ditunjukan pada kelapa sawit umur 19 tahun yaitu 6.5. Nilai-nilai tersebut cukup relevan dengan hasil penelitian Thut (2004) yang menyatakan bahwa LAI kelapa sawit berkisar antara 2,86 sampai 7.19.Tan et al. (2014) menyatakan bahwa kelapa sawit <5 tahun memiliki nilai LAI 0.57 hingga 2. Untuk umur 1 tahun nilai rata-rata LAI pada penelitian ini diasumsikan dengan nilai LAI kelapa sawit umur 2 tahun hasil pengukuran langsung di lapangan oleh Awal dan Ishak (2008) yaitu 0.57. Selanjutnya berdasarkan hukum Beer-Lambert LAI merupakan parameter untuk memperoleh nilai transmisi sehingga diperoleh nilai FAPAR. Gambar 9 menunjukan bahwa hubungan FAPAR dengan umur kelapa sawit memiliki hubungan cukup kuat dimana R2=0.568. Perubahan nilai FAPAR dipengaruhi oleh LAI. Hasil penelitian menunjukan FAPAR meningkat seiring meningkatnya umur kelapa sawit. FAPAR terendah terdapat pada kelapa sawit umur 1 tahun dengan nilai rata-rata 0.23 sedangkan umur 5,10, 14, secara berturut-turut 0.88, 0.83, 0.88 dan umur 19 tahun memiliki nilai FAPAR tertinggi yaitu 0.95 (Tabel 2). FAPAR pada umur 10 tahun menurun karena pengaruh awan, Sharma (2009) menyatakan adanya awan pada citra dapat mengurangi nilai FAPAR.
14
Gambar 8 Hubungan umur kelapa sawit dan LAI
Gambar 9 Hubungan umur kelapa sawit dan FAPAR
Hubungan GPP (Gross Primary Production) dan Umur Kelapa Sawit
Pendekatan biofisik tanaman dengan memanfaatkan indeks vegetasi, efisiensi penggunaan cahaya, dan nilai PAR (Photosynthetically Active Radiation) merupakan dasar memperoleh GPP (Xiao et al. 2004). Gambar 10 menunjukkan nilai rata-rata GPP meningkat seiring peningkatan umur kelapa sawit dengan R2= 0.729. Umur 1 tahun memiliki nilai GPP paling rendah yaitu 2.53 gC m-2 hari-1 dipengaruhi oleh penurunan nilai efisiensi cahaya. Pada areal kelapa sawit umur 14 (Lampiran 11) dan 19 tahun (Lampiran 12) sebaran nilai GPP paling dominan secara berturut-turut berkisar 14.6 sampai 16.4 dan 16.2 sampai 19.1 gC m-2 hari
-1
. Rata-rata nilai GPP dari berbagai umur 12.21gC m-2hari-1,nilai tersebut lebih tinggi dibandinkan hasil penelitian di Malaysia langsung dilapangan yang dilakukan oleh Tan et al.(2011) yaitu 7.93 dan 8.07 gC m-2 hari-1. Kisaran nilai GPP setiap umur kajian berbeda, hal ini lebih disebabkan karena perbedaan nilai LAI disetiap umur kajian yang akan mempengaruhi nilai FAPAR di umur yang sama. Menurut pengolahan data yang telah dilakukan umur dimana nilai FAPAR tinggi maka pada umur yang sama nilai GPP juga tinggi.
15
Gambar 10 Hubungan umur kelapa sawit dan GPP Tabel 2 Nilai GPP pada beberapa umur kelapa sawit
Umur εg
Hubungan Biomassa Total dan Umur Kelapa Sawit
Hasil pengolahan data dengan menggunakan persamaan alometrik Dewi et al. (2009) memperoleh rata-rata biomassa diatas permukaan (AGB) 70 ton ha
-1
.Asari et al. (2013) menyatakan bahwa biomassa diatas permukaan berkisar 14.71 sampai 102.23 ton ha-1 dengan rata-rata 40.77 sampai 47.19 ton ha-1. Sementara itu biomassa total kelapa sawit (biomasa diatas permukaan, biomasa dibawah permukaan tanah, pelepah peruning dan tandan buah) (Tabel 3) meningkat seiring bertambahnya umur dengan R2=0.913 (Gambar 11). Nilai biomassa total meningkat dari 30.6 tonha-1 pada umur 1 tahun menjadi 149.15 ton ha-1 pada umur 19 tahun dengan nilai rata-rata biomassa total 100 tonha-1.Nilai biomassa diatas dan dibawah permukaan umur 10 tahun diasumsikan dengan menggunakan nilai biomassa umur 14 tahun. Syahrinudin (2005) dalam penelitiannya menggunakan metode destruktif di daerah Jambi menunjukan biomassa total meningkat dari 40.9 ton ha-1 pada umur 3 tahun menjadi 157.9 ton ha-1 di umur 20 tahun dan rata– rata biomasa total secara umum yaitu 105 tonha-1. Dari perhitungan tersebut menunjukan bahwa peningkatan biomassa total pada setiap peningkat umur cukup relevan bila dilihat dari ukuran data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah, tinggi batang dan tinggi total, yang semakin meningkat seiring bertambahnya umur kelapa sawit (Lampiran 17, 18, 19 dan 20).
16
Gambar 11 Hubungan umur kelapa sawit dan biomassa Tabel 3 Nilai biomasa total pada beberapa umur kelapa sawit Umur (ton haAGB -1
diasumsikan dengan data umur 14 tahun
2)
diasumsikan dengan data umur 14 tahun
Hubungan NPP (Net Primary Production) dan Umur Kelapa Sawit
Gambar 12, 13, dan 14 menunjukan respirasi pertumbuhan, respirasi pemeliharaan serta NPP memiliki hubungan terhadap umur kelapa sawit dengan R2 = 0.729, R2= 0.897 dan R2=0.546 secara berturut-turut. Respirasi per- tumbuhan meningkat dari 231 gC m-2 tahun-1 pada umur 1 tahun menjadi 1560 gC m-2 tahun-1 pada umur 19 tahun. Respirasi pemeliharaan juga mengalami peningkatan pada setiap pertambahan umur secara signifikan yaitu 144 pada umur 1 tahun menjadi 2013gC m-2 tahun-1 pada umur 19 tahun.NPP diperoleh dari GPP setelah dikurangi respirasi pertumbuhan (Rgr) dan respirsi pemeliharaan
(Rmt) (Tabel 4). Nilai NPP pada umur 1 tahun 548 gC m-2 tahun-1, persebaran nilai
17
Gambar 12 Hubungan umur kelapa sawit dan Rgr
Gambar 13 Hubungan umur kelapa sawit dan Rmt
Gambar 14 Hubungan umur kelapa sawit dan NPP
18
Tabel 4 Nilai NPP pada beberapa umur kelapa sawit
Umur GPP
Perkiraan Penyerapan C dan CO2 Kelapa Sawit
Pada table 5 nilai penyerapan C pada umur 1 tahun 5.5 ton ha-1 tahun-1,
Gambar 13 menunjukkan penyerapan CO2 dan umur kelapa sawit memiliki
nilai R2 = 0.546. Hasil konversi nilai NPP diperoleh kelapa sawit umur 1 tahun memiliki kemampuan menyerap CO2 20 ton ha-1 tahun-1meningkat menjadi 98 ton
ha-1 tahun-1 pada umur 19 tahun. Penyerapan terendah terdapat pada kelapa sawit umur 1 tahun sedangkan penyerapan tertinggi terdapat pada kelapa sawit umur 19 tahun. Peningkatan awal terjadi pada kelapa sawit umur 5 tahun, dapat diliht pada umur 5 sampai 19 tahun tidak terjadi peningkatan penyerapan secara signifikan, bahkan terliahat hampir sama. Secara umum dari berbagai umur diperoleh kemampuan penyerapan CO2 rata-rata 76 ton ha-1 tahun-1 (Tabel 5). Henson et
al.(1997; 1999) menyatakan kelapa sawit di Malaysia mampu menyerap CO2 74
dan 64.5 ton ha-1 tahun-1.
19 Tabel 5 Nilai potensi penyerapan C dan CO2 pada berbagai umur kelapa sawit
Umur Penyerapan C
Biomassa total kelapa sawit (biomasa diatas permukaan, biomasa dibawah permukaan tanah, pelepah peruning dan tandan buah) meningkat seiring bertambahnya umur kelapa sawit. Sawit umur 1, 5, 10, 14 dan 19 tahun memiliki nilai biomassa secara berturut-turut 30.6, 60.56, 125.49, 129.63, dan 149.15 ton ha-1 .
Integrasi remote sensing dan pemodelan fisiologi dapat menduga nilai NPP.Variasi nilai NPP dipengaruhi variasi nilaiefisiensi cahaya matahari (εg),
yang dipengaruhi variasi iklim (suhu).
Kemampuan penyerapan CO2 kelapa sawit meningkat seiring peningkatan
umur, namun peda usia produktif tidak terjadi peningkatan penyerapan secara signifikan, bahkan terliaht hampir sama.Dari hasil penelitian ini menunjukan kelapa sawit memiliki kemampuan penyerapan CO2 lebih tinggi dari hutan hujan
tropis dengan kemampuan menyerap CO2 rata-rata 76 ton ha-1 tahun-1. Pada
masing-masing umur 1, 5, 10, 14 dan 19 tahun secara berturut memiliki kemampuan menyerap CO2 20, 92, 80, 89 dan 98 ton ha-1 tahun-1.
Saran
Pemanfaatan data remote sensing dan pemodelan fisiologi untuk menentukan NPP kelapa sawit pada penelitian ini diduga dari tiga citra yang mewakili masing-masing periode musim yaitu pada musim hujan dan musim kemarau. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan data citra setiap bulannya dalam satu tahun, selain itu untuk menetukan nilai PAR sebaiknya dilakukan pengukuran langsung di lapangan sehingga gambaran fluks CO2 lebih
20
DAFTAR PUSTAKA
Aholoukpè H, Dubos B, Flori A, Deleporte P, Amadji G, Chotte JL, Blavet D. 2013.Estimating aboveground biomass of oil palm: Allometric equations for estimating frond biomass.Forest Ecology and Management.292:122– 129.doi:10.1016/j.foreco.2012.11.027.
Allen RG, Morse A, Tasumi Bastiaansen W Kramber W and Anderson H.2001. Evapotranpiration from Landsat (SEBAL) for Water Right Management and Compliance with Multi-State water Compact. University of Idaho Kimberly. Asari N, Suratman MN, Jaafar J, Khalid MM. 2013.Estimation of above ground biomass for oil palm plantations using allometric equations.International Conference on Biology, Environment and Chemistry IACSIT.58(22):110-14.doi:10.7763/IPCBEE.
Awal MA and Ishak WWI. 2008. Measurement of Oil Palm LAI by Manual and LAI-2000 Method.Asian Journal of Scientific Research.1:49-56.doi:10.3923/ajsr.2008.49.56
Dewi S, Khasanah N, Rahayu S, Ekadinata A, and van Noordwijk M. 2009. Carbon Footprint of Indonesian Palm Oil Production: a Pilot Study. Bogor (ID): ICRAF.
Dufrene E, Saugier B. 1993.Gas exchange of oil palm in relation to light, vapour pressure deficit, temperature and leaf age.British Ecological Society.7(1): 97-04
Henson IE, Betitis T, Tomda Y, Chase LDC. 2012. The estimation frond base biomass (FBB ) Of oil palm. Journal of Oil Palm Research. 24 December 2012 p.1473-1479
Henson and Chai.1997 Analysis of oil palm productivity. II. Biomass, distribution, productivity and turn-over of the root system. Elaeis.9:78-92. Htut MH. 2004.Combination Between Empirical Modelling and Remote Sensing
Technology in Estimating and Carbon Stock of Oil Palm(In Salim Indoplantaion Riau Province). [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
June T. 2002. Environmental Effects on photosynthesis of Cj plants: scaling up from electron transport to the canopy (Study case: Gtycine max L. Merr).[Disertation].Canberra(ID): Australian National University.
June T, Ibrom A, Gravenhor G.2006. Integration Of NPP Semi Mechanistic - Modelling, remote sensing and GIS in estimation CO2 absorption of forest vegetation in Lore Lindu National Park. BIOTROPIA.13(1): 22 – 36.
Kanniah KD, Tan KP, Cracknell AP. 2012. UK-DMC 2 satelite data for deriving biophysical parameters of oil palm trees in Malaysia; 2012 July 22–27; Munich, Germany.Munich (ID): IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium. p6569–6572.
Lamade E, Setiyo I. 2002. Characterisation of carbon pools and dynamics for oil palm and forest ecosystems : application to environmental evaluation. Bali.Indonésie. Bali (ID):International Oil Palm Conference. 8–12.
21 Morel AC, Saatchi SS, Malhi Y, Berry NJ, Banin L, Bruslem D, Nilus R, Ong RC.
2011.Estimating aboveground biomass in forest and oil palm plantation in Sabah, Malaysian Borneo using ALOS PALSAR data. Forest Ecology and Management. 262(2011) 1786–1798.doi:10.1016/j.foreco.2011.07.008 Monteith JL and Unsworth MH. 1990. Principles of Environmental Physics. 2nd
ed. London: Edward Arnold.
Nugroho NP. 2006. Estimating Carbon Squestration in Tropical Rainforest Using Integrated Remote Sensing and Ecosystem Productivity Modelling. [Thesis]. Netherlands (ID): International Institut for Geo-Information Science nd Earth Observation Enschede.
Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rogi, JEX. 2002. Penyusunan model simulasi dinamika nitrogen pertanaman kelapa sawit (Elaeis gueneensis Jacq) di Unit Usaha Bekri Provinsi Lampung. [Disertation]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Running SW, Nemani JM, Thornton PE.1999. MODIS daily photosynthesis (PSN) and annual net primary production (NPP) product (MOD17): algorithm theoretical basis document (ATBD) version 3.0
Running SW, Thornton PE, Nameni R, Glassy JM. 2000. Global Terrestrial Gross and Net Primary Productivity from the Earth Observing System. (3):44-57 Sharma.200λ.Modelling carbon stock in oilpalm using system’s approach.[Thesis].
Netherlands (ID):International Institut for Geo-Information Science and Earth Observation Enschede.
Syahrinudin. 2005. The Potential of Oil Palm and Forest Plantations for Carbon Sequestration on Degraded Land in Indonesia. Ecology and Development. 28 pp 1–115
Tan KP, Kanniah KD, Cracknell AP. 2014. On the upstream inputs into the MODIS primary productivity products using biometric data from oil palm plantations.International Journal of Remote Sensing.35(6):2215-2246.doi: 10.1080/01431161.2014.889865
Tan KP, Kanniah KD, Cracknell AP. 2012. A Review of remote sensing based productivity models and their suitability for studying oil palm droductivity in tropical regions.SAGE. 36(5):655–679.doi:10.1177/0309133312452187 Tan KP, Kanniah KD, Busu IB, Cracknell AP. 2011. Evaluation of MODIS
Gross Primary Productivity of Tropical Oil Palm in Southern Peninsular Malaysia; 2011. International Geoscience and Remote Sensing Symposium. p756-759
Thenkabail PS, Stucky N, Griscom BW, Ashton MS, Diels J, Meer VD, Enclona E. 2004.Biomass estimations and carbon stock calculations in the oil palm plantations of African derived savannas using IKONOS data.International Journal of Remote Sensing. 25(23):5447–5472.doi:10.1080/01431604123 31291279
[USGS] United State Geological Survey (US). 2013. Using the USGS Landsat 8 Product [diunduh 2012 Maret 03]. Tersedia pada: Accsess in :http://land sat.usgs.gov/Landsat8_Using_Product.php
22
[GISAM] GIS Ag Maps. 2011. Landsat 8 ESUN (for Atmospheric Correction), Radiance, and TOA Reflectance [Internet]. [diunduh 2013 Juni 03]. http://www.gisagmaps.com/landsat-8-atco/http://landsat.
[GISAM] GIS Ag Maps. 2011. Atmospheric Correction Guide/Conversion to Reflectance: COST, DOS, and TOA Models [Internet]. [diunduh 2013 Juni 03]. Tersedia pada: http://www.gisagmaps.com/landsat-8-atco-guide/
Wang Z, Xiao X, Xiaodong Y. 2010. Modeling gross primary production of maize cropland and degraded grassland in northeastern China.Agricultural and Forest Meteorology. 150(2010):1160–1167.doi:10.1016/j.agrformet.20 10.04.0 15
Waters R, Allen R, Tasumi M, Trezza R, Bastiaannssen. 2002.Surface Energy Balance Algorithms for Land. NASA EOSDIS/Synergy grant from the Raytheon Company.The Idaho Department of Water Resources.
Weng Q. 2001. A remote sensing – GIS evaluation of urban expansion and its impact on surface temperature in the Zhujiang Delta, China. Int J Remote Sens. 22(10):1999-2014
Xiao X, Zhang Q, Hollinger D, Aber J, Moore III B. 2005 Modeling gross primary production of an evergreen needleleaf forest using MODIS and climate data.Ecological Applications. 15(3): 954–969
Xiao X, Zhang Q, Braswell B, Urbanski S, Boles S, Wosfy S, Moore III B, Ojima D. 2004. Modeling gross primary production of temperate deciduous broadleafforest using satellite images and climate data.Remote Sansing and Environment. 91(2004): 256-270.doi:10.1016/j.rse.2004.03.010
Yulianti N. 2009.Cadangan Karbon Lahan Gambut dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu. Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
23 LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Istilah/Glossary
Daftaristilah dan
Carnegie Ames Standford Approach
Parametric Parametric Production Efficiency Carbon dioxide
Jarak astronomi bumi matahari Efisiensi penggunaan radiasi
Eddy Covariance Light Use Efficiency Fluks Bahang Tanah
Global Production Efficiency Model Global Production Efficiency
Jumlah pelepah pemangkasan 1 pohon setiap tahun
Indeks penology daun
Radiasi gelombang pendek yang masuk ke permukaan Radiasi gelombang panjang yang masuk ke permukaan Radiasi Netto
24
Lampiran 1 Lanjutan
Daftaristilah dan singkatan
Pengertian/kepanjangan 3-PGS
UTM VI VPD VPM
u Wscalar
ε0
3-Physiological Principles Predicting Growth Using Satellites Universal Transverse Mercator
Vegetation Index Model
Tekanan uap defisit
Vegetation Photosyntesis Model
Kerapatan udara lembab
Panas spesifik udara pada tekanan konstan Kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 m Indeks Air
25 Lampiran 2 Tahapan penelitian
Citra Landsat 5 dan Landsat 8
Citra Wilayah Kajian
GPP Ts.L ,TB,
H,G,Rn,α, NDVI
Koreksi Geometrik
Peta Wilayah Kajian
Kombinasi Band
Respirasi Pertumbuhan Respirasi Pemeliharaan
NPP
Penyerapan CO2
Suhu udara
R 4, 5 LSWI
Efsiensi Cahaya Maksimum Tscalar
Efisiensi Cahaya yang
Digunakan PAR
Wscalar
FAPAR Pscalar
Persamaan Alometrik Cropping
-Tinggi batang
Pelepah pemnagkasan, Buah tandan
26
Lampiran 3 Nilai rata-rata dan standar deviasi suhu permukaan (Ts), dan suhu udara (Ta) kelapa sawit
Ts
Umur 1 5 10 14 19
Rata-rata 26.26 25.69 25.78 24.75 24.49
Sd 0.38 0.59 0.35 0.21 0.21
Ta
Umur 1 5 10 14 19
Rata-rata 24.72 24.33 23.56 23.48 22.49
Sd 0.33 0.56 0.33 0.19 0.19
Lampiran 4 Nilai rata-rata dan standar deviasi Tscalar, Wscalar, Pscalar, dan εg pada
beberapa umur kelapa sawit
Tscalar
Umur 1 5 10 14 19
Rata-rata 0.983 0.988 0.998 0.998 0.998
Sd 0.007 0.010 0.002 0.001 0.001
Wscalar
Umur 1 5 10 14 19
Rata-rata 0.790 0.880 0.840 0.930 0.940
Sd 0.059 0.065 0.041 0.041 0.030
Pscalar
Umur 1 5 10 14 19
Rata-rata 0.610 0.630 0.680 0.670 0.690
Sd 0.046 0.047 0.033 0.029 0.022
εg
Umur 1 5 10 14 19
Rata-rata 1.10 1.50 1.60 1.70 1.80
27 Lampiran 5 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT. EMAL umur
28
Lampiran 6 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT. EMAL umur
29 Lampiran 7 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT. EMAL umur
30
Lampiran 8 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT. EMAL umur
32
34
36
38
39 Lampiran 17 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah
pelepah, tinggi batang kelapa sawit umur 1 tahun
40
Lampiran 18 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah, tinggi batang dan tinggi total kelapa sawit umur 5 tahun
41 Lampiran 19 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah
pelepah, tinggi batang dan tinggi total kelapa sawit umur 14 tahun
42
Lampiran 20 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah, tinggi batang dan tinggi total kelapa sawit umur 19 tahun
43 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kayu Aro, Kerinci, pada 19 July 1988 dari ayahanda M Nasir dan ibunda Darnawati. Penulis merupakan puteri pertamadari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Geografi Universitas Negri Padang (UNP).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil bahan baku minyak nabati yang memiliki produktivitas tinggi, dan terus dibudidayakan dan penanamannya masih diperluas. Kebutuhan lahan untuk pengembangan kelapa sawit menjadi penyebab berlangsungnya konversilahan dari hutan menjadi perkebunan. Terjadinya konversi lahan tersebut menjadi pemicu konflik utama lingkungan karena penanaman kelapa sawit dianggap telah merusak ekosistem hutan dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan CO2 di atmosfer. Menurut
Morel et al. (2011) resiko lingkungan yang terjadi selama proses konversi hutan menjadi kelapa sawit mengakibatkan punahnya keanekaragaman hayati dan peningkatan emisi gas rumah kaca, termasuk karbon (CO2).
1
Kelapa sawit termasuk salah satu ekosistem teresterial yang berperan pada siklus karbon global serta karbon sink yang secara langsung merupakan tanaman yang memiliki potensi sebagai penyerap CO2. Berdasarkan penelitian sebelumnya
kelapa sawit mampu menyerap CO2 lebih tinggi dibandingkan hutan hujan tropis
pada setiap tahunnya. Henson et al. (1997; 1999) melaporkan kelapa sawit di Malaysia mampu menyerap CO2 74 dan 64.5 ton ha-1 tahun-1, sedangkan Nugroho
(2006) menyatakan bahwa hutan hujan tropis berkisar 26 sampai 40 ton ha-1 tahun-1 dengan rata-rata 32.18 ton ha-1 tahun-1. Dilihat dari kandungan biomassa, hutan hujan tropis memiliki biomassa lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit. Hal tersebut dikarenakan siklus hidup hutan yang lebih lama dibandingkan kelapa sawit. Pada hutan lindung memiliki nilai biomassa diatas permukaan 353 ton ha-1 sedangkan untuk kelapa sawit umur dewasa 52 ton ha-1 (Morel et al. 2011).
Pendugaan penyerapan CO2 oleh suatu ekosistem dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu menduga nilai NPP (Net Primary Production). NPP konsisten dalam mengkuantifikasi aktifitas produksi dan pertumbuhan vegetasi terrestrial
dan banyakdigunakan dalam menduga penyerapan CO2. NPP merupakan
perhitungan matematis sederhana untuk mengetahui banyaknya CO2 yang diserap
tanaman dalam proses fotosintesis (Zhang et al. 2012).
June et al. (2006) dan Tan et al. (2012) menyatakan untuk mengetahui NPP serta penyerapan CO2 pada ekosistem dalam skala besar dapat dilakukan
dengan kombinasi pemodelan dengan teknologi remote sensing serta Sistem Informasi Geografis (SIG). Pemanfaatan model LUE (Light Use Efficiency) (Running et al. 1999, 2000) merupakan dasar beberapa model untuk menduga NPP diantaranya CASA, GLO-PEM, VPM, C-Fix, TURC, EC-LUE, VI, TG, dan 3-PGS (Tan et al. 2012).
Model VPM (Vegetation Photosyntesis Model) memiliki keunggulan dalam menduga NPP, beberapa penelitian menunjukan nilai NPP yang diperoleh dengan menggunakan model VPM sangat relevan dengan hasil pengukuran NPP di lapangan (Nugroho 2006). Model VPM pada beberapa penelitian selalu menggunakan citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) (Nugroho 2006; Xiao et al. 2004). Citra MODIS memiliki resolusi spasial 1 x 1 km dan 0.5 x 0.5 km. Hal tersebut mengakibatkan citra MODIS tidak dapat
2
digunakan untuk menginterpretasi areal yang lebih sempit. Citra Landsat 5 ETM dan Landsat 8 ETM memiliki resolusi spasial 30 x 30 m lebih tinggi dibandingkan MODIS. Penelitianini mencoba mengaplikasikan citra Landsat dan meng-kombinasikan model VPM (Xiao et al. 2004) dengan beberapa persamaan (June 2002; Kanniah et al. 2012).
Upaya mengkuantifikasi kemampuan kelapa sawit menyerap CO2 secara
akurat sangat penting. Variasi umur dan iklim sangat menetukan adalah variabel NPP.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu menduga biomassa tanaman kelapa sawit pada berbagai periode umur, menerapkan integrasi remote sensing dengan model fisiologi pada berbagai periode umur dengan kondisi iklim berbeda (suhu) dan menduga penyerapan CO2 oleh tanaman kelapa sawit pada berbagai periode umur
kondisi iklim berbeda (suhu).
METODE
Lokasi
Lokasi penelitian ini terletak pada Agroekosistem Kelapa Sawit PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL) Jambi, Sumatera, Indonesia (Gambar 1). Penelitian ini berfokus pada areal kelapa sawit umur 1, 5, 10, 14, dan 19 tahun.
3 Bahan
Data tinggi kelapa sawit diperoleh dari masing-masing umur sebanyak 15 pohon, umur 1, 5, 10, 14, dan 19 dipilih sebagai sampel digunakan untuk menghitung nilai biomassa diatas permukaan (AGB). Kemudian peta vektor blok kebun kelapa sawit PT.EMAL digunakan untuk membatasi wilayah kajian. Citra Landsat 5 path/row 125/62 perekaman tanggal 29 April 2009, tanggal 3 Agustus 2009 dan Landsat 8 path/row 125/62 perekaman tanggal 28 Juni 2013. Data iklim diantaranya suhu diperoleh dari hasil ekstraksi citra, radiasi global dan lama penyinaran matahari diperolah dari stasiun klimatologi Jambi.
Alat
Untuk penelitian dilapangan diperlukan beberapa peralatan berupa pengukur tinggi kelapa sawit, meteran dan GPS (Global Positioning System), yang digunakan untuk menentukan titik plot pengambilan sampel dari biomassa. Untuk pengolahan data alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa perangkat lunak pengolah citra ER Mapper 7.0 dan Arc GIS 9.1.
Prosedur Analisis Data
Adapun tahapan analisis data diantaranya proses awal pengolahan citra landsat 5 dan 8 yang terdiri dari proses mendownload citra, koreksi geometrik, pemotongan citra, kombinasi band. Selanjutnya, dilakukan pemodelan fisiologi untuk memperoleh nilai penyerapan CO2 kelapa sawit. Parameter-parameter yang
dibutuhkan dalam penentuan penyerapan CO2 yaitu efisiensi cahaya matahari
kelapa sawit yang digunakan untuk fotosintesis, FAPAR, PAR sehingga diperoleh nilai GPP dan NPP ( Lampiran 2).
Proses Awal Pengolahan Citra
Proses Download Citra
Data citra Landsat 5 dan Landsat 8 ETM tersedia dan dapat didownload melalui USGS http://glovis.usgs.gov/. Untuk mendownload citra tahap pertama dilakukan registrasi data pengguna dan memastikan komputer telah diinstal program Java. Selanjutnya memasukan kode path dan row wilayah Jambi, Sumatera, Indonesia pada web tersebut. Kemudian memasukkan rentang tanggal akuisisi citra landsat yang ingin dimunculkan untuk dipilih yang terbaik. Setelah itu citra yang diinginkan akan muncul secara otomatis sehingga proses download
dapat dilakukan.
Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik bertujuan untuk meminimalisir kesalahan atau distorsi geometri pada citra. Perbedaan tinggi permukaan tanah, rotasi bumi, kelengkungan bumi, sudut pandang perekaman atau gangguan sensor yang tidak normal,menyebabkan hasil akuisisi terdistorsasi geometrik yang mengakibatkan pergeseran sistem koordinat dan datum. Untuk Indonesia menggunakan UTM (Universal Transverse Mercator) sebagai sistem proyeksi dan datum WGS84. Kemudian dilakukan proses geodetic pada citra dengan menggunakan ER Mapper