• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zoning of local marine conservation areas for marine mariculture (A case study at Pasi Island, District of Kepulauan Selayar, South Sulawesi Province)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Zoning of local marine conservation areas for marine mariculture (A case study at Pasi Island, District of Kepulauan Selayar, South Sulawesi Province)"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

PULAU PASI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR,

PROVINSI SULAWESI SELATAN

NURFITRI SYADIAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Zonasi Perikanan Budidaya pada Kawasan Konservasi Laut Daerah Studi Kasus Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

(4)
(5)

NURFITRI SYADIAH. Zoning of Local Marine Conservation Areas for Marine Mariculture (A Case Study at Pasi Island, District of Kepulauan Selayar, South Sulawesi Province). Under direction of YUSLI WARDIATNO, AGUSTINUS M. SAMOSIR and I WAYAN NURJAYA.

This Research was done in eastern Pasi Island, District of Kepulauan Selayar, South Sulawesi Province. The research objective was to find method of zoning mariculture in marine conservation area based on environmental impact and carrying capacity fish culture with floating cage net system (biophysical data such as water current, depth, tides, current, sedimentation rate, and water quality characteristic were collected and analyses). ArcView version 3.3 was used for spatial analysis the suitable area (where and how wide) for overlying floating cage net. Environmental impact was predicted particle dispersion and benthic community while the carrying capacity was benthic analyses using Nitrogen load. The result indicated that 102,72 hectare can be developed for floating net cage culture or around 10% of the total suitable area. Nitrogen loading to the water from one unit of net cage containing10 cages with size of 3 x 3 x 3 m3; survival rate of 80 % and density of 20 fish/m3 was predicted around 0.27-0.53 tons N/unit/6 months. Based on the flushing time and nitrogen loading from floating net cage itself, the suitable area could only produce 1.94 ton/net/6 months red grouper (Plectrocopomus leopardus). The sedimentation rate at the centre of the raft is around 9.16-26.40 g/m2day. Organic particles dispersion and deposition reaching 8.29-86.09 m. Considering the water current which ranged 2.28-10.75 cm/s, the distance between each unit of net cage was in 150 m, to avoid unnecessary organic load in the farm.

(6)
(7)

NURFITRI SYADIAH. Zonasi Perikanan Budidaya pada Kawasan Konservasi Laut Daerah, Studi Kasus Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, AGUSTINUS M. SAMOSIR dan I WAYAN NURJAYA.

Kawasan konservasi laut daerah adalah kawasan konservasi perairan di wilayah laut yang dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, dan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Salah satu pengembangan usaha mata pencaharian alternatif bagi masyarakat untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang adalah budidaya ikan dengan sistem KJA. Pengembangan kegiatan budidaya ini memanfaatkan zona perikanan berkelanjutan pada lokasi kawasan konservasi laut daerah (KKLD).

Pengelolaan zona budidaya sangat penting untuk memastikan bahwa kegiatan budidaya tidak menimbulkan degradasi lingkungan dan dapat berproduksi dalam jangka panjang. Alokasi sumberdaya perikanan budidaya yang tidak terkendali, pengumpulan kegiatan budidaya pada satu lokasi perairan atau skala usaha budidaya pada suatu tempat sangat tinggi, sehingga beban limbah budidaya yang masuk ke sistem perairan akan tinggi pula. Limbah budidaya ini berpotensi mencemari lingkungan, yang akan berdampak pada proses biologi dalam sistem produksi perikanan budidaya, serta dampak ekologi yang lebih luas. Penelitian mengenai zonasi perikanan budidaya pada kawasan konservasi laut daerah ini dilaksanakan selama 4 bulan (April-Juli) di Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini meliputi analisis kesesuaian lahan, analisis estimasi beban limbah kegiatan keramba jaring apung, dan analisis jarak sebaran limbah. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah membuat zonasi perikanan budidaya pada kawasan konservasi laut daerah, khususnya untuk pengembangan kegiatan usaha budidaya perikanan sistem keramba jaring apung berdasarkan daya dukung perairan.

Metode survei lapangan untuk mendapatkan data primer dilakukan dalam penelitian ini. Pengumpulan data sekunder pendukung penelitian di dapat dari berbagai laporan penelitian, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar, Bakosurtanal dan Dishidros AL. Pemetaan kawasan yang sangat sesuai untuk dikembangkannya budidaya perikanan sistem keramba jaring apung menggunakan Software ArcView 3.3 dengan data masukan berupa nilai parameter biofisik yang telah diberi bobot dan skor untuk seluruh stasiun pengamatan. Analisis estimasi beban limbah kegiatan keramba jaring apung, dan analisis jarak sebaran limbah dilakukan berdasarkan pada data fisik oseanografi dan Software SMS 8.1.

Hasil analisis kesesuaian perairan untuk budidaya ikan dengan sistem

keramba jaring apung. Pada kelas ” Sesuai”, kawasannya mencakup area seluas

(8)

5-menyebar jauh dari lokasi KJA, karena kecepatan arus rataan hanya berkisar antara 2,28 – 10,75 cm/dtk. Laju sedimentasi di bagian utara dan selatan memiliki pola yang relatif sama. Pola penyebaran sedimen terkait dengan pola arus yang mengarah dari utara ke selatan.

Kisaran kecepatan arus yang diukur setiap setengah jam selama 24 jam berkisar antara 2,28 – 10,75 cm/dtk, dengan kedalaman rata-rata perairan 13,21 m. Sedangkan untuk laju pengendapan partikel pakan maupun feses mengacu pada hasil percobaan yang dilakukan oleh Rachmansyah (2004) yaitu 1,65 – 3,64 cm/dtk. Aplikasi formula Gowen et al., (1989) in Barg (1992) diperoleh penyebaran partikel limbah padat mencapai jarak antara 8,29 – 86,09 m dari KJA. Dari hasil pengamatan jumlah genus yang ditemukan sebanyak 50 genus yang terdiri dari empat filum, yaitu filum Annelida, Arthropoda, Mollusca, dan Echinodermata. Kepadatan tertinggi didapatkan pada stasiun keramba jaring tancap (KJT) Selatan 50 m sebanyak 650 ind/m2, sedangkan kepadatan terendah didapatkan pada 3 stasiun, yaitu KJA Utara 180 m, KJA Utara 15 m dan KJT Selatan 180 m, dimana masing-masing memiliki kepadatan 100 ind/m2. Nilai

indeks keanekaragaman (H’) makrozoobenthos selama pengamatan berkisar

antara 1,5589 - 3,7193. Sedangkan nilai indeks dominansi 0,0387 – 0,6945, hal ini menunjukan tidak adanya spesies yang mendominasi di seluruh perairan pesisir timur Pulau Pasi.

Zonasi perikanan budidaya pada kawasan konservasi laut daerah (KKLD) Pulau Pasi terdiri dari zona ekstensif dan zona penyangga. Distribusi spasial lokasi dalam pengembangan budidaya ikan dalam KJA yang sesuai di KKLD Pulau Pasi adalah seluas 1.027,022 Ha, dengan maksimum jumlah unit dan keramba yang diperkenankan adalah 10 unit dan 100 keramba. Dengan setiap 1 unit berukuran 310 x 320 m2, sedangkan ukuran keramba yang dipakai adalah 3 x 3 x 3 m3. Dengan asumsi padat tebar 20 ekor/m3, maka pakan yang dibutuhkan sebanyak 4,29 ton. Jumlah total loading N dari kegiatan budidaya sistem keramba jaring apung ke perairan selama masa pemeliharaan adalah sebesar 0,53 tonN/unit/6 bulan.

Penentuan tata letak unit KJA dapat ditentukan berdasarkan dispersi partikel organik, laju sedimentasi dan dampak bentik. Jarak teraman antar unit adalah minimal 2 kali nilai tengah jarak terjauh penyebaran partikel. Untuk menghindari penumpukan partikel organik di dasar KJA, maka tata letak antar unit KJA sekitar 150 m.

Berdasarkan kepada dimensi maksimum tersebut di atas maka permukaan laut yang akan ditempati KJA secara efektif adalah hanya 2.700 m2 saja dari 102,70 ha (102.702,2 m2). Dengan demikian tidak semua luasan perairan akan digunakan untuk KJA, hanya akan dimanfaatkan sekitar 0,26% dari areal perairan laut yang dicanangkan untuk zona perikanan budidaya pada kawasan konservasi laut daerah.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan

b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

Nya sehingga penulis dapat menyusun tesis dengan judul Zonasi Perikanan Budidaya pada Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dan proses penyusunan tesis ini dapat berlangsung dengan baik atas kerjasama dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc selaku pembimbing pertama, Bapak Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil selaku pembimbing kedua, dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjana, M.Sc selaku pembimbing ketiga yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan masukan dalam pembuatan tesis. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M. Sc yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan berserta staf (Mba Ola, Mas Dindin dan Pa Zaenal) yang telah memberikan pelayanan yang maksimal selama ini. Coral Reef Rehabilitation And Management Program (COREMAP) Phase II, yang telah membiayai dari awal hingga selesai pendidikan. Direktur Tata Ruang Laut dan Pulau-pulau Kecil, yang telah memberikan kesempatan untuk belajar lagi. Suami (Adipati Rahmat) dan anak-anak (Kayla dan Mikail) tercinta yang selalu memberikan support dan motivasi dalam penyelesaian tesis. Keluarga tercinta yang senantiasa memberikan dukungan dan do’a selama penulis menempuh pendidikan. Regal, Irwan, Wendy, dan Ralph teman seperjuangan selama penelitian. Indra Jaya, Chimbo, Adhyt, Ridho, dan Ardi yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan. Teman-teman Sandwich WB, yang telah menjadi teman diskusi dan memberikan masukan serta saran dalam penyusunan tesis ini. Bang Heron Subekti, Pa Sakka dan Irsha yang telah membantu dengan sukarela dalam pemodelan SMS. Serta personal dan lembaga yang telah memberikan kontribusi dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga hasil dari penelitian dan tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2010

(12)
(13)

Penulis dilahirkan di Sumedang, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 8 Februari 1980 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Unung Sugandi dan Ibu Yeti Nurhayati. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN Cimalaka III, tamat tahun 1992. SMPN I Cimalaka, tamat tahun 1995. SMAN I Sumedang, tamat tahun 1998. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor tamat pada tahun 2002.

(14)
(15)

PULAU PASI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR,

PROVINSI SULAWESI SELATAN

NURFITRI SYADIAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)
(17)

Nama mahasiswa : Nurfitri Syadiah

NRP : C 252 080 274

Program studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui,

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc Ir. Agustinus M Samosir, M. Phil

Ketua Komisi Anggota Komisi

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Anggota Komisi

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(18)

xix

2.2 Perikanan Budidaya Ramah Lingkungan ... 7

2.2.1 Perikanan Budidaya Laut Sistem Keramba Jaring Apung ... 8

2.2.2 Ragam Kerapu Budidaya ... 9

2.2.3 Pemilihan Lokasi ... 11

2.3 Beban Limbah Budidaya ... 11

2.4 Dampak Benthik Limbah Padat KJA ... 14

2.5 Model Hidrodinamika dan Model Adveksi - Dispersi ... 16

2.6 Daya Dukung Perairan untuk Perikanan Budidaya ... 17

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

3.3.1 Analisis Kelayakan Perairan ... 25

3.3.2 Analisis Estimasi Beban Limbah Kegiatan KJA ... 28

3.3.3 Analisis Estimasi Laju Sedimentasi ... 29

3.3.4 Analisis Dispersi Limbah Padat dari KJA ... 29

3.3.5 Analisis Dampak Bentik Limbah Padat KJA ... 30

3.3.5.1 Kepadatan Benthos ... 30

3.3.5.2 Stabilitas Komunitas Makrozoobentos ... ... 31

(19)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kelayakan Lokasi untuk Pengembangan Budidaya Ikan dengan

sistem KJA ... 39

5.1.1 Karakteristik Biofisik Perairan Pesisir timur Pulau Pasi ... 39

5.1.2 Kelayakan Lokasi Budidaya sistem KJA ... 43

5.2Estimasi Limbah dan Dampaknya ... 46

5.2.1 Estimasi Kuantitatif Limbah Budidaya ... 46

5.2.2 Laju Sedimentasi Limbah Padat dari KJA ... 48

5.2.3 Dispersi Limbah Padat dari KJA ... 50

5.2.4 Estimasi Dampak Bentik dari Limbah Organik ... 51

5.3Estimasi Daya Dukung Lingkungan Perairan Pulau Pasi untuk Pengmbangan Budidaya Ikan dalam KJA ... 58

5.3.1 Estimasi Dukung Dukung Melalui Pendekatan Beban Limbah N ... 58

5.3.2 Estimasi Daya Dukung Melelui Pendekatan Model Hidrodinamika ... 63

5.3.3 Estimasi Produksi Maksimum Tahunan ... 67

5.3.4 Estimasi Kedalaman Minimal di Bawah Karamba ... 68

5.4Pengelolaan Zona Budidaya Ikan pada KKLD Pulau Pasi Kab. Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan ... 69

5.4.1 Zonasi Perikanan Budidaya dalam KJA pada KKLD ... 69

5.4.2 Pengelolaan Kawasan Perikanan Berkelanjutan pada KKLD ... 73

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(20)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Ragam kerapu budidaya ... 10

2 Posisi geografis stasiun pengamatan ... 19

3 Parameter lingkungan perairan, satuan dan alat pengukurannya ... 21

4 Kriteria kelayakan lokasi untuk budidaya sistem keramba jaring apung ... 27

5 Luasan dan volume perairan pesisir timur Pulau Pasi ... 39

6 Flushing time perairan pesisir timur Pulau Pasi ... 39

7 Penilaian kondisi parameter fis-kim-bio perairan pesisir timur Pulau Pasi ... 42

8 Nilai parameter penentuan beban limbah budidaya ikan kerapu sistem KJA 47 9 Nilai hasil estimasi kuantifikasi total n dan p dari pakan yang diberikan ... 47

10 Famili dan spesies makrozoobentos yang ditemukan selama pengamatan di pantai timur pulau pasi ... 52

11 Jumlah spesies, kepadatan, indeks diversitas (H’), dan dominansi makrozoobentos (D) ... 57

12 Estimasi beban limbah maksimal kegiatan budidaya ikan dalam KJA ... 59

(21)
(22)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4 2 Zonasi pola sebaran limbah dan dampak bentik dari limbah KJA ... 17 3 Lokasi Penelitian di Perairan Pulau Pasi, Kab. Kepulauan Selayar, Provinsi

Sulawesi Selatan ... 20 4 Pengukuran kualitas air di lapangan ... 23 5 Penempatan sediment trap pada stasiun pengamatan ... 24 6 Pengambilan sampel sedimen dengan menggunakan Petersen grab ... 24 7 Pola Pasang surut perairan pantai timur Pulau Pasi ... 40 8 Korelasi pasang surut dan arus di perairan pesisir timur Pulau Pasi ... 41 9 Sebaran mendatar parameter biofisik pada kedalaman 1 m perairan pesisir timur

Pulau Pasi : (a) Suhu, (b) Arus, (c) Kecerahan, (d) Kekeruhan, (e) pH,

(f) Salinitas, (g) Kandungan Nitrat, (h) DO, dan (i) Kedalaman ... 44 10 Peta kesesuaian lahan perairan pantai timur Pulau Pasi untuk pengembangan

kegiatan budidaya ikan dalam KJA ... 45 11 Laju Sedimentasi di dasar, tengah dan permukaan perairan sekitar KJA

selama 15 hari ... 49 12 Laju Sedimentasi sekitar KJA di perairan Pulau Pasi, Kab. Kep. Selayar

selama 15 hari ... 49 13 Filum penyusun struktur komunitas makrozoobentos perairan pesisir timur

Pulau Pasi ... 53 14 Kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan ... 54 15 Jumlah spesies makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan ... 55 16 Kandungan %C-Total sedimen pada setiap stasiun pengamatan ... 55 17 Kandungan %N-Total sedimen pada setiap stasiun pengamatan ... 56 18 Kandungan %P-Total sedimen pada setiap stasiun pengamatan ... 56 19 Tekstur sedimen dasar laut di kawasan budidaya Perikanan ... 56 20 Sebaran nitrat beberapa menit setelah pemberian pakan, 3 jam, 6 jam,

dan 9 jam setelah diberikan pakan pada saat musim barat ... 64 21 Sebaran Nitrat beberapa menit setelah pemberian pakan a. Setelah

24 jam, b. Sebaran Nitrat dengan konsentrasi tertinggi selama 15 hari

pada saat musim barat ... 65 22 Sebaran Nitrat beberapa menit setelah pemberian pakan, a) 13 jam,

(23)

24 Zonasi kegiatan budidaya ikan dalam karamba jaring apung (KJA)

(24)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data parameter pasang surut perairan pesisir timur Pulau Pasi selama 24 jam 87 2 Prediksi pasang surut perairan pesisir timur Pulau Pasi pada musim barat dan

musim timur ... 89 3 Data parameter arus pantai sisi Pulau Pasi selama 24 jam ... 91 4 Karakteristik biofisik lingkungan perairan pesisir timur Pulau Pasi,

Kab. Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, April 2010 ... 93 5 Skoring kesesuaian lahan berdasarkan lokasi perairan pesisir timur

Pulau Pasi, Kab. Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan ... 95 6 Laju sedimentasi di dasar, tengah, dan permukaan perairan sekitar KJA

selama 15 hari ... 103 7 Komposisi jenis dan kepadatan makrozoobentos pada kawasan

pengembangan budidaya ikan di pesisir timur pulau Pasi ... 105 8 Spesies makrozoobenthos di pesisir timur Pulau Pasi ... 107 9 Analisa sampel sedimen perairan pesisir timur Pulau Pasi (Lab Nutrisi dan Lab

(25)

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini paradigma kawasan konservasi telah bergeser. Jika semula fungsi kawasan konservasi adalah untuk melindungi keanekaragaman sumber daya alam, kini kawasan konservasi juga telah menjadi kawasan serba guna dengan prinsip pengelolan terpadu. Kawasan konservasi perairan menurut Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 adalah kawasan konservasi perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, dan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Dalam pengembangannya, kawasan konservasi perairan di wilayah laut yang dikembangkan oleh pemerintah daerah disebut sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).

Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar menetapkan Pulau Pasi sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah dengan SK BUPATI No. 03. A Tahun 2009 tentang penetapan KKLD Kabupaten Kepulauan Selayar, namun belum terbentuk zona-zona pengelolaan. Penetapan KKLD melalui pengaturan zonasi merupakan upaya dalam memenuhi hak masyarakat, khususnya nelayan. Dalam pengelolaan KKLD, masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), seperti untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya.

(26)

dibandingkan dengan hanya bergantung pada usaha penangkapan (Galapitage, 1986).

Perkembangan kegiatan budidaya ikan dalam KJA di Pulau Pasi belum memperlihatkan kondisi yang menggembirakan. Nelayan masih sangat bergantung kepada pengalaman kerja dan informasi yang kurang akurat. Kendala ini mengakibatkan tingginya tingkat mortalitas ikan dan sering rusaknya kontruksi KJA akibat penempatan yang kurang tepat. Selain itu, nelayan juga dalam memilih lokasi KJA masih belum mempertimbangkan faktor kesesuaian lahan, baik dari segi daya dukung lingkungan maupun peruntukkan wilayahnya.

Saat ini, faktor yang menjadi penentu dalam penentuan lokasi adalah keamanan dan kemudahan aksesibilitas, sehingga nelayan menempatkan KJA tidak jauh dari permukimannya. Hal ini menjadi kendala dalam pengembangannya, 1) tidak cukup area untuk pengembangan lebih lanjut, 2) menyebabkan pencemaran lingkungan yang berasal dari metabolisme ikan dan sisa ikan rucah. Penumpukan KJA pada satu lokasi akan memberikan dampak negatif yaitu terjadinya penumpukan sedimen dari limbah KJA. Limbah ini yang akan merubah kestabilan ekosistem di sekitarnya, yang pada akhirnya menurukan produksi budidaya.

Penelitian mengenai Zonasi Budidaya Ikan pada Kawasan Konservasi Laut Daerah Studi Kasus Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan ini berupaya menghasilkan masukan dalam pemilihan lokasi yang memenuhi persyarataan teknis, proposional dan sesuai dengan daya dukung lingkungan perairannya.

1.2 Perumusan Masalah

(27)

Alokasi sumberdaya perikanan budidaya yang tidak terkendali, pengumpulan kegiatan budidaya pada satu lokasi perairan atau skala usaha budidaya pada suatu tempat sangat tinggi, sehingga beban limbah budidaya yang masuk ke sistem perairan akan tinggi pula. Limbah budidaya ini berpotensi mencemari lingkungan, yang akan berdampak pada proses biologi dalam sistem produksi perikanan budidaya, serta dampak ekologi yang lebih luas. Sehingga jumlah unit budidaya (KJA) yang dioperasikan harus dikendalikan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka sangatlah penting untuk merencanakan suatu usaha kegiatan budidaya, terutama dalam menentukan lokasi yang sesuai untuk budidaya ikan dalam KJA dan estimasi daya dukung lingkungan perairan.

Dasar utama untuk mengestimasi daya dukung lingkungan perairan adalah pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi limbah yang dihasilkan oleh kegiatan budidaya. Nilai estimasi ini akan menjadi acuan dalam banyak unit budidaya (KJA) maksimal yang diperbolehkan beroperasi pada suatu perairan. Hal ini menjadi dasar bagi pengelolaan zonasi perikanan budidaya dalam kawasan konservasi laut daerah (Gambar 1).

1.3. Tujuan Dan Manfaat

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

a. Menentukan lokasi perairan yang sesuai untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan dalam KJA;

b. Mengestimasi secara kuantitatif limbah organik N dan P dari kegiatan budidaya ikan serta dampaknya terhadap lingkungan perairan;

c. Mengestimasi daya dukung lingkungan perairan bagi pengembangan budidaya ikan.

d. Pengelolaan zona kegiatan budidaya ikan pada kawasan konservasi laut daerah Pulau Pasi Kab. Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan

(28)

pesisir dan pulau-pulau kecil dan pemberian hak pengusahaan perairan pesisir, khususnya untuk kegiatan budidaya ikan laut dalam KJA.

Gambar 1.Kerangka Pemikiran Penelitian.

Pengelolaan Zona Perikanan Berkelnajutan pada KKLD Data Sekunder

Peta Dasar

Data Primer

Kriteria Kesesuaian Perairan

Peta/Data Tematik

Peta Kesesuaian Budidaya Ikan sistem KJA

Analisis Spasial

Analisis Alokasi SD Perikanan Budidaya

Instansional Lapangan

Analisis Daya Dukung

Kedalaman Maksimal Kapasitas Produksi

Maksimal

Estimasi Limbah Budidaya

Dampak Bentik Dispersi Limbah

(29)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)

Kawasan konservasi perairan atau kawasan konservasi laut adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah didasarkan pada prinsip-prinsip pencegahan tangkap lebih (over fishing), pengaturan penggunaan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan, pengelolaan berbasis masyarakat, pertimbangan kearifan lokal, dan pertimbangan bukti ilmiah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan.

Pemanfaatan Kawasan Konservasi Laut Daerah diprioritaskan untuk melindungi potensi perikanan dan kelautan dari eksploitasi berlebihan dan untuk menjamin ketersediaan sumber daya laut secara berkelanjutan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengembangan budidaya perikanan yang ramah lingkungan, pengembangan pariwisata bahari yang memberi manfaat secara langsung kepada masyarakat, serta konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, penyu, paus dan keanekaragaman hayati laut yang potensial dan semakin terancam.

Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) diatur dengan sistem zonasi, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya (Undang – Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan), dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Zona inti (core zone atau sanctuaries)

(30)

b. Zona Perikanan Berkelanjutan

Zona ini merupakan zona yang memiliki nilai konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan oleh pengguna (nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang berpotensi untuk berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona Perikanan Berkelanjutan diperuntukan bagi : perlindungan habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, serta pendidikan.

c. Zona Pemanfaatan Terbatas

Zona pemanfaatan akan ditentukan supaya selaras dengan berbagai pemanfaatan yang ada dalam kawasan dan sesuai denga tujuan KKLD. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam Zona Pemanfaatan adalah kegiatan yang non-perikanan komersial, seperti : olah raga air, wisata bahari, recreational fishing, penelitian, pendidikan, dan zona khusus untuk perlindungan. Zona pemanfaatan dapat juga berfungsi sebagai penyangga kawasan, untuk menjaga proses-proses ekologis yang ada dalam kawasan. Zona Pemanfaatan diperuntukan bagi : perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, serta pendidikan.

d. Zona lainnya sesuai dengan karakteristik dan peruntukannya

Zona ini merupakan zona peruntukan yang tidak termasuk dalam ke tiga zona di atas. Misalnya zona khusus untuk pelabuhan yang ada dalam kawasan

konservasi, yaitu suatu ‘enclave’. Zona yang mempunyai aturan sendiri dalam

pengelolaannya. Berdasarkan penjelasan PP KSDI, zona lain merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu.

(31)

masyarakat diwadahi melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.

2.2 Perikanan Budidaya Ramah Lingkungan

Berdasarkan Kepmen KP No. 02/Men/2007 tentang Cara budidaya ikan yang baik adalah cara memelihara dan/atau membesarkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol sehingga memberikan jaminan keamanan pangan dari pembudidayaan dengan memperhatikan sanitasi, pakan, obat ikan, dan bahan kimia, serta bahan biologis.

Saat ini, terdapat 2 (dua) sistem kegiatan budidaya ikan laut yang dikembangkan di kawasan konservasi, yaitu : keramba jaring tancap (KJT) dan keramba jaring apung (KJA). Dimana setiap sistem memiliki perbedaan dalam pengelolaan areal budidaya, ukuran benih, kepadatan benih, dan pemberian pakan. Perbedaan ini ditentukan oleh spesies yang dibudidayakan, keahlian pembudidaya, dan kemampuan keuangan. Berdasarkan hasil penelitian Nga et al. (2002a & 2002b), memperlihatkan adanya dua tipe kegiatan perikanan budidaya, yaitu :

a. Keramba jaring tancap (KJT) dicirikan dengan investasi awal rendah, kelangsungan hidup rendah, serta efisiensi ekonomi rendah. Suatu keramba yang terbuat dari kerangka jaring di luar dan dalam. Bingkai, dengan bentuk persegi atau persegi panjang, terbuat dari besi, bambu, atau kayu. Keramba ini terbagi menjadi beberapa kompartemen dengan luas areal 6-16 m2/keramba. Keramba dipasang di dasar laut. Biasanya terdapat jarak antara keramba satu dengan lainnya, sekitar 20-50 m (Nga et al. 2002a).

(32)

10,8 m2, dengan masing-masing ukuran rakit apung 56,4 m2 atau 44,9 m2 (Nga et al. 2002b).

Berdasarkan hasil observasi Kinh (2004) pada tahun 2002, dari 29% pembudidaya lokal, sekitar 55% melaksanakan kegitan budidaya dengan tipe KJT. Berdasarkan hasil ini juga diperoleh bahwa kepemilikan keramba oleh pendatang lebih tinggi dibandingkan penduduk lokal pulau. Kegiatan budidaya dalam KJA yang intensif memerlukan investasi yang lebih tinggi. Banyak pembudidaya setempat menyatakan bahwa mereka tetap lebih suka KJT karena mereka lebih murah. KJA kebanyakan dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di luar kawasan konservasi.

2.2.1 Perikanan Budidaya Laut Sistem Keramba Jaring Apung (KJA)

Dirjen perikanan (2001) mendefinisikan keramba jaring apung (KJA) sebagai tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang memungkinkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran ke perairan sekitarnya. Komponen-komponen keramba jaring apung terdiri dari kerangka atau bingkai, pelampung, jangkar, pemberat jaring, penutup kantung jaring, bangunan fisik dan peralatan pendukung lainnya.

Teknologi budidaya ikan dalam KJA telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Menurut Ismail et al. (1996), teknologi ini sudah diterapkan para petani di Indonesia sejak tahun 1940 di beberapa sungai besar dan perairan waduk. Kemudian dalam perkembangannya di tahun 1976, mulai dilakukan adopsi terhadap teknik dasar budidaya dengan menggunakan jaring apung yang dilakukan oleh petani di sekitar waduk Jatiluhur.

Di tahun 1998, budidaya khususnya budidaya ikan dalam KJA tersebut mulai dikembangkan di perairan pesisir. Menurut Rachmansyah et al. (1997), budidaya perikanan dengan sistem keramba jaring apung memiliki keunggulan komperatif diantaranya:

a. Efisien dalam penggunaan perairan dengan tingkat produktivitas tinggi dibandingkan tambak, tidak memerlukan pematang, saluran air dan pengoperairan perairan sehingga dapat mengurangi biaya produksi.

(33)

c. Mudah dipantau karena wadah budidaya yang relatif terbatas, terhindar dari pemangsa dan mudah melakukan pemanenan.

d. Tidak memerlukan pengelolaan kualitas air, karena adanya gerakan pasut sehingga efisien dalam biaya produksi.

e. Produksi mudah dicapai oleh armada penangkapan tuna dan cakalang sebagai sarana pemasaran.

Untuk keberhasilan dan kesinambungan usaha budidaya ikan dalam KJA, terdapat beberapa aspek penting yang harus dipertimbangkan yaitu pemilihan lokasi, konstruksi KJA, ketersediaan benih, pembesaran ikan budidaya (padat tebar, pakan dan cara pemberian pakan), perawatan keramba, pengendalian hama penyakit dan pemasaran (Rochdianto 1996 dan Sunyoto 1993).

Beberapa faktor non teknis yang ikut andil dalam menentukan usaha budidaya ikan dalam KJA, meliputi: 1) Dekat dengan daerah sumber benih ikan yang akan dibudidayakan; 2) Infrastruktur jalan cukup tersedia sehingga akses menuju lokasi dalam mobilisasi benih dan hasil panen dapat terjamin; 3) Terdapatnya sumber listrik untuk penerangan lokasi budidaya dalam kaitannya dengan keamanan, kemudahan operasional pemeliharaan ikan dan kenyamanan pekerja; 4) Tenaga kerja tersedia dengan cukup; 5) Kebijakan pemerintah daerah setempat dengan perangkat peraturan dan intensif bagi pengembangan usaha budidaya ikan dalam KJAyang ramah lingkungan (Sunyoto 1993 dan Wardana, 1999).

2.2.2 Ragam Kerapu Budidaya

(34)

Tabel 1. Ragam Kerapu Budidaya.

No Nama Kerapu Tanda/ ciri yang dimiliki

1. Kerapu

•Kepalanya kecil dengan moncong meruncing.

•Hidup di perairan berkarang, yang masih baik maupun yang sudah rusak atau agak berlumpur.

•Dapat ditangkap dengan bubu atau jaring.

•Ikan ini dapat dipelihara di KJA, dibak maupun ditambak

•Ukuran konsumsi 0,5-2 kg. Ukuran muda dijadikan ikan hias.

•Tergolong ikan mahal dibandingkan kerapu lain 2. Kerapu

•Bentuk memanjang dan agak gilik.

•Warna bisa berubah tergantung kondisi, merah atau kecoklatan.

•Tubuhnya berbintik-bintik warna biru dengan tepi gelap.

•Mempunyai 6 pita berwarna gelap, memiliki bintik berwarna seragam, kadang-kadang tidak seragam.

•Lokasi yang cocok untuk kerapu sunu diantaranya, kisaran salinitas 30-350/00 dan bersuhu 27-320C.

•Hidup diterumbu karang pada kedalaman 5-50 m.

•Ukuran konsumsi 0,5 - 2 kg dengan kisaran salinitas 15-300/00, suhu air 24-310C.

•Pertumbuhannya paling cepat dan benihnya tersedia.

•Ukuran konsumsi 400 - 1200 gram. 4. Kerapu

macan/ flower / carped cod (Epinephelus fuscoguttatus).

•Bentuknya seperti kerapu lumpur tetapi badanya lebih tinggi.

•Bintik-bintik pada tubuhnya gelap dan rapat sirip dada berwarna kemerah-merahan. Sirip lain mempunyai tepi coklat kemerahan.

•Habitatnya di karang, sehingga disebut ikan karang.

•Hidup dan tumbuh pada salinitas 22-320/00, suhu air 26-310C.

(35)

Dari beberapa jenis ikan kerapu komersial tersebut, ikan kerapu sunu atau kerapu merah (Plectrocopomus leopardus) dan ikan kerapu lumpur jenis Epinephelus suillus yang banyak dibudidayakan oleh karena jenis ikan ini ternyata pertumbuhannya lebih cepat daripada jenis ikan kerapu lainnya, dan benihnya selain diperoleh dari alam (penangkapan) juga sudah dapat diadakan dengan cara pemijahan dalam bak, sedangkan ikan kerapu lainnya sulit dipijahkan dengan berhasil, sehingga pengadaan benihnya harus diambil dari alam (Sunyoto 1993).

2.2.3 Pemilihan Lokasi

Ketepatan pemilihan lokasi adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha budidaya ikan laut. Karena laut yang dimanfaatkan sebagai perairan budidaya merupakan wilayah yang penggunaannya melibatkan sector lain (Common property) seperti; perhubungan, pariwisata, dan lain-lain, maka perhatian terhadap persyaratan lokasi tidak hanya terbatas pada faktor-faktor yang berkaitan dengan kelayakan teknis budidaya melainkan juga factor kebijaksanaan pemanfaatannya dalam kaitan dengan kepentingan lintas sektor.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, Departemen Pertanian telah mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Laut (SK. Mentan No. 473/Kpts./Um/7/1982). Agar pemilihan lokasi dapat memenuhi persyarataan teknis sekaligus terhindar dari kemungkinan pengaruh penurunan daya dukung lingkungan akibat pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh kegiatan lain.

2.3 Beban Limbah Budidaya

Budidaya ikan dalam KJA merupakan usaha perikanan yang dapat dikembangkan secara intensif dan ekstensif, dengan pemberian pakan tambahan (umumnya pakan buatan). Pemberian pakan tambahan dalam budidaya KJA menyebabkan akumulasi limbah organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan dan sisa ekskresi.

(36)

Boyd 1999). Mc Donad et al. (1996) menyatakan bahwa 30% dari jumlah pakan yang diberikan tertinggal sebagai pakan yang tidak dikonsumsi dan 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Ini berarti jumlah yang cukup besar masuk ke badan air. Selanjutnya Barg (1992) menyatakan partikel bahan organik akan mengendap di sekitar lokasi KJA jika kecepatan pengendapan partikel jauh lebih besar dari pada kecepatan arus.

Kuantitas dan komposisi dari makanan yang tidak dimakan dan feses yang dihasilkan oleh ikan peliharaan tergantung pada sejumlah faktor termasuk diantaranya jenis pakan (basah dan kering), jumlah ikan yang dipelihara disetiap keramba, kesehatan ikan yang dipelihara (ikan yang sakit cendrung kekurangan selera makan), frekuensi pemberian pakan, jenis metode pemberian pakan dan rasio konversi makanan. Tidak seperti kegiatan peternakan, budidaya ikan tidak memerlukan pengelolaan limbah.

Kegiatan budidaya ikan laut, keramba dibatasi oleh jaring yang memiliki ukuran mata jaring tertentu. Buangan limbah dari kegiatan budidaya dikeluarkan langsung ke lingkungan perairan sekitarnya. Besarnya dampak ekologi dari limbah tersebut terhadap lingkungan akan tergantung pada: 1) ukuran unit keramba yang beroperasi (jumlah keramba yang beroperasi); 2) kepadatan ikan untuk setiap keramba; 3) durasi pengoperasian keramba pada suatu tempat; 4) kondisi fisik dan oseanografi yang berkaitan dengan tempat kegiatan keramba berlangsung; 5) biota yang menghuni kawasan tersebut; dan 6) kapasitas assimilasi dari lingkungan di tempat kegiatan keramba (Milewski 2001).

Pendekatan estimasi beban limbah budidaya yang diterapkan dalam studi ini mengacu pada penelitian sebelumnya (Usman et al. 2001). Limbah kegiatan budidaya yang dijadikan dasar perhitungan dalam kajian ini adalah limbah budidaya ikan kerapu dalam KJA. Hal ini didasarkan pada waktu pemeliharaan hingga waktu pemanenan yang lebih lama yaitu sekitar 6 bulan serta limbah yang dihasilkan berupa feses lebih besar dibandingkan dengan limbah dari komoditas ikan budidaya lain.

(37)

perairan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Warren & Hansen (1982) yang menggunakan pakan buatan. Ternyata pakan buatan secara signifikan mengurangi masukan polutan ke sekitar perairan. Berbedanya spesies ikan yang dipelihara memungkinkan berbedanya tingkat ekskresi ammonia, hal ini juga bergantung pada tingkat pertumbuhan dan konsumsi makanan. Sebagai contoh, tingkat ekskresi amonia dari ikan kakap (Lutjanus argentimaculatus) sebesar 558 mg/kg berat tubuh/tahun, lebih besar 50% dibandingkan dengan ikan kerapu (Epinephelus areolatus) 375 mg/kg berat tubuh/tahun pada saat kedua spesies ikan tersebut diberi sejumlah pakan yang sama (Leung 1996).

Penurunan oksigen terlarut dan peningkatan BOD, nutrien (P, N organic maupun anorganik dan total C) secara umum ditemukan di kolom perairan disekitar keramba (Muller & Varadi 1980, Bergheim et al. 1982, Beveridge & Muir 1982, Bergheim et al. 1985, dan Molver et al. 1988). Oksigen terlarut kembali normal pada jarak sejauh 30 m dari kegiatan budidaya ikan dalam keramba (Gowen & Bradbury 1987) tetapi kandungan oksigen berkurang hingga jarak 1 km jika kegiatan keramba tersebut menggunakan pakan ikan rucah dan kondisi kawasan budidaya yang buruk (Wu et al. 1994). Konsumsi oksigen dari spesies ikan yang dipelihara berkisar antara 83 hingga lebih besar dari 400 g O2/t/h (Wu 1990 dan McLean et al. 1993). Dengan asumsi oksigen terlarut di perairan laut adalah 7 mg/l. 1 ton ikan budidaya memerlukan 17-53 m3 air laut yang bersih untuk mengganti konsumsi oksigen (Beveridge et al. 1994).

Pada sistem budidaya ikan dalam keramba di perairan laut terbuka, produksi ikan sebesar 200 ton/tahun memerlukan kecepatan arus sebesar 1 m3/detik (Tervet 1981). Pada area dimana pertukaran air lambat, maka produksi ikan seharusnya dikurangi (Heinig 2001).

(38)

telah memicu munculnya alga beracun secara besar-besaran (seperti red tide), tetapi tetap saja resiko kemungkinan munculnya harus dipertimbangkan.

2.4 Dampak Limbah Padat KJA

Dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pengembangan perikanan budidaya sangat tergantung pada intensitas usaha, beban limbah alami maupun limbah budidaya yang dihasilkan, laju pergantian air, kapasitas assimilasi dan karakteristik lainnya yang sangat mempengaruhi daya dukung dan daya pulih perairan tersebut. Dengan demikian, tingkat teknologi yang akan dikembangkan harus sesuai dengan kondisi perairan, sehingga resiko kegagalan relatif rendah dan hasil yang didapat bisa berlangsung secara berkesinambungan (Ali 2003).

Ada tiga jenis limbah polutan utama yang dapat dihasilkan oleh fasilitas budidaya yaitu: bahan kimia pembersih fasilitas budidaya, obat-obatan untuk pengendalian penyakit dan hasil buangan metabolisme seperti feses, ammonia dan makanan yang tidak dimakan yang berupa bahan terlarut dan padatan tersuspensi (Mugg et al. 2003).

Limbah padat yang berasal dari KJA (sisa pakan dan feses) terdiri dari beragam ukuran partikel dan kepadatan yang nantinya akan berpengaruh terhadap kecepatan pengendapan. Partikel yang lebih besar akan mengendap di dasar perairan dan cenderung berdampak pada lingkungan bentik, sedangkan partikel halus akan meningkatkan turbiditas sekitar lokasi budidaya (Silvert & Sowles 1996).

Adanya masukan limbah organik menunjukan perubahan kondisi pada organisme dasar perairan, seperti pada makroalga dan bentik alga, bakteri,

meiofauna (8 to 500 μ invertebrates) dan makrofauna (lebih besar dari 500μ

invertebrata). Peningkatan detritus akan mengubah biologi karakteristik habitat dasar perairan. Tipe karakteristik habitat dasar perairan (EAO 1996, Pearson & Black 2001):

a. Normal , tidak terpolusi dan tampak dampak : Jumlah species (species richness) tinggi

Density moderately rendah

(39)

Tidak ada atau hanya sedikit species opportunistik b. Sedikit subur dengan dampak rendah :

Biodiversity tinggi Density tinggi

Beberapa epifauna bergerak dan ikan demersal immigrasi ke disturbed area

Jumlah spesies opportunistik tinggi c. Cukup subur dengan dampak moderat:

Penurunan biodiversiti

Penurunan ukuran tubuh (makrofauna and meiofauna) Pengurangan spesies tidak spesifik

Kehadiran opportunistik meiofauna

d. Sangat subur dengan tingginya dampak pada sedimen dan perairan : Pengurangan semua makrofauna

Kehadiran meiofauna

Pengurangan infaunal metazoan

Kemelimpahan Capitella capitata spp.

Limbah partikel organik yang berasal dari KJA secara nyata berpengaruh terhadap lingkungan bentik. Hasil penelitian Morrisey et al. (2000), memperlihatkan bahwa sedimen dasar perairan bawah KJA yang mengalami perubahan fisika dan kimia tidak lebih dari 50 m dari KJA. Dampak terhadap bentos dapat dengan mudah dideteksi pada sedimen lumpur yang berada pada jarak 25 m dari bagian ujung KJA (Karakassis 2002).

Skala dampak lingkungan akan tergantung pada jumlah limbah yang dihasilkan oleh kegiatan budidaya, yang ditentukan oleh padat tebar, jumlah dan jenis pakan, komposisi pakan, ukuran pelet dan kondisi hidrooseanografi dimana keramba berada. Tergantung pada skala variabel dampak, tingkat produksi ikan yang akan bertahan di daerah tertentu adalah variabel (Pawar et al. 2002).

(40)

Ruiz et al. (2001) melaporkan bahwa loading yang berasal dari budidaya ikan (30 keramba pada luasan 7 ha dan kedalaman 20 m) akan berdampak pada hilangnya padang lamun (Posidonia aceanica) seluas 11,29 ha.

2.5 Model Hidrodinamika dan Model Adveksi-Dispersi

Model adalah suatu gambaran sederhana dari sistem sesungguhnya yang digunakan sebagai alat untuk membantu memecahkan suatu masalah (Thomann 1987 dan Jorgensen 1994).

Penentuan daya dukung lingkungan periaran untuk kegiatan budidaya laut dengan sistem KJA yang dengan dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah, dilakukan dengan pendekatan model model Hidrodinamika dan model Adveksi-Dispersi. Model Hidrodinamika digunakan untuk mengetahui pola arus. Model ini mensimulasikan variasi tingkat kedalaman air dan distribusi kecepatan horizontal dalam variasi waktu dan dimensi x dan y pada suatu bidang horizontal.

Model Adveksi-Dispersi menggambarkan perubahan kualitas air karena pengaruh polutan dalam hal ini polutan adalah limbah KJA. Polutan adalah zat atau komponen lain yang secara langsung maupun tidak langsung masuk kedalam suatu sistem yang akan mengakibatkan sistem tersebut menjadi lebih buruk atau rusak. Pada daerah muara, polutan tersebut dapat tersebar akibat pengaruh gerak massa air dan transpor polutan. Polutan dapat terbagi menjadi polutan konservatif dan polutan non konservatif. Polutan konservatif adalah polutan atau komponen yang tidak mengalami perubahan, yaitu: tidak terdegradasi, tidak hilang karena pengendapan, tidak hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya) dimana konsentrasinya tidak berubah terhadap waktu (Chow et al. 2003, Doneker 2003, KepMen LH 110/2003).

Limbah dari KJA yang terbuang ke dalam perairan akan mendapat perlakuan sebagai berikut (Romimohtarto 1991):

a. Terencerkan dan tersebar oleh adukan dan turbulensi arus laut;

b. Dipekatkan melalui : (1) proses biologis dengan cara diserap ikan liar di sekitar KJA dan biota air lainnya; (2) proses fisik dan kimia dengan cara absorpsi, pengendapan dan pertukaran ion. Setelah itu bahan pencemar akan mengendap d dasar perairan; dan

(41)

EAO (1996) membagi zona budidaya keramba jaring apung salmon menjadi 4 zona, yaitu (Gambar 2): Azoic zone, di bawah KJA (D), zona sangat subur, berjarak 8 m dari KJA (C), zona sedikit subur, berjarak antara 8 – 25 m (B), dan zona normal, berjarak lebih dari 25 m dimana sudah tidak ada dampak dari KJA (A).

Gambar 2 Zonasi pola sebaran limbah dan dampak benthik dari limbah KJA (EAO 1996).

2.6 Daya Dukung Perairan Untuk Perikanan Budidaya

Konsep daya dukung perairan telah lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya baik ikan maupun rumput laut maka nilai daya dukung merupakan faktor penting dalam menjamin siklus produksi dalam jangka waktu yang lama.

(42)

mengalami penurunan kualitas lingkungan perairan tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung adalah ultimate constraint yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang, siklus predator, temperatur, cahaya matahari atau salinitas (Rachmansyah 2004).

Estimasi daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang kegiatan budidaya ikan laut di keramba jaring apung (KJA) merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa ikan budidaya yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degredasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Piper et al, 1982 in Ali, 2003). Budidaya ikan laut dapat dikembangkan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan jika beban limbah dari sistem budidaya dipertahankan berada di bawah daya dukung lingkungan perairan.

(43)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April–Juli 2010, di pesisir timur Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan ini meliputi tahapan studi pustaka, pengumpulan data baik primer maupun sekunder, penyusunan basis data, analisis data, dan penulisan laporan penelitian.

Kawasan yang menjadi area penelitian hanya sekitar 32% (± 1.567,37 Ha) dari total keseluruhan perairan selat antara P. Selayar dan P. Pasi yang mencakup areal seluas ± 4.902,13 Ha. Pembatasan area penelitian (32% dari total perairan) dilakukan terkait dengan batas administrasi wilayah dan kontur kedalaman perairan teluk yang variasinya mulai dari kedalaman 0–54 meter, menghindari jalur pelayaran penumpang regular dan armada penangkapan ikan. Kedalaman perairan pada area penelitian berkisar antara 10–30 meter, Selebihnya didapat kedalaman >30 meter sehingga penempatan keramba tidak sesuai dari segi ekonomis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan membagi Zona Perikanan Berkelanjutan di perairan pesisir timur Pulau Pasi menjadi tiga zone, yaitu zona KJA (Stasiun 2, 3 dan 6), zona tengah (Stasiun 4 dan 5), dan zona kontrol atau tidak ada KJA (Stasiun 1 dan 7). Deskripsi stasiun yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 3.

Tebel 2 Posisi geografis stasiun pengamatan.

Stasiun Letak Geografis Keterangan

(44)

Gambar 3 Lokasi penelitian di perairan Pulau Pasi, Kab. Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan.

P. Pasi

(45)

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Dalam survei ini, akan dilakukan pengamatan, pengukuran dan pengambilan sampel yang merupakan identifikasi lokasi kegiatan. Pengamatan yang dilakukan di lapangan bertujuan melihat dan mengidentifikasi kondisi biofiskim perairan untuk zonasi perikanan budidaya pada kawasan konservasi laut daerah (KKLD) Pulau Pasi.

3.2.1 Bahan dan Alat Penelitian

Kondisi biofiskim perairan menentukan present status kondisi perairan Pulau Pasi untuk kelayakan pengembangan budidaya kerapu. Kegiatan ini meliputi pengamatan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan. Metode pengembilan contoh air dan metode analisisnya mengacu pada APHA (1992) (Tabel 3).

Tabel 3 Parameter lingkungan perairan, satuan dan alat pengukurannya.

(46)

3.2.2 Pengumpulan Data

Data dan informasi tentang kondisi perairan pesisir timur Pulau Pasi diperoleh dengan dua cara, yaitu:

a. Data Sekunder, dikumpulkan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada, dan berbagai laporan yang diperoleh dari berbagai instansi dan institusi terkait sesuai dengan objek penelitian yang akan dikaji. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan seperti laporan hasil survei dan publikasi lainnya serta peta-peta yang tersedia, data tersebut antara lain: data ramalan pasut (DISHIDROS TNI-AL dan NAO tide), data batimetri (DISHIDROS TNI-AL No. 143), gelombang permukaan (website) dan Rupa Bumi Indonesia (Bakosurtanal, RBI).

b. Data Primer, melakukan pengukuran secara langsung di lapangan terhadap beberapa parameter fisika-kimia-biologi oseanografi, untuk mengkaji lebih dalam tentang kondisi oseanografi dimana lokasi pengembangan budidaya laut di perairan Pulau Pasi akan dilakukan. Kegiatan operasional budidaya kerapu sistem KJA di lokasi studi diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pembudidaya ikan yang ada di Pulau Pasi.

Berikut ini akan dibahas tentang metode dan alat yang akan digunakan di lapangan untuk mendapatkan data yang dinginkan:

3.2.2.1 Kualitas Air

(47)

Gambar 4 Pengukuran kualitas air di lapangan.

Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengukuran karakteristik sedimen, meliputi fraksi sedimen (pasir, lumpur dan liat), nitrat, dan fosfat dilakukan di laboratorium Balai Tanah Departemen Pertanian, Bogor. Sedangkan identifikasi makrozoobentos dilakukan di Laboratorium BIMI I, FPIK IPB.

3.2.2.2 Sedimen Dasar Perairan

Pendugaan Laju Sedimentasi, penghitungan laju sedimentasi di sekitar KJA dilakukan dengan memasang alat sediment trap selama 15 (lima belas) hari. Tabung sediment trap yang digunakan berbahan dasar aklirik dengan ukuran diameter 5 cm dan tinggi 11,5 cm, pada bagian atas memiliki sekat-sekat (baffles) penutup (Gambar 5). Tabung sediment trap dipasang pada tali yang diberi pemberat dan pelampung. Sedimen trap tersusun 3, yaitu permukaan (2 meter dari permukaan), tengah, dan dasar (30 cm di atas dasar), masing-masing dipasang pada jarak 0 m, 5 m, 10 m, 15 m, 25 m, dan 50 m dari KJA.

(48)

Gambar 5. Penempatan sediment trap pada stasiun pengamatan.

Sedimen yang terkumpul kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam (English et al. 1997). Selanjutnya dilakukan pengukuran berat kering sedimen dalam satuan miligram dengan timbangan analitik. Sedimen dasar di sekitar tempat pemasangan sediment trap juga dikoleksi dengan menggunakan Petersen grab untuk dianalisis tekstur sedimennya (Gambar 6). Sampel sedimen dasar diambil pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 cm. Tujuannya adalah untuk mengkaji kecenderungan butiran sedimen dan kandungan haranya (nitrat dan fospat).

Gambar 6. Pengambilan sampel sedimen dengan menggunakan Petersen grab.

3.2.2.3 Dispersi Limbah Padat dari KJA

(49)

Dimana : d = dispersi horizontal dari partikel organic (m); D = kedalaman air di lokasi KJA (m); Cv = kecepatan arus (m/dtk); dan Sv = kecepatan pengendapan limbah partikel (m/dtk).

Dinamika dispersi partikel organik disimulasikan dengan alat bantu piranti lunak Surface Water Modelling System (SMS) versi 8.1. modul RM2 dan RMA4. RMA2 membaca data geometri dan kondisi batas kemudian menghitung solusi hidrodinamika aliran (elevasi muka air dan kecepatan pada tiap simpul). Sedangkan RMA-4 adalah program TABS yang dipakai untuk memodelkan angkutan polutan.

3.2.2.5 Biota Perairan

Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan Petersen grab.Stasiun pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling pada 24 titik, yaitu pada Stasiun KJA (St. 2 & St. 6) dan Stasiun Kontrol (St. 1 & St.7). Pengambilan sampling makrozoobentos pada stasiun KJA dilakukan pada jarak 0 m, 15 m, 30 m, 50 m, 90 m dan 180 m ke arah utara dan selatan dari KJA (11 titik). Sedangkan pada stasiun kontrol dilakukan hanya pada satu titik. Pengambilan sampel setiap stasiun diulang sebanyak tiga kali.

Sampel disaring dengan saringan berdiameter 0.5 mm. Makrozoobentos yang tersaring diawetkan dengan larutan formalin 10% dan selanjutnya diidentifikasi sampai ke tingkat spesies berdasarkan kunci identifikasi Habe & Kosuge (1966).

3.3 Metode Analisis Data

3.3.1 Analisis Kelayakan Perairan

(50)

a. Penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan

scoring. Data kondisi biofisik perairan pesisir timur Pulau Pasi, sosial ekonomi

dan status penggunaan perairan dijadikan acuan dalam menentukan kriteria kelayakan. Kriteria kelayakan terbagi menjadi 3 katagori. Katagori 1 terkait dengan proses kondisi biofisik perairan dengan bobot 40%, Katagori 2 terkait desain tata letak dan kontruksi sarana budidaya dengan bobot 30%, dan Katagori 3 terkait aspek social ekonomi dan kelembagaan dengan bobot 30%. Bobot menunjukan kepentingan parameter pada keberhasilan budidaya. Nilai yang diberikan adalah rentang 5-40. Semakin tinggi nilai semakin tinggi nilainya. Skor dibagi dalam 2 kelas, yaitu skor 3 untuk layak dan skor 1 untuk tidak layak. Penentuan skor didasarkan pada skor didasarkan pada rentang nilai hasil pengukuran terhadap parameter-parameter utama (Tabel 4).

b. Penghitungan nilai peruntukkan perairan budidaya dalam KJA. Nilai suatu perairan untuk kegiatan budidaya ditentukan berdasarkan total hasil perkalian bobot dan skor yang selanjutnya dijumlah secara keseluruhan sehingga didapat total nilai bobot-skor. Kemudian hasil penjumlahan parameter perairan ini akan dibagi dengan nilai maksimal yang didapat dari perkalian antara skor tertinggi dengan bobot yang telah ditetapkan. Selanjutnya nilai hasil dari pembagian tersebut akan dikalikan dengan 100%, selanjutnya akan didapat nilai total yang akan dicocokkan dengan kriteria nilai kesesuaian perairan.

c. Pembagian kelas perairan dan nilainya. Pendekatan evaluasi kesesuaian perairan yang digunakan adalah metoda pendekatan matematis melalui perkalian dan penjumlahan parameter perairan, sedangkan penilaian kelas kesesuaian dilakukan pada tingkat kelas. Pada tingkat kelas, perairan yang sesuai untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA pada kawasan konservasi laut daerah dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu: S (Sesuai) dan TS (Tidak Sesuai).

(51)

Tabel 4 Kriteria kelayakan lokasi untuk budidaya dalam KJA.

Sub Total Katagori I (40/100) x ∑ kolom nilai)=X 120 40

Katagori II 30

Total Skor ((X+Y+Z)/300) x 100 = Nilai Kelayakan

Klasifikasi Kelayakan Nilai

Sesuai 67 - 100

Tidak sesuai 34 - 66

Sumber: Modifikasi dari Kurniaty (2003), Rachmansyah (2004), Alauddin (2004), Wardjan (2005), Sitorus (2005), dan Amarullah (2007).

(52)

dipakai sebagai kriteria. Hasil perkalian antara bobot dan skor yang diterima oleh masing-masing coverage tersebut disesuaikan berdasarkan tingkat kepentingannya terhadap penentuan kelayakan perairan untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan dalam KJA. Hasil akhir dari analisis SIG melalui pendekatan indeks overlay model adalah diperolehnya rangking (urutan) kelas kesesuaian perairan untuk budidaya tersebut.

3.3.2 Analisis Estimasi Beban Limbah Kegiatan KJA

Limbah budidaya perikanan dapat berupa bahan organik yang berasal dari pakan, feses dan matinya organisme yang dipelihara. Dalam penelitian ini, penghitungan beban limbah yang dihasilkan oleh kegiatan budidaya terbatas pada senyawa Nitrogen. Hal ini didasarkan bahwa:

a. Dalam hal memacu pertumbuhan organisme yang dipelihara, maka para petani akan memberikan pakan yang memiliki kandungan protein yang tinggi pula. Sehingga sisa pakan yang tidak termanfaatkan dan feses dari organisme yang diduga juga mengandung protein yang tinggi akan mengendap di dasar perairan serta akan terurai menjadi senyawa amonia yang beracun bagi organisme yang dipelihara dan organisme disekitarnya. Selain itu, hal ini akan berdampak buruk bagi lingkungan pesisir itu sendiri.

b. Senyawa Nitrogen dalam beberapa bentuknya seperti Ammonia dan Nitrit memiliki toksisitas yang tinggi, sehingga kehadirannya dalam jumlah diluar ambang batas akan membahayakan ikan budidaya.

c. Senyawa Nitrogen dalam berbagai bentuk juga merupakan faktor pembatas (limiting factors) bagi produsen primer dalam sistem perairan laut.

Penelitian ini terbatas pada kegiatan pembesaran ikan kerapu dengan bobot 100 g sampai berat konsumsi yaitu 500 g, dengan lama pemeliharaan 6 bulan (180 hari). Alasan yang mendasari pembatasan ini adalah keumuman yang dipakai oleh para pengusaha perikanan dalam membudidayakan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA). Ukuran 1 unit keramba yang dipakai adalah 3 x 3 x 3 m3 dengan padat tebar 20 ekor/m3.

(53)

(Beveridge 1987, Barg 1992, dan Noor 2009) Pendugaan total N dan P mengacu pada metode Ackefors & Enell (1994), yaitu:

Dimana : kg N adalah loading Nitrogen ke dalam perairan; A adalah bobot basah ikan rucah yang digunakan (kg); B adalah bobot basah ikan kerapu yang diproduksi (kg); Cd adalah kandungan Nitrogen (CdN) dan fosphor (CdP) dari pakan yang diekspresikan sebagai % bobot basah; dan Cf adalah kandungan Nitrogen (CfN) dan fosphor (CfP) dari karkas ikan (% berat basah) diekspresikan sebagai % bobot basah.

Untuk menghitung loading total bahan organik yang masuk keperairan digunakan formula perhitungan yang mengacu pada formula Iwana (1991) in Barg (1992), dengan mengacu pada total pakan yang tidak dikonsumsi dan jumlah feses, dengan persamaan sebagai berikut :

TO = TU + TF

Dimana : TO = Total limbah bahan organik; TU = Total pakan yang tidak dimakan; dan TF = Total feses yang dibuang. Hasil dari perhitungan ini akan diketahui seberapa besar bahan organik yang masuk ke perairan teluk dari setiap unit keramba yang beroperasi.

3.3.3 Estimasi Laju Sedimentasi

Laju sedimentasi dinyatakan dalam satuan mg/cm3/hari (Rogers et al. 1994) dan dihitung dengan persamaan berikut :

Dimana: LS = laju sedimentasi (g/cm2hari) BK = berat sedimen kering (g);  = konstanta (3,14); dan r = jari-jari tabung sediment trap (2,5 cm).

3.3.4 Analisis Dispersi Limbah Padat dari KJA

(54)

dua dimensi horisontal (2D depth averaged model). Gaya penggerak arus yang ditinjau dalam model adalah pasang surut, angin monsoon, dan pasut. Faktor yang diperhatikan pada model transport zat pencemar adalah adveksi akibat arus, difusi turbulen, dan sumber pencemar (polutan) nitrat dan phosphat dari KJA. Asumsi yang diberlakukan pada model adalah sumber pencemar hanya berasal dari KJA dengan beban limbah konstan dan zat pencemar merupakan zat yang persisten (reaksi kimiawi dan proses pengurangnya akibat aktifitas biologi dianggap nol).

Pemodelan ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan budidaya laut dengan sistem KJA di perairan pesisir timur Pulau Pasi, dan bagaimana tingkat penyebarannya. Dari hasil pemodelan ini dapat diketahui intensitas kegiatan budidaya laut sistem KJA yang dapat dikembangkan dengan tanpa menimbulkan dapat negatif bagi lingkungan perairan maupun kesetabilan ekosistem alami perairan yang merupakan kawasan konservasi laut daerah.

Pola persebaran polutan merupakan fungsi konsentrasi polutan terhadap jarak. Dari hasil simulasi diperoleh output konsentrasi nitrat. Kemudian dibuat pola persebaran polutannya dengan membagi perairan menjadi beberapa segmen, dan menghitung kecepatan aliran untuk memperoleh jarak persebaran. Setelah mengetahui jarak persebaran, dapat dihitung besar konsentrasi polutan pada masing-masing jarak tersebut sehingga dapat diketahui pola persebaran polutannya. Untuk memperjelas visualisasi pola persebaran maka digunakan software pendukung yaitu Surface Water Modelling System (SMS) versi 8.1. modul RM2 dan RM4.

3.3.5 Analisis Dampak Bentik Limbah Padat KJA

Analisis dampak bentik dengan cara melihat struktur komunitas makrozoobentos

3.3.5.1 Kepadatan makrozoobentos

Untuk menghitung kepadatan populasi (K) makrozoobentos digunakan rumus (Brower et al. 1990):

(55)

Dimana: K = kepadatan populasi makrozoobentos (ind/m2); a = Jumlah individu suatu jenis makrozoobentos; dan b = Luas bukaan mulut Petersen Grab (m2).

3.3.5.2 Stabilitas Komunitas Makrozooentos

Stabilitas komunitas makrozooentos dinyatakan dengan indeks keanekaragaman (H’) dan Indeks dominansi (D).

a. Indeks keanekaragaman

Indeks keanekaragaman dihitung dengan rumus Indeks Shannon Wiener (Krebs 1972) :

Dimana : Hl = Indeks keanekaragaman; ni = Jumlah individu dalam genus ke –i; dan N = Total jumlah individu.

b. Indeks Dominansi (D)

Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan rumus indeks dominansi (Krebs 1972) :

Dimana : D = Indeks dominansi; ni = Jumlah individu ke – i; dan N = Total jumlah individu

3.3.6 Estimasi Daya Dukung Perairan bagi Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu dalam KJA

(56)

Dimana : Ec = Konsentrasi Nitrogen dalam air (mg/l); N = Jumlah Nitrogen yang masuk keperairan (g); F = Flushing time; dan V = Volume perairan (m3). Untuk Flushing time (F) itu sendiri dapat dihitung dengan rumus:

Dimana : D = Dilution rate; Vh = Volume perairan pada saat pasang tertinggi (m3); Vl = Volume perairan pada saat surut terendah (m3); dan T = Periode pasut (hari). Bila diketahui output limbah N hasil produksi dalam 1 unit KJA, maka akan dapat diketahui jumlah produksi ikan secara optimal. Nilai kapasitas optimal produksi budidaya ( ) dapat diestimasi dengan cara sebagai berikut:

Dimana : Prodopt = Produksi optimal yang dapat dicapai untuk setiap 1 hektar luasan perairan efektif; ( ) = Nitrogen baku mutu perairan (0,3 mg/l batas N yang disyaratkan); dan ( ) = Nitrogen limbah produksi ikan kerapu.

3.3.7 Zonasi Kegiatan Budidaya pada KKLD

Zona Perikanan Berkelanjutan, merupakan bagian dari zona pemanfaatan yang berupa areal batas kawasan, dengan batas-batas panjang mengikuti batas kawasan sebagai batas luar dan batas dalam sejauh-jauhnya 100 meter dari batas luar kawasan disesuaikan dengan kondisi wilayah. Zona ini difungsikan sebagai batas hidup sekaligus dimungkinkan adanya kegiatan masyarakat untuk menunjang kebutuhan berupa penangkapan, budidaya, kebutuhan kayu bakar, sarang burung, rekreasi pantai dan lain-lain.

(57)

perairan dan keberlanjutan manfaat sumberdaya budidaya itu sendiri. Zonasi berisikan pengaturan tata letak dan tata massa bangunan untuk sebuah kawasan perikanan budidaya laut yang terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Pengaturan ini dilakukan dengan didasarkan pada berbagai hasil pengamatan lapangan (kondisi eksisting), seperti estimasi beban limbah, laju sedimentasi, pola sebaran limbah, dan dampak bentik yang ditimbulkan oleh limbah KJA. Hasil pengaturan ini akan dilengkapi dengan peta-peta yang akan menjelaskan dimana letak pengaturan diterapkan dan juga dengan aturan-aturan yang mendukung proses pengimplementasian rencana tersebut. Zonasi yang digunakan dalam pengembangan kegiatan perikanan budidaya pada kawasan konservasi laut daerah adalah:

a. Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tingkat kegiatan

budidaya dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter sumber daya alam. Pembangunan sarana dan prasarana fisik untuk kegiatan budidaya yang umumnya tidak melebihi 10% luas kawasan zonasi ekstensif dan memperhatikan daya dukung lingkungan. Dalam zona ini kegiatan budidaya harus dapat dikontrol dan pembangunan sarana dan prasarana terbatas hanya untuk kegiatan budidaya, seperti keramba, rumah jaga, alur perahu.

b. Zona Penyangga (Buffer), yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian.
Tabel 1. Ragam Kerapu Budidaya.
Gambar 2  Zonasi pola sebaran limbah dan dampak benthik dari limbah KJA
Gambar 3 Lokasi  penelitian di perairan Pulau Pasi, Kab. Kepulauan Selayar,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemisahan tali serat non perlakuan dan perlakuan serta penimbangan.. Pengujian tali serat:

Pada penelitian tugas akhir ini digunakan Total Productivity Model, dimana semua faktor input yang mempengaruhi faktor output diukur produktivitas dan tingkat

Bobot nilai untuk setiap pernyataan yang mendukung (favorabel) bergerak dari empat sampai satu, dimana pilihan Pada kedua variabel memiliki enam kriteria jawaban

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam membentuk karakter Islami di SMA Negeri 9 Bandar Lampung dengan

A more important issue is to have a balanced input- and output-based practice to help learners develop language proficiency.. As for the input, Krashen (1987) elaborates that in

Penggunaan yang tercantum dalam Lembaran Data Keselamatan Bahan ini tidak mewakili kesepakatan pada kualitas bahan / campuran atau penggunaan yang tercantum sesuai dalam kontrak.

Dari data pengujian laju korosi diketahui bahwa pengelasan basah bawah air dengan salinitas 35‰ lebih tinggi di bandingkan dengan pengelasan basah bawah air dengan

AKI Sumatera Barat lebih tinggi terjadi pada kelompok ibu yang melahirkan pada usia < 20 tahun atau > 35 tahun, mempunyai paritas lebih dari 3, dan berpendidikan