• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spatial co-location pattern dari data cuaca dan kebakaran Hutan di rokan hilir, provinsi riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spatial co-location pattern dari data cuaca dan kebakaran Hutan di rokan hilir, provinsi riau"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

SPATIAL CO-LOCATION PATTERN

DARI DATA CUACA DAN

KEBAKARAN HUTAN DI ROKAN HILIR, PROVINSI RIAU

SERGI ROSELI

DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Spatial Co-location Pattern dari Data Cuaca dan Kebakaran Hutan di Rokan Hilir, Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(3)

ABSTRAK

SERGI ROSELI. Spatial Co-location Pattern dari Data Cuaca dan Kebakaran Hutan di Rokan Hilir, Provinsi Riau. Dibimbing oleh IMAS SUKAESIH SITANGGANG dan LAILAN SYAUFINA.

Salah satu permasalahan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kebakaran hutan di Indonesia adalah kekeringan yang dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Oleh karena itu, kondisi cuaca dan kebakaran hutan saling berkaitan. Pendekatan spatial co-location pattern dapat diterapkan untuk mengidentifikasi kondisi cuaca yang rentan mengalami kebakaran berdasarkan jarak antartitik pengamatannya dengan kemunculan titik panas. Penelitian ini bertujuan menerapkan algoritme co-location miner pada dataset cuaca dan kebakaran hutan di Rokan Hilir serta menganalisis pola co-location yang diperoleh. Dengan mengetahui kondisi cuaca pada titik pengamatan tertentu dan kemunculan titik panas di sekitar titik tersebut dapat diketahui daerah mana yang lebih rentan mengalami kebakaran akibat banyaknya titik panas yang muncul di sekitar titik pengamatan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan co-location pattern mining, diketahui nilai curah hujan yang membentuk kolokasi dengan kemunculan titik panas berada dalam rentang nilai 0.08 - 6.69 mm/hari, sedangkan temperaturnya berada dalam rentang nilai 22 oC – 29.17 oC. Pada rentang nilai curah hujan dan temperatur tersebut akan muncul titik panas pada radius 9.724 km dari titik pengamatan curah hujan dan temperatur. Sepanjang tahun 2008, titik panas di Rokan Hilir banyak ditemukan di Desa Sungai Kubu Kecamatan Kubu, Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tanah Putih, dan Desa Sungai Daun Kecamatan Pasir Limau Kapas dengan rata-rata curah hujan 3.65 – 3.71 mm/hari dan rata-rata temperatur 24.44 oC – 25.23 oC.

Kata kunci: algoritme co-location miner, co-location pattern mining, curah hujan, temperatur, titik panas

ABSTRACT

SERGI ROSELI. Spatial Co-location Pattern from Weather and Forest Fire Data in Rokan Hilir, Riau Province. Supervised by IMAS SUKAESIH SITANGGANG and LAILAN SYAUFINA.

(4)

addition, the temperature values which co-located with hotspot occurrences are in the range of 22 oC – 29.17 oC. Inside the intervals, hotspots will occur in the radius of 9.724 km from the precipitation and temperature observation points. In 2008, many hotspots were found on the three areas in Rokan Hilir, namely Desa Sungai Kubu Kecamatan Kubu, Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tanah Putih, and Desa Sungai Daun Kecamatan Pasir Limau Kapas with the average of precipitation around 3.65 – 3.71 mm/day and the average of temperature around 24.44 oC – 25.23 oC.

Keywords: co-location miner algorithm, co-location pattern mining, hotspot, precipitation, temperature

(5)

SPATIAL CO-LOCATION PATTERN

DARI DATA CUACA DAN

KEBAKARAN HUTAN DI ROKAN HILIR, PROVINSI RIAU

SERGI ROSELI

DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komputer

pada

(6)

Penguji:

(7)

Judul Skripsi : Spatial Co-location Pattern dari Data Cuaca dan Kebakaran Hutan di Rokan Hilir, Provinsi Riau

Nama : Sergi Roseli

NIM : G64100015

Disetujui oleh

Pembimbing I

Dr Ir Lailan Syaufina, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Buono, MSi MKom Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai laporan penelitian yang telah dilakukan penulis sejak bulan Januari 2014 dengan judul Spatial Co-location Pattern dari Data Cuaca dan Kebakaran Hutan di Rokan Hilir, Provinsi Riau.

Banyak pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam pelaksanaan dan penyelesaian tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1 Ayah dan ibu serta adik-adik penulis yang selalu memberikan dukungan, doa, serta mengingatkan agar tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.

2 Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom dan Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, MSc selaku dosen pembimbing I dan II yang selalu bersedia membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

3 Bapak Hari Agung Adrianto, SKom MSi selaku dosen penguji atas kesediaannya sebagai penguji pada ujian tugas akhir.

4 Bapak Dr Ir Agus Buono, MSi MKom selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan di Departemen Ilmu Komputer.

5 Umil, Indry, Colin, dan Ajeng yang bersama-sama mempelajari Python untuk menyelesaikan tugas akhir masing-masing.

6 Iin, Putri, dan Laura yang selalu saling memberikan dukungan dan bantuan pada penulis.

7 Teman-teman Ilkom 47 yang selama tiga tahun terakhir menjalani suka duka perkuliahan bersama dan senantiasa membantu penulis selama masa perkuliahan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(9)

DAFTAR ISI

Implementasi Algoritme Co-location Miner 5

Analisis Pola Co-location 6

Perangkat Penelitian 6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Praproses Data 6

Implementasi Algoritme Co-location Miner 8

(10)

DAFTAR TABEL

1 Tabel titik panas 7

2 Tabel curah hujan 7

3 Tabel temperatur 7

4 Pola co-location yang berukuran dua dari titik panas dan curah hujan 9 5 Pola co-location yang berukuran dua dari titik panas dan temperatur 9

6 Hasil percobaan nilai minimum prevalence 10

7 Pola co-location yang berukuran tiga 10

8 Nilai conditional probability 11

9 Hasil percobaan nilai minimum conditional probability 12

10 Hasil perhitungan korelasi Pearson 13

11 Nilai curah hujan dan temperatur yang banyak membentuk kolokasi

dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008 15

12 Tiga titik pengamatan curah hujan dan temperatur yang membentuk kolokasi terbanyak dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008 16

DAFTAR GAMBAR

1 Tahapan penelitian 5

2 Hasil plot data curah hujan dan titik panas 8

3 Hasil plot data temperatur dan titik panas 8

4 Pembagian tiga daerah iklim di Indonesia 12

5 Siklus curah hujan tahunan pada daerah A, B, dan C 13 6 Hasil plot pola co-location (titik panas dan curah hujan) bulan Agustus

2008 14

7 Hasil plot pola co-location (titik panas dan temperatur) bulan Agustus

2008 14

8 Tiga titik pengamatan curah hujan dan temperatur yang membentuk kolokasi terbanyak dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Potongan program co-location pattern mining menggunakan Python 19 2 Hasil praproses data titik panas di Rokan Hilir, Riau tahun 2008 21 3 Hasil praproses data cuaca di Rokan Hilir, Riau tahun 2008 hasil

pemodelan yang dilakukan oleh Sitanggang et.al (2013) 28

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara faktual kekayaan hutan Indonesia merupakan hutan tropis terbesar kedua di dunia setelah Brazil (Nasikhun 2013). Keberadaan hutan dengan berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya sangat penting sebagai paru-paru dunia. Akan tetapi, masalah yang sering muncul terhadap hutan-hutan di Indonesia adalah masalah kebakaran hutan. Penyebab kebakaran hutan dapat dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu alam dan campur tangan manusia. Di Indonesia, faktor manusia lebih banyak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Menurut Forest Fire Coordinator, Forest-Freshwater-and Terrestrial Species Program, WWF-Indonesia, Dedi Harini, penyebab utama kebakaran hutan dan lahan tak lain datang dari faktor manusia (Pamungkas 2012). Di Indonesia, faktor iklim sangat berperan dalam menentukan terjadinya kebakaran hutan serta perilaku api (Syaufina 2008). Terdapat beberapa faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan, misalnya faktor cuaca yang dapat mempengaruhi kelembapan tanah. Oleh karena itu, faktor pendukung kebakaran hutan juga penting untuk diketahui, dicegah, dan diantisipasi. Di sisi lain, kekeringan merupakan salah satu masalah yang sudah tidak asing lagi terjadi di Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi pada daerah dengan tipe iklim kering apalagi terkadang panjang musim kemarau juga tidak menentu bahkan lebih panjang daripada yang seharusnya. Terjadinya musim kemarau berkepanjangan dapat pula mengakibatkan sebagian daerah di Indonesia mengalami kekeringan. Faktor yang mempengaruhi kekeringan adalah curah hujan dan temperatur yang merupakan komponen dari data cuaca. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ada keterkaitan antara kondisi cuaca dan kebakaran hutan.

Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu wilayah yang sering mengalami kebakaran hutan di Riau. Pada bulan Agustus 2013, terdapat 468 titik panas yang muncul di Riau, 51 di antaranya terdapat di Rokan Hilir (BNPB 2013). Jumlah tersebut merupakan jumlah titik panas ketiga terbanyak yang muncul di antara seluruh kabupaten yang ada di Riau. Mayoritas kebakaran di Riau terjadi pada lahan gambut. Banyaknya lahan gambut yang mengalami kekeringan juga menjadi salah satu penyebab tingginya resiko kebakaran hutan di Riau. Keringnya lahan gambut tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk adanya campur tangan manusia, misalnya pembuatan kanal-kanal yang berfungsi untuk mengeringkan lahan gambut dari air. Kondisi tersebut akan menjadi lebih buruk jika pada saat bersamaan terjadi musim kemarau berkepanjangan sehingga sedikit sumber api saja dapat mengakibatkan kebakaran.

(12)

2

dari kondisi cuaca dan kejadian kebakaran hutan. Pola co-location tersebut dapat digunakan untuk mengetahui cuaca dan kejadian kebakaran hutan. Pola co-location tersebut dapat digunakan untuk mengetahui daerah yang berpotensi menimbulkan kebakaran hutan sehingga terjadinya kebakaran hutan dapat segera dicegah dengan efektif.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1 Bagaimana penerapan metode co-location pattern mining yang tepat pada dataset cuaca dan kebakaran hutan di Rokan Hilir, Riau?

2 Bagaimana pola co-location dari data cuaca dan kebakaran hutan di Rokan Hilir, Riau?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1 Menerapkan metode co-location pattern mining pada dataset cuaca dan kebakaran hutan di Rokan Hilir, Riau

2 Menganalisis pola co-location dari kondisi cuaca dan kebakaran hutan di Rokan Hilir, Riau

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah membantu proses pengambilan keputusan mengenai pencegahan kebakaran hutan dengan lebih efektif. Efektivitas pengambilan keputusan dapat ditingkatkan dengan mengetahui kondisi cuaca yang secara kolokasi menimbulkan tingginya kemunculan titik panas sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih dini.

Ruang Lingkup Penelitian

(13)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Titik Panas (Hotspot)

Hotspot adalah titik panas yang diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan (Heryalianto 2006). Pemantauan titik panas dilakukan dengan penginderaan jauh (remote sensing) dengan menggunakan satelit. Satelit yang biasa digunakan untuk pemantauan titik panas adalah satelit Natural Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang dilengkapi dengan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang dapat memberikan infromasi suhu di suatu wilayah. Pada citra yang dihasilkan satelit tersebut, sebuah pixel yang tinggi temperatur permukaannya mengindikasikan kebakaran disebut titik panas.

Sebuah titik panas dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya karena hal itu tidak menunjukkan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar (Heryalianto 2006). Jumlah titik panas dapat sangat bervariasi dari suatu pengukuran kemudian tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap), dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas). Kelompok titik panas yang berjumlah besar dan berlangsung secara terus-menerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran. Meskipun disebut titik panas, tidak semua titik panas merupakan actual fire. Oleh karena itu, data titik panas harus dianalisis lebih lanjut untuk menentukan apakah kebakaran akan benar-benar terjadi pada titik tersebut. Hal ini dilakukan untuk pendeteksian dini terhadap terjadinya kebakaran hutan.

Spatial Co-location Pattern

Spatial co-location pattern menggambarkan suatu pola yang menunjukkan adanya subsets dari sebuah himpunan boolean spatial feature yang anggotanya sering muncul secara bersamaan dalam ruang lingkup spasial. Pola yang digambarkan merepresentasikan hubungan antara events yang terjadi pada lokasi yang berbeda namun berdekatan. Output akhir yang dihasilkan dari pencarian spatial co-location pattern yaitu berupa spatial co-locationrules.

(14)

4

nilai prevalences dan conditional probabilities diatas nilai minimum prevalence dan minimum conditional probability yang ditentukan (Shekhar et al. 2004). Co-location pattern digunakan untuk membangkitkan co-location rules yang berbentuk prediksi terhadap kemunculan feature dengan nilai interestingness tertentu. Dalam algoritme co-location miner, awalnya setiap data akan diinisialisasi menjadi co-location set yang memiliki ukuran k=1, k merupakan jumlah anggota dari co-location set tersebut. Selanjutnya akan dibangkitkan prevalent co-location rules yang memiliki ukuran k=2 dan seterusnya hingga k=jumlah feature yang terdapat dalam data. Untuk setiap ukuran k > 1 akan dihitung participation index yang nantinya digunakan untuk membangkitkan co-location pattern pada ukuran k menggunakan spatial join neighbor relationship. Nilai participation index dapat diperoleh dengan menghitung nilai participation ratio (pr) terlebih dahulu, untuk ukuran-k co-location c = {f1,….., fk} rumusnya adalah (Shekhar et al. 2004):

pr(c, fi) =

πfi(|table_instance(c)|

|table_instace(fi)| (1)

� melambangkan hubungan ketetanggaan antarobjek pada feature yang diamati, c merupakan co-location, fi adalah feature ke-i yang diamati, dan |table_instance| menunjukkan tabel yang menyimpan nilai c dan fi pada (1).

Setelah mengetahui nilai participation ratio, nilai participation index dapat dihitung dengan mencari nilai minimum di antara participation ratio (pr) tersebut sebagai berikut (Shekhar et al. 2004):

pi(c) = mini=1k {pr c,fi } (2)

untuk ukuran-k colocation c = {f1,….,fk). Participation index (pi) menunjukkan signifikansi dari pola co-location yang terbentuk, pi diperoleh dari pr yang menunjukkan pengaruh suatu feature terhadap pembentukan sebuah pola co-location. Jika pada perhitungan pi dipilih nilai maksimum pr maka nilai pi akan cenderung besar sehingga menyebabkan biasnya nilai pi. Hal tersebut dikarenakan nilai pr yang kecil akan tertutupi oleh nilai pr yang besar sehingga nilai pi yang menunjukkan signifikansi pola menjadi bias. Pembentukan co-location rules dilakukan dengan menghitung nilai conditional probability dari setiap pola yang diperoleh sebelumnya dan membandingkannya dengan minimum conditional probability sebagai threshold. Rumus conditional probability adalah (Shekhar et al. 2004):

c1(table_instance(c1∪c2 ))|

|table_instace({c1})| (3)

� melambangkan hubungan ketetanggaan antarobjek pada feature yang diamati, c1 dan c2 berarti co-location berukuran satu dan co-location berukuran dua.

(15)

5

METODE PENELITIAN

Data dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data cuaca dan titik panas di kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2008. Data yang digunakan adalah data curah hujan (mm/hari) dan temperatur (K) bulanan berupa data grid yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan format .csv yang merupakan hasil pemodelan dan sudah diproses oleh sebelumnya oleh Sitanggang et al. (2013) serta data titik panas yang diperoleh dari FIRMS MODIS Fire/Hotspot, NASA/University of Maryland.

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penerapan algoritme co-location miner untuk menemukan pola co-location dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tahapan penelitian

Praproses Data

Pada tahap ini dilakukan praproses terhadap data curah hujan, temperatur dan titik panas di Rokan Hilir. Praproses data yang dilakukan adalah seleksi data. Seleksi data dalam tahapan praproses ini dilakukan dengan memilih atribut sesuai dengan kebutuhan analisis. Kemudian dilakukan penambahan beberapa atribut pada data agar data dapat saling terhubung untuk memudahkan proses implementasi.

Implementasi Algoritme Co-location Miner

Pada tahap ini diterapkan algoritme co-location miner terhadap data curah hujan, temperatur, dan titik panas di Rokan Hilir. Tahapan ini dilakukan dengan mengimplementasikan algoritme co-location miner menggunakan bahasa pemrograman Python. Pengolahan data dengan algoritme co-location miner menghasilkan pola co-location antara kemunculan titik panas dan kondisi cuaca

(16)

6

yang terjadi di Rokan Hilir. Pola ini kemudian digunakan untuk membangkitkan aturan co-location.

Analisis Pola Co-location

Pada tahap ini telah diperoleh hasil akhir berupa pola co-location dan aturan co-location yang kemudian akan dianalisis sehingga dapat diketahui hubungan antara kondisi cuaca dan kemunculan titik panas di Rokan Hilir berdasarkan pendekatan co-location pattern mining.

Perangkat Penelitian

Penelitian mengenai spatial co-location pattern ini dilakukan dengan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak sebagai berikut:

Perangkat keras berupa komputer personal dengan spesifikasi sebagai berikut:

Processor Intel Core i5-450M

• RAM 2 GB

• Monitor 14.0” HD LED LCD

Harddisk 640 GB

Mouse dan keyboard

Perangkat lunak:

• Sistem operasi Windows 7 Ultimate

• Python 3.3 sebagai bahasa pemrograman yang digunakan untuk mengolah data

• Quantum GIS 2.0.1 untuk analisis data spasial dan visualisasi

• Notepad++ sebagai text editor

• Microsoft Excel untuk pengolahan data

• PostgreSQL 9.1 untuk menyimpan data yang akan diolah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Praproses Data

(17)

7

implementasi. Tabel 1 menunjukkan tabel titik panas yang digunakan dalam penelitian ini. rnd12, dan rnd_ave. Atribut yang berawalan rnd berisi nilai curah hujan pada titik dan bulan tertentu, misalnya rnd01 menyatakan nilai variabel curah hujan pada bulan Januari tahun 2008.Sedangkan rnd_ave menyatakan nilai curah hujan rata-rata pertahun pada titik tertentu. Pada data curah hujan dilakukan pembuangan atribut the_geom karena tidak diperlukan dalam analisis hasil pola co-location. Tabel 2 menunjukkan tabel curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 2 Tabel curah hujan tscrn01, tscrn02, tscrn03, tscrn04, tscrn05, tscrn06, tscrn07, tscrn08, tscrn09, tscrn10, tscrn11, tscrn12, dan tscrn_ave. Atribut yang berawalan tscrn berisi nilai temperatur pada titik tertentu, misalnya tscrn01 menyatakan nilai variabel temperatur pada bulan Januari tahun 2008. Sedangkan tscrn_ave menyatakan nilai temperatur rata-rata pertahun pada titik tertentu. Pada data temperatur juga akan dilakukan penghapusan atribut the_geom karena tidak diperlukan dalam analisis hasil pola co-location. Tabel 3 menunjukkan tabel temperatur yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 3 Tabel temperatur tid long lat Nilai temperatur (K)

tscrn01 tscrn02 tscrn03 tscrn04 tscrn05 tscrn06 tscrn07 1 100.3 1.17 293.8 294.3 297.3 298 298.4 300.4 300.8

… … … …

62 100.5 2.60 296.6 296.6 298.98 300.2 300. 7 302 301.5 tscrn08 tscrn09 tscrn10 tscrn11 tscrn12 tscrn_ave

1 100.3 1.17 298.8 299.1 295.9 294.7 294.6 297.3

… … … …

(18)

8

Implementasi Algoritme Co-location Miner

Hasil praproses data yang telah disimpan ke dalam basis data selanjutnya digunakan untuk co-location pattern mining. Record data pada ketiga tabel awal (tabel titik panas, tabel curah hujan, dan tabel temperatur) yang tersimpan dalam basis data dianggap sebagai pola co-location yang berukuran satu sehingga terdapat tiga jenis pola co-location, yaitu titik panas, curah hujan, dan temperatur. Dalam penerapan algoritme co-location miner ini, hal utama yang diperhatikan adalah neighborhood relationship antarobjek pada masing-masing feature yang diamati. Dalam penelitian ini, neighborhood relationship tersebut ditentukan berdasarkan jaraknya. Untuk membangkitkan pola co-location yang berukuran dua, dilakukan perhitungan jarak Euclid dengan pendekatan kombinatorial. Setiap objek pada masing-masing feature dipasangkan dan dihitung jarak Euclidnya untuk menentukan bagaimana hubungan ketetanggaan antarobjek tersebut. Hal tersebut dilakukan karena hanya objek-objek bertetangga yang dapat membentuk kolokasi. Dalam penelitian ini, suatu pasangan objek dikatakan berkolokasi

apabila jarak antarobjek ≤ 0.0875 yang bermakna bahwa pasangan objek tersebut bertetangga. Nilai 0.0875 diperoleh dari jarak antartitik pada data curah hujan dan temperatur dibagi dengan dua. Data curah hujan dan temperatur yang merupakan data grid memiliki nilai koordinat yang sama, yang membedakan kedua data tersebut adalah feature yang diamati, yaitu nilai temperatur dan curah hujan. Dalam penelitian ini, variabel curah hujan dan temperatur dianggap sebagai faktor penyebab kemunculan titik panas sehingga yang akan dilihat adalah pola co-location antara faktor penyebab dan akibat yang muncul. Nilai jarak maksimum sebesar 0.0875 dipilih dengan asumsi bahwa kemunculan suatu titik panas akan dipengaruhi oleh tetangga terdekatnya yang merupakan objek dari variabel curah hujan dan temperatur sehingga setengah dari jarak antartitik pada data curah hujan dan temperatur akan menunjukkan nilai curah hujan dan temperatur yang mempengaruhi kemunculan titik panas di sekitarnya. Dalam hal ini, jarak maksimum dapat dikatakan sebagai nilai batasan jarak dari pengaruh suatu objek pada variabel curah hujan dan temperatur terhadap kemunculan titik panas. Gambar 2 dan 3 menunjukkan lokasi pengamatan dari nilai curah hujan dan temperatur serta lokasi kemunculan titik panas di Rokan Hilir pada tahun 2008.

Gambar 2 Hasil plot data curah hujan Gambar 3 Hasil plot data temperatur

(19)

9

Setelah ditentukan co-location yang berukuran satu, terjadi pembentukan kandidat co-location berukuran dua dengan cara mengombinasikan setiap objek pada tiap atribut titik panas dengan curah hujan dan titik panas dengan temperatur secara berpasangan. Apabila kandidat co-location yang terbentuk bukan tetangga maka akan dihapus dari tabel co-location berukuran dua. Tabel 4 dan 5 menggambarkan pola co-location berukuran dua yang terbentuk dari pasangan feature yang diamati.

Tabel 4 Pola co-location yang berukuran dua dari titik panas dan curah hujan hid (id titik panas) gid (id curah hujan)

1 20

3 20

… …

377 13

Tabel 5 Pola co-location yang berukuran dua dari titik panas dan temperatur hid (id titik panas) tid (id temperatur)

1 20

3 20

… …

377 13

Setelah diperoleh pola co-location yang berukuran dua, akan dihitung nilai participation index dengan menghitung nilai participation ratio nya terlebih dahulu untuk setiap pola co-location yang berukuran dua. Perhitungan participation ratio (pr) menggunakan persamaan (1) dan participation index (pi) menggunakan persamaan (2) terhadap pola co-location yang berukuran dua pada Tabel 4 dan 5 yaitu:

Nilai 282 pada perhitungan pr untuk Tabel 4 dan 5 diperoleh dari jumlah objek titik panas yang terbentuk pada pola co-location di Tabel 4 dan 5 sedangkan nilai 377 diperoleh dari jumlah total objek pada feature titik panas. Di sisi lain, nilai 26 pada perhitungan pr untuk Tabel 4 dan 5 diperoleh dari jumlah objek curah hujan dan temperatur pada Tabel 4 dan 5 sedangkan nilai 62 diperoleh dari jumlah total objek pada feature curah hujan dan temperatur. Participation index digunakan untuk melakukan pruning dengan membandingkan nilai participation index dengan minimum prevalence yang ditentukan pengguna. Pruning ini dilakukan untuk mengurangi jumlah kandidat co-location yang terbentuk pada ukuran berikutnya dengan memperbesar atau memperkecil nilai minimum prevalence. Untuk mengetahui nilai threshold terbaik, dilakukan beberapa

(20)

10

percobaan terhadap nilai minimum prevalence yang digunakan. Tabel 6 menunjukkan jumlah pola co-location berukuran tiga yang terbentuk dari pola co-location berukuran dua ketika dilakukan percobaan dengan menggunakan nilai minimum prevalence yang berbeda.

Tabel 6 Hasil percobaan nilai minimum prevalence

Minimum prevalence

Pola co-locaton berukuran dua Pola co-location berukuran tiga

Titik Panas-Curah jumlah pola yang terbentuk pada co-location yang berukuran tiga. Sedangkan perubahan nilai minimum prevalence dari 0.5 akan mengakibatkan perubahan jumlah pola co-location pada co-location berukuran tiga. Meskipun begitu, perubahan nilai minimum prevalence > 0.5 akan menghasilkan jumlah pola co-location yang sama dengan nilai minimum prevalence 0.5. Penggunaan data curah hujan dan temperatur yang berupa data grid pada penelitian ini mengakibatkan pola co-location yang terbentuk antara titik curah hujan dan titik panas-temperatur berjumlah sama karena posisi pengamatannya yang sama. Nilai participation index yang dimiliki oleh masing-masing pola pada co-location yang berukuran dua dapat menunjukkan bahwa jika nilai minimum prevalence ≥ 0.419 maka tidak akan terbentuk pola co-location berukuran tiga karena pola co-location berukuran dua tidak ada yang memenuhi nilai threshold yang ditentukan. Oleh karena itu, pemilihan minimum prevalence yang lebih baik adalah kurang dari 0.419, dengan begitu maka pola co-location yang berukuran tiga dapat terbentuk. Sedangkan untuk besarnya nilai minimum prevalence tidak perlu ditentukan secara spesifik dalam penelitian ini selama nilainya kurang dari 0.419 karena akan menghasilkan jumlah pola co-location yang sama. Dalam pembahasan ini digunakan nilai minimum prevalence 0.2.

Setelah dilakukan pruning menggunakan nilai minimum prevalence, hasil pruning tersebut akan digunakan sebagai kandidat co-location yang berukuran tiga. Dalam hal ini, pola co-location yang berukuran tiga akan dibangkitkan dari pola co-location berukuran dua, yaitu titik curah hujan dan titik panas-temperatur. Kandidat pola co-location yang terbentuk akan dievaluasi berdasarkan hubungan ketetanggaannya yang kemudian akan menghasilkan pola co-location berukuran tiga seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Pola co-location yang berukuran tiga

hid (id titik panas) gid (id curah hujan) tid (id temperatur)

1 20 20

… … …

(21)

11

Dalam penelitian ini, co-location pattern mining hanya akan dilakukan sampai terbentuk co-location yang berukuran tiga karena feature yang diamati ada tiga, yaitu titik panas, curah hujan, dan temperatur. Oleh karena itu, setelah diperoleh pola co-location berukuran tiga, dilakukan pembangkitan aturan co-location. Pembangkitan aturan co-location ini dilakukan untuk setiap iterasi pada pembentukan pola co-location dengan menghitung nilai conditional probability untuk setiap aturan yang terbentuk pada tiap iterasi dan membandingkannya dengan nilai minimum conditional probability sebagai threshold. Contoh perhitungan conditional probability (cp) menggunakan persamaan (3) terhadap aturan co-location yang dibangkitkan dari pola co-location yang terbentuk pada Tabel 4 yaitu:

Nilai 282 pada perhitungan cp diperoleh dari jumlah objek titik panas yang terbentuk pada pola co-location di Tabel 4 sedangkan nilai 377 berasal dari jumlah total objek pada feature titik panas. Di sisi lain, nilai 26 pada perhitungan cp diperoleh dari jumlah objek curah hujan pada Tabel 4 sedangkan nilai 62 diperoleh dari jumlah total objek pada feature curah hujan. Tabel 8 menunjukkan nilai conditional probability yang dimiliki oleh setiap aturan co-location yang mungkin terbentuk dari pola co-location.

Tabel 8 Nilai conditional probability

0.911 Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Temperatur

0.911 Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan

Untuk mengetahui nilai threshold terbaik, dilakukan beberapa percobaan terhadap nilai minimum conditional probability yang digunakan. Tabel 9 menunjukkan aturan co-location yang terbentuk jika dilakukan percobaan dengan menggunakan nilai minimum conditional probability yang berbeda.

Berdasarkan hasil pada Tabel 9, akan dipilih nilai minimum conditional probability yang lebih kecil dari 0.5, misalnya 0.3. Nilai minimum conditional probability yang kurang dari 0.5 akan menghasilkan aturan yang sama. Nilai minimum conditional probability tersebut dipilih karena pada nilai minimum conditional probability 0.5 dihasilkan aturan “Titik Panas  Curah Hujan” dan

“Titik Panas  Temperatur” dari pola co-location yang berukuran satu. Pada kedua aturan tersebut, titik panas bertindak sebagai penyebab awal sedangkan pada penelitian ini ingin dilihat bagaimana pengaruh curah hujan dan temperatur terhadap kemunculan titik panas. Dengan nilai minimum conditional probability 0.5 aturan tersebut tidak muncul sedangkan dengan nilai conditional probability 0.8 aturan yang muncul hanya berasal dari pola co-location berukuran dua. Perlu diperhatikan bahwa dalam co-location pattern mining menggunakan algoritme

(22)

12

location miner, aturan yang dibangkitkan hanya berupa feature yang diamati secara garis besar bukan berupa objek dari feature tersebut seperti yang digambarkan pada Tabel 9. Hal tersebut dikarenakan pada proses pruning menggunakan conditional probability, nilai yang diperhatikan adalah jumlah kemunculan objek dari feature tertentu yang muncul pada pola co-location yang terbentuk. Perhitungan conditional probability ini dilakukan untuk setiap iterasi dimulai dari iterasi kedua.

Tabel 9 Hasil percobaan nilai minimum conditional probability

Minimumconditional probability Aturan co-location

Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Temperatur Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan

0.3

Titik Panas Curah Hujan

Curah Hujan  Titik Panas Titik Panas  Temperatur Temperatur  Titik Panas

Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Temperatur Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan

0.5 Titik Panas Curah Hujan

Titik Panas  Temperatur

Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Tenperatur Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan

0.8 Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Tenperatur

Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan

Analisis Pola Co-location

Wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga daerah iklim berdasarkan siklus curah hujan tahunannya (Aldrian dan Susanto 2003). Gambar 4 menunjukkan pembagian daerah di Indonesia berdasarkan siklus curah hujannya.

Gambar 4 Pembagian tiga daerah iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003)

(23)

13

hujan, yaitu pada bulan Oktober/November/Desember dan Maret/April/Mei. Gambar 5 menunjukkan siklus curah hujan untuk masing-masing daerah.

Gambar 5 Siklus curah hujan tahunan pada daerah A, B, dan C (Aldrian dan Susanto 2003)

Iklim atau cuaca mempengaruhi kadar air bahan bakar hutan (Syaufina 2008). Bahan bakar yang dimaksud biasanya berasal dari pelapukan vegetasi dan material ranting-ranting. Rastioningrum (2004) menunjukkan bahwa unsur cuaca seperti suhu, kelembapan relatif, penguapan, lama penyinaran matahari, intensitas penyinaran matahari, kecepatan angin, dan curah hujan memengaruhi kadar air bahan bakar hutan secara terintegrasi. Kondisi kadar air yang rendah juga dapat menyebabkan kekeringan. Informasi mengenai kekeringan dapat digunakan untuk mengetahui resiko kebakaran hutan (Syaufina 2008). Kekeringan sangat erat kaitannya dengan curah hujan dan temperatur sehingga kedua faktor cuaca tersebut dapat digunakan sebagai indikator kemunculan titik panas.

Adanya keterkaitan antara kondisi cuaca dan kemunculan titik panas dapat dilihat melalui nilai korelasi antara variabel cuaca dan kemunculan titik panas. Perhitungan korelasi dilakukan antara variabel titik panas-curah hujan dan titik panas-temperatur. Tabel 10 menunjukkan hasil perhitungan korelasi yang telah dilakukan terhadap data titik panas, curah hujan, dan temperatur.

Tabel 10 Hasil perhitungan korelasi Korelasi Titik panas-curah hujan -0.067

Titik panas-temperatur 0.232

Berdasarkan Tabel 10, terjadinya hujan hanya berdampak sangat kecil terhadap kemunculan titik panas. Hal tersebut kemungkinan disebabkan kemunculan titik panas di Rokan Hilir yang banyak terjadi pada lahan gambut. Lahan gambut memiliki sifat irreversible drying sehingga jika lahan sudah kering tidak dapat menyerap air. Zamzami (2014) mengatakan bahwa 95.96% titik panas di Riau terjadi pada lahan gambut. Di sisi lain, suhu juga tidak secara langsung mempengaruhi kemunculan titik panas karena lahan yang kering membutuhkan waktu untuk proses pengeringannya. Hal tersebut menyebabkan suhu yang tinggi pada suatu waktu tidak akan langsung mempengaruhi jumlah titik panas pada waktu bersamaan.

(24)

14

menunjukkan hasil plot dari pola co-location antara titik panas, curah hujan, dan temperatur yang terbentuk pada bulan Agustus 2008.

Gambar 6 Hasil plot pola co-location (titik panas dan curah hujan) Agustus 2008

Gambar 7 Hasil plot pola co-location (titik panas dan temperatur) Agustus 2008

Jumlah titik panas yang muncul pada bulan Agustus merupakan jumlah yang paling banyak sepanjang tahun 2008, yaitu 125 titik. Berdasarkan siklus curah hujan tahunan untuk daerah Rokan Hilir, bulan Agustus merupakan salah satu bulan dengan tingkat curah hujan yang rendah. Pada Gambar 6, hanya terdapat dua titik pengamatan cuaca yang memiliki nilai curah hujan antara 2.8 – 3.6 mm/hari, ditandai dengan titik yang berwarna putih. Mayoritas titik panas yang muncul berkolokasi dengan titik pengamatan cuaca yang memiliki nilai curah hujan antara 3.6 – 4.4 mm/hari dan 4.4 – 5.2 mm/hari serta nilai temperatur antara 25.15 – 25.75 oC dan 25.75 – 26.45 oC. Tabel 11 menunjukkan beberapa nilai curah hujan dan temperatur yang membentuk kolokasi dengan banyak titik panas dari bulan Januari hingga Desember. Nilai tersebut dapat digunakan sebagai

(25)

15

indikator kemunculan titik panas yang tinggi dan juga berimplikasi terhadap jumlah kadar air bahan bakar hutan.

Tabel 11 Nilai curah hujan (mm/hari) dan temperatur (oC) yang banyak membentuk kolokasi dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008

Pola

Bulan

Januari Februari

Curah hujan Temperatur Curah hujan Temperatur

min max avg min max avg min max avg min max avg

1 0.5 5.9 3.9 21.55 27.45 24.55 0.4 5.9 3.7 21.85 26.85 24.35

2 0.3 6.3 3.7 21.85 28.85 25.15 0.6 5.9 3.7 21.85 26.65 24.35

3 0.6 5.9 3.7 21.85 26.65 24.35 0.4 5.3 3.4 21.85 27.55 24.75

Maret April

Curah hujan Temperatur Curah hujan Temperatur

min max avg min max avg min max avg min max avg

1 0.6 5.9 3.7 21.85 26.65 24.35 0.4 5.9 3.7 21.85 26.85 24.35

2 0.5 5.7 3.7 21.65 27.45 24.55 0.5 5.9 3.8 21.55 27.35 24.55

Mei Juni

Curah hujan Temperatur Curah hujan Temperatur

min max avg min max avg min max avg min max avg

1 0.5 5.9 3.9 21.55 27.45 24.55 0.4 5.9 3.7 21.85 26.85 24.35

2 0.4 5.9 3.7 21.85 26.85 24.35 0.4 5.8 3.8 21.55 27.55 24.55

3 0.3 6.3 3.7 21.85 28.85 25.15 0.4 5.3 3.4 21.85 27.55 24.75

Juli Agustus

Curah hujan Temperatur Curah hujan Temperatur

min max avg min max avg min max avg min max avg

1 0.6 5.9 3.7 21.85 26.65 24.35 0.6 6 3.8 21.65 26.95 24.45

2 0.3 6.3 3.7 21.85 28.85 25.15 0.3 6.3 3.7 21.85 28.85 25.15

3 0.5 5.9 3.8 21.55 27.35 24.55 0.4 5.9 3.7 21.85 26.85 24.35

September November

Curah hujan Temperatur Curah hujan Temperatur

min max avg min max avg min max avg min max avg

Berdasarkan pola co-location yang terbentuk antara titik panas, curah hujan, dan temperatur, diketahui bahwa nilai curah hujan yang membentuk kolokasi dengan kemunculan titik panas berada dalam rentang nilai 0.08 - 6.69 mm/hari, sedangkan temperaturnya berada dalam rentang nilai 21.41 oC – 29.12 o

C. Dari hasil itu dapat disimpulkan bahwa titik panas akan muncul di sekitar titik pengamatan cuaca yang memiliki nilai curah hujan dan temperatur dalam rentang nilai tersebut dengan radius 0.0875 degree atau kira-kira 9.724 km.

(26)

16

dan temperatur yang membentuk cukup banyak kolokasi dengan kemunculan titik panas, titik pengamatan tersebut ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Tiga titik pengamatan curah hujan dan temperatur yang membentuk kolokasi terbanyak dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008

Longitude Latitude Rata-rata

Informasi mengenai lokasi serta nilai curah hujan dan temperatur yang diperoleh dari hasil co-location pattern mining dapat digunakan untuk mengetahui daerah mana di Rokan Hilir yang kemunculan titik panasnya tinggi sehingga penanggulangan maupun pencegahan dapat segera dilakukan. Kondisi cuaca yang membentuk pola co-location terbanyak juga dapat diketahui melalui hasil co-location pattern mining seperti yang dijelaskan pada Tabel 12. Gambar 8 menunjukkan lokasi pengamatan curah hujan dan temperatur yang terdapat pada Tabel 12.

Gambar 8 Tiga titik pengamatan curah hujan dan temperatur yang membentuk kolokasi terbanyak dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008

Keterangan :

titik panas

curah hujan dan temperatur Keterangan :

titik panas

(27)

17

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dengan menggunakan algoritme co-location miner dapat diketahui kondisi cuaca yang kemunculan titik panasnya tinggi di sekitar titik pengamatan cuacanya dalam radius 9.724 km. Selain itu dapat diketahui juga lokasi mana yang perlu diwaspadai terlebih dahulu karena tingginya tingkat kemunculan titik panas. Dengan informasi tersebut pengambilan keputusan untuk pencegahan maupun penanggulangan kebakaran hutan dapat dilakukan dengan lebih efektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan co-location pattern mining, diketahui nilai curah hujan yang membentuk kolokasi dengan kemunculan titik panas berada dalam rentang nilai 0.08 – 6.69 mm/hari, sedangkan temperaturnya berada dalam rentang nilai 22 oC – 29.17 oC. Berdasarkan pola co-location yang diperoleh dari data titik panas, curah hujan, dan temperatur tahun 2008, daerah Rokan Hilir yang perlu diwaspadai adalah Desa Sungai Kubu Kecamatan Kubu, Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tanah Putih, dan Desa Sungai Daun Kecamatan Pasir Limau Kapas. Pada wilayah tersebut terjadi kemunculan titik panas yang tinggi dengan rata-rata curah hujan 3.65 – 3.71 mm/hari dan rata-rata temperatur 24.44 oC – 25.23 oC sehingga peluang terjadinya kebakaran di wilayah tersebut lebih tinggi dibanding wilayah lain di Rokan Hilir.

Berdasarkan hasil percobaan, pengaruh pruning dengan threshold minimum prevalence dan minimum conditional probability tidak begitu terlihat. Hal ini disebabkan oleh penggunaan data grid curah hujan dan temperatur pada penelitian ini sehingga sulit untuk melihat pengaruh dari pruning pada algoritme dikarenakan kedua data tersebut akan memiliki nilai minimum prevalence yang sama jika berkolokasi dengan titik panas.

Saran

(28)

18

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. International Journal of Climatology [Internet]. [diunduh 2014 Mei 8] 23: 1435–1452. Tersedia pada: www.researchgate.net/publication/236846655_ Identification_of_three_dominant_rainfall_regions_within_indonesia_and_t heir_relationship_to_sea_surface_temperature/file/9c960526a656a13310.pdf [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2013. Data titik panas

Provinsi Riau versi satelit NOAA-18 (Bulan Agustus 2013) [Internet]. [diacu 2014 Juni 5]. Tersedia dari : http://geospasial.bnpb.go.id/

monitoring/hotspot/.

Heryalianto SC. 2006. Studi tentang sebaran titik panas (hotspot) sebagai penduga kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat tahun 2004 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nasikhun U. 2013. Ketergantungan dunia akan hutan Indonesia [Internet]. [diacu 2013 November 22]. Tersedia dari : http://green.kompasiana.com/iklim/2013 /2013/04/03/ketergantungan-dunia-akan-hutan-indonesia-541907.html.

Pamungkas A. 2012. Mencari solusi ditengah kebakaran hutan di Indonesia

[Internet]. [diacu 2013 November 23]. Tersedia dari :

http://www.wwf.or.id/?26222/Mencari-Solusi-Di-Tengah-Kebakaran-Hutan-Di-Indonesia.

Rastioningrum W. 2004. Hubungan unsur-unsur iklim dengan kadar air dalam proses pengeringan bahan bakar di hutan sekunder Jasinga dan perilaku api [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Shekhar S, Huang Y. 2001. Discovering spatial co-location patterns :

a summary results. Advances in Spatial and Temporal Databases [Internet]. [diunduh 2013 September 11]; 2121: 236-256. Tersedia pada: http://www.spatial.cs.umn.edu/paper_ps/sstd01.pdf

Shekhar S, Huang Y, Xiong H. 2004. Discovering co-location patterns from spatial datasets : a general approach. IEEE Transactions on Knowledge and Data Engineering [Internet]. [diunduh 2013 November 27]; 16(12): 1472-1485. Tersedia pada: http://www.spatial.cs.umn.edu/paper_ps/coloc-tkde.pdf

Sitanggang IS, Yaakob R, Mustapha N, Ainuddin AN. 2013. Predictive models for hotspots occurences using decision tree algorithms and logistic

regression. Journal of Applied Sciences. 13(2): 252-261.

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Perilaku Api, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia Publishing.

Zamzami. 2014. Bara lahan gambut terus membakar habitat harimau. [Internet]. [diacu 2014 Juli 18]. Tersedia dari: http://www.mongabay.co.id/2014/02/ 25/bara-lahan-gambut-riau-terus-membakar-habitat-harimau/

(29)

19

Lampiran 1 Potongan program co-location pattern mining menggunakan Python

(30)
(31)

21

(32)
(33)

23

(34)
(35)
(36)
(37)
(38)

28

Lampiran 3 Hasil praproses data cuaca di Rokan Hilir, Riau tahun 2008 hasil pemodelan yang dilakukan oleh Sitanggang et.al (2013)

Data curah hujan

(39)

29

Data temperatur

(40)

30

Lampiran 4 Peta Rokan Hilir, Riau

Keterangan :

curah hujan dan temperatur

Keterangan :

titik panas

(41)

31

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 24 Mei 1992 dari pasangan Bapak Rojaya dan Ibu Elly Herawati. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 2010, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cirebon dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Gambar

Gambar 1 Tahapan penelitian
Tabel 1 Tabel titik panas
Gambar 2 dan 3 menunjukkan lokasi pengamatan dari nilai curah hujan dan
Tabel 6 Hasil percobaan nilai minimum prevalence
+7

Referensi

Dokumen terkait

Activity Diagram ini befungsi untuk melakukan pendaftaran pada sistem agar dapat mengakses sistem secara bebas, baik itu halaman berita, gis maupun data Kantor

Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM), selama 2014 OJK telah melakukan pengawasan terhadap kegiatan pasar modal berupa

Hasil pengukuran kinerja Poltekkes Kemenkes Jakarta III pada tahun 2020 berdasarkan 16 (enam belas) indikator utama diperoleh bahwa capaian kinerja

(H8) Perceived Usefulness (PU) atau persepsi manfaat menggunakan televisi internet memiliki hubungan yang negatif terhadap Expand Motivation (EM) atau motivasi untuk

Perancangan piranti visi komputer ini dilakukan menggunakan kamera statis dan metode bounding box untuk menentukan volume lalu lintas berdasarkan jenis kendaraan yaitu

Pada simulasi, dengan menggunakan nilai parameter kontroler PID konstan pada Tabel 1 dan Tabel 2 diperoleh respon translasi dan rotasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11

Dengan model tersebut akan dapat ditentukan pola pertumbuhan biomassa rumput laut Gracillaria dengan carrying capacity bergantung waktu sehingga dapat membantu masyarakat

Putus sekolah anak SD ini, lanjutnya menjadi penyumbang terbesar bagi bertambahnya jumlah buta aksara di Indonesia karena menurut penelitian UNESCO, jika peserta