• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rencana penataan kawasan wisata berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara (Kasus Sub DAS Naborsahon)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rencana penataan kawasan wisata berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara (Kasus Sub DAS Naborsahon)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

RENCANA PENATAAN

KAWASAN WISATA BERKELANJUTAN

DI DANAU TOBA SUMATERA UTARA

(Kasus: Sub DAS Naborsahon)

SITI ZULFA YUZNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rencana Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2008

Siti Zulfa Yuzni

(3)

ABSTRACT

SITI ZULFA YUZNI. Sustainable Spatial/Landscape Management Plan of Lake Toba Tourism Region at North Sumatra (Case: Sub River Basin of Naborsahon). Advisors: Siti Nurisjah and Lilik Budi Prasetyo

Lake Toba is the biggest lake in South East Asia, in the middle of which Samosir Island occurs, is located at 906-1800 m above sea level with mountainous landscape providing natural freshness and lake visual potential. The natural beauty of Lake Toba makes this region one of potential tourism spots, locally and internationally. Nowadays, both physical and visual scenic qualities of this region have been declining which are affected by the increasing number of visitation and mushrooming of tourism infrastuctures. The research objectives were to identify and analyze the ecological suitability and tourism resources of Lake Toba, local people and government participation in supporting tourism development, and finally to design sustainable tourism landscape management plan of Lake Toba. Research was done at Naborsahon sub river basin situated in Lake Toba Water Catchment Area and nowadays are fulfill with tourism activities and accommodation. Observation was applied toward five purposively sampled villages that represented upstream, middle and downstream regions. The research used three type of analysis which are qualitative descriptive method to classified the tourism potential area; spatial method to classified sustainability tourism areas based on ecological sensitivity, social economy opportunity for the locals, and potential tourism area; and finally Analysis Hierarchy Process was used to set, spatially, developmental priorities for deciding which area could be developed or protected. The result shows that upstream and middle areas of Naborsahon sub river basin are classified as protection zone which can only be used for strongly green type of tourism with no construction area; and downstream area as non protective which can be planned and designed as tourism zone intensively as well as extensively. Suitable tourism resource planning and management should be carried out to each of tourism development regions to gain its sustainability.

(4)

RINGKASAN

SITI ZULFA YUZNI. Rencana Penataan Kawasan Wisata yang Berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon). Dibimbing oleh SITI NURISJAH dan LILIK BUDI PRASETYO.

Danau Toba terletak di Propinsi Sumatera Utara, Indonesia dan tercatat sebagai danau air tawar terbesar di Asia Tenggara dan salah satu danau yang terdalam di dunia (lebih dari 500 m) yang ditengahnya terdapat Pulau Samosir dan pada saat ini diusulkan sebagai World Heritage. Kondisi topografi Danau Toba berada pada ketinggian 906 - 1800 m dpl didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan kenyamanan fisik berupa temperatur udara yang sejuk dan potensi visual danau. Sumberdaya danau dan pegunungan memberikan daya tarik bagi perkembangan wisata, yaitu berupa pemanfaatan kawasan danau dan pegunungan baik secara fisik maupun visual. Keindahan alam Danau Toba menjadikan kawasan ini menjadi daerah kunjungan wisata yang sangat potensial, dan telah berkembang menjadi kawasan wisata yang populer baik dalam skala nasional maupun internasional.

Pada saat ini kawasan Danau Toba telah mengalami kerusakan fisik, visual dan ekologis sehingga terus cenderung menurun kualitasnya. Bila hal tersebut tidak dicegah, dapat menurunnya kualitas fisik danau dan kualitas sumberdaya wisata sehingga berdampak terhadap jumlah kunjungan wisata dan selanjutnya akan menurunkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini merencanakan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan, yang bertujuan untuk (1) identifikasi dan analisis potensi ekologis danau dan potensi wisata, (2) identifikasi dan analisis keikutsertaan masyarakat lokal dan pemerintah dalam mendukung pengembangan kawasan wisata, dan (3) Merencanakan penataan kawasan wisata Danau Toba yang berkelanjutan (sustainable tourism).

Penelitian dilakukan di sub DAS Naborsahon yang berada di dalam Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba dan pada saat ini penuh dengan aktivitas dan akomodasi wisata. Observasi dilakukan terhadap lima desa yang mewakili daerah hulu, tengah dan hilir, yaitu desa Sipangan Bolon, Girsang, Parapat, Tigaraja dan Pardamean Ajibata. Penelitian ini memakai tiga model analisis, yaitu metode deskriptif kualitatif untuk mengklasifikasi kawasan potensi wisata, metode spasial digunakan untuk kawasan wisata berkelanjutan berdasarkan kepekaan lingkungan, sosial ekonomi masyarakat dan potensi wisata, dan yang terakhir adalah metode Analisis Hierarki Proses (AHP) digunakan untuk menentukan skala prioritas dalam pengembangan kawasan wisata secara spasial.

(5)

berkembang sejak dahulu sebagai daerah wisata dan masyarakat sangat tergantung pada kegiatan tersebut untuk menambah pendapatan.

Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya wisata yang sesuai sebaiknya dilakukan terhadap wilayah pengembangan wisata untuk mencapai wisata berkelanjutan. Arahan program pengembangan menggunakan pendekatan prinsip edukasi pada pengunjung dan masyarakat, program peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelestarian alam dan budaya setempat. Tahap selanjutnya berupa rencana pengembangan green infrastructure pendukung wisata untuk memenuhi tingkat kepuasan pengunjung di kawasan wisata tersebut. Rencana pengembangan

green infrastructure berupa pembangunan fasilitas yang berwawasan lingkungan.

(6)

Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

RENCANA PENATAAN

KAWASAN WISATA BERKELANJUTAN

DI DANAU TOBA SUMATERA UTARA

(Kasus: Sub DAS Naborsahon)

SITI ZULFA YUZNI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Rencana Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara

(Kasus: Sub DAS Naborsahon) Nama : Siti Zulfa Yuzni

NIM : A251060041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Diketahui

Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Nizar Nasrullah, MAgr.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 3 November 2008 Tanggal Lulus : Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA.

Ketua

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2008 ini adalah perencanaan wisata, dengan judul ’Rencana Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA dan Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Afra DN. Makalew, MSc selaku penguji tesis yang telah banyak memberi saran, Bapak Dr. Ir. Nizar Nasrullah,M.Agr selaku ketua program studi Arsitektur Lanskap, staf dosen arsitektur lanskap atas ilmu, bimbingan dan arahannya, dan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan beasiswa program pascasarjana (BPPS) selama studi S2, serta Yayasan Dana Mandiri yang telah memberi dana bantuan penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu dari BPDAS Asahan-Barumun, BAPEDALDA Propinsi Sumatera Utara, BAPPEDA Kab. Simalungun, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah dan Ibu, abang dan kakak, serta rekan-rekan yang telah membantu baik moril maupun materiil dari awal studi hingga terselesaikannya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, November 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Gunung Bayu pada tanggal 3 Pebruari 1970 dari ayah alm M. Yuzad dan ibu almh Hj. Nuraini Nasution. Penulis merupakan putri ketujuh dari tujuh bersaudara.

Tahun 1989 penulis menyelesaikan sekolah di SMA Negeri I Perdagangan dan melanjutkan studi ke Universitas Medan Area, Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1 pada tahun 1995, dan pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan Strata-2 di Sekolah Pascasarjana IPB dengan program studi Arsitektur Lanskap atas bantuan beasiswa program pascasarjana (BPPS) dari Dikti.

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan sedangkan obyek yang sudah dikembangkan juga belum optimal dan banyak yang rusak secara fisik, visual dan ekologisnya sehingga tidak berfungsi dengan baik. Inilah yang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan nilai manfaat sumberdaya wisata bagi daerah yang berupaya memacu perkembangan pariwisata dan redistribusi bagi masyarakatnya, karena potensi daya tarik wisata merupakan salah satu yang terpenting di dalam industri pariwisata.

Sektor pariwisata menunjukkan perkembangan dan kontribusi ekonomi yang cukup menarik sebagai sumber pendapatan negara. Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia (WTO 2000), melibatkan 657 juta kunjungan wisata ditahun 1999 dengan penerimaan $455 milyar seluruh dunia. Tahun 2010 jumlah kunjungan antar negara ini diperkirakan akan meningkat mencapai 937 juta orang. Berdasarkan data pariwisata, perkembangan jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia sejak lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001 jumlah wisatawan sebanyak 5.153.260 orang dan menurun sampai tahun 2003 menjadi 4.467.020 orang. Pada tahun 2004 meningkat menjadi 5.321.160 orang dan turun kembali menjadi 5.006.790 orang pada tahun 2005. Penurunan jumlah wisatawan karena adanya berbagai peristiwa yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan wisata, yaitu mulai dari peristiwa kecelakaan pesawat, bom Bali, kabut asap sampai peristiwa tsunami dan yang terakhir adanya isu akan terjadi letusan besar di Danau Toba.

(13)

Wisata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan relatif cepat dengan meningkatan pendapatan, meningkatkan standar hidup dan menstimulasi sektor-sektor produktivitas lainnya (Nurisyah et al. 2003). Kegiatan wisata juga mampu memberikan sumbangan pendapatan kepada pemerintah daerah melalui pajak dan retribusi. Selain itu, pariwisata dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan bagi penduduk lokal dan menarik investor dari luar daerah ini (Rosyidie 2000).

Selain dampak positif, wisata juga dapat berdampak negatif bagi kawasan. Kurangnya perencanaan dalam mengelola kawasan wisata menyebabkan berbagai dampak yang sangat merugikan. Umumnya dampak tersebut mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan yang selanjutnya diikuti dengan berubahnya budaya masyarakat setempat (Inskeep 1991). Penurunan kualitas lingkungan dan budaya akan memacu berkurangnya permintaan pasar terhadap wisata di kawasan tersebut, selanjutnya memberikan kerugian ekonomi bagi kawasan tersebut.

Kawasan Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara telah berkembang menjadi kawasan wisata yang populer baik dalam skala nasional maupun internasional. Pada saat ini Danau Toba merupakan destinasi pariwisata unggulan (DPU) (istilah DTW kini diganti menjadi DPU) memiliki keindahan visual dan kegiatan rekreasi berbasis air, telah mengalami kerusakan fisik, visual dan ekologis sehingga terus cenderung menurun kualitasnya. Hal ini disebabkan karena banyaknya lahan gundul disekeliling danau, tidak teraturnya pembangunan fisik (seperti hotel, restauran, dan lain-lain) yang telah melalui batas tepi danau dan masuknya sampah dan limbah ke dalam danau yang mengakibatkan penurunan kualitas air. Sampah dan limbah yang masuk ke danau berasal dari limbah domestik/perhotelan, limbah pertanian, limbah budidaya perikanan (jaring apung) dan limbah minyak yang berasal dari aktivitas transportasi air. Kondisi ini mengakibatkan beban ekosistem Danau Toba akan semakin berat dan pada akhirnya akan merugikan semua pihak yang berkepentingan (Barus 2007).

(14)

pesat aktivitas wisata pada kawasan tersebut sejak dahulu, yaitu dengan pemanfaatan kawasan pegunungan baik secara fisik maupun visual.

Kawasan wisata yang secara ekologis sebagian besar berada di bagian hilir sub DAS Naborsahon saat ini menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan fungsi pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam. Bila hal tersebut tidak dicegah maka kerusakan lebih lanjut dari sumberdaya danau ini adalah, dapat mengakibatkan menurunnya kualitas fisik danau dan kualitas sumberdaya wisata sehingga akan berdampak terhadap jumlah kunjungan wisata. Dampak selanjutnya akan menurunkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang saat ini sebagian besar hidup dari kegiatan wisata ini.

Kondisi ekosistem Danau Toba (tanah, air, vegetasi dan manusia) tak lepas dari pengaruh kondisi 19 sungai yang mengalir masuk ke dalam Danau Toba (LTEMP 2004). Dari hasil pra-survei di lapangan diperoleh bahwa daerah aliran sungai (DAS) telah mengalami perubahan, yaitu banyak sungai yang tidak berfungsi lagi dengan baik dan kondisinya sangat kritis. Kegiatan pembangunan pada sektor pertanian, kehutanan, perikanan, pariwisata dan industri di daerah tangkapan air Danau Toba telah mengakibatkan perubahan penggunaan lahan yang selanjutnya juga menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi ekologis, ekonomi, dan estetika kawasan Danau Toba.

Pengembangan wisata yang berwawasan lingkungan di kawasan Danau Toba merupakan salah bentuk pendekatan yang dikembangkan untuk mewujudkan kawasan Danau Toba yang berkelanjutan. Pengembangan kawasan wisata harus selalu melindungi sumberdaya yang ada karena penting sekali bagi keberhasilan wisata yang harus memperlihatkan kualitas asli atau lokal dari suatu tempat. Menurut Gunn (1994), pengembangan daerah wisata harus memperhatikan semua sumber daya alam dan budaya serta lingkungan agar tidak terjadi degradasi. Melalui rencana penataan ini diharapkan kawasan Danau Toba yang memiliki potensi wisata yang tinggi akan dapat dilestarikan.

1.2. Perumusan Masalah

(15)

batas awas. Masalah ini muncul terutama karena aktivitas sosial dan ekonomi yang dilakukan masyarakat tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan kelestarian, yang berarti dapat mengancam ekosistem dan keindahan visual danau dan berakibat buruk terhadap keberadaannya sebagai destinasi pariwisata unggulan (DPU) di Indonesia. Sampai dengan saat ini, dalam pengembangan potensi wisata tersebut terdapat beberapa permasalahan dasar: 1. Kawasan danau merupakan ekosistem yang rentan terhadap pembangunan,

yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan kualitas visual danau.

2. Masyarakat dan Pemda secara berlebihan mengekploitasi sumber daya danau untuk tujuan bisnis dan ekonomi.

3. Pada saat ini penataan kawasan wisata belum berbasis pembangunan yang berkelanjutan.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian untuk merencanakan penataan kawasan wisata berkelanjutan, yaitu suatu kawasan wisata yang sesuai dengan daya dukung, sumber daya alam dan lingkungan, kepuasan wisatawan dan memberikan dampak ekonomi dan sosial yang positif bagi masyarakat lokal. Tujuan khusus penelitian adalah:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi ekologis sumberdaya danau 2. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi obyek dan atraksi wisata

3. Mengidentifikasi dan menganalisis keikutsertaan masyarakat lokal dan pemerintah dalam mendukung pengembangan kawasan wisata.

4. Merencanakan penataan kawasan wisata Danau Toba yang berkelanjutan (sustainable tourism).

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki nilai manfaat sebagai berikut: 1. Menjadi masukan dan pertimbangan bagi Pemda Sumatera Utara untuk

pengembangan dan penataan kawasan wisata Danau Toba berkelanjutan. 2. Menjadi bahan pertimbangan bagi Pemda Sumatera Utara dan instansi lainnya

(16)

3. Sebagai bahan pertimbangan dalam usaha melestarikan lingkungan danau dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

1.5. Kerangka Pikir Penelitian

Danau Toba merupakan suatu unit lanskap alami yang telah menjadi kawasan wisata dan merupakan salah satu potensi wisata yang ada di Indonesia. Danau Toba pada saat ini sedang menghadapi permasalahan, yaitu terjadinya perubahan lingkungan, yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan kualitas visual danau, pencemaran, perubahan iklim (LTEMP 2004). Permasalahan ini menjadi dasar pemikiran pada penelitian, yaitu dengan mengkaji kesesuaian kawasan Danau Toba sebagai kawasan wisata yang berbasis pada sumberdaya alam dan sumberdaya air. Kajian ini dilatar belakangi oleh adanya kecenderungan pemanfaatan kawasan yang berlebihan dari masyarakat dan pemerintah daerah untuk tujuan bisnis, karena penataan kawasan wisata tidak berbasis pembangunan yang berkelanjutan sehingga terjadi perubahan pada kawasan wisata tersebut.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, kajian ini diawali dengan menganalisis aspek ekologis sub DAS yang diukur berdasarkan bahaya ekologis. Kajian ini dilanjutkan dengan menganalisis aspek sosial ekonomi masyarakat yang meliputi dukungan masyarakat terhadap kawasan wisata dan selanjutnya adalah analisis tentang aspek potensi wisata. Dari tiga aspek tersebut masing-masing diperoleh zona kesesuaian wisata terhadap daya dukung ekologis, peluang sosial ekonomi masyarakat dan potensi obyek atraksi wisata.

(17)

KAWASAN WISATA DANAU TOBA POTENSI WISATA DI INDONESIA

Wisata Berkelanjutan

Aspek Ekologis sub DAS

Aspek Wisata Aspek Sosial Ekonomi

Masyarakat

Prioritas Pengelolaan PERMASALAHAN

1. Kawasan danau merupakan ekosistem yang rentan terhadap pembangunan, yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan kualitas visual danau.

2. Masyarakat dan Pemerintah Daerah secara berlebihan mengekploitasi sumber daya danau untuk tujuan bisnis dan ekonomi.

3. Pada saat ini penataan kawasan wisata tidak berbasis pembangunan yang berkelanjutan.

Bahaya Ekologis:

 Fisik sub DAS

 Kualitas air

Potensi Wisata:

 Obyek dan Atraksi

 Aksesibilitas

Zona Daya Dukung Ekologis

Zona peluang Sosial Ekonomi Masyarakat

Zona Potensi Obyek & Atraksi Wisata

Kawasan Wisata Berkelanjutan Dukungan masyarakat:

 Akseptibilitas

 Peluang ekonomi

Zona Pengembangan Wisata Intensif

Zona Pengembangan

Wisata Ekstensif Zona Lindung

Rencana Kawasan Wisata Berkelanjutan di Danau Toba (Kasus: Sub DAS Naborsahon)

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kawasan Wisata Berkelanjutan

Wisata menurut Gunn (1994) adalah suatu pergerakan temporal manusia menuju suatu tempat selain dari tempat biasa mereka tinggal dan bekerja, selama mereka tinggal ditujuan tersebut mereka melakukan kegiatan, dan diciptakan fasilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mereka. Menurut Yoeti (1983) wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain dengan suatu maksud dan dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Fennell (1999) mengutarakan bahwa World Tourism Organisation WTO mendefinisikan kegiatan wisata sebagai kegiatan perjalanan seseorang untuk kesenangan (pleasure)minimal satu hari dan tidak lebih dari satu tahun untuk wisatawan mancanegara dan 6 bulan bagi wisatawan domestik.

Suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata menurut Gunn (1994) karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dan suplay. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tanaman langka, landmark, atau satwa. Kawasan wisata tergantung pada sumberdaya alam dan budaya, dimana distribusi dan kualitas dari sumberdaya ini dengan kuat mendorong pengembangan wisata.

Bentuk-bentuk wisata menurut Gunn (1994) dikembangkan dan direncanakan berdasarkan hal berikut:

1. Kepemilikkan (ownership) atau pengelola areal wisata, yang dapat dikelompokkan kedalam tiga sektor yaitu pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan komersial.

2. Sumberdaya (resource), yaitu: alam (natural)atau budaya (cultural).

3. Perjalanan wisata/lama tinggal (touring/longstay)

4. Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan (indoor)atau di luar ruangan (outdoor).

5. Wisata utama/wisata penunjang (primary/secondary)

6. Daya dukung (carrying capacity) tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung yaitu: intensif, semi intensif dan ekstensif.

(19)

untuk menciptakan budaya dan tempat yang utuh untuk dipertahankan bagi generasi berikutnya (Van der Ryn 1996). Sedangkan sustainable tourism (wisata yang berkelanjutan) adalah suatu industri wisata yang mempertimbangkan aspek-aspek penting dalam pengelolaan seluruh sumberdaya yang ada guna mendukung wisata tersebut baik secara ekonomi, sosial dan estetika yang dibutuhkan dalam memelihara keutuhan budaya, proses penting ekologis, keragaman biologi dan dukungan dalam sistem kehidupan (Inskeep 1991).

Produk sustainable tourism merupakan produk yang dioperasikan dalam keharmonisan antara lingkungan lokal, masyarakat dan budaya sehingga mendatangkan keuntungan bagi mereka dan bukan menjadi korban pengembangan wisata (Wramner et al. 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa sustainable tourism

juga sering dikatakan sebagai wisata yang bertanggung jawab (responsible tourism), soft tourism, wisata berdampak minimum (minimum impact tourism) dan wisata alternatif (alternative tourism).

Tujuan sustainable tourism (Inskeep 1991) adalah

1. Untuk pengembangan yang lebih besar dari pengetahuan dan pemahaman tentang kontribusi yang signifikan dari wisata yang dapat mengubah lingkungan dan ekonomi.

2. Untuk kemajuan sewajarnya dalam pengembangan suatu industri wisata. 3. Untuk memperbaiki kualitas kehidupan dari komunitas kawasan.

4. Untuk memberikan suatu kualitas yang tinggi dari pengalaman pengunjung. 5. Untuk memelihara kualitas lingkungan sebagai obyek yang dapat diandalkan.

Indikator bagi sustainable tourism ialah kualitas air, pendidikan lingkungan, preservasi alam, kapasitas di area danau untuk mencegah penuh dan berdesakannya pengunjung, dampak sosial, gambaran mengenai kawasan, musim, variasi atraksi, pengelolaan limbah padat, kepuasan konsumen, batas bersih untuk air, batas bersih untuk restoran, kriminal, harga, akses ke danau bagi masyarakat, proteksi sumber daya biologi, akomodasi pasar gelap, persediaan untuk proteksi dan sikap pengunjung di daerah tujuan wisata (Warmner et al. 2005).

(20)

integrasi antara proses kebijakan, perencanaan dan sosial, kelangsungan hidup politik bergantung pada dukungan penuh masyarakat yang dipengaruhi oleh pemerintah, institusi sosial dan aktivitas pribadi mereka (Gunn 1994).

Dalam penataan kawasan wisata danau, maka kawasan tersebut harus dilihat sebagai suatu sistem (pariwisata) yang mengkaitkan antara komponen penawaran dan permintaan. Komponen penawaran terdiri dari obyek dan daya tarik wisata atraksi, pelayanan, transportasi, informasi dan promosi (Gambar 2). Sedangkan komponen permintaan terdiri dari wisatawan (lokal, domestik, mancanegara) (Gunn 1994).

Gambar 2. Komponen fungsi dari sisi penawaran (Gunn 1994)

2.2. Rencana Penataan Kawasan Wisata

Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan penataan kawasan. Penataan dilakukan untuk memperbaikan suatu kawasan yang sudah mulai rusak yang didalamnya memuat rumusan dari berbagai tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Penataan berorientasi pada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu bentuk social good, dan umumnya dikategorikan juga sebagai pengelolaan (Nurisyah 2003). Prosesnya secara umum dapat dibagi menjadi commision, riset, analisis, sintesis, konstruksi dan pelaksanaan (Simonds 2006). Konsep

Atraksi

Pelayanan

Promosi

Transportasi

(21)

perencanaan wisata dibagi menjadi tiga skala yaitu perencanaan tapak (site plan), perencanaan daerah tujuan (destination plan) dan perencanaan regional (regional plan) (Gunn 1994).

Site plan ialah perencanaan tapak yang lebih difokuskan pada rancangan yang dapat dibuat dalam pengembangan wisata. Proses perencanaan tapak ialah analisis pasar, program statement, seleksi tapak-merevisi program, analisis tapak, sintesis, konsep rancangan, kemungkinan-kemungkinan, perencanaan akhir dan evaluasi (Gunn 1994).

Destination plan merupakan suatu perencanaan dalam skala yang lebih kecil, termasuk di dalamnya komunitas dan lingkungan sekitar. Partisipasi lokal lebih kuat dibutuhkan pada perencanaan ini. Proses perencanaan destinasi terdiri atas 1) identifikasi prinsip-prinsip komunitas seperti dukungan-dukungan dan pimpinan, 2) menentukan tujuan guna mempertinggi kepuasan pengunjung, perlindungan sumber daya alam dan budaya, keuntungan ekonomi dan hubungan dalam kehidupan ekonomi pada seluruh kawasan destinasi, 3) meneliti potensi dan kendala, 4) rekomendasi untuk pengembangan, 5) identifikasi sasaran dan strategi, 6) memberikan prioritas dan tanggung jawab, 7) mendorong dan memberi petunjuk untuk perkembangan, 8) memonitor pengaruh umpan balik (Gunn 1994).

Regional plan merupakan perencanaan dalam skala besar seperti skala nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Proses perencanaan regional dapat dibagi dalam empat fase utama yaitu 1) penelitian tentang posisi geografi, kekayaan geografi dan bentukan lanskap; 2) evaluasi potensi termasuk permintaan dan sintesis; 3) konsep perencanaan; 4) implementasi dan rekomendasi yang mengandung empat aspek dalam pengembangan wisata yaitu pengembangan fisik, pengembangan program, kebijakan dan prioritas (Gunn 1994).

(22)

keindahan dan ekologi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perencanaan yang lebih baik dan terintegrasi pada semua aspek pengembangan wisata. Keberadaan suatu aset sumberdaya alam dan lingkungan merupakan peluang untuk dikembangkan sebagai daerah wisata.

Kegiatan wisata dapat menimbulkan masalah ekologis padahal keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama, oleh karena itu perencanaan dan penataan kawasan wisata hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk di antaranya inventarisasi dan penilaian sumberdaya yang cocok untuk wisata, perkiraan tentang dampak terhadap lingkungan, hubungan sebab dan akibat dari berbagai macam tata guna lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk masing-masing tata guna, serta pilihan pemanfaatannya (Dahuri et al. 2001).

Unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna menunjang penataan kawasan wisata di daerah tujuan wisata yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengembangannya meliputi 5 unsur, yaitu 1) obyek dan daya tarik wisata, 2) prasarana wisata, 3) sarana wisata, 4) tata laksana/infrastruktur, dan 5) masyarakat/lingkungan (Suwantoro 1997).

2.3. Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Kawasan Wisata

Masyarakat di sekitar lokasi wisata berperan penting tidak hanya dalam proses pelaksanaan wisata secara langsung tetapi juga dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut nantinya. Peran masyarakat dibutuhkan dalam memberikan layanan yang berkualitas bagi wisatawan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar agar wisata dapat terus berjalan. Oleh karena itu, penting untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang sadar wisata.

Masyarakat sebagai salah satu unsur penting dibutuhkan keterlibatannya secara langsung dalam penatan kawasan wisata. Proses keterlibatan masyarakat tergantung dari potensi dan kemampuan yang ada, dimana pada masyarakat ini terdapat 7 potensi bagi keterlibatannya (Nurisyah et al. 2003), yaitu:

1) Konsultasi atau pemikiran, 2) Sumbangan (barang, uang)

(23)

5) Aksi massa

6) Pembangunan dalam kalangan keluarga atau masyarakat setempat

7) Mendirikan proyek yang didanai dari luar lingkungan masyarakat itu sendiri. Masyarakat sadar wisata ialah masyarakat yang mengetahui dan menyadari apa yang dikerjakan dan juga masalah-masalah yang dihadapi untuk membangun dunia pariwisata nasional. Dengan adanya kesadaran ini maka akan berkembang pemahaman dan pengertian yang proporsional di antara berbagai pihak, yang pada gilirannya akan mendorong mereka untuk mau berperan serta dalam pembangunan (Suwantoro 1997).

Partisipasi masyarakat dapat ditumbuhkan dan digerakkan melalui usaha-usaha penerangan serta pengembangan usaha-usaha-usaha-usaha sosial yang sehat, yang dilakukan melalui dialog yang luas dan bersifat terbuka, terarah, jujur, bebas dan bertanggung jawab; baik antara pemerintah dan masyarakat maupun golongan-golongan masyarakat itu sendiri. Dialog yang demikian akan melahirkan gagasan serta pandangan yang kuat agar pembangunan tetap memiliki gerak maju ke depan (Suwantoro 1997).

Lebih lanjut Suwantoro (1997) mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat dapat berupa peran serta aktif maupun peran serta pasif. Peran serta aktif dilaksanakan secara langsung, secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan kreasi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa ikut memiliki di kalangan masyarakat. Peran serta pasif adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam. Dalam peran serta pasif itu masyarakat cenderung sekedar melaksanakan perintah dan mendukung terpeliharanya konservasi sumberdaya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian sumber daya alam di sekitar kawasan obyek wisata alam yang juga mempunyai dampak positif terhadap perekonomian.

(24)

menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan secara ekonomi ialah keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perekonomian, baik yang terkait langsung dengan wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata dan memiliki posisi penting dalam wisata, sedangkan kegiatan perekonomian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata.

Partisipasi masyarakat sekitar kawasan obyek wisata alam dapat berbentuk usaha dagang atau pelayanan jasa, baik di dalam maupun di luar kawasan obyek wisata (Suwantoro 1997), antara lain:

 Jasa penginapan (homestay)

 Penyediaan/usaha warung makan dan minuman

 Penyediaan/toko souvenir/cindera mata dari daerah tersebut

 Jasa pemandu/penunjuk jalan

 Fotografi

 Menjadi pegawai perusahaan/pengusahaan wisata alam, dan lain-lain

Salah satu sebab terjadinya gangguan terhadap kawasan obyek wisata alam adalah kurangnya kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan obyek wisata. Oleh karena itu, kegiatan usaha masyarakat diharapkan akan dapat menciptakan suasana rasa ikut memiliki tempat mata pencaharian/tempat usaha yang pada akhirnya akan mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan (Suwantoro 1997).

2.4. Ekosistem Pembentuk Kawasan Wisata

2.4.1. Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS)

DAS adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografis adalah punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan (Manan 1983).

(25)

dengan batas aliran, sedangkan istilah river basin, catchment, atau drainage basin

digunakan karena hubungannya dengan daerah aliran (Wijayaratna 2000). DAS merupakan satuan hidrologi dan dapat dibagi menjadi sub-DAS, sub-sub-DAS, dan seterusnya sesuai dengan ordo sungai. Dalam sebuah DAS terdapat keterkaitan dan ketergantungan antara berbagai komponen ekosistem (vegetasi, tanah, dan air) dan antara berbagai bagian dan lokasi (hulu dan hilir) (Widianto et al. 2003).

Menurut Asdak (2006), ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar dari 15%, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan, daerah dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi hutan pinus dan perkebunan rakyat. DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas.

DAS sebagai suatu ekosistem, tempat unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS, seperti fungsi tata air, sehingga perencanaan DAS bagian hulu sering kali menjadi fokus perhatian mengingat bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Pasaribu 1999).

2.4.2. Ekosistem Danau

(26)

satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan.

Ekosistem Danau Toba memiliki nilai ekologi, sosio-kultural dan ekonomi untuk kehidupan manusia dan tidak bisa dipisahkan secara ekologi dari area ekosistem sekitarnya. Ekosistem Danau Toba saat ini berada pada kondisi stres dan butuh perhatian khusus. Kondisi ekosistem danau tidak lepas dari pengaruh kondisi sungai-sungai yang mengalir masuk ke danau.

Keberadaan ekosistem danau memberikan fungsi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia (rumahtangga, industri, dan pertanian). Beberapa fungsi penting ekosistem ini, sebagai berikut: 1) sebagai sumber plasma nuftah yang berpotensi sebagai penyumbang bahan genetik; 2) sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang penting, 3) sebagai sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya (rumahtangga, industri dan pertanian); 4) sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah; 4) memelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat mempengaruhi kelembaman dan tingkat curah hujan setempat; 5) sebagai sarana tranportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian dari tempat satu ke tempat lainnya; 6) sebagai penghasil energi melalui PLTA; 7) sebagai sarana rekreasi dan objek pariwisata (Kurumur 2002).

Manusia merupakan komponen ekosistem DAS yang berpengaruh besar dan dominan terhadap keseimbangan mekanisme kerja sistem ekologis yang berlangsung, termasuk mempengaruhi daur hidrologi. Dengan teknologi yang dikuasainya, ia mampu mengelola sumberdaya alam dan ekosistem di sekitarnya disesuaikan dengan keinginannya. Perubahan keseimbangan ekosistem yang tidak terkendali menjadi sumber utama munculnya degradasi sumberdaya alam yang serius, dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup.

2.4.3. Danau Toba Sebagai Kawasan Wisata

(27)

Kab. Karo, dan 7) Kab. Dairi. Danau Toba sebagai kawasan wisata merupakan suatu unit lanskap alami yang memiliki bentuk lanskap dan topografi yang beragam dan luasan yang besar sehingga potensi tersebut dapat dikembangkan untuk menjadi suatu kawasan wisata dan sebagai sumberdaya alam nasional yang sangat menakjubkan dan memiliki banyak manfaat.

Danau Toba sebagai obyek wisata alam merupakan danau vulkanotektonis

akibat proses tanah terban (Subsidence) yang terjadi karena bagian dalamnya berupa magma naik ke permukaan melalui celah tektonik membentuk gunung api. Ruang yang ditinggalkan oleh magma membentuk rongga di dalam kerak bumi dan kemudian beban di permukaan mengalami terban yang terpotong menjadi beberapa bagian. Bagian yang cukup besar berada di bagian tengah dengan posisi miring kearah barat berupa pulau Samosir dan bagian lain yang posisinya lebih rendah selanjutnya tergenang air membentuk danau.

Secara ekologis di Danau Toba, terdapat banyak jenis ikan, baik endemik maupun diintroduksi ke Danau. Ikan endemik yang hampir punah adalah ikan Batak, yang hanya ada 2 spesies, yaitu Lissochilus sumatranus dan Labeobarbus soro. Disamping itu, ada juga remis endemik yang disebut Remis Toba (Corbiculae tobae). Beberapa polutan sepertinya telah memberikan dampak negatif pada Danau Toba. Introduksi spesies non-pribumi ke danau seperti ikan dan alga, telah menciptakan isu lingkungan yang serius (misalnya gulma eceng gondok, kontaminasi ikan, dsb).

(28)

Muara (Tapanuli Utara). Tanaman lainnya yang mendominasi adalah pinus, kayu manis, mahoni, dan tanaman lainnya yang dapat menyerap air. Komunitas yang hidup di daerah tersebut juga menanam tanaman produktif seperti durian dan mangga.

Populasi Danau Toba adalah 656,872 dan tersebar di wilayah seluas 5,814.39 km2, yang meliputi 490 desa di 35 kawasan subregional. Masyarakat yang tinggal di 7 kabupaten yang terdiri dari kelompok sub etnis: Batak Simalungun yang bermukim di kabupaten Simalungun, batak Karo yang menetap di kabupaten Karo, Pakpak yang menetap di kabupaten Dairi dan Batak Toba yang menyebar di kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir dan Humbang Hasundutan. Mayoritas mereka adalah petani.

Berdasarkan potensi yang ada maka perlu kiranya dilakukan pengembangan kawasan dengan cara mendesentralisasikan perencanaan dan pengambilan keputusan tetap diserahkan kepada masyarakat, sedangkan konsep perencanaan pengembangannya selalu memperhatikan konsep daya dukung (carrying capacity) dengan cara menghubungkan nilai sumber dayanya (resource valuation) dan hasil yang diperoleh dapat dirasakan oleh semua pihak (equity of outputs).

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan danau sebagai obyek wisata menurut Nurisjah et al. 2003), kelestarian, keberadaan dan keindahan badan air perlu dipertahankan fungsinya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fungsi-fungsi dari badan air adalah sebagai pengendali iklim mikro, kesejahteraan dan kenyamanan manusia, sumber energi, alat transportasi, elemen transportasi, elemen rekreasi, melembutkan dan meningkatkan nilai estetika lanskap. Usaha untuk memanfaatkan dan melestarikan badan air sebagai obyek wisata harus terlebih dahulu diketahui bentuk, karakter, potensi, kendala dan bahaya yang dapat ditimbulkan dari badan air.

(29)

(RTRW) Nasional, yaitu daratan sepanjang tepian danau yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik danau antara 50-100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat dengan pengecualian tepian danau dengan kondisi fisik stabil, serta demi kepentingan umum, kepentingan pertahanan dan keamanan (Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997, Pasal 34 ayat 3).

2.5. Sistem Informasi Geografi (SIG)

Geographic information system (GIS) atau sistem informasi geografis (SIG) menurut Star (1990) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang mereferensi pada koordinat geografi atau spasial dan juga non-spasial. SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan spesifik untuk data spasial dan non-spasial, dan juga dapat melakukan operasi data.

Sistem informasi geografis (SIG) memberikan perlakuan dan manipulasi kualitas dari data spasial, sedangkan penginderaan jauh adalah teknologi untuk menghasilkan peta tutupan lahan (Lioubimsteva dan Defourny 1999), yang memberikan sekumpulan informasi mengenai karakteristik spektral dan struktur spasial. Citra satelit adalah sumber informasi pada penutupan lahan. Berkembangnya teknik sistem informasi geografis dan penginderaan jauh dalam teknologi informasi merupakan pendukung bagi pendalaman studi mengenai perubahan peruntukan dan penutupan lahan.

Dalam proses perencanaan dan penataan kawasan wisata menurut Gunn (1994), bantuan dari teknologi komputer cukup dapat membantu, dengan program sistem informasi geografis (SIG) akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumberdaya yang paling sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif. Selanjutnya menurut Gunn (1994), penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses perencanaan lanskap.

(30)

analisis viewshed, identifikasi kawasan dan tapak, serta memantau data dari beragam sumber, seperti hasil foto udara, contoh lapang, dan laporan kegiatan, sehingga dapat melihat secara berkelanjutan dampak dari kegiatan wisata.

2.6. Analisis Hierarki Proses (AHP)

Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Proses (AHP) merupakan analisis yang digunakan untuk mengambil keputusan yang efektif atas permasalahan yang kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat proses pengembilan keputusan yang dialami (Saaty 1993). Oleh karena itu, analisis ini dapat dikatakan sebagai suatu metode analisis untuk mengetahui seberapa jauh sebuah kebijakan diimplementasikan dalam pelaksanaan.

Metode ini menyederhanakan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur, strategi dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata peubah dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti pentingnya secara relatif dibandingkan variabel lain. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintetis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Langkah - langkah yang digunakan dalam proses hierarki analitis (PHA) adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi sistem.

Langkah ini dilakukan dengan cara mempelajari beberapa rujukan untuk memperkaya ide dalam upaya mendapatkan semua konsep yang relevan dengan permasalahan.

2. Penyusunan Hierarki.

Dalam penyusunan hierarki atau struktur keputusan dilakukan dengan menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan dalam abstraksi sistem hierarki keputusan.

3. Komparasi Berpasangan.

(31)
[image:31.595.107.511.267.560.2]

Keberhasilan menggunakan metode AHP bergantung pada bagaimana mengatur penggunaan hierarki yang tepat dan problem yang tidak teratur untuk sampai pada pengembilan keputusan karena AHP mampu mengkonversi faktor-faktor yang tidak dapat diukur ke dalam aturan yang biasa sehingga bisa dibandingkan. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses AHP yang disarankan oleh Saaty (1993), yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Matriks Perbandingan/Komparasi Berpasangan (Saaty, 1993)

Tingkat

Kepentingan Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya

Dua elemen mempunyai

pengaruh yang sama besar terhadap tujuan.

3 Elemen yang satu sedikit lebih

penting daripada elemen lainnya

Pengalaman dan penilaian

sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya.

5 Elemen yang satu lebih penting

daripada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian

sangat kuat mendukung satu

elemen dibanding elemen

lainnya.

7 Satu elemen jelas lebih penting

daripada elemen lainnya

Satu elemen dengan kuat

didukung dan dominasi terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak lebih penting

daripada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan

tertinggi yang mungkin

menguatkan.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai

pertimbangan yang berdekatan

(32)

III. KONDISI UMUM KAWASAN WISATA DANAU TOBA

3.1. Kondisi Geografi dan Administrasi

Lokasi penelitian terletak pada sebuah sub DAS yaitu sub DAS Naborsahon yang berada di dalam daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba. Secara geografis Sub DAS Naborsahon berada pada 2o32’-2o40” sampai 2o69’00” LU dan 98o56’ -99o04” sampai 98o92’-99o04” BT. Luas wilayah sub DAS Naborsahon  10330.7 ha mengalir sungai Naborsahon, Simarata, Sihora-hora, Sera-sera, Sigilang dan beberapa alur/parit yang bermuara ke Danau Toba. Panjang sungai utama sepanjang 17.150 m atau 17.15 Km.

Secara administrasi sub DAS Naborsahon berbatasan dengan Kecamatan Pematang Sidamanik di sebelah utara, Kecamatan Hatonduhan di sebelah timur, Desa Sionggang Selatan Kecamatan lumban Julu di sebelah selatan, dan Danau Toba disebelah barat. Desa dan kelurahan yang terdapat di dalam sub DAS Naborsahon ada 12 desa, yaitu:

1. Di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, yaitu Desa Sibaganding, Desa Sipangan Bolon, Desa Girsang, Kelurahan Parapat dan Kelurahan Tigaraja. 2. Di Kecamatan Ajibata, yaitu Desa Motung, Desa Pardamean Ajibata, Desa

Pardamean Sibisa, Desa Pardamuan Ajibata, Desa Parsaoran Ajibata, Desa Horsik dan Desa Sigapiton.

Dari 12 desa yang ada, maka yang terpilih sebagai lokasi lokasi penelitian adalah Desa Sipangan Bolon, Desa Girsang, Kelurahan Parapat, Kelurahan Tigaraja dan Pardamean Ajibata.

3.2. Kondisi Ekologis

(33)

Gunung Pusuk Buhit (disebelah barat). Wilayah Danau Toba sering mengalami gempa karena terletak disepanjang patahan Sumatera (Sumatra Plate). DTA Danau Toba dikelilingi oleh wilayah perbukitan dengan luas 43% dan wilayah pegunungan seluas 30%. Selang suhu minimum berkisar 16.5 dan suhu maksimum 29° C dan kelembaban relatif 85%.

Kondisi topografi yang berada pada ketinggian 906 - 1800 m dpl didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan kelerengan lapangan dari datar (kemiringan lahan 0 - 8%), landai (kemiringan lahan 8 – 15%), agak curam (kemiringan lahan 15 - 25%), curam (kemiringan lahan 25 - 45%), sangat curam sampai dengan terjal (kemiringan lahan > 45%). Daerah yang datar meliputi lebih kurang 27,2 % dari total DTA, daerah yang landai 30,6 %, daerah yang agak curam 24,0 %, daerah curam 16,5 % dan daerah yang sangat curam sampai terjal lebih kurang 1,7 % dari total DTA (LTEMP 2004).

Berdasarkan data suhu dan iklim dari stasiun Geofisika Parapat Kabupaten Simalungun diketahui bahwa rata-rata curah hujan tahunan dari tahun 1997–2006 di kawasan ini berkisar antara 1.839 sampai dengan 2.569 mm/tahun. Puncak musim hujan terjadi pada bulan September-Desember dengan curah hujan antara 197 – 276 mm/bulan. Sedangkan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Mei-Juli dengan curah hujan berkisar antara 120 – 143 mm/bulan. Curah hujan yang tergolong tinggi dapat menimbulkan bahaya longsor/erosi, terutama di daerah yang terbuka, tepian danau yang labil dan daerah dengan kemiringan lereng > 45%. Data iklim di kawasan Danau Toba selama 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 2.

(34)

Tabel 2. Data Iklim di Kawasan Danau Toba (1997 – 2006) Tahun Curah Hujan (mm) Penguapan (mm) Suhu Rata-rata (°C) Lama Penyinaran Matahari (%)

Kelembaban relatif (%)

Kec. Angin (m/det)

1997 2116 4.3 18.5 42.8 80.3 2.6

1998 1839 4.1 16.3 45.0 83.5 2.8

1999 2569 3.9 21.5 47.2 90.4 2.6

2000 2236 3.9 21.5 49.3 88.9 2.7

2001 1960 3.8 21.8 48.7 81.7 3.3

2002 2166 3.6 21.6 52.5 81.7 3.5

2003 2510 3.7 21.3 47.3 81.0 2.5

2004 2446 3.8 21.2 47.4 79.5 1.9

2005 2149 4.2 21.0 53.0 79.8 2.1

2006 2232 4.1 20.6 47.7 80.1 3.2

Rata-rata 2222 3.9 20.5 48.1 82.7 2.7

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), stasiun Geofisika Parapat

Kab. Simalungun

Kebun campuran merupakan sebidang lahan yang terletak di luar

pekarangan, ditumbuhi berbagai macam tanaman secara tercampur. Keberadaan berbagai jenis tanaman sulit untuk menilai mana yang lebih penting bagi

pengusahanya, sehingga pengolahannya kurang intensif. Jenis tanaman kebun campuran yang terdapat di Sub DAS Naborsahon meliputi; kopi (Albelmoschus esculenthus), pisang (Musa paradisiaca L), ubi kayu (Manihot esculenta), ubi jalar (Discorea elata L), jahe (Zingeberceae), dan cabai (Capsicum annum L) (LTEMP 2004).

Berdasarkan pada Klasifikasi Tanah menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah I, Medan 1987, DTA Danau Toba di bagian timur merupakan jenis tanah Entisol dan Entisol/Inceptisol yang sangat peka terhadap erosi, bagian tenggara jenis Ultisol (peka erosi). Di bagian barat DTA ini jenis tanah Ultisol (peka erosi), sedangkan di Pulau Samosir jenis tanahnya sebagian besar merupakan jenis tanah Inceptisol (agak peka erosi). Jenis-jenis tanah yang terdapat di DTA Danau Toba ini disajikan pada Tabel 3.

(35)

memiliki kandungan besi yang tinggi, sedangkan unsur N, P dan Ca sangat rendah.

Danau ini memiliki kandungan air seluas 1.146 km2 atau sekitar 2.860.000 ton air yang berasal dari mata air dan 19 sungai pada DAS tersebut. Satu-satunya sungai yang bersumber dari danau ini adalah sungai Asahan yang mengalir di wilayah Kabupaten Asahan dan dipergunakan sebagai pembangkit tenaga listrik (PLTA) Asahan.

Di dalam perairan danau terdapat berbagai jenis ikan, baik ikan endemik maupun ikan yang diintroduksi yang merupakan hasil budidaya (penebaran, keramba maupun jaring apung). Jenis ikan yang merupakan jenis ikan endemik yang keberadaannya saat ini hampir punah adalah Ikan Batak terdiri dari dua spesies yaitu : Lissochilus sumatranus dan Labeobarbus soro. Di perairan danau ini juga terdapat remis yang endemik yang dikenal namanya sebagai Remis Toba (Corbicula tobae) (LTEMP 2004). Sedangkan berbagai jenis ikan lain yang alami maupun hasil budidaya yang bukan endemik adalah : ikan Mas, Mujahir, Nila, Tawes, Lele, Gabus dan sebagainya. Di perairan Danau Toba juga terdapat berbagai jenis tumbuhan air seperti berbagai jenis ganggang dan eceng gondok. Keberadaan tumbuhan eceng gondok ini pada saat ini sangat mengkhawatirkan dilihat dari kecepatan perkembangan pertumbuhan dan penyebarannya yang menyebabkan proses pengkayaan unsur hara (eutrofikasi).

Tabel 3. Jenis Tanah di DTA Danau Toba

No. Jenis Tanah % dari

Luas DTA

Variasi Bentuk Lahan Kepekaan Terhadap Erosi

1 Entisol 36,4 Daerah Curam Sangat Peka

2 Ultisol, Spodosol, Aquic Sub ordo

13,8 Datar dan Berombak Peka – sangat peka

(36)

3.3. Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat

[image:36.595.119.482.301.593.2]

Penduduk di sub DAS Naborsahon mayoritas suku Batak Toba dan Simalungun serta suku lainnya yaitu, suku Jawa, Minang, Aceh, Karo dan Nias. Bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Toba dan bahasa Indonesia. Jumlah penduduk di wilayah sub DAS Naborsahon yang tercatat adalah 19.512 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 4.155 KK. Jumlah penduduk tersebut terdiri dari 9.587 jiwa laki-laki dan 9.925 jiwa perempuan. Tabel 4 menunjukkan jumlah penduduk di sub DAS Naborsahon menurut kelas umur.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Kelas Umur di Sub DAS Naborsahon

Sub-Sub DAS/ DTA / Kelas Umur Penduduk (Jiwa) Jumlah

Kab. / Kec / Desa 0 - 15 15 - 55 > 55 ( Jiwa )

Kabupaten Simalungun

Kec. Girsang Sipangan Bolon

- Desa Sibaganding 699 1109 62 1870

- Desa Sipangan Bolon 742 1046 276 2064

- Desa Girsang 794 1008 195 1997

- Desa Parapat 2099 3187 545 5831

- Desa Tiga Raja 630 1066 203 1899

Kabupaten Toba Samosir

Kec. Ajibata

- Desa Motung 212 710 198 1120

- Desa Pardamean Ajibata 375 628 250 1253

- Desa Pardamean Sibisa 245 450 76 771

- Desa Parsaoran Ajibata 275 664 314 1253

- Desa Pardomuan Ajibata 178 305 152 635

- Desa Horsik 94 189 35 318

- Desa Sigapiton 199 227 75 501

Jumlah 6542 10589 2381 19512

Sumber : - Kecamatan Ajibata Dalam Angka Tahun 2005

- Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Dalam Angka Tahun 2005

Masyarakat di kawasan ini terdiri dari beragam marga dan tradisi yang tetap dipegang teguh hingga kini. Kearifan lokal tersebut banyak mewarnai seluk beluk masyarakat sehingga tidak dapat diabaikan dalam menyusun perencanaan pembangunan setempat.

(37)

perikanan. Ditinjau dari karakteristik budidaya pertanian yang dilakukan, umumnya dilakukan pada lahan kering untuk budidaya tanaman pangan, tanaman perkebunan dan kehutanan. Sementara pengusahaan kegiatan pertanian pada lahan basah hanya dilakukan untuk tanaman pangan. Tanaman kopi merupakan komoditi andalan bagi masyarakat di Kawasan Danau Toba. Tanaman kopi menjadi tanaman yang diminati oleh masyarakat terutama sejak dikembangkannya tanaman kopi jenis baru yang secara lokal dikenal sebagai tanaman si pembayar utang, karena dalam waktu satu tahun telah berproduksi, sehingga hasil penjualannya dapat segera dimanfaatkan untuk pengembalian kredit pertanian.

Lahan pertanian yang dimiliki satu keluarga petani, rata-rata tiga rante atau setara dengan 0,12 ha. Sempitnya lahan pertanian berpengaruh terhadap keputusan petani dalam memilih tanaman pertanian. Para petani cenderung menanam tanaman yang berdaur pendek, walaupun praktek bercocok tanam yang dilakukan tidak sesuai dengan kemampuan lahan sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik lahan. Selain kopi, tanaman yang banyak dijumpai adalah padi varietas lokal, kacang-kacangan, jahe dan jagung (Diniyati 2001).

(38)

3.4. Kondisi Kepariwisataan

Sektor pariwisata dengan daerah tujuan wisata Danau Toba berkembang di Parapat, Tomok dan Tuktuk yang terletak di bagian Selatan dan Timur kawasan Danau Toba. Sesuai Perda Tk.I Propinsi Sumatera Utara Nomor 1 Tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba, sektor ini diarahkan sebagai kegiatan utama bagi pengembangan Danau Toba, sedangkan kegiatan lainnya diarahkan untuk mendorong kegiatan utama tersebut.

Pariwisata telah menumbuhkan efek ganda kegiatan ekonomi lainnya, seperti kegiatan perdagangan dan jasa pelayanan yang terkait dengan pariwisata. Sektor ini mencatat 12 unit obyek wisata alam, 16 unit obyek wisata budaya dan sejarah, 3 unit wisata agama dan 1 obyek wisata hutan atau perkebunan. Di samping itu, terdapat 101 hotel, 188 rumah makan, 200 toko souvenir, 5 money changers, 10 agen perjalanan, 8 diskotik dan 6 karaoke, (LTEMP 2004).

Kota Parapat dikenal sebagai daerah tujuan wisata dengan Danau Toba sebagai andalan obyek wisata. Kota ini terletak di tepian Danau Toba yang merupakan kota wisata dan merupakan salah satu wisata terbesar di Sumatera Utara. Daerah ini terletak kira-kira 176 km dari kota Medan di bagian utara pantai Danau Toba dan dapat dicapai dengan perjalanan tiga sampai empat jam dari Medan dengan bus.

Obyek dan atraksi wisata yang ada di Danau Toba sangat beragam. Menurut data Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Simalungun (2006), jumlah wisatawan yang berkunjung ke lokasi obyek wisata Parapat selama kurun waktu 20 tahun terakhir ini mengalami fluktuasi (Tabel 5).

Puncak jumlah kunjungan wisatawan ke lokasi obyek wisata Parapat yang terbanyak terjadi pada tahun 1997 yang mencapai 1.1145.278 orang. Namun sejak tahun 2004 dan 2005 wisatawan yang berkunjung ke Parapat mengalami penurunan yang drastis.

(39)

Selain karena faktor kenyamanan juga karena adanya penurunan kualitas lingkungan di kawasan Danau Toba. Hal ini ditandai dengan turunnya permukaan air danau, banyaknya tumbuhan air eceng gondok yang mengganggu kualitas air, banyaknya keramba ikan dan meningkatnya luas lahan yang gundul.

[image:39.595.117.424.299.573.2]

Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan pertumbuhan areal permukiman baru disekitar danau dan tidak tertata dengan baik Tidak terpolanya bangunan dan pemukiman ini dapat dilihat di beberapa tempat banyak bangunan-bangunan dan fasilitas umum yang mengambil sebagian areal badan danau, seperti hotel, restauran, tempat parkir, dll.

Tabel 5. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Parapat dari Tahun 1986 s.d 2005

No Tahun Wisatawan (orang) Jumlah orang

Nusantara Mancanegara

1 1986 425.560 135.290 560.850

2 1987 480.720 202.145 682.865

3 1988 520.750 235.250 756.000

4 1989 625.500 322.582 948.082

5 1990 610.870 305.170 916.040

6 1991 585.125 275.075 860.200

7 1992 650.500 280.750 931.250

8 1993 675.820 305.250 981.070

9 1994 710.385 325.450 1.035.835

10 1995 700.287 262.350 962.637

11 1996 800.576 325.120 1.125.696

12 1997 800.676 344.602 1.145.278

13 1998 680.575 199.411 879.986

14 1999 578.988 169.499 748.487

15 2000 607.412 177.973 785.385

16 2001 631.210 190.200 821.410

17 2002 725.891 172.730 898.621

18 2003 641.393 77.504 718.897

19 2004 184.400 17.728 202.128

20 2005 150.000 8.000 158.000

(40)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian Kawasan Wisata Danau Toba yang berkelanjutan dilakukan di sub DAS Naborsahon yang berada di dalam daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba (Gambar 3). Sub DAS ini dideliniasi berdasarkan ketinggian kontur dari

digital elevation model (DEM) yang terbentuk dari peta rupa bumi. Secara geografis kawasan ini terletak pada 2.32°-2.69° Lintang Utara dan 98.56°-

98.92° Bujur Timur. Luas kawasan penelitian adalah  10330.9 ha.

Waktu pengamatan dan survei untuk pengumpulan data di lapang selama dua bulan dimulai dari Maret sampai April 2008.

4.2. Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan alat dan bahan berupa perangkat keras dan perangkat lunak, peta Rupa Rupa Bumi Sumatera Utara (Bakosurtanal 2005) dan kuisioner. Perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak (soft ware) yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perangkat Keras, Perangkat Lunak dan Kegunaannya

Perangkat Keras Perangkat Lunak(Software) Fungsi

Perangkat Komputer

Peta

Arcview ver 3.2

ERDAS ver 9.1 Excel 2003

Criterium Decision Plus (CDP)

Analisis spasial Analisis spasial Analisis tabular

Analythical Hierarchy Process (AHP)

Menentukan lokasi pengamatan GPS

Kamera Digital Tape Recorder

Pencatatan titik lokasi pengamatan Dokumentasi kondisi lapangan Dokumentasi hasil wawancara

4.3. Metode Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan dalam tiga tahapan yaitu (1) tahap pengumpulan dan klasifikasi data, (2) tahap analisis dan sintesis, serta (3) tahap perencanaan kawasan (Gambar 4).

(41)
[image:41.595.137.497.148.655.2]

sosial ekonomi untuk mendukung wisata sehingga didapatkan suatu kawasan wisata yang berkelanjutan.

(42)

4.3.1. Pengumpulan dan Klasifikasi Data

[image:42.595.110.513.78.604.2]

Data yang dikumpulkan berbentuk data primer dan data sekunder (Tabel 7). Data primer adalah data yang diambil langsung dari sumbernya ataupun hasil observasi di lokasi pengamatan yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur pada responden yang terkait langsung dengan tujuan penelitian.

Gambar 4. Tahapan Penelitian

Ta h ap 1 P en g u m p u la n d an K la si fik as i D at a Ta h ap 2 A n al isi s d an S in te tis Ta h ap 3 K o n se p d an P er en ca n aa n Peta Digital Survei Lapangan

Identifikasi Kondisi fisik sub DAS Naborsahon

Identifikasi Kondisi obyek & atraksi wisata

Identifikasi Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Zona Wisata Berkelanjutan di Kawasan Wisata Danau Toba Analisis Kebijakan (AHP)

Pembobotan

Aspek Ekologis sub DAS

Aspek Sosial Ekonomi masyarakat Aspek Wisata

Pembobotan & Skorsing

Analisis Spatial

Zona Ekologis sub DAS

Pembobotan & Skorsing

Analisis Spatial

Zona Sosial Ekonomi masyarakat

Rencana Kawasan Wisata Danau Toba yang berkelanjutan (Kasus: sub DAS Naborsahon)

Program Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Berkelanjutan

Konsep Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan Deliniasi

Pembobotan & Skorsing

Analisis Spatial

(43)

Tabel 7. Sumber dan Cara Pengambilan Data

Data & Informasi Sumber Data Jenis Data Peta dan Citra Peta rupa bumi

Peta administrasi Peta land use

Peta RTRW Peta Land cover

Peta Topografi Peta Geologi Citra Landsat

Bakosutanal Bakosurtanal

Bapeda Kab. Simalungun Bapeda Kab. Simalungun Balai Pengelolaan DAS Balai Pengelolaan DAS Balai Pengelolaan DAS Biotrop Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Kondisi biofisik Sub DAS Naborsahon

Data iklim Kualitas ekologis Kualitas air Bahaya erosi Keragaman hayati Kondisi ekosistem

BMG

Bapedalda Prop. Sumatera Utara Bapedalda Prop. Sumatera Utara BPDAS, masyarakat

Bapedalda Prop. Sumatera Utara BPDAS, Bapedalda Prop. Sumut

Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Kondisi sosial ekonomi masyarakat Demografi

Persepsi dan preferensi masyarakat

Dukungan dan partisipasi masyarakat

BPS Prop. Sumatera Utara Masyarakat Masyarakat Sekunder Primer Primer Kondisi obyek & atraksi wisata

Obyek dan atraksi wisata Aksessibilitas

Fasilitas wisata

Dinas Pariwisata Prop. Sumut Lapangan

Lapangan

Primer, sekunder Primer, sekunder Primer, sekunder

Responden terdiri masyarakat setempat (n = 150) dan institusi (n = 6 dari 6 institusi) yang terkait dengan tujuan penelitian (Tabel 8). Pengumpulan data primer dilakukan dengan membagi ekologis sub DAS Naborsahon menjadi tiga bagian, yaitu hulu, tengah dan hilir (Asdak 2006). Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive sampling) yang mewakili kondisi sub DAS Naborsahon.

Tabel 8. Daftar Stakeholder yang Terkait di Kawasan Danau Toba

Stakeholder Jumlah (orang)

1 Masyarakat setempat

150 1. Masyarakat pada lokasi pengamatan (n = 145) 2. Tokoh Masyarakat (n = 5)

2 Institusi 6 1. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Propinsi Sumatera Utara (n = 1) 2. Akademisi (Universitas Sumatera Utara) (n = 1) 3. Dinas Pariwisata Propinsi Sumatera Utara (n = 1)

4. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Propinsi Sumatera Utara (n = 1)

5. Pemerintahan Kabupaten Simalungun (n = 1)

(44)

4.3.2. Analisis dan Sintetis

Analisis dilakukan untuk melihat kondisi fisik sub DAS Naborsahon, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan kondisi wisata Danau Toba. Kegiatan ini dilakukan dalam beberapa tahapan, (1) analisis spasial dengan cara tumpang susun peta-peta tematik sehingga didapat zona wisata berkelanjutan, yaitu zona kesesuaian wisata berdasarkan standar penilaian untuk dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan, (2) analisis kebijakan-kebijakan yang telah dan akan dilaksanakan didalam penataan kawasan wisata. kedua analisis ini akan menghasilkan suatu konsep rencana penataan kawasan wisata berkelanjutan di kawasan wisata Danau Toba dengan kasus sub DAS Naborsahon.

a. Analisis Ekologis di Sub DAS Naborsahon

Penilaian ekologis DAS dilakukan untuk melihat kesesuaian kawasan sebagai lokasi, dan obyek dan atraksi wisata pada lima desa di lokasi penelitian. Metode yang digunakan berupa analisis deskriptif kualitatif dan dengan pendekatan analisis spasial Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan software ArcView versi 3.2. Analisis deskriptif kualitatif berupa penilaian dengan skoring dan pembobotan untuk mendapatkan klasifikasi zona ekologis di sub DAS Naborsahon. Pengklasifikasian dilakukan dengan rentang nilai batas minimum dan maksimum dari penilaian kualitas ekologis DAS, yaitu:

Penilaian ekologis sub DAS dinilai berdasarkan pada skor peubah-peubahnya yang terdiri atas penilaian kualitas fisik sub DAS (Tabel 9) dan penilaian kualitas air (Tabel 10). Penilaian dilakukan dengan menggunakan skoring nilai kesesuaian yang hasilnya dapat di klasifikasikan berdasarkan klasifikasi zona ekologis pada sub DAS tersebut. Parameter kualitas fisik sub DAS adalah kemiringan lereng, kepekaan tanah, ketinggian tempat, penutupan lahan dan intensitas curah hujan. Parameter kualitas air berdasarkan pada kualitas fisik air dan kualitas kimia air, yaitu kandungan sedimen tersuspensi dan bahan kimia yang terlarut didalam air (Arsyad 2006)

(45)

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/kpts/um/11/1980 dalam Soerianegara I. 1996, klasifikasi kemiringan lereng terdiri dari: datar - landai (0 - 15%), Agak curam (15 - 25%), Curam (25 - 40%), Sangat curam (> 40%). Klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi terdiri dari: tidak peka (aluvial,

glei, planosol, hidromorf), agak peka (latosol, brown forest, non-calcic brown,

[image:45.595.113.478.360.644.2]

mediteran), peka (andosol, laterit, grumusol, podsol, podsolik) dan sangat peka (regosol, litosol, organosol, renzina). Klasifikasi intensitas curah hujan tahunan terdiri dari: Rendah (<13,6 - 20,7 mm), Sedang (20,7 - 27,7 mm), Tinggi (27,7 - 34,8 mm), dan Sangat tinggi (>34,8 mm). Klasifikasi ketinggian tempat berdasarkan pada zona vegetasi (Whitmore 1991), yaitu daerah dataran rendah (900-1200 m dpl), daerah perbukitan (1200-1500 m dpl), daerah pegunungan bawah (1500-1800 m dpl), dan daerah pegunungan atas (>1800 m dpl).

Tabel 9. Penilaian Kualitas Fisik Sub DAS Naborsahon

Peubah Bobot Sub Peubah Nilai

Kemiringan lereng 15  0 - 8% (landai 4

 8 - 15% (agak curam) 3

 15 - 45% (curam) 2

 > 45% (sangat curam) 1

Kepekaan tanah 10  Tidak peka 4

 Agak peka 3

 Peka 2

 Sangat peka 1

Penutupan lahan 15  Bervegetasi rapat 4

 Bervegetasi tidak rapat 3

 Lahan pertanian 2

 Pemukiman 1

Ketinggian tempat 10  900 – 1200 mdpl 4

 1200 – 1500 mdpl 3

 1500 – 1800 mdpl 2

 > 1800 mdpl 1

Intensitas curah hujan 10  Rendah (<13,6 - 20,7 mm) 4

 Sedang (20,7 - 27,7 mm) 3

 Tinggi (27,7 - 34,8 mm) 2

 Sangat tinggi (>34,8 mm) 1

Sumber : DEPTAN (1980), Whitmore (1991), hasil diskusi bimbingan (2008).

Perhitungan kualitas fisik sub DAS =

(Σ Fkl x 15) + (Σ Fkt x 10) + (Σ Fpl x 15) + (Σ Fktp x 10) + (Σ Fich x 10) Keterangan:

(46)

Fkt = faktor kepekaan tanah

Fpl = faktor penutupan lahan (land cover) Fktp = faktor ke

Gambar

Tabel 1.  Matriks Perbandingan/Komparasi Berpasangan (Saaty, 1993)
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Kelas Umur di Sub DAS Naborsahon
Tabel 5. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Parapat dari Tahun 1986 s.d 2005
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepadatan spora Glomus hasil isolasi dari rizosfer Macaranga triloba pada tiga jenis tanaman inang dalam 5 g media tanam.. Hal ini kemungkinan karena tanaman jagung

Tekanan air yang terlalu rendah akan menyebabkan alat plambing tidak berfungsi, agar alat plambing berfungsi secara baik maka tekanan air sebaiknya dinaikkan sampai batas

[r]

Kesimpulan penelitian ini adalah rerata nyamuk yang terperangkap lebih banyak pada autocidal ovitrap atraktan, nyamuk yang terperangkap lebih banyak ditemukan di luar rumah, tetapi

bagaimana inovasi yang diterapkan untuk mengembangkan pendidikan diniyah formal atau menambah referensi untuk pelaksanaan pengembangan pendidikan diniyah formal

Program Ragam Indonesia – Trans 7 dan My Trip My Adventure – Trans TV tidak termasuk ke dalam program wisata budaya yang paling banyak ditonton versi KPI.. Hasil

Rona Hanani Simamora, dr.Novita Linda Akbar, dr.Trisna Marni, dr.Catherine Chong, dr.Cindy yang memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi kritis baik