• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penilaian Kawasan Wisata

5.1.1. Aspek Ekologis

Dalam pengembangan dan penataan kawasan wisata Parapat sebagai wisata alam perlu dilakukan penilaian terhadap kualitas ekologisnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerusakan pada setiap elemen ekologisnya. Parameter penilaian dibagi berdasarkan kualitas fisik sub DAS dan kualitas air. Penilaian kualitas air terbagi menjadi dua yaitu kualitas fisik air dan kualitas kimia air.

a. Penilaian Kualitas Fisik Sub DAS Naborsahon

Pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan harus memperhatikan kualitas fisik sub DAS. Fisik sub DAS berfungsi sebagai wadah untuk aktivitas wisata di kawasan tersebut. Suatu kawasan yang direncanakan untuk wisata alam sebaiknya mempunyai kualitas fisik yang baik. Untuk itu maka perlu dilakukan penilaian terhadap kualitas fisik sub DAS, sehingga dapat diketahui tingkat kerusakan pada setiap elemen fisiknya dan dapat dilakukan tindakan perbaikan pada sub DAS tersebut. Hal ini penting untuk mengembalikan kualitas fisik sub DAS, agar kegiatan wisata alam dapat dilakukan di kawasan tersebut dan terus berkelanjutan.

Hasil penilaian menunjukkan bahwa secara umum kualitas fisik sub DAS Naborsahon dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata alam (Tabel 15). Program yang harus dilakukan untuk meningkatkan nilai kesesuaian wisata menjadi tinggi adalah dengan perbaikan dan penataan secara fisik dan non fisik yaitu kesadaran masyarakatnya, dan pembangunan fasilitas dan aktivitas yang mendukung peningkatan kualitas fisik sub DAS. Hal ini dilakukan agar kegiatan wisata alam yang ditampung di kawasan tersebut, aman dan nyaman bagi wisatawan yang berkunjung.

Tabel 15. Hasil Penilaian Kualitas Fisik Sub DAS Naborsahon Daerah Desa/Kelurahan Kemiringan lereng Kepekaan tanah Penutupan lahan Ketinggian tempat Curah hujan Kesesuaian wisata N S N S N S N S N S N K Hu 1. Simp. Bolon 15 TS 10 TS 45 S 20 KS 30 S 120 S T 2. Girsang 30 KS 10 TS 45 S 20 KS 20 KS 125 S Hi 3. Parapat 45 S 10 TS 30 KS 30 S 20 KS 135 S Hi 4. Tigaraja 45 S 20 KS 15 TS 40 SS 20 KS 140 S Hi 5. P. Ajibata 45 S 20 KS 30 KS 30 S 20 KS 145 S

Sumber : Olahan data lapang, (2008)

Keterangan : N= nilai, S = Skor (SS=sangat sesuai, S=sesuai, KS=kurang sesuai, TS=tidak sesuai), K = kategori (T=tinggi, S=sedang, R=rendah).

Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir

Berdasarkan penilaian kualitas fisik menunjukkan bahwa secara umum fisik sub DAS Naborsahon memiliki kesesuian wisata sedang. Hasil penilaian menunjukkan daerah hilir memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan daerah hulu dan tengah. Hal ini disebabkan karena kemiringan lereng dan ketinggian tempat pada daerah tersebut relatif datar dan bergelombang dan sesuai sebagai kawasan wisata. Sedangkan pada daerah hulu dan tengah penutupan lahan memiliki nilai yang tinggi karena pada daerah tersebut merupakan daerah yang harus di konservasi dan juga merupakan kawasan lindung sehingga potensi yang ada dapat dikembangkan untuk atraksi hiking dan berkemah yang bersifat edukasi.

Kemiringan lereng di lokasi penelitian adalah datar sampai curam, yaitu 0- 45% dan ketinggian lereng 903–1.981 m dpl, dengan kondisi topografi didominasi oleh perbukitan dan pegunungan (LTEMP 2004). Kawasan yang memiliki ketinggian di atas 1000 m dpl berpotensi untuk dijadikan atraksi wisata seperti pegunungan. Kegiatan wisata di daerah pegunungan sangat beragam, yaitu kegiatan mendaki gunung, menikmati pemandangan pada saat matahari terbit dan terbenam, hingga kegiatan yang lebih kearah pendidikan dan ilmiah seperti pengamatan bentukan alam yang terjadi dan sebagainya. Sedangkan topografi curam berbahaya untuk wisata tetapi sangat bermanfaat untuk menikmati pemandangan danau, sehingga lokasi ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi kawasan wisata dengan fasilitas climbing dan out bond tetapi penataannya disesuaikan dengan daya dukung lahannya. Gambar 7 memperlihatkan bentukan alam yang terjadi akibat perbedaan ketinggian yang terdapat di lokasi penelitian.

Gambar 7. Potensi Wisata yang Terjadi Akibat Perbedaan Kemiringan Lereng

Sifat dan karakteristik tanah dan curah hujan dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian wisata. Berdasarkan pada klasifikasi Tanah menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah I Medan 1987, wilayah sub DAS Naborsahon memiliki jenis tanah podsolik, litosol dan regosol dengan klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi, peka sampai sangat peka, sedangkan curah hujan tahunan yang terjadi pada lokasi ini adalah sedang dan tinggi berkisar antara 2.200 sampai dengan 3.000 mm/tahun (LTEMP 2004).

Berdasarkan hal tersebut dan ditambah dengan topografi berbukit dan cukup curam menunjukkan bahwa pada kawasan sub DAS Naborsahon berpotensi cukup tinggi bahaya erosinya. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman, serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Purnama 2005).

Kemiringan lereng merupakan penentu utama kesesuaian penggunaan lahan dan terjadinya erosi. Lereng yang landai maka erosi yang terjadi sangat rendah, sedangkan lereng yang miring dan curam maka erosi sangat tinggi (Arsyad 2006). Kegiatan manusia juga memberi pengaruh yang cukup besar pada perubahan laju erosi. Indikasi tingginya laju erosi lainnya ditandai dengan banyaknya lahan yang mempunyai lapisan tanah yang sangat tipis terutama pada daerah perbukitan dengan lereng yang curam, bahkan di beberapa lokasi yang muncul di permukaan hanya berupa batuan pembentuk tanah tanpa adanya lapisan tanah sedikitpun, karena telah mengalami proses erosi yang cukup tinggi secara terus-menerus. Keberadaan semak belukar dan alang-alang/padang rumput yang cukup luas, juga merupakan indikasi tingginya laju erosi sehingga lahan yang telah terbuka sulit

untuk dapat membentuk formasi hutan alam kembali karena lapisan tanahnya relatif tipis (LTEMP 2004), (Gambar 8).

Untuk mencegah bahaya erosi/longsor dan kecelakaan pada penduduk setempat dan wisatawan, dilakukan tindakan konservasi pada daerah-daerah terbuka terutama pada daerah tebing yang peka dan sangat peka erosi, menerapkan sistem pertanian yang konservatif (JICA 2003), penanaman terassering pada lahan berbukit yang berfungsi untuk memperkuat daya tahan tanah terhadap erosi, serta menghindari pembangunan struktur berat pada daerah kemiringan lereng yang >15%. Tindakan konservasi dapat dilakukan dengan penanaman vegetasi yang memiliki kemampuan mengikat air dan sistem perakaran yang dalam sehingga air tanah dapat dikendalikan dengan baik. Menurut John dan Kathy (1990), vegetasi yang sesuai dengan daerah tropis adalah vegetasi yang memiliki kemampuan evapotranspirasi rendah dan meranggas di musim kemarau. Hal ini untuk mengurangi terjadinya kehilangan air melalui penguapan vegetasi. Jenis-jenis vegetasi ini umumnya memiliki karakter tanaman dengan daun yang memiliki lapisan lilin, berbulu, dan memiliki permukaan daun yang tidak lebar/berjarum seperti cemara, pinus dan bambu (John dan Kathy (1990).

Gambar 8. Kondisi Areal yang Terkikis Akibat Erosi

Keberadaan vegetasi hutan dengan kondisi topografi curam sangat penting untuk meningkatkan kemampuan resapan, menekan aliran permukaan, menekan laju erosi yang tinggi dan mencegah terjadinya longsoran. Aliran permukaan menjadi energi dapat menggerus partikel tanah di permukaan dan mengangkutnya ke tempat lain sebagai bagian dari proses erosi (Noordwijk 2004). Perakaran hutan mampu meningkatkan resapan lapisan tanah terhadap air hujan.

Menurut Sukmana (2007), penutupan lahan di sub DAS Naborsahon terdiri dari hutan tanaman industri, hutan lahan kering sekunder, semak belukar, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, lahan terbuka, dan permukiman/hotel. Pada gambar 9 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan klasifikasi citra landsat tahun 2006 dan Tabel 16 menunjukan luasan dari masing- masing klasifikasi penutupan lahan tersebut.

Berdasarkan penilaian penutupan lahan menunjukkan bahwa di Desa Sipangan Bolon memiliki penutupan lahan yang tinggi dan daerah lainnya cukup beragam. Namun pada saat ini telah banyak mengalami perubahan, yaitu dengan

semakin sedikitnya kawasan yang masih berhutan asli, sisanya terdiri dari perladangan dan lahan kritis yang perlu upaya rehabilitasi, (Aswandi dan Sunandar 2007). Ciri-ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang dengan produktivitas yang rendah, dan bahkan muncul bebatuan di permukaan tanah. Umumnya lahan kritis tersebut ditandai dengan vegetasi alang-alang yang mendominasi (Aswandi et al. 2005).

Tabel 16. Luas Penutupan Lahan di Sub DAS Naborsahon

Klasifikasi tutupan lahan Luas

Ha %

1. Hutan lahan kering sekunder 2034.54 19.69

2. Hutan tanaman industri 1941.88 18.79

3. Lahan terbuka 100.96 0.97

4. Permukiman 257.36 2.49

5. Pertanian lahan kering 2449.46 23.71

6. Pertanian lahan kering campur semak 2375.95 22.99

7. Semak belukar 1170.70 11.33

Total 10330.9 100

Sumber: Data hasil olahan, 2008.

Hasil klasifikasi penutupan lahan terlihat bahwa konversi hutan alam banyak berubah menjadi lahan pertanian. Hal ini terjadi akibat perilaku masyarakat yang membuka lahan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tanpa memperhatikan kemampuan lahan. Masyarakat membuka lahan dengan membakar yang selanjutnya akan dibiarkan jika lahan tersebut tidak produktif dan lahan berubah menjadi terbuka dan tandus yang ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Sedang konversi lainnya adalah semakin luasnya hutan tanaman industri dengan vegetasi Eucalyptus. Perilaku masyarakat dengan membuka lahan untuk pertanian sangat mengancam kelangsungan keberadaan hutan alam.

Keragaman hayati yang mampu mendukung kehidupan berbagai jenis flora dan fauna adalah hutan alam. Hutan alam yang ada sebagian besar berada dalam Kawasan Lindung yang telah ditata batas dan dikukuhkan, serta sebagian lagi berada dalam areal Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Keberadaan hutan alam ini telah terancam karena adanya pengkonversian hutan alam untuk dimanfaatkan sebagai perladangan, perkebunan, hutan tanaman bahkan pada tahun-tahun terakhir terdapat indikasi adanya penebangan liar oleh pihak swasta maupun penduduk lokal, yang berakibat pada turunnya aktifitas water surface run

off, (LTEMP 2004). Hal ini terjadi karena alasan ekonomi yaitu membuka lapangan pekerjaan dan lahan pertanian yang semakin sempit, sehingga bukan hanya menurunkan kualitas dan kuantitas habitat tetapi juga dapat menekan pertumbuhan berbagai jenis flora dan fauna yang ada terutama berbagai jenis/species endemik dilindungi yang harus dijaga kelestariannya.

Penutupan lahan yang bervegetasi rapat dapat dimanfaatkan sebagai obyek dan atraksi wisata. Bentuk kegiatan wisata yang dapat dikembangkan adalah kegiatan wisata alam, karena kegiatan wisata alam merupakan suatu perjalanan menuju ke daerah-daerah yang lingkungan alamnya masih asli atau masih sedikit terusik ataupun tercemar. Aktivitas wisata alam yang dapat dilakukan adalah

hiking, menjelajah gunung dan hutan, berkemah, dan menikmati pemandangan yang bersifat edukasi berupa pengamatan flora dan fauna karena tata hijau dan keragaman vegetasi hutan dan segala isinya memberikan potensi visual yang menarik untuk dinikmati dan dipelajari, tetapi penataannya disesuaikan dengan daya dukung lahannya.

Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan pertumbuhan areal permukiman baru yang tidak terpola dan tertata. Permukiman dan bangunan yang ada di pinggir danau mengambil sebagian areal badan danau. Adapun upaya perbaikan yang dapat dilakukan adalah penataan kembali pemukiman dan perhotelan yang ada dengan merelokasi kawasan tersebut untuk mengembalikan fungsi garis sempadan danau sebagai kawasan hijau sehingga dapat meningkatkan kualitas fisik DAS dan menjadi obyek dan atraksi wisata.

Dari hasil penilaian kualitas fisik DAS luas kawasan yang memiliki kelas kesesuaian tinggi adalah 4126.34 ha atau 39.9%, sedang 6124.8 ha atau 59.3%, dan rendah 76.79 ha atau 0.8% (Gambar 10). Berdasarkan penilaian tersebut maka sebagai kawasan wisata dibutuhkan penataan dan pengembangan wisata. Usaha yang harus dilakukan adalah perbaikan secara ekologis pada fisik DAS, sebaiknya dilakukan secara alami yaitu dengan penanaman lahan gundul, mempertahankan penutupan vegetasi, meminimumkan bangunan permanen pada tapak yang peka, dan membatasi intensitas penggunaan pengunjung pada daerah yang rawan erosi. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk perbaikan secara struktural selama perbaikan tersebut tidak memberi dampak buruk bagi lingkungan, serta

mendukung aktifitas wisata. Selain itu perbaikan dapat dilakukan secara non fisik yaitu membuat peraturan yang jelas tentang kelestarian lingkungan dengan melakukan pendidikan dan pengarahan kepada masyarakat untuk berperan aktif didalam menjaga lingkungannya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan suatu karakter lanskap yang unik, karena karakter lanskap yang unik pada suatu kawasan dapat menjadi unsur pendukung pengembangan kawasan wisata alam (Simonds 2006). Perbaikan dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat lokal. Perbaikan tersebut diperlukan agar wisatawan yang beraktivitas di kawasan ini merasa aman dan nyaman.

Gambar 10. Peta Kesesuaian Wisata Berdasarkan Kondisi Fisik di Sub DAS Naborsahon.

b. Penilaian Kualitas Air

Penilaian kualitas air dilakukan berdasarkan kualitas fisik air dan kualitas kimia air. Parameter kualitas fisik air adalah warna air, kecepatan arus, sedimentasi dan parameter kualitas kimia air adalah biochemical oxygen demand

(BOD), chemical oxygen demand (COD) dan dissolved oxygen (DO). Penilaian kualitas air dilakukan pada sungai Naborsahon dan Danau Toba sebagai muara sungai tersebut. Tabel 17 dan Gambar 11 memperlihatkan hasil penilaian pada lima desa sebagai lokasi penelitian. Hasil penilaian tersebut menunjukkan, empat lokasi yang termasuk dalam kategori sedang (S), dan satu lokasi termasuk dalam kategori rendah (R).

Tabel 17. Hasil Penilaian Kualitas Air

Daerah Desa/Kelurahan

Kualitas fisik Kualitas kimia

Kesesuaian wisata Warna air Kecepatan

arus Sedimentasi BOD COD DO

N S N S N S N S N S N S N K

Dokumen terkait