• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan Ikan Untuk Mereduksi Konflik Perikanan Tangkap Di Perairan Utara Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan Ikan Untuk Mereduksi Konflik Perikanan Tangkap Di Perairan Utara Aceh"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PEMANFAATAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN

UNTUK MEREDUKSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP DI

PERAIRAN UTARA ACEH

NANDA RIZKI PURNAMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan Ikan untuk Mereduksi Konflik Perikanan Tangkap di perairan Utara Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016 Nanda Rizki Purnama

(4)

RINGKASAN

NANDA RIZKI PURNAMA. Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan Ikan untuk Mereduksi Konflik Perikanan Tangkap di perairan Utara Aceh. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON dan MUSTARUDDIN.

Konflik perikanan tangkap di perairan Utara Aceh merupakan persoalan konflik yang sedang terjadi sejak tahun 2005 sampai 2015. Konflik perikanan tangkap secara umum terjadi akibat sumberdaya ikan yang semakin berkurang sehingga terjadi persaingan yang tidak sehat dalam memperebutkan sumberdaya pada daerah penangkapan ikan yang sama. Pada sisi lain unit penangkapan ikan cenderung bertambah sehingga produktifitas nelayan makin berkurang. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini adalah kelompok nelayan tradisional dalam memperebutkan daerah penangkapan ikan yang sama.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor penyebab dan dampak konflik perikanan tangkap serta menentukan pola pemanfaatan daerah penangkapan ikan untuk mereduksi konflik.

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Utara Propinsi Aceh yang meliputi kabupaten Aceh Besar, Banda Aceh dan Sabang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan AHP (Analitycal Hierarchy Process).

Hasil analisis menunjukan bahwa faktor-faktor penyebab konflik perikanan tangkap di perairan Utara Aceh adalah penggunaan cahaya lampu pada purse seine, perebutan daerah penangkapan ikan, penggunaan bom ikan, penggunaan trawl, Pemutusan rumpon dan illegal fishing. Sedangkan dampak yang dihasilkan dari konflik perikanan tangkap adalah terganggunya habitat sumberdaya ikan, menurunnya hasil tangkapan dan pendapatan nelayan tradisional serta pertikaian antar nelayan di daerah penangkapan ikan yang diperebutkan. Pola pemanfaatan yang dapat dikembangkan adalah memberi perhatian dominan terhadap aspek biologi/SDI dalam setiap tindakan pemanfaatan, meminimalisir terjadinya pemutusan rumpon (konflik utama) dan menerapkan strategi pengelolaan dengan urutan prioritas: mediasi, arbitrase, negosiasi dan ganti rugi.

(5)

SUMMARY

NANDA RIZKI PURNAMA. Fishing Ground Pattern Management To Reduce Conflicts In Capture Fisheries In Northen Aceh. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON and MUSTARUDDIN.

Capture fisheries conflict in North Aceh waters is a conflict problem has been started since 2005 until 2015. The capture fisheries conflict commonly occur due to limited fisheries resources so that appear unfair to exploitation fisheries resources in same fishing ground. To others beside fish catching unit increase but fishers productivity slightly deacrese. Stake holders in this conflict are traditional fishers to competition in the same fishing ground.

The purpose in this research was to analyze causing factors and the effects of conflicts in the capture fisheries as well as how to determined using pattern of fishing ground for reduced the conflicts.

The reasearch on fishing ground pattern management was conducted in North Aceh waters, among them Aceh Besar Regency, Banda Aceh and Sabang. The Methods was used in this research were descriptive and analytical hierarchy process (AHP).

The result showed that conflict factors source of the fishing ground in North Aceh was fishing practices such as light purse seine, seizure of fishing ground, bomb fishing, trawl, FAD’s and illegal fishing. Consequently, a destruction of fish habitat may occur which effects to decreasing catches and income fishers when chalenging fishing ground. The enhancement of management patterns were giving the attention to biological aspects in the each exploitation, minimalizing the breaking the FAD’s as a main conflict, applying the management startegy by priority serially (mediation, arbitrase, negotiation, and compensation).

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Perikanan Laut

POLA PEMANFAATAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN

UNTUK MEREDUKSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP DI

PERAIRAN UTARA ACEH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, karunia dan juga pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan Ikan untuk Mereduksi Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Utara Aceh dengan baik.

Pada penulisan tesis ini telah melibatkan berbagai pihak, karenanya penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Syahabuddin Daud dan Ibunda Darmiati, S.Pd yang telah memberikan segala cinta, kasih sayang, materi, pengorbanan dan doa yang tak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi hingga jenjang S2. Serta abang dan adik tercinta (M. Rizka Satria, S.kep dan Riska Ulia) yang telah memberikan motivasi dan cinta yang besar bagi penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga besar atas doa dan kasih sayangnya.

2. Bapak Prof Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Mustaruddin, STP, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini.

3. Ibuk Dr. Yopi Novita, S.Pi, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi dan bapak Prof Dr. Ir Mulyono S Baskoro, M.Sc., sebagai penguji luar komisi, serta kepada seluruh dosen dan staf di program studi Teknologi Perikanan Laut yang telah banyak berperan dalam menambah wawasan keilmuan.

4. Rizwan, ST, MT., Ichsan Setiawan, S.Si, M.Si., Haekal Azief Haridhi, S.Kel, M.Sc., Teuku Muhammad Haja Al Muqaramah, S. Pi, M. Si., Shavika Miranti, S. Pi, M. Si., terimakasih atas bantuan selama pengambilan data di lapangan. 5. Teman-teman TPL dan AQU 2013 (fatjri, helman, windu, mifta, radi, wahida,

nora, bang jal, yasinta, amel, mbak Ike dan mbak mita) terimakasih kalian adalah inspirasi terbesar dalam hidup ini.

6. Anak-anak Aceh dan friend forever (kak suri, ika, nurul, rika, bang muklis, bang sulfal, bang ilham, bang arif, miksal, afri, restu, agung) terimakasih atas kebahagiaan yang diberikan kepada penulis meski dalam waktu yang singkat.

Semoga segala perhatian, dukungan, doa dan kebahagian yang telah diberikan akan dicatat oleh Allah SWT sebagai amal ibadah dan mendapatkan balasan pahala yang berlimpah. Amin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

METODE PENELITIAN 5

Tempat dan Waktu Penelitian 5

Pengumpulan Data 6

Analisis Data 6

Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Perikanan Tangkap 6

Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan Ikan 7

KONFLIK PEMANFATAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN 10

Jenis dan Lokasi Terjadinya Konflik 10

Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Perikanan Tangkap 11

Penggunaan Cahaya Lampu pada Purse Seine 11

Perebutan Daerah Penangkapan Ikan 12

Penggunaan Bom Ikan 13

Penggunaan Trawl 15

Illegal Fishing 16

Pemutusan Rumpon 18

Upaya Penyelesaian Konflik 20

Analisis Hukum dan Kelembagaan 22

Sistem Kelembangaan Panglima Laôt 25

Keterkaitan Panglima Laôt degan Lembaga lain 30

POLA PEMANFAATAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN UNTUK

MEREDUKSI KONFLIK 31

Interaksi Konflik terhadap Pemanfaatan Derah Penangkapan Ikan 31

Kriteria Pemanfaatan DPI 33

Kondisi Daerah Penangkapan Ikan 34

Luas Daerah 34

Lokasi yang Bernilai Ekonomis 34

(12)

Strategi Penyelesaian Konflik Perikanan Tangkap 36

Penentuan Kriteria Penyelesaian Konflik 37

Faktor-Faktor Pembatas dalam Penyelesaian Konflik 38

Prioritas Strategi Penyelesaian Konflik 39

Pola Pemanfaatan DPI Untuk Mereduksi Konflik Perikanan Tangkap 42

KESIMPULAN DAN SARAN 47

Kesimpulan 47

Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 47

LAMPIRAN 53

RIWAYAT HIDUP 61

DAFTAR TABEL

1 Jumlah Responden untuk Penelitian 6

2 Skala Penilaian Perbandingan 9

3 Jenis dan Waktu Terjadinya Konflik di Perairan Utara Aceh 10 4 Matrik Hubungan Kriteria, Faktor Pembatas dan Dampak Konflik

Perikanan Tangkap 42

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitia 4

2 Lokasi Penelitian 5

3 Rancangan Struktur Hierarki Resolusi Konflik Perikanan Tangkap 8 4 Peta Sebaran Lokasi Konflik di Perairan Utara Aceh 10 5 Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Penggunaan Cahaya Lampu 12 6 Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Perebutan Daerah Penangkapan

Ikan 13

7 Faktor penyebab dan dampak konflik penggunaan bom ikan 15 8 Faktor penyebab dan dampak konflik penggunaan trawl 16 9 Faktor penyebab dan dampak konflikIllegal fishing 18 10 Faktor penyebab dan dampak konflik pemutusan rumpon 20

11 Panglima Laôt Lhôk/Kecamatan 27

12 Panglima Laôt Kabupaten/Kota 27

13 Panglima Laôt Provinsi 28

14 Perbandingan Kepentingan di Antara Kriteria Pengolaan 37 15 Perbandingan Kepentingan di Antara Faktor Pembatas 38 16 Perbandingan Kepentingan di Antara Alternatif Strategi 40

17 Struktur Hierarki Resolusi Konflik 41

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penelitian Terkait 53

2 Alat Ukur Indikator Variabel Konflik, Resolusi dan Outcome 54

3 Daftar Istilah 57

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Provinsi Aceh yang terletak di ujung barat Indonesia, secara geografis dikelilingi oleh laut. Wilayah pesisirnya memiliki panjang garis pantai 1.660 km dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km² terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km². Wilayah pantai dan lautnya secara umum dipengaruhi oleh persimpangan dan gerakan arus Samudera Hindia, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berinteraksi dengan daratan pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kepulauan Andaman dan Nicobar, sehingga menampakkan ekosistem laut di sepanjang pesisir Aceh sangat sesuai bagi kehidupan, biota laut. Kondisi yang demikian sangat strategis untuk usaha perikanan, khususnya penangkapan ikan di laut dan budidaya tambak (DKP Aceh 2010).

Aceh terdapat gugusan pulau-pulau besar dan kecil sebanyak 119 buah serta 73 buah sungai penting yang mengalir hingga ke muara. Kondisi wilayah tersebut di atas menjadikan Provinsi Aceh sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar. Dengan sentuhan teknologi yang lebih modern dan tepat guna menggantikan teknologi sederhana/tradisional yang masih ada, maka sektor ini mempunyai peluang besar dan dapat menjadi sektor dominan dan andalan untuk mengangkat serta meningkatkan pendapatan (income generating) dan kesejahteraan masyarakat Aceh di masa depan.

Sumberdaya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam sering berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumberdaya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sifat pemanfaatan sumberdaya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumberdaya, khususnya antar kelompok nelayan (Christy 1987).

Pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan yang terus menerus.

Pengelolaan dan penangkapan ikan yang hendaknya mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan asli daerah sehingga mampu mewujudkan kemadirian dan keadilan ekonomi. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya upaya pemerataan alokasi dan distribusi sumberdaya perikanan secara efesien dan berkelanjutan kepada masyarakat tanpa mempriotaskan suatu kelompok masyarakat dan memarjinalkan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya kecemburuan sosial dan konflik di masyarakat dalam menfaatkan daerah penangkapan ikan.

(15)

et al. 2000). Konflik memiliki pengertian dasar adanya perbedaan persepsi tentang kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak (Golledge dan Stimson 1997) dan konflik sering terjadi ketika tujuan individu, kelompok atau masyarakat tidak sejalan. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap individu memiliki kepentingan melalui persepsi dunia yang diinginkannya, dimana pada saat yang bersamaan individu tadi berusaha memelihara stabilitas, ketahanan dan konsistensi dari gambaran dunia yang didapat dari persepsi tersebut. Kondisi lingkungan yang dibangun (build enviroment) merupakan ekspresi dan interpretasi ruang yang dilakukan oleh manusia. Keputusan tersebut biasanya sangat dipengaruhi oleh cara manusia memandang dan mengevaluasi sistem keruangan tersebut (Gunawan 2000).

Konflik perikanan tangkap secara umum terjadi akibat sumberdaya ikan yang semakin berkurang sehingga terjadi persaingan yang tidak sehat dalam memperebutkan sumberdaya pada daerah penangkapan ikan yang sama. Pada sisi lain unit penangkapan ikan cenderung bertambah sehingga produktifitas nelayan makin berkurang. Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini adalah kelompok nelayan tradisional dalam memperebutkan daerah penangkapan ikan yang sama. Keragaman jenis konflik ini banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan sumberdaya ikan. Potensi konflik dapat disebabkan oleh prinsip hunting di mana nelayan harus selalu memburu ikan sehingga terjadi persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada daerah penangkapan ikan pada waktu yang sama (Budiono 2005).

Konflik antara nelayan Aceh dengan nelayan asing (pendatang) di perairan Utara Aceh sering terjadi. Nelayan lokal yang menangkap ikan tuna di Aceh menduga adanya sejumlah kapal-kapal asing yang mencuri di perairan Utara Aceh, yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Selain konflik dengan nelayan asing, sering juga terjadi konflik antara nelayan lokal dengan nelayan lokal provinsi lain, serta konflik antar nelayan lokal (Indrawasih 2006).

Berdasarkan referensi yang ada (Lampiran 1), menunjukan bahwa terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang konflik perikanan diantaranya adalah: (1) Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Kalimantan Selatan (Sari 2011); (2) Keefektifan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur (Budiono 2005); dan (3) Analisis konflik nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Selat Madura dalam perspektif sosiologis-hukum (Hikmah Z 2008), namun itu hanya dilakukan di tiga wilayah, sedangkan di perairan Utara Aceh belum diteliti.

Terdapat berbagai masalah dan jenis konflik yang masih terjadi di perairan Utara Aceh hal ini disebabkan oleh pertahanan keamanan yang kurang bagus di daerah perbatasan, sehingga banyak kapal asing atau kapal nelayan lokal dari provinsi lain yang masuk dan melakukan penangkapan ikan di perairan Utara Aceh serta lemahnya penegakan peraturan/otonomi daerah dan rendahnya kualitas dari nelayan. Dengan demikian sangat diperlukan sebuah kajian yang lebih lanjut tentang pola pemanfaatan dalam pengelolaan daerah penangkapan ikan agar dapat mereduksi konflik yang terjadi.

Perumusan Masalah

(16)

konflik yang terjadi, belum nampak adanya upaya untuk memahami akar permasalahan konflik tersebut apalagi upaya pengelolaannya. Dalam hal ini diperlukan upaya yang sistematis untuk memahami dan melakukan pengelolaan dengan membuat suatu strategi resolusi konflik.

Indikator penyebab konflik diperoleh dengan cara mengidentifikasi konflik yang terjadi, di mana konflik itu berlangsung, kronologi peristiwa dan aktor-aktor atau kelompok yang terlibat. Teknik resolusi konflik dilakukan dengan identifikasi upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik, siapa yang dilibatkan, cara apa yang dilakukan dan bagaimana hasilnya serta menelusuri peran kelembagaan sosial masyarakat nelayan. Dengan demikian model struktural dan pengukuran dalam pengelolaan konflik pemanfaatan daerah penangkapan ikan dapat dilakukan.

Pendekatan yang baik dalam mewujudkan pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan untuk ikut berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap konflik. Dengan terbangunnya partisipasi stakeholder diharapkan dapat mewujudkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

 Menganalisis faktor-faktor penyebab dan dampak konflik perikanan tangkap.  Menentukan pola pemanfaatan daerah penangkapan ikan untuk mereduksi

konflik.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan yaitu:

 Bahan pertimbangan atau rekomendasi kepada pemerintah untuk perumusan kebijakan dalam rangka mengelola konflik perikanan tangkap.

 Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada nelayan untuk meningkatkan keterampilan penyelesaian konflik melalui proses solusi yang tepat.

 Penelitian ini akan memperkaya pengetahuan dan teori tentang konflik dan pendekatan yang dapat diaplikasikan dalam pemanfaatan daerah penangkapan ikan berbasis resolusi konflik.

Kerangka Penelitian

Konflik pemanfaatan daerah penangkapan ikan bersifat sangat kompleks, oleh karena itu diperlukan identifikasi menyeluruh yang merupakan input dari penelitian yang terangkum kedalam identifikasi permasalahan konflik pemanfaatan daerah penangkapan ikan. Akar permasalahan penting untuk diketahui agar penyelesaian terhadap kesepakatan diharapkan benar-benar dapat meyelesaikan masalah. Identifikasi awal yang dilakukan secara sistematis merupakan landasan yang kuat dalam menjalankan proses penyelesaian konflik.

(17)

demikian implikasinya dapat diterapkan dalam pengelolaan pemanfaatan daerah penangkapan ikan baik yang ada di perairan Utara Aceh ataupun di lokasi lain.

Salah satu upaya menyiasati keterbatasan sumberdaya dan perbedaan kepentingan stakeholder adalah mengelola secara optimal sumberdaya dengan memperhatikan keterbatasannya sebagai kendala pengelolaan. Konsep optimalisasi yaitu memaksimalkan manfaat dalam batas-batas tertentu juga menjadi perhatian dari penelitian. Dalam kaitan dengan konflik, konsep pengelolaan daerah penangkapan ikan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi model yang dapat mengoptimalkan pengelolaan yang ada sekaligus mereduksi atau mengurangi konflik-konflik yang terjadi.

Suatu konflik dapat diselesaikan dengan baik apabila stakeholder dapat memahami tipologi konflik, stakeholder yang terkait, dampak dari konflik tersebut, dan kemudian dalam penyelesaiannya metode pendekatan (approach method) yang tepat diterapkan. Keberhasilan dari penyelesaian konflik ini sangat tergantung kepada interaksi stakeholder yang ada, apakah efektif mengarah kepada penyelesaian atau justru memperburuk konflik yang ada. Oleh karena itu, dalam penelitian ini mencoba untuk merumuskan strategi yang tepat untuk mengubah interaksi negatif yang ada menjadi sesuatu yang lebih baik. Kondisi yang diharapkan dari penerapan strategi tersebut adalah interaksi efisien di kalangan stakeholder. Perumusan strategi ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis tingkat pengaruh interaksi terhadap konflik, memilih interaksi yang perlu dicegah dan dibiarkan, menetapkan strategi pengelolaan atau pemecahan masalah terkait interaksi stakeholder tertentu. Konsep interaksi tersebut sangat berguna bagi penyelesaian menyeluruh konflik pengelolaan pemanfaatan daerah penangkapan ikan dan lainnya di perairan Utara Aceh.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Idenfikasi konflik

perikanan tangkap

Penyebaran spasial dan tempat perikanan tangkap

Penyebab terjadinya konflik perikanan

tangkap

Proses dan upaya penyelesaian konflik

Dampak dan interaksi terhadap daerah penangkapan ikan:

- Ekonomi - Teknologi - Biologi - Sosial

(18)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Utara Propinsi Aceh dengan titik koordinat 950– 960 BT dan 5,3 – 5,8 LU yang meliputi kabupaten Aceh Besar, Banda Aceh dan Sabang. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: tahap pertama survei lapangan tempat lokasi penelitian pada bulan Desember 2014, tahap kedua pengumpulan data lapangan pada bulan Januari-Maret 2015. Perairan Utara Provinsi Aceh merupakan daerah yang dikelilingi oleh dua wilayah perairan yaitu wilayah pengelolaan perairan (WPP) 571 dan WPP 572. Oleh sebab itu banyak armada kapal yang melakukan penangkapan ikan dilokasi tersebut, sehingga terjadinya konflik antar nelayan, seperti konflik lokasi penempatan rumpon di perairan Utara Aceh, pemutusan tali rumpon oleh nelayan lain, perebutan lokasi daerah penangkapan ikan (DPI) dengan alat tangkap purse seine dan konflik dengan nelayan asing serta belum ada pengelolaan yang optimal. Adapun peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

(19)

Pengumpulan Data

Menurut ketersediaannya, jenis data yang dikumpulkan secara umum dapat dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan langsung oleh peneliti di lapangan sedangkan data sekunder adalah data yang sudah tersedia dari laporan dinas kelautan dan perikanan (DKP) dan institusi yang terkait atau individu.

Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung atau survei di lapangan. Dalam penelitian ini, berbagai jenis data dikumpulkan untuk mengetahui kondisi umum pemanfaatan daerah penangkapan ikan di perairan Utara Aceh, kasus konflik perikanan tangkap, persepsi dan tanggapan nelayan terhadap konflik yang meliputi faktor-faktor penyebab konflik dan dampak konflik, solusi untuk menangani konflik, lokasi penangkapan ikan, aktor yang terlibat, sejarah/kronologis terjadinya konflik, tempat kejadian, akar masalah, peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah penelitian, serta kelembagaan panglima laôt.

Selain pengamatan langsung (survei), data primer juga diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap berbagai stakeholder. Responden ditetapkan secara segaja (perposive sampling). Responden dipilih berdasarkan kompetensinya sebagai stakeholder terkait. Untuk itu, langkah pertama yang dilakukan adalah pemilihan kelompok sampel responden. Kelompok stakeholder meliputi nelayan, panglima laôt, pengelola pangkalan pendaratan ikan (PPI), Dinas Kelautan dan Perikanan. Kelompok sampel responden tersebut memiliki pemahaman terhadap proses terjadinya konflik dalam pemanfaatan daerah penangkapan ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, berinteraksi dengan kelompok nelayan, baik karena kegiatannya maupun karena lokasi kegiatannya. Adapun jumlah masing-masing responden yang mewakili stakeholder dapat dilihat padaTabel 1.

Tabel 1 Jumlah Responden untuk Penelitian

No Kelompok responden Jumlah responden (orang)

1 Panglima laôt 4

2 Dinas kelautan dan perikanan 3

3 Pengelola pangkalan pendaratan ikan 3

4 Nelayan 150

Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: jenis upaya penangkapan, kelembangaan panglima laôt, jumlah kapal penangkap ikan, jumlah nelayan.

Analisis Data

Faktor Penyebeb dan Dampak Konflik Perikanan Tangkap

(20)

kelangsungan suatu sumberdaya karena agregat dari strategi yang besar dan melampaui daya dukung kelangsungan sumberdaya tersebut.

Terkait hal ini, partisipasi masyarakat pesisir menjadi hal penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Dalam kaitan dengan konflik berbagai stakeholder terkait, pengelolaan konflik selama ini cenderung tidak memberikan hasil yang memuaskan karena ego masing-masing.

Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan sumberdaya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh prinsip hutang dimana nelayan harus selalu memburu ikan, suatu persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama.

Setelah penyebab konflik diidentifkasi, selanjutnya dilakukan pemetaaan keterkaitan stakeholders dengan terjadinya konflik, yaitu dengan cara menanyakan kepada responden perwakilan stakeholders tentang peran mereka terhadap konflik sehingga mereka seakan-akan merasakan dan terlibat langsung.

Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan Ikan

Strategi pada resolusi konflik pemanfaatan daerah penangkapan ikan di perairan Utara Aceh diperoleh dengan mengunakan analisis AHP. Analisis AHP (Analitycal Hierarchy Process) merupakan tahapan akhir dalam penyusunan model pemanfaatan daerah penangkapan ikan. Analisis AHP dilakukan untuk menyusun urutan prioritas strategi resolusi konflik yang dapat memberikan arternatif mereduksi konflik yang ada. Analisis dikembangkan dengan memanfaatkan hasil analisis optimasi pemanfaatan daerah penangkapan ikan dan jenis interaksi, konflik serta stakeholder penting yang dihasilkan oleh analisis AHP dengan tetap mengedepankan prinsip resolusi konflik dan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Kekuatan AHP terletak pada struktur hierarki yang memungkinkan dimasukkannya semua faktor penting dan mengaturnya sampai ketingkat alternatif. Setiap masalah dapat dirumuskan sebagai keputusan berbentuk hierarki, kadang-kadang dengan ketergantungan untuk menunjukkan bahwa beberapa elemen bergantung pada yang lain dan pada saat yang sama elemen yang lain tergantung padanya. Elemen pada setiap tingkat digunakan sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemen-elemen yang berada setingkat dibawahnya.

Menurut Saaty (1991), langkah awal yang dilakukan dalam analisis menggunakan AHP ini adalah mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang ingin dicapai. Hal ini penting untuk memastikan bahwa komponen terkait baik yang menjadi kriteria maupun pembatas yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan dapat diakomodir dengan baik. Setelah pendefinisian, dilakukan penyusunan struktur hierarki yang terdiri dari tujuan/fokus (level 1), kriteria/sub tujuan (level 2), faktor pembatas (level 3) dan pada level paling bawah menghasikan alternatif pola pemanfaatan daerah penangkapan ikan untuk mereduksi konflik. Adapun tahapan yang dilakukan oleh analisis Analitycal Hierarchy Process dalam menyelesaikan persoalan ini, ada beberapa prinsip yang harus dipahami diantaranya:

(21)

Comparative Judgement (Penilaian Perbandingan Berpasangan) merupakan prinsip yang membuat penilaian tentang kepentingan relative 2 (dua) elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Adapun kreteria penilaian terhadap kriteria atau tujuan dalam penyusunan skala disajikan pada Tabel 2.

Gambar 3 Rancangan Struktur Hierarki Resolusi Konflik Perikanan Tangkap  Synthesis of Priority (Penentuan Prioritas). Setiap matriks pairwise comparison

kemudian di cari eigenvectornya untuk mendapatkan local priority. Bila matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa di antara local priority.

Konsistensi Logis. Dari semua semua elemen dapat dikelompokkan secara logis secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan.

(22)

dan memberikan rekomendasi prioritas strategi resolusi komflik untuk digunakan pada alam nyata.

Tabel 2 Skala Penilaian Perbandingan

Tingkat Kepentingan Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya

Dua elemen mempunyai

pengaruh yang sama besar terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting

dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain

5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain

7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya

Satu elemen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak lebih penting

daripada elemen yang lainnya

Bukti yang mendukung

elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai

pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan

Kebalikan

Jika untuk elemen i mendapat satu angka bila dibandingkan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan elemen i.

(23)

KONFLIK PEMANFAATAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN

Jenis dan Lokasi Terjadinya Konflik

Jenis konflik yang terjadi di perairan Utara Aceh dewasa ini terdiri dari konflik alat tangkap dan konflik pengkaplingan laut. Kedua jenis konflik tersebut tercakup dalam enam jenis kasus yaitu (1) Penggunaan cahaya lampu pada purse seine, (2) Perebutan daerah penangkapan ikan, (3) Penggunaan bom ikan, (4) Penggunaan trawl (5) Pemutusan rumpon, dan (6) illegal fishing. Kasus konflik tersebut telah terjadi sejak tahun 2005 dan masih tetap marak terjadi dewasa ini (Tabel 3).

Tabel 3 Jenis dan Waktu Terjadinya Konflik di perairan Utara Aceh

No Jenis konflik Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1 Penggunaan

cahaya lampu

pada purse seine

2 Perebutan daerah penangkapan ikan

3 Penggunaan bom

ikan

4 Penggunaan

trawl

5 Pemutusan

rumpon

6 Illegal fishing

Keterangan:

√ = waktu terjadinya konflik

Konflik di perairan Utara Aceh dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: aman, rawan, dan berbahaya. Pontensi konflik perikanan di perairan Utara Aceh menyebar merata di perairan, namun lebih terkonsentrasi di kawasan pesisir (Gambar 4). Pada Gambar 4 terlihat bahwa konflik kategori berbahaya lebih tinggi intensitasnya dan penyebarannya lebih luas dibandingkan kategori rawan dan aman. Selanjutnya konflik kategori rawan dan aman relatif sama, yaitu lokasinya umumnya lebih jauh dari pesisir dibandingkan dengan kategori berbahaya. Hal ini berarti bahwa DPI bagi nelayan tradisional yang terkonsentrasi di sekitar pantai memiliki potensi yang cukup tinggi untuk terjadi konflik kategori berbahaya. Peta sebaran lokasi konflik dapat dilihat pada Gambar 4.

(24)

Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Perikanan Tangkap

Penggunaan Cahaya Lampu Pada Purse Seine

Operasi penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya lampu dilakukan oleh nelayan purse seine yang berasal dari luar Aceh yaitu dari Sibolga dan Thailand. Mereka mengoperasikan purse seine dengan jarak dibawah 12 mil. Pada umumnya penggunaan purse seine oleh nelayan asing menggunakan alat bantu lampu dengan intensitas cahaya mencapai 350 lux, sedangkan nelayan purse seine di perairan Utara Aceh menggunakan cahaya lampu dengan intensitas cahaya 38 lux. Hasil tangkapan nelayan asing lebih besar dibandingkan dengan nelayan tradisional dikarenakan penggunaan alat bantu lampu dengan intensitas cahaya yang berbeda jauh.

Nelayan Sibolga dan Thailand mendaratkan ikannya di daerah asal mereka, sehingga operasi penangkapan ikan ini menimbulkan konflik di antar nelayan purse seine dengan nelayan tradisional di perairan Utara Aceh. Nelayan tradisional menganggap alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Potensi negatif ini dibuktikan dari susahnya mendapatkan ikan ketika nelayan luar Aceh beroperasi di sekitar perairan Utara Aceh. Konflik tersebut sering terjadi karena: (1) Penggunaan lampu berkapasitas tinggi di wilayah perairan Utara Aceh merugikan nelayan tradisional, (2) Ikan yang bermigrasi ke DPI nelayan tradisional terhalang dengan cahaya lampu, (3) Hasil tangkapan nelayan tradisional berkurang.

Alat tangkap purse seine di perairan Utara Aceh tergolong berukuran besar, tetapi mereka tidak menggunakan cahaya lampu dalam operasi penangkapan ikan. Kemampuan mendeteksi gerombolan ikan secara tepat dan keterampilan dalam pengoperasian alat tangkap merupakan faktor penting untuk menghindari terjadinya resiko kegagalan dalam setiap operasi penangkapan ikan dengan menggunakan purse seine. Menurut Von Brandt (1984), pengoperasian purse seine harus aktif mencari, mengejar, dan mengurung ikan pelagis yang bergerombolan dan bergerak cepat dalam jumlah besar, dengan melalui alat pengumpul ikan.

Menurut Nedelec (2000), purse seine adalah suatu alat penangkap ikan yang digolongkan dalam kelompok jaring lingkar (surrounding net) yang dilengkapi tali kerut dan cincin untuk menguncupkan jaring bagian bawah pada saat dioperasikan. Cincin mempunyai fungsi ganda sebagai tempat lewat tali cincin dan juga berfungsi sebagai pemberat. Purse seine sampai saat ini merupakan alat penangkap ikan pelagis kecil yang paling produktif. Peranan jaring adalah sebagai pengurung ikan agar tidak lari dari sergapan jaring ketika dilingkarkan. Menurut Rahman (2001) cahaya yang dihasilkan dari lampu dengan intensitas tinggi akan lebih cepat menarik ikan yang memiliki sifat fototaksis positif (tertarik pada cahaya), sehingga berkumpul disekitar lampu. Lampu sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik perhatian ikan agar berkumpul di bawah cahaya lampu.

(25)

tangkap). Aspek ekologis yang ditimbulkan salah satunya stok sumberdaya ikan di perairan Utara Aceh akan menurun setiap tahunnya akibat tangkapan yang berlebihan dan tangkapan yang belum matang gonad, sehingga keberlanjutan dari kelestarian sumberdaya ikan akan terganggu.

Menurunnya kelimpahan sumberdaya ikan akan mengakibatkan jumlah hasil tangkapan menurun dan pendapatan nelayan menurun. Hal ini mengakibatkan pendapatan daerah dari sektor perikanan juga menurun. Aspek sosial yang ditimbulkan dari dampak di atas yaitu perebutan wilayah penangkapan ikan antar nelayan, sehingga nelayan harus beralih profesi saat sumberdaya ikan mulai berkurang. Adapun faktor penyebab dan dampak yang di timbulkan oleh penggunaan cahaya lampu pada purse seine di perairan Utara Aceh dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Penggunaan Cahaya Lampu

Perebutan Daerah Penangkapan Ikan

Nelayan tradisional di perairan Utara Aceh melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Selat Malaka dengan jarak kurang dari 12 mil dari fishing base. Wilayah perairan tersebut digunakan pula oleh nelayan asing untuk melakukan kegiatan penangkapan. Umumnya nelayan asing mengunakan kapal berukuran besar dan alat tangkap modern, sehingga nelayan tradisional kalah bersaing dengan nelayan asing.

Nelayan pancing dan trammel net yang merupakan nelayan tradisional di perairan Utara Aceh merasa dirugikan dengan keberadaan nelayan asing di perairan Selat Malaka dengan jarak kurang dari 12 mil dari pantai. Kelompok nelayan lokal telah memanfaatkan wilayah perairan tersebut sebagai daerah penangkapan ikan secara turun temurun. Nelayan tradisional ini merasa bahwa wilayah perairan kurang dari 12 mil sebagai hak property bagi mereka. Apabila nelayan luar masuk ke wilayah ini dengan menggunakan alat tangkap yang berukuran besar atau telah dimodifikasi, maka akan dianggap telah melanggar norma serta tidak menjaga kelestarian sumberdaya perikanan.

Kehadiran nelayan asing yang menggunakan alat tangkap yang produktif ini menyebabkan semakin terbatasnya stok sumberdaya ikan. Kondisi ini, membuat perebutan daerah penangkapan yang sama di antara nelayan tradisional dengan nelayan asing di perairan Utara Aceh. Perebutan daerah penangkapan ini akhirnya menyebabkan konflik karena nelayan tradisional kalah bersaing dengan nelayan asing dan hasil tangkapan nelayan lokal juga semakin menurun. Hal ini disebabkan karena nelayan asing menggunakan alat tangkap yang lebih produktif dibandingkan dengan nelayan tradisional. Konflik seperti ini cukup banyak ditemukan di perairan Aceh karena tidak ada aturan baku yang tertulis dalam pemanfaatan daerah penangkapan ikan. Penyebab

(26)

terjadinya konflik perebutan daerah penangkapan ikan di perairan Utara Aceh adalah (1) Penggunaan alat tangkap yang lebih produktif oleh nelayan asing menyebabkan nelayan tradisional kalah bersaing dengan nelayan asing, (2) Tidak adanya aturan baku/tertulis dalam pengelolaan DPI, (3) Hasil tangkapan nelayan tradisional menurun dengan keberadaan nelayan asing.

Akibat penurunan hasil tangkapan nelayan tradisional, maka pendapatan mereka juga menurun secara drastis sebagai akibat keberadaan nelayan asing. Menurut KKP (2002), perbedaan kualitas alat tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah penangkapan yang sama, dapat mengurangi hasil tangkapan pada kualitas alat tangkap yang lebih rendah.

Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan asing di kawasan penangkapan nelayan tradisional adalah trawl. Alat tangkap tersebut dianggap nelayan tradisional sebagai pemicu terjadinya kerusakan habitat sumberdaya ikan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pertikaan (konflik) antar nelayan lokal dan asing. Nelayan tradisional dan nelayan asing berlomba untuk mendapatkan hasil tangkapan dalam jumlah besar, bahkan sering kali menimbulkan kegiatan penangkapan ikan yang destruktif. Menurut Agnet et al. (2009), kegiatan tersebut semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik untuk ekosistem perairan, akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Adapun faktor penyebab dan dampak yang ditimbulkan oleh perebutan daerah penangkapan ikan di perairan Utara Aceh dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Perebutan Daerah Penangkapan Ikan

Penggunaan Bom Ikan

Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak merupakan cara yang sering digunakan oleh nelayan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan khususnya dalam melakukan penangkapan ikan karang. Adapun pihak yang berkonflik terkait penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak yaitu antara nelayan yang bukan pengguna bom dengan nelayan pengguna bom ikan. Nelayan yang menggunakan bom ikan diangggap oleh masyarakat sebagai perilaku yang menyimpang (deviant behaviour) dengan beragam motif, seperti ingin kaya atau terpaksa karena adanya benturan dengan kondisi ekonomi. Ironisnya dari para pelaku pengguna bom ikan sulit ditangkap. Berdasarkan informasi yang diperoleh, hal tersebut disebabkan luasnya kondisi perairan, kurangnya fasilitas dan anggaran dana untuk menertibkan pengguna bom ikan. Selain itu pengguna bom menggunakan kapal bermesin 6 (enam) silinder sehingga kalah cepat ketika dilakukan pengejaran. Apa yang telah dilakukan nelayan penggguna bom ikan tersebut telah merusak habitat daerah pemijahan ikan

(27)

karena telur dan larva menjadi mati karena pengeboman dilakukan di daerah terumbu karang. Penggunaan bom tidak hanya merusak ekosistem terumbu karang, tetapi juga berdampak terhadap keberadaan penyu yang berada di sekitarnya. Daya ledakan bom ini dapat mencapai radius 100 m2, sehingga penyu yang terdapat di sekitarnya menjadi terganggu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya konflik nelayan yang bukan pengguna bom ikan dengan nelayan pengguna bom ikan di perairan Utara Aceh disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) Penggunaan bom merusak ekosistem terumbu karang yang menyebabkan rusaknya daerah pemijahan (spawning area) (2) Merusak ekosistem rantai makanan mengakibatkan menurunnya sumberdaya ikan secara drastis (3) DPI terdegradasi akibat kelimpahan stok ikan yang menurun (4) Pendapatan nelayan menurun drastis (5) Penggunaan bom merupakan pelanggaran UU No 45 Tahun 2009, revisi UU No 31 Tahun 2004 dan tidak sesuai dengan kearifan lokal.

Suparmoko (2002) menyatakan bahwa penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan, penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada disekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang, diantaranya karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir serta meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang.

Konflik penangkapan menggunakan bahan peledak bom ikan merupakan konflik yang terjadi terus menerus. Menurut Charles (1992) konflik ini termasuk tipologi konflik alokasi internal karena biasanya terjadi diantara stakeholder yang berkaitan langsung dengan kegiatan perikanan tangkap, yaitu antar nelayan dengan petugas keamanan laut. Konflik bermula dari kegiatan menangkap ikan menggunakan bom ikan yang diawali oleh nelayan dari luar kemudian diikuti oleh beberapa nelayan lokal skala kecil.

(28)

Gambar 7 Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Penggunaan Bom Ikan

Penggunaan Trawl

Trawl merupakan pukat kantong berbentuk kerucut dengan mulut lebar yang diberi pemberat pada tali ris bawah (ground rope) dan diberi pelampung pada tali ris atas (Head rope). Pada saat dioperasikan pukat diusahakan terbuka dengan bantuan dua buah papan (otter board) yang terbuat dari kayu atau besi yang ditarik dengan tali warp yang dipasang pada pusatnya, sehingga kedua papan tersebut cenderung saling membuka waktu dioperasikan. Kedua otter board dihubungkan dengan jaring oleh briddle. Briddle ini dapat mencapai panjang 200 meter dan menyapu sejumlah luasan dasar laut. Mereka membuat takut ikan-ikan dan menggiring mereka masuk ke dalam pukat yang bergerak ke depan, dengan demikian berfungsi meningkatkan efektivitas dari pukat. Bentuk pukat dapat bervariasi menurut menurut jenis ikan yang ditangkap dan tipe dasar perairan. Tali ris bawah dapat dipasangi roller gear dan bobbin set sehingga trawl dapat dioperasikan di atas dasar berbatu tanpa menimbulkan kerusakan berarti pada jaring (Widodo 2001).

Pengoperasian trawl di perairan Aceh jelas dilarang, sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, aktifitas penangkapan ikan dengan trawl masih marak ditemukan di perairan ini, bahkan nelayannya berasal dari Thailand. Nelayan trawl ini sering berinteraksi dengan nelayan lokal yang mengoperasikan alat tangkap pancing. Keberadaan nelayan trawl sangat merusak habitat perairan. Nelayan trawl ini juga dianggap sebagai penyebab terjadinya penurunan hasil tangkapan nelayan pancing. Pengoperasian trawl juga sering kali merusak rumpon nelayan. Bahkan nelayan pancing merasa takut mendekat ke nelayan trawl karena pemiliknya sangat brutal. Artinya, nelayan tidak hanya menggalami kerungian akibat pendapatan menurun, tetapi mereka juga sering kali tidak nyaman dalam melakukan aktifitas penangkapan ikan, akibatnya nelayan pancing melakukan protes keras agar pemerintah menegakkan hukum yang berlaku secara tegas dan konsisten untuk mengusir nelayan trawl, sehingga tidak terjadi konflik yang lebih serius.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya konflik penggunaan trawl adalah: (1) Pengoperasian trawl di daerah Aceh dilarang sesuai dengan peraturan yang berlaku (2) Pelanggaran jalur penangkapan (3) Perbedaan level teknologi penangkapan ikan menyebabkan persaingan yang tidak seimbang, bahkan menuju ke level konflik (4) Kurang optimalnya fungsi dan peran kelembagaan atau institusi pemerintah (5) Belum tegasnya pelaksanaan hukum dan peraturan pemerintah.

(29)

Pengoperasian trawl dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan sering menimbulkan konflik dengan nelayan-nelayan yang menggunakan alat penangkapan ikan lainnya seperti gill net, bubu dan pancing. Trawl merupakan alat tangkap yang tidak selektif sehingga hampir semua ikan tertangkap oleh alat ini. Tidak hanya ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan, tetapi juga termasuk hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan sampingan (by catch) didefinisikan oleh Saila (1983) sebagai bagian dari hasil tangkapan total yang ikut tertangkap dan bukan merupakan sasaran utama.

Penggunaan trawl berdampak negatif terhadap nelayan tradisional di perairan Utara Aceh karena menimbulkan kerusakan habitat dan menyebabkan menurunnya ketersediaan sumberdaya ikan. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 2 tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawl) dan pukat tarik (seine net) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Permen KKP itu merupakan penegasan dari UU No.31/2004 tentang Perikanan Pasal 9 ayat (1) menyebutkan larangan kepemilikan dan penggunaan alat tangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan di Wilayah Indonesia, termasuk jaring trawl atau pukat harimau.

Dilihat dari sudut pandang ekologis, berdasarkan ukuran mata jaring yang digunakan, maka trawl merupakan suatu alat penangkap ikan yang menarik untuk diteliti karena produktif dan hasil tangkapan beraneka ragam jenisnya, namun alat tersebut tidak ramah lingkungan serta tidak selektif. Daerah penangkapan trawl relatif dangkal sampai kedalaman 25 meter dengan dasar laut yang landai dan rata terdiri dari pasir lumpur dan tidak berbatu atau berkarang serta bebas dari bangkai kapal karam dan bangkai benda lainnya (Usemahu dan Tosila 2003).

Salah satu cara menjaga kelestarian sumberdaya ikan, khususnya pada daerah penangkapan trawl adalah penggunaan alat penangkap ikan yang selektif. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.11 Tahun 2009 tentang ukuran mata jaring kantong trawl (mesh size codend trawl) adalah lebih besar 5 cm. Adapun faktor penyebab dan dampak yang di timbulkan oleh penggunaan trawl di perairan Utara Aceh dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Penggunaan Trawl Illegal Fishing

Maraknya illegal fishing mengganggu keamanan nelayan khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Utara Aceh. Nelayan asing selain

Faktor penyebab konflik:

(30)

melakukan penangkapan secara illegal fishing, mereka juga sering mengancam nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama. Selain itu illegal fishing juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.

Menurut Sumaila et al. (2006) pengertian illegal fishing adalah kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaku, aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga perikanan yang berwenang. Terjadi disemua kegiatan perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang digunakan dan eksploitasi serta dapat muncul di tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di zona yurisdiksi nasional maupun internasional.

Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional (Nielsen et al. 2012). Kapal asing sering mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya illegal fishing di perairan Utara Aceh, tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut dan sistem pengelolaan perikanan di perairan Utara Aceh. Menurut KKP (2002), secara garis besar penyebab tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh), sebagaimana diuraikan di bawah ini.

 Kebutuhan ikan dunia meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi over demand, terutama jenis ikan dari laut seperti tuna. Hal ini mendorong armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau ilegal.

 Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan.

Fishing ground di negara-negara lain sudah menipis stok ikannya, sementara di Indonesia masih menjanjikan, pada hal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk konsumsi mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut tetap bertahan.

 Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk mengawasi daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Sea) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal fishing.

 Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open access), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi Indonesia, khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.

(31)

Kapal) kapal pengawas perikanan. Jumlah tersebut belum sebanding dengan cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.

 Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.

Illegal fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tidak bertanggung jawab dan bertentangan dengan kode etik. Illegal fishing termasuk kegiatan mall praktek dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang merupakan kegiatan melanggar hukum di Negara Indonesia. Kegiatan illegal fishing umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada (Osterblom et al. 2011). Menurut Agnet et al. (2009), menangkap sebanyak-banyaknya ikan digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut berdampak pada kerusakan ekosistem perairan. Adapun faktor penyebab dan dampak yang ditimbulkan oleh illegal fishing di perairan Utara Aceh dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Faktor Penyebab dan Dampak KonflikIllegal Fishing

Dampak negatif lainnya dari kegiatan illegal fishing di perairan Utara Aceh yaitu adanya pelanggaran batas wilayah yang selanjutnya menyebabkan konflik. Menurut Charles (1992), konflik tersebut termasuk tipologi konflik alokasi eksternal karena konflik ini mencakup masalah illegal fishing dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara maritime dan penangkapan ikan yang destruktif. Dampak yang paling dirasakan oleh nelayan lokal adalah daerah operasi penangkapan ikan menjadi berkurang akibat nelayan asing yang memanfaatkan DPI tersebut, sehingga pendapatan nelayan lokal mengalami penurunan.

Pemutusan Rumpon

Konflik dari pemutusan rumpon terjadi karena nelayan pengguna rumpon mengalami tangkapan yang meningkat namun, nelayan yang tidak menggunakan rumpon tangkapannya menurun. Nelayan yang tidak pakai rumpon tersebut menganggap bahwa rumpon telah mengganggu jalur migrasi ikan ke daerah operasi mereka. Kondisi ini tidak bisa diterima oleh nelayan non rumpon karena keberadaan rumpon tersebut dianggap telah memperburuk hasil tangkapan dan merugikan mereka.

Faktor penyebab konflik:

 Kebutuhan ikan dunia meningkat  Disparitas (perbedaan) harga ikan

segar utuh (whole fish) di negaralain  Fishing ground di negara-negara lain

sudah menipis stok ikannya  Kerja sama aparat penengak hukum

(32)

Operasi penangkapan ikan di rumpon bisa saja dilakukan oleh nelayan lain dengan membuat kesepakatan dengan pemilik rumpon. Namun kesepakatan tersebut terkait dengan sistem bagi hasil, namun nelayan tersebut seringkali melanggar kesepakatan tentang sistem bagi hasil. Hal tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan pengguna rumpon dengan nelayan pemilik rumpon di perairan Utara Aceh dan konflik tersebut berujung pada pemutusan rumpon.

Hasil tangkapan nelayan di sekitar rumpon meningkat karena jumlah ikan di lokasi rumpon semakin banyak dibandingkan dengan nelayan non rumpon, hal ini sesuai dengan pendapat Agus (2005) bahwa penggunaan rumpon menjadi salah satu alternatif pilihan yang baik untuk meningkatkan hasil tangkapan. Penggunaan rumpon dapat diibaratkan berkebun di laut sehingga rumpon dapat menjadi suatu fishing ground. Kondisi ini mengubah paradigma bahwa penangkapan ikan adalah suatu proses untuk mencari, mengejar dan menangkap ikan itu sendiri, karena dengan adanya rumpon maka nelayan tidak perlu lagi mencari gerombolan ikan tetapi langsung menuju kawasan rumpon yang telah ditandai dan melakukan penangkapan ikan di sekitar rumpon tersebut.

Mencari DPI seringkali membutuhkan waktu yang lama dengan biaya yang besar, sehingga penggunaan rumpon di perairan Utara Aceh menjadikan operasi penangkapan lebih efisien. Hal ini sesuai pendapat Surbani dan Barus (1989) bahwa penggunaan rumpon memiliki beberapa keuntungan di antaranya: memudahkan mendapatkan gerombolan ikan, biaya eksplotasi terutama biaya BBM dapat dikurangi, sehingga keuntungan menjadi meningkat. Beberapa alat tangkap yang dapat beroperasi di kawasan rumpon antara lain, rawai tuna atau tuna long line, huhate (pole and line), handline, pukat cincin, jaring insang, dan pancing. Rumpon umumnya dipasang pada kedalaman 30-75m. Fungsi rumpon sebagai alat untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul pada suatu tempat tertentu yang kemudian dilakukan operasi penangkapan. Rumpon dapat berfungsi sebagai sumber makanan dan tempat berlindung ikan kecil dari predator.

Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang pada perairan laut Yusfiandayani (2004). Rumpon bisa disebut juga dengan fish aggregating device (FAD), yaitu suatu alat untuk penangkapan ikan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchable area (Sudirman dan Mallawa 2004). Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan berdasarkan buih atau gelembung udara yang timbul di permukaan air, warna air yang gelap karena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan kecil yang bergerak di sekitar rumpon.

Dampak ekologi yang muncul akibat pemutusan rumpon adalah sisa-sisa rumpon yang diputus akan jatuh ke dasar perairan dan akan menjadi ekosistem baru bagi ikan-ikan yang berada di dasar perairan. Hal tersebut akan berdampak baik terhadap terbentuknya daerah penangkapan ikan yang baru untuk nelayan. Namun pada sisi lain dapat menyebabkan pencemaran yang diakibatkan bahan-bahan yang berkarat. Dugaan ini memang belum terbukti dewasa ini dan untuk itu perlu diamati lebih lanjut dalam kesempatan penelitian selanjutnya.

(33)

Gambar 10 Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Pemutusan Rumpon

Upaya Penyelesaian Konflik

Konflik yang terjadi di perairan Utara Aceh meliputi (1) penggunaan cahaya lampu pada purse seine, (2) perebutan daerah penangkapan ikan, (3) penggunaan bom ikan, (4) penggunaan trawl (5) pemutusan rumpon, dan (6) illegal fishing. Upaya penyelesaian konflik dilakukan melalui jalur persidangan yang dilakukan oleh panglima laôt Aceh. Persidangan adat laôt ini mempunyai kaidah hukum acara tersendiri. Berikut ini merupakan beberapa ketentuan yang dapat digolongkan sebagai kaidah hukum acara persidangan adat laôt: (1) Setiap orang/pawang yang mengajukan perkara pada lembaga persidangan hukum adat laôt harus membayar uang meja (besarannya ditentukan oleh masing-masing Lhôk) (2) Pengajuan perkara dapat dilakukan pada hari senin-kamis pada jam 09.00 WIB sampai dengan selesai (3) Biaya sidang dipungut 10 persen dari uang hasil diperkarakan (4) Penggugat sudah harus menghadirkan saksi-saksi pada saat sidang dibuka, saksi-saksi dari pihak yang penggugat diisyaratkan harus mengangkat sumpah (5) Sidang dapat dilaksanakan apabila dihadiri minimal 3 (tiga) orang anggota sidang, dengan 1 (satu) orang dari unsur Dinas Perikanan dan Kelautan (6) Apabila penggugat atau tergugat tidak menghadiri sidang sampai dengan 2 (dua) kali persidangan, maka majelis akan mengambil keputusan (7) Apabila pada sidang ketiga penggugat atau tergugat tidak hadir, perkara dapat ditolak dan lembaga hukum akan mengambil biaya sidang 10 persen dari uang hasil perkara tersebut (8) Penggugat diberi waktu selama 2 x 24 jam untuk membawa pengaduan kepada Panglima Laôt sejak terjadinya perkara, lewat dari waktu 2 x 24 jam pengaduan dari penggugat tidak dapat diterima atau batal.

Penyelesaian sengketa antar nelayan oleh lembaga adat dengan berbasis hukum adat dapat dianggap sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif, penyelesaian sengketa mengakui adanya beberapa metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan, salah satunya adalah mediasi.Peradilan adat laôt di Aceh lebih mendekati metode mediasi karena sama-sama menggunakan asas musyawarah mufakat serta akan menghasilkan putusan yang mengikat secara sosial dan secara moral (Muhammad 2008).

Forum peradilan adat laôt hanya satu kali yang bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa pihak-pihak yang berperkara wajibtunduk dan patuh pada hasil keputusan persidangan adat. Sebab proses persidangan adat itu sendiri merupakan hasil musyawarah dan kesepakatan dari

pihak-Faktor penyebab konflik:  Jalur migrasi ikan ke lokasi

(34)

pihak yang berperkara. Selain itu hukum adat laôt juga tidak memiliki lembaga eksekusi yang dapat mengambil tindakan paksa untuk pelaksanaan keputusan secara sukarela. Sampai sejauh ini belum tercatat adanya nelayan Aceh yang tidak mematuhi hasil persidangan adat laôt, jika semua dilaksanakan melalui prosedur yang benar dengan alat-alat bukti yang terpercaya. Apabila terdapat seorang yang tidak menaati aturan dalam menjalankan putusan adat laôt, sanksi moral dan sanksi sosial masyarakat laôt pasti akan bekerja.

Sanksi moral dan sosial masyarakat biasanya lebih ditakuti karena nelayan yang bersangkutan akan dikucilkan dari pergaulan, akan mempersulit diri sendiri untuk memperoleh pekerjaan. Hal ini menjadi bukti bahwa kepatuhan masyarakat nelayan terhadap peradilan adat laôtcukup tinggi. Kepatuhan masyarakat nelayan tersebut berkaitan dengan pola berpikir masyarakat, bahwa sanksi sosial lebih ditakuti.

Lembaga hukum yang berwenang melakukan persidangan adalah Panglima Laôt, yaitu lembaga hukum adat laut yang telah ada sejak abad ke 14 pada zaman Kerajaan Samudera Pasai (1607-1636). Panglima Laôt merupakan perpanjangan tangan Sultan Iskandar Muda pada saat itu, yang berperan memungut pajak dari kapal-kapal dagang di pelabuhan dan memobilisasi massa dalam berperang (Adli et al. 2006). Panglima Laôt adalah lembaga adat resmi dan diatur oleh negara. Kekuasaan ini diberikan oleh Sultan melalui surat kepada pembesar wilayah. Hal ini menggambarkan bahwa Panglima Laôt pada masa itu diberi kekuasaan oleh Sultan untuk menguasai wilayah maritim di Aceh.

Pemunggutan pajak diberlakukan pada kapal-kapal atau pengunjung yang berlabuh di sekitar wilayah Aceh. Pajak tersebut digunakan oleh kerajaan, seperti untuk bantuan perang. Peran lain Panglima Laôt, yaitu mengumpulkan massa untuk berperang yang hampir sebagian besar berasal dari masyarakat nelayan sendiri.

Adli et al. (2006) menjelaskan bahwa Panglima Laôt tidak lagi berperan sebagai perpanjangan tangan Sultan, melainkan pemimpin adat nelayan yang mengatur segala praktek kenelayanan dan kehidupan sosial yang terkait di sebuah wilayah pada zaman kolonial Belanda (1904-1942). Hal ini menunjukkan bahwa Panglima Laôt memiliki kekuasaan penuh untuk memimpin dan mengatur segala hal yang berhubungan dengan kegiatan nelayan. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, peran Panglima Laôt tidak terlalu berbeda jauh dengan perannya saat zaman kolonial Belanda. Apabila dilihat perannya saat zaman kolonial Belanda dan Jepang, maka tugas Panglima Laôt saat itu sebagai Panglima Laôt Lhôk.

Pada tahun 2000, pertemuan dilaksanakan kembali di Banda Aceh dan Sabang yang dihadiri oleh Panglima Laôt Kabupaten dan Panglima Laôt Lhôk. Hasil pertemuan tersebut berupa kesepakatan untuk membentuk Panglima Laôt Provinsi. Panglima Laôt Provinsi dibentuk karena penting bagi Panglima Laôt Kabupaten dan Panglima Laôt Lhôk. Persoalan-persoalan antar Panglima Laôt Kabupaten terkadang sulit untuk diselesaikan. Hal ini dikarenakan lembaga tersebut masih belum kokoh. Panglima Laôt Provinsi yang telah terbentuk diberi tugas untuk mengkoordinasikan hukum adat laut, menjembatani kepentingan nelayan dengan pemerintah dan mengadvokasi kebijakan kelautan dan perikanan termasuk advokasi hukum dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan Aceh termasuk bagi nelayan yang terdampar.

(35)

di Kota Langsa pada tahun 1982 untuk membentuk Panglima Laôt Kabupaten. Panglima Laôt Kabupaten dibentuk atas dasar kesepakatan antar Panglima Laôt Lhôk yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa nelayan yang terjadi antar dua Panglima Laôt Lhôk yang tidak dapat diselesaikan oleh Panglima Laôt Lhôk.

Peran Panglima Laôt setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu mengatur cara-cara untuk menyelesaikan konflik antar nelayan yang terjadi di laut dan perikanan di daerah pesisir Aceh. Pada Tahun 1945-1982, Panglima Laôt berdiri sendiri-sendiri di tiap wilayah. Perubahan peran Panglima Laôt berdampak juga pada sistem pengangkatan atau pemilihan Panglima Laôt. Pemilihan Panglima Laôt dilakukan oleh masyarakat nelayan sendiri dan pilihan tersebut jatuh kepada pawang laôt yang memiliki pengalaman di bidang kelautan.

Paparan di atas menunjukkan bahwa peran Panglima Laôt terus mengalami pergeseran peran seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan zaman. Pergeseran tersebut disebabkan oleh kondisi wilayah yang terus mengalami perkembangan baik kondisi sosial, budaya maupun politik. Selain itu, tingkat kebutuhan nelayan yang semakin meningkat serta permasalahan yang dihadapi semakin rumit sehingga Panglima Laôt Provinsi harus dibentuk untuk mengkoordinasi hukum adat laut baik bagi Panglima Laôt Kabupaten maupun Panglima Laôt Lhôk. Pergeseran peran Panglima Laôt diharapkan dapat bergerak ke arah semakin baik untuk pembangunan Aceh dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dan menjaga keberlanjutan sumberdaya kelautan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di wilayah Aceh.

Analisis Hukum dan Kelembagaan

Analisis hukum dilakukan untuk mengetahui dasar hukum adat laut dan melacak sejarah lembaga hukum adat laut di Provinsi Aceh, sedangkan analisis kelembagaan dilakukan untuk mengetahui sistem kelembagaan Panglima Laôt serta melihat hubungan lembaga tersebut dengan lembaga lainnya. Berikut merupakan penjelasan lebih rinci dari hasil analisis hukum dan kelembagaan Panglima Laôt.

Hukum adat laut sudah ada sejak lama di Aceh dan terus berkembang bersamaan dengan tumbuhnya kebudayaan masyarakat adat nelayan di Aceh. Hukum adat laut tetap dipatuhi tanpa ada paksaan dan dijalankan sesuai dengan nilai budaya, norma-norma adat sesuai dengan syariat Islam oleh masyarakat adat nelayan di Aceh pada saat itu. Keberadaan hukum adat laut di Aceh diakui oleh hukum positif, yang merupakan hukum yang berlaku di Indonesia. Beberapa peraturan telah mengakui hukum positif terhadap keberadaan hukum adat laut berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di Provinsi Aceh.

 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-UndangNomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

 Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

Gambar

Gambar 2 Lokasi Penelitian
Gambar 3 Rancangan Struktur Hierarki Resolusi Konflik Perikanan Tangkap
Tabel 2 Skala Penilaian Perbandingan
Gambar 4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendekar Plastik melakukan social buzzer dan menggunakan publik figure yang mereka juga menjadi aktivis lingkungan, duta lingkungan dan influencer-influencer lainnya berbentuk

kampus yang memiliki keunggulan memiliki jaringan yang luas, reputasi yang baik, dan lulusan yang berkompeten. Alasan yang dikemukakan apabila tidak ingin melanjutkan adalah

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi cendawan endofit dari daun binahong ( A. cordifolia ) sebagai agensia hayati yang mampu mengendalikan penyebab

Populasi dalam penelitian ini seluruh konsumen yang berada di toko mas di pusat kota Surabaya. Sampel yang diambil adalah sebesar 112 responden. Data yang dipergunakan adalah

Peningkatan konsistensi lunak terjadi bersamaan dengan penurunan kekenyalan organ sebagai manifestasi perubahan mikroskopik proses deskuamasi dan nekrosis yang

Bentuk pembiayaan perbankan berdasarkan prinsip syariah antara lain adalah berdasarkan prinsip jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang

Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dari macam dan dosis pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang pada kondisi tersebut.. Perlakuan

Mulut merupakan bagian pertama dari sistem pencernaan dan merupakan bagian tambahan dari sistem pernafasan. Dalam rongga mulut terdapat gigi dan lidah yang berperan