• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) di Dalam dan di Luar Ruangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) di Dalam dan di Luar Ruangan"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

SUHU SARANG RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus

(Isoptera: Rhinotermitidae) DI DALAM DAN DI LUAR

RUANGAN

ILMINA PHILIPPINES

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) di Dalam dan di Luar Ruangan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

ILMINA PHILIPPINES. Suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) di Dalam dan di Luar Ruangan. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan ARINANA.

(6)

ABSTRACT

ILMINA PHILIPPINES. The Indoor and Outdoor Temperature of Coptotermes

curvignathus’ Nest (Isoptera: Rhinotermitidae). Supervised by YONNY

KOESMARYONO and ARINANA.

Termite is known as a wood or cellulose-containing goods eater. It is so small, only 5 to 6 milimeters in size, that termite is nearly invisible. Moreover, its basic instinct to avoid any light makes it even more difficult to be seen. To keep its activities safe from any direct light, termite designs tunnels to hide. One of types of termite which have the most attack intensity would be Coptotermes

curvignathus. The termite’s life cycle is also affected by weather condition,

including temperature. The objective of this research is to analyze the tunnel temperature, both inside and outside of the C. Curvignathus’ nest. The research for the indoor temperature was conducted at Forest Products Department’s Termite Laboratory, the Faculty of Forestry of IPB and the Centre of Forestry Engineering and Forest Product Management (Pustekolah). The research analyzed data about tunnel temperature, the temperature inside C. Curvignathus’ nest, and temperature outside C. Curvignathus’ nest using thermocouple. The research found out that the tunnel’s indoor temperature was 0.7 ºC to 1 ºC lower than the temperature of the nest, and the nest temperature was 0.3 ºC to 2 ºC warmer than the temperature of its surrounding, depends on the form of the room. As for the research outside the room, the tunnel temperature was 1 ºC lower than the temperature of its surrounding. The tunnel’s indoor temperature was 0.8 ºC to 1.4 ºC warmer than the temperature of tunnel’s outdoor temperature, while the surrounding’s indoor temperature was 0.2 ºC warmer than the surrounding’s outdoor temperature. One of factors which contribute to the condition was the form of the room used during the research inside the room.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

SUHU SARANG RAYAP TANAH Coptotermes cuvignathus

(ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE) DI DALAM DAN DI

LUAR RUANGAN

ILMINA PHILIPPINES

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) di Dalam dan di Luar Ruangan

Nama : Ilmina Philippines NIM : G24100060

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S Pembimbing I

Arinana, S. Hut, M.Si Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Tania June, M. Sc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat-Nya maka skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan. Penulis mengambil tema penelitian mengenai rayap dan suhu, dengan judul Suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) di Dalam dan di Luar Ruangan.

Saat penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono MS selaku pembimbing I dan Ibu Arinana SHut MSi selaku pembimbing II.

2. Bapak Ir Bregas Budianto Ass Dipl yang telah membimbing dan memberikan masukan dalam pembuatan alat ukur penelitian sekaligus selaku dosen penguji. 3. Bapak Effendi Tri Bahtiar SHut MSi yang memberikan masukan serta saran

terhadap penelitian ini.

4. Bapak Dr Krisdianto Sugianto MSc yang telah memberikan saran dan bantuan alat ukur, Ibu Dra Jasni Msi, Bapak Sally Yulianto dan Sumardi yang telah membantu kelancaran penelitian di Pustekolah, Litbang Kehutanan, Bogor. 5. Bapak Anhari yang telah membantu selama pengamatan di Laboratorium

Rayap, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB.

6. Terima kasih yang sangat besar terhadap dukungan, doa, masukan serta saran, dan semangat yang telah diberikan oleh keluarga penulis terutama Ibu dan Bapak yang selalu mendoakan penulis untuk kelancaran penulis dalam menempuh pendidikan S1 di IPB.

7. Sahabat serta teman paling dekat dengan penulis yang telah menemani, membantu kelancaran penulis untuk menyelesaikan penelitian, juga memberikan semangat kepada penulis yaitu Wahyu Sukmana Dewi, Dewi Sulistyowati, dan Ateng Sam.

8. Teman satu perjuangan dalam pembuatan alat ukur yang saling membantu ketika menemui kesulitan yaitu Fitri Munawaroh dan Angga Mandesno, serta Kak Khabib, Kak Solah, dan Kak Ervan yang telah membantu dengan sabar selama pembuatan alat ukur.

9. Teman-teman spesial yang telah memberikan semangat serta membantu penelitian ini yaitu Duwi Kaeruni Asih dan Ismail, juga teman-teman GFM 47 lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya karena jumlah yang terlampaui banyak.

Penulis berharap semoga hasil penelitian yang tidak seberapa ini dapat bermanfaat.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Rayap 2

Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi perkembangan rayap 4

METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Bahan 5

Alat 5

Prosedur Pengambilan Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Suhu sarang rayap di dalam ruangan 10

Suhu sarang rayap di luar ruangan 15

Perbandingan suhu sarang rayap di dalam dan di luar ruangan 18

SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 21

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Rayap kasta prajurit Coptotermes curvignathus 3

2 Model konseptual keberadaan sarang rayap Coptotermes curvignathus

di sekitar rumah atau bangunan 3

3 Alat termokopel untuk mengukur suhu yang digunakan saat penelitian 6 4 Sketsa lokasi pengamatan suhu rayap tanah Coptotermes curvignathus

di Laboratorium Rayap 6

5 Letak termokopel pada bak pembiakan rayap 7

6 Bak pembiakan rayap di Laboratorium Rayap Coptotermes

curvignathus di Laboratorium rayap 7

7 Pemasangan kayu umpan dalam ruangan Laboratorium Pengeringan

Kayu Pustekolah secara horizontal 8

8 Pemasangan kayu umpan di luar ruangan yaitu Arboretum Pustekolah

secara vertikal 9

9 Suhu pada sarang rayap Coptotermes curvignathus di laboratorium pada pengamatan satu jam sekali selama 4 x 24 jam 11 10 Suhu kayu terserang rayap Coptotermes curvignathus di Laboratorium

Pengeringan Kayu, Pustekolah 13

11 Suhu rata-rata kayu terserang rayap tanah Coptotermes curvignathus di

Laboratorium Pengeringan Kayu, Pustekolah 14

12 Suhu kayu terserang rayap Coptotermes curvignathus di Arboretum

Pustekolah 16

13 Suhu rata-rata kayu terserang rayap tanah Coptotermes curvignathus di

Arboretum Pustekolah 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Suhu di dalam ruangan Laboratorium Rayap pada pengamatan satu jam

sekali selama 4 × 24 jam 21

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropika yang terletak pada 95° BT hingga 141° BT dan antara 6° LU hingga 11° LS (Sukojo 2003). Tipe iklim ini memiliki ciri-ciri suhu dan kelembaban tinggi sepanjang tahun, dengan suhu bulan terendah lebih dari 18 °C (Suharsono 2008). Bogor merupakan salah satu kota yang terletak di wilayah Jawa Barat dengan rata-rata ketinggian minimum 190 m dan maksimum 330 m dari permukaan laut, dan kondisi iklim yang hangat dengan suhu rata-rata tahunan antara 25.1 ºC hingga 26.4 ºC serta kelembaban udara sekitar 92% (BPS 2014) menyebabkan wilayah ini menjadi salah satu tempat hidup rayap.

Rayap dikenal sebagai serangga perusak kayu maupun benda yang mengandung selulosa. Ukurannya yang kecil sekitar 5 hingga 6 millimeter membuat rayap tidak begitu mudah terlihat. Selain itu, sifat rayap yang selalu sembunyi dari cahaya membuatnya tidak tampak dipermukaan. Kerusakan akibat serangan rayap tidak hanya terjadi pada bangunan yang terbuat dari kayu saja, tetapi dari komponen yang mengandung selulosa.

Salah satu rayap tanah yang memiliki intensitas serangan tinggi adalah Coptotermes curvignathus. Menurut Nandika dan Tambunan (1990), spesies rayap tanah C. curvignathus termasuk rayap dengan luas serangan paling besar di Indonesia. Rayap C. curvignathus adalah satu-satunya spesies rayap yang mampu membuat secondary nest (sarang sekunder) sehingga mampu menyerang gedung-gedung tinggi. Rilatupa (2007) mengatakan bahwa rayap C.curvignathus mampu menyerang gedung Apartemen dan Hotel sampai dengan lantai 33. Selain itu, rayap C. curvignathus dapat menyerang pohon hidup, lebih spesifik dapat menyerang bagian kulit luar dan bagian dalam tumbuhan. Bila serangan terjadi hal ini dapat menyebabkan kematian pada pohon tersebut (Badaruddin 2007).

Selain faktor internal, perkembangan rayap dipengaruhi juga oleh faktor eksternal yaitu cuaca. Unsur-unsur cuaca seperti suhu, kelembaban, dan radiasi matahari sangat berpengaruh terhadap perilaku rayap. Menurut Harris (1971), rayap mampu menjaga keadaan fisik di dalam sarangnya untuk tetap konstan sehingga suhu sarang dan suhu udara sekitar akan berbeda. Perbedaan suhu tersebut dapat digunakan untuk mengetahui kisaran suhu sarang rayap agar dapat bertahan hidup. Dengan mengetahui karakteristik pada sarang rayap, maka kerusakan akibat rayap seperti pada kayu ataupun bangunan perumahan dapat dikurangi dan dihindari. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui suhu optimal rayap tanah C. curvignathus dengan lokasi di Bogor sehingga bisa dilakukan tindakan pencegahan agar rayap tidak menyerang rumah atau bangunan dan lingkungannya.

Tujuan Penelitian

(16)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Rayap

Rayap merupakan serangga sosial, hal ini ditunjukkan dengan ketidakmampuan rayap untuk hidup lebih lama bila tidak berada dalam koloni. Suatu koloni rayap memiliki sistem kasta yang terdiri dari 3 kasta yaitu (Eggleton 2011):

1. Kasta prajurit

Kasta ini dapat dikenali dengan bentuk kepala yang besar dan tebal. Peran dari kasta ini yaitu melindungi koloni dari serangan musuhnya.

2. Kasta Pekerja

Warna kasta pekerja pucat sehingga mirip dengan nimfa, selain itu kasta pekerja tidak dapat melihat karena tidak memiliki mata majemuk. Peranan kasta ini yaitu memelihara telur, memberi makan ratu dan semua anggota koloni, mencari sumber makanan, menumbuhkan jamur untuk jenis tertentu, dan merawat sarang.

3. Kasta Reproduktif

Kasta ini terdiri atas raja dan ratu yang awalnya berupa laron dan dapat dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan suplementer atau neoten. Kasta reproduktif suplementer atau neoten terbentuk bila kasta reproduktif primer telah mati. Peranan kasta ini yaitu menemukan lokasi yang cocok untuk membangun sarang dan menghasilkan anggota koloni baru.

Nandika et al. (2003) menyebutkan mengenai penelitian terhadap pembentukan sistem kasta rayap sudah banyak dilakukan, salah satunya oleh Grassi dan Sandias. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa suatu koloni yang kehilangan kasta reproduktif primer dapat membentuk neoten, namun untuk koloni yang tidak kehilangan kasta reproduktif primer maka tidak dapat membentuk neoten. Penelitian yang dilakukan oleh Castle juga menunjukkan bahwa pembentukan kasta pada rayap dipengaruhi oleh bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan nimfa betina menjadi neoten yang diberikan oleh reproduktif primer. Sehingga ketika reproduktif primer mati, maka bahan kimia tersebut akan hilang dan terbentuk neoten sebagai pengganti kasta reproduktif primer.

Rayap juga memiliki sifat kriptobiotik yaitu sifat menghindari cahaya sehingga serangga yang berukuran beberapa milimeter ini memiliki sarang yang tertutup (Nandika et al. 2003). Menurut Subekti (2010), sarang rayap tanah terbuat dari tanah, serasah, dan kotoran sehingga dapat melindungi dari kondisi ekstrim. Secara umum, rayap dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu rayap tanah dan rayap kayu kering. Rayap tanah merupakan koloni rayap yang hidup didalam tanah yang banyak mengandung bahan kayu atau selulosa, sedangkan rayap kayu kering merupakan rayap yang hidup pada kayu-kayu kering dan tidak memerlukan kelembaban yang tinggi.

(17)

3 Rayap dari tipe Coptotermes merupakan rayap hama utama tanaman dengan beberapa jenis tanaman perkebunan yang sering diserang yaitu pohon kelapa, sawit, cokelat, dan karet. Selain itu rayap ini juga dapat menyerang bangunan, salah satu penelitian yang dilakukan oleh Rilatupa (2007), disebutkan bahwa rayap C. curvignathus tersebut dapat menyerang bangunan hingga mencapai lantai 33 yaitu lantai teratas gedung Apartemen dan Hotel. Contoh rayap kasta prajurit C. curvinathus dapat dilihat pada Gambar 1.

Menurut Nandika et al. (2003), terdapat beberapa cara yang dilakukan rayap untuk menjaga suhu sarangnya berada pada kisaran optimum antara lain isolasi, termoregulasi, dan kandungan air tanah. Isolasi berarti membangun sarang dengan dinding yang tebal sehingga udara luar tidak dengan mudah masuk ke dalam sarang, gudang makanan, dan beberapa ruangan lain. Termoregulasi yaitu mengatur arsitektur sarang sehingga suhu di beberapa bagian ruang dapat berbeda namun tetap dapat dikendalikan oleh rayap. Sementara itu, kandungan air tanah yaitu rayap akan berusaha mempertahankan kandungan air tanah penyusun sarangnya. Berikut Gambar 2 merupakan model konseptual keberadaan sarang rayap C. curvignathus di sekitar rumah atau bangunan.

Gambar 1 Rayap kasta prajurit Coptotermes curvignathus

(18)

4

Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi perkembangan rayap Suhu dan kelembaban

Salah satu faktor iklim yang dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan rayap yaitu suhu. Menurut Krisna dan Weesner (1969), suhu dapat mempengaruhi proses-proses penting rayap. Menurut Suiter et al. (2000), suhu memiliki pengaruh yang besar terhadap aktivitas rayap. Ketika suhu permukaan tanah terlalu tinggi atau rendah maka rayap tidak akan mencari makan dan akan berpindah ke bagian tanah yang lebih dalam. Rayap juga membutuhkan kelembaban dan suhu yang relatif konstan karena kulitnya yang tipis sehingga rentan terhadap udara kering (Suiter et al. 2000)

Suhu ideal untuk serangga yaitu sekitar 15 °C hingga 38 °C, sedangkan untuk jenis rayap yang memelihara kebun jamur tertentu seperti Macrotermes dapat menjaga suhu sarangnya dengan kisaran 29 ºC hingga 32 ºC (Krisna dan Wesner 1969). Untuk kelembaban di dalam sarang harus relatif konstan sekitar 90% karena penurunan yang besar dan dalam waktu yang cukup lama akan membunuh koloni tersebut (Harris 1971).

Curah hujan

(19)

5

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian di dalam ruangan dilakukan pada dua tempat berbeda yaitu pertama di Laboratorium Rayap, Departemen Hasil Hutan (DHH), Fakultas Kehutanan IPB yang dilaksanakan pada 6 hingga 8 Agustus serta 21 hingga 23 Agustus 2014 dan kedua di Laboratorium Pengeringan Kayu, Kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), Gunung Batu, Bogor pada 15 Oktober hingga 14 November 2014. Sementara itu penelitian di luar ruangan dilakukan pada 15 Oktober hingga 14 November 2014 di Arboretum (hutan kecil) Kantor Pustekolah, Gunung Batu, Bogor. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA, IPB.

Bahan

Penelitian pertama di dalam ruangan dilaksanakan di Laboratorium Rayap yang merupakan tempat pembiakan rayap tanah C. curvignathus. Penelitian dilakukan di sarang rayap pada tiga sarang berbeda (T1 hingga T3) berupa bak pembiakan dengan ukuran 150 cm × 100 cm × 100 cm. Sebagai kontrol (T4) adalah bak tanpa rayap yang diisi dengan media hidup rayap yaitu tanah dan tumpukan kayu. Sedangkan untuk penelitian kedua di dalam ruangan dilaksanakan di Laboratorium Pengeringan Kayu Kantor Pustekolah. Di dalam Laboratorium Pengeringan Kayu ini terdapat tumpukan kayu yang sedang diserang rayap C. curvignathus. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan kayu Pinus merkusii sebagai umpan rayap berukuran 2.5 cm × 4 cm × 30 cm. Penelitian di luar ruangan berupa penelitian lapang yang dilaksanakan di Arboretum Kantor Pustekolah menggunakan kayu Pinus merkusii sebagai umpan rayap berukuran 2.5 cm × 4 cm × 30 cm.

Alat

(20)

6

Gambar 3 Alat termokopel untuk mengukur suhu yang digunakan saat penelitian

Prosedur Pengambilan Data Penelitian di Dalam Ruangan

Pengukuran suhu di dalam ruangan terdiri dari pengukuran di Laboratorium Rayap dan Laboratorium Pengeringan Kayu. Pengukuran suhu di Laboratorium Rayap dilakukan selama 4 × 24 jam dan suhu dicatat setiap satu jam sekali. Pengamatan suhu pertama dilakukan pada pukul 18.00 WIB. Pengamatan dilakukan di lima tempat yaitu tiga bak pembiakan rayap (T1 hingga T3), satu bak kontrol (T4), dan ruangan Laboratorium Rayap (T5) Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Sketsa lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4, peletakkan termokopel di bak pembiakan rayap dapat dilihat pada Gambar 5, dan kondisi bak pembiakan rayap dapat dilihat pada Gambar 6.

(21)

7

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 5 Letak termokopel pada: bak pembiakan 1 atau T1 (a), bak pembiakan 2 atau T2 (b), bak pembiakan 3 atau T3 (c), bak kontrol 4 atau T4 (d), dan ruang laboratorium atau T5 (e)

(22)

8

Alat pengukuran suhu berupa termokopel diletakkan pada lima tempat berbeda. Termokopel satu (T1) hingga termokopel tiga (T3) diletakkan pada bak pembiakan rayap, kemudian termokopel empat (T4) diletakkan pada bak kontrol yang hanya berisi tanah saja, sementara itu termokopel lima (T5) diletakkan pada ruang laboratorium.

Pengukuran kedua yang dilakukan di dalam ruangan yaitu pengukuran suhu di Laboratorium Pengeringan Kayu Pustekolah. Laboratorium Pengeringan kayu merupakan Laboratorium yang terbuka dikedua bagian sisi bangunannya sehingga udara sekitar dapat masuk secara bebas. Untuk mendapatkan data suhu pada sarang rayap tanah C. curvignathus dilakukan dengan proses pengumpanan. Kayu umpan berupa Pinus merkusii sebanyak 10 buah yang diletakkan secara horizontal diatas tumpukan kayu yang tidak terpakai. Sebelumnya pada 10 buah kayu umpan tersebut telah dipasangkan termokopel. Data yang dicatat adalah data suhu dan kondisi cuaca. Pengamatan suhu dilakukan sebanyak tiga kali per hari setiap pukul 08.00, 13.30, dan 16.00 WIB selama 30 hari. Berikut Gambar 7 merupakan pemasangan kayu umpan di dalam Laboratorium Pengeringan Kayu.

Gambar 7 Pemasangan kayu umpan di dalam ruangan Laboratorium Pengeringan Kayu Pustekolah secara horizontal

Penelitian di Luar Ruangan

(23)

9

(24)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu sarang rayap di dalam ruangan

Hasil penelitian suhu sarang rayap tanah C. curvignathus di Laboratorium 33.8 ºC. Data suhu selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 9.

Siklus hidup rayap dimulai dengan telur yang menetas menjadi larva kemudian berkembang menjadi beberapa kasta yaitu prajurit, pekerja, dan nimfa. Nimfa ini yang nantinya akan berkembang menjadi laron (kasta reproduktif). Selama 4 hari penelitian, pada sarang rayap terjadi berbagai siklus hidup rayap. Mulai dari ratu yang sedang bertelur, menetasnya telur, dan berkembangnya larva menjadi beberapa kasta. Sehingga selama penelitian ini dilakukan, tidak dapat diketahui secara pasti siklus hidup yang sedang terjadi pada koloni rayap tersebut.

Penelitian di Laboratorium Rayap dilakukan sebanyak dua periode dengan tujuan mendapatkan hasil yang lebih baik terhadap pengukuran suhu sarang. Grafik suhu pada periode 1 dan periode 2 mengikuti pola suhu ruang laboratorium. Selama penelitian dilakukan tidak jarang terjadi hujan deras pada malam hari namun cerah pada siang hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari awal penelitian hingga pengamatan berakhir, suhu pada sarang 1 atau tunnel lebih rendah daripada suhu pada sarang 2 dan 3 dengan suhu tertinggi yaitu suhu sarang 2. Rayap pada sarang 2 diduga lebih aktif dan jumlah koloni yang diperkirakan lebih banyak daripada sarang 3. Lee dan Wood (1971) mengatakan bahwa suhu diurnal yang terdapat pada sarang rayap bervariasi dari hari ke hari dan suhu yang berada pada sarang rayap akan lebih tinggi dibanding suhu tanah atau suhu lingkungan. Sedangkan suhu yang terdapat pada kontrol akan lebih rendah dibandingkan suhu lingkungan.

Perbedaan suhu yang terjadi pada sarang rayap tersebut dapat disebabkan oleh aktivitas, jumlah koloni, panas yang dihasilkan oleh makanan yang dikumpulkan rayap (Nandika et al. 2003), metabolisme rayap itu sendiri (Noirot 1970), dan gesekan yang terjadi ketika rayap menyerang kayu. Selain itu, berdasarkan Nandika et al. (2003), salah satu cara rayap dalam mempertahankan suhu sarangnya yaitu dengan termoregulasi sehingga suhu dibeberapa bagian ruangan dapat berbeda namun tetap dapat dikendalikan oleh rayap. Pada bagian tunnel rayap, kegiatan dan jumlah koloni rayap yang berada di daerah tersebut tidak akan sebanyak saat berada pada inti sarang. Pada tunnel juga tidak terdapat simpanan makanan sehingga panas yang dihasilkan tidak akan sebesar pada inti sarang.

(25)
(26)

12

pernah melebihi 3%. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Skaife pada tahun 1955, untuk rayap jenis Amitermes hastatus di Afrika Selatan menghasilkan jumlah konsentrasi karbondioksida sekitar 4 hingga 5% dibawah normal dan meningkat menjadi 15% sebelum rayap melakukan sialang (Krishna dan Weesner 1969).

Panas yang dihasilkan di dalam sarang rayap dapat stabil dan tidak semakin bertambah panas, hal tersebut disebabkan oleh adanya mekanisme pengaturan sarang oleh rayap itu sendiri. Sistem yang digunakan pada sarang rayap merupakan sistem ventilasi yang dapat dibuka dan ditutup kembali. Menurut Krisna dan Weesner (1969), tidak terdapat interaksi secara langsung antara udara di dalam dengan di luar sarang. Namun, terdapat beberapa kondisi ketika udara di dalam dan di luar sarang dapat berinteraksi yaitu ketika wilayah sarang akan diperluas, keluarnya laron dari sarang untuk bersialang, dan ketika rayap pekerja melakukan tugasnya. Terbukanya sarang hanya terjadi ketika dibutuhkan saja, selebihnya sarang akan kembali tertutup. Selain itu, adanya perbedaan suhu antara berbagai bagian sarang menyebabkan terjadinya aliran konveksi secara perlahan di dalam sarang, tergantung pada kondisi di luar sarang dan di dalam sarang rayap tersebut (Krishna dan Weesner 1969).

Gambar 9 juga menunjukkan bahwa suhu pada keseluruhan sarang berkisar antara 27.2 ºC hingga 34.8 ºC dan lebih tinggi sekitar 1 ºC dibanding suhu ruang laboratorium. Kisaran suhu tersebut berbeda dengan kisaran suhu optimum sarang rayap Macrotermes yaitu sekitar 29 ºC hingga 32 ºC namun masih dalam kisaran suhu optimum serangga yaitu 15 ºC hingga 38 ºC (Krisna dan Weesner 1969).

Penelitian kedua di dalam ruangan dilakukan di Laboratorium Pengeringan Kayu. Kondisi lingkungan di laboratorium ini cukup terbuka dikedua sisi bangunannya sehingga udara luar dapat masuk secara bebas ke dalam laboratorium. Kayu umpan diletakkan secara horizontal didalam tumpukan kayu yang tidak terpakai yang telah diserang rayap tanah C. curvignathus di dalam Laboratorium Pengeringan Kayu. Jumlah kayu umpan yang diletakkan di dalam tumpukan tersebut sebanyak 10 buah. Dari 10 buah kayu umpan yang diumpankan, sebanyak dua kayu umpan diserang rayap dan selebihnya tidak diserang rayap.

Data suhu yang diamati adalah suhu dari kayu umpan yang terserang rayap (ada dua data suhu) dan data suhu dari kayu umpan yang tidak terserang rayap sebanyak empat data suhu kontrol yang kemudian dirata-ratakan. Diduga sebagian kayu tidak terserang rayap dikarenakan cara hidup rayap dalam menemukan makanannya adalah acak, sehingga kayu umpan yang dimakan oleh rayap ditentukan secara acak. Selain itu, masih tersedianya makanan makanan berupa kayu yang tidak terpakai sehingga rayap tidak menghabiskan semua kayu umpan yang ada.

(27)

13

Ga

mbar

10 S

uhu

ka

yu te

rse

ra

ng

ra

ya

p

C

optot

erm

es

c

urvignathus

di La

bor

atorium

P

enge

ringa

n K

ayu, P

(28)

14

Pola suhu kayu yang terserang rayap dan suhu kayu kontrol mengikuti pola suhu lingkungan, namun terdapat beberapa nilai suhu berbeda pada masing-masing pengukuran suhu. Nilai suhu yang berbeda pada suhu kayu terserang rayap dan suhu kayu kontrol menandakan bahwa kayu sudah terserang rayap. Menurut Noirot (1970), suhu yang lebih tinggi daripada suhu sekitarnya menandakan bahwa pada wilayah tersebut terdapat rayap. Menurut Lee dan Wood (1971), berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ruelle pada tahun 1964, perbedaan suhu diurnal rayap bervariasi dan dapat melebihi 3 ºC.

Gambar 10 menunjukkan bahwa nilai suhu antara suhu kayu yang terserang rayap, suhu kayu kontrol, dan suhu lingkungan berbeda. Suhu pada kayu yang terserang rayap lebih hangat dibanding suhu kontrol. Hal ini dikarenakan pada suhu kayu yang terserang rayap terdapat aktivitas rayap seperti menggigit kayu dan metabolisme yang dilakukan oleh rayap itu sendiri, sedangkan pada kayu kontrol tidak terdapat kehidupan yang dapat menghasilkan panas sehingga suhu kayu yang terserang rayap menjadi lebih hangat. Perbedaan suhu juga terjadi pada kayu kontrol dan suhu lingkungan. Pada suhu lingkungan, udara bersentuhan langsung dengan termokopel sehingga ketika terjadi perubahan, misalnya, terdapat angin pada pagi hari maka udara akan langsung mempengaruhi nilai pengukuran. Berbeda pada kayu kontrol, termokopel tidak bersentuhan langsung dengan udara luar dan ketika perubahan terjadi maka diperlukan waktu bagi udara tersebut untuk masuk ke dalam kayu kontrol.

Suhu rata-rata yang ditunjukkan Gambar 11 pada pukul 08.00, 13.30, dan 16.00 WIB di kayu terserang 1 secara berurutan yaitu sebesar 29.4 ºC, 30.6 ºC, dan 29.7 ºC. Pada kayu terserang 2 yaitu 29.6 ºC, 30.7 ºC, dan 29.9 ºC. Pada kayu kontrol yaitu sebesar 29.1 ºC, 30.3 ºC, dan 29.4 ºC. Untuk suhu lingkungan adalah sebesar 28.9 ºC, 31.1 ºC, dan 30.3 ºC.

Gambar 11 Suhu rata-rata kayu terserang rayap tanah Coptotermes curvignathus, kayu kontrol, dan lingkungan pada pukul 08.00, 13.30, dan 16.00 WIB di Laboratorium Pengeringan Kayu, Pustekolah

(29)

15 dan lebih tinggi 0.3 ºC hingga 0.4 ºC daripada suhu kayu kontrol. Pada sore hari (16.00 WIB) suhu rata-rata kayu terserang rayap lebih rendah 0.5 ºC daripada suhu lingkungan dan lebih besar 0.3 ºC hingga 0.5 ºC daripada suhu kayu kontrol.

Suhu rata-rata kayu yang terserang rayap pada Gambar 11 terlihat stabil yang berkisar antara 29.4 ºC hingga 30.7 ºC. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat mekanisme pengaturan suhu udara dan kandungan gas serta panas yang dihasilkan di dalam sarang. Menurut Krishna dan Weesner (1969), kandungan gas karbondioksida dan gas lainnya yang tidak diperlukan rayap harus dikeluarkan dan diganti dengan oksigen yang dibutuhkan untuk proses pernapasan rayap. Oleh karena itu, terdapat beberapa kondisi tertentu bagi rayap untuk membuka ataupun menutup sarangnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa ketika kondisi tersebut terjadi maka akan ada pertukaran udara yang berada di dalam dan di luar sarang.

Kayu yang terserang rayap tanah C. curvignathus memiliki kecenderungan untuk mempertahankan suhu. Menurut Harris (1971), rayap memiliki kemampuan untuk mempertahankan suhu ideal di dalam sarang. Terbukti pada Gambar 11 suhu pada kayu yang terserang rayap lebih stabil ketika terjadi perubahan suhu lingkungan. Suhu kayu terserang rayap C. curvignathus di Laboratorium Pengeringan Kayu berkisar antara 25.8 ºC hingga 34.1 ºC yang berbeda dengan suhu optimum rayap lain yaitu Macrotermes (29 ºC hingga 32 ºC) namun masih termasuk dalam selang suhu optimum serangga (15 ºC hingga 38 ºCu).

Kondisi cuaca pada saat pengamatan tidak selalu sama. Tercatat bahwa sempat terjadi hujan pada siang dan sore hari yang menyebabkan nilai suhu lingkungan yang terukur lebih rendah daripada nilai suhu kayu terserang rayap tanah dan kayu kontrol. Namun, suhu pada kayu yang terserang rayap tanah cenderung stabil dan lebih hangat daripada suhu kontrol dan lingkungan. Ini membuktikan bahwa rayap dapat menjaga suhu sarangnya stabil dengan cara isolasi.

Suhu sarang rayap di luar ruangan

Arboretum Pustekolah memiliki pohon-pohon tinggi yang menaungi lokasi penelitian. Pada permukaan tanahnya tertutupi oleh daun-daun lembab dan ranting pohon. Perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitar akan memiliki pengaruh langsung terhadap kayu umpan.

Jumlah kayu umpan yang dibenamkan secara vertikal ke tanah sebanyak 10 buah. Dari 10 buah kayu umpan yang diumpankan, sebanyak satu kayu umpan diserang rayap dan selebihnya tidak diserang rayap. Data suhu yang diamati adalah suhu dari kayu umpan yang terserang rayap (ada satu data suhu) dan data suhu dari kayu umpan yang tidak terserang rayap sebanyak empat data suhu kontrol yang kemudian dirata-ratakan

(30)

16

Ga

mbar

12 S

uhu ka

yu te

rse

ra

ng

ra

ya

p

C

optot

erm

es

curvignathus

di Ar

bor

etum

P

(31)

17 Gambar 12 menunjukkan pola suhu kayu terserang rayap dan suhu kontrol mengikuti pola suhu lingkungan. Pada awal penelitian, suhu kayu kontrol dan suhu kayu yang terserang rayap berada dalam satu garis dan suhu di dalam tanah lebih rendah daripada suhu lingkungan di atas tanah. Ini berarti pada kayu umpan belum terserang rayap dan hanya mengukur suhu didalam tanah. Kemudian terlihat perbedaan suhu pada kayu yang terserang rayap dengan suhu kontrol dan munculnya tunnel pada kayu umpan menandakan bahwa rayap mulai memakan kayu umpan. Namun, akibat dari hujan yang terjadi pada malam harinya menyebabkan tunnel tersebut tidak ada lagi di hari selanjutnya.

Penelitian di luar ruangan lebih rentan gagal dibandingkan penelitian di dalam ruangan. Selama penelitian, tidak jarang terjadi hujan pada malam harinya dan memberikan dampak terhadap aktivitas rayap. Menurut Harris (1971), ketika kondisi iklim tidak sesuai bagi rayap untuk mempertahankan suhu sesuai dengan yang diinginkan, maka rayap akan berpindah secara permanen ke bagian tanah yang lebih dalam lagi. Jika dilihat pada Gambar 12, diakhir penelitian suhu kayu yang terserang rayap dan suhu kontrol sudah tidak berbeda jauh bahkan terkadang memiliki titik suhu yang sama. Ini berarti rayap yang tadinya berada disekitar kayu umpan berpindah diduga karena hujan yang terjadi.

Suhu diurnal pada sarang rayap dapat bervariasi dan dapat melebihi 3 ºC (Lee dan Wood 1971). Gambar 13 menunjukkan suhu rata-rata pada kayu terserang rayap, kontrol, dan lingkungan diatas permukaan tanah. Suhu rata-rata pada pukul 08.00, 13.30, dan 16.00 WIB di kayu terserang 1 secara berurutan yaitu sebesar 28.6 ºC, 30.8 ºC, dan 28.7 ºC. Pada kontrol yaitu 28.3 ºC, 30.5 ºC, dan 28.7 ºC. Untuk suhu lingkungan adalah sebesar 29 ºC, 31.4 ºC, dan 29.7 ºC. Berbeda dengan Gambar 11 sebelumnya, suhu rata-rata kayu terserang rayap C. curvignathus dan kontrol lebih rendah dari suhu lingkungan. Hal ini diduga karena rayap C. curvignathus tidak lama bersarang pada kayu umpan akibat hujan yang terjadi, sehingga suhu rata-rata yang terukur pada kayu yang terserang rayap merupakan suhu tanah.

(32)

18

Perbandingan suhu sarang rayap di dalam dan di luar ruangan

Penelitian yang dilakukan di dalam dan di luar ruangan menunjukkan bahwa suhu pada sarang rayap C. curvignathus berbeda dengan kisaran suhu optimum rayap Macrotermes yaitu 29 ºC hingga 32 ºC (Tabel 1). Kisaran suhu akan berbeda apabila jenis rayapnya juga berbeda. Pada rayap Macrotermes misalnya, struktur sarangnya dapat menciptakan iklim mikro yang stabil dengan suhu 30 ºC (Subekti 2010). Sarang yang dibentuk dapat menjaga kondisi suhu di dalam sarang tetap stabil (Eggleton 2011). Berikut Tabel 1 merupakan data suhu pada sarang, kontrol, dan lingkungan yang berada di dalam maupun di luar ruangan. Tabel 1 Data suhu sarang, kontrol, dan lingkungan di dalam dan luar ruangan

(33)

19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Suhu tunnel rayap tanah C. curvignathus di dalam ruangan lebih rendah sekitar 0.7 ºC hingga 1 ºC dibanding suhu pada sarang rayap, dan suhu pada sarang rayap tanah C. curvignathus lebih hangat sekitar 0.3 ºC hingga 2 ºC dibanding suhu lingkungan tergantung pada bentuk ruangan tersebut. Pada penelitian di luar ruangan, nilai suhu yang didapatkan adalah suhu tunnel yang lebih rendah sekitar 1 ºC dibanding suhu lingkungan. Perbedaan suhu tunnel di dalam ruangan lebih hangat sekitar 0.8 ºC hingga 1.4 ºC dibanding suhu tunnel di luar ruangan, sedangkan perbedaan suhu lingkungan di dalam ruangan lebih hangat sekitar 0.2 ºC dibanding suhu lingkungan di luar ruangan karena dipengaruhi oleh salah satu bentuk bangunan pada penelitian di dalam ruangan.

Saran

(34)

20

DAFTAR PUSTAKA

Badaruddin. 2007. Identifikasi rayap dan seranganya di hutan pendidikan UNLAM Mandiangan Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis Borneo. 18(20): 56-70.

BPS. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik.

Cookson LJ, Trajstman AC. 2002. Termite Survey and Hazard Mapping.CSIRO

Forestry and Forest Products, Pivate Bag 10, Clayton South, Victoria

3169.

Eggleton P. 2011. An introduction to termites: Biology, taxonomy and functional morphology. Biology of termites: A modern synthesis. Bignell DE, Roisin Y, Nathan Lo, editor. London: Springer Dordrecht Heidelberg. Harris V. 1971. Termites: Their Recognition and Control. Britain: Western

Printing Services LTD.

Krisna K, Weesner FM. 1969. Biologi of Termite. Volume I/II. New York: Academic Press.

Lee KE, Wood TG. 1971. Termites and Soils. London: Academic Press, Inc. Nandika D. 2014. Rayap Hama Baru di Kebun Kelapa Sawit. Bogor: Seameo

Biotrop.

Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta (ID): Muhammadiyah University Press.

Nandika D, Tambunan B. 1990. Biodeteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Noirot CH. 1970. Biology of Termites. London: Academic Press, Inc.

Rilatupa J. 2007. Pendugaan indeks kondisi konstruksi akibat serangan rayap pada kompenen bahan berkayu bangunan tinggi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Subekti N. 2010. Kelimpahan, sebaran, dan arsitektur sarang serta ukuran populasi rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen (Blattodea : Termitidae) di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Subekti N, Duryadi D, Nandika D, Surjokusumo S, Anwar S. 2008. Sebaran dan karakter morfologi rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen di habitat hutan alam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan. 1(1): 27-33.

Suharsono H. 2008. Modul 11: Iklim Tropika. Bogor (ID): Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB.

Suiter DR, Jones SC, Forschler BT. 2000. Biology of Subterranean Termites in the Eastern United States. Bulletin 1209. The Ohio University.

Sukojo, BM. 2003. Penggunaan metode analisa ekologi dan penginderaan jauh untuk pembangunan system informasi geografis ekosistem pantai. Jurnal Makara Sains. 7(1): 30-37.

(35)

21 Lampiran 1 Suhu di dalam ruangan Laboratorium Rayap pada pengamatan satu

(36)
(37)

23

23.00 28.0 29.4 27.9 28.3 28.5

00.00 28.2 29.9 28.2 28.4 28.5

01.00 28.1 29.9 28.1 28.4 28.6

02.00 28.1 29.9 28.8 28.4 28.4

03.00 28.2 29.9 29.2 28.6 28.7

04.00 28.2 29.7 28.6 28.1 28.4

05.00 27.8 29.6 28.3 27.5 28.2

06.00 27.7 29.7 28.7 27.6 27.5

07.00 30.6 32.5 32.0 30.7 31.0

08.00 30.9 32.9 31.8 31.2 31.5

09.00 30.7 32.4 31.2 31.1 31.2

10.00 30.0 32.2 31.2 30.9 30.4

11.00 30.5 32.8 31.7 31.4 31.4

12.00 30.7 32.9 31.5 31.5 31.5

13.00 31.0 33.2 31.9 30.9 31.2

14.00 31.1 33.2 32.2 31.7 32.1

15.00 31.0 32.8 32.1 31.5 31.9

16.00 29.0 32.4 31.6 31.5 31.5

17.00 29.0 32.4 31.6 31.2 31.6

18.00 29.0 32.0 29.9 29.7 31.2

(38)

24

(39)
(40)

26

Lampiran 4 Dokumentasi penelitian di dalam dan di luar ruangan

Laboratorium Rayap di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

(41)

27

Letak termokopel pada bak pembiakan 2 (T2), Laboratorium Rayap Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Letak termokopel pada bak pembiakan 3 (T3), Laboratorium Rayap Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

(42)

28

Letak termokopel pada bak pembiakan 4 (T4)

(43)

29

Letak kayu umpan secara horizontal di Laboratorium Pengeringan Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), Bogor

Letak kayu umpan secara vertikal di hutan kecil (arboretum) Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), Bogor

(44)

30

Kayu umpan di Laboratorium Pengeringan Kayu yang terserang rayap Coptotermes curvignathus

(45)

31

Kayu umpan yang terserang rayap Coptotermes curvignathus di hutan kecil (arboretum), Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), Bogor

Pengukuran suhu kayu umpan di Laboratorium Pengeringan Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), Bogor

(46)

32

(47)

33

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ilmina Philippines, dilahirkan di Manila pada tanggal 15 Juli 1992. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan H. Drs. Mohammad Muslich, MSc dan Dra. Sri Rulliaty, MSc. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 5 Bogor yang kemudian diterima sebagai mahasiswi Fakultas Matematika dan IPA, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) tahun 2010.

(48)
(49)

Gambar

Gambar 2  Model konseptual keberadaan sarang rayap Coptotermes  curvignathus
Gambar 3  Alat termokopel untuk mengukur suhu yang digunakan saat penelitian
Gambar 5  Letak termokopel pada: bak pembiakan 1 atau T1 (a), bak pembiakan
Gambar 8  Pemasangan kayu umpan di luar ruangan yaitu Arboretum Pustekolah
+4

Referensi

Dokumen terkait

PENGUJIAN KEAMPUHAN UMPAN HEXAFLUMURON TERHADAP KOLONI RAYAP TANAH Coptotkrmes curvignathus. Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) SECARA LABORATORIS FARAH

Suatu penelitian laborato~urn dilakukan untuk rnengevaluasi konsumsi makan dan daya tahan hidup rayap tanah C.. mwig7zathas Holmgren mengikxti metode Modified Wood Block

PENGUJIAN KEAMPUHAN UMPAN HEXAFLUMURON TERHADAP KOLONI RAYAP TANAH Coptotkrmes curvignathus. Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) SECARA LABORATORIS FARAH

Arkhiadi Benauli Tarigan, “Pengaruh Cordyceps militaris terhadap mortalitas rayap (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae) di laboratorium”, dibawah

Arkhiadi Benauli Tarigan, “Pengaruh Cordyceps militaris terhadap mortalitas rayap (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae) di laboratorium”, dibawah

Serangan biasanya mulai dari daerah daun tombak bagian bawah, melalui batang yang nantinya akan menimbulkan luka pada dasar pelepah (Zulkefli, 2007). Serangan rayap pada

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efikasi (keampuhan) umpan dari campuran daun kayu putih dengan limbah kertas HVS dan kardus terhadap rayap tanah ( C. curvignathus ) di

Sementara itu, pada rayap Coptotermes lainnya tidak ditemukan adanya situs pemotongan Rsa I sehingga ukuran pita DNA hasil pemotongannya sama dengan ukuran pita