• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diversity and Identification Key of Whiteflies (Hemiptera Aleyrodidae) Species on Agricultural Crops in West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diversity and Identification Key of Whiteflies (Hemiptera Aleyrodidae) Species on Agricultural Crops in West Java"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

KUTUKEBUL (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA

TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT

LIA NURULALIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Lia Nurulalia

(3)
(4)

ABSTRACT

LIA NURULALIA. Diversity and Identification Key of Whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae) Species on Agricultural Crops in West Java. Under supervision of PURNAMA HIDAYAT and DAMAYANTI BUCHORI.

Whiteflies are one of the most important insect group of pests in agricultural crops which can cause direct and indirect damages to plants, i.e. disturb photosynthesis and plant aesthetics, and transmit plant viruses. Whiteflies have been reported in Indonesia since 1900’s. There are 37 whiteflies species that have been recorded in Indonesia, but it is believed that many more are unidentified. The aims of this research was to identify the whiteflies species in agricultural crops and study their diversity at different altitudes. Whiteflies were collected at five areas in West Java: Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, and Garut. The identification of whiteflies were using fourth instar nymph or known as pupa. Slide preparation followed Watson’s protocol that has been modified. Morphological characters for such species were recorded for identification. Identification key was constructed in the dichotomous and digital forms using Lucid Phoenix Key program. Diversity of whiteflies was analysed using Shannons’s (H’), Simpson’s (D) and Sorenson’s (C) diversity index. Whitefly natural enemies that were found in the field or parasitized whiteflies were identified. There were 38 whiteflies species found and 10 were still unidentified. About 89.5% whiteflies found were the member of subfamily Aleyrodinae. Whiteflies were more commonly found in the plants with complex architecture (fruit trees) than the plants with simple architecture (vegetables, ornamental plants, etc). Plant with complex architecture can provide more space and food for organism to live. Aleurodicus dispersus and Aleurodicus dugesii are cosmopolitan species that can be found in various types of plants and altitudes. Bemisia tabaci

was commonly found in lower altitude, whereas Trialeurodes vaporariorum was mainly found in higher altitude. Both species are become important pests in vegetable crops and transmit plant diseases. The highest whitefly species richness and diversity was found in lowland (0-500 m above sea level (asl)) (H’=2.14; 1-D=5.53). Similarity analysis (C) showed that number of whitefly species found at lowland was 64% similar to midland (501-1000 m asl). The natural enemies that commonly found were coccinellid beetle, aphelinid, and encyrtid wasp.

(5)
(6)

RINGKASAN

LIA NURULALIA. Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT dan DAMAYANTI BUCHORI.

Kutukebul merupakan kelompok kutu tanaman yang termasuk ke dalam famili Aleyrodidae. Imago bersayap dan aktif terbang untuk berpindah tempat, sedangkan pradewasa melekat pada permukaan bawah daun. Kutukebul dapat menyebabkan gangguan secara langsung di antaranya mengganggu proses fotosintesis dan respirasi tanaman, dan mengurangi estetika tanaman (hias); serta menyebabkan gangguan secara tidak langsung dengan menularkan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus. Keberadaan kutukebul di Indonesia sudah diketahui sejak tahun 1900-an. Pada saat itu, beberapa spesies kutukebul menyebabkan permasalahan pada tanaman, di antaranya Aleurodes pada tebu,

Aleuroctrarthrus (Aleurodicus) destructor pada kelapa, dan Bemisia tabaci pada tembakau. Hingga saat ini sudah diketahui sekitar 37 spesies kutukebul yang ada di Indonesia. Penelitian bertujuan mengetahui spesies kutukebul pada tanaman pertanian dan mengetahui keanekaragamannya berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda.Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies kutukebul pada tanaman pertanian, keanekaragaman dan karakteristik morfologi spesies, tanaman inang, serta penyebaran kutukebul, sehingga dapat menjadi dasar bagi identifikasi dan pengendalian kutukebul pada tanaman pertanian.

Penelitian dilakukan sejak Juni 2011 sampai dengan Juni 2012. Sampel kutukebul diambil dari lima daerah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Garut yang diambil dari komoditas tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), tanaman pangan, serta tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung (purposive sampling). Identifikasi kutukebul dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel diukur dengan menggunakan GPS. Pada pengamatan keanekaragaman, tempat pengambilan sampel kutukebul dikelompokkan menjadi 3 kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah (0–500 m di atas permukaan laut (dpl)), dataran sedang (501–1000 m dpl), dan dataran tinggi (1001-1500 m dpl). Pembuatan preparat kutukebul mengacu pada metode Watson yang dimodifikasi. Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi pupa kutukebul. Karakter umum morfologi kutukebul yang menjadi ciri identifikasi adalah keberadaan compound pores (pori majemuk), dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Data jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh pada ketiga kelompok ketinggian dianalisis dengan indeks Shannon, Simpson, dan Sorenson. Kunci identifikasi kutukebul dibuat dengan sistem dikotom. Kemudian dibuat format digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix Key.

(7)

teridentifikasi. Famili Aleyrodidae terdiri dari dua subfamili utama, yaitu subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Subfamili Aleurodicinae memiliki 4-6 pasang pori majemuk abdomen dan vasiform orifice yang berbentuk setengah lingkaran dengan lingula yang besar, sedangkan subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen dan bentuk vasiform orifice beragam. Sebagian besar spesies kutukebul yang diperoleh (34 spesies) merupakan anggota dari subfamili Aleyrodinae, sedangkan empat spesies lainnya dari subfamili Aleurodicinae. Empat spesies kutukebul yang relatif mudah ditemukan adalah

Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii, Bemisia tabaci, dan Trialeurodes vaporariorum. Keempat spesies tersebut memiliki kisaran tanaman inang yang luas dan sering menyebabkan permasalahan di pertanaman.

Berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada masing-masing kisaran ketinggian tempat, diperoleh informasi bahwa keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi terdapat di dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies. Dominasi spesies terjadi di dataran tinggi, yaitu dari spesies A. dispersus dan A. dugesii. Kedua spesies tersebut juga dominan di semua kisaran ketinggian tempat.

A. dugesii cenderung lebih mudah ditemukan pada dataran tinggi. Spesies kutukebul lain yang memiliki kecenderungan yang khusus dalam hal ketinggian tempat hidup adalah B. tabaci dan T. vaporariorum. B. tabaci dominan ditemukan pada dataran rendah hingga sedang, sedangkan T. vaporariorum dominan ditemukan pada dataran sedang hingga tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh masing-masing virus yang dibawa oleh kedua spesies kutukebul tersebut. Hasil analisis dengan indeks Sorenson menunjukkan terdapat kemiripan wilayah sebesar 64% di antara dataran rendah dengan dataran sedang berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh.

Beberapa spesies kutukebul sering ditemukan berada pada daun yang sama sehingga terjadi populasi campuran pada satu daun. Sebagian besar spesies kutukebul ditemukan pada tanaman buah-buahan, yang umumnya memiliki struktur tanaman yang kompleks dan merupakan tanaman tahunan yang dapat menyediakan ruang hidup yang lebih luas dan lebih lama daripada kelompok tanaman lainnya, seperti sayuran, tanaman hias, pangan, dan sebagainya yang memiliki struktur yang sederhana.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)
(10)

KEANEKARAGAMAN DAN KUNCI IDENTIFIKASI SPESIES

KUTUKEBUL (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA

TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT

LIA NURULALIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

Judul Penelitian : Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Lia Nurulalia

NRP : A351100051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan

Mayor Entomologi Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(13)
(14)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. dan Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku dosen pembimbing; kepada Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku dosen penguji luar dan Dr. Ir. Pudjianto, M.Si selaku ketua program studi Entomologi yang telah memberikan saran dan masukan dalam tesis ini. Terimakasih pula penulis sampaikan kepada I-MHERE IPB atas pendanaan dari sebagian penelitian ini, serta kepada Dr. Jon Martin dari Natural History Museum of London, serta Profesor Soemartono Sosromarsono atas bantuan literatur pada penelitian ini.

Ungkapan terimakasih disampaikan kepada ibu serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Aisyah dan ibu Atiek Sinarwati selaku laboran lab Biosistematika Serangga dan Museum Serangga. Terimakasih pula kepada sahabat-sahabat penulis, Anik Larasati, Yani Maharani, Sari Nurulita, Sudarsono, Damayanti, Isamu Kondo, Shinichi Kato, dan Angie Higuchi; teman-teman di laboratorium, Radhian Ardy Prabowo, Osmond Vito Eliazar, M. Khoeruddin Latip, Heny Emilia, Irma Utami Siagian, Bagus Kukuh Urdianto, Aceu Wulandari, dan Van Basten Tambunan; rekan-rekan Entomologi dan Fitopatologi IPB, serta rekan-rekan Summer-Winter Course IPB 2011 atas bantuan dan dorongan motivasinya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2012

(15)
(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Mei 1983 dari ayah Lili Gozali (alm) dan ibu Nurlaela Salamah. Penulis merupakan puteri pertama dari lima bersaudara.

Tahun 2001, penulis lulus dari SMU Negeri I Ciawi, Bogor, Jawa Barat dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2010, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Entomologi dengan bantuan dana beasiswa dari I-MHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency) IPB.

(17)
(18)

DAFTAR ISI

Klasifikasi dan Morfologi Kutukebul ... 5

Bioekologi Kutukebul ... 6

Kunci Identifikasi Serangga ... 8

Kutukebul sebagai Serangga Vektor ... 9

Pengukuran Keanekaragaman Spesies Serangga ... 10

Kutukebul sebagai Spesies Invasif ... 11

Pembuatan Preparat Mikroskop Kutukebul ... 15

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Pucat ... 15

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Hitam ... 17

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Eksuvia ... 17

Identifikasi Kutukebul ... 17

Pembuatan Kunci Identifikasi Kutukebul ... 18

Hasil Penelitian ... 19

Hasil Identifikasi dan Karakter Morfologi Kutukebul ... 19

Kunci Identifikasi Kutukebul ... 21

Pembahasan ... 21

Deskripsi Spesies Kutukebul ... 22

a. Subfamili Aleurodicinae ... 22

(19)

Kunci Identifikasi Kutukebul pada Tanaman Pertanian ... 45

Kesimpulan ... 45

Daftar Pustaka ... 46

BAB IV KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA KETINGGIAN TEMPAT BERBEDA DI JAWA BARAT 49

Abstrak ... 49

Pendahuluan ... 49

Metode Penelitian ... 51

Pengambilan Sampel Kutukebul di Lapangan ... 51

Pengukuran Keanekaragaman Kutukebul ... 52

Identifikasi Musuh Alami Kutukebul ... 53

Hasil Penelitian ... 53

Analisis Keanekaragaman Kutukebul ... 53

Tanaman Inang Kutukebul ... 56

Musuh Alami Kutukebul ... 57

Pembahasan ... 58

Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan Ketinggian Tempat ... 58

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Jumlah individu kutukebul yang ditemukan pada tiga kisaran ketinggian tempat di Jawa Barat dan hasil analisis

dengan indeks Shannon dan Simpson ... 54

Tabel 4.2 Perbandingan kemiripan spesies kutukebul antar wilayah pengambilan sampel pada tiga kisaran ketinggian dengan

(21)
(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Ciri morfologi umum eksuvia kutukebul subfamili Aleurodicinae (a), dan Aleyrodinae (b) berdasarkan

pori majemuk abdomen dan vasiform orifice ... 20 Gambar 3.2 Tampilan kunci identifikasi kutukebul dikotomi

dalam format digital menggunakan program Lucid

(23)

Gambar 3.22 Eksuvia Cockerelliella sp.2 ... 38 Gambar 3.23 Eksuvia D. kirkaldyi ... 38

Gambar 3.24 Pupa (a) dan eksuvia (b) Dialeurodes sp. ... 39 Gambar 3.25 Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) D. decempuncta

pada permukaan daun yang halus (mangga), pupa (c) dan eksuvia (d) pada permukaan daun kasar (jambu

biji) ... 40

Gambar 3.26 Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) Lipaleyrodes sp. 41 Gambar 3.27 Eksuvia M. minuta ... 41 Gambar 3.28 Koloni O. mammaeferus pada daun puring (a), pupa

(b), dan eksuvia (c) O. mammaeferus... 42 Gambar 3.29 Koloni Rusostigma sp. pada daun salam (a), imago

(b), pupa (c), dan eksuvia (d) Rusostigma sp. ... 43 Gambar 3.30 Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) T. vaporariorum

pada daun tomat ... 44

Gambar 4.1 Titik-titik tempat pengambilan sampel kutukebul ... 52

Gambar 4.2 Jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada lima

jenis komoditas tanaman pertanian ... 56

Gambar 4.3 Serangga predator yang ditemukan di sekitar koloni

kutukebul di lapangan ... 57

Gambar 4.4 Serangga parasitoid yang ditemukan memarasit

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Bagian dorsal eksuvia dan karakter morfologi yang umum digunakan pada kunci identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleurodicinae (contoh spesies:

Aleurodicus pulvinatus (Maskell)) ... 82 Lampiran 2 Bagian ventral dan dorsal eksuvia serta karakter

morfologi yang umum digunakan pada kunci

identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleyrodinae 83

Lampiran 3 Kantung pupa spesies kutukebul yang belum

teridentifikasi ... 84

Lampiran 4 Keberadaan spesies kutukebul pada tanaman pertanian (sayuran, buah-buahan, hias, pangan, serta obat dan

rempah) ... 85

(25)

PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang

Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu serangga

kelompok kutu tanaman yang menjadi hama penting pada beberapa jenis tanaman,

seperti famili Solanaceae (cabai, tomat, terung, dan sebagainya). Serangga dewasa

bersayap dan aktif berpindah tempat dengan cara terbang antar tanaman maupun

antar pertanaman, sedangkan pradewasa melekat pada permukaan bawah daun.

Kutukebul memiliki alat mulut bertipe menusuk-mengisap (haustelata) yang

umumnya menimbulkan kerusakan pada tingkat sel atau jaringan tanaman

sehingga dapat menyebabkan nekrosis jaringan. Pada saat aktifitas makan

berlangsung, kutukebul akan mengeluarkan cairan (ludah) yang mengandung

enzim yang dapat membantu menguraikan dinding sel tanaman, sehingga

memudahkan serangga untuk mengisap cairan dari sel-sel tanaman. Kehilangan

cairan tanaman secara terus menerus dapat menyebabkan tanaman menjadi layu,

terjadinya pertumbuhan yang abnormal, sampai dengan kekerdilan tanaman.

Cairan (ludah) ini juga dapat menjadi media bagi penyebaran virus penyebab

penyakit tanaman. Perpindahan kutukebul yang bersifat viruliferous (mengandung virus), baik antar tanaman maupun antar pertanaman dapat mempengaruhi

penyebaran penyakit tanaman (Gullan dan Cranston 2000).

Di Indonesia, kutukebul telah dikenal sejak tahun 1900-an terkait

peranannya sebagai hama pada tanaman, di antaranya tebu, kelapa, dan tembakau.

Pada tahun 1915 dilaporkan terjadi peledakan populasi kutukebul Aleuroctarthrus

(= Aleurodicus) destructor pada perkebunan kelapa di Pulau Selayar dan Sulawesi. Pada tahun 1930-an, didatangkan parasitoid dari Jawa dalam jumlah besar untuk

mengendalikan populasi A. destructor. Sejak tahun 1940-an, tidak ada lagi laporan mengenai kerusakan yang disebabkan oleh kutukebul tersebut. Spesies kutukebul

lainnya yaitu Bemisia tabaci dilaporkan pada tahun 1938 terkait dengan penyebaran penyakit pseudomosaik dan krupuk pada pertanaman tembakau di

(26)

pseudomosaik berhubungan erat dengan adanya inang alternatif dari B. tabaci, yaitu gulma Eupatorium odoratum yang mulai menyebar luas di Asia Tenggara sejak tahun 1931. Di Jawa, kutukebul B. tabaci dapat menularkan penyakit krupuk dari beberapa jenis gulma ke tanaman tembakau. Penularan terutama

terjadi di tempat pembibitan (Kalshoven dan Vecht 1950). Pada kisaran tahun

1994-1999, terjadi invasi spesies B. tabaci yang menjadi vektor penyakit pepper yellow leaf curl dari Thailand ke Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Bali). Saat ini penyakit tersebut lebih dikenal sebagai penyakit kuning pada tanaman cabai (De

Barro et al. 2008).

Penelitian mengenai kutukebul di Indonesia masih terbatas pada

spesies-spesies tertentu, seperti B. tabaci dan Trialeurodes vaporariorum West terkait peranannya sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman pada berbagai

komoditas sayuran. Oleh karena itu, istilah kutukebul lebih sering mengacu pada

kedua spesies tersebut. Pada kenyataannya, jumlah spesies kutukebul sangat

banyak. Watson (2007) menyatakan bahwa terdapat sekitar 1200 spesies

kutukebul yang telah diketahui berdasarkan laporan dari berbagai negara dan baru

35% di antaranya yang telah dideskripsikan. Sebagian besar dari keanekaragaman

hayati di dunia berada di daerah tropik, sehingga Indonesia sebagai salah satu

wilayah yang terletak di daerah tropik berpotensi menjadi salah satu sumber

keanekaragaman spesies di dunia (Ubaidillah dan Sutrisno 2009). Oleh karena itu,

kemungkinan masih banyak spesies kutukebul yang dapat ditemukan, khususnya

pada tanaman pertanian. Pendekatan taksonomi merupakan salah satu aspek yang

penting dalam memahami keanekaragaman hayati. Pengetahuan mengenai

karakter morfologi yang unik pada setiap spesies penting dipahami agar karakter

antar spesies kutukebul yang ditemukan dapat dengan jelas dibedakan. Salah satu

aspek dari taksonomi adalah identifikasi dan bagi para pelaku taksonomi, aspek

ini merupakan hal yang paling penting. Salah satu alat yang sering digunakan

dalam proses identifikasi adalah kunci identifikasi, khususnya berupa kunci

dikotom. Adanya kunci identifikasi tersebut diharapkan dapat memudahkan

(27)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi berbagai spesies kutukebul

yang ditemukan pada tanaman pertanian, mempelajari keanekaragaman spesies

kutukebul, serta membuat kunci identifikasi spesies kutukebul yang ditemukan di

wilayah Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies

kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian, tanaman inang,

penyebaran, serta kunci identifikasi kutukebul, sehingga dapat menunjang upaya

(28)
(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Kutukebul

Kutukebul termasuk ke dalam ordo Hemiptera yang memiliki alat mulut

bertipe menusuk-mengisap, serta subordo Sternorrhyncha yang secara umum

memiliki fase pradewasa yang tidak aktif bergerak (sessile) dan/atau imago yang bersayap pada beberapa superfamili. Subordo Sternorrhyncha terdiri dari empat

superfamili, yaitu Psylloidea, Aleyrodoidea, Aphidoidea, dan Coccoidea.

Kutukebul termasuk ke dalam superfamili Aleyrodoidea yang merupakan

kelompok serangga yang memiliki ciri peralihan antara superfamili Psylloidea

dengan Coccoidea. Superfamili Aleyrodoidea mirip dengan Psylloidea karena fase

imago memiliki sayap dan dapat bereproduksi secara seksual maupun

partenogenesis, sedangkan dikatakan mirip dengan Coccoidea karena memiliki

fase pradewasa yang tidak aktif bergerak. Superfamili Aleyrodoidea hanya terdiri

dari satu famili, yaitu Aleyrodidae. Ciri dari famili ini di antaranya imago jantan

dan betina memiliki dua pasang sayap dengan venasi yang sederhana; nimfa dan

pupa memiliki vasiform orifice, lingula, dan operculum yang merupakan struktur yang sangat terspesialisasi di sekitar anus. Struktur ini berasosiasi dengan sekresi

embun madu. Selain itu, struktur ini merupakan karakteristik utama dari famili

Aleyrodidae yang tidak dimiliki oleh kelompok serangga lainnya (Watson 2007).

Famili Aleyrodidae terdiri dari dua subfamili, yaitu Aleurodicinae dan

Aleyrodinae. Perbedaan yang mendasar di antara kedua subfamili tersebut adalah

adanya pori majemuk abdomen (abdominal compound pores) di bagian subdorsal tubuh dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Subfamili Aleurodicinae umumnya memiliki 4-6 pasang pori majemuk abdomen dan

vasiform orifice yang berbentuk setengah bola dengan lingula berbentuk spatula berukuran besar yang memanjang hingga melewati tepi posterior vasiform orifice,

serta 1-2 pasang seta di bagian ujung lingula tersebut. Subfamili Aleyrodinae

tidak memiliki pori majemuk abdomen, meskipun ada spesies tertentu yang

(30)

berbeda dengan pori majemuk. Selain itu, subfamili Aleyrodinae memiliki bentuk

dan ukuran vasiform orifice yang sangat beragam dengan lingula yang relatif kecil, tidak memanjang, dan tidak melewati tepi posterior vasiform orifice, serta hanya terdapat satu pasang seta di bagian ujungnya (Watson 2007, Martin 2008).

Pada tahun 1758, Linnaeus mengklasifikasikan kutukebul sebagai kelompok

ngengat dan baru dimasukkan ke dalam ordo Homoptera (sekarang Hemiptera)

pada tahun 1795 oleh Lattreille. Penamaan whitefly dalam bahasa Inggris mengacu pada imago kutukebul yang berbentuk seperti lalat dengan permukaan

tubuh tertutupi oleh tepung lilin berwarna putih (Martin 2008), sedangkan nama

umum kutukebul dalam bahasa Indonesia berasal dari perilaku serangga ini yang

jika diganggu, imago yang berwarna putih akan berterbangan seperti ‘kebul’

(asap).

Bioekologi Kutukebul

Fase pradewasa kutukebul dapat ditemukan di bagian permukaan bawah

daun. Telur kutukebul memiliki pedisel di salah satu bagian ujungnya yang

berfungsi untuk melekat pada permukaan daun. Nimfa instar I (crawler) aktif bergerak untuk mencari tempat makan yang sesuai. Pada saat instar II dan III,

nimfa sudah menetap di tempat tertentu. Nimfa instar IV sering disebut juga

dengan fase pupa. Hal ini disebabkan pada fase ini kutukebul sudah berhenti

makan (seperti pada fase pupa sejati), terjadi pembentukan bakal sayap dan antena,

serta pematangan alat kelamin (Watson 2007). Oleh karena itu, kutukebul

memiliki tipe metamorfosis peralihan antara paurometabola dengan holometabola.

Imago betina aktif mencari tempat peletakan telur yang biasanya pada daun-daun

tanaman yang relatif muda. Setiap imago betina dapat menghasilkan sekitar 30

telur yang diletakkan pada permukaan bawah daun. Sebelum bertelur, imago

betina biasanya akan menusukkan stiletnya pada daun sebagai pusat tumpuan,

kemudian mulai berputar sambil meletakkan telur-telurnya dengan pola melingkar.

Selanjutnya telur-telur tersebut akan ditutupi dengan lilin. Ada pula beberapa

spesies kutukebul meletakkan telur-telurnya secara acak. Di daerah beriklim

(31)

atau bivoltine), sedangkan di daerah beriklim tropik, kutukebul dapat menghasilkan banyak generasi per tahun (polyvoltine) dengan setiap generasi berkembang selama 6-8 minggu (Watson 2007).

Kutukebul termasuk ke dalam kelas serangga yang merupakan organisme

yang bersifat poikiloterm, yaitu memiliki suhu tubuh yang bervariasi tergantung

suhu permukaan dan lingkungan tempat hidupnya. Semakin tinggi suhu tubuh,

maka reaksi metabolisme yang terjadi akan semakin cepat. Hal ini berarti setiap

proses yang terjadi pada kutukebul, seperti pertumbuhan dan perkembangan

tergantung pada suhu lingkungannya. Suhu merupakan bagian dari faktor iklim

pada suatu kisaran wilayah yang luas, sedangkan kondisi atmosfer pada waktu dan

tempat tertentu yang berhubungan dengan panas, dingin, sinar matahari, hujan,

awan, dan sebagainya yang sering disebut dengan cuaca. Iklim dan cuaca

merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam ekologi serangga, yang

meliputi reproduksi dan penyebaran serangga agar dapat tumbuh dan berkembang

(Speight et al. 1999).

Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, serangga herbivora sering

dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu monofag, oligofag, dan polifag.

Serangga monofag adalah serangga yang memakan satu spesies tanaman inang

atau spesies tanaman lain yang hubungan kekerabatannya sangat erat; serangga

oligofag memakan beberapa jenis tanaman inang yang masih termasuk ke dalam

famili yang sama; sedangkan serangga polifag memakan banyak spesies tanaman

inang dari famili yang berbeda-beda. Namun pengelompokan ini bersifat tidak

konsisten, khususnya pada saat membedakan antara serangga monofag dengan

oligofag. Pada kenyataannya sulit untuk membedakan serangga yang hanya

memakan satu jenis tanaman dengan serangga yang memakan beberapa jenis

tanaman yang memiliki kandungan senyawa sekunder yang hampir sama. Selain

itu, individu dari spesies yang sama dapat memakan tanaman inang yang berbeda

atau memiliki preferensi tanaman inang yang berbeda tergantung tempat tinggal

dari masing-masing serangga tersebut. Hal ini disebabkan individu serangga lebih

spesifik dalam memilih tanaman inangnya daripada populasi serangga secara

keseluruhan. Berkaitan dengan hal tersebut, pengelompokkan serangga

(32)

serangga spesialis (mencakup serangga monofag dan oligofag) dan generalis

(polifag) (Schoonhoven et al. 1998).

Kunci Identifikasi Serangga

Salah satu alat yang paling dikenal dan sering digunakan dalam identifikasi

untuk sebagian besar organisme adalah kunci identifikasi, khususnya kunci

dikotom. Kunci dikotom terdiri atas suatu seri divisi atau dikotomi yang

masing-masing mengandung dua alternatif karakter yang dimiliki oleh kelompok taksa

tertentu yang membedakannya dengan taksa lainnya. Alternatif pernyataan yang

menyusun masing-masing set dikotomi dalam suatu kunci dinamakan kaplet

(couplet). Masing-masing kaplet tersebut terdiri atas dua set alternatif karakter yang sering disebut dengan lead (= leg) (Quicke 1993).

Kunci identifikasi yang baik harus dapat digunakan secara luas, baik oleh

kalangan taksonom maupun kalangan lain yang memiliki pengetahuan dan

pengalaman yang berbeda. Suatu kunci identifikasi idealnya harus dibuat oleh

seorang ahli yang mempelajari spesimen tertentu. Karakter yang digunakan dalam

kunci identifikasi diusahakan tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit.

Pemakaian karakter yang terlalu banyak dalam suatu kaplet dapat menyebabkan

munculnya kebingungan pada penggunanya. Selain itu, pengguna dapat

kehilangan kepercayaan diri terhadap kunci yang ada sehingga dapat membuat

keputusan yang salah. Sebaliknya, pemakaian karakter yang terlalu sedikit,

misalnya hanya satu karakter pada kunci monotetik, dapat pula menyebabkan

kebingungan pada penggunanya terutama jika berhadapan dengan spesimen yang

bentuknya sudah tidak sempurna. Sebagai contoh, antena atau tungkai serangga

yang rusak atau hilang, sedangkan karakter ini menjadi salah satu karakter yang

biasanya digunakan pada awal penggunaan kunci monotetik. Oleh karena itu,

sebaiknya digunakan 2-3 karakter utama pada setiap lead sehingga dapat mengatasi permasalahan jika salah satu karakternya rusak atau hilang (Quicke

1993).

Kunci identifikasi kutukebul yang umum digunakan biasanya berupa kunci

(33)

identifikasi kutukebul untuk kawasan Amerika bagian tengah, Eropa, dan

sebagian kawasan di Asia. Kunci identifikasi kutukebul yang cukup dikenal

adalah Martin (1987). Selain itu, Martin juga pernah membuat kunci identifikasi

yang spesifik untuk kawasan Papua New Guinea (Martin 1985). Kedua jenis

kunci tersebut menyertakan gambar yang berupa sketsa. Kunci identifikasi yang

menyertakan gambar spesimen berwarna (foto) terdapat pada kunci identifikasi

Dooley (2007).

Kutukebul sebagai Serangga Vektor

Beberapa kelompok serangga dapat berperan sebagai vektor penyakit

tanaman yang disebabkan oleh patogen. Hemiptera merupakan salah satu ordo

serangga yang sering menjadi vektor patogen penyebab penyakit tanaman. Ordo

ini memiliki alat mulut yang fungsinya termodifikasi untuk menusuk dan melukai

epidermis tanaman inang, lalu terjadi transfer cairan di dalamnya. Seperti halnya

serangga secara umum, keberadaan serangga vektor juga dipengaruhi oleh faktor

biotik dan abiotik, di antaranya kondisi cuaca, reproduksi, dan penyebaran.

Adanya musuh alami dan kompetisi dapat membatasi kelimpahan serangga vektor.

Selain itu, keberadaan tanaman inang juga dapat mempengaruhi keberadaan

serangga vektor di suatu habitat dan penyebaran antar habitat. Serangga vektor

dapat memiliki kisaran tanaman inang yang sempit (spesifik) maupun luas. Gulma

dapat menjadi inang alternatif bagi serangga vektor, sebagai contoh pada tahun

1938, Bemisia tabaci menjadi vektor virus penyebab penyakit pseudomosaik pada tembakau. B. tabaci dapat hidup pada gulma Eupatorium odoratum yang ada di sekitar pertanaman tembakau (Kalshoven dan Vecht 1950).

Penularan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus bersifat sangat

spesifik. Terdapat hubungan yang khusus antara serangga vektor dengan virus

yang dibawanya. Kemampuan, efisiensi, dan cara penularan ditentukan oleh

struktur alat mulut yang dimiliki oleh serangga vektor (Bos 1994). Terdapat 3

spesies kutukebul yang diketahui dapat berperan sebagai vektor virus tanaman,

(34)

geminiviruses, tomato yellow leaf curl virus, dan sebagainya (Lapidot dan Polston 2010). B. tabaci menularkan penyakit tanaman secara persisten non-sirkulatif. Virus yang terambil ketika makan akan menuju saluran pencernaan dan

menembus dinding usus, selanjutnya bersirkulasi di dalam cairan tubuh

(haemolymph) dan mengkontaminasi cairan ludah. Hal ini menyebabkan serangga vektor tetap bersifat infektif pada aktivitas makan berikutnya. Daya tular dapat

bertahan selama beberapa hari tergantung pada jumlah virus yang terbawa ketika

proses makan berlangsung pada tanaman sakit (Bos 1994).

Pengukuran Keanekaragaman Spesies Serangga

Keanekaragaman hayati adalah variasi antar organisme dari berbagai

sumber, yang mencakup organisme yang hidup di darat, laut, dan ekosistem

perairan lainnya beserta perannya dalam ekologi. Keanekaragaman hayati

mencakup kenekaragaman dalam suatu spesies, antar spesies, dan dalam suatu

ekosistem (Speight et al. 1999). Keanekaragaman spesies terdiri dari dua komponen, yaitu variasi dan kelimpahan relatif spesies. Keanekaragaman spesies

diukur berdasarkan kekayaan (jumlah) spesies (species richness) dan kemerataan spesies (eveness) dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Pada dasarnya, keanekaragaman spesies dibagi menjadi tiga, yaitu keanekaragaman α (alpha), β (beta), dan γ (gamma). Keanekaragaman α adalah keanekaragaman pada suatu wilayah atau lanskap tempat pengambilan sampel, keanekaragaman β adalah

keanekaragaman antar wilayah pengambilan sampel untuk melihat komposisi spesies dari komunitas yang berbeda, sedangkan keanekaragaman γ adalah keanekaragaman spesies pada kisaran wilayah yang luas atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa keanekaragaman γ merupakan hasil penggabungan dari keanekaragaman α dan β (Magurran 1988).

Pengukuran keanekaragaman spesies dapat dibagi menjadi tiga kategori,

yaitu indeks kekayaan spesies, yang pada dasarnya merupakan suatu ukuran bagi

jumlah spesies yang diperoleh dalam suatu unit pengambilan sampel; model

kelimpahan spesies yang menggambarkan distribusi dari kelimpahan spesies; dan

(35)

serangga, termasuk kutukebul dapat diukur dengan menggunakan indeks

keanekaragaman. Penggunaan indeks dalam melakukan pengukuran

keanekaragaman spesies disesuaikan dengan tujuannya. Pengukuran keanekaragaman α biasanya terbagi menjadi tiga tujuan, yaitu untuk mengetahui kekayaan, dominasi, dan kemerataan spesies. Indeks yang dapat digunakan untuk mengukur kekayaan spesies di antaranya α (log series), λ (log normal), Q statistic, S (kekayaan spesies), indeks Margalef, Shannon, Brillouin, dan McIntosh U.

Indeks untuk mengukur dominasi spesies di antaranya indeks Simpson,

Berger-Parker, dan McIntosh D. Kemerataan spesies biasanya diukur dengan menggunakan indeks Shannon dan Brillouin. Keanekaragaman β di antaranya diukur dengan menggunakan indeks Jaccard, Sorenson, dan Morista-Horn

(Magurran 1988).

Kutukebul sebagai Spesies Invasif

Secara umum, spesies invasif didefinisikan sebagai spesies asing yang dapat

dengan cepat menyebar di suatu wilayah yang baru. Biasanya keberadaan spesies

invasif dapat menyebabkan perubahan dalam hal keanekaragaman organisme,

perubahan fungsi dalam ekosistem, serta berdampak pada aspek sosial-ekonomi

dan kesehatan manusia di daerah baru tersebut. Spesies asing sendiri didefinisikan

sebagai spesies organisme yang berada di luar wilayah tempat tinggal aslinya

yang berpotensi mengalami penyebaran, salah satunya melalui aktivitas manusia.

Pada dasarnya spesies invasif yang menginvasi daerah baru harus dapat melewati

tahapan-tahapan, di antaranya suatu spesies baru yang masuk ke suatu daerah baru

harus mampu bertahan hidup di daerah baru tersebut; lalu spesies tersebut mampu

berkembang biak dan melakukan kolonisasi; selanjutnya spesies baru tersebut

mampu mempertahankan keberadaan populasinya dan melakukan penyebaran ke

daerah di sekitarnya (Walther et. al. 2009).

Keberadaan spesies invasif di suatu lingkungan dapat memberikan dampak

langsung dan tidak langsung terhadap tanaman inang atau organisme lain di suatu

lingkungan yang sama. Spesies invasif dapat secara langsung menyerang,

(36)

lingkungan tersebut, sedangkan secara tidak langsung dapat mengganggu

keseimbangan ekosistem di suatu wilayah (Carruthers 2003). Jika dilihat dari

aspek yang berhubungan dengan manusia, dampak keberadaan spesies invasif

berhubungan dengan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dampak keberadaan

spesies invasif terhadap aspek ekonomi berkaitan langsung dengan penurunan

atau kehilangan hasil di pertanaman, sedangkan terhadap aspek lingkungan berupa

gangguan terhadap struktur ekosistem yang terkadang mengacu pada penurunan

keanekaragaman suatu organisme di suatu wilayah. Keberadaan spesies invasif

juga berdampak terhadap aspek sosial, di antaranya pada kesehatan, kenyamanan

dan kualitas hidup manusia, rekreasi, budaya, dan sebagainya (Charles dan Dukes

2007). Dalam bidang pertanian, serangga merupakan organisme yang sering

menjadi spesies invasif, termasuk di antaranya kutukebul. Terdapat kutukebul

yang berstatus sebagai spesies invasif di beberapa negara, di antaranya

Aleurodicus dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci. Spesies-spesies tersebut menyebabkan kerugian secara ekonomi dalam bidang pertanian (Muniappan

(37)

BAB III

SPESIES KUTUKEBUL YANG DITEMUKAN PADA

TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT DAN KUNCI

IDENTIFIKASINYA

Abstrak

Kutukebul merupakan salah satu serangga hama yang penting karena dapat menyebabkan kerusakan langsung dan tidak langsung pada tanaman. Serangan kutukebul dapat mengganggu fotosintesis dan respirasi tanaman, estetika tanaman hias, serta menularkan penyakit tanaman. Sebanyak 37 spesies kutukebul telah dilaporkan keberadaannya di Indonesia dan kemungkinan masih banyak spesies kutukebul yang belum teridentifikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui spesies-spesies kutukebul pada tanaman pertanian di Jawa Barat dan membuat kunci identifikasi kutukebul berdasarkan karakter morfologinya. Sampel kutukebul dikoleksi dari lima daerah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Garut. Identifikasi kutukebul berdasarkan pada nimfa instar keempat atau lebih dikenal dengan pupa. Pembuatan preparat mikroskop mengacu pada metode Watson yang dimodifikasi. Kunci identifikasi dibuat dalam format dikotomi dan digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix Key. Sebanyak 38 spesies kutukebul ditemukan pada tanaman pertanian, 10 spesies di antaranya belum teridentifikasi. Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, empat spesies kutukebul yang bersifat generalis adalah Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii, Bemisia tabaci, dan Trialeurodes vaporariorum. Kunci identifikasi kutukebul diharapkan digunakan sebagai panduan untuk identifikasi spesies-spesies kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian.

Kata kunci:pupa, karakter morfologi, preparat mikroskop, kunci identifikasi

Pendahuluan

Keberadaan kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) di Indonesia sudah

diketahui sejak tahun 1900-an. Pada saat itu, famili serangga ini dikenal dengan

Aleurodidae (Koningsberger 1908). Koningsberger melaporkan terdapat tiga

spesies kutukebul yang menjadi hama penting pada tanaman tebu di Jawa, di

antaranya Aleurodes bergi Sign, A. longicornis Zehnt, dan A. lactea Zehnt. Selanjutnya Dammerman (1929) melaporkan adanya tiga spesies kutukebul

lainnya, yaitu Aleurocanthus spiniferus Quaint, Aleurodicus cocois Corb, dan

(38)

yang menyerang pohon buah-buahan dan kelapa di Jawa. Pada kisaran tahun

1930-an, Kalshoven dan Vecht melaporkan 20 spesies kutukebul (Kalshoven dan

Vecht 1950), termasuk spesies-spesies yang telah dilaporkan oleh Koningsberger

dan Dammerman. Kemudian berdasarkan penelitian Bintoro dan Hidayat (2008)

di Bogor, Jawa Barat diperoleh 17 spesies kutukebul yang belum pernah

dilaporkan sebelumnya, sehingga sudah diketahui 37 spesies yang ada di

Indonesia, baik pada tanaman pertanian maupun bukan tanaman pertanian.

Penelitian mengenai kutukebul di Indonesia masih terbatas pada spesies

seperti Bemisia tabaci Genn dan Trialeurodes vaporariorum West. Kedua spesies tersebut berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman. Spesies

kutukebul lainnya yang menjadi hama penting di indonesia adalah Aleurodicus dispersus Russell dan A. dugesii Cockerell. A. dispersus dan A. dugesii

merupakan serangga asli di kawasan Amerika Selatan dan memiliki kisaran inang

yang luas. Pada tahun 1989, A. dispersus diketahui telah menyebar di sebagian wilayah Jawa dan Sumatera yang memiliki tanaman inang sebanyak 22 spesies

dari 14 famili tanaman (Kajita et. al. 1991). A. dugesii pertamakali dilaporkan pada tahun 2007 di Bogor oleh Hidayat dan Watson (2008) yang menyerang pada

tanaman kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis). A. dispersus dan A. dugesii

merupakan spesies kutukebul yang kosmopolitan dan memiliki kisaran tanaman

inang sangat luas. Hasil penelitian Murgianto menunjukkan bahwa A. dispersus

memiliki tanaman inang sebanyak 111 spesies dari 53 famili tanaman, sedangkan

A. dugesii sebanyak 40 spesies dari 27 famili tanaman. Sebagian besar dari tanaman inang A. dispersus dan A. dugesii merupakan kelompok tanaman dari komoditas hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias) (Murgianto

2010).

Beberapa spesies kutukebul diketahui dapat menyebabkan kerusakan

langsung maupun tidak langsung pada tanaman, khususnya pada kelompok

tanaman budidaya yang bersifat komersial. Oleh karena itu, penelitian ini

bertujuan mengetahui spesies-spesies kutukebul yang umum ditemukan pada

tanaman pertanian di beberapa daerah di Jawa Barat. Hasil penelitian diharapkan

dapat memberikan informasi mengenai spesies-spesies kutukebul yang umum

(39)

dan tanaman inangnya, sehingga dapat menunjang proses identifikasi dan upaya

pengendalian kutukebul khususnya di tanaman pertanian.

Metode Penelitian

Koleksi Kutukebul di Lapangan

Pengambilan sampel kutukebul dilakukan pada lima wilayah di Jawa Barat,

di antaranya Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Garut sejak Juni 2011

sampai dengan April 2012. Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan

sampel diukur dengan menggunakan aplikasi GPS (Global Positioning System) dari Pocket PC Mio P550. Sampel diambil dari berbagai jenis tanaman, di antaranya dari tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias),

pangan, serta beberapa jenis tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel

dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung (purposive sampling). Daun-daun yang terinfestasi pupa atau eksuvia kutukebul diambil dan ditutupi

dengan kertas tisu, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik bening, dan diberi

label. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dibuat menjadi preparat

mikroskop.

Pembuatan Preparat Mikroskop Kutukebul

Pembuatan preparat kutukebul dilakukan dengan metode Watson (2007)

yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada saat membuat preparat kutukebul

yang pupanya berwarna hitam. Pupa direndam terlebih dahulu di dalam larutan

KOH 10% selama 24 jam. Pada penelitian ini, pembuatan preparat mikroskop

dilakukan dengan dengan metode preparat permanen untuk identifikasi dan

penyimpanan dalam jangka waktu yang lama. Pada dasarnya, pembuatan preparat

mikroskop kutukebul disesuaikan dengan tipe pupa atau eksuvia yang diperoleh.

Terdapat dua macam spesimen yang umumnya digunakan dalam pembuatan

preparat mikroskop kutukebul, yaitu pupa dan eksuvia.

(40)

menggunakan jarum mikro. Kemudian pupa dimasukkan ke dalam alkohol 80%

dan didiamkan selama 5-10 menit. Sebanyak lima ml KOH 10% dimasukkan ke

dalam tabung reaksi dan dipanaskan di atas kompor listrik. Kemudian larutan

KOH tersebut dimasukkan ke dalam cawan sirakus. Pupa kutukebul secara satu

persatu dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi larutan KOH 10% dengan

menggunakan jarum mikro, lalu didiamkan hingga pupa terlihat transparan. Di

bawah mikroskop cahaya, pupa dibersihkan dari lilin-lilin yang masih menempel

dengan menggunakan jarum mikro. Selain itu, isi tubuh kutukebul dikeluarkan

secara perlahan-lahan hingga hanya tersisa eksuvia-nya. Selanjutnya eksuvia

dibilas dengan akuades sebanyak dua kali. Lilin yang masih tersisa pada eksuvia

dapat dibersihkan dengan cara merendam eksuvia tersebut di dalam larutan carbol xylene selama 10 detik. Lalu eksuvia dibilas kembali dengan akuades. Setelah itu, eksuvia direndam di dalam larutan asam alkohol 50% selama 10 menit. Kemudian

eksuvia direndam di dalam campuran larutan pewarna asam fuchsin dan asam

asetat glasial dengan perbandingan 1:1 selama 15 menit. Eksuvia yang telah

diwarnai direndam di dalam alkohol 80% selama 1-2 menit atau hingga diperoleh

warna eksuvia yang diinginkan. Lalu direndam di dalam alkohol 100% selama

satu menit. Setelah itu eksuvia dimasukkan ke dalam minyak cengkeh.

Gelas objek (25.4 x 76.2 cm) disiapkan untuk perentangan eksuvia

kutukebul. Pada permukaan atas gelas objek di bagian tengah diberi satu tetes

minyak cengkeh. Sebanyak satu eksuvia diletakkan pada minyak cengkeh

tersebut. Lalu eksuvia direntang dengan posisi ventral tubuh menghadap ke atas.

Kemudian minyak cengkeh yang ada di sekitar eksuvia diserap dengan

menggunakan kertas tisu. Selanjutnya pada eksuvia tersebut diteteskan balsam

canada. Larutan medium dioleskan ke sekeliling eksuvia hingga hampir

menyamai ukuran dari gelas penutup yang akan digunakan. Posisi eksuvia diatur

kembali hingga letaknya tepat di bagian tengah. Gelas penutup (18 x 18 cm)

diletakkan secara perlahan-lahan di atas spesimen dengan bantuan pinset. Preparat

miroskop diberi label di sisi kanan dan kiri. Pada label di bagian kanan spesimen

diberi keterangan lokasi dan waktu pengambilan sampel, tanaman inang, dan

kolektor. Label di bagian kiri spesimen dikosongkan yang selanjutnya akan diisi

(41)

mikroskop kutukebul dikeringkan di atas hotplateFisher Scientific Slide Warmer

dengan suhu 60ºC selama 6-8 minggu. Identifikasi dapat dilakukan pada saat

preparat sudah dikeringkan selama satu minggu. Selanjutnya preparat diletakkan

kembali di atas hotplate hingga medium pada preparat tersebut benar-benar

mengering. Preparat mikroskop kutukebul yang telah selesai dikeringkan

disimpan di dalam kotak preparat.

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Hitam. Pupa kutukebul yang telah diambil dari daun dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang

berisi larutan KOH 10%. Selanjutnya didiamkan selama 24 jam. Setelah itu, isi

tubuh pupa kutukebul dikeluarkan sehingga hanya tertinggal eksuvia-nya. Eksuvia

dibilas dengan akuades sebanyak dua kali. Sisa lilin yang masih terdapat pada

eksuvia dibersihkan dengan cara merendam eksuvia di dalam larutan carbol xylene selama 10 detik, lalu dibilas kembali dengan akuades. Kemudian eksuvia direndam di dalam alkohol 80% selama 1-2 menit, lalu direndam di dalam alkohol

100% selama satu menit. Eksuvia selanjutnya dimasukkan ke dalam minyak

cengkeh. Cara perentangannya sama dengan cara perentangan pada eksuvia yang

telah dijelaskan sebelumnya.

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Eksuvia. Eksuvia kutukebul diambil secara hati-hati dari daun dengan menggunakan jarum mikro. Kemudian

eksuvia dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi alkohol 80%, dan

didiamkan selama 5-10 menit. Selanjutnya eksuvia direndam di dalam larutan

asam alkohol 50% selama 10 menit. Setelah itu, eksuvia diwarnai dengan

merendamnya di dalam campuran larutan asam fuchsin dengan asam asetat glasial

selama 15 menit. Langkah selanjutnya sama seperti pada pembuatan preparat

mikroskop dari pupa berwarna pucat yang telah dijelaskan sebelumnya.

Identifikasi Kutukebul

Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi pupa kutukebul. Hal

ini disebabkan pupa kutukebul memiliki karakter yang spesifik untuk

masing-masing spesies (Watson 2007). Secara umum, karakter kutukebul yang menjadi

(42)

subdorsal dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Struktur

vasiform orifice terdiri dari lingula (struktur seperti lidah) yang memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi untuk masing-masing spesies. Beberapa spesies

kutukebul memiliki karakter yang khusus, seperti adanya barisan duri atau seta

pada bagian submargin, adanya papila dan tuberkel, keberadaan serta bentuk pori

trakea (tracheal pore), dan sebagainya. Karakter morfologi umum dari kutukebul subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Identifikasi kutukebul dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi

kutukebul, di antaranya Russell (1964), Martin (1985), Martin (1987), Dooley

(2007), dan Dubey et al. (2009) dengan bantuan mikroskop majemuk. Berdasarkan frekuensi penemuannya di lapangan, kutukebul dikelompokkan ke

dalam dua kategori, yaitu kutukebul yang sering ditemukan (lebih dari tiga kali

ditemukan) dan jarang ditemukan (kurang dari tiga kali ditemukan).

Pembuatan Kunci Identifikasi Kutukebul

Kunci identifikasi kutukebul dibuat dengan sistem dikotomi. Karakter dari

masing-masing kutukebul dibuat ke dalam matriks karakter. Matriks karakter

tersebut akan menjadi dasar bagi pembuatan kunci identifikasi dikotom. Kunci

identifikasi dibuat pula dalam format digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix (2004). Gambar yang digunakan pada kunci identifikasi berupa foto berwarna yang diambil dengan menggunakan kamera digital SONY DSC-W520

di bawah mikroskop cahaya dan mikroskop majemuk (untuk preparat mikroskop).

Pengukuran spesimen dibantu oleh perangkat lunak Dino Capture (2009).

Selanjutnya pada gambar yang telah diperoleh diberi keterangan, khususnya untuk

karakter yang bersifat spesifik untuk masing-masing spesies kutukebul.

Gambar-gambar tersebut juga digunakan pada kunci identifikasi dengan format digital,

tetapi gambar-gambar tersebut harus dirubah dahulu dalam format resolusi rendah

(sekitar 10 kilobit (kb)) agar komposisi tampilan gambar pada format digital

(43)

Hasil Penelitian

Hasil Identifikasi dan Karakter Morfologi Kutukebul

Berdasarkan hasil pengambilan sampel, jumlah kutukebul yang diperoleh

adalah 38 spesies. Kutukebul dari subfamili Aleurodicinae ditemukan sebanyak

empat spesies, sedangkan Aleyrodinae 34 spesies. Dari 38 spesies kutukebul yang

ditemukan, sebanyak 28 di antaranya sudah teridentifikasi, sedangkan 10 spesies

lainnya belum teridentifikasi. Kesepuluh spesies kutukebul yang belum

teridentifikasi tersebut termasuk ke dalam subfamili Aleyrodinae (Lampiran 3).

Jika dilihat dari frekuensi penemuannya di lapangan, terdapat 14 spesies yang

sering ditemukan di pertanaman, sedangkan 24 spesies lainnya jarang ditemukan.

Dari 14 spesies kutukebul tersebut di atas, sebanyak 6 spesies ditemukan pada

tanaman sayuran (Lampiran 4). Hasil identifikasi spesies kutukebul yang

ditemukan pada tanaman pertanian adalah sebagai berikut:

Subfamili Aleurodicinae:

5. Aleurocanthus citriperdus** 22. Dialeurodes sp.*

6. Aleurocanthus spiniferus** 23. Dialeuropora decempuncta** 7. Aleurocanthus woglumi* 24. Lipaleyrodes sp.*

8. Aleuroclava aucubae* 25. Minutaleyrodes minuta*

9. Aleuroclava canangae* 26. Orchamoplatus mammaeferus** 10. Aleuroclava jasmini** 27. Rusostigma sp.**

11. Aleuroclava psidii* 28. Trialeurodes vaporariorum** 12. Aleurolobus marlatti* 29. Spesies 1*

13. Aleurotrachelus sp.1** 30. Spesies 2* 14. Aleurotrachelus sp.2* 31. Spesies 3* 15. Aleurotrachelus sp.3* 32. Spesies 4* 16. Asiothrixus antidesmae** 33. Spesies 5* 17. Bemisia tabaci** 34. Spesies 6* 18. Cockerelliella psidii** 35. Spesies 7* 19. Cockerelliella sp. 1* 36. Spesies 8* 20. Cockerelliella sp. 2* 37. Spesies 9* 21. Dialeurodes kirkaldyi* 38. Spesies 10*

(44)

Kutukebul subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae dapat dibedakan dari

karakter morfologi umum berupa pori majemuk abdomen dan vasiform orifice

(Gambar 3.1). Subfamili Aleurodicinae memiliki pori majemuk di bagian subdorsal abdomen tubuhnya. Selain itu, di bagian posterior tubuhnya terdapat

vasiform orifice yang berbentuk setengah lingkaran dengan lingula (struktur seperti lidah) yang berukuran besar hingga melewati batas vasiform orifice. Subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen; bentuk vasiform orifice beragam, tergantung spesiesnya masing-masing; dan biasanya memiliki seta kauda di bagian posterior tubuh. Selain itu, bentuk dan warna eksuvianya

subfamili Aleyrodinae sangat beragam, mulai dari berwarna pucat hingga gelap.

Gambar 3.1 Ciri morfologi umum eksuvia kutukebul subfamili Aleurodicinae (a), dan Aleyrodinae (b) berdasarkan pori majemuk abdomen dan

(45)

Kunci Identifikasi Kutukebul

Karakter morfologi dari masing-masing spesies kutukebul yang ditemukan

dapat dilihat pada kunci identifikasi pada Lampiran 5. Kunci identifikasi dikotom

dibuat dalam format digital (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Tampilan kunci identifikasi kutukebul dikotomi dalam format digital menggunakan program Lucid Phoenix

Pembahasan

Hasil pengambilan sampel menunjukkan bahwa jumlah spesies kutukebul

yang ditemukan pada tanaman pertanian sebagian besar merupakan anggota dari

subfamili Aleyrodinae. Menurut laporan Watson (2007), jumlah spesies dari

subfamili Aleyrodinae lebih banyak daripada Aleurodicinae. Subfamili

Aleurodicinae meliputi 120 spesies dari 18 genus, sedangkan subfamili

Aleyrodinae meliputi 1080 spesies dari 112 genus. Kutukebul dari subfamili

Aleurodicinae sangat umum ditemukan di kawasan Neotropik, sedangkan

Aleyrodinae penyebarannya sangat luas. Spesies kutukebul dari subfamili

Aleurodicinae umumnya memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, sedangkan

spesies dari subfamili Aleyrodinae memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil

(46)

Aleyrodinae dapat lebih aktif terbang dan lebih mudah terbawa oleh angin dalam

berpindah tempat daripada spesies kutukebul dari subfamili Aleurodicinae. Selain

itu, venasi sayap yang dimiliki oleh imago subfamili Aleyrodinae lebih sederhana

daripada Aleurodicinae. Hal ini menunjukkan bahwa subfamili Aleyrodinae

merupakan serangga yang lebih maju daripada Aleurodicinae dari segi evolusinya

(Gullan dan Martin 2003). Hal ini kemungkinan yang menyebabkan beberapa

spesies dari subfamili Aleyrodinae dapat berperan sebagai vektor virus penyebab

penyakit tanaman dan berkembang menjadi biotipe tertentu, contohnya pada B. tabaci.

Deskripsi Spesies Kutukebul a. Subfamili Aleurodicinae

1. Aleuroctarthrus destructor Martin

Sinonim: Aleurodicus destructor Mackie; Aleurodes albofloccosa Froggatt Nama umum: coconut whitefly

Tanaman inang: Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera). Tempat ditemukan: Bogor.

Deskripsi: A. destructor biasanya dapat ditemukan pada permukaan bawah daun pohon kelapa. Imago berwarna putih dan memiliki ukuran tubuh yang

relatif besar (Gambar 3.3b). Ciri khas dari kutukebul ini dapat dilihat dari

bentuk lilin yang dihasilkannya. Masing-masing pupa dapat menghasilkan lilin

berwarna putih yang tebal di bagian tengah dorsal tubuhnya yang mengarah ke

atas (Gambar 3.3c). Pada bagian tepi tubuhnya dihasilkan lilin putih yang

lebih tipis yang jika dilihat secara keseluruhan akan membentuk jalinan-jalinan

lilin yang tidak beraturan sehingga terlihat seperti gumpalan-gumpalan lilin

(Gambar 3.3a). Pada eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen

yang berukuran relatif besar (Gambar 3.3d). A. destructor dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga

sehingga bagian permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam.

(47)

Gambar 3.3 Koloni A. destructor pada permukaan bawah daun kelapa (a), imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) A. destructor

2. Aleurodicus dispersus Russell Nama umum: spiralling whitefly

Tanaman inang: Apocynaceae: kamboja (Plumeria alba); Araceae: talas (Colocasia esculenta); Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Caricaceae: pepaya (Carica papaya); Euphorbiaceae: kastuba (Euphorbia pulcherrima), singkong (Manihot esculenta); Fabaceae: kecipir (Psophocarpus tetragonolobus), buncis (Phaseolus vulgaris); Lauraceae: alpukat (Persea americana); Malvaceae: kapas (Gossypium arboretum); Musaceae: pisang (Musa paradisiaca); Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense), jambu biji (Psidium guajava); Orchidaceae: anggrek tanah (Spathoglottis plicata); Rutaceae: jeruk manis (Citrus sinensis), jeruk limau (Citrus amblycarpa); Solanaceae: cabai merah besar (Capsicum annuum), tomat (Lycopersicon esculentum).

Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung, Sukabumi, dan Garut.

(48)

dispersus umumnya hidup secara berkelompok. Pada populasi yang tinggi, koloni kutukebul dapat menutupi hampir seluruh permukaan bawah daun

(Gambar 3.4a). Pada eksuvia terdapat empat pasang pori majemuk abdomen

(Gambar 3.4c). A. dispersus dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian

permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam. Kutukebul A. dispersus

dilaporkan keberadaannya di Indonesia sejak tahun 1989 (Kajita et al. 1991).

Gambar 3.4 Koloni A. dispersus pada permukaan bawah daun kastuba (a), pupa (b), dan eksuvia A. dispersus

3. Aleurodicus dugesii Cockerell

Sinonim: Aleurodicus poriferus Sampson & Drews Nama umum: giant whitefly

(49)

Orchidaceae: anggrek tanah (Spathoglottis plicata); Rubiaceae: kopi (Coffea arabica); Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia); Solanaceae: cabai keriting, cabai merah besar (Capsicum annuum), melati kosta (Brunfelsia uniflora).

Tempat ditemukan: Bandung, Bogor, Cianjur, Sukabumi, dan Garut.

Deskripsi: Kutukebul A. dugesii dapat dengan mudah dikenali di lapangan dengan adanya lilin-lilin putih yang banyak dan memanjang ke bawah hingga

menyerupai janggut (Gambar 3.5a). Imago A. dugesii berwarna putih dengan corak berwarna kelabu pada bagian sayap depannya (Gambar 3.5b). Nimfa

berwarna kuning hingga transparan (Gambar 3.5c). Pada eksuvia terdapat enam

pasang pori majemuk abdomen (dua pasang pori majemuk di bagian posterior

ukurannya tereduksi) (Gambar 3.5d). A. dugesii merupakan spesies kutukebul yang bersifat polifag dan cenderung lebih banyak ditemukan di daerah dataran

tinggi daripada dataran rendah dan dataran sedang. Pada populasi yang tinggi,

koloni kutukebul dan lilinnya dapat menutupi seluruh permukaan bawah daun.

A. dugesii dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian permukaan atas daun biasanya

terlihat berwarna hitam.

(50)

4. Paraleyrodes minei Iaccarino Nama umum: nesting whitefly

Tanaman inang: Lauraceae: alpukat (Persea americana); Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense); Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk bali (Citrus maxima).

Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Sukabumi.

Deskripsi: Imago P. minei berwarna putih dengan ukuran tubuh yang mirip dengan A. dispersus (Gambar 3.6b). Imago betina sering meletakkan telur-telurnya secara melingkar dengan ditutupi oleh lapisan lilin sehingga

menyerupai sarang burung. Kemudian imago tersebut berdiam diri di bagian

tengah. Pupa P. minei berwarna kuning hingga transparan (Gambar 3.6a). Permukaan tubuhnya sering tertutupi oleh lapisan lilin yang dihasilkannya. Di

sepanjang tepi tubuhnya dikelilingi oleh lilin yang berwarna putih. Pada

eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen (dua pasang pori

majemuk di bagian anterior ukurannya tereduksi) (Gambar 3.6c). Kutukebul ini

baru diketahui keberadaannya di Indonesia pada tahun 2011 (Nurulalia et al.

2012).

Gambar 3.6 Nimfa (a), dan imago (b) P. minei pada permukaan bawah daun jeruk, serta eksuvia P. minei

b. Subfamili Aleyrodinae

5. Aleurocanthus citriperdus Quaintance and Baker Sinonim: Aleurocanthus cameroni Corbett

Tanaman inang: Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk bali (Citrus maxima).

(51)

Deskripsi: A. citriperdus merupakan spesies kutukebul yang umum ditemukan pada tanaman jeruk. Kutukebul ini belum pernah dilaporkan ditemukan pada

tanaman selain jeruk. Kutukebul genus Aleurocanthus umumnya ditemukan hidup secara berkelompok, termasuk A. citriperdus. A. citriperdus dapat dikenali dengan warna tubuh yang hitam mengkilat dengan lilin yang berwarna

putih di bagian tepi tubuhnya. Pada bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri

kaku yang juga berwarna hitam. Pada saat di lapangan, A. citriperdus relatif sulit dibedakan dengan kutukebul genus Aleurocanthus lainnya. Identifikasi kutukebul Aleurocathus hanya dapat dipastikan berdasarkan karakter eksuvia-nya, yaitu adanya duri-duri pada bagian submarginal tubuh. Spesies A. citriperdus memiliki duri-duri sebanyak 16 pasang (Gambar 3.7).

Gambar 3.7 Eksuvia A. citriperdus

6. Aleurocanthus spiniferus Quaintance

Sinonim: Aleurocanthus spinifera Quaintance; Aleurodes citricolus Newstead;

Aleurocanthus spiniferus Quaintance & Baker; Aleurocanthus spiniferus var. intermedia Silvestri; Aleurocanthus rosae Singh

Nama umum: orange spiny whitefly

Tanaman inang: Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Moraceae: nangka (Artocarpus heterophyllus); Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava); Rutacaeae: jeruk manis (Citrus sinensis).

Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung.

(52)

kutukebul ini juga umumnya hidup secara berkelompok. Jika dilihat secara

langsung pada daun, A. spiniferus sulit dibedakan dari A. citriperdus karena memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu memiliki warna tubuh yang hitam

mengkilat dengan lilin yang berwarna putih di bagian tepi tubuhnya. Pada

bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri kaku yang juga berwarna hitam.

Kadang-kadang di bagian ujung duri tersebut sering terdapat cairan yang

lengket berwarna kuning yang kemungkinan merupakan cairan embun madu

yang dihasilkan oleh kutukebul (Gambar 3.8). Imago memiliki tubuh berwarna

jingga dengan sayap bercorak warna hitam. Seperti halnya A. citriperdus,

identifikasi A. spiniferus hanya dapat dipastikan berdasarkan karakter eksuvia-nya, yaitu adanya duri-duri pada bagian submarginal tubuh sebanyak 11 pasang

yang semua ukuran panjangnya sama.

Gambar 3.8 Pupa (a) dan imago (b) A. spiniferus pada daun nangka, serta eksuvia A. spiniferus

7. Aleurocanthus woglumi (Ashby)

Sinonim: Aleurocanthus punjabensis Corbett; Aleurocanthus woglumi var

formisana Takahashi Nama umum: citrus blackfly

Tanaman inang: Rutaceae: jeruk manis (Citrus sinensis). Tempat ditemukan: Bogor.

Deskripsi: Kutukebul A. woglumi merupakan spesies kutukebul yang biasanya ditemukan pada tanaman jeruk. Seperti halnya spesies dari genus

Gambar

Gambar 3.22  Eksuvia Cockerelliella sp.2 .........................................  38  Gambar 3.23  Eksuvia D
Gambar 3.1  Ciri morfologi umum eksuvia kutukebul subfamili Aleurodicinae (a),  dan  Aleyrodinae  (b)  berdasarkan  pori  majemuk  abdomen  dan
Gambar 3.2  Tampilan kunci identifikasi kutukebul dikotomi dalam format digital  menggunakan program Lucid Phoenix
Gambar  3.3    Koloni  A.  destructor  pada  permukaan  bawah  daun  kelapa  (a),  imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pencapaian keberhasilan kinerja untuk sasaran Meningkatnya kualitas Keluarga Kecil dan sejahtera, Meningkatnya Pembinaan Keluarga yang Ideal yang Sehat dan Sejahtera

Fasilitas yang memadai kategorinya sedang, dalam hal ini peran penyuluh sebagai konsultan kategorinya tinggi, ini artinya penyuluh sebagai konsultan sudah cukup baik dengan

Dengan melihat lokasi dan perhitungan beban peternakan ayam kita dapat menentukan rancangan turbin angin, rancangan kontrol hibrid, kapasitas panel surya,

Dalam perancangan pemodelan sistem yang menggunakan MATLAB pada dasarnya gambar 3.1 sebagai acuan untuk merancang model sistem pada simulink.. Berikut ini simulink yang

Hal ini menunjukkan bahwa dalam kemampuan passing bawah bola voli, penerapan metode latihan mini games lebih tepat dalam meningkatkan kemampuan passing bawah bola voli dan juga

eksistensi seni dan budaya tradisional masyarakat Betawi di

Jika dari sisi negatif banyak hal tercatat antaranya buntut dari kasus pencurian pulsa yang masih mengambang, teknologi wimax atau LTe yang belum bisa juga dikomersialkan,

SHUKXWDQDQ VRVLDO GL .DQWRU 3UHVLGHQ 5DEX 6HSWHPEHU PHQJDWDNDQ EDKZD DGD GHVD GL GDODP GDQ VHNLWDU NDZDVDQ KXWDQ GL PDQD SHUVHQ PHQJJDQWXQJNDQ KLGXSQ\D GDUL VXPEHU GD\D KXWDQ