• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Lanskap Konservasi Budaya Suku Baduy Luar dan Dangka dengan Pendekatan Bioregion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Lanskap Konservasi Budaya Suku Baduy Luar dan Dangka dengan Pendekatan Bioregion"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN LANSKAP KONSERVASI BUDAYA

SUKU BADUY LUAR DAN DANGKA

DENGAN PENDEKATAN BIOREGION

DEASNY PRATAMI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap Konservasi Budaya Suku Baduy Luar dan Dangka dengan Pendekatan Bioregion adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Deasny Pratami

(4)

iv

ABSTRAK

DEASNY PRATAMI. Perencanaan Lanskap Konservasi Budaya Suku Baduy Luar dan Dangka dengan Pendekatan Bioregion. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO.

Suku Baduy merupakan kelompok masyarakat yang mempertahankan adat serta tradisi, dan berpangkal pada ketentuan para leluhur mereka. Namun, Suku Baduy mengalami pengaruh budaya dari luar, terutama pada masyarakat Baduy Dangka dan Luar yang dijadikan sebagai area penyangga bagi kawasan Baduy Dalam. Tujuan umum penelitian ini adalah merencanakan lanskap konservasi budaya Suku Baduy Luar dan Dangka dengan pendekatan bioregion. Bioregional merupakan suatu wilayah tanah dan air yang cakupannya tidak ditentukan oleh batas administrasi atau politik, tetapi oleh batas geografis komunitas manusia dan sistem ekologinya. Tahapan penelitian terdiri atas: persiapan, preliminary study, analisis dan sintesis, dan perencanaan. Analisis dilakukan untuk menentukan unit bioregion, unit lanskap, dan unit tempat. Kemudian dilakukan evaluasi untuk menyepadankan kriteria karakteristik bioregion Baduy Dalam dengan karakteristik bioregion Baduy Luar dan Dangka. Karakteristik bioregion Baduy Dalam disusun berdasarkan studi literatur. Hasil penyepadanan akan digunakan sebagai arahan konsep rencana lanskap yang akan dikembangkan. Konsep perencanaan berbasis bioregional dalam penelitian ini memiliki tujuan meningkatkan kualitas hidup yang selaras antara alam sebagai sumberdaya dan aktivitas manusia melalui perbaikan dan optimalisasi lingkungan berkelanjutan dari segi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya. Hasil akhir penelitian ini dituangkan berupa gambar rencana lanskap konservasi budaya Suku Baduy Luar dan Dangka.

Kata Kunci: bioregion, konservasi budaya, perencanaan lanskap, Suku Baduy Luar dan Dangka.

ABSTRACT

DEASNY PRATAMI. Landscape Planning for Cultural Conservation of Baduy Dangka Tribe with Bioregion Approach. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO.

(5)

v

determine the bioregion unit, landscape unit, and place unit. After that, evaluation in matching the bioregion characteristic of Inner Baduy with bioregion characteristic of Outter Baduy and Dangka. The matching is done in order to utilise the result of the evaluation, as a concept guide in the landscape planning to be developed. The bioregional based of planning concept in this particular research has a purpose to escalate the quality of living combining nature as a resource and human activity, through sustainable refirement and optimazing the environment in the facet of ecology, social, economy, and culture. The final result of this research are arranged as landscape planning for cultural landscape conservation of The Outter Baduy and Dangka Tribe.

(6)
(7)

vii

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

PERENCANAAN LANSKAP KONSERVASI BUDAYA

SUKU BADUY LUAR DAN DANGKA

DENGAN PENDEKATAN BIOREGION

DEASNY PRATAMI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

ix Judul : Perencanaan Lanskap Konservasi Budaya Suku Baduy Luar dan

Dangka dengan Pendekatan Bioregion Nama : Deasny Pratami

NIM : A44090055

Disetujui Oleh

Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si Dosen Pembimbing

Diketahui Oleh

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M. Agr Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

(10)

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Perencanaan Lanskap Konservasi Budaya Suku Baduy Luar dan Dangka dengan Pendekatan Bioregion” dapat diselesaikan.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat baduy khususnya Baduy Luar dan Dangka agar mengetahui potensi sumberdaya dan dampak dari tindakan yang dapat merusak sumberdaya sehingga dapat menumbuhkan kepedulian dan kebanggan bagi masyarakat untuk melestarikan wilayah yang ada di dalamnya.

Penyusunan skripsi ini dibantu dan didukung oleh berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua, Ibu, Alm. Ayah, Adik, dan seluruh keluarga besar atas dukungan dan doanya selama ini.

2. Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si selaku Dosen Pembimbing dan pembimbing akademik yang telah banyak memberikan masukan, saran, dan kritik yang bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. Ir. Nurhayati H S Arifin, M.Sc dan Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr atas kritik dan saran selaku dosen penguji dalam ujian skripsi.

4. Jaro Dainah sebagai Kepala Desa Kanekes atas izin penelitiannya, Ayah Mursid (Wakil Jaro Baduy Dalam, Cibeo), Sapri, dan Aldi yang telah memberikan informasi dan data selama proses penelitian di lapangan.

5. Beasiswa BUMN, atas biaya penelitian yang telah diberikan.

6. Rival Herwindo, atas dukungan dan bantuannya dalam pelaksanaan skripsi dan turun lapang.

7. Teman-teman yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis, Nurul Anisyah Desdyanza, Yolanda Agustine, Firdha Mahardi dan teman-teman seperjuangan ARL 46.

8. Teman-teman Arsitektur Lanskap IPB angkatan 43, 44, 45 dan 47 atas dukungan dan kenangan selama di departemen

9. Serta seluruh pihak yang telah banyak membantu selama proses penyusunan skripsi ini.

Semoga hasil skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Februari 2014

(11)

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Pikir Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Konservasi 4

Budaya 4

Suku Baduy 5

Perencanaan Lanskap 7

Bioregion 7

METODOLOGI 10

Waktu dan Tempat Penelitian 10

Data dan Informasi 10

Alat 13

Metode dan Tahapan Penelitian 13

KONDISI UMUM 17

Profil Kampung Baduy Luar dan Dangka 17

Aksesibilitas 20

DATA DAN ANALISIS 21

Karakteristik Bioregion Baduy Luar dan Dangka 21

Aspek Budaya 21

a. Sejarah Kawasan 21

b. Adat Istiadat 21

c. Pola Pemukiman dan Arsitektur Rumah Adat 27

(12)

xii

d. Produk Seni 31

Aspek Bio-Fisik 32

a. Topografi dan Kemiringan 32

b. Geologi dan Tanah 35

c. Iklim dan Curah Hujan 38

d. Hidrologi 39

e. Penggunaan dan Penutupan Lahan 39

f. Keanekaragaman Vegetasi 46

Karakteristik Bioregion Baduy Dalam 55

Analisis Bioregional 59

Unit Bioregion 59

Unit Lanskap 61

Unit Tempat 61

SINTESIS 65

KONSEP DAN PENGEMBANGAN 69

Konsep Perencanaan 69

Rencana Pengembangan Konsep 69

PERENCANAAN LANSKAP 75

Rencana Lanskap 75

Rencana Ruang 75

Rencana Sirkulasi 76

Rencana Vegetasi 76

SIMPULAN DAN SARAN 82

Simpulan 82

Saran 82

DAFTAR PUSTAKA 83

LAMPIRAN 85

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi Bioregion 8

2 Data dan Informasi 11

3 Nama Bulan serta Kegiatan Upacara Adat di Baduy 26 4 Luas Kelas Lereng Kampung Baduy Luar dan Dangka 35 5 Nilai Indeks dan Tingkat Pencemaran DAS Ciujung 39 6 Kriteria Interpretasi Citra Satelit untuk Kelas Penutupan Lahan 43 7 Luas Penutupan Lahan Kawasan Kampung Baduy Luar dan Dangka 44

8 Jenis Vegetasi, Manfaat, dan Habitat 50

9 Keanekaragaman Kelompok Manfaat Vegetasi 54

10 Keanekaragaman Pengambilan Vegetasi berdasarkan Habitat 55

11 Karakteristik Bioregion Baduy Dalam 56

12 Daftar DAS di Provinsi Banten 59

13Evaluasi Karakteristik Bioregion Baduy Luar dan Dangka dengan Arahan

perbaikan 65

14 Rencana Vegetasi Baduy Luar dan Dangka 77

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir Penelitian 3

2 Peta Lokasi Kampung Baduy Luar dan Dangka 10

3 Diagram Tahapan Penelitian 14

4 Kondisi Desa Kanekes 18

5 Peta Eksisting Kampung Baduy Luar dan Dangka 19

6 Aksesibilitas Lokasi Penelitian 20

7 Kegiatan Pertanian dan Kaitannya dengan Upacara Adat 21 8 Pola Tata Ruang Kampung Gajeboh, Baduy Dangka 22 9 Bentuk Rumah Panggung di Kampung Baduy Luar dan Dangka 23

10 Denah Rumah Baduy Luar dan Dangka 24

11 Kain Tenun dan alat tenun yang ada di Baduy 31

12 Pakaian adat Baduy Dalam (kiri); 32

Pakaian adat Baduy Luar dan Dangka (kanan)

13 Tas Koja hasil kerajinan tangan Masyarakat Baduy 32

14 Peta Topografi Kampung Baduy Luar dan Dangka 33

15 Peta Kemiringan Lahan Kampung Baduy Luar dan Dangka 34

16 Peta Geologi Kecamatan Leuwidamar 36

17 Peta Tanah Kampung Baduy Luar dan Dangka 37

18 Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan 2003/2012 38

19 Peta Daerah Aliran Sungai Provinsi Banten 40

20 Sub DAS Kampung Baduy Luar dan Dangka 41

21 Skema zona pemanfaatan lahan di Kampung Baduy Luar dan Dangka 42 22 Peta Penutupan Lahan Kampung Baduy Luar dan Dangka 43 23 Ilustrasi Struktur Vegetasi Leuweung lembur 46

24 Ilustrasi Struktur Vegetasi Huma 47

25 Ilustrasi Struktur Vegetasi Jami 48

(14)

xiv

27 Ilustrasi Struktur Vegetasi Leuweung kolot 50

28 Unit Bioregion 60

29 Unit Lanskap 63

30 Unit Tempat 64

31 Block Plan 70

32 Konsep Ruang 69

33 Konsep Sirkulasi 71

34 Tipe Vegetasi Leuweung Lembur 72

35 Tipe Vegetasi Huma 72

36 Tipe Vegetasi Jami 73

37 Tipe Vegetasi Reuma 73

38 Tipe Vegetasi Leuweung Kolot 73

39 Rencana Lanskap Konservasi Budaya Suku Baduy Luar dan Dangka 81

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Suku merupakan sekelompok orang tertentu yang memiliki latar belakang budaya yang sama untuk menjunjung nilai-nilai adat yang berlaku dalam wilayahnya. Suku Baduy merupakan salah satu suku budaya di Indonesia yang masih memegang teguh adat tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka. Masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang kehidupannya berorientasi pada alam, sehingga budaya yang berkembang dalam masyarakat sangat berhubungan dengan kondisi alam. Masyarakat Baduy memanfaatkan alam sebagai sarana untuk bercocok tanam, berladang, sumber bahan pangan, sandang, dan papan.

Secara umum masyarakat Baduy dibagi menjadi tiga bagian yaitu tangtu,

panamping, dangka. Tangtu dan panamping berada pada wilayah Desa Kanekes, sedangkan dangka ada yang berada di dalam dan di luar Desa Kanekes. Dangka menurut beberapa pendapat sebagai tempat pembuangan warga Baduy yang melanggar adat. Walaupun dangka berada di luar wilayah Kanekes, namun masih merupakan pendukung budaya dan keturunan Baduy (Permana 2006).

Sejalan dengan perkembangan zaman saat ini, Suku Baduy telah mengalami pengaruh budaya dari luar, terutama pada Masyarakat Baduy Luar dan Dangka. Perubahan ini dapat dilihat dari bentuk pemanfaatan alam seperti hutan dan sungai di kampung ini mengalami perubahan. Penggunaan bahan-bahan kimia, seperti deterjen menyebabkan pencemaran pada air sungai. Selain itu terjadi praktek penebangan kayu di hutan, serta terjadi penyerobotan lahan oleh masyarakat di luar Baduy. Hutan dan sungai yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupan budaya Suku Baduy mengalami perubahan. Adanya perubahan tata guna lahan karena adanya pengaruh dari luar kawasan, lama kelamaan akan menjadi ancaman bagi Masyarakat Baduy Dalam, sehingga fungsi dari Baduy Luar dan Dangka yaitu sebagai area penyangga atas pengaruh budaya luar tidak lagi berfungsi.

Keadaan ini juga disebabkan karena kurang dipahaminya bentuk-bentuk pemanfaatan ruang yang diterapkan pada masyarakat Baduy Luar dan Dangka. Padahal Suku Baduy yang tinggal di atas Pegunungan Kendeng memandang alam yang terdapat di sekitarnya sebagai suatu kesatuan dari hulu ke hilir yang memiliki batas-batas ekologis, dimana kerusakan yang terjadi di hulu akan mengakibatkan kerusakan sampai ke hilirnya. Dalam menerapkan prinsip tersebut, maka pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan secara langsung oleh masyarakat yang mendiami kawasan tersebut. Oleh karena itu alam dapat menjadi sumber kehidupan dan bagian dari kebudayaan masyarakat Baduy terutama masyarakat Baduy Luar dan Dangka, dimana terdapat batas-batas budaya yang perlu ditata secara terintegrasi.

(16)

2

ekologisnya (Thayer 2003). Pendekatan ini menganjurkan agar wilayah lebih didasarkan pada karakteristik alamiah daripada keputusan politis yang dibuat oleh manusia. Selain itu pendekatan ini juga menempatkan peran masyarakat lokal sebagai faktor utama pengelola sumberdaya alam.

Hasil perencanaan lanskap konservasi budaya kawasan Baduy Luar dan Dangka dengan pendekatan bioregion, diharapkan dapat menjadi arahan dalam mewujudkan tata ruang kawasan Baduy Luar dan Dangka yang berkelanjutan, serta menjadi panduan dalam mengelola lingkungan yang menjadi tempat hidup mereka.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik bio-fisik dan budaya Baduy Luar dan Dangka dapat menghasilkan tata ruang bioregion Baduy Luar dan Dangka yang berkelanjutan?

2. Apakah kriteria perencanaan yang digali berdasarkan karakteristik bioregion Baduy Dalam dapat diterapkan dalam evaluasi tata ruang Baduy Luar dan Dangka?

3. Apakah rencana lanskap konservasi budaya Baduy Luar dan Dangka dapat disusun berdasarkan pendekatan bioregion?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu merencanakan lanskap konservasi budaya kawasan Baduy Luar dan Dangka dengan berbasis pada pendekatan bioregion.Sedangkan tujuan khusus perencanaan ini yaitu:

1. mengidentifikasi dan menganalisis karakter bioregion kawasan Baduy Dalam, Luar, dan Dangka;

2. menyusun kriteria perencanaan berdasarkan karakteristik bioregion Baduy Dalam untuk diterapkan ke dalam evaluasi tata ruang Baduy Luar dan Dangka; 3. menyusun rencana lanskap konservasi budaya Baduy Luar dan Dangka

berdasarkan pendekatan bioregion agar tercipta lingkungan yang berkelanjutan, baik secara ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi

Manfaat Penelitian

(17)

3

Kerangka Pikir Penelitian

Lanskap Baduy Luar dan Dangka merupakan salah satu bagian dari Lanskap Suku Baduy. Lanskap Baduy Luar dan Dangka sendiri merupakan area penyangga dari adanya pengaruh budaya luar yang dapat mempengaruhi budaya Baduy Dalam. Lanskap Baduy Luar dan Dangka memiliki karakteristik biofisik dan budaya pembentuk lanskap. Karakteristik tersebut akan membentuk sebuah unit bioregion yang mengacu pada kriteria bioregion Baduy Dalam. Dari unit bioregion tersebut dapat diajukan konsep perencanaan kawasan, dan selanjutnya dilakukan perencanaan lanskap konservasi budaya berbasis bioregion. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Konservasi

Konservasi menurut Oxford English Dictionary dalam Putra (2008) diartikan sebagai kegiatan untuk melindungi, mengawetkan, memelihara/menjaga dan mempertahankan keberadaannya dari berbagai pengaruh yang merusak serta menghemat dalam memanfatkannya. Pengertian konservasi ini juga mengandung makna, yaitu tindakan yang pasif dalam upaya pelestarian untuk melindungi suatu lanskap sejarah dan budaya dari kehilangan atau pelanggaran dan pengaruh yang tidak tepat. Tindakan ini bertujuan hanya untuk melestarikan apa yang ada saat ini, mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung serta mengarahkan perkembangan di masa depan (Nurisjah dan Pramukanto 2001). Kegiatan konservasi merupakan payung dari semua kegiatan pelestarian (Sidharta dan Budihardjo 1989 dalam Muhammad 2005).

Konservasi diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Menurut Koesmaryandi (2006) dalam Putra (2008) konservasi merupakan suatu cara untuk mencapai pembangunan secara lestari. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:

a. perlindungan sistem penyangga kehidupan, ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan hidup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia;

b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

c. pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Budaya

Segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dirniliki masyarakat yang bersangkutan (Herkovitas dan Mahowski dalam Soekanto 1987). Bagaimanapun manusia begitu menyatu dengan kebudayaanya, sehingga seringkali tidak menyadari, betapa dalamnya ia berakar dan dibentuk di dalam kebudayaan. Konteks kebudayaan menyatu pada penjelasan tentang bagaimana seseorang tertentu menyeleksi berbagai stimuli dari luar dirinya, dengan mengaitkan konteks tertentu. Kebudayaan sangat menentukan apa yang perlu diperhatikan, diabaikan, dan membantu manusia dalam menentukan prioritas terhadap stimuli yang dihadapinya (Loisa 1996)

(19)

5 dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam dan berisikan konsep-konsep serta model-model pengetahuan, mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam menghadapi lingkungannya.

Kim dalam Lidiawati (1998) berpendapat, kebudayaan merupakan kumpulan pola-pola kehidupan yang dipelajari manusia tertentu, dari generasi sebelumnya dan diteruskan ke generasi sesudahnya. Sedangkan Sihabudin (1996) mendefinisikan budaya sebagai suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, yang diwariskan dari generasi ke generasi mencakup pola-pola perilaku yang normatif, yaitu meliputi cara berpikir, merasakan, dan bertindak yang berarti. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Louis dalam Whyne (1998) yang menyatakan bahwa budaya dalam kelompok, dapat digolongkan sebagai seperangkat pemahaman atau makna yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang. Adanya kebudayaan yang dimiliki oleh manusia, menempatkan manusia pada kedudukan yang unik di alam. Sebagai anggota dari suatu sistem ekologi, manusia di satu sudut dapat dipandang sebagai penyebab timbulnya berbagai masalah lingkungan hidup, tetapi di sudut lain juga dapat berlaku sebagai pengendali lingkungan (Soenarminto 1993).

Suku Baduy

Suku Baduy adalah suatu bentuk kelompok masyarakat, yang mengasingkan diri dari lingkungan kelompok masyarakat sekitarnya, dan mempertahankan adat, serta tradisi yang ketat, dan berpangkal pada ketentuan-ketentuan para leluhur mereka (Iskandar 2012).

Masyarakat Baduy terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Baduy Dalam (Tangtu), Baduy Luar (Panamping) dan Baduy Dangka. Tangtu dan Panamping berada pada wilayah Desa Kanekes, sedangkan Dangka ada yang terdapat di dalam dan di luar Desa Kanekes. Pembagian ini berdasarkan kesuciannya dan ketaatannya kepada adat, Tangtu (Baduy Dalam) lebih tinggi dibanding Panamping (Baduy Luar) dan Panamping lebih tinggi daripada Dangka. Daerah teritorial Baduy Dalam tersebut adalah Cibeo (tangtu prahyang), Cikeusik (tangtu pada ageung), Cikertawana (tangtu kadu kujang). Wilayah tangtu merupakan wilayah sentral dari seluruh rangkaian wilayah Baduy lainnya. Selain wilayah tangtu, terdapat pula dua wilayah lainnya yang secara berturut-turut menempati urutan stratifikasi sosial pada masyarakat Baduy yaitu wilayah panamping dan wilayah Dangka. Istilah bagian Baduy Dalam (kajaroan) dan Baduy Luar (panamping), serta Dangka (kotor) adalah sebutan yang merupakan ketentuan adat tradisi mereka. Pada saat ini wilayah Dangka di Baduy terbagi menjadi 9, yaitu Kampung Keduketug, Cipondoh, Cihulu, Cibengkung, Gajeboh, Marengo, Balimbing, Nungkulan, dan Panyaweuyan. Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2006).

(20)

6

dalam bahasa Sunda artinya kotor. Pada kenyataanya, masyarakat Baduy menggunakan istilah tersebut, karena wilayah Dangka adalah wilayah tempat pembuangan bagi masyarakat Baduy yang melanggar adat, serta ketentuan-ketentuan yang berlaku (Pemda 1993 dalam Zahrotunni’mah 2002).

Kemajuan zaman yang semakin berkembang, hanya sedikit sekali mampu merubah, serta mempengaruhi kehidupan masyarakat Baduy, terutama masyarakat Baduy yang mendiami kepuunan, yakni wilayah utama masyarakat Baduy wilayah Cibeo, Cikeusik, Cikertawana. Ciri masyarakat Baduy tetap dengan tradisi lamanya, yang lebih menitik beratkan pada amal perbuatan selama hidup, serta pedoman pada kesederhanaan, yang mereka lakukan mencakup di segala bidang dan kehidupan, seperti perekonomian, adat istiadat, atau tatanan pelapisan sosial dalam masyarakatnya. Masyarakat Baduy dalam melaksanakan tugas sehari-hari, mampu berbuat, serta berperilaku sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh para sesepuh, serta pemimpin mereka yaitu Puun. Kesediaan serta kepatuhan mereka, terhadap segala perintah yang diberikan. Menjadikan masyarakat Baduy memiliki keunikan tersendiri dan menjadi ciri khas mereka (Pemda 1993 dalam Zahrotunni’mah 2002).

Luas total daerah Baduy pada tahun 1980-an diperkirakan kurang lebih 5101,85 ha. Menurut Iskandar (2012) pada luasan tersebut, masyarakat Baduy membagi tata guna lahan menjadi 4 macam, yaitu pemukiman, hutan kampung (leuweung lembur), ladang (huma), dan hutan tua (leuwueng kolot/kolot). Penentuan lahan tersebut dilakukan oleh masyarakat Baduy berdasarkan kriteria yang sudah dipegang secara turun-temurun, sehingga dalam suatu kawasan gunung atau bukit di Baduy biasa dibagi menjadi 3 zonasi. Zona pertama, bagian lembah dekat sungai atau sumber air tanah yang memiliki lahan cepak (lahan datar) dengan jenis tanah andosol, biasa ditempatkan pemukiman dan hutan kampung. Zona kedua, bagian atas pemukiman yang memiliki lahan landai dengan jenis tanah latosol, biasa digunakan untuk penggarapan ladang. Sementara itu, zona ketiga pada bagian puncak-puncak bukit atau gunung yang memiliki lahan curam dengan jenis tanah alluvial biasanya terdapat hutan tua, yang tidak diperkenankan untuk dibuka sebagai ladang.

Masyarakat Baduy dalam melakukan penentuan lahan didasarkan juga pada jenis vegetasi yang tumbuh di lahan, hal ini dikemukakan oleh Iskandar (2012). Pada hutan kampung, jenis vegetasi yang biasa tumbuh yaitu kayu albasiah (Albizia falcataria), durian (Durio zibethinus), duku (Lansium donesticum), kiray/rumbia (Metroxylon sagu), aren (Arenga pinata), awi gombong (Gigantochloa verticilata), dan kelapa (Cocos nucifera). Sementara itu, penentuan ladang di daerah Baduy ditentukan dengan menemukan jenis vegetasi seperti babakoan (Calotropis gigantea), bintinu, kiseureuh (Pifer aduncum), duku (Lansium donesticum), durian (Durio zibethinus), peuteuy (Parkia speciosa), pinang (Areca catechu). Jenis vegetasi tersebut dijadikan penanda karena vegetasi ini ditanam oleh masyarakat Baduy sebelum meninggalkan lahan tersebut. Pada hutan tua, jenis vegetasi yang biasa dijadikan penanda yaitu lolot, kareungay, kikadu, kibuluh, haraghag, jirak, hantap, dan puspa.

(21)

7 Sistem tersebut tidak hanya berlaku dalam tata ruang pemukiman, tapi juga berlaku dalam sistem tata ruang kawasan masyarakat Baduy. Daerah selatan dalam sistem tata ruang kawasan merupakan lokasi hutan larangan dan sasaka domas yang tidak boleh di kunjungi oleh sembarangan orang.

Perencanaan Lanskap

Perencanaan merupakan suatu pendekatan ke masa depan terhadap lahan dan perencanaan tersebut disertai dengan imajinasi dan kepekaan terhadap analisis tapak (Laurie,1984). Perencanaan adalah proses pemikiran dari suatu ide ke arah bentuk yang nyata. Proses perencanaan adalah suatu alat yang sistematis untuk menentukan keadaan awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut (Simonds, 1983). Secara praktikal, kegiatan merencanakan suatu lanskap merupakan suatu proses pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep kehidupan manusia/masyarakat ke arah suatu bentuk lanskap atau bentuk alam yang nyata dan berkelanjutan (Nurisjah dan Pramukanto 2009).

Nurisjah dan Pramukanto (2008) juga menyatakan bahwa perencanaan lanskap berfungsi utama sebagai suatu panduan saling keterkaitan yang komplek antara berbagai fungsi yang ada pada suatu lahan, bentang alam atau ekosistem. Sebagai contoh dengan memisahkan fungsi-fungsi lahan yang tidak berkesesuaian, menyatukan yang sesuai dan memilih yang kompetitif serta menghubungkan setiap fungsi yang dikhususkan pada keseluruhan kawasan lanskap yang dilihat sebagai suatu bentuk wadah kehidupan. Perencanaan lanskap merupakan suatu penyesuaian antar lanskap dan program yang akan dikembangkan untuk menjaga kelestarian ekosistem dan pemandangan lanskap sehingga tercapai penggunaan terbaik (Mrass 1985). Proses perencanaan yang baik harus merupakan suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling menunjang (Gold 1980).

Bioregion

Bioregion berasal dari kata bio (hidup) dan region (territorial/wilayah) yang dapat diartikan sebagai tempat hidup (life place) yaitu suatu lingkungan yang memiliki kekhasan dimana batas-batasnya ditentukan oleh tatanan alam yang mampu mendukung keunikan aktivitas komunitas biotik di dalamnya (Thayer 2003). Bioregion didefinisikan bervariasi terdiri dari geografi Daerah Aliran Sungai (DAS), ekosistem tumbuhan dan hewan, landform, serta budaya khas manusia yang tumbuh dari potensi alam. Komponen utama yang penting dari bioregion adalah budaya manusia yang dibangun di dalam dan terintegrasi dalam area tanpa batas yang kaku dan dibedakan oleh bentukan alami seperti flora, fauna, tanah, iklim, geologi, dan area drainase. Pendekatan ini membagi lanskap ke dalam bagian-bagian atau unit lanskap berdasarkan kondisi geologi dan hidrologinya bukan dengan metode politik.

(22)

8

alami. Komponen ekonomi yang mendukung usaha pendayagunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dalam matriks budi daya, dengan pengembangan budi daya jenis-jenis unggulan setempat. Komponen sosial budaya yang dapat memfasilitasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya alam serta memberikan peluang bagi kebutuhan sosial budaya secara lintas generasi. Bioregion merupakan unit perencanaan ruang dalam pengelolaan sumbar daya alam yang tidak ditentukan oleh batasan politik dan administratif, tetapi dibatasi oleh batasan geografis, komunitas manusia serta sistem ekologi, dalam suatu cakupan bioregion, secara ekologis. Klasifikasi bioregion dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi Bioregion

Kelas Deskripsi

Bioregion

Mewakili wilayah pada hierarki teratas yang didefinisikan berdasarkan karakteristik homogenitas wilayah iklim, elevasi, distribusi vegetasi, dan batas daerah aliran sungai utama, topografi, dan geologi.

Sub Region

Merepresentasikan subdivisi bioregion yang secara komposit mencakup wilayah homogen secara kelas hidrologi, elevasi, bentuk lahan, vegetasi, dan tanah.

Unit Lanskap

Representasi subdivisi Sub Region yang mencakup wilayah homogen yang dicirikan melalui lereng, penggunaan lahan, serta atribut sosial budaya komunitas masyarakat seperti lifestyle dan etnis.

Unit Tempat

Hierarki terendah pada subdivisi ini dicirikan oleh beberapa komponen antara lain penggunaan lahan, atribut sosial budaya komunitas masyarakat yang meliputi etnis, aspirasi masyarakat, the sense of place, the meaning of place dan berbagai bentuk nilai-nilai lokal.

Sumber: Kim et al (2000) dalam Pramukanto (2004)

Perbedaan antara kelas yang satu dengan kelas yang lainnya yaitu terdapat nilai intrinsik yang menjadikan daerah tersebut khas atau unik. Jones, Durrant, Hardy, Atkinson dan Kim (1998) mengidentifikasi enam sumber nilai intrinsik yang terdiri dari:

a. Pemandangan

(23)

9 b. Sumberdaya Alam

Sumberdaya Alam merupakan keindahan visual dari lingkungan yang berupa penampakan fisik dari daerah alami dan tidak terganggu oleh manusia, seperti hutan, formasi geologi, lahan basah, tepi sungai, dan air terjun.

c. Sejarah

Daerah yang memiliki nilai sejarah, misalnya pemakaman, daerah bekas perang, tata ruang kota, arsitektur tradisional, dan pola pemukiman.

d. Arkeologi

Daerah yang dapat menginterpretasikan aktivitas sejarah atau prasejarah di lokasi tersebut membawa lebih dekat ke dalam kejadian sebenarnya, seperti rerentuhan, artefak, dan struktur bangunan.

e. Budaya

Daerah yang memiliki nilai budaya misalnya kehidupan tradisional, upacara adat atau keagamaan, ritual pertanian tradisional, tradisi lokal, industri lokal yang unik, makanan, musik, tarian, bahasa, dan pasar.

f. Rekreasi

Daerah yang memiliki nilai rekreasi meliputi daerah yang mendukung aktivitas ruang luar, pendakian, arung jeram, terbang layang, melihat burung, dan fotografi.

(24)

10

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan di satu Kampung Baduy Luar yaitu Cempaka Putih dan tiga Kampung Baduy Dangka yaitu Kampung Gajeboh, Marengo, dan Balimbing yang terdapat di dalam Desa Kanekes Kecamatan Lewidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yang dimulai pada bulan Februari 2013. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada (Gambar 2).

Gambar 2 Peta Lokasi Kampung Baduy Luar dan Dangka, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Provinsi Banten

Data dan Informasi

(25)

11 ini merupakan tabel data dan informasi yang berisi jenis data yang dikumpulkan, interpretasi data, serta sumber data (Tabel 2).

Tabel 2 Data dan Informasi

No. Aspek

Jenis Data

Interpretasi Sumber Baduy Luar

dan Dangka Baduy Dalam

(26)

12

Keterangan: S: Spasial; D: Deskriptif

Balitan: Balai Penelitian Tanah; Kementan: Kementerian Pertanian; BMKG: Badan Meteorologi dan Geofisika; BPDAS Citarum-Ciliwung: Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai; BIG: Badan Informasi dan Geospasial

A.Aspek Bio-fisik

a. Topografi

Data Topografi digunakan sebagai peta dasar dalam membuat peta pendahuluan (preliminary map). Peta topografi memuat informasi garis kontur lahan pada tapak yang berfungsi untuk delineasi kelas kemiringan lahan (slope), batas wilayah tangkapan air (water catchment) berupa DAS dan Sub DAS, serta aliran drainase pada tapak.

b. Geologi dan Tanah

Data geologi dan tanah digunakan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi geologi dan tanah pada lokasi penelitian. Data ini berguna untuk mengetahui jenis pemanfaatan lahan yang sesuai berdasarkan jenis tanah yang dihasilkan melalui proses mineralisasi dari bahan induk (batuannya). Berdasarkan jenis tanah juga dapat diindikasikan kepekaan erosinya.

c. Iklim

Data yang dikumpulkan antara lain tipe iklim, curah hujan tahunan rata-rata, temperatur udara rata-rata, serta kelembaban udara rata-rata. Data ini digunakan untuk menginterpretasikan kondisi iklim wilayah yang dapat menentukan kesesuaian lahan untuk kenyamanan berdasarkan temperatur dan kelembaban pemanfaatan lahan tertentu.

d. Hidrologi

Data hidrologi yang digunakan berupa data sub-DAS Ciujung Hulu. Data ini digunakan untuk mengetahui kondisi sungai, kualitas dan kuantitas aliran dan pemanfaatan sungai yang dilakukan oleh masyarakat Baduy.

e. Penggunaan Lahan

(27)

13

f. Penutupan Lahan

Data penutupan lahan didelineasi berdasarkan interpretasi visual dengan mendigitasi citra ikonos 2012 yang diperoleh dengan membuat mosaik dari citra yang diperoleh melalui Wikimapia setelah dilakukan registrasi (rectifikasi). Dari citra tersebut dapat diklasifikasikan untuk penutupan lahan di Kampung Gajeboh. Ada 7 (tujuh) kelas penutupan lahan, yaitu: pemukiman, leuweung lembur, huma,

jami, reuma, leuweung kolot, dan badan air. Delineasi peta penutupan lahan berguna dalam mengidentifikasi unit tempat.

g. Vegetasi

Data vegetasi dikumpulkan untuk mengetahui jenis vegetasi yang digunakan oleh masyarakat Baduy sebagai bahan pengobatan tradisional, bahan bangunan rumah, sebagai perkakas rumah tangga dan pertanian, serta bahan untuk membuat kerajianan tangan. Data vegetasi yang dikumpulkan terdiri dari spesies dan bagian vegetasi yang dimanfaatkan, serta cara penggunaan, dan kegunaannya.

B.Aspek Budaya

Data budaya yang dikumpulkan adalah sejarah kawasan, adat istiadat, arsitektur rumah, kebudayaan naratif, serta produk seni Baduy. Data tersebut akan digunakan dalam mengidentifikasi nilai dan aktivitas yang ada dalam masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan yang ada di daerah tersebut.

Alat

Survey menggunakan kamera digital, GPS dan alat tulis. Pengolahan data dengan menggunakan software Geographic Information System (GIS) (ArcGIS 9.3 dan Global Mapper 13), hardware (komputer), Citra IKONOS, software

pemetaan (AutoCAD 2010), serta software grafis Adobe Photoshop CS 4.

Metode dan Tahapan Penelitian

Penelitian perencanaan ini dilakukan dengan metode survei lapang dan desk study, yang meliputi lima tahap, yaitu tahap persiapan, preliminary study, inventarisasi, analisis, sintesis, dan perencanaan (Gambar 3).

Persiapan

(28)

14

Gambar 3 Diagram Tahapan Penelitian Preliminary Study

(29)

15 UNESCO (1972) dalam Phillips (1998) yaitu perlindungan lanskap/seascape. Kategori V dalam kriteria nilai penting World Heritage Convention menjelaskan mengenai 3 (tiga) jenis nilai-nilai alam, yaitu:

1. Sumber daya biologi (Biodiversitas), yang berkaitan dengan kompromi dalam mempertahankan keragaman biologi alam dan pertanian.

2. Karakteristik pemanfaatan/penggunaan sumber daya alam oleh manusia, seperti panggunaan lahan yang berkelanjutan.

3. Aspek keterkaitan hubungan manusia dengan alam dan kelekatan nilai-nilai masyarakat dengan kualitas alam (lanskap).

Data tersebut akan digunakan pada tahap sintesis untuk mengevaluasi karakteristik bioregion Baduy Luar dan Dangka.

Inventarisasi

Inventarisasi merupakan tahapan pengumpulan data primer dan sekunder yang mencakup kondisi umum tapak, aspek bio-fisik dan budaya. Pengumpulan data primer diperoleh dengan melakukan survei dan pengamatan langsung di lapang. Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai aspek bio-fisik, seperti topografi, kemiringan lahan, geologi dan tanah, iklim, hidrologi, dan penutupan lahan dilakukan pada lembaga dan instansi terkait. Pengamatan langsung di lapang dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai penggunaan lahan, vegetasi, dan aspek budaya. Aspek budaya diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap masyarakat (key person) yang memiliki pengaruh dalam komunitas Baduy, yaitu Ayah Mursid Wakil Jaro Tangtu (Cibeo)dan Jaro Dainah(Jaro Pamarentah).

Analisis

Pada tahap analisis, dilakukan penyusunan data spasial dan atribut berupa karakteristik bio-fisik dan budaya dari Baduy Luar dan Dangka. Data tersebut berupa peta tematik hasil klasifikasi dan analisis berdasarkan kriteria bioregion Baduy Dalam yang meliputi topografi, kemiringan lahan, hidrologi, drainase, geologi dan tanah, vegetasi, iklim, dan budaya. Data spasial tersebut nantinya akan menghasilkan informasi mengenai karakteristik lanskap Baduy Luar dan Dangka. Data analisis karakteristik fisik dan budaya akan digunakan sebagai landasan pada tahap analisis selanjutnya yaitu analisis bioregional.

Analisis bioregional diawali dengan melakukan penyusunan kelas bioregion yang ada di Kampung Baduy Luar dan Dangka. Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi klasifikasi ke dalam tiga kelas yaitu unit bioregion, unit lanskap, dan unit tempat.

(30)

16

Sintesis

Berdasarkan karakteristik bioregion Baduy Luar dan Dangka yang telah ditentukan, dilakukan evaluasi untuk menyepadankan kriteria karakteristik bioregion Baduy Dalam dengan karakteristik bioregion Baduy Luar dan Dangka. Evaluasi tersebut menghasilkan usulan perbaikan yang digunakan sebagai dasar pada tahap perencanaan.

Perencanaan

(31)

17

KONDISI UMUM

Suku Baduy merupakan masyarakat adat yang tinggal di wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy menurut kesuciannya dan ketaatan terhadap adat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Baduy Dalam, Baduy Luar dan Baduy Dangka. Menurut prinsip tata ruang wilayah yaitu prinsip nyulah-nyanda (utara-selatan). Wilayah Baduy Dalam merupakan wilayah yang sakral dalam Desa Kanekes dan berada di wilayah bagian selatan. Baduy Dalam terdiri dari tiga kampung, yaitu Kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Sedangkan bagian utara merupakan akses masuk kawasan Desa Kanekes dan ditempati oleh Kampung Baduy Dangka yaitu Kampung Kaduketug. Kondisi Desa Kanekes dan sebaran Kampung Baduy dapat dilihat pada Gambar 4.

Profil Baduy Luar dan Dangka

Kampung Cempaka Putih merupakan salah satu Kampung Baduy Luar sedangkan Kampung Gajeboh, Marengo dan Balimbing merupakan tiga kampung Baduy Dangka yang terletak di wilayah tanah ulayat masyarakat Baduy. Keempat kampung ini secara geografis terletak di 6°36ʹ ʹʹ- 6°36ʹ 3ʹʹ LS dan 106°12ʹ54ʹʹ- 106°13ʹ51ʹʹ BT, dan secara administratif Kampung Baduy Luar dan Dangka terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kampung Baduy Luar dan Dangka secara administratif memiliki luas 127,33 ha yang berada di RT 02 RW 02. Lokasi Ketiga Kampung Baduy Dangka ini berada di pinggir Sungai Ciujung, yang merupakan bagian dari DAS Ciujung. Sedangkan lokasi Kampung Cempaka Putih berada di Sub DAS Ciujung. Batas biofisik dan kondisi eksisting Kampung Baduy Luar dan Dangka dapat dilihat pada (Gambar 5).

Menurut data penyebaran Penduduk Desa Kanekes (Baduy) tahun 2010, jumlah kepala keluarga di ketiga Kampung Baduy Luar dan Dangka ini sebanyak 232 KK dengan jumlah penduduk 779 orang terdiri dari 372 laki-laki dan 407 perempuan.

(32)
(33)
(34)

20

Aksesibilitas

Aksesibilitas untuk menuju Desa Kanekes (Baduy) dapat dicapai dengan dua rute perjalanan (Gambar 6). Rute pertama dapat dicapai dari Jakarta melewati Tangerang, Serang, Pandeglang, dan Rangkasbitung dengan menggunakan kendaraan pribadi, angkutan umum, dan kereta api. Jalan yang dilalui pada rute pertama yaitu jalan tol dengan jarak kurang lebih 131 km. Rute kedua dapat dicapai dari Bogor melewati Jasinga, Cipanas, dan Rangkasbitung dengan menggunakan kendaraan pribadi dan angkutan umum berupa bis. Rute kedua memiliki jarak kurang lebih 80 km tanpa melewati jalan tol dengan kondisi jalan yang kurang baik dibandingkan dengan rute pertama. Kedua rute tersebut akan berakhir di Terminal Ciboleger, yaitu pintu masuk menuju Desa Kanekes.

Untuk mencapai Kampung Baduy Luar dan Dangka dapat dilakukan dengan berjalan kaki ± 2 km selama 2 jam dari mulai Ciboleger kemudian melewati bukit-bukit, daerah ladang (huma) dan hutan sekunder (reuma). Kondisi jalan yang dilewati dari mulai Ciboleger menuju Kampung Balimbing, Marengo, dan Gajeboh berupa jalan setapak dengan konstruksi batu kali yang dibuat oleh masyarakat Baduy secara bergotong royong. Kampung pertama yang akan dilewati yaitu Kampung Kaduketug dan dilanjutkan melewati Kampung Cipondok hingga sampai di Kampung Balimbing, Marengo, dan Gajeboh.

Gambar 6 Aksesibilitas Lokasi Penelitian

Rangkasbitung Cipanas Jasinga Bogor ±131 km

Desa Kanekes

Jakarta Tangerang Serang Pandeglang Rangkasbitung

(35)

21

DATA DAN ANALISIS

Karakteristik Bioregion Baduy Luar dan Dangka

Karakteristik bioregion kawasan Baduy Luar dan Dangka yang terdiri dari empat kampung yaitu Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing merupakan dasar dalam penyusunan klasifikasi unit-unit ruang bioregional. Karakteristik tersebut terdiri atas karakteristik bio-fisik dan budaya.

Aspek Budaya

a. Sejarah Kawasan

Kampung Gajeboh, Marengo, dan Balimbing merupakan tiga Kampung Baduy Dangka, sedangkan Kampung Cempaka Putih merupakan Kampung Baduy Luar yang berada di dalam kawasan Baduy (Desa Kanekes). Sejarah kawasan Baduy termasuk di dalamnya Kampung Baduy Luar dan Dangka berasal dari sebuah nama sungai tempo dulu, yaitu sungai Cibaduy yang mengalir di sekitar tempat tinggal mereka dan berdasarkan nama salah satu bukit yang berada di kawasan tanah ulayat mereka yaitu Bukit Baduy (Kurnia dan Sihabudin 2013).

Letak Kampung Gajeboh, Marengo dan Balimbing yang berada di perbatasan Desa Kanekes dengan Desa Kebocau membuat kampung ini dikategorikan sebagai Kampung Dangka. Istilah dangka merupakan nama wilayah atau batas wilayah yang dijadikan tempat pengawasan kegiatan masyarakat Baduy, baik yang berada di wilayah Baduy atau masyarakat Baduy yang berada di luar wilayah Baduy dalam melaksanakan amanat wiwitan. Sedangkan Kampung Cempaka Putih merupakan Kampung Baduy Luar yang baru terbentuk dari pemekaran Kampung Baduy Luar lain yaitu Kampung Kadujangkung.

b. Adat Istiadat

Masyarakat Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing memiliki perilaku keseharian yang mengarah pada hidup sederhana dan hidup berpedoman pada aturan (pikukuh) dan kaidah-kaidah yang ada dalam masyarakat. Walaupun pada kehidupan sehari-harinya mereka diberikan kebijakan atau kelonggaran dalam melaksanakan ketentuan hukum adat berbeda dengan masyarakat yang tinggal di Baduy Dalam. Dalam kebijakan yang diberikan oleh seorang pemimpin adat tertinggi Suku Baduy (Puun) kepada masyarakat Kampung Baduy Dangka dan masyarakat kampung Baduy Luar lainnya, namun ada batas-batas tertentu yang tetap mengikat mereka sebagai suatu komunitas adat Suku Baduy.

(36)

22

sudah menggunakan celana, kemeja, dan kaos. Pakaian adat hanya digunakan saat ada cara adat seperti, seba (tradisi mengunjungi pemerintah untuk memberikan hasil bumi), upacara kawalu (berziarah ke sasaka domas yang menjadi kiblat bagi masyarakat Baduy), upacara ngalaksa, khitanan dan pernikahan.

Aspek lainnya yaitu keseragaman dalam bercocok tanam. Masyarakat Baduy bercocok tanam dengan berladang (ngahuma). Berladang merupakan mata pencaharian utama dan sekaligus kewajiban agama mereka yaitu agama Sunda Wiwitan (agama sunda asli). Penentuan waktu untuk menanam padi di ladang dilihat dari kemunculan bintang kidang. Menurut pengetahuan masyarakat Baduy, kemunculan bintang kidang jatuh pada saat matahari berada di belahan bumi utara. Saat itu keadaan tanah sudah dingin, sehingga sudah siap untuk kegiatan berladang. Aktivitas di ladang dilakukan mulai dari pagi hari jam 4 subuh hingga sore hari jam 5. Hasil panen padi biasanya tidak diperjual belikan, melainkan disimpan dalam lumbung padi (leuit). Selain dari berladang, mata pencaharian masyarakat di keempat kampung ini yaitu berdagang pakaian, rokok, dan kebutuhan pangan lainnya.

Menurut tradisi masyarakat Baduy terdapat lima macam ladang (huma)

yang dikelola di Kawasan Baduy. Lima macam huma tersebut yaitu huma serang, huma puun, huma tangtu, huma tuladan, dan huma panamping. Kelima huma

tersebut memiliki pengelolaan yang berbeda. Huma yang dikelola oleh masyarakat di keempat kampung ini yaitu huma serang, huma tuladan, dan huma panamping.

1. Huma serang

Huma serang merupakan ladang adat kepunyaan bersama. Penggarapan

huma ini dikerjakan secara bersama-sama oleh masyarakat Baduy Dalam (tangtu), Baduy Luar, dan Dangka yang dipimpin oleh Puun. Dari segi pengerjaannya,

huma serang dikerjakan paling awal mendahului pengerjaan huma lainnya. Lokasi

Huma serang berada di Baduy Dalam yaitu di Kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Lokasi huma serang dapat berpindah-pindah, jika lahan tersebut sudah tidak subur lagi namun secara garis besar letaknya harus tetap berada di sebelah timur kampung. Pencarian dan penetapan lahan untuk dijadikan huma serang

dilakukan oleh Puun, Jaro Tangtu, Girang Seurat, dan Kokolot Lembur. Dalam kegiatan sehari-hari, huma serang menjadi tanggung jawab Girang Seurat. Hasil panen dari huma serang digunakan untuk upacara adat bersama.

1. Huma tuladan

Huma tuladan merupakan huma untuk keperluan upacara adat yang berada di wilayah Baduy Luar dan Dangka. Huma tuladan di Kampung Baduy Luar dan Dangka dikelola oleh Kokolot Lembur. Biasanya masing-masing huma tuladan

memiliki luas sekitar satu hektar.

2. Huma panamping

(37)

23 kebebasan mencari lahan dan menentukan luas lahan sesuai dengan kemauan dan kemampuannya. Letak huma panamping biasanya terdapat dekat dengan kampung, namun ada juga yang jauh dari kampung, bahkan berada di luar kawasan Baduy. Rata-rata luas lahan huma panamping berkisar 0,5-1,5 ha dan jaraknya dari kampung antara 0,5-5 km.

Di Kampung Baduy Luar dan Dangka termasuk Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing, kepemilikan lahan huma dimiliki oleh individu, berbeda dengan kepemilikan lahan huma di Baduy Dalam yang dimiliki secara bersama (lahan adat). Lahan huma di wilayah Kampung Baduy Luar dan Dangka dapat diperjual belikan kepada sesama masyarakat Baduy. Masyarakat baduy di keempat kampung ini juga sering mengerjakan huma di luar Desa Kanekes atau di luar wilayah Baduy yang dibeli atau dikerjakan dengan sistem bagi hasil, atau dengan membayar sewa berupa uang dan padi hasil panen. Hal ini dilakukan sewaktu menunggu rotasi pemakaian lahan huma untuk menambah pendapatan padi mereka.

Perladangan dimulai dengan melakukan kegiatan narawas. Kegiatan

narawas ini merupakan kegiatan mencari atau memilih lahan untuk dijadikan

huma pada bulan Sapar. Lahan yang biasa dijadikan huma baru itu berupa reuma

(hutan sekunder tua) yang telah diberakan cukup lama yaitu sekitar 3-5 tahun. Menurut pengetahuan masyarakat Baduy, pemilihan lahan huma baru dilihat juga berdasarkan jenis tanah, kandungan humus, jenis tanaman dan kemiringan lereng. Jenis tanah yang dipilih yaitu taneuh bear dengan jenis tanaman yang ada diatasnya yaitu babakoan, bintinu, dan kiseureuh. Dari segi kemiringan lereng, lahan huma yang baik adalah lahan cepak (lahan di tempat yang datar), namun karena bentuk permukaan lahan di wilayah Baduy jarang sekali ditemukan tanah datar, umumnya huma ditemukan di lahan gedeng (lahan yang miring) dengan dibuat penahan berupa potongan kayu untuk mencegah humus tanah tidak terbawa air hujan.

Kegiatan selanjutnya yaitu nyacar. Nyacar merupakan kegiatan menebas rumput dan semak belukar, menebang pohon-pohon kecil, memangkas dahan-dahan pohon yang besar. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Sapar untuk di huma serang, bulan Kalima di huma puun, dan bulan Kadalapan di huma tangtu, tuladan, dan panamping.

Setelah kegiatan nyacar dilanjutkan dengan kegiatan nukuh. Nukuh

merupakan kegiatan mengeringkan dan menjadikan lahan menjadi kerontang dengan menjemur hasil tebasan rumput, dahan, dan ranting menjadi beberapa tumpukan untuk di bakar. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Kanem di huma serang, bulan Kapitu di huma puun, dan bulan Kadalapan di huma tangtu, tuladan, dan panamping.

Setelah kegiatan nukuh selesai, kegiatan selanjutnya yaitu ngaduruk.

Ngaduruk merupakan kegiatan membakar sampah yang telah dikumpulkan pada kegiatan nukuh . kegiatan ini dilakukan pada bulan Kapitu di huma serang, bulan

Kadalapan di huma puun, dan bulan Kasalapan di huma tangtu, tuladan, dan panamping.

(38)

24

huma puun pada bulan Kadalapan, dan terakhir huma tangtu, huma tuladan, huma panamping pada bulan Kasalapan.

Pada saat benih padi mulai tumbuh, dilakukan kegiatan membersihkan dan menyiangi rumput atau tumbuhan liar di sela-sela tanaman padi. Kegiatan ini dinamakan ngored. Kegiatan ngored biasanya dilakukan pada bulan Kasalapan

di huma serang, Kasapuluh di huma puun, dan Hapit Lemah di huma tangtu,

huma tuladan, dan huma panamping.

Kegiatan lain yang biasanya bersamaan dengan kegiatan ngored yaitu

ngirab sawan. Ngirab sawan merupakan membuang atau membersihkan sampah bekas ranting dan daun atau tanaman lain yang menggangu tanaman padi yang sedang tumbuh. Kegiatan ini dilakukan di bulan Kasapuluh di huma serang, Hapit Lemah di huma puun, dan Hapit Kayu di huma tangtu, tuladan, dan panamping.

Ketika bulir padi sudah penuh berisi dan siap di panen, maka dilakukan kegiatan mipit. Mipit merupakan kegiatan memetik atau menuai padi pertama kali. Rangkaian kegiatan mipit dilakukan pertama kali di huma serang pada bulan Kasa, dilanjutkan di huma puun pada bulan Karo, dan akhirnya di huma tangtu, tuladan, dan panamping pada bulan Katiga. Rangkaian kegiatan pertanian masyarakat baduy dan kaitannya dengan upacara adat dapat dilihat pada Gambar 7.

Saat musim kopi dan cengkeh, masyarakat baduy di Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing biasanya mengambil biji kopi dan bunga cengkeh di hutan sekunder tua (reuma) dan hutan lindung untuk diolah menjadi kopi bubuk dan cengkeh untuk dijual ke pasar. Hal ini tidak dilakukan oleh masyarakat Baduy Dalam, karena tanaman kopi dan cengkeh dilarang di wilayah Baduy Dalam.

Masyarakat Baduy memiliki keunikan dalam sistem penanggalan. Jumlah bulan dalam penanggalan masyarakat Baduy sama yaitu terdiri dari 12 bulan, hanya perhitungan jumlah hari yang berbeda yaitu 360 hari. Penetapan penanggalan diputuskan oleh lembaga adat Baduy. Nama-nama penanggalan bulan secara adat di Baduy dimulai dari bulan Safar, Kalima, Kanem, Kapitu, kegiatan adat yang disebut Ngalaksa yaitu upacara penghormatan terhadap leluhur dengan membuat tepung padi dan hasil panen seluruh warga baduy sebagai sasajen. Hal ini dilakukan untuk melaksanakan rukun agama Sunda Wiwitan

(Kurnia dan Sihabudin 2013).

(39)

25

Gambar 7 Kegiatan Pertanian dan Kaitannya dengan Upacara Adat (Sumber: Hasil Wawancara)

Ada tiga macam seba yang dilaksanakan oleh masyarakat Baduy yaitu seba laksa,

seba gede, dan seba leutik. Perbedaan ketiga macam seba ini dilihat dari persembahan masyarakat Baduy kepada pemerintah. Pada seba laksa

(40)

26

Tabel 3 Nama Bulan serta Kegiatan Upacara Adat di Baduy

Bulan Nama Bulan Baduy Kegiatan Upacara Adat

1 Sapar/Kapat Seba

2 Kalima Muja (Puun Ziarah), acara geseran, kawinan, dan sunatan

3 Kanem Hajatan perkawinan dan selamatan

4 Kapitu Hajatan perkawinan

5 Kadalapan -

6 Kasalapan -

7 Kasapuluh -

8 Hapit Lemah -

9 Hapit Kayu -

10 Kasa Kawalu Tembeuy (awal), puasa tanggal 17 di Cikeusik dan

Cikertawana, puasa tanggal 18 di Cibeo

11 Karo Kawalu Tengah, puasa tanggal 18 di Cikeusik, tanggal 19 di

Cikertawana dan Cibeo

12 Katiga Kawalu Tutug (akhir), puasa tanggal 17 di Cikeusik dan

Cikertawana, tanggal 18 di Cibeo, acara ngalaksa tanggal 20-27

Sumber: Hasil Wawancara dengan Masyarakat Baduy

Proses pernikahan dalam masyarakat baduy merupakan kegiatan yang sakral dan wajib dilakukan oleh setiap kaum laki-laki dan perempuan yang sudah cukup umur. Kaum laki-laki yang wajib menikah adalah yang memiliki umur sekitar 20 tahun, sedangkan kaum perempuan wajib menikah saat umur mereka sekitar 17 tahun.

Tata cara pernikahan masyarakat Kampung Baduy Luar dan Dangka ada dua cara pernikahan yaitu dijodohkan atau mencari jodoh sendiri. Pernikahan dengan dijodohkan memiliki proses yang hampir sama dengan yang dilakukan masyarakat Baduy Dalam. Pihak laki-laki meminta kepada kokolot lembur untuk dicarikan jodoh. Sedangkan untuk tata cara kedua yaitu mencari jodoh sendiri. pernikahan dengan tata cara kedua ini, pihak laki-laki boleh mencari jodoh sendiri dengan bebas, baik dari satu kampung maupun beda kampung.

Waktu pelaksanaan upacara pernikahan memiliki aturan yang bersifat baku, yaitu dilaksanakan pada bulan Kalima, Kanem, dan Kapitu. Namun untuk di Kampung Baduy Luar dan Dangka, selain pada bulan tersebut masih bisa dilaksanakan pada bulan lainnya yaitu bulan Kadalapan, Kasalapan, Hapit Lemah,

dan Hapit Kayu. Tetapi lima bulan ini jarang dipilih karena dianggap nilai keberuntungannya kurang bila dibandingkan dengan ketiga bulan tadi serta sudah disibukkan dengan acara ngahuma. Pada bulan Kasa, Karo, Katiga, dan Sapar

seluruh masyarakat Baduy termasuk Baduy Luar dan Dangka dilarang melaksanakan upacara pernikahan karena merupakan bulan khusus kegiatan upacara adat besar.

(41)

27 menerima kunjungan dari tetangga dan kerabat. Pada hari kedua ini dilaksanakan acara akad nikah yang dilakukan khusus oleh penghulu beragama Islam dari luar Baduy untuk membimbing calon pengantin membaca Sahadat Nabi Muhammad yang menjadi salah satu syarat pernikahan di Baduy Luar dan Dangka. Hari ketiga merupakan kegiatan puncak ritual acara pernikahan adat. Pada hari ketiga ini dilakukan acara turun penganten, yaitu pasangan penganten didampingi oleh Kokolot Lembur yang membawa bokor (sesajian) untuk keluar rumah menuju tempat duduk pengantin.

Upacara adat lainnya yang dilakukan di Kampung Baduy Luar dan Dangka yaitu Sunatan. Ritual sunatan dilaksanakan untuk anak-anak baduy berumur 5-10 tahun. Pelaksanaan ritual ini dilakukan selama 3 hari berturut-turut pada bulan

Kalima. Dalam pelaksanaannya, ritual ini dilakukan secara massal. Pelaksanaan ritual sunatan secara massal dilakukan karena mempertimbangkan tokoh adat khusus yang menangani ritual ini yaitu Bengkok dan Juru Aes jumlahnya terbatas.

c. Pola Pemukiman dan Arsitektur Rumah Adat

Pemukiman merupakan suatu unit tempat tinggal sekelompok masyarakat dalam suatu lingkungan tertentu (Permana 2006). Dalam suatu pemukiman di Kampung Baduy Luar dan Dangka biasanya terdiri atas sejumlah rumah (imah), bangunan tempat menumbuk padi (saung lisung), bangunan tempat menyimpan padi (leuit), dan lingkungan sekitarnya. Pola suatu pemukiman atau kampung masyarakat Baduy pada dasarnya merupakan semacam miniatur dari penataan yang lebih besar (Tata Ruang Kawasan). Pola tersebut yang nyata terlihat adalah adanya daerah yang terbuka, orientasi dan penataan bangunan, dan akses masuk-keluar kawasan.

(42)

28

Gambar 8 Pola Tata Ruang Kampung Gajeboh, Baduy Dangka (Sumber: Hasil Survey di Lapang dan Interpretasi Goggle Earth)

Rumah merupakan bangunan penting dalam suatu pemukiman sebagai tempat bernaung dan melangsungkan kehidupan. Namun bagi masyarakat Baduy rumah tidak hanya sekedar bangunan untuk bernaung, namun memiliki makna yang luas. Rumah Adat di Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing memiliki bentuk yang seragam yaitu berupa rumah panggung sederhana dari bahan kayu dan bambu yang diambil di hutan sekunder tua (reuma) dan hutan kampung (leuweung lembur) dan menghadap ke arah utara-selatan (nyulah nyanda). Contoh rumah panggung baduy di keempat kampung dapat dilihat pada Gambar 9.

Rumah panggung ini mempunyai ukuran yang bervariasi tergantung kemampuan pemilik dan ketersediaan lahan. Ruang rumah panggung terdiri atas

(43)

29 Proses pendirian rumah diawali dengan melakukan perataan tanah sesuai keinginan. Bahan-bahan bangunan untuk membuat rumah disiapkan oleh pemilik yang akan membangun rumah, dan proses pembangunannya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat kampung. Fondasi yang digunakan untuk rumah adalah batu kali yang diambil dari sungai.

Gambar 9 Bentuk Rumah Panggung di Baduy Luar dan Dangka

(44)

30

d. Kebudayaan Naratif

Masyarakat Baduy memiliki sikap patuh dan taat pada amanat leluhurnya. Sikap tersebut merupakan bentuk kesungguhan yang ditanamankan secara kuat dan terus menerus pada setiap anak cucu keturunan Baduy melalui proses pendidikan. Proses pendidikan ini dimulai sejak usia anak kecil hingga dewasa dengan penanaman ajaran serta keyakinan yang dilakukan oleh para tokoh adat melalui bait-bait pepatah yang ringkas dan memiliki makna yang sangat dalam.

Pepatah Baduy menyerupai bait-bait pantun yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Sunda dan diperuntukkan untuk berbagai aspek kehidupan. Isi dalam pepatah Baduy berisi arahan untuk mengingatkan, menasihati, gambaran, ajakan, serta simbol-simbol kehidupan. Pepatah Baduy bukan merupakan perintah atau larangan serta hukuman. Kata-kata dalam pepatah Baduy memiliki arti dan mengandung makna yang dalam. Sehingga pepatah ini dijadikan sebagai penuntun dan pedoman hidup masyarakat Baduy dalam perilaku sehari-hari sejak dulu hingga sekarang.

Pepatah baduy juga mendeskripsikan tempat tertentu yang menurut kepercayaan mereka, tempat tersebut memiliki nilai yang perlu dijaga kelestariannya. Tempat tersebut yaitu pemukiman, leuweung lembur, leuweung kolot, dan sungai. Berdasarkan hasil wawancara dan studi pustaka, pepatah yang digunakan masyarakat Baduy antara lain:

Pepatah untuk Taat pada Hukum

Lojor teu beunang dipotong Pondok teu beunang disambung Gede teu beunang dicokot Leutik teu beunang ditambah

Mipit kudu amit, ngala kudu menta Ngagedig kudu bewara

Mun neukteuk kudu sateukna Mun nilas kudu saclekna

Nu lain dilainkeun, nu enya dienyakeun Ulah gorok ulah linyok Larangan aya di darat di cai

Gunung aya maungan, lebak aya badakan Lembur aya kokolotan, leuwi aya buayaan Daratan imahan, legok balongan

Basisir jagaeun, walungan rawateun Gunung kaian, gawir awian, pasir talunan

(45)

31

e. Produk Seni

Produk seni yang ada di Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing sangat sederhana. Masyarakat baduy di keempat kampung ini mencurahkan rasa seni pada motif kain tenun, hulu dan sarung kemudian golok, alat musik, dan anyaman/rajutan.

Kain tenun dibuat oleh ibu-ibu baduy mengunakan alat tenun yang terbuat dari awi dan kayu saat waktu senggang, sedangkan alat-alatnya dibuat oleh kaum laki-laki (Gambar 11). Kain tenun, hulu dan sarung yang telah dibuat nantinya akan ada yang dijual ke Baduy Dalam, dan sebagian ada yang dijual untuk dijadikan cenderamata. Kain dan pakaian yang dikenakan oleh masyarakat Baduy Dalam hanya berwarna putih dan hitam tanpa kancing, sedangkan masyarakat Baduy Luar dan Dangka umumnya menggunakan warna hitam dengan motif batik pada sarungnya dan boleh menggunakan kancing (Gambar 12).

Alat musik yang mereka kenal adalah angklung, kecapi, gamelan, suling bambu, toleot (suling berukuran pendek), karinding, dan rendo. Namun alat musik angklung tidak boleh dimainkan disembarang tempat dan waktu, biasanya hanya boleh dimainkan pada saat upacara adat. Dalam pembuatan angklung juga tidak sembarangan, hanya boleh dibuat oleh seorang mandor angklung Baduy dan menggunakan bambu khusus yaitu awi temen. Berbeda dengan alat musik kecapi, biasanya kecapi dimainkan pada malam sebelum upacara menanam padi dan saat seorang laki-laki baduy mengunjungi rumah gadis baduy di malam hari untuk mendengar lantunan petikan kecapi. Kecapi juga biasanya dimainkan diiringi dengan dilantunkannya pantun saat ada sebuah acara pernikahan. Sedangkan alat musik gamelan, suling bambu, toleot, karinding, dan rendo biasanya dimainkan dalam upacara pernikahan.

(46)

32

Gambar 12 Pakaian adat Baduy Dalam (kiri); Pakaian adat Baduy Luar dan Dangka (kanan)

Anyaman atau rajutan yang khas dibuat oleh masyarakat Baduy adalah tas

koja dan jarog. Koja merupakan sejenis tas yang terbuat dari anyaman kayu

teureup (Artocarpus elasticus) (Gambar 13). Pembuatan koja dilakukan oleh laki-laki Baduy saat di rumah atau di saung ladang pada waktu luang.

Gambar 13 Tas Koja hasil kerajinan tangan Masyarakat Baduy

Aspek Bio-Fisik

a. Topografi dan Kemiringan Lahan

Topografi Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing memiliki ketinggian 225 sampai 425 meter di atas permukaan laut. Peta topografi Kampung Baduy Luar dan Dangka untuk keempat kampung ini dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat keempat kampung ini memiliki topografi berbukit, semakin ke timur memiliki kontur yang semakin tinggi.

(47)
(48)
(49)

35 Kelas lereng ditentukan menjadi lima kelas berdasarkan kriteria penentuan kawasan lindung (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980) yaitu 0-8 % (datar), 8-15 % (landai), 8-15-25 % (agak curam), 25-40 % (curam), dan >40 % (sangat curam).

Tabel 4 Luas Kelas Lereng Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing

Kelas Lereng Klasifikasi Luas (ha) Persentasi Luas (%)

0-8 % Datar 23,409 18,38

Presentasi luas dari tertinggi sampai terendah adalah lahan dengan lereng 8-15 % yang merupakan kelas landai mendominasi dengan presentasi luasan 43,01 % dari total area, lereng 15-25 % merupakan kelas agak curam dengan presentasi luas 30,18 %. Kelas kemiringan selanjutnya adalah lereng 0-8 % yang merupakan lereng datar dengan persentasi luasan 18,38 %, kemudian lereng 25-40% yang merupakan curam dengan persentasi luasan 7,75 %. Lereng >40 % merupakan kelas lereng sangat curam memiliki persentase luasan terendah yaitu 0,67 %.

b. Geologi dan Tanah

(50)
(51)
(52)

38

Jenis tanah di Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing berdasarkan data BPDAS Citarum Ciliwung (2010) merupakan jenis tanah latosol coklat. Peta jenis tanah keempat kampung ini dapat dilihat pada Gambar 17. Berdasarkan klasifikasi tanah menurut PPT (1983), karakteristik tanah latosol coklat memiliki distribusi kadar liat tinggi (≥60 %), remah sampai gumpal, gembur, dan warna secara homogen pada penampang tanah dalam (>150 cm) dengan batas horizon terselubung, kejenuhan basa (NH₄Oac) kurang dari 30 % sekurang-kurangnya pada beberapa bagian dari horizon B di dalam penampang 125 cm dari permukaan, tidak memperlihatkan gejala plintik di dalam penampang 125 cm dari permukaan, tidak mempunyai sifat-sifat vertik, dan pH berkisar 4,5-6,5. Berdasarkan kriteria penentuan kawasan lindung (SK Mentan No.837/Kpts/Um/II/1980) menurut kepekaannya terhadap erosi, tanah latosol masuk dalam kriteria agak peka. Sehingga kemungkinan terjadinya erosi sangat kecil.

c. Iklim dan Curah Hujan

Berdasarkan data iklim dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di stasiun terdekat dengan lokasi Baduy yaitu stasiun Curug yang terletak di 06° 14' LS dan 106° 39' BT pada elevasi 46 m, terhitung dari tahun 2003 hingga tahun 2012. Kampung Cempaka Putih, Gajeboh, Marengo, dan Balimbing memiliki suhu rata-rata 26,5 °C dengan suhu minimum terjadi pada bulan Ferbruari yaitu 26,1 °C dan suhu maksimum terjadi pada bulan Mei, September, dan Oktober yaitu 26,8 °C (Gambar 18).

Gambar 18 Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Curah Hujan 2003-2012 Stasiun Curug

Sumber: BMKG Pusat 2013

Gambar

Gambar 7 Kegiatan Pertanian dan  Kaitannya dengan Upacara Adat
Gambar 8 Pola Tata Ruang Kampung Gajeboh, Baduy Dangka
Gambar 10 Denah Rumah Baduy Luar dan Dangka
Gambar 12  Pakaian adat Baduy Dalam (kiri);
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan perencanaan dan perancangan Gedung Seni dan Budaya Banyumas adalah untuk mendapatkan desain gedung seni dan budaya yang memberikan nuansa Banyumasan dengan

ARENA REKREASI ES SARIPETOJO DI SOLO KONSERVASI BANGUNAN CAGAR

Kriteria desa model MDK (DPJLWA, 2009:9) adalah (1) berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, (2) secara ekologis akan berpengaruh dengan kawasan konservasi,

Nilai faktor tindakan manusia dalam konservasi tanah (P) adalah nisbah antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi pada lahan

Konsep tata hijau yang digunakan dalam perencanaan lanskap in iadalah konsep dengan mengahadirkan tanaman yang berfungsi sebagai penambah ruang terbuka hijau

Pada ruang pelayanan utama wisatawan dapat memperoleh berbagai informasi yang berkaitan dengan kawasan wisata budaya yang berbasis industri kerajinan anyaman bambu dan

Mata kuliah Konservasi dan Reklamasi Lahan mempelajari tentang konsep dan teori Konservasi dan Reklamasi Lahan, yang meliputi materi: Pengantar, Daur Hidrologi, Kerusakan

Konsep Konseling Lintas Budaya Konseling Lintas Budaya Cross Cultural Counseling adalah salah satu layanan konseling antara konselor dan konseli dengan perbedaan latar budaya berbeda,