• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis unsur intrinsik pada cerpen Kup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis unsur intrinsik pada cerpen Kup"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap sesuatu diciptakan untuk suatu hal tertentu dengan tujuan tertentu yang bermanfaat. Begitu pula dengan karya sastra, setiap karya sastra tidak diciptakan hanya untuk hiburan semata. Tetapi ada maksud dan tujuan tertentu. Sastra berfungsi sebagai penghibur sekaligus mengajarkan sesuatu. Oleh karena itu, sastra sering dianggap indah dan bermanfaat. Sastra merupakan ciptaan manusia yang memiliki ciri yang khas, karena penyair berhak mencipatakan apa saja dalam karyanya.

Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Untuk mempertegas genre-genre prosa sering kali dipertentangkan dengan genre yang lain , misalnya genre puisi, walau pemertentangan itu bersifat teoristis. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai margin kanan. Prosa dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, melainkan juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita dalam surat kabar. Secara teoristis karya fiksi dapat dibedakan dengan karya nonfiksi, meskipun perbedaan itu tidak terlihat mutlak, baik menyangkut unsur kebahasaan maupun unsur isi permasalahan yang dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data faktual, dunia realitas. Dalam penulisan ini, istilah dan pengertian prosa hanya dibatasi pada prosa sebagai salah satu genre sastra.

(2)

Banyak hal yang terkandung dalam cerpen, di dalam cerpen terdapat watak tokoh cerpen, amanat, serta sejumlah permasalahan yang dihadapi tokoh cerpen merupakan potret kehidupan nyata disajikan oleh pengarang melalui cerita. Itu berarti, dengan mengapresiasi cerpen, kita akan mendapat banyak pengalaman hidup, termasuk nilai positif watak di dalamnya.

Mengapresiasikan cerpen ada banyak sekali macamnya, salah satunya yaitu dengan cara menganalisis unsur pembangunnya, baik itu unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Berdasarkan uraian diatas, penulis akan menyusun makalah yang berjudul “Analisis Unsur Intrinsik Cerpen Kupu-kupu Monarch karya Tere Liye.”

Kajian analisis ini sesuai dengan Kurikulum 2013, tepatnya pada Kompetensi inti yang ke tiga (KI.3) yaitu berada pada kurikulum kelas XII SMA. Di dalam kurikulum itu sendiri, mencakup Kompetensi Dasar yang di dalamnya mengandung Kompetensi Dasar satu yang menjelaskan mengenai sikap percaya akan ketuhanan, Kompetensi Dasar dua menjelaskan mengenai sikap, Kompetensi Dasar tiga mengenai pengetahuan (kognitif) dan Kompetensi Dasar empat mengenai keterampilan (Psikomotor). Adapun Kompetensi Dasar yang sesuai dengan kajian apresiasi ini, tepatnya berada pada Kompetensi Dasar ketiga (KD.3.3) yang di dalamnya mengandung menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah unsur intrinsik yang digunakan pengarang dalam cerpen Kupu-Kupu Monarch?

1.3 Tujuan

Untuk meningkatkan pemahaman tentang unsur-unsur intrinsik dalam cerpen, khususnya dalam menganalisis unsur intrinsik yang digunakan oleh pengarang pada cerpen kupu-kupu Monarch.

1.4 Manfaat

1. Bagi penulis, sebagai bekal tambahan dan wawasan tentang langkah-langkah mengapresiasi prosa dengan memahami unsur-unsur intrinsik cerpen.

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karya sastra

Dunia kesastraan juga mengenal karya sastra yang berdasarkan cerita atau realita. Karya yang demikian menurut Abrams (dalam Nurgyantoro, 2009) disebut sebagai fiksi historis (historcal fiction) jika penulisannya berdasarkan fakta sejarah, fiksi biografis (biografical fiction) jika berdasarkan fakta biografis, dan fiksi sains sains (science fiction) jika penulisannya berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Ketiga jenis ini disebut fiksi nonfiksi (nonfiction fiction).

Menurut pandangan Sugihastuti (2007) karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya. Sebagai media, peran karya sastra sebagai media untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu, karya sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang pernah terjadi di masyarakat dan dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan cara yang berbeda. Selain itu, karya sastra dapat menghibur, menambah pengetahuan dan memperkaya wawasan pembacanya dengan cara yang unik, yaitu menuliskannya dalam bentuk naratif. Sehingga pesan disampaikan kepada pembaca tidak berkesan mengguruinya.

Cerpen juga merupakan karya sastra. Menurut Kosasi, dkk (2004:431), cerpen adalah karangan yang berbentuk prosa. Dalam cerpen diceritakan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan, atau menyenangkan dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.

Cerita fiksi seperti cerpen dan novel dapat kita analisis dengan dua segi, yaitu unsur yang meleklat paada tubuh karya sastra itu sendiri (unsur intrinsik) dan unsur yang ada di luar tubuh sastra itu sendiri (unsur ekstrinsik).

(4)
(5)

2.2 Unsur-unsur Intrinsik Cerpen

Setiap karya sastra mengandung unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sehubungan dengan hal itu, Redyanto Noor (2004:29) mengungkapkan bahwa unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun dari dalam cerita, misalnya dalam cerita rekaan berupa tema, amanat, alur(plot), tokoh dan penokohan, latar (setting) dan sudut pandang (point of view).

2.2.1 Tema

Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sastra sebgaai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, dalam Nurgiyantoro 1995 :68). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat “mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita.

Tema dengan demikian, dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel ataupun cerita pendek. Gagasan umum inilah yang sebelumnya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.

Tema dapat digolongkan ke dalam berbagai kategori yang berbeda tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Pengkategorian tema yang akan dikemukakanberikut, dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikhotomis yag bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan tema dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan tema menurut tingkat keutamaannya. (Nurgiyantoro, 1995:77)

a. Tema Tradisional dan Nontradisional

(6)

dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang bersifat tradisional itu, misalnya berbunyi: (i) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, (ii) tindak kejahatn walaupun ditutup-tutupi akan terbongkar juga, (iii) tindak kejahatan dan kebenaran masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa: becik ketitik ala ketara), (iv) cinta yang sejati menuntut pengorbanan, (v) kawan sejati adalah kawan di masa duka dan sebagainya. Tema tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Meredith & Fitzgerald, 1972:66).

Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim, katakan sesuatu yang bersifat nontradisional.. karena bersifat nontradisional, tema yang demikian mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain. Novel Kemelut Hidup karya Ramadhan K.H, misalnya menampilkan tema yang melawan arus tersebut, kejujuran yang justru menyebabkan kehancuran.

b. Tingkatan Tema Menurut Shipley

Shipley dalam Dictionary of World Literature (1962:417) mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan dalam cerita. Shipley membedakan tema berdasarkan tingkat pengalaman jiwa yang tdisusun dari tingkat yang paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Tingkat Fisik, manusia sebagai molekul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik dari pada kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan, misalnya Around the World in Eighty Days karya Julius Verne.

(7)

sesualitas yang lain ,contohnya dalam novel Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis.

3. Tingkat Sosial, manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema, Misalnya dalam novel Royan Revolusi karya Mochtar Lubis yang menonjolkan kritik sosial.

4. Tingkat Egoik, manusia sebagai individu. Disamping sebagai makhluk sosial manusia juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu manusia mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas biasanya menunjukan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang, contohnya dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. 5. Tingkat Divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap

manusia mengalami atau mencapainya. Masalah yang menonjol pada tingkat ini, ialah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi dan keyakinan. Karya-karya Navis seperti Robohnya Surau Kami,Datangnya dan Perginya, dan Kemarau dapat digolongkan ke dalam fiksi bertema tingkat ini. c. Tema Utama dan Tema Tambahan

Tema, seperti dikemukakan sebelumnya, pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita lebih tepatnya makna cerita. Makna cerita dalam sebuah karya fiksi-novel, mungkin saja lebih dari satu atau lebih tepatnya, lebih dari satu interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita untuk menentukan tema pokok cerita, atau tema mayor (artinya: makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu).

(8)

Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu. Atau sebaliknya, makna-makna-makna-makna tambahan bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita. Jadi, makna tambahan atau tema minor bersifat mempertegas eksistensi makna utama atau tema mayor.

2.2.2 Latar

Latar atau Setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, dalam Nurgiyantoro, 1995:216).

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Nurgiyantoro, 1994:227).

a. Latar Tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah Tempat-tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Surabaya, Jember dan lain sebagainya.

b. Latar Waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, misalnya Sore hari.

c. Latar Sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

2.2.3 Tokoh dan Penokohan 2.2.3.1 Tokoh

Tokoh ialah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2004:79). Tokoh cerita (character) menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

(9)

bebrapa jenis penamaan sekaligus, misalnya tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal (Nurgiyantoro, 1995 : 176).

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Berdasarkan segi perannya, tokoh terbagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sedangkan tokoh tambahan ialah tokoh yang dimunculkan pada bagian-bagian tertentu saja dalam cerita, tak dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak selalu sama. Keutamaan tokoh tersebut ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat: tokoh-tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh-tokoh tambahan utama, tambahan (yang memang) tambahan.

b. Tokoh Protagonis dan Antagonis

Berdasarkan fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawentahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Altenberd & Lewis, 1966:59). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan, harapan para pembaca.

Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik tersebut ialah tokoh antagonis. Tokoh antagonis beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin.

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

(10)

melakukan berbagai tindakan yang dilakukan akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan. Tokoh Bulat, tokoh bulat atau tokoh kompleks, berbeda dengan tokoh sederhana yaitu tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga.

d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tak berkembang dan tokoh berkembang. Tokoh Statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Alternberd & Lewis 1966:58). Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.

e. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dalam kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh Tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Alternberd & Lewis 1966:60) atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh Netral adalah tokoh tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi.

2.2.3.2 Penokohan

Albertime Minderop (2005:2) mengartikan penokohan sebagai karakterisasi yang berarti metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Dalam hal ini penokohan terdiri atas tiga variasi:

(11)

Teknik ekspositoris disebut juga sebagai teknik analitis. Dalam hal ini pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.

2. Teknik dramatik

Teknik dramatik adalah teknik pelukisan tokoh secara tidak langsung. Dalam hal ini pembaca dituntut untuk menafsirkan sendiri tentang watak tokoh yang ditampilkan. Teknik dramatik terdiri atas delapan jenis yaitu teknik cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, teknik pelukisan fisik (Burhan Nurgiantoro, 2000 : 201-210).

o Teknik cakapan: teknik yang dilakukan tokoh dalam cerita yaitu dengan percakapan dengan tokoh lain untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.

o Teknik tingkah laku : teknik yang merujuk pada tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat dan sikap yang mencerminkan sifat kediriannya.

o Teknik pikiran dan perasaan: teknik pikiran dan perasaan mengungkap bagaimana keadaan jalan pikiran, serta perasaan tokoh dalam banyak hal yang mencerminkan sifat kediriannya.

o Teknik arus kesadaran : teknik arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh.

o Teknik reaksi tokoh : teknik untuk mereaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain

o Teknik reaksi tokoh lain : teknik sebagai reaksi atau penilaian terhadap satu tokoh yang diberikan oleh tokoh lain.

o Teknik pelukisan latar : teknik ini dapat lebih menggambarkan kedaan latar sekitar tokoh dan untuk lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh.

o Teknik Pelukisan Fisik : teknik keadaan fisik yang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan menghubungkan adanya keterkaitan itu.

3. Teknik identifikasi tokoh

(12)

dilakukan dengan memperbandingkan antara seorang tokoh dengan tokoh yang lain dari cerita fiksi yang bersangkutan.

2.2.4 Sudut Pandang (Point if View)

Sudut pandang, point of view menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, dalam Nurgiyantoro1995 :248).

Sudut pandang dapat banyak macamnya, tergantung dari sudut mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Dalam hal ini sudut pandang terbagi menjadi (a) sudut pandang persona ketiga “Dia”, (b) sudut pandang persona pertama “Aku”, (c) sudut pandang campuran (Nurgiyantoro, 1995:256-266).

a. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya ; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus-menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti.

(1) “Dia” Mahatahu

Dalam sudut pandang ini cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya bersifat mahatahu.

(2) “Dia” Terbatas bersifat Pengamat

Dalam sudut pandang “dia” terbatas pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja (Stanton, dalam Nurgiyantoro1995 :259), atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Abrams, dalam Nurgiyantoro1995 :259).

b. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”

(13)

(1) “Aku” Tokoh Utama

Dalam sudut pandang ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik bersifat batiniah(di dalam dirinya sendiri) maupun fisik (dengan sesuatu di luar dirinya). Si “aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita.

(2) “Aku” Tokoh Tambahan

Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Dengan demikian, si “aku” hanya tampil sebagai saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si “aku” pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.

c. Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam novel, berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu, dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia” sekaligus.

2.2.5 Alur/Plot

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995:112) misalnya, mengemukan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Pembedaan plot yang dikemukakan di bawah ini didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah dan kepadatan (Nurgiyantoro, 1995:153).

a. Pembedaan plot berdasarkan urutan waktu

o Plot lurus, Progresif. Plot sebuah novel dikatakan progesif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks) dan akhir (penyelesaian).

A - B – C – D – E Ket:

A : tahap awal cerita

(14)

o Plot Sorot Balik, Flash Back. Urutan kejadian cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal yang dikisahkan. Misalnya dalam novel Keluarga Permana, dapat berupa sebagai berikut:

D1 – A – B – C – D2 – E

D1 berupa awal penceritaan yang berintikan meninggalnya Farida, A – B – C adalah peristiwa-peristiwa yang disorot balik yang berintikan kemelut pada rumah tangga Permana sampai Farida dikawinkan dengan Sumarto, D2 (sengaja dibuat demikian untuk menegaskan pertalian-kronologisnya dengan D1) dan E berupa kelanjutan peristiwa cerita awal D1 yang berintikan kegoncangan jiwa Permana akibat meninggalnya Farida, anak semata wayangnya.

o Plot Campuran merupakan gabungan dari plot lurus dan plot sorot balik. Misalnya dalam novel Atheis karya Idrus.

E – D1 - A – B – C – D2

Adegan A-B-C yang berupa biografi Hasan, yang berisi inti cerita novel ini, diceritakan secara runtut-progresif-kronologis. Kisah tersebut mengantarai adegan D1 dan D2 yang juga lurus-kronologis. Novel ini menjadi flash back benar karena adegan E yang merupakan kelanjutan langsung dari peristiwa D2 justru ditempatkan di awal buku. Namun, kisah dibagian E ini pun bersifat lurus-kronologis.

b. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah

o Plot Tunggal

Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero.

o Plot Sub-subplot

Sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan hidup, dan konflik yang dihadapinya. Subplot sesuai dengan penamaannya, hanya merupakan bagian dari plot utama saja.

c. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan

o Plot Padat

Cerita yang diajikan antara peristiwa yang satu dengan yang lain yang berkadar fungsional tinggi tak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya.

(15)

Dalam novel yang berplot longgar, pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat di samping hubungan antarperistiwa tersebut tidaklah erat benar.

d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi

o Plot Peruntungan

Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan, yang menimpa tokoh (utama) cerita yang bersangkutan.

o Plot Tokohan

Plot tokohan menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjadi fokus perhatian.

o Plot Pemikiran

Plot Pemikiran mengungkapkan sesuatu menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi, dan hal lain yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia.

2.2. 6 Amanat

Amanat adalah pesan moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral ataupun pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara ekplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.

2.3 Sinopsis Cerpen Kupu-kupu Monarch karya Tere Liye

(16)

seperti ini. Tapi demi mewujudkan janji cinta yang telah diucapkan, dia merawat suaminya tanpa lelah dan penuh sabar. Istri Fram janji akan bertahan hidup.

Satu tahun berlalu. Musim tak menunjukkan tanda-tanda akan berbaik hati. Kecamuk orang-orang yang kelaparan semakin menjadi-jadi. Dan entah darimana datangnya singgah seorang peziarah yang mengatakan bahwa dengan daging maka penyakit itu akan sembuh,sungguh tidak logis. Lagipula dimana ada daging. Seluruh cadangan makanan habis tak berbekas. Keadaan Fram semakin menyedihkan. Tubuhnya mendadak kejang-kejang, sekarat. Istrinya panik. Malam itu juga sambil terseok-seok ia menggendong suaminya menembus badai salju, entah mendapat kekuatan darimana, ia menuju orang-orang yang bisa menolongnya. Namun tiada yang mau menolong. Hanyalah peziarah yang menyarankan agar diberi daging. Istri Fram mendesis, menggigit bibirnya yang kering sambil menopang tubuh suaminya. Ia pun kembali ke pondoknya, meletakkan perlahan-lahan tubuh suaminya yang begitu dicintainya. Darimana bisa mendapat daging itu? umbi saja sudah habis. Tetapi, hei ! Sudut matanya menatap seekor belibis hinggap di jendela. Ganjil sekali, bagaimana mungkin badai salju begini ada belibis yang seharusnya di sarangnya. Dengan gesit pun istri Fram menangkap belibis itu dan membelainya pelan. Setengah jam ia tertegun lalu menatap wajah kurus suaminya. Malam itu, takdir langit di tepi danau berubah.Sepotong daging masuk dalam perut Fram mengembalikan kesehatannya. Musim dingin berkepanjangan pun berakhir berganti semburat cahaya hangat mentari. Janji kehidupan baru datang.

(17)
(18)

pipinya. "Wahai wanita malang, mengapa kau tidak meminta kami menunjukkan dengan nyata kejadian malam itu. Agar suamimu menglihatnya. Agar gadis belibis itu menglihatnya. "Istri Fram berkata lirih, tertahan " Aku tidak ingin cintanya kembali karena dia merasa berhutang budi". "Kau melakukannya karena cinta, wahai wanita malang. Maka tidah ada hutang-budi. Sungguh urusan ini amat menyakitkan!". Sang Dewa menoleh ke arah Fram dengan tatapan menghinakan "Kau tidak pernah tahu mengapa istrimu pincang,wahai pemuda. Dan kau, gadi belibis yang menyedihkan, kau tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan belibis pasanganmu. Biarlah hari ini dewa-dewi menjadi saksi, dalam urusan cinta ini mereka yang dibutakan oleh duniawi tidak akan pernah mengerti hakikat cinta sejati". Maka melesatlah dewa-dewi itu terbang kembali ke angkasa. Meninggalkan istri Fram yang tersungkur sendirian. Ialah yang menyimpan cerita yang sebenarnya itu sendiri. Ia tak ingin memperlihatkan peristiwa itu pada suaminya.

Pada malam itu. Lama sekali istri Fram memandangi belibis di tangannya. Mendadak ia merasa ganjil. Tatapan mata belibis itu seperti memancarkan ketakutan. Persis seperti ketakutannya kehilangan Fram. Takut berpisah dengan suaminya. Dilihatnya Fram yang kejang di atas kasur. Melenguh tertahan. Istri Fram gemetar mengambil sebilah pisau. Sekali lagi ia menatap mata belibis dalam jepitan tangannya. Belibis ini pasti mempunya pasangan, ujar pelan dalam hati istri Fram. Tidak. Istri Fram menggeleng. Malam ini jika sepotong daging itu akan mengobati suaminya,itu tidak akan berasal dari belibis elok ini. Biarlah dewa-dewi menjadi saksi. Biarlah semua ini menjadi bukti cinta sejatinya. Sempurna istri Fram menebaskan pisau tajam. Bukan ke leher belibis itu, tapi ke betis kakinya. Malam itu ,istri Fram memberikan "daging" miliknya. Ia melepas pergi belibis jelmaan itu. Malangnya, belibis jantan yang hendak kembali ke langit malah terjerembab di pecahan es danau. Mati tenggelam tanpa siapapun yang tahu, termasuk pasangan betinanya. Malam itu istri Fram telah membuktian cinta sejatinya. Andaikata demi kesembuhan suaminya ia harus memberikan jantungnya, maka itu pasti akan diberikannya. Hari ini,setiap tahun istri Fram kembali. Kupu-kupu kuning yang memenuhi pemakaman kota. Mengambang, memesona. Hari ini, istri Fram selalu menunaikan janji cinta sejatinya. Dulu iya, sekarang masih, esok-lusa pasti.

(19)
(20)

BAB III PEMBAHASAN

Analisis unsur intrinsik pada cerpen Kupu-kupu Monarch karya Tere Liye 3.1 Tema

Berdasarkan tingkatan tema menurut Shipley (Nurgiantoro, 1995:85), tema yang digunakan pengarang pada cerpen Kupu-Kupu Monarch ini adalah sebagai berikut: 1. Tingkat Fisik, manusia sebagai molekul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih

banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik dari pada kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan.

Pada cerpen ini, tema yang digunakan oleh pengarang berdasarkan tingkat fisik adalah kehidupan seseorang yang terluka karena kepergian orang yang dicintainya.

“Aku lama tidak kembali ke kota ini. Hampir dua puluh tahun. Perjalanan yang melelahkan. Mengelilingi separuh dunia hanya untuk melupakan. Hari ini aku pulang. Berusaha mengenang semua jejak kaki. Semoga masih ada yang tersisa. Semoga masih ada yang kukenali. Dengan semua kenangan itu., bukan keputusan mudah untuk kembali. Seperti menoreh kembali luka yang mengering. Menyakitkan....” (Tere Liye, 2012:133)

2. Tingkat Organik, manusia sebagai protoplasma. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas, suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel dengan tema tingkat ini, khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan penghianatan suami isteri, atau skandal-skandal sesualitas yang lain.

(21)

“....Apakah cinta sejati itu? Isteriku pergi hanya karena ia lelah dengan kehidupan kecil kota kami. Menemukan pemuda yang menjajikan masa depan yang lebih baik. Pasangan-pasangan lain hari ini juga berpisah karena alasan-alasan sepele. Bosan. Merasa terkekang. Merasa pasangannya sudah berubah....” (Tere Liye, 2012 :148) 3. Tingkat Sosial, manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang

merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.

Pada cerpen ini, tema yang digunakan oleh pengarang berdasarkan tingkat sosial adalah sebuah pemakaman yang menjadi tempat piknik para penziarah di kota itu. “....jam di kapel tua berdentang sembilan kali. Gema yang panjang dan berwibawa meniringi. Aku takzim mendengarnya. Perayaan ini akan segera dimulai. Para orangtua mulai bergegas meneriaki anak-anak mereka untuk segera turun. Bekal piknik telah disiapkan. Pakaian tebal dan topi disampirkan. Beriring menuju pemakan kota...” (Tere Liye, 2012 :135)

4. Tingkat Egoik, manusia sebagai individu. Disamping sebagai makhluk sosial manusia juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu manusia mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas biasanya menunjukan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang.

Pada cerpen ini, tema yang digunakan oleh pengarang berdasarkan tingkat egoik adalah seseorang yang mencari arti cinta sejati.

“....jangan pernah melakukan hal bodoh seperti Fram, si petani miskin. Kalimat itu terngiang kembali. Aku tertunduk menatap pusara Cindanita-ku. Mengusap batu besar yang mengukir namanya. Aku tidak pernah melakukan hal bodoh itu, Putri Duyung Kecilku. Tapi Mama-mu melakukannya. Dan aku sungguh tidak tahu apakah itu sebuah kebodohan atau bukan....” (Tere Liye, 2012 :146)

(22)

masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi dan keyakinan.

Pada cerpen ini, tema yang digunakan oleh pengarang berdasarkan tingkat divine adalah seseorang yang meyakini adanya dewa

“....biarlah dewa-dewi menjadi saksi. Biarlah semua ini menjadi bukti cinta sejatinya. Isteri Fram sambil menggigit bibir gemetar menebaskan pisau tajam. Bukan ke leher belibis, tapi ke betis kakinya. Sempurna memotong. Malam itu, isteri fram memberikan “daging” miliknya....” (Tere Liye, 2012:150)

3.2 Latar

a. Latar Tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata.

Pada cerpen ini, latar tempat yang digunakan oleh pengarang adalah sebagai berikut:

o Pemakaman

“.... cahaya itu seolah menggantung di atas barisan nisan. Aku tersenyum, bukan menatap riuan larik cahaya memesona, lebih karena menatap ribuan kupu-kupu kuning memenuhi pemakaman....” (Tere Liye, 2012:134)

o Tepi danau

“.... Tepi danau kota kami seperti berubah menjadi taman bunga....” (Tere Liye, 2012:137)

o Kota

“....Enam bulan sejak penyakit aneh itu tiba, kota kami benar-benar tak tertolong. Sepanjang hari hanya kidung sedih yang terdengar...” (Tere Liye, 2012:137) b. Latar Waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

Pada cerpen ini, latar waktu yang digunakan pengarang adalah sebagai berikut:

o Pagi hari

“....sepagi ini pemakaman kota terlihat begitu indah....” (Tere Liye, 2012:134)

(23)

“...tak pernah terbayangkan tangan lembut itu mengais salju, berusaha menemukan sisa umbi-umbian yang tersisa...” (Tere Liye, 2012:138)

o Dua ratus tahun silam

“dua ratus tahun silam, alkisah Fram amat beruntung mendapatkan isteri yang sempurna. Kembang kota....” (Tere Liye, 2012:135)

o Sore hari

“...dan sore hari, persis ketika senja membungkus bibir pantai...” (Tere Liye, 2012:134)

o Malam hari

“ Malam itu, takdir langit ditepi danau itu berubah. Sepotong daging yang masuk ke dalam perut Fram mengembalikan kesehatannya....” (Tere Liye, 2012:140)

o Dua belas bulan

“....dua belas bulan berlalu. Musim tak menunjukkan tanda-tanda akan berbaik hati...” (Tere Liye, 2012:138)

c. Latar Sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

o Masyarakat kota

“...seluruh kota mengalami kesulitan besar. Berebut makanan menjadi pemandangan sehari-hari. Enam bulan kemudian, harga sepotong roti tawar sebanding dengan sebutir peluru...” (Tere Liye, 2012:137)

3.3 Tokoh dan penokohan 3.3.1 Tokoh

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sedangkan tokoh tambahan ialah tokoh yang dimunculkan pada bagian-bagian tertentu saja dalam cerita, tak dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Pada cerpen ini, tokoh utama dan tokoh tambahan yang digunakan oleh pengarang adalah:

o Tokoh utama (yang) utama yaitu isteri Fram

Hal itu dapat dilihat bahwa Isteri Fram yang paling terlibat dengan makna dan tema cerita. Tokoh ini banyak diceritakan didalam cerita dan selalu berhubungan dengan tokoh lain (Fram, Gadis burung belibis dan para dewi). Selain itu, isteri Fram, tokoh yang banyak memerlukan waktu penceritaan.

(24)

Hal ini dapat dilihat bahwa si Aku adalah tokoh yang menceritakan legenda dari cerita kehidupan Fram dan isterinya, dan tokoh si Aku ini adalah tokoh utama dalam kehidupan nyata dalam cerita tersebut. Tokoh si Aku ini banyak berhubungan dengan tokoh lain (Cindanita dan isteri si Aku).

o Tokoh tambahan (yang) utama yaitu Fram dan isteri si Aku

Hal ini dapat dilihat bahwa Fram adalah tokoh tambahan (yang) utama karena kehadiran Fram berkaitan dengan isteri Fram yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Begitu pula dengan isteri si Aku yang kehadirannya juga karena adanya tokoh utama si Aku tersebut.

o Tokoh tambahan (yang) tambahan yaitu gadis belibis, Cindanita, dan para dewi. Tokoh-tokoh ini hanya sedikit diceritakan dalam cerita ini.

b. Tokoh Antagonis dan Tokoh Protaginis

Berdasarkan fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan, harapan para pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis.

Pada cerpen ini tokoh protagonisnya adalah isteri Fram. Hal ini dapat dilihat bahwa isteri Fram di sini memiliki watak yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Sedangkan tokoh antagonis dalam cerita ini adalah Fram. Karena dalam hal ini Fram adalah tokoh penyebab terjadinya konflik yang dialami oleh isteri Fram. Fram meninggalkan isterinya karena lebih memilih gadis belibis.

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh kompleks atau tokoh bulat. Tokoh Sederhana dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh Bulat yaitu tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.

(25)

isterinya, dia jatuh cinta pada gadis belibis itu dan pergi meninggalkan isterinya. Fram tidak memiliki kepribadian yang konsisten.

3.3.2 Penokohan

Teknik ekspositoris disebut juga sebagai teknik analitis. Dalam hal ini pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Pada cerpen ini, berdasarkan teknik ekpositoris, pengarang melukisan tokoh-tokohnya sebagai berikut:

o Pelukisan Penokohan Isteri Fram

“....Isteri Fram berjanji akan bertahan hidup. Dan semakin menyedihkan pemandangan itu, karena dengan sabar ia merawat suaminya yang terbaring lumpuh di atas tikar. Menyuapinya dengan penuh kasih sayang. Menggendong tubuh suaminya yang semakin ringkih mendekati perapian. Membuang sisa kotoran suaminya dari atas ranjang. Memandikannya dengan air hangat. Isteri Fram bersumpah akan bertahan hidup, demi suaminya....” (Tere Liye, 2012:138)

o Pelukisan Penokohan Fram

“....menangis isteri Fram. Lemah berusaha memeluk kaki suaminya. Fram justru mengibaskannya. Membuat tubuh dengan perut buncit itu jatuh terjungkal. Tongkat yang dibawanya tak sengaja mengenai kepala. Isteri Fram mengaduh kesakitan. Meski ada yang lebih sakit lagi dihatinya...” (Tere Liye, 2012:142)

o Pelukisan Penokohan gadis belibis

“....dan kau gadis belibis yang menyedihkan, kau tidak tau apa yang sesungguhnya terjadi dengan belibis pasanganmu. Biarlah hari ini dewi-dewi menjadi saksi, dalam urusan cinta ini, mereka yang dibutakan oleh duniawi tidak akan pernah mengerti hakikat cinta sejati...” (Tere Liye, 2102:146)

o Pelukisan Penokohan Si Aku

“....bagaimana dengan Cindanita?. Suaraku hilang ditelan desau angin laut. Sempurna menghilang bersama dengan perginya Mama-mu, Sayang. Kau yang masih berbilang enam bulan sungguh tidak beruntung. Pap-mu tertatih dengan kehidupan baru. Sendiri. Tertatih dengan semua beban kehidupan, dan itu semakin bertambah saat kau jatuh sakit dan tak pernah kunjung sembuh....” (Tere Liye, 2012:147)

o Pelukisan Penokohan Isteri Si Aku

(26)

3.4 Sudut Pandang (Point if View)

Pada cerpen ini, pengarang menggunakan sudut pandang campuran antara sudut pandang pesona ketiga “Dia” dengan sudut pandang persona pertama “Aku”.

o “Dia” Terbatas bersifat Pengamat

Dalam sudut pandang “dia” terbatas pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja (Stanton, 1965:26), atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Abrams, 1981:144).

Pada cerpen ini, pengarang menceritakan apa yang dirasakan, dialami oleh tokoh cerita dalam cerpen tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut: “....biarlah dewa-dewi menjadi saksi. Biarlah semua ini menjadi bukti cinta sejatinya. Isteri Fram sambil menggigit bibir gemetar menebaskan pisau tajam. Bukan ke leher belibis, tapi ke betis kakinya. Sempurna memotong. Malam itu, isteri fram memberikan “daging” miliknya....” (Tere Liye, 2012:150)

o “Aku” Tokoh Tambahan

Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Dengan demikian, si “aku” hanya tampil sebagai saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si “aku” pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.

Pada cerpen ini, pengarang menghadirkan tokoh Aku untuk membawakan cerita kepada pembaca, tokoh si Aku di sini tampil sebagai pengantar dan penutup cerita. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

“....legenda itu dimulai di sini. Legenda yang selalu diceritakan turun-temurun oleh tetua kota. Diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan pesan seerhana, jangan pernah mengulangi kesalahan yang dilakukan Fram, si petani miskin. Aku ingat setiap kalimat kisahnya. Terpesona saat pertama kali mendengarnya. Menyakini cinta sejati sejak hari itu....” (Tere Liye, 2012:135) Kemudian dapat dilihat juga pada kutipan berikut:

“....hari ini, setiap tahun isteri Fram kembali. Kupu-kupu kuning yang memenuhi pemakaman kota. Kupu-kupu indah terbang di sela-sela cahaya matahari pagi yang menembus dedaunan pohon cemara. Mengambang, memesona. Hari ini, isteri Fram selalu menunaikan janji cinta sejatinya. Dulu iya, sekarang masih, esok-lusa pasti. Aku juga akan selalu setia dengan janji cinta sejatiku. Beristirahatlah dengan tenang, Cindanitaku.” (Tere Liye, 2012:150)

(27)

Pada cerpen ini, pengarang menggunakan Plot Sorot Balik, Flash Back. Urutan kejadian cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal yang dikisahkan.

D1 – A – B – C – D2 – E

D1 berupa awal penceritaan yang berintikan kehidupan si Aku yang kembali ke kota yang dahulu dia tempati bersama keluarganya, A – B – C adalah peristiwa-peristiwa yang disorot balik yang berintikan kemelut pada rumah tangga si Aku sampai Cindanita, meninggal dunia, D2 (sengaja dibuat demikian untuk menegaskan pertalian-kronologisnya dengan D1) dan E berupa kelanjutan peristiwa cerita awal D1 yang berintikan kegoncangan jiwa Si Aku akibat meninggalnya Cindanita (anaknya) dan ditinggal pergi oleh isterinya.

3.6 Amanat

Pada cerpen ini amanat yang ingin disampaikan pengarang yaitu:

 “Jangan pernah melakukan hal bodoh seperti Fram, si petani miskin. Kalimat itu terngiang kembali....” (Tere Liye, 2012 : 146) pada kutipan ini, pengarang ingin menyampaikan sebuah legenda yang terjadi dalam kehidupan Fram, yang mana Fram meninggalkan isterinya dan memilih gadis lain yang lebih cantik.

 Kehidupan silih berganti, ada saatnya kehidupan itu bahagia, ada saatnya pula bahagia itu berubah menjadi kesedihan.

 Setialah pada janji yang pernah diucapkan. Seperti kutipan berikut:

(28)

BAB IV PENUTUP Kesimpulan

Unsur intrinsik yang digunakan oleh pengarang dalam cerpen Kupu-kupu Monarch adalah:  Tema yang diangkat adalah tema percintaan, yang menjelaskan tentang hakikat cinta

sejati.

 Latar yang digunakan pengarang pada cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu dan latar sosial.

 Tokoh dan penokohan yang digunakan oleh pengarang adalah teknik ekpositoris dalam menggambarkan tokoh yang ada dalam cerpen tersebut.

 Sudut pandang dalam cerpen ini menggunakan sudut pandang campuran.

 Alur/plot yang digunakan pengarang dalam cerpen ini adalah plot Flasback / sorot balik

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Djuri, O. Setawan. 2005. Panduan Membuat Karya Tulis. Bandung: Yrama Widya. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Liye, Tere. 2012. Berjuta Rasanya. Jakarta : Mahaka Publishing.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Shipley, Joseph T. 1962. Dictionary of Word Literary. Paterson, NJ:Lifetefield, Adam & Co.

Referensi

Dokumen terkait

Pengarang juga menjadikan gerimis sebagai latar suasana yang selalu mnegiringi kejadian-kejadian penting yang dialami tokoh dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi penguasaan unsur-unsur intrinsik cerpen terhadap kemampuan menulis cerpen oleh siswa kelas IX SMP Negeri 1

Selanjutnya Hendy (dalam Rapika, 2007:28) mengemukakan bahwa cerpen adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang isinya merupakan kisahan pendek yang mengandung

Sejalan dengan pengamatan yang dikemukakan oleh (Pujiati dkk., 2018) dalam analisis unsur intrinsik cerpen hening di ujung senja karya wilson nadeak, bahwa pada saat

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh siswa pada cerpen karya Ahmad Tohari tersebut dapat disimpulkan secara keseluruhan siswa yang menganalisis cerpen

Hal menarik dari sudut pandang masyarakat dalam cerpen “Gerobak” dapat dilihat dari tahun penulisannya, yaitu pada tahun 2006 serta  pelukisan cerita bahwa kaum gerobak

Kata Kunci: Unsur Intrinsik, Cerite Pendek, Tanjungoinang Pos Penelitian ini bertujuan menemukan unsur intrinsik kumpulan cerpen Tanjungpinang pos edisi Agustus- September 2021..

Keheranan aku bertanya, "Kalau kau selapar itu mengapa tak makan malam bersama yang lain?" Endo pun peserta kongres, ia punya jatah makan malam yang sama dengan kami.. Kuletakkan sumpit