• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan Unsur Intrinsik Cerpen Dalam Kumpulan Cerpen Ah. . . Gerimis Itu Karya Hidayat Banjar: Analisis Struktural

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kekuatan Unsur Intrinsik Cerpen Dalam Kumpulan Cerpen Ah. . . Gerimis Itu Karya Hidayat Banjar: Analisis Struktural"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

KEKUATAN UNSUR INTRINSIK CERPEN

DALAM KUMPULAN CERPEN

AH. . . GERIMIS ITU

KARYA HIDAYAT BANJAR:

ANALISIS STRUKTURAL

PROPOSAL

OLEH

IKHLASIYAH ROFIQI M

050701028

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEKUATAN UNSUR INTRINSIK CERPEN

DALAM KUMPULAN CERPEN

AH. . . GERIMIS ITU

KARYA HIDAYAT BANJAR:

ANALISIS STRUKTURAL

OLEH

IKHLASIYAH ROFIQI M

050701028

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar

kesarjanaan dalam bidang ilmu budaya dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs. Isma Tantawi, M.A.

Dra. Keristiana, M.Hum.

NIP. 19600207 198601 1 001

NIP. 19610610 198601 2 001

Deparetemen Sastra Indonesia

Ketua,

(3)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi adalah

murni hasil penelitian saya sendiri. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi

dan sepanjang sepengetahuan saya, juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima

sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh. Demikian

pernyataan ini saya buat dengan sadar dan sebenarnya.

Medan, Desember 2012

(4)

KATA PENGANTAR

Skripsi berjudul

Kekuatan Unsur Intrinsik Cerpen Dalam Kumpulan Cerpen

Ah...Gerimis Itu Karya Hidayat Banjar: Analisis Struktural

, diajukan untuk

memenuhi salah satu syarat dalam ujian sarjana bidang Ilmu Sastra Indonesia di

Faluktas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kekuatan pada

penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Banyak kesulitan yang dialami

penulis karena kurangnya bahan acuan, pengalaman, dan pengetahuan yang

dimiliki oleh penulis. Atas rahmat dan izin Allah, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada:

1.

Bapak Drs. Syahroni Lubis, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Husnan Lubis, M.A., Pembantu

Dekan I Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs.

Samsul Tarigan, Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara, dan Bapak Drs. Yuddi Adrian M, M.A., Pembantu Dekan

III Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2.

Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., Ketua Jurusan Sastra

Indonesia dan Bapak Haris Sutan Lubis, M.Hum., Sekretaris Jurusan

Sastra Indonesia, yang memiliki banyak kesabaran dalam menghadapi

penulis. Serta seluruh dosen pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

(5)

3.

Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. sebagai pembimbing I dan Ibu Keristiana,

M.Hum. sebagai pembimbing II, yang telah membimbing, memberikan

saran dan kritik serta motivasi guna menyelesaikan skripsi ini.

4.

Ayahanda tercinta, Fahmi Muchtar (alm) yang telah mengajarkan kerasnya

kehidupan kepada penulis dan Ibunda tercinta, Ratna, atas doa dan didikan

kesabaran yang tidak pernah berhenti. Serta seluruh keluarga besar

Muchtar.

5.

Teman-teman Sasindo dari berbagai stambuk, khususnya stambuk 2005.

Sahabatku Astari Wulan dan Safta Hadi, yang tidak pernah lelah

memberikan semangat kepada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

Namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan

dapat membangkitkan minat untuk membicarakan ilmu sastra lebih dalam.

Medan, Desember 2012

(6)

KEKUATAN UNSUR INTRINSIK CERPEN

DALAM KUMPULAN CERPEN

AH. . . GERIMIS ITU

KARYA HIDAYAT BANJAR:

ANALISIS STRUKTURAL

ABSTRAK

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

... i

PERNYATAAN

... ... ii

KATA PENGANTAR

... ... iii

ABSTRAK

... v

DAFTAR ISI

... vi

BAB I PENDAHULUAN

... ... 1

1.1

Latar Belakang Masalah ... ... 1

1.2

Rumusan Masalah ... 4

1.3

Batasan Masalah ... 4

1.4

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.2 ManfaatPenelitian ... 8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN TINJAUAN PUSTAKA

... ... 9

2.1 Konsep ... 9

2.2 Landasan Teori ... 10

2.3 Tinjauan Pustaka ... 12

BAB III METODE PENELITIAN

... 13

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... ... 13

3.2 Metode Analisis Data ... 14

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN

AH...GERIMIS ITU

KARYA HIDAYAT BANJAR

... 17

4.1

Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik ... 17

4.1.1

Tokoh (Penokohan) ... 17

4.1.2

Latar ... 23

4.1.3

Alur ... 29

4.1.4

Sudut Pandang ... 38

4.1.5

Gaya Bahasa ...44

4.1.6

Tema ... 54

(8)

4.2

Hubungan Unsur-Unsur Intrinsik ... 67

4.2.1

Hubungan Tokoh (Penokohan) Dengan Latar, Alur, Sudut

Pandang, Gaya Bahasa, Tema, dan Amanat ... 67

4.2.2

Hubungan Latar Dengan Alur, Sudut Pandang, Gaya Bahasa,

Tema, dan Amanat ... 71

4.2.3

Hubungan Alur Dengan Sudut Pandang, Gaya Bahasa, Tema,

dan Amanat ... 73

4.2.4

Hubungan Sudut Pandang Dengan Gaya Bahasa, Tema, dan

Amanat ... 76

4.2.5

Hubungan Gaya Bahsa Dengan Tema dan Amanat ... 78

4.2.6

Hubungan Tema Dengan Amanat ... 79

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

... ... 85

5.1 Simpulan ... 85

5.2 Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA

... 88

(9)

KEKUATAN UNSUR INTRINSIK CERPEN

DALAM KUMPULAN CERPEN

AH. . . GERIMIS ITU

KARYA HIDAYAT BANJAR:

ANALISIS STRUKTURAL

ABSTRAK

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Sastra menawarkan keindahan, kesenangan, dan pemahaman akan kehidupan.

Sastra menampilkan hiburan yang menyenangkan, menampilkan cerita yang

menarik, dan mempermainkan emosi pembaca untuk larut dalam arus cerita.

Lukens menyatakan bahwa tujuan memberikan hiburan, tujuan menyenangkan

dan memuaskan pembaca, merupakan hal yang bersifat esensial dalam sastra,

tidak peduli pembacanya itu dari kalangan muda ataupun tua, dari dewasa ataupun

anak-anak karena sastra selalu membicarakan tentang kehidupan. Karya sastra

juga dapat memperkaya pengetahuan dan pemahaman pembaca, melalui

eksplorasi terhadap berbagai bentuk kehidupan, rahasia kehidupan, penemuan dan

pengungkapan berbagai macam karakter manusia. (Nurgiyantoro, 1995: 3).

Wellek dan Austin Warren (1995: 276) mengatakan bahwa karya sastra adalah

hasil ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami

masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra mengandung kebenaran

yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar masyarakat berdasarkan

pengamatan seseorang terhadap kehidupan, tetapi betapa pun saratnya

pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan sebuah karya fiksi,

haruslah tetap merupakan cerita yang menarik. Tentu saja karya sastra harus

(11)

Dalam hal bersifat menarik dan bertujuan estetis, sebuah karya sastra haruslah

memiliki unsur

utile et dulce

yang berarti hiburan dan bermanfaat. Sesuai dengan

pendapat Horatius (Sudjiman, 1998: 12) bahwa karya sastra memang bersifat

utile

et dulce

; menyenangkan dan bermanfaat. Semua cerita fiksi memiliki kemiripan

dengan sesuatu dalam kehidupan ini, karena bahan yang digunakan oleh karya

tersebut berasal dari pengalaman hidup dan kondisi yang terjadi di kehidupan dan

berada di sekeliling kita.

Wellek dan Austin Werren juga menjelaskan, bahwa sebuah karya sastra

terbentuk dari sebuah struktur yang dibangun oleh unsur-unsur dasarnya seperti

alur, latar, tokoh dan sebagainya. Struktur tersebut tidak mampu berdiri sendiri,

harus memiliki hubungan atau keterkaitan.

Secara umum karya sastra memiliki beberapa bentuk, yaitu puisi, prosa, dan

drama. Salah satu bentuk prosa adalah cerita pendek atau sering diakronimkan

menjadi cerpen. Cerpen kurang mendapat apresiasi yang mendalam, dikarenakan

cerpen hanya dianggap sebuah cerita yang panjang isinya hanya sekitar 1500

sampai 15.000 karakter saja dan hanya dibaca habis sekali duduk (Poe dalam

Aziez, 2010: 33). Maksudnya, cerpen hanya dipublikasikan hanya untuk dibaca

saja, jarang sekali ada penelitian mendalam tentang sebuah cerpen atau kumpulan

cerpen.

Kurang bergemanya karya sastra Sumatera Utara di tanah Deli,

menggambarkan bahwa sastra Sumatera Utara kurang mendapat perhatian.

(12)

Utara kurang terdengar gemanya lagi. Padahal banyak pengarang besar Indonesia

berasal dari ranah Sumatera, contohnya Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sultan

Takdir Alisyahbana, dan yang lainnya.

Hidayat Banjar merupakan salah seorang satrawan Sumatera Utara yang

masih eksis dalam dunia tulis menulis sampai saat ini. Hidayat Banjar adalah

salah seorang penulis di bidang kesusastraan, baik dalam penulisan cerpen, esai,

maupun artikel sastra. Tahun 1982 ia menjadi mahasiswa jurusan Sastra

Indonesia, Fakultas Sastra (sekarang Ilmu Budaya), Universitas Sumatera Utara.

Setelah setahun kuliah, ia menjabat ketua Keluarga Besar Sastra Indonesia (KBSI)

Fakultas Sastra USU. Lalu pada tahun 1985, ia sempat meraih juara III penulisan

cerita pendek dan harapan I untuk penulisan puisi pada sayembara yang diadakan

oleh RRI Nusantara I Medan, bersamaan itu pula ia bergabung dengan media

Minggu Demi Masa (dahulu Mercu Suar) dan menjadi wartawan sekaligus

redaktur. Saat ini ia lebih sering menulis artikel tentang sastra dalam berbagai

media, salah satunya dalam media massa Analisa. Kumpulan cerpen

Ah… Gerimis

Itu

adalah kumpulan cerpen Hidayat Banjar yang pertama. Judul kumpulan cerpen

ini, yaitu

Ah…Gerimis Itu

merupakan salah satu judul cerpen dari 17 cerpen

lainnya. Pada Desember 2010, CV Valentino Grup penerbitkan novelnya ynag

berjudul Penjaga Mata Air.

Ketika penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya, mata kuliah

Sejarah Kesusasteraan oleh Drs. Irwansyah, M.S., Hidayat Banjar penulis

(13)

tumpukan buku dengan sampul depan bewarna kuning, dan buku-buku tersebut

terlihat sudah lama. Hidayat Banjar menagtakan bahwa ia sudah aktif dalam dunia

tulis-menulis sejak masih kuliah dan kumpulan cerpen

Ah… Gerimis Itu

adalah

kumpulan karyanya yang berhasil dibukukan pertama kali. Namun, menurut cerita

pengarang, selain tidak mendapat publikasi yang baik, kumpulan cerpen

Ah…Gerimis Itu

pernah menuai kritik dari Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S.

bahwa kumpulan cerepn tersebut belum pantas dikatakan sebuah karya sastra

karena sebahagian besar cerpen yang ada dalam buku tersebut ditulis pengarang

sesuai kejadian nyata yang didengar oleh pengarang saat meliput berita ketika

pengarang menjalankan tugas sebagai seorang jurnalis.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut penulis tertarik menelaah kumpulan cerpen

karya Hidayat Banjar dengan mengungkapkan jalinan struktur yang membangun

cerita atau unsur-unsur intrinsiknya sehingga kumpulan cerpen ini layak disebut

karya sastra.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah pada penelitian ini, rumusan masalah

yang akan dijelaskan adalah:

1.

Unsur-unsur intrinsik apa saja yang terdapat dalam cerpen pada kumpulan

cerpen

Ah… Gerimis Itu?

2.

Bagaimana hubungan unsur intrinsik dalam cerpen pada kumpulan cerpen

(14)

1.3

Batasan Masalah

Suatu penelitian pasti memiliki beragam masalah, oleh karena itu peneliti

membuat batasan masalah dalam penelitian ini, yang berfungsi untuk membatasi

sebuah persoalan yang ingin dikaji dan penelitian tidak menyimpang dari tujuan

yang akan dicapai.

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah strukturasi kumpulan cerpen

Ah… Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar, yaitu pembahasan ynag dilakukan untuk

menguraikan struktur yang membangun karya dalam kumpulan cerpen tersebut,

yang meliputi alur, latar, tokoh (penokohan), gaya bahasa, sudut pandang, dan

amanat. Selanjutnya, dari unsur-unsur seperti alur, latar, tokoh (penokohan), gaya

bahasa, sudut pandang, dan amanat akan mengacu pada satu tema cerita atau

makna keseluruhan yang ingin disampaikan pengarang dari kumpulan cerpen

Ah… Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar.

Penulis juga membatasi sampel dari penelitian ini, dari tujuh belas cerpen

yaitu:

1.

Oh, Isteri dan Anakku

2.

Ah, Kita Sama-Sama Hiprokit

3.

Wartawan

4.

Mia

5.

Jeruk

6.

Bom

7.

Perwujudan

8.

Ah...Gerimis Itu

9.

But Mukhtar

10.

Lelaki Itu

11.

Opportunitis

12.

Tahun 2500

13.

Acun

14.

Ketika Semester Usai

15.

Kawin Undi

16.

Urip

(15)

18

Setelah dilakukan pemilihan, peneliti hanya meneliti lima cerpen saja yaitu:

1.

Bom

2.

Ah...Gerimis Itu

3.

Opportunitis

4.

Kawin Undi

5.

Alunan Biola Penghabisan

Menurut penulis kelima cerpen tersebut sangat menarik karena sarat dengan

pesan moral yang disampaikan secara ringan, menggelitik, konyol, dan dilematis.

Misalnya pada cerpen

Bom

, pengarang ingin menyampaikan tingginya budaya

kolusi sehingga menciptakan ledakan pengangguran di negri ini. Tokoh Dayat

dalam cerpen

Bom

, yang notabene adalah seorang pengangguran, mengirim surat

ke kantor-kantor pemerintahan yang berisi bahwa di desanya ada bom. Begitu

semua orang panik dan mulai mencari-cari dimana letak bom tersebut, barulah ia

mengatakan banyaknnya bom di negri ini yang akan meledak, bom-bom itu

adalah para pemuda yang menganggur karena tidak mampu membayar persekot

(uang suap) ketika melamar kerja.

Kekonyolan yang dilematis terjadi pada kematian Somad tokoh dalam cerpen

Ah...Gerimis Itu

. Somad meninggal karena Imah, istrinya, menyatukan kembali

jempol Somad yang harus diamputasi karena tersengat bisa ular. Padahal jempol

Somad telah diamputasi beberapa tahun yang lalu. Kematian Somad membuat

kesedihan dan penyesalan berkepanjangan bagi Imah, sang istri. Imah merasa

(16)

18

Cerpen

Kawin Undi

menggambarkan dekadensi moral yang dialami

masyarakat, khususnya pemuda. Namun, kritik sosial yang penting ini disajikan

pengarang dengan cerita yang menggelitik.

Seorang kembang desa yang dihamili oleh tujuh pemuda desa, harus

melakukan undian layaknya arisan untuk menentukan siapa diantara ketujuh

pemuda tersebut yang akan menjadi suaminya. Ketujuh pemuda tersebut dengan

senang hati mengikuti undian di hadapan seluruh masyarakat desa. Akhirnya

Sigit, anak Bapak Kepala Desa yang sangat dihormati, keluar senbagai pemenang

undian.

Sebuah cerita dengan banyak tokoh, tetapi tidak memiliki tokoh sentral dalam

cerita, semua tokoh memiliki kapsitas kemunculan yang sama. Itulah yang

disajikan pengarang dalam cerpen

Opportunitis

. Amanat disampaikan secara

langsung oleh pengarang, tetapi tema yang tersirat disamapikan melalui gambaran

perasaan tokoh.

Alunan Biola Penghabisan

bercerita tentang kematian yang tertunda seorang

pejuang bernama Pak Karta. Pak Karta terbelenggu dalam sakaratul maut karena

kerinduannya pada masa-masa muda sebagai seorang pejuang tak kunjung

terjawab. Kehidupan Pak Karta setelah kemerdekaan direbut dari penjajah,

hanyalah sebagai seorang tukang pangkas pinggir jalan. Sulitnya kehidupan yang

dijalani membuat Pak Karta tak sempat lagi meluangkan waktu untuk menikmati

hobinya, menggesek biola kesayangannya. itulah kerinduan terbesar yang

membelit jiwa Pak Karta.

(17)

18

yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih

banyak ditonjolkan kualiatas pekerjaan atau kebangsaannya.

1.4

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1.

Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik seperti alur, latar, tokoh,

penokohan, gaya bahasa, sudut pandang, tema, dan amanat yang

terdapat dalam cerpen pada kumpulan cerpen

Ah….Gerimis Itu

karya

Hidayat Banjar.

2.

Menjelaskan keterkaitan antar unsur yang terdapat dalam cerpen pada

kumpulan cerpen

Ah….Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar.

1.4.2

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini, adalah:

a.

Menjadi bahan bacaan dan referensi bagi mahasiswa Fakultas Ilmu

Budaya, khususnya mahasiswa Departemen Sastra Indonesia.

b.

Memberikan informasi kepada pembaca tentang unsur-unsur intrinsik

yang terdapat pada cerpen pada kumpulan cerpen

Ah….Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar.

c.

Memperkaya apresiasi, penelitian, dan kajian terhadap cerpen

Indonesia, khususnya di Sumatera Utara.

(18)

18

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep merupakan ide-ide, penggambaran hal-hal, atau benda-benda

ataupun gejala sosial yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Marlo, 1985:46).

Dalam Kamus Istilah Sastra, konsep berarti gambaran mental dari objek, proses

dari segala sesuatu yang berada di luar bahasa dan yang digunakan akal budi

untuk memahami sesuatu (2006:143). Sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa

Indonesia, konsep berarti rancangan kasar dari sebuah tulisan (2010:286).

Konsep berfungsi untuk menyederhanakan pemikiran terhadap ide-ide,

hal-hal, benda-benda, maupun gejala sosial, agar memudahkan adanya

keteraturan; sehingga memudahkan terjadinya komunikasi. Konsep dalam suatu

penelitian juga dimaksudkan untuk memahami istilah atau kata, serta hal-hal yang

dijadikan acuan terhadap hal yang berhubungan dengan penjabaran maupn

permasalahan yang dianalisis. Konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial

walaupun istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun makna dan

pengertiannya dapat berubah (Marlo, 1985:47).

Ada beberapa konsep dalam penelitian ini. Adanya perbedaan mengenai

makna dan pengertian suatu konsep dalam bahasa sehari-hari, maka penulis akan

mendefinisikan istilah-istilah yang merupakan konsep dalam peneliatian ini.

A.

Sastra

(19)

18

mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi’. Akhiran –

tra

biasanya

menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu

sastra

dapat berarti ‘alat untuk mengajar,

buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran’.

B.

Struktural

Abrams (Nurgiyantoro, 1995:46) mengatakan bahwa struktural adalah

struktur karya sastra yang dijadikan sebagai susunan penegasan, gambaran semua

bahan, dan bagian yang menjadi komponennnya yang secara bersama membentuk

kebulatan yang indah.

C.

Instrinsik

Segi intrinsik karya sastra adalah hal-hal yang membangun karya sastra itu

dari dalam. Pada umumnya para ahli membagi unsur intrinsik atas alur (plot),

tokoh (penokohan), latar cerita (setting), titik pandang (sudut pandang), gaya

bahasa, amanat, dan tema (Tjahjono, 1988:44; Siswanto, 2008: 142).

D.

Cerita Pendek (Cerpen)

Poe (Aziez, 2010:33) mengatakan bahwa cerpen atau cerita pendek adalah

sebuah karya sastra yang panjang isinya berkisar antara 1.500 sampai 15.000 kata

dan biasanya akan terbaca habis hanya dalam sekali duduk.

2.2 Landasan Teori

Penelitian yang bersifat ilmiah memerlukan adanya landasan teori, agar

penelitian tersebut tidak menyimpang atau terarah sesusai dengan tujuan yang

(20)

18

di dalamnya tercakup tentang alur, latar, tokoh, penokohan, tema, sudut pandang,

amanah, dan gaya bahasa ini akan dijelaskan dengan teori atau pendekatan

struktural.

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan Praha.

Pendekatan ini mampu memengaruhi langsung teori Ferdinand de Saussure yang

mengubah linguistik dari pendekatan diakronik menjadi sinkronik. Maksudnya

adalah, bahwa studi linguistik ataupun sastra tidak lagi melakukan penekanan

pada sejarah perkembangannya, melainkan lebih terfokus pada hubungan antar

unsurnya. Itulah sebabnya, yang menjadi pusat sasaran pendekatan struktural

adalah hubungan antar unsur (Yusuf, 2009: 14-16).

Teeuw (1984:135) berpendapat bahwa pendekatan struktural ataupun analisis

struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,

semenditel, dan mendalam mungkin tentang keterkaitan dan keterjalinan semua

anasir dan aspek karya sastra yang berasama-sama menghasilkan makna

menyeluruh.

Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 1995: 46), sebuah karya sastra yang

dianalisis secara struktural merupakan sebuah totalitas yang dibangun secara

koherensif dari semua unsur karya sastra dan merupakan sebuah komponen yang

secara bersama membentuk kebulatan yang indah.

Endaswara (2008: 50) mengatakan;

(21)

18

Unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita dan sarana

sastra. Fakta cerita terdiri atas alur, tokoh (penokohan), dan latar, sedangkan

sarana cerita terdiri atas gaya bahasa dan suasana (Suwondo dalam Jabrohim,

2001: 58)

Analisis dengan pendekatan struktural terhadap karya sastra dapat dilakukan

dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan

hubungan antarunsur intrinsik yang saling memiliki keterkaitan. Mula-mula akan

diidentifikasi dan dideskripsikan tentang bagaimana alur, latar, tokoh, penokohan,

sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa, selanjutnya akan dijelaskan fungsi dari

masing-masing unsur tersebut dalam menunjang makna keseluruhan, serta

bagaimana hubungan antarunsur itu yang secara bersama-sama membentuk suatu

totalitas kemaknaan yang padu.

Pendekatan struktural yang mengkaji hubungan antarunsur dari

unsur-unsur intrinsik ini penulis pergunakan sebagai upaya dalam menjelaskan dan

memahami hubungan atau keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya

sastra, khususnya dalam kumpulan cerpen

Ah….Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar.

Sehingga tercapailah tujuan dari penelitian ini yang sekaligus menjadi landasan

teori dalam proposal penelitian ini.

2.3 Tinjauan Pustaka

Suatu penelitian harus memiliki objek, artinya penelitian harus memiliki

(22)

18

Menurut sepengetahuan dan pengamatan peneliti, kumpulan cerpen

(23)

18

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam proposal ini peneliti menggunakan metode dan teknik pengumpulan

data dengan cara penelitian kepustakaan (

library research

), yaitu penelitian yang

datanya diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku-buku, dokumen, arsip dari

perpustakaan, serta didukung bahan acuan lainnya yang berhubungan dengan

struktural dan sastra.

Data yang dipergunakan dalam proposal penelitian ini adalah data kualitatif,

yaitu data-data yang berupa kata-kata, kalimat, ungkapan. Hal ini sependapat

dengan Aminuddin (1990:16) yang mengatakan bahwa data kualitatif adalah data

yang berupa kata-kata atau gambar bukan angka-angka. Dari data yang berupa

kata-kata, kalimat, dan gambar ini akan menjelaskan tentang unsur-unsur intrinsik

dari kumpulan cerpen

Ah...Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar.

Sumber data pada penelitian ini terdiri atas dua bagian, yaitu yang pertama

adalah sumber data primer. Sumber data primer merupakan data yang langsung

diperoleh dari sumber awal atau sumber pertama yang sekaligus menjadi objek

utama penelitian. Sumber data primernya sebagai berikut :

Judul

:

“Ah….Gerimis Itu”

Penulis

: Hidayat Banjar

Penerbit

: Monora

Tebal buku

: 97 halaman

(24)

18

Ukuran

: 14,5 x 20,5 cm

Warna sampul

: Kuning, coklat dan merah.

Gambar sampul

: gambar seekor naga yang hendak memangsa

seorang manusia.

Desain sampul

: Wahyudi, S.S.

Kedua, sumber data yang diambil dari buku-buku teori tentang sastra yng

dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini.

3.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Hasan (Koenjaraningrat, 1978:7) mengatakan bahwa metode adalah cara atau

jalan untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode

deskriptif adalah salah satu metode yang diartikan sebagai sebuah prosedur

pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan

keadaan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang terlihat atau

sebagaimana adanya. Hasil-hasil penelitian struktural, sastra, dan prinsip-prisip

yang dikemukakan ilmuwan dalam ilmu tersebut digunakan untuk memahami,

menganalisis, serta menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah karya

sastra, dalam penelitian ini adalah terhadap kumpulan cerpen

Ah….Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar.

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik

(25)

18

adanya sinopsis cerita (Pradopo, 2001: 84). Pembacaan

heuristik

dapat juga

dikatakan sebagai penerangan tentang bagian-bagian secara berurutan dari sebuah

karya sastra. Dalam pembacaan

heuristik

, dilakukan interpretasi secara

referensional melalui tanda-tanda linguistik.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rifaterre dalam Jabrohim (2001: 12),

“Membaca karya sastra dimulai dengan langkah heuristik, yaitu pembacaan

dengan jalan meniti tataran gramatikalnya dari segi mimetisnya dan

dilanjutkan dengan pembacaan retroaktif, yaitu bolak-balik sebagaimana yang

terjadi pada metode hermeneutik untuk menangkap maknanya.”

Pembacaan

hermeuneutik

adalah pembacaan yang berulang atau retroaktif

untuk memperoleh penafsiran tentang teks yang telah dibaca (pradopo, 2001; 84).

Dalam pembacaan hermeuneutik, pembacaan dilakukan secara berulang melalui

teks yang telah dibaca dari awal hingga akhir, kemudian mengingat kembali

penafsiran-penafsiran atau kejadian-kejadian dalam teks tersebut dan selanjutnya

memodifikasi dengan pemakaian sendiri berdasarkan peristiwa-peristiwa yang

terdapat pada kumpulan cerpen

Ah….Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar. Seperti

hubungan penokohan dengan latar dalam cerpen

Opportunitis

, seorang petani

kecil yang digambarkan melalui tokoh A, diberi latar memiliki rumag berdinding

tepas, jauh dari kebisingan kota.

“A seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapi lumpur, tanah, dan

alang-alang. Dengan rumah berdinding tepas, jauh dari kebisingan kota. Pada

saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat inilah

yang selalu mencekam perasaannya.” (Halaman61)

Untuk membatasi masalah, peneliti juga menggunakan metode sampling,

(26)

18

keadaan yang sebenarnya dalam keseluruhan populasi (Koentjaraningrat dalam

Jabrohim, 2001: 41).

Populasi adalah jumlah keseluruhan atau unit yang akan diteliti karakteristik

atau ciri-cirinya (Djojosuroto, 2000: 93). Artinya, populasi dalam penelitian ini

adalah tujuh belas cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen

Ah. . . Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar. Namun, peneliti hanya meneliti limacerpen yang diambil

secara acak sebagai sampel. Adapun sampel penelitian adalah sebagian unit-unit

dalam populasi yang menjadi objek penelitian. Besarnya sampel tidak boleh

kurang dari 10 persen (Djojosuroto, 2000: 93-95)

Dari lima cerpen yang menjadi sampel dalam penelitian ini, yaitu:

1.

Bom

2.

Ah...Gerimias Itu

3.

Opportunitis

4.

Kawin Undi

5.

Alunan Biola Penghabisan

akan diambil kesimpulan yang menggambarkan populasi dalam penelitian ini,

(27)

18

BAB IV

ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN

AH...GERIMIS ITU

KARYA HIDAYAT BANJAR

4.1 Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik

4.1.1 Tokoh (Penokohan)

Dalam cerita fiksi sering dipergunakan istilah seperti tokoh dan penokohan, watak

dan perwatakan, atau karakter, secara bergantian dengan penunjuk pengertian yang

hampir sama. Istilah tokoh, menunjuk pada orangnya, pelaku cerita atau

individu-individu yang mucul dalam cerita. Seperti ketika ada orang yang bertanya, “Siapakah

tokoh utama dalam novel tersebut?” Atau “Berapa jumlah tokoh dalam cerita

tersebut?” Penokohan sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang

merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip

moral pada individu tersebut. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang

seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Stanton, 2007: 33; Nurgiyantoro,

1995: 165).

Menurut Abrams (1997) penokohan adalah perwatakan, yaitu mengenai sifat,

tabiat atau perangai tokoh yang terdapat dalam cerita atau drama. Penokohan dapat

juga dikatakan sebagai proses penciptaan citra tokoh yang terdapat dalam sebuah

karya sastra, pembaca cenderung mengklasifikasikan tokoh dengan tokoh protagonis

dan antagonis (Sudjiman, 1991: 161). Jadi, penokohan adalah cara pengarang

menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam cerita rekaan.

Penciptaan citra atau karakter ini merupakan hasil imajinasi pengarang untuk

(28)

18

Pengarang dalam kumpulan cerpen

Ah...Gerimis Itu

, melukiskan penokohan

dengan teknik dramatik, yaitu menampilkan tokoh mirip drama, dilakukan secara

tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara

eksplisit

sifat

dan sikap serta tingkah laku tokoh. Penokohan akan tampak pada percakapan

yang dilakukan oleh tokoh, melalui tingkah laku tokoh, perasaan tokoh, reaksi

tokoh lain, pelukisan latar, atau melalui pelukisan fisik tokoh (Nurgiyantoro,

1995: 198-211).

Dalam cerpen

Bom

, pengarang menggambarkan tokoh Dayat sebagai sosok

yang pintar, idealis, dan kritis dengan keadaan, melalui teknik cakapan dan

tingkah laku. Teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal

yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyarankan pada

tindakan yang bersifat nonverbal, fisik (Nurgiyantoro, 1995: 203).

Sikap idealis tokoh Dayat digambarkan dengan teknik tingkah laku, seperti

berikut ini:

Telah tiga tahun Dayat mengangur. Ia menganggur bukan karena ia pemalas,

bukan pula karena otaknya bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak mau

bermain-main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahaan ini dan

pernah pula ke perusahaan itu, koneksinya mengatakan, “Yat, kalau kau tidak

sanggup membayar empat retus ribu ke atas, jangan harap kau dapat pekerjaan.”

(Halaman 27)

Meski sakit hati karena tidak juga memiliki pekerjaan, Dayat tetap memegang

teguh prinsip hidupnya, tidak mau melakukan kolusi.

Sikap kritis tokoh Dayat dalam cerpen

Bom

digambarkan dengan teknik

reaksi tokoh, yaitu reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata,

dan sikap-tingkah-laku orang lain yang berupa rangsang dari luar diri tokoh.

(29)

18

Hari itu, kantor PEMDA (Pemerintah Daerah), kantor Depnaker (Departemen

tenaga kerja), Kantor Polda (Polisi Daerah), Kantor PM (Polisi Militer), dan

kantor Kepala Kampung juga Kepala Lingkungan di mana tempat Dayat menetap,

datang sepucuk surat cukup singkat isinya namun begitu mengejutkan. (Halaman

28)

Cerpen Ah...Gerimis Itu bercerita tentang tokoh Imah, wanita yang hidup dalam

penyesalan. Kecintaannya terhadap sang suami yang meninggal dunia secara mendadak

membuat Imah terus menyalahkan dirinya sebagai penyebab kematian suaminya.

Penokohan Imah dilukiskan melalui teknik kesadaran, teknik yang menggambarkan

tingkah laku batin tokoh, seperti berikut ini:

Dalam temaramnya lampu teplok, Imah tadahkan tangan, mohon keampunan pada Khalik atas dosa-dosanya. Menurut Imah, dirinyalah sumber petaka. Dirinyalah penyebab sang suami pergi untuk selama-lamanya. Ya, suaminya menghadap sang Khalik ketika gerimis di ujung senja. Itulah sebabnya Imah jadi ngilu bila gerimis tiba. (Halaman 42)

Cerpen Opportunitis memiliki tujuh tokoh sederhana yang tidak memiliki nama,

hanya inisial abjad A, B, C, D, E, F, dan G. Ketujuh tokoh tersebut memiliki watak yang

sama, tidak bersyukur pada hidup dan terus tenggelam dalam penyesalan atas hidup

yang mereka pilih.

Ketidaksyukuran para tokoh digambarkan melalui teknik cakapan, seperti berikut

ini:

“Aikh... alangkah nikmatnya bila aku hidup di kota, dimana kehidupan seakan tidak pernah berhenti. Siang, kita dapat menikmati keriuhan, malam, kita pun dapat menikmati hiburan-hiburan dari panggung kelas wahid sampai panggung kelas kambing. Dan juga hiburan-hiburan lain, sungguh menyenangkan. Alangkah baiknya jika dulu aku dilahirkan di kota. Aku tidak akan kesunyian begini rupa,” . . . . (Halaman 62)

Bapak Kepala Desa, sang tokoh utama dalam cerpen Kawin Undi, adalah seorang

pemimpin yang loyal, begitu mencintai pekerjaan dan rakyatnya. Setiap kali alam

menampakkan tanda ketidakwajaran Bapak Kepala Desa pun gelisah, takut sesuatu yang

buruk akan terjadi pada desa yang dicintainya. Sikap loyal Bapak Kepala Desa tergambar

(30)

18

“Bukne, siapa lagi yang bakal……, sudah seminggu kudengar ayam jantan berkokok di saat senja akan berangkat malam,” bapak Kepala Desa mengeluarkan gelisahnya pada sang istri saat mereka menikmati angin senja di beranda rumah. (Halaman 81)

Bapak Kepala Desa juga seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya, memiliki

wibawa dan dipatuhi. Tergambar melalui reaksi tokoh lain dalam cerpen Kawin Undi,

berikut ini:

Saudara-saudara, saya harap yang tidak berkepentingan sudilah untuk menunggu di luar.”

Mendengar suara Bapak Kepala Desa, mereka pun bubar satu persatu. Anak-anak dan istri Kepala Desa kembali memasuki kamarnya masing-masing. Tinggallah dalam ruangan itu, Bapak Kepala Desa, Pak Bohim, Bu Bohim, dan Siti sebagai pesakitan. (Halaman 85)

Bapak Kepala Desa juga pemimpin yang adil dan bijaksana. Walaupun yang

bersalah adalah anggota keluarganya sendiri, hukum tetap ditegakkan.

“Sigit? Sigit anak saya ikut?” Sekali lagi Bapak Kepala Desa dikejutkan oleh jawaban Siti. Ia serasa tak yakin. . . . Setelah menarik napas dalam-dalam, berpikir beberapa saat, barulah agak tenang sedikit perasaan Bapak Kepala Desa. Lalu Bapak Kepala Desa menyimpulkan malam ini juga harus diselesaikan. Maka ia pun menyuruh beberapa orang untuk ke kantor Kepala Desa dan sebahagian lagi disuruh untuk menjemput nama-nama yang dikatakan Siti. (Halaman 86-87)

Berbeda dengan cerpen lainnya, cerpen

Alunan Biola Penghabisan

menggunanakan tokoh tipikal, yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan

keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau

kebangsaannya (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 1995: 190). Dalam

cerpen tersebut, Pak Karta sebagai tokoh utama, tersiksa dalam kerinduan

mendalam akan masa perjuangan dan alunan biola yang selalu menemaninya

ketika muda. Kerinduan yang tak tersalurkan membuat Pak Karta tidak bisa lepas

dari sakaratul maut. Orang-orang di sekitar Pak Karta menduga Pak Karta

memiliki ilmu hitam. Hingga akhirnya Brata, teman seperjuangan Pak Karta

(31)

18

kemerdekaan berhasil direbut. Setelah bercerita Brata memainkan biola

kesayangan Pak Karta dan mengalunkan lagu Selendang Sutra. Pak Karta dalam

cerpen

Alunan Biola Penghabisan

adalah gambaran seorang pejuang secara umum

yang tidak lagi dihargai setelah kemerdekaan berhasil direbut.

Individualitas tokoh Pak Karta tidak digambarkan secara langsung oleh

pengarang. Keadaan yang mengiringi cerita, cerita dari tokoh lain, sikap diam dan

gerak-gerik mata Pak Karta, menunjukkan watak tokoh Pak Karta dalam cerpen

Alunan Biola Penghabisan.

Seperti dalam kutipan berikut ini:

Lelaki tua itu bercerita, bahwa ia temannya Pak Karta semasih muda. Dan

segla kegemaran Pak Karta hampir tidak berbeda dengan kegemarannya. Pak

Karta semasih muda adalah seorang pejuang, yang gagah berani, itu diketahui

lelaki tua itu, karena ia juga seorang bekas pejuang. Ketika kemerdekaan telah

direbut, nasib Pak Karta berubah, ia menjadi seorang tukang pangkas, . . . .

(Halaman 96)

Ketimpangan kehidupan dari harapan yang telah diperjuangkan dengan

pengorbanan keringat dan darah melalui pertempuran membuat Pak Karta tersiksa

dalam sakaratul maut karena dibalut kerinduan masa lalu.

Telah hampir seminggu pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga pak Karta

telah sibuk. Sebahagian sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan

yang dimiliki oleh pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab

pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja pak Karta telah sukar,

jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah

semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk

yang telah lama tak ditemuinya. (Halaman 94)

Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen

Ah…Gerimis Itu

karya Hidayat Banjar

dilukiskan dengan teknik dramatik, baik melalui tingkah laku, kata-kata,

kejadian-kejadian yang diceritakan, menunjukkan sifat dan pendirian masing-masing

tokohnya. Dengan cara itu cerita akan menunjukkan keterkaitan yang erat antar

(32)

18

4.1.2 Latar

Latar atau setting adalah sesuatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam

penceriteraan. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan,

petunjuk, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (1991: 46).

Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar bukan hanya menunjuk tempat,

atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada

pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya. Abrams dalam Nurgiyantoro

(1995: 216) menyebutkan latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian

tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan. Jadi, latar adalah suasana yang melingkupi cerita berupa tempat,

waktu, dan keadaan sosial budaya di setiap peristiwa dalam cerita.

Latar tempat dalam kumpulan cerpen Ah…Gerimis Itu karya Hidayat Banjar

digambarkan secara umum, tidak memiliki nama. Misalnya, latar hanya digambarkan

dalam sebuah rumah, desa, atau instansi pemerintahan tanpa nama lembaga atau

daerah.

Cerpen berjudul Bom memiliki latar tempat kantor PEMDA (Pemerintah Daerah),

kantor Depnaker (Departemen tenaga kerja), Kantor Polda (Polisi Daerah), Kantor PM

(Polisi Militer), Kantor Kelurahan dan Kepala Lingkungan.

Hari itu kantor PEMDA (Pemerintah Daerah), kantor Depnaker (Departemen tenaga kerja), Kantor Polda (Polisi Daerah), Kantor PM (Polisi Militer), kantor Kepala Kampung juga Kepala Lingkungan di mana tempat Dayat menetap, datang sepucuk surat cukup singkat isinya namun begitu mengejutkan. (Halaman 28)

Namun, latar yang mengiringi peristiwa puncak adalah rumah Dayat, desa tempat

tinggal Dayat, kantor polisi, dan Kantor Kelurahan.

(33)

18

untuk berjumpa dengannya dan sekaligus membuktikan kebenaran dari surat Dayat yang lalu. . . .

Di kantor kepolisian Dayat mulai diinterogasi, memberi informasi. . . .

Desa lingkungan 007 riuh, kepala-kepala lingkungan berkumpul di kantor kelurahan dimana tempat Dayat menetap. . . . (Halaman 29 – 30)

Dibandingkan dengan cerpen Bom, cerpen Ah...Gerimis Itu memiliki latar yang lebih

kompleks, karena memiliki latar waktu, tempat, dan suasana yang mendukung cerita.

Latar waktu pada cerpen menunjukkan waktu subuh, pagi, senja, dan malam, semua

dipaparkan jelas sebagai pengiring peristiwa dalam cerita.

Latar waktu yang menunjukkan waktu pagi pada cerpen:

Sejak subuh tadi, tamu yang membosankan dirinya sudah tiba. Semula Imah coba tak memperdulikan kehadiran sang gerimis yang menyiksa. Ia ambil sajadah dan bersujud dengan suatu keharuan yang dalam. Pada sujud yang terakhir sempat juga ia menitikkan air mata. (Halaman 41 – 42)

Latar waktu yang menunjukkan waktu senja :

Imah juga ingat saat-saat indah yang pernah singgah sejenak di hatinya. Di sebuah senja, beberapa orang pemuda numpang berteduh di emperan rumahnya karena tak tahan akan dinginnya gerimis. Oleh abahnya, pemuda-pemuda itu disuruh masuk ke dalam rumah. (Halaman 42)

Latar waktu yang menunjukkan waktu malam:

“Imah, malam ini Abang ingin tuangkan semua yang terkandung di dalam hati Abang. Ya, seprti kata pepatah kita kalau tak ada berada manalah mungkin tempua bersaranng rendah,” tutur Somad dengan penuh keberaniannya. (Halaman 42)

Yang khas dalam cerpen Ah...Gerimis Itu, latar tempat dan latar waktu pada cerpen

selalu diiringi oleh suasana gerimis. Kejadian-kejadian penting pada tokoh cerita, dari

mulai pertemuan pertama antar Imah dan Somad, saat-saat indah Imah dan Somad

merajut kemesraan dan saat kematian Somad yang dramatis.

Imah juga ingat saat-saat indah yang pernah singgah sejenak di hatinya. Di sebuah senja, beberapa orang pemuda numpang berteduh di emperan rumahnya karena tak tahan akan dinginnya gerimis. Oleh abahnya, pemuda-pemuda itu disuruh masuk ke dalam rumah. (Halaman 42)

Latar tempat dalam cerpen Ah. . . Gerimis Itu, sama seperti dalam cerpen Bom,

(34)

18

. . . . Desa pantai di mana ia tinggal sepertinya jadi mati. Padahal di luar, nelayan dan anaknya tak pernah tahu akan gerimis, tak pernah hirau akan gerimis. Kebutuhan hidup yang membelit bisa melupakan kondisi alam. (Halaman 41)

Dalam cerpen Oportunitis latar sebagai atmosfer, artinya berupa kondisi yang

mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana sedih, muram, maut, misteri

dan sebagainya. Latar yang memberikan atmosfer cerita biasanya berupa latar

penyituasian (Nurgiyantoro, 1995: 244).

Berikut kutipan latar sebagai atmosfer dalam cerpen Oportunitis:

C seorang penarik becak, hari-harinya ia lalui dengan genjotan pedal becak. Perutnya tidak akan berisi jika kakinya tidak mengayuh. Baginya hujan dan panas bukan untuk dihindari tapi untuk dihadapi. Siang yang terik saat mentari di ubun-ubun, di mana manusia duduk mengaso, menghindari kulit dari sengatan mentari. Tapi bagi si C itu tidak ada, ia harus mengayuh terus. Saat-saat seperti ini selalu saja ia bermimpi jadi seorang pedagang walau hanya pedagang kelas sedangan, itu baginya satu kebahagiaan. (Halaman 62-63)

Ada tujuh tokoh dalam cerpen Oportunitis, dan latar pada cerpen sebagai

pendukung penggambaran semua tokoh.

Cerpen Kawin Undi juga memiliki latar tempat, waktu, dan suasana. Latar tempat

pada cerpen tersebut adalah teras rumah, kamar mandi, dan kantor kelurahan, sama

seperti cerpen-cerpen sebelumnya tidak ada tempat yang spesifikasi.

. . . . Sudah menjadi kebiasaan di kampung itu bila hari telah gelap seolah kehidupan tiada lagi. Orang-orang kampung itu mengurung diri di rumah. Bapak Kepala Desa gelisah hatinya, persoalan siapa pula yang harus ia hadapi kali ini, inilah yang ia pikirkan. …… (Halaman 83)

Peristiwa dalam Cerpen Kawin Undi berlangsung kurang dari 24 jam, mulai senja

hingga malam yang tidak diketahui batasnya, sehingga latar waktu dalam cerpen pun

sebatas senja hingga malam.

Latar waktu yang menunjukkan senja, merupakan awal peristiwa. Seperti dalam

kutipan berikut:

(35)

18

Cerita diakhiri dengan kemenangan tokoh Sigit dalam undian. Peristiwa tersebut

berlangsung pada malam hari. Berikut kutipan bagian akhir cerita yang menunjukkan

latar waktu malam dalam cerpen Kawin Undi:

Malam itu, kantor Kelurahan riuh. Sebuah sidang sedang berjalan di sini. Ketujuh pemuda sebagai pesakitan. Siti sebagai saksi tunggal. Pimpinan sidang Bapak Kepala Desa sendiri, juru tulis adalah sekretaris kelurahan. Malam yang sunyi berubah seketika. (Halaman 87)

Untuk memperkuat latar waktu, pengarang juga menggambarkan suasana yang

mengiringi waktu dalam cerita.

Malam sunyi, angin pun seakan enggan bertiup. Sesekali terdengar lolongan anjing yang panjang dan diselingi kokok ayam jantan yang sayup-sayup terdengar. Malam memang larut, walau demikian kampung itu begitu sunyi bila malam turun. Sudah menjadi kebiasaan di kampung itu bila hari telah gelap seolah kehidupan tiada lagi. Orang-orang kampung itu mengurung diri di rumah. Bapak Kepala Desa gelisah hatinya, persoalan siapa pula yang harus ia hadapi kali ini, inilah yang ia pikirkan. …… (Halaman 83)

Cerpen Alunan Biola Penghabisan berlatar tempat sebuah rumah milik Pak Karta,

latar tempat yang dibalut dengan suasana. Suasana penantian, menanti kematian Pak

Karta. Ada yang menanti kematian Pak Karta agar Pak Karta segera terlepas dari

sakaratul maut, tetapi ada pula yang menanti kematian Pak Karta karena berharap

mendapat harta warisan.

Telah hampir seminggu Pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga Pak Karta telah sibuk. Sebahagian sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki oleh Pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab Pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja Pak Karta telah sukar, jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lam tak ditemuinya. (Halaman 94)

Kelima cerpen Bom, Ah...Gerimis Itu, oportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola

Penghabisan, memiliki unsur latar tempat atau waktu, atau memiliki latar tempat dan

waktu. Penampilan latar tersebut diiringi suasana. Hanya saja latar bersifat netral, tidak

(36)

18

Sifat yang ditunjukkan latar netral, lebih merupakan sifat umum terhadap hal yang

sejenis, misalnya desa, kota, hutan, pasar, sehingga jika tempat-tempat itu dipindahkan

tidak akan memengaruhi pemplotan dan penokohan (Nurgiyantoro, 1995: 221).

4.1.3 Alur

Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan dalam urutan

tertentu. Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun cerita itu disebut dengan alur

(plot) (Sudjiman, 1992: 19). Atar Semi (1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot

adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi

fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan karya fiksi.

Lebih lanjut Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 113) mengemukakan bahwa alur atau

plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya

dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan

peristiwa yang lain. Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat atau

menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya.

Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur terbagi menjadi:

a. Alur maju (konvensional progresif) adalah teknik pengaluran dimulai dari

melukiskan keadaan hingga penyelesaian.

b. Alur mundur (flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan

menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai

melukiskan keadaan.

c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya

pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.

Cerpen Bom, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola Penghabisan memiliki alur

(37)

18

kronologis atau runtut. Dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan

konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian) (Nurgiyantoro,

1995: 154).

Tahap awal pada cerpen Bom, penyituasian.

Telah tiga tahun Dayat menganggur. Ia menganggur bukan karena ia pemalas bukan karena otaknya bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak maunya ia bermain-main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahaan ini dan pernah pula ke perusahaan itu, koneksinya mengatakan, “Yat, kalau kau tidak sanggup membayar empat ratus ribu ke atas, jangan harap kau akan dapat pekerjaan.” Sakit, sakit sekali hatinya mendengar perkataan itu. (Halaman 27)

Pengenalan:

Bagaimana tidak sakit, sewaktu masih di SMA dulu, Dayat pernah uji Intelegensia Quation (IQ)-nya, ternyata angka dari mesin penguji menunjukkan 135, bukan suatu angka yang bisa dimain-mainkan. Kenyataan itu dibuktikan lagi dengan hasil ujian akhirnya, STTB-nya menampakkan nilai 7,0 rata-rata, Dayat memperoleh rangking III dari 500 lebih siswa. Dengan ijazah SMA jurusan IPA (Ilmu Pasti Alam) itulah Dayat memasuki perusahaan-perusahaan, kantor-kantor. Kenyataannya sampai sekarang ia tidak juga dapat pekerjaan. Hal itu karena tidak adanya persekot, itulah kesimpulan kerjanya selama tiga tahun ini. Dengan satu tekad ia memberi satu putusan dalam hatinya bahwa tidak hanya dengan mengandalkan persekot ia dapat bekerja, aku harus bekerja tanpa persekot, itu ditanamkannya dalam hati. (Halaman 27-28)

Pemunculan konflik:

Bapak Yth.

Di desa saya, lingkungna 007 ditemui 1 kotak bom yang diduga masih aktif. Saya sebagai warga yang baik melaporkan hal ini kehadapan Bapak, agar Bapak dapat mengamankan bom tersebut.

Hormat saya penduduk Lingkungan 007

(Dayat) (Halaman 28)

(38)

18

Klimaks menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 127), adalah saat konflik

mencapai intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tak dapat

dihindari kejadiannya.

Klimaks pada cerpen Bom adalah ketika Dayat, sang tokoh utama berpidato di

hadapan semua tokoh dan aparat desa, guna memberikan penjelasan isi surat yang

dikirimkannya ke instansi-instansi pemerintahan yang ada di sekitar desanya.

“OK . . . Bapak-bapak dan Saudara-saudara, Bom itu berkekuatan sangat dahsyat sekali. Jika ia meledak seluruh kampung kita ini akan hancur dibuatnya. Dan bom itu tidak hanya ada di kampung kita ini saja. Di kampung-kampung lain juga banyak berserakan.” Mendengar seluruh kampung ada bom, orang tua pada tarik napas terutama kaum wanita.

“Tapi aparat pemerintah dan juga penduduk setempat kurang memperhatikan bom-bom yang ganas itu. Maka saya sebagai manusia yang berpikir merasa berkewajiban mengamankan bom-bom itu.” Mereka tambah riuh mendengar keterangan Dayat, tapi tak ada yang berani buka mulut. Dalam benak mereka terbayang sebuah kampung yang hancur oleh keganasan bahan peledak itu. Ya, Hirosima, Nagasaki, mereka membayangkan kedahsyatannya. (Halaman 31 – 32)

Tahap Akhir (Penyelesaian):

Tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian,

menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana akhir

atau penyelesaian cerita. Penyelesaian dalam cerita dapat berupa kebahagiaan atau

kesedihan, atau penyelesaian cerita yang masih menggantung, masih menimbulkan

tanda tanya, rasa penasaran, atau bahkan ketidakpuasan pembaca (Nurgiyantoro, 1995:

146 – 147)

Pada cerpen Bom, penyelesaian berupa penjelasan dari tokoh utama tentang

konflik yang dimunculkannya, seperti berikut ini:

(39)

18

Mereka terperangah mendengar ucapan Dayat. Astaga, itulah ucapan yang terlontar dari mulut mereka, tak pernah mereka berpikir sejauh itu. (Halaman 32)

Tahap Awal pada cerpen Opportunitis, penyituasian dan pengenalan:

A adalah seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapi lumpur, tanah dan alang-alang. Dengan rumah berdinding tepas, jauh dari kebisingan kota. Bila malam tiba, ia tidak akan melihat cahaya lampu yang gemerlapan lazimnya kehidupan kota. Pada saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat inilah yang selalu mencekam perasaannya. (Halaman 61)

Pemunculan konflik:

Keseluruhan konflik pada cerpen Opportunitis adalah konflik batin yang terjadi pada

diri tokoh-tokohnya.

“Seandainya dulu aku tidak meninggalkan kampungku, hidup dalam batas wajar saja, tidak menginginkan hidup muluk, tidak mengimpikan cahaya-cahaya berbagai warna dari lampu-lampu pertokoan yang selalu saja dihuni oleh orang kaya. Aku tidak akan hidup seperti ini menggelandang ke sana ke mari. Tidur di emperan toko dengan beralaskan apa saja. Seandainya dulu aku tidak meninggalkan kampungku, mungkin aku akan bias punya isteri yang baik yang bisa memperhatikan dan merawatku. Dan aku akan mempunyai anak-anak yang manis pelanjut kehidupan dan keturunanku. Duh……… betapa bahagianya hari tuaku. Walau aku hanya punya rumah yang cukup sederhana tapi aku bahagia, setidaknya aku bisa tidur tenang, tidak kedinginan begitu rupa.” (Halaman 62)

Klimaks:

Pada suatu ruangan yang besar. Ruangan inilah yang dinamakan dengan “Alam Rasa”, A, B, C, D, E, F, G, berkumpul. Mereka mengeluarkan keluhan masing-masing dan segala uneg-uneg yang mengganjal hati. Sebelum mereka mengeluarkan uneg-uneg itu, sebuah suara muncul dari tengah ruang dan menggema sampai ke pelosok jantung hati mereka.

Tahap Akhir (Penyelesaian):

Tahap akhir pada cerpen Opportunitis, pemyelesaiannya diserahkan pada pembaca.

Artinya, penyelesaian masih menimbulkan tanda tanya.

(40)

18

seperti mereka?” Suara itu raib, mereka kembali terpental pada ruang kekinian. Berhasilkah mereka mencapai keakanan??

Tahap awal pada cerpen Kawin Undi berupa penyituasian dan pengenalan.

Pengenalan tentang tokoh Bapak Kepala Desa yang bertanggung jawab, seorang

pemimpin yang memiliki loyalitas tinggi terhadap rakyatnya, seperti dalam kutipan

berikut ini:

“Bukne, siapa lagi yang bakal……, sudah seminggu kudengar ayam jantan berkokok di saat senja akan berangkat malam,” Bapak Kepala Desa mengeluarkan gelisahnya pada sang istri saat mereka menikmati angin senja di beranda rumah.

”Ah, Bapak. Janganlah terlalu berfirasat. Kan biasa ayam yang baru besar, kapan saja ia berkokok, agar kelompok ayam yang lain tahu bahwa ia benar-benar menjadi ayam jantan. Dengan berkokoklah ia menunjukkan kejantanannya. (Halaman 81)

Pemunculan konflik:

Tiba-tiba kesunyian itu pecah, dari sebelah utara terdengar suara ribut-ribut. Ada suara perempuan menangis, ada suara orang yang membentak-bentak, dan ada suara segerombolan orang yang berseru; bawa ke rumah penghulu! Bawa ke rumah penghulu. Bapak Kepala Desa bangkit perlahan dari pembaringannya. Ia ambil senter. Dengan perlahan pula ia membuka pintu dan menuju ke pekarangan rumah. Dari kejauhan terlihat kelap-kelip lampu sentir dan tubuh hitam bergerombol menuju rumah Bapak Kepala Desa. (Halaman 84)

Klimaks:

Puncak konflik pada cerpen Kawin Undi, ketika tokoh Siti mengungkapkan bahwa ia

hamil karena telah diperkosa oleh tujuh pemuda desa dan salah satu di antara pemuda

tersebut adalah Sigit, anak Bapak Kepala Desa yang begitu dihormati karena

kebijaksaannya. Yang lebih mengejutkan warga, tujuh nama yang disebutkan Siti adalah

pemuda-pemuda desa yang baik. Namun, ketujuh pemuda tersebut membantah jika

mereka telah memperkosa Siti. Mereka melakukannya atas dasar mau sama mau. Dan

ketujuh pemuda tersebut mengakui bahwa mereka membayar pada Siti setiap kali

persetubuhan.

”Siapa-siapa mereka,” tanya Bapak Kepala Desa tajam.

(41)

18

pemuda baik-baik saja adanya. Seperti Sarmin, bapaknya seorang guru mengaji di langgar, Bambang, anak sederhana itu. Demikian juga dengan Tanto, maupun yang lain, Sigit pun ia tidak tahu sekali perilakunya. (Halaman 86 – 87)

Iiiiya Pak, taaaapi kaaami tidakkk memperrrkosa pak,” jawa bmereka serempak. ”Kau dengar Siti, mereka tidak ada memperkosamu,” Siti hanya sesenggukan tidak menjawab.

”Kami membayar seratus lima puluh rupiah perorang Pak sekali main,” suara koor dari mereka. (Halaman 88)

Tahap Akhir (Penyelesaian):

Setelah tujuh pemuda dikumpulkan dan ditanyai, mereka mengaku tidak

memperkosa Siti. Persetubuhan tersebut terjadi atas kesepakatan bersama. Ketujuh

pemuda tersebut bersedia bertanggung jawab. Lalu Bapak Kepala Desa melakukan

undian, layaknya arisan, untuk menentukan siapa yang berhak menjadi suami Siti.

Setelah semua diinterogasi, maka dijumlahkan bahwa Siti telah 23 kali disetubuhi oleh mereka. Masing-masing ada yang tiga kali, ada yang empat, dan ada yang dua kali. Anehnya, mereka setuju diadakan undian, seperti halnya arisan, siapa yang mendapat tulisan yang ditulis oleh tangan Siti, ialah yang akan jadi suami Siti. Kertas itu digulunglah sebanyak 23 gulungan sesuai dengan jumlah persetubuhan itu. Dan siapa yang empat kali menyetubuhi, empat gulungan kertas pula yang ia ambil – sesuai dengan jumlah persetubuhan mereka dengan Siti.

Dengan hati berdebar-debar mereka membuka kertasnya masing-masing.

”Hore . . . .” teriak Sigit kegirangan. Ternyata ia yang berhasil mendapat tulisan yang ditulis tangan oleh Siti. Sigit dan Siti berpandangan sejenak, lalu mereka berpelukan dengan mesra menunjukkan kesenangan mereka dan rasa kasih yang mungkin selama ini terpendam. Ibu dan Bapak Bohim cerah wajahnya, Bapak Kepala Desa dan Ibu tak habis pikir. (Halaman 88)

Tahap Awal pada cerpen Alunan Biola Penghabisan, penyituasian dan pengenalan:

Telah hampir seminggu Pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga Pak Karta telah sibuk. Sebahagian telah sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki oleh Pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab Pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja Pak Karta telah sukar, jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lama yang ditemuinya. (Halaman 94)

Pemunculan Konflik:

(42)

18

Karta nyebutlah Pak, ingat Tuhan. Namun sedikitpun perkataan itu tidak digubris oleh Pak Karta. Atap genteng rumah telah dibuka beberapa lembar. Menurut kepercayaan mereka, jika Pak Karta mempunyai ilmu hitam ataupun karuhun di masa mudanya, ilmu hitam atau karuhan itu akan pergi lewat atap genteng yang dibuka. Sehingga ilmu hitam ataupun karuhun itu tidak menghalang-halangi berangkatnya nyawa Pak Karta meninggalkan tubuhnya. Tapi hal itu tidak juga menghasilkan apa-apa. Demikian juga dengan pembacaan surat Yassin, telah berulang kali dilakukan. Ini juga kepercayaan mereka, jika seorang dalam keadaan sekarat bacalah Surat Yassin, bila ia tidak serabuh juga berarti kematiannya telah dekat, dan kematiannya akan mudah, tidak dihalang-halangi oleh syaitan, demikian kepercayaan mereka. Namun hasilnya tetap juga nihil, Pak Karta belum juga menghembuskan napasnya, namun tidak juga sehat kembali. Ia tetap tersiksa, napasnya turun naik, denyut nadinya tidak teratur. Tapi sinar matanya tetap tajam. Mereka tidak mengetahui kalau Pak Karta tengah mencari sesuatu. Ia mencari sebuah suara yang biasa ia dengarkan sewaktu masih muda. (Halaman 95 – 96)

Klimaks:

“Buk Karta,” katanya tiba-tiba sambil menghapus air matanya. “Apakah Ibu masih menyimpan sebuah biola yang dulu selalu digesek oleh Pak Karta sewaktu jam-jam senggangnya?” Lelaki itu bertanya. Buk Karta mengernyitkan keningnya, lantas ia bergerak dari duduknya dan membuka almari. Ia menunjukkan sebuah biola pada lelaki tua itu. Lelaki tua itu manggut-manggut sambil menerima biola itu. Ia perhatikan bioala itu, berabu, menunjukkan telah lama tidak pernah dipegang ataupun digesek. Perlahan-lahan ia gesek senar biola. PerPerlahan-lahan sekali, dari gesekan tersebut mengalun musik “Selendang Sutra.” Dengan serta merta mendengar alunan biola itu Pak Karta mulai bergerak. Sanak keluarga yang sibuk menghitung harta kekayaan Pak Karta seolah punah harapannya melihat keanehan itu. Bu Karta yang tetap menunggui suaminya mempunyai harapan baru menyaksikan hal itu. (Halaman 97 – 98)

Tahap akhir (penyelesaian) pada cerepn Alunan Biola Penghabisan adalah kematian

Pak Karta yang begitu tenang karena kerinduannya telah terobati. Kerinduan akan

alunan musik dari biola kesayangannya yang mengingatkan tentang masa muda sebagai

seorang pejuang, seperti berikut ini:

Alunan biola semakin sendu, wajah Pak Karta kian teduh, matanya tidak lagi menyala dan liar. Dengan senyum di bibir ia mengucap dengan perlahan sekali tetapi

pasti, “Lailahhaillallah Muhammadarrasulullah.” Denyut nadinya terhenti.

Innalillahiwinnailaihirojiun” ujar sebahgian mereka. “Alhamdulillah” ucap sebahagian

lagi. “Inilah kenyataan” tutur lelaki tua itu. (Halaman 98)

Dari lima cerpen yang diteliti, empat memiliki alur maju (konvensional progresif)

sedangkan satu cerpen, yaitu Ah. . . Gerimis Itu memiliki alur mundur (flash back, sorot

(43)

18

Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi berplot regresif, tidak bersifat

kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah

atau bahkan tahap akhir (Nurgiyantoro, 1995: 154). Pengarang memulai cerita pada

cerpen Ah...Gerimis Itu dengan tahap akhir, yaitu penyelesaian dari konflik batin yang

dialami tokoh Imah, seperti berikut ini:

Dalam temaramnya lampu teplok, Imah tadahkan tangan, mohon keampunan pada Khalik atas dosa-dosanya. Menurt Imah, dirinyalah sumber petaka. Dirinyalah penyebab sang suami pergi untuk selama-lamanya. Ya, suaminya menghadap sang Khalik ketika gerimis di ujung senja. Itulah sebabnya Imah jadi ngilu bila gerimis tiba (Halaman 42)

Selanjutnya pengarang menceritakan tahap awal, berupa awal pertemuan Imah

dengan Somad, bagaimana Imah tertarik dengan Somad hingga akhirnya mereka

menikah. Pengarang menyajikan pertalian peristiwa secara kronologis hingga

kemunculam konflik berupa keinginan Imah menyatukaan jempol suaminya yang telah

diamputasi karena terkena bisa ular.

“Bang, jika jari Abang ini lengkap, Abang pasti lebih gagah lagi,” Imah menanggapi. “Boleh Imah melihat jempol Abang itu?” Lanjutnya bertanya.

Somad segera bangkit dan menuju lemari dimana tersimpan jempol tangannya yang sudah berpisah dari dirinya. Jempol itu masih utuh saja, sepertinya belum terlalu lama disimpan. Somad pun memberikan pada Imah. (Halaman 46)

Dan cerita diakhiri dengan klimaks, berupa kematian tokoh Somad dikala gerimis,

ternyata jempol Somad yang disatukan kembali oleh Imah masih mengandung bisa ular,

sehingga bisa tersebut menyerang jaringan tubuh Somad.

“Bang, mari Imah lengketkan kembali jempol ini di tangan Abang,” pinta Imah pada Somad. Somad pun mengulurkan tangannya. Tapi, begitu jempol itu bersatu lagi dengan tangan Somad, Somad berteriak histeris. Tubuhnya kejang, matanya merah, dari seluruh pori-porinya keluar keringat.

Melihat hal itu, Imah jadi bingung, ia pun berteriak minta tolong. Dan begitu tetangga berdatangan, Somad sudah menghembuskan napas untuk terakhir kali. Doketr mengatakan – sesuai dengan hasil diagnosa, Somad mati karena keracunan bisa ular.

Di luar, gerimis masih terus bernyanyi, menyayat-nyayat hati Imah. (Halaman 46 – 47)

(44)

18

Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau

dari posisi mana peristiwa dan tindakan itu dilihat. Pemilihan bentuk persona yang

dipergunakan, akan memengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan,

juga keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan (Stanton, 2007: 30).

Beberapa definisi tentang sudut pandang:

1.

Sudut pandang adalah cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang

sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai

peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca

(Abrams dalam Nurgiantoro, 1995: 248).

2.

Sudut pandang adalah tempat pencerita dalam hubungannya dengan cerita.

Dari sudut mana pencerita menyampaikan kisahnya (Sudjiman dalam

Zulfanur, 1996: 35).

3.

Sudut pandang adalah siapa yang mengamati peristiwa dan menyampaikan

kisahnya (Brooks dalam Zulfanur, 1996: 35).

4.

Sudut pandang adalah teknik yang digunakan pengarang untuk mengemukan

dan menyampaikan makna karya artistik, untuk dapat sampai dan

berhubungan dengan pembaca (Padmopuspita dalam Pamulat, 2001: 21).

Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,

siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan

dan ceritanya.

Pembedaan sudut pandang yang telah umum dilakukan orang yaitu

(Nurgiyantoro, 1995: 256 – 271)

(45)

18

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang ketiga, gaya

“dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menyampaikan

tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.

Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama, kerap disebut dan sebagai

variasi dipergunakan kata ganti. Hal tersebut memudahkan pembaca dalam

mengenali tokoh yang diceritakan.

2.

Sudut Pandang Orang Pertama

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang pertama, narator

adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang

berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan

tindakan, yang diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya

terhadap tokoh lain pembaca. Pembaca menerima apa yang diceritakan oleh si

“aku”, maka pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti

yang dilihat dan dirasakan tokoh “aku”.

3.

Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang dalam sebuah karya sastra, mungkin saja lebih

dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti teknik sesuai kreatifitasnya, untuk

mencari variasi atau demi tercapainya efektifitas cerita. Penggunaan sudut

pandang campuran dalam cerita dapat berupa penggunaan sudut pandang orang

ketiga dan pertama sekaligus.

Dari lima cerpen yang diteliti, empat cerpen : Bom, Ah... Gerimis Itu, Kawin Undi,

dan Alunan Biola Penghabisan, menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia”,

(46)

18

Penggunaan sudut pandang orang ketiga dalam pengisahan cerita pada kumpulan

cerpen Ah...Gerimis Itu, Hidayat Banjar menggunakan nama tokoh, seperti Dayat pada

cerpen Bom; Imah dan Somad pada cerpen Ah... Gerimis Itu; Siti, Bapak Kepala Desa,

Sigit, Pak Bohim, dan lainnya pada cerpen Kawin Undi; Pak Karta dan Brata pada cerpen

Alunan Biola Penghabisan.

Sudut pandang orang ketiga “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan

berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya

(Nurgiyantoro, 1995: 257 – 261).

1. Sudut Pandang Orang Ketiga “Dia Mahatahu”

Pada sudut pandang orang ketiga “dia mahatahu”, Pengarang bersifat “mahatahu”.

Pengarang dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh.

Narator (pengarang) secara bebas menceritakan hati dan pikiran para tokoh,

mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi

yang melatarbelakanginya. Pengarang juga dapat menyembunyikan ucapan dan

tindakan tokoh secara jelas seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Dari empat cerpen yang menggunakan sudut pandang orang ketiga, tiga cerpen

Bom, Ah . . . Gerimis Itu, dan Kawin Undi menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia

mahatahu”.

Tokoh Dayat dalam cerpen Bom digambarkan oleh pengarang sebagai

pengangguran yang idealis. Dalam mempertahankan keidealisannya, pengarang

memberitahukan kepada pembaca tentang apa yang dirasakan tokoh Dayat ketika harus

menjadi pengangguran karena mempertahankan prinsip. Motivasi yang

melatarbelakangi sikap tokoh Dayat, juga dapat diketahui jelas oleh pembaca.

(47)

18

empat ratus ribu ke atas, jangan harap kau dapat pekerjaan.” Sakit, sakit sekali hatinya mendengar perkataan itu. Bagaiman tidak sakit, sewaktu di SMA dulu, Dayat pernah uji Intelege

Referensi

Dokumen terkait

Toraja, dibuat dari pohon tarra). b) Latar waktu yang digunakan dalam cerpen Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon adalah pagi hari. c) Latar suasana yang ada pada cerpen Di Tubuh