KEKUATAN UNSUR INTRINSIK CERPEN
DALAM KUMPULAN CERPEN
AH. . . GERIMIS ITU
KARYA HIDAYAT BANJAR:
ANALISIS STRUKTURAL
PROPOSAL
OLEH
IKHLASIYAH ROFIQI M
050701028
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KEKUATAN UNSUR INTRINSIK CERPEN
DALAM KUMPULAN CERPEN
AH. . . GERIMIS ITU
KARYA HIDAYAT BANJAR:
ANALISIS STRUKTURAL
OLEH
IKHLASIYAH ROFIQI M
050701028
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar
kesarjanaan dalam bidang ilmu budaya dan telah disetujui oleh:
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Isma Tantawi, M.A.
Dra. Keristiana, M.Hum.
NIP. 19600207 198601 1 001
NIP. 19610610 198601 2 001
Deparetemen Sastra Indonesia
Ketua,
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi adalah
murni hasil penelitian saya sendiri. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
dan sepanjang sepengetahuan saya, juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima
sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh. Demikian
pernyataan ini saya buat dengan sadar dan sebenarnya.
Medan, Desember 2012
KATA PENGANTAR
Skripsi berjudul
Kekuatan Unsur Intrinsik Cerpen Dalam Kumpulan Cerpen
Ah...Gerimis Itu Karya Hidayat Banjar: Analisis Struktural
, diajukan untuk
memenuhi salah satu syarat dalam ujian sarjana bidang Ilmu Sastra Indonesia di
Faluktas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kekuatan pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Banyak kesulitan yang dialami
penulis karena kurangnya bahan acuan, pengalaman, dan pengetahuan yang
dimiliki oleh penulis. Atas rahmat dan izin Allah, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada:
1.
Bapak Drs. Syahroni Lubis, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Husnan Lubis, M.A., Pembantu
Dekan I Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs.
Samsul Tarigan, Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara, dan Bapak Drs. Yuddi Adrian M, M.A., Pembantu Dekan
III Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
2.
Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., Ketua Jurusan Sastra
Indonesia dan Bapak Haris Sutan Lubis, M.Hum., Sekretaris Jurusan
Sastra Indonesia, yang memiliki banyak kesabaran dalam menghadapi
penulis. Serta seluruh dosen pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
3.
Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. sebagai pembimbing I dan Ibu Keristiana,
M.Hum. sebagai pembimbing II, yang telah membimbing, memberikan
saran dan kritik serta motivasi guna menyelesaikan skripsi ini.
4.
Ayahanda tercinta, Fahmi Muchtar (alm) yang telah mengajarkan kerasnya
kehidupan kepada penulis dan Ibunda tercinta, Ratna, atas doa dan didikan
kesabaran yang tidak pernah berhenti. Serta seluruh keluarga besar
Muchtar.
5.
Teman-teman Sasindo dari berbagai stambuk, khususnya stambuk 2005.
Sahabatku Astari Wulan dan Safta Hadi, yang tidak pernah lelah
memberikan semangat kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan
dapat membangkitkan minat untuk membicarakan ilmu sastra lebih dalam.
Medan, Desember 2012
KEKUATAN UNSUR INTRINSIK CERPEN
DALAM KUMPULAN CERPEN
AH. . . GERIMIS ITU
KARYA HIDAYAT BANJAR:
ANALISIS STRUKTURAL
ABSTRAK
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
... i
PERNYATAAN
... ... ii
KATA PENGANTAR
... ... iii
ABSTRAK
... v
DAFTAR ISI
... vi
BAB I PENDAHULUAN
... ... 1
1.1
Latar Belakang Masalah ... ... 1
1.2
Rumusan Masalah ... 4
1.3
Batasan Masalah ... 4
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
1.4.1 Tujuan Penelitian ... 7
1.4.2 ManfaatPenelitian ... 8
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN TINJAUAN PUSTAKA
... ... 9
2.1 Konsep ... 9
2.2 Landasan Teori ... 10
2.3 Tinjauan Pustaka ... 12
BAB III METODE PENELITIAN
... 13
3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... ... 13
3.2 Metode Analisis Data ... 14
BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN
AH...GERIMIS ITU
KARYA HIDAYAT BANJAR
... 17
4.1
Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik ... 17
4.1.1
Tokoh (Penokohan) ... 17
4.1.2
Latar ... 23
4.1.3
Alur ... 29
4.1.4
Sudut Pandang ... 38
4.1.5
Gaya Bahasa ...44
4.1.6
Tema ... 54
4.2
Hubungan Unsur-Unsur Intrinsik ... 67
4.2.1
Hubungan Tokoh (Penokohan) Dengan Latar, Alur, Sudut
Pandang, Gaya Bahasa, Tema, dan Amanat ... 67
4.2.2
Hubungan Latar Dengan Alur, Sudut Pandang, Gaya Bahasa,
Tema, dan Amanat ... 71
4.2.3
Hubungan Alur Dengan Sudut Pandang, Gaya Bahasa, Tema,
dan Amanat ... 73
4.2.4
Hubungan Sudut Pandang Dengan Gaya Bahasa, Tema, dan
Amanat ... 76
4.2.5
Hubungan Gaya Bahsa Dengan Tema dan Amanat ... 78
4.2.6
Hubungan Tema Dengan Amanat ... 79
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
... ... 85
5.1 Simpulan ... 85
5.2 Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA
... 88
KEKUATAN UNSUR INTRINSIK CERPEN
DALAM KUMPULAN CERPEN
AH. . . GERIMIS ITU
KARYA HIDAYAT BANJAR:
ANALISIS STRUKTURAL
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sastra menawarkan keindahan, kesenangan, dan pemahaman akan kehidupan.
Sastra menampilkan hiburan yang menyenangkan, menampilkan cerita yang
menarik, dan mempermainkan emosi pembaca untuk larut dalam arus cerita.
Lukens menyatakan bahwa tujuan memberikan hiburan, tujuan menyenangkan
dan memuaskan pembaca, merupakan hal yang bersifat esensial dalam sastra,
tidak peduli pembacanya itu dari kalangan muda ataupun tua, dari dewasa ataupun
anak-anak karena sastra selalu membicarakan tentang kehidupan. Karya sastra
juga dapat memperkaya pengetahuan dan pemahaman pembaca, melalui
eksplorasi terhadap berbagai bentuk kehidupan, rahasia kehidupan, penemuan dan
pengungkapan berbagai macam karakter manusia. (Nurgiyantoro, 1995: 3).
Wellek dan Austin Warren (1995: 276) mengatakan bahwa karya sastra adalah
hasil ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami
masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra mengandung kebenaran
yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar masyarakat berdasarkan
pengamatan seseorang terhadap kehidupan, tetapi betapa pun saratnya
pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan sebuah karya fiksi,
haruslah tetap merupakan cerita yang menarik. Tentu saja karya sastra harus
Dalam hal bersifat menarik dan bertujuan estetis, sebuah karya sastra haruslah
memiliki unsur
utile et dulce
yang berarti hiburan dan bermanfaat. Sesuai dengan
pendapat Horatius (Sudjiman, 1998: 12) bahwa karya sastra memang bersifat
utile
et dulce
; menyenangkan dan bermanfaat. Semua cerita fiksi memiliki kemiripan
dengan sesuatu dalam kehidupan ini, karena bahan yang digunakan oleh karya
tersebut berasal dari pengalaman hidup dan kondisi yang terjadi di kehidupan dan
berada di sekeliling kita.
Wellek dan Austin Werren juga menjelaskan, bahwa sebuah karya sastra
terbentuk dari sebuah struktur yang dibangun oleh unsur-unsur dasarnya seperti
alur, latar, tokoh dan sebagainya. Struktur tersebut tidak mampu berdiri sendiri,
harus memiliki hubungan atau keterkaitan.
Secara umum karya sastra memiliki beberapa bentuk, yaitu puisi, prosa, dan
drama. Salah satu bentuk prosa adalah cerita pendek atau sering diakronimkan
menjadi cerpen. Cerpen kurang mendapat apresiasi yang mendalam, dikarenakan
cerpen hanya dianggap sebuah cerita yang panjang isinya hanya sekitar 1500
sampai 15.000 karakter saja dan hanya dibaca habis sekali duduk (Poe dalam
Aziez, 2010: 33). Maksudnya, cerpen hanya dipublikasikan hanya untuk dibaca
saja, jarang sekali ada penelitian mendalam tentang sebuah cerpen atau kumpulan
cerpen.
Kurang bergemanya karya sastra Sumatera Utara di tanah Deli,
menggambarkan bahwa sastra Sumatera Utara kurang mendapat perhatian.
Utara kurang terdengar gemanya lagi. Padahal banyak pengarang besar Indonesia
berasal dari ranah Sumatera, contohnya Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sultan
Takdir Alisyahbana, dan yang lainnya.
Hidayat Banjar merupakan salah seorang satrawan Sumatera Utara yang
masih eksis dalam dunia tulis menulis sampai saat ini. Hidayat Banjar adalah
salah seorang penulis di bidang kesusastraan, baik dalam penulisan cerpen, esai,
maupun artikel sastra. Tahun 1982 ia menjadi mahasiswa jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Sastra (sekarang Ilmu Budaya), Universitas Sumatera Utara.
Setelah setahun kuliah, ia menjabat ketua Keluarga Besar Sastra Indonesia (KBSI)
Fakultas Sastra USU. Lalu pada tahun 1985, ia sempat meraih juara III penulisan
cerita pendek dan harapan I untuk penulisan puisi pada sayembara yang diadakan
oleh RRI Nusantara I Medan, bersamaan itu pula ia bergabung dengan media
Minggu Demi Masa (dahulu Mercu Suar) dan menjadi wartawan sekaligus
redaktur. Saat ini ia lebih sering menulis artikel tentang sastra dalam berbagai
media, salah satunya dalam media massa Analisa. Kumpulan cerpen
Ah… Gerimis
Itu
adalah kumpulan cerpen Hidayat Banjar yang pertama. Judul kumpulan cerpen
ini, yaitu
Ah…Gerimis Itu
merupakan salah satu judul cerpen dari 17 cerpen
lainnya. Pada Desember 2010, CV Valentino Grup penerbitkan novelnya ynag
berjudul Penjaga Mata Air.
Ketika penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya, mata kuliah
Sejarah Kesusasteraan oleh Drs. Irwansyah, M.S., Hidayat Banjar penulis
tumpukan buku dengan sampul depan bewarna kuning, dan buku-buku tersebut
terlihat sudah lama. Hidayat Banjar menagtakan bahwa ia sudah aktif dalam dunia
tulis-menulis sejak masih kuliah dan kumpulan cerpen
Ah… Gerimis Itu
adalah
kumpulan karyanya yang berhasil dibukukan pertama kali. Namun, menurut cerita
pengarang, selain tidak mendapat publikasi yang baik, kumpulan cerpen
Ah…Gerimis Itu
pernah menuai kritik dari Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S.
bahwa kumpulan cerepn tersebut belum pantas dikatakan sebuah karya sastra
karena sebahagian besar cerpen yang ada dalam buku tersebut ditulis pengarang
sesuai kejadian nyata yang didengar oleh pengarang saat meliput berita ketika
pengarang menjalankan tugas sebagai seorang jurnalis.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut penulis tertarik menelaah kumpulan cerpen
karya Hidayat Banjar dengan mengungkapkan jalinan struktur yang membangun
cerita atau unsur-unsur intrinsiknya sehingga kumpulan cerpen ini layak disebut
karya sastra.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah pada penelitian ini, rumusan masalah
yang akan dijelaskan adalah:
1.
Unsur-unsur intrinsik apa saja yang terdapat dalam cerpen pada kumpulan
cerpen
Ah… Gerimis Itu?2.
Bagaimana hubungan unsur intrinsik dalam cerpen pada kumpulan cerpen
1.3
Batasan Masalah
Suatu penelitian pasti memiliki beragam masalah, oleh karena itu peneliti
membuat batasan masalah dalam penelitian ini, yang berfungsi untuk membatasi
sebuah persoalan yang ingin dikaji dan penelitian tidak menyimpang dari tujuan
yang akan dicapai.
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah strukturasi kumpulan cerpen
Ah… Gerimis Itukarya Hidayat Banjar, yaitu pembahasan ynag dilakukan untuk
menguraikan struktur yang membangun karya dalam kumpulan cerpen tersebut,
yang meliputi alur, latar, tokoh (penokohan), gaya bahasa, sudut pandang, dan
amanat. Selanjutnya, dari unsur-unsur seperti alur, latar, tokoh (penokohan), gaya
bahasa, sudut pandang, dan amanat akan mengacu pada satu tema cerita atau
makna keseluruhan yang ingin disampaikan pengarang dari kumpulan cerpen
Ah… Gerimis Itukarya Hidayat Banjar.
Penulis juga membatasi sampel dari penelitian ini, dari tujuh belas cerpen
yaitu:
1.
Oh, Isteri dan Anakku
2.
Ah, Kita Sama-Sama Hiprokit
3.
Wartawan
4.
Mia
5.
Jeruk
6.
Bom
7.
Perwujudan
8.
Ah...Gerimis Itu
9.
But Mukhtar
10.
Lelaki Itu
11.
Opportunitis
12.
Tahun 2500
13.
Acun
14.
Ketika Semester Usai
15.
Kawin Undi
16.
Urip
18
Setelah dilakukan pemilihan, peneliti hanya meneliti lima cerpen saja yaitu:
1.
Bom
2.
Ah...Gerimis Itu
3.
Opportunitis
4.
Kawin Undi
5.
Alunan Biola Penghabisan
Menurut penulis kelima cerpen tersebut sangat menarik karena sarat dengan
pesan moral yang disampaikan secara ringan, menggelitik, konyol, dan dilematis.
Misalnya pada cerpen
Bom
, pengarang ingin menyampaikan tingginya budaya
kolusi sehingga menciptakan ledakan pengangguran di negri ini. Tokoh Dayat
dalam cerpen
Bom
, yang notabene adalah seorang pengangguran, mengirim surat
ke kantor-kantor pemerintahan yang berisi bahwa di desanya ada bom. Begitu
semua orang panik dan mulai mencari-cari dimana letak bom tersebut, barulah ia
mengatakan banyaknnya bom di negri ini yang akan meledak, bom-bom itu
adalah para pemuda yang menganggur karena tidak mampu membayar persekot
(uang suap) ketika melamar kerja.
Kekonyolan yang dilematis terjadi pada kematian Somad tokoh dalam cerpen
Ah...Gerimis Itu
. Somad meninggal karena Imah, istrinya, menyatukan kembali
jempol Somad yang harus diamputasi karena tersengat bisa ular. Padahal jempol
Somad telah diamputasi beberapa tahun yang lalu. Kematian Somad membuat
kesedihan dan penyesalan berkepanjangan bagi Imah, sang istri. Imah merasa
18
Cerpen
Kawin Undi
menggambarkan dekadensi moral yang dialami
masyarakat, khususnya pemuda. Namun, kritik sosial yang penting ini disajikan
pengarang dengan cerita yang menggelitik.
Seorang kembang desa yang dihamili oleh tujuh pemuda desa, harus
melakukan undian layaknya arisan untuk menentukan siapa diantara ketujuh
pemuda tersebut yang akan menjadi suaminya. Ketujuh pemuda tersebut dengan
senang hati mengikuti undian di hadapan seluruh masyarakat desa. Akhirnya
Sigit, anak Bapak Kepala Desa yang sangat dihormati, keluar senbagai pemenang
undian.
Sebuah cerita dengan banyak tokoh, tetapi tidak memiliki tokoh sentral dalam
cerita, semua tokoh memiliki kapsitas kemunculan yang sama. Itulah yang
disajikan pengarang dalam cerpen
Opportunitis
. Amanat disampaikan secara
langsung oleh pengarang, tetapi tema yang tersirat disamapikan melalui gambaran
perasaan tokoh.
Alunan Biola Penghabisan
bercerita tentang kematian yang tertunda seorang
pejuang bernama Pak Karta. Pak Karta terbelenggu dalam sakaratul maut karena
kerinduannya pada masa-masa muda sebagai seorang pejuang tak kunjung
terjawab. Kehidupan Pak Karta setelah kemerdekaan direbut dari penjajah,
hanyalah sebagai seorang tukang pangkas pinggir jalan. Sulitnya kehidupan yang
dijalani membuat Pak Karta tak sempat lagi meluangkan waktu untuk menikmati
hobinya, menggesek biola kesayangannya. itulah kerinduan terbesar yang
membelit jiwa Pak Karta.
18
yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih
banyak ditonjolkan kualiatas pekerjaan atau kebangsaannya.
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik seperti alur, latar, tokoh,
penokohan, gaya bahasa, sudut pandang, tema, dan amanat yang
terdapat dalam cerpen pada kumpulan cerpen
Ah….Gerimis Itu
karya
Hidayat Banjar.
2.
Menjelaskan keterkaitan antar unsur yang terdapat dalam cerpen pada
kumpulan cerpen
Ah….Gerimis Itu
karya Hidayat Banjar.
1.4.2
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini, adalah:
a.
Menjadi bahan bacaan dan referensi bagi mahasiswa Fakultas Ilmu
Budaya, khususnya mahasiswa Departemen Sastra Indonesia.
b.
Memberikan informasi kepada pembaca tentang unsur-unsur intrinsik
yang terdapat pada cerpen pada kumpulan cerpen
Ah….Gerimis Itu
karya Hidayat Banjar.
c.
Memperkaya apresiasi, penelitian, dan kajian terhadap cerpen
Indonesia, khususnya di Sumatera Utara.
18
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep merupakan ide-ide, penggambaran hal-hal, atau benda-benda
ataupun gejala sosial yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Marlo, 1985:46).
Dalam Kamus Istilah Sastra, konsep berarti gambaran mental dari objek, proses
dari segala sesuatu yang berada di luar bahasa dan yang digunakan akal budi
untuk memahami sesuatu (2006:143). Sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, konsep berarti rancangan kasar dari sebuah tulisan (2010:286).
Konsep berfungsi untuk menyederhanakan pemikiran terhadap ide-ide,
hal-hal, benda-benda, maupun gejala sosial, agar memudahkan adanya
keteraturan; sehingga memudahkan terjadinya komunikasi. Konsep dalam suatu
penelitian juga dimaksudkan untuk memahami istilah atau kata, serta hal-hal yang
dijadikan acuan terhadap hal yang berhubungan dengan penjabaran maupn
permasalahan yang dianalisis. Konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial
walaupun istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun makna dan
pengertiannya dapat berubah (Marlo, 1985:47).
Ada beberapa konsep dalam penelitian ini. Adanya perbedaan mengenai
makna dan pengertian suatu konsep dalam bahasa sehari-hari, maka penulis akan
mendefinisikan istilah-istilah yang merupakan konsep dalam peneliatian ini.
A.
Sastra
18
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi’. Akhiran –
tra
biasanya
menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu
sastra
dapat berarti ‘alat untuk mengajar,
buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran’.
B.
Struktural
Abrams (Nurgiyantoro, 1995:46) mengatakan bahwa struktural adalah
struktur karya sastra yang dijadikan sebagai susunan penegasan, gambaran semua
bahan, dan bagian yang menjadi komponennnya yang secara bersama membentuk
kebulatan yang indah.
C.
Instrinsik
Segi intrinsik karya sastra adalah hal-hal yang membangun karya sastra itu
dari dalam. Pada umumnya para ahli membagi unsur intrinsik atas alur (plot),
tokoh (penokohan), latar cerita (setting), titik pandang (sudut pandang), gaya
bahasa, amanat, dan tema (Tjahjono, 1988:44; Siswanto, 2008: 142).
D.
Cerita Pendek (Cerpen)
Poe (Aziez, 2010:33) mengatakan bahwa cerpen atau cerita pendek adalah
sebuah karya sastra yang panjang isinya berkisar antara 1.500 sampai 15.000 kata
dan biasanya akan terbaca habis hanya dalam sekali duduk.
2.2 Landasan Teori
Penelitian yang bersifat ilmiah memerlukan adanya landasan teori, agar
penelitian tersebut tidak menyimpang atau terarah sesusai dengan tujuan yang
18
di dalamnya tercakup tentang alur, latar, tokoh, penokohan, tema, sudut pandang,
amanah, dan gaya bahasa ini akan dijelaskan dengan teori atau pendekatan
struktural.
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan Praha.
Pendekatan ini mampu memengaruhi langsung teori Ferdinand de Saussure yang
mengubah linguistik dari pendekatan diakronik menjadi sinkronik. Maksudnya
adalah, bahwa studi linguistik ataupun sastra tidak lagi melakukan penekanan
pada sejarah perkembangannya, melainkan lebih terfokus pada hubungan antar
unsurnya. Itulah sebabnya, yang menjadi pusat sasaran pendekatan struktural
adalah hubungan antar unsur (Yusuf, 2009: 14-16).
Teeuw (1984:135) berpendapat bahwa pendekatan struktural ataupun analisis
struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
semenditel, dan mendalam mungkin tentang keterkaitan dan keterjalinan semua
anasir dan aspek karya sastra yang berasama-sama menghasilkan makna
menyeluruh.
Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 1995: 46), sebuah karya sastra yang
dianalisis secara struktural merupakan sebuah totalitas yang dibangun secara
koherensif dari semua unsur karya sastra dan merupakan sebuah komponen yang
secara bersama membentuk kebulatan yang indah.
Endaswara (2008: 50) mengatakan;
18
Unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita dan sarana
sastra. Fakta cerita terdiri atas alur, tokoh (penokohan), dan latar, sedangkan
sarana cerita terdiri atas gaya bahasa dan suasana (Suwondo dalam Jabrohim,
2001: 58)
Analisis dengan pendekatan struktural terhadap karya sastra dapat dilakukan
dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan
hubungan antarunsur intrinsik yang saling memiliki keterkaitan. Mula-mula akan
diidentifikasi dan dideskripsikan tentang bagaimana alur, latar, tokoh, penokohan,
sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa, selanjutnya akan dijelaskan fungsi dari
masing-masing unsur tersebut dalam menunjang makna keseluruhan, serta
bagaimana hubungan antarunsur itu yang secara bersama-sama membentuk suatu
totalitas kemaknaan yang padu.
Pendekatan struktural yang mengkaji hubungan antarunsur dari
unsur-unsur intrinsik ini penulis pergunakan sebagai upaya dalam menjelaskan dan
memahami hubungan atau keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya
sastra, khususnya dalam kumpulan cerpen
Ah….Gerimis Itu
karya Hidayat Banjar.
Sehingga tercapailah tujuan dari penelitian ini yang sekaligus menjadi landasan
teori dalam proposal penelitian ini.
2.3 Tinjauan Pustaka
Suatu penelitian harus memiliki objek, artinya penelitian harus memiliki
18
Menurut sepengetahuan dan pengamatan peneliti, kumpulan cerpen
18
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam proposal ini peneliti menggunakan metode dan teknik pengumpulan
data dengan cara penelitian kepustakaan (
library research
), yaitu penelitian yang
datanya diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku-buku, dokumen, arsip dari
perpustakaan, serta didukung bahan acuan lainnya yang berhubungan dengan
struktural dan sastra.
Data yang dipergunakan dalam proposal penelitian ini adalah data kualitatif,
yaitu data-data yang berupa kata-kata, kalimat, ungkapan. Hal ini sependapat
dengan Aminuddin (1990:16) yang mengatakan bahwa data kualitatif adalah data
yang berupa kata-kata atau gambar bukan angka-angka. Dari data yang berupa
kata-kata, kalimat, dan gambar ini akan menjelaskan tentang unsur-unsur intrinsik
dari kumpulan cerpen
Ah...Gerimis Itu
karya Hidayat Banjar.
Sumber data pada penelitian ini terdiri atas dua bagian, yaitu yang pertama
adalah sumber data primer. Sumber data primer merupakan data yang langsung
diperoleh dari sumber awal atau sumber pertama yang sekaligus menjadi objek
utama penelitian. Sumber data primernya sebagai berikut :
Judul
:
“Ah….Gerimis Itu”
Penulis
: Hidayat Banjar
Penerbit
: Monora
Tebal buku
: 97 halaman
18
Ukuran
: 14,5 x 20,5 cm
Warna sampul
: Kuning, coklat dan merah.
Gambar sampul
: gambar seekor naga yang hendak memangsa
seorang manusia.
Desain sampul
: Wahyudi, S.S.
Kedua, sumber data yang diambil dari buku-buku teori tentang sastra yng
dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini.
3.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Hasan (Koenjaraningrat, 1978:7) mengatakan bahwa metode adalah cara atau
jalan untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif adalah salah satu metode yang diartikan sebagai sebuah prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan
keadaan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang terlihat atau
sebagaimana adanya. Hasil-hasil penelitian struktural, sastra, dan prinsip-prisip
yang dikemukakan ilmuwan dalam ilmu tersebut digunakan untuk memahami,
menganalisis, serta menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah karya
sastra, dalam penelitian ini adalah terhadap kumpulan cerpen
Ah….Gerimis Itu
karya Hidayat Banjar.
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik
18
adanya sinopsis cerita (Pradopo, 2001: 84). Pembacaan
heuristik
dapat juga
dikatakan sebagai penerangan tentang bagian-bagian secara berurutan dari sebuah
karya sastra. Dalam pembacaan
heuristik
, dilakukan interpretasi secara
referensional melalui tanda-tanda linguistik.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rifaterre dalam Jabrohim (2001: 12),
“Membaca karya sastra dimulai dengan langkah heuristik, yaitu pembacaan
dengan jalan meniti tataran gramatikalnya dari segi mimetisnya dan
dilanjutkan dengan pembacaan retroaktif, yaitu bolak-balik sebagaimana yang
terjadi pada metode hermeneutik untuk menangkap maknanya.”
Pembacaan
hermeuneutik
adalah pembacaan yang berulang atau retroaktif
untuk memperoleh penafsiran tentang teks yang telah dibaca (pradopo, 2001; 84).
Dalam pembacaan hermeuneutik, pembacaan dilakukan secara berulang melalui
teks yang telah dibaca dari awal hingga akhir, kemudian mengingat kembali
penafsiran-penafsiran atau kejadian-kejadian dalam teks tersebut dan selanjutnya
memodifikasi dengan pemakaian sendiri berdasarkan peristiwa-peristiwa yang
terdapat pada kumpulan cerpen
Ah….Gerimis Itu
karya Hidayat Banjar. Seperti
hubungan penokohan dengan latar dalam cerpen
Opportunitis
, seorang petani
kecil yang digambarkan melalui tokoh A, diberi latar memiliki rumag berdinding
tepas, jauh dari kebisingan kota.
“A seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapi lumpur, tanah, dan
alang-alang. Dengan rumah berdinding tepas, jauh dari kebisingan kota. Pada
saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat inilah
yang selalu mencekam perasaannya.” (Halaman61)
Untuk membatasi masalah, peneliti juga menggunakan metode sampling,
18
keadaan yang sebenarnya dalam keseluruhan populasi (Koentjaraningrat dalam
Jabrohim, 2001: 41).
Populasi adalah jumlah keseluruhan atau unit yang akan diteliti karakteristik
atau ciri-cirinya (Djojosuroto, 2000: 93). Artinya, populasi dalam penelitian ini
adalah tujuh belas cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen
Ah. . . Gerimis Itu
karya Hidayat Banjar. Namun, peneliti hanya meneliti limacerpen yang diambil
secara acak sebagai sampel. Adapun sampel penelitian adalah sebagian unit-unit
dalam populasi yang menjadi objek penelitian. Besarnya sampel tidak boleh
kurang dari 10 persen (Djojosuroto, 2000: 93-95)
Dari lima cerpen yang menjadi sampel dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Bom
2.
Ah...Gerimias Itu
3.
Opportunitis
4.
Kawin Undi
5.
Alunan Biola Penghabisan
akan diambil kesimpulan yang menggambarkan populasi dalam penelitian ini,
18
BAB IV
ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN
AH...GERIMIS ITU
KARYA HIDAYAT BANJAR
4.1 Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik
4.1.1 Tokoh (Penokohan)
Dalam cerita fiksi sering dipergunakan istilah seperti tokoh dan penokohan, watak
dan perwatakan, atau karakter, secara bergantian dengan penunjuk pengertian yang
hampir sama. Istilah tokoh, menunjuk pada orangnya, pelaku cerita atau
individu-individu yang mucul dalam cerita. Seperti ketika ada orang yang bertanya, “Siapakah
tokoh utama dalam novel tersebut?” Atau “Berapa jumlah tokoh dalam cerita
tersebut?” Penokohan sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang
merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip
moral pada individu tersebut. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Stanton, 2007: 33; Nurgiyantoro,
1995: 165).
Menurut Abrams (1997) penokohan adalah perwatakan, yaitu mengenai sifat,
tabiat atau perangai tokoh yang terdapat dalam cerita atau drama. Penokohan dapat
juga dikatakan sebagai proses penciptaan citra tokoh yang terdapat dalam sebuah
karya sastra, pembaca cenderung mengklasifikasikan tokoh dengan tokoh protagonis
dan antagonis (Sudjiman, 1991: 161). Jadi, penokohan adalah cara pengarang
menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam cerita rekaan.
Penciptaan citra atau karakter ini merupakan hasil imajinasi pengarang untuk
18
Pengarang dalam kumpulan cerpen
Ah...Gerimis Itu
, melukiskan penokohan
dengan teknik dramatik, yaitu menampilkan tokoh mirip drama, dilakukan secara
tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara
eksplisit
sifat
dan sikap serta tingkah laku tokoh. Penokohan akan tampak pada percakapan
yang dilakukan oleh tokoh, melalui tingkah laku tokoh, perasaan tokoh, reaksi
tokoh lain, pelukisan latar, atau melalui pelukisan fisik tokoh (Nurgiyantoro,
1995: 198-211).
Dalam cerpen
Bom
, pengarang menggambarkan tokoh Dayat sebagai sosok
yang pintar, idealis, dan kritis dengan keadaan, melalui teknik cakapan dan
tingkah laku. Teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal
yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyarankan pada
tindakan yang bersifat nonverbal, fisik (Nurgiyantoro, 1995: 203).
Sikap idealis tokoh Dayat digambarkan dengan teknik tingkah laku, seperti
berikut ini:
Telah tiga tahun Dayat mengangur. Ia menganggur bukan karena ia pemalas,
bukan pula karena otaknya bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak mau
bermain-main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahaan ini dan
pernah pula ke perusahaan itu, koneksinya mengatakan, “Yat, kalau kau tidak
sanggup membayar empat retus ribu ke atas, jangan harap kau dapat pekerjaan.”
(Halaman 27)
Meski sakit hati karena tidak juga memiliki pekerjaan, Dayat tetap memegang
teguh prinsip hidupnya, tidak mau melakukan kolusi.
Sikap kritis tokoh Dayat dalam cerpen
Bom
digambarkan dengan teknik
reaksi tokoh, yaitu reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata,
dan sikap-tingkah-laku orang lain yang berupa rangsang dari luar diri tokoh.
18
Hari itu, kantor PEMDA (Pemerintah Daerah), kantor Depnaker (Departemen
tenaga kerja), Kantor Polda (Polisi Daerah), Kantor PM (Polisi Militer), dan
kantor Kepala Kampung juga Kepala Lingkungan di mana tempat Dayat menetap,
datang sepucuk surat cukup singkat isinya namun begitu mengejutkan. (Halaman
28)
Cerpen Ah...Gerimis Itu bercerita tentang tokoh Imah, wanita yang hidup dalam
penyesalan. Kecintaannya terhadap sang suami yang meninggal dunia secara mendadak
membuat Imah terus menyalahkan dirinya sebagai penyebab kematian suaminya.
Penokohan Imah dilukiskan melalui teknik kesadaran, teknik yang menggambarkan
tingkah laku batin tokoh, seperti berikut ini:
Dalam temaramnya lampu teplok, Imah tadahkan tangan, mohon keampunan pada Khalik atas dosa-dosanya. Menurut Imah, dirinyalah sumber petaka. Dirinyalah penyebab sang suami pergi untuk selama-lamanya. Ya, suaminya menghadap sang Khalik ketika gerimis di ujung senja. Itulah sebabnya Imah jadi ngilu bila gerimis tiba. (Halaman 42)
Cerpen Opportunitis memiliki tujuh tokoh sederhana yang tidak memiliki nama,
hanya inisial abjad A, B, C, D, E, F, dan G. Ketujuh tokoh tersebut memiliki watak yang
sama, tidak bersyukur pada hidup dan terus tenggelam dalam penyesalan atas hidup
yang mereka pilih.
Ketidaksyukuran para tokoh digambarkan melalui teknik cakapan, seperti berikut
ini:
“Aikh... alangkah nikmatnya bila aku hidup di kota, dimana kehidupan seakan tidak pernah berhenti. Siang, kita dapat menikmati keriuhan, malam, kita pun dapat menikmati hiburan-hiburan dari panggung kelas wahid sampai panggung kelas kambing. Dan juga hiburan-hiburan lain, sungguh menyenangkan. Alangkah baiknya jika dulu aku dilahirkan di kota. Aku tidak akan kesunyian begini rupa,” . . . . (Halaman 62)
Bapak Kepala Desa, sang tokoh utama dalam cerpen Kawin Undi, adalah seorang
pemimpin yang loyal, begitu mencintai pekerjaan dan rakyatnya. Setiap kali alam
menampakkan tanda ketidakwajaran Bapak Kepala Desa pun gelisah, takut sesuatu yang
buruk akan terjadi pada desa yang dicintainya. Sikap loyal Bapak Kepala Desa tergambar
18
“Bukne, siapa lagi yang bakal……, sudah seminggu kudengar ayam jantan berkokok di saat senja akan berangkat malam,” bapak Kepala Desa mengeluarkan gelisahnya pada sang istri saat mereka menikmati angin senja di beranda rumah. (Halaman 81)
Bapak Kepala Desa juga seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya, memiliki
wibawa dan dipatuhi. Tergambar melalui reaksi tokoh lain dalam cerpen Kawin Undi,
berikut ini:
Saudara-saudara, saya harap yang tidak berkepentingan sudilah untuk menunggu di luar.”
Mendengar suara Bapak Kepala Desa, mereka pun bubar satu persatu. Anak-anak dan istri Kepala Desa kembali memasuki kamarnya masing-masing. Tinggallah dalam ruangan itu, Bapak Kepala Desa, Pak Bohim, Bu Bohim, dan Siti sebagai pesakitan. (Halaman 85)
Bapak Kepala Desa juga pemimpin yang adil dan bijaksana. Walaupun yang
bersalah adalah anggota keluarganya sendiri, hukum tetap ditegakkan.
“Sigit? Sigit anak saya ikut?” Sekali lagi Bapak Kepala Desa dikejutkan oleh jawaban Siti. Ia serasa tak yakin. . . . Setelah menarik napas dalam-dalam, berpikir beberapa saat, barulah agak tenang sedikit perasaan Bapak Kepala Desa. Lalu Bapak Kepala Desa menyimpulkan malam ini juga harus diselesaikan. Maka ia pun menyuruh beberapa orang untuk ke kantor Kepala Desa dan sebahagian lagi disuruh untuk menjemput nama-nama yang dikatakan Siti. (Halaman 86-87)
Berbeda dengan cerpen lainnya, cerpen
Alunan Biola Penghabisan
menggunanakan tokoh tipikal, yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan
keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 1995: 190). Dalam
cerpen tersebut, Pak Karta sebagai tokoh utama, tersiksa dalam kerinduan
mendalam akan masa perjuangan dan alunan biola yang selalu menemaninya
ketika muda. Kerinduan yang tak tersalurkan membuat Pak Karta tidak bisa lepas
dari sakaratul maut. Orang-orang di sekitar Pak Karta menduga Pak Karta
memiliki ilmu hitam. Hingga akhirnya Brata, teman seperjuangan Pak Karta
18
kemerdekaan berhasil direbut. Setelah bercerita Brata memainkan biola
kesayangan Pak Karta dan mengalunkan lagu Selendang Sutra. Pak Karta dalam
cerpen
Alunan Biola Penghabisan
adalah gambaran seorang pejuang secara umum
yang tidak lagi dihargai setelah kemerdekaan berhasil direbut.
Individualitas tokoh Pak Karta tidak digambarkan secara langsung oleh
pengarang. Keadaan yang mengiringi cerita, cerita dari tokoh lain, sikap diam dan
gerak-gerik mata Pak Karta, menunjukkan watak tokoh Pak Karta dalam cerpen
Alunan Biola Penghabisan.
Seperti dalam kutipan berikut ini:
Lelaki tua itu bercerita, bahwa ia temannya Pak Karta semasih muda. Dan
segla kegemaran Pak Karta hampir tidak berbeda dengan kegemarannya. Pak
Karta semasih muda adalah seorang pejuang, yang gagah berani, itu diketahui
lelaki tua itu, karena ia juga seorang bekas pejuang. Ketika kemerdekaan telah
direbut, nasib Pak Karta berubah, ia menjadi seorang tukang pangkas, . . . .
(Halaman 96)
Ketimpangan kehidupan dari harapan yang telah diperjuangkan dengan
pengorbanan keringat dan darah melalui pertempuran membuat Pak Karta tersiksa
dalam sakaratul maut karena dibalut kerinduan masa lalu.
Telah hampir seminggu pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga pak Karta
telah sibuk. Sebahagian sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan
yang dimiliki oleh pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab
pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja pak Karta telah sukar,
jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah
semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk
yang telah lama tak ditemuinya. (Halaman 94)
Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen
Ah…Gerimis Itu
karya Hidayat Banjar
dilukiskan dengan teknik dramatik, baik melalui tingkah laku, kata-kata,
kejadian-kejadian yang diceritakan, menunjukkan sifat dan pendirian masing-masing
tokohnya. Dengan cara itu cerita akan menunjukkan keterkaitan yang erat antar
18
4.1.2 LatarLatar atau setting adalah sesuatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam
penceriteraan. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (1991: 46).
Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar bukan hanya menunjuk tempat,
atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada
pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya. Abrams dalam Nurgiyantoro
(1995: 216) menyebutkan latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan. Jadi, latar adalah suasana yang melingkupi cerita berupa tempat,
waktu, dan keadaan sosial budaya di setiap peristiwa dalam cerita.
Latar tempat dalam kumpulan cerpen Ah…Gerimis Itu karya Hidayat Banjar
digambarkan secara umum, tidak memiliki nama. Misalnya, latar hanya digambarkan
dalam sebuah rumah, desa, atau instansi pemerintahan tanpa nama lembaga atau
daerah.
Cerpen berjudul Bom memiliki latar tempat kantor PEMDA (Pemerintah Daerah),
kantor Depnaker (Departemen tenaga kerja), Kantor Polda (Polisi Daerah), Kantor PM
(Polisi Militer), Kantor Kelurahan dan Kepala Lingkungan.
Hari itu kantor PEMDA (Pemerintah Daerah), kantor Depnaker (Departemen tenaga kerja), Kantor Polda (Polisi Daerah), Kantor PM (Polisi Militer), kantor Kepala Kampung juga Kepala Lingkungan di mana tempat Dayat menetap, datang sepucuk surat cukup singkat isinya namun begitu mengejutkan. (Halaman 28)
Namun, latar yang mengiringi peristiwa puncak adalah rumah Dayat, desa tempat
tinggal Dayat, kantor polisi, dan Kantor Kelurahan.
18
untuk berjumpa dengannya dan sekaligus membuktikan kebenaran dari surat Dayat yang lalu. . . .
Di kantor kepolisian Dayat mulai diinterogasi, memberi informasi. . . .
Desa lingkungan 007 riuh, kepala-kepala lingkungan berkumpul di kantor kelurahan dimana tempat Dayat menetap. . . . (Halaman 29 – 30)
Dibandingkan dengan cerpen Bom, cerpen Ah...Gerimis Itu memiliki latar yang lebih
kompleks, karena memiliki latar waktu, tempat, dan suasana yang mendukung cerita.
Latar waktu pada cerpen menunjukkan waktu subuh, pagi, senja, dan malam, semua
dipaparkan jelas sebagai pengiring peristiwa dalam cerita.
Latar waktu yang menunjukkan waktu pagi pada cerpen:
Sejak subuh tadi, tamu yang membosankan dirinya sudah tiba. Semula Imah coba tak memperdulikan kehadiran sang gerimis yang menyiksa. Ia ambil sajadah dan bersujud dengan suatu keharuan yang dalam. Pada sujud yang terakhir sempat juga ia menitikkan air mata. (Halaman 41 – 42)
Latar waktu yang menunjukkan waktu senja :
Imah juga ingat saat-saat indah yang pernah singgah sejenak di hatinya. Di sebuah senja, beberapa orang pemuda numpang berteduh di emperan rumahnya karena tak tahan akan dinginnya gerimis. Oleh abahnya, pemuda-pemuda itu disuruh masuk ke dalam rumah. (Halaman 42)
Latar waktu yang menunjukkan waktu malam:
“Imah, malam ini Abang ingin tuangkan semua yang terkandung di dalam hati Abang. Ya, seprti kata pepatah kita kalau tak ada berada manalah mungkin tempua bersaranng rendah,” tutur Somad dengan penuh keberaniannya. (Halaman 42)
Yang khas dalam cerpen Ah...Gerimis Itu, latar tempat dan latar waktu pada cerpen
selalu diiringi oleh suasana gerimis. Kejadian-kejadian penting pada tokoh cerita, dari
mulai pertemuan pertama antar Imah dan Somad, saat-saat indah Imah dan Somad
merajut kemesraan dan saat kematian Somad yang dramatis.
Imah juga ingat saat-saat indah yang pernah singgah sejenak di hatinya. Di sebuah senja, beberapa orang pemuda numpang berteduh di emperan rumahnya karena tak tahan akan dinginnya gerimis. Oleh abahnya, pemuda-pemuda itu disuruh masuk ke dalam rumah. (Halaman 42)
Latar tempat dalam cerpen Ah. . . Gerimis Itu, sama seperti dalam cerpen Bom,
18
. . . . Desa pantai di mana ia tinggal sepertinya jadi mati. Padahal di luar, nelayan dan anaknya tak pernah tahu akan gerimis, tak pernah hirau akan gerimis. Kebutuhan hidup yang membelit bisa melupakan kondisi alam. (Halaman 41)
Dalam cerpen Oportunitis latar sebagai atmosfer, artinya berupa kondisi yang
mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana sedih, muram, maut, misteri
dan sebagainya. Latar yang memberikan atmosfer cerita biasanya berupa latar
penyituasian (Nurgiyantoro, 1995: 244).
Berikut kutipan latar sebagai atmosfer dalam cerpen Oportunitis:
C seorang penarik becak, hari-harinya ia lalui dengan genjotan pedal becak. Perutnya tidak akan berisi jika kakinya tidak mengayuh. Baginya hujan dan panas bukan untuk dihindari tapi untuk dihadapi. Siang yang terik saat mentari di ubun-ubun, di mana manusia duduk mengaso, menghindari kulit dari sengatan mentari. Tapi bagi si C itu tidak ada, ia harus mengayuh terus. Saat-saat seperti ini selalu saja ia bermimpi jadi seorang pedagang walau hanya pedagang kelas sedangan, itu baginya satu kebahagiaan. (Halaman 62-63)
Ada tujuh tokoh dalam cerpen Oportunitis, dan latar pada cerpen sebagai
pendukung penggambaran semua tokoh.
Cerpen Kawin Undi juga memiliki latar tempat, waktu, dan suasana. Latar tempat
pada cerpen tersebut adalah teras rumah, kamar mandi, dan kantor kelurahan, sama
seperti cerpen-cerpen sebelumnya tidak ada tempat yang spesifikasi.
. . . . Sudah menjadi kebiasaan di kampung itu bila hari telah gelap seolah kehidupan tiada lagi. Orang-orang kampung itu mengurung diri di rumah. Bapak Kepala Desa gelisah hatinya, persoalan siapa pula yang harus ia hadapi kali ini, inilah yang ia pikirkan. …… (Halaman 83)
Peristiwa dalam Cerpen Kawin Undi berlangsung kurang dari 24 jam, mulai senja
hingga malam yang tidak diketahui batasnya, sehingga latar waktu dalam cerpen pun
sebatas senja hingga malam.
Latar waktu yang menunjukkan senja, merupakan awal peristiwa. Seperti dalam
kutipan berikut:
18
Cerita diakhiri dengan kemenangan tokoh Sigit dalam undian. Peristiwa tersebut
berlangsung pada malam hari. Berikut kutipan bagian akhir cerita yang menunjukkan
latar waktu malam dalam cerpen Kawin Undi:
Malam itu, kantor Kelurahan riuh. Sebuah sidang sedang berjalan di sini. Ketujuh pemuda sebagai pesakitan. Siti sebagai saksi tunggal. Pimpinan sidang Bapak Kepala Desa sendiri, juru tulis adalah sekretaris kelurahan. Malam yang sunyi berubah seketika. (Halaman 87)
Untuk memperkuat latar waktu, pengarang juga menggambarkan suasana yang
mengiringi waktu dalam cerita.
Malam sunyi, angin pun seakan enggan bertiup. Sesekali terdengar lolongan anjing yang panjang dan diselingi kokok ayam jantan yang sayup-sayup terdengar. Malam memang larut, walau demikian kampung itu begitu sunyi bila malam turun. Sudah menjadi kebiasaan di kampung itu bila hari telah gelap seolah kehidupan tiada lagi. Orang-orang kampung itu mengurung diri di rumah. Bapak Kepala Desa gelisah hatinya, persoalan siapa pula yang harus ia hadapi kali ini, inilah yang ia pikirkan. …… (Halaman 83)
Cerpen Alunan Biola Penghabisan berlatar tempat sebuah rumah milik Pak Karta,
latar tempat yang dibalut dengan suasana. Suasana penantian, menanti kematian Pak
Karta. Ada yang menanti kematian Pak Karta agar Pak Karta segera terlepas dari
sakaratul maut, tetapi ada pula yang menanti kematian Pak Karta karena berharap
mendapat harta warisan.
Telah hampir seminggu Pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga Pak Karta telah sibuk. Sebahagian sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki oleh Pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab Pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja Pak Karta telah sukar, jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lam tak ditemuinya. (Halaman 94)
Kelima cerpen Bom, Ah...Gerimis Itu, oportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola
Penghabisan, memiliki unsur latar tempat atau waktu, atau memiliki latar tempat dan
waktu. Penampilan latar tersebut diiringi suasana. Hanya saja latar bersifat netral, tidak
18
Sifat yang ditunjukkan latar netral, lebih merupakan sifat umum terhadap hal yang
sejenis, misalnya desa, kota, hutan, pasar, sehingga jika tempat-tempat itu dipindahkan
tidak akan memengaruhi pemplotan dan penokohan (Nurgiyantoro, 1995: 221).
4.1.3 Alur
Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan dalam urutan
tertentu. Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun cerita itu disebut dengan alur
(plot) (Sudjiman, 1992: 19). Atar Semi (1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot
adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan karya fiksi.
Lebih lanjut Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 113) mengemukakan bahwa alur atau
plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
peristiwa yang lain. Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat atau
menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya.
Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur terbagi menjadi:
a. Alur maju (konvensional progresif) adalah teknik pengaluran dimulai dari
melukiskan keadaan hingga penyelesaian.
b. Alur mundur (flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan
menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai
melukiskan keadaan.
c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya
pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.
Cerpen Bom, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola Penghabisan memiliki alur
18
kronologis atau runtut. Dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan
konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian) (Nurgiyantoro,
1995: 154).
Tahap awal pada cerpen Bom, penyituasian.
Telah tiga tahun Dayat menganggur. Ia menganggur bukan karena ia pemalas bukan karena otaknya bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak maunya ia bermain-main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahaan ini dan pernah pula ke perusahaan itu, koneksinya mengatakan, “Yat, kalau kau tidak sanggup membayar empat ratus ribu ke atas, jangan harap kau akan dapat pekerjaan.” Sakit, sakit sekali hatinya mendengar perkataan itu. (Halaman 27)
Pengenalan:
Bagaimana tidak sakit, sewaktu masih di SMA dulu, Dayat pernah uji Intelegensia Quation (IQ)-nya, ternyata angka dari mesin penguji menunjukkan 135, bukan suatu angka yang bisa dimain-mainkan. Kenyataan itu dibuktikan lagi dengan hasil ujian akhirnya, STTB-nya menampakkan nilai 7,0 rata-rata, Dayat memperoleh rangking III dari 500 lebih siswa. Dengan ijazah SMA jurusan IPA (Ilmu Pasti Alam) itulah Dayat memasuki perusahaan-perusahaan, kantor-kantor. Kenyataannya sampai sekarang ia tidak juga dapat pekerjaan. Hal itu karena tidak adanya persekot, itulah kesimpulan kerjanya selama tiga tahun ini. Dengan satu tekad ia memberi satu putusan dalam hatinya bahwa tidak hanya dengan mengandalkan persekot ia dapat bekerja, aku harus bekerja tanpa persekot, itu ditanamkannya dalam hati. (Halaman 27-28)
Pemunculan konflik:
Bapak Yth.
Di desa saya, lingkungna 007 ditemui 1 kotak bom yang diduga masih aktif. Saya sebagai warga yang baik melaporkan hal ini kehadapan Bapak, agar Bapak dapat mengamankan bom tersebut.
Hormat saya penduduk Lingkungan 007
(Dayat) (Halaman 28)
18
Klimaks menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 127), adalah saat konflik
mencapai intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tak dapat
dihindari kejadiannya.
Klimaks pada cerpen Bom adalah ketika Dayat, sang tokoh utama berpidato di
hadapan semua tokoh dan aparat desa, guna memberikan penjelasan isi surat yang
dikirimkannya ke instansi-instansi pemerintahan yang ada di sekitar desanya.
“OK . . . Bapak-bapak dan Saudara-saudara, Bom itu berkekuatan sangat dahsyat sekali. Jika ia meledak seluruh kampung kita ini akan hancur dibuatnya. Dan bom itu tidak hanya ada di kampung kita ini saja. Di kampung-kampung lain juga banyak berserakan.” Mendengar seluruh kampung ada bom, orang tua pada tarik napas terutama kaum wanita.
“Tapi aparat pemerintah dan juga penduduk setempat kurang memperhatikan bom-bom yang ganas itu. Maka saya sebagai manusia yang berpikir merasa berkewajiban mengamankan bom-bom itu.” Mereka tambah riuh mendengar keterangan Dayat, tapi tak ada yang berani buka mulut. Dalam benak mereka terbayang sebuah kampung yang hancur oleh keganasan bahan peledak itu. Ya, Hirosima, Nagasaki, mereka membayangkan kedahsyatannya. (Halaman 31 – 32)
Tahap Akhir (Penyelesaian):
Tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian,
menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana akhir
atau penyelesaian cerita. Penyelesaian dalam cerita dapat berupa kebahagiaan atau
kesedihan, atau penyelesaian cerita yang masih menggantung, masih menimbulkan
tanda tanya, rasa penasaran, atau bahkan ketidakpuasan pembaca (Nurgiyantoro, 1995:
146 – 147)
Pada cerpen Bom, penyelesaian berupa penjelasan dari tokoh utama tentang
konflik yang dimunculkannya, seperti berikut ini:
18
Mereka terperangah mendengar ucapan Dayat. Astaga, itulah ucapan yang terlontar dari mulut mereka, tak pernah mereka berpikir sejauh itu. (Halaman 32)
Tahap Awal pada cerpen Opportunitis, penyituasian dan pengenalan:
A adalah seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapi lumpur, tanah dan alang-alang. Dengan rumah berdinding tepas, jauh dari kebisingan kota. Bila malam tiba, ia tidak akan melihat cahaya lampu yang gemerlapan lazimnya kehidupan kota. Pada saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat inilah yang selalu mencekam perasaannya. (Halaman 61)
Pemunculan konflik:
Keseluruhan konflik pada cerpen Opportunitis adalah konflik batin yang terjadi pada
diri tokoh-tokohnya.
“Seandainya dulu aku tidak meninggalkan kampungku, hidup dalam batas wajar saja, tidak menginginkan hidup muluk, tidak mengimpikan cahaya-cahaya berbagai warna dari lampu-lampu pertokoan yang selalu saja dihuni oleh orang kaya. Aku tidak akan hidup seperti ini menggelandang ke sana ke mari. Tidur di emperan toko dengan beralaskan apa saja. Seandainya dulu aku tidak meninggalkan kampungku, mungkin aku akan bias punya isteri yang baik yang bisa memperhatikan dan merawatku. Dan aku akan mempunyai anak-anak yang manis pelanjut kehidupan dan keturunanku. Duh……… betapa bahagianya hari tuaku. Walau aku hanya punya rumah yang cukup sederhana tapi aku bahagia, setidaknya aku bisa tidur tenang, tidak kedinginan begitu rupa.” (Halaman 62)
Klimaks:
Pada suatu ruangan yang besar. Ruangan inilah yang dinamakan dengan “Alam Rasa”, A, B, C, D, E, F, G, berkumpul. Mereka mengeluarkan keluhan masing-masing dan segala uneg-uneg yang mengganjal hati. Sebelum mereka mengeluarkan uneg-uneg itu, sebuah suara muncul dari tengah ruang dan menggema sampai ke pelosok jantung hati mereka.
Tahap Akhir (Penyelesaian):
Tahap akhir pada cerpen Opportunitis, pemyelesaiannya diserahkan pada pembaca.
Artinya, penyelesaian masih menimbulkan tanda tanya.
18
seperti mereka?” Suara itu raib, mereka kembali terpental pada ruang kekinian. Berhasilkah mereka mencapai keakanan??
Tahap awal pada cerpen Kawin Undi berupa penyituasian dan pengenalan.
Pengenalan tentang tokoh Bapak Kepala Desa yang bertanggung jawab, seorang
pemimpin yang memiliki loyalitas tinggi terhadap rakyatnya, seperti dalam kutipan
berikut ini:
“Bukne, siapa lagi yang bakal……, sudah seminggu kudengar ayam jantan berkokok di saat senja akan berangkat malam,” Bapak Kepala Desa mengeluarkan gelisahnya pada sang istri saat mereka menikmati angin senja di beranda rumah.
”Ah, Bapak. Janganlah terlalu berfirasat. Kan biasa ayam yang baru besar, kapan saja ia berkokok, agar kelompok ayam yang lain tahu bahwa ia benar-benar menjadi ayam jantan. Dengan berkokoklah ia menunjukkan kejantanannya. (Halaman 81)
Pemunculan konflik:
Tiba-tiba kesunyian itu pecah, dari sebelah utara terdengar suara ribut-ribut. Ada suara perempuan menangis, ada suara orang yang membentak-bentak, dan ada suara segerombolan orang yang berseru; bawa ke rumah penghulu! Bawa ke rumah penghulu. Bapak Kepala Desa bangkit perlahan dari pembaringannya. Ia ambil senter. Dengan perlahan pula ia membuka pintu dan menuju ke pekarangan rumah. Dari kejauhan terlihat kelap-kelip lampu sentir dan tubuh hitam bergerombol menuju rumah Bapak Kepala Desa. (Halaman 84)
Klimaks:
Puncak konflik pada cerpen Kawin Undi, ketika tokoh Siti mengungkapkan bahwa ia
hamil karena telah diperkosa oleh tujuh pemuda desa dan salah satu di antara pemuda
tersebut adalah Sigit, anak Bapak Kepala Desa yang begitu dihormati karena
kebijaksaannya. Yang lebih mengejutkan warga, tujuh nama yang disebutkan Siti adalah
pemuda-pemuda desa yang baik. Namun, ketujuh pemuda tersebut membantah jika
mereka telah memperkosa Siti. Mereka melakukannya atas dasar mau sama mau. Dan
ketujuh pemuda tersebut mengakui bahwa mereka membayar pada Siti setiap kali
persetubuhan.
”Siapa-siapa mereka,” tanya Bapak Kepala Desa tajam.
18
pemuda baik-baik saja adanya. Seperti Sarmin, bapaknya seorang guru mengaji di langgar, Bambang, anak sederhana itu. Demikian juga dengan Tanto, maupun yang lain, Sigit pun ia tidak tahu sekali perilakunya. (Halaman 86 – 87)
Iiiiya Pak, taaaapi kaaami tidakkk memperrrkosa pak,” jawa bmereka serempak. ”Kau dengar Siti, mereka tidak ada memperkosamu,” Siti hanya sesenggukan tidak menjawab.
”Kami membayar seratus lima puluh rupiah perorang Pak sekali main,” suara koor dari mereka. (Halaman 88)
Tahap Akhir (Penyelesaian):
Setelah tujuh pemuda dikumpulkan dan ditanyai, mereka mengaku tidak
memperkosa Siti. Persetubuhan tersebut terjadi atas kesepakatan bersama. Ketujuh
pemuda tersebut bersedia bertanggung jawab. Lalu Bapak Kepala Desa melakukan
undian, layaknya arisan, untuk menentukan siapa yang berhak menjadi suami Siti.
Setelah semua diinterogasi, maka dijumlahkan bahwa Siti telah 23 kali disetubuhi oleh mereka. Masing-masing ada yang tiga kali, ada yang empat, dan ada yang dua kali. Anehnya, mereka setuju diadakan undian, seperti halnya arisan, siapa yang mendapat tulisan yang ditulis oleh tangan Siti, ialah yang akan jadi suami Siti. Kertas itu digulunglah sebanyak 23 gulungan sesuai dengan jumlah persetubuhan itu. Dan siapa yang empat kali menyetubuhi, empat gulungan kertas pula yang ia ambil – sesuai dengan jumlah persetubuhan mereka dengan Siti.
Dengan hati berdebar-debar mereka membuka kertasnya masing-masing.
”Hore . . . .” teriak Sigit kegirangan. Ternyata ia yang berhasil mendapat tulisan yang ditulis tangan oleh Siti. Sigit dan Siti berpandangan sejenak, lalu mereka berpelukan dengan mesra menunjukkan kesenangan mereka dan rasa kasih yang mungkin selama ini terpendam. Ibu dan Bapak Bohim cerah wajahnya, Bapak Kepala Desa dan Ibu tak habis pikir. (Halaman 88)
Tahap Awal pada cerpen Alunan Biola Penghabisan, penyituasian dan pengenalan:
Telah hampir seminggu Pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga Pak Karta telah sibuk. Sebahagian telah sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki oleh Pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab Pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja Pak Karta telah sukar, jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lama yang ditemuinya. (Halaman 94)
Pemunculan Konflik:
18
Karta nyebutlah Pak, ingat Tuhan. Namun sedikitpun perkataan itu tidak digubris oleh Pak Karta. Atap genteng rumah telah dibuka beberapa lembar. Menurut kepercayaan mereka, jika Pak Karta mempunyai ilmu hitam ataupun karuhun di masa mudanya, ilmu hitam atau karuhan itu akan pergi lewat atap genteng yang dibuka. Sehingga ilmu hitam ataupun karuhun itu tidak menghalang-halangi berangkatnya nyawa Pak Karta meninggalkan tubuhnya. Tapi hal itu tidak juga menghasilkan apa-apa. Demikian juga dengan pembacaan surat Yassin, telah berulang kali dilakukan. Ini juga kepercayaan mereka, jika seorang dalam keadaan sekarat bacalah Surat Yassin, bila ia tidak serabuh juga berarti kematiannya telah dekat, dan kematiannya akan mudah, tidak dihalang-halangi oleh syaitan, demikian kepercayaan mereka. Namun hasilnya tetap juga nihil, Pak Karta belum juga menghembuskan napasnya, namun tidak juga sehat kembali. Ia tetap tersiksa, napasnya turun naik, denyut nadinya tidak teratur. Tapi sinar matanya tetap tajam. Mereka tidak mengetahui kalau Pak Karta tengah mencari sesuatu. Ia mencari sebuah suara yang biasa ia dengarkan sewaktu masih muda. (Halaman 95 – 96)
Klimaks:
“Buk Karta,” katanya tiba-tiba sambil menghapus air matanya. “Apakah Ibu masih menyimpan sebuah biola yang dulu selalu digesek oleh Pak Karta sewaktu jam-jam senggangnya?” Lelaki itu bertanya. Buk Karta mengernyitkan keningnya, lantas ia bergerak dari duduknya dan membuka almari. Ia menunjukkan sebuah biola pada lelaki tua itu. Lelaki tua itu manggut-manggut sambil menerima biola itu. Ia perhatikan bioala itu, berabu, menunjukkan telah lama tidak pernah dipegang ataupun digesek. Perlahan-lahan ia gesek senar biola. PerPerlahan-lahan sekali, dari gesekan tersebut mengalun musik “Selendang Sutra.” Dengan serta merta mendengar alunan biola itu Pak Karta mulai bergerak. Sanak keluarga yang sibuk menghitung harta kekayaan Pak Karta seolah punah harapannya melihat keanehan itu. Bu Karta yang tetap menunggui suaminya mempunyai harapan baru menyaksikan hal itu. (Halaman 97 – 98)
Tahap akhir (penyelesaian) pada cerepn Alunan Biola Penghabisan adalah kematian
Pak Karta yang begitu tenang karena kerinduannya telah terobati. Kerinduan akan
alunan musik dari biola kesayangannya yang mengingatkan tentang masa muda sebagai
seorang pejuang, seperti berikut ini:
Alunan biola semakin sendu, wajah Pak Karta kian teduh, matanya tidak lagi menyala dan liar. Dengan senyum di bibir ia mengucap dengan perlahan sekali tetapi
pasti, “Lailahhaillallah Muhammadarrasulullah.” Denyut nadinya terhenti.
“Innalillahiwinnailaihirojiun” ujar sebahgian mereka. “Alhamdulillah” ucap sebahagian
lagi. “Inilah kenyataan” tutur lelaki tua itu. (Halaman 98)
Dari lima cerpen yang diteliti, empat memiliki alur maju (konvensional progresif)
sedangkan satu cerpen, yaitu Ah. . . Gerimis Itu memiliki alur mundur (flash back, sorot
18
Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi berplot regresif, tidak bersifat
kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah
atau bahkan tahap akhir (Nurgiyantoro, 1995: 154). Pengarang memulai cerita pada
cerpen Ah...Gerimis Itu dengan tahap akhir, yaitu penyelesaian dari konflik batin yang
dialami tokoh Imah, seperti berikut ini:
Dalam temaramnya lampu teplok, Imah tadahkan tangan, mohon keampunan pada Khalik atas dosa-dosanya. Menurt Imah, dirinyalah sumber petaka. Dirinyalah penyebab sang suami pergi untuk selama-lamanya. Ya, suaminya menghadap sang Khalik ketika gerimis di ujung senja. Itulah sebabnya Imah jadi ngilu bila gerimis tiba (Halaman 42)
Selanjutnya pengarang menceritakan tahap awal, berupa awal pertemuan Imah
dengan Somad, bagaimana Imah tertarik dengan Somad hingga akhirnya mereka
menikah. Pengarang menyajikan pertalian peristiwa secara kronologis hingga
kemunculam konflik berupa keinginan Imah menyatukaan jempol suaminya yang telah
diamputasi karena terkena bisa ular.
“Bang, jika jari Abang ini lengkap, Abang pasti lebih gagah lagi,” Imah menanggapi. “Boleh Imah melihat jempol Abang itu?” Lanjutnya bertanya.
Somad segera bangkit dan menuju lemari dimana tersimpan jempol tangannya yang sudah berpisah dari dirinya. Jempol itu masih utuh saja, sepertinya belum terlalu lama disimpan. Somad pun memberikan pada Imah. (Halaman 46)
Dan cerita diakhiri dengan klimaks, berupa kematian tokoh Somad dikala gerimis,
ternyata jempol Somad yang disatukan kembali oleh Imah masih mengandung bisa ular,
sehingga bisa tersebut menyerang jaringan tubuh Somad.
“Bang, mari Imah lengketkan kembali jempol ini di tangan Abang,” pinta Imah pada Somad. Somad pun mengulurkan tangannya. Tapi, begitu jempol itu bersatu lagi dengan tangan Somad, Somad berteriak histeris. Tubuhnya kejang, matanya merah, dari seluruh pori-porinya keluar keringat.
Melihat hal itu, Imah jadi bingung, ia pun berteriak minta tolong. Dan begitu tetangga berdatangan, Somad sudah menghembuskan napas untuk terakhir kali. Doketr mengatakan – sesuai dengan hasil diagnosa, Somad mati karena keracunan bisa ular.
Di luar, gerimis masih terus bernyanyi, menyayat-nyayat hati Imah. (Halaman 46 – 47)
18
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau
dari posisi mana peristiwa dan tindakan itu dilihat. Pemilihan bentuk persona yang
dipergunakan, akan memengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan,
juga keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan (Stanton, 2007: 30).
Beberapa definisi tentang sudut pandang:
1.
Sudut pandang adalah cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca
(Abrams dalam Nurgiantoro, 1995: 248).
2.
Sudut pandang adalah tempat pencerita dalam hubungannya dengan cerita.
Dari sudut mana pencerita menyampaikan kisahnya (Sudjiman dalam
Zulfanur, 1996: 35).
3.
Sudut pandang adalah siapa yang mengamati peristiwa dan menyampaikan
kisahnya (Brooks dalam Zulfanur, 1996: 35).
4.
Sudut pandang adalah teknik yang digunakan pengarang untuk mengemukan
dan menyampaikan makna karya artistik, untuk dapat sampai dan
berhubungan dengan pembaca (Padmopuspita dalam Pamulat, 2001: 21).
Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan
dan ceritanya.
Pembedaan sudut pandang yang telah umum dilakukan orang yaitu
(Nurgiyantoro, 1995: 256 – 271)
18
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang ketiga, gaya
“dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menyampaikan
tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.
Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama, kerap disebut dan sebagai
variasi dipergunakan kata ganti. Hal tersebut memudahkan pembaca dalam
mengenali tokoh yang diceritakan.
2.
Sudut Pandang Orang Pertama
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang pertama, narator
adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang
berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan
tindakan, yang diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya
terhadap tokoh lain pembaca. Pembaca menerima apa yang diceritakan oleh si
“aku”, maka pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti
yang dilihat dan dirasakan tokoh “aku”.
3.
Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang dalam sebuah karya sastra, mungkin saja lebih
dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti teknik sesuai kreatifitasnya, untuk
mencari variasi atau demi tercapainya efektifitas cerita. Penggunaan sudut
pandang campuran dalam cerita dapat berupa penggunaan sudut pandang orang
ketiga dan pertama sekaligus.
Dari lima cerpen yang diteliti, empat cerpen : Bom, Ah... Gerimis Itu, Kawin Undi,
dan Alunan Biola Penghabisan, menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia”,
18
Penggunaan sudut pandang orang ketiga dalam pengisahan cerita pada kumpulan
cerpen Ah...Gerimis Itu, Hidayat Banjar menggunakan nama tokoh, seperti Dayat pada
cerpen Bom; Imah dan Somad pada cerpen Ah... Gerimis Itu; Siti, Bapak Kepala Desa,
Sigit, Pak Bohim, dan lainnya pada cerpen Kawin Undi; Pak Karta dan Brata pada cerpen
Alunan Biola Penghabisan.
Sudut pandang orang ketiga “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan
berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya
(Nurgiyantoro, 1995: 257 – 261).
1. Sudut Pandang Orang Ketiga “Dia Mahatahu”
Pada sudut pandang orang ketiga “dia mahatahu”, Pengarang bersifat “mahatahu”.
Pengarang dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh.
Narator (pengarang) secara bebas menceritakan hati dan pikiran para tokoh,
mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi
yang melatarbelakanginya. Pengarang juga dapat menyembunyikan ucapan dan
tindakan tokoh secara jelas seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.
Dari empat cerpen yang menggunakan sudut pandang orang ketiga, tiga cerpen
Bom, Ah . . . Gerimis Itu, dan Kawin Undi menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia
mahatahu”.
Tokoh Dayat dalam cerpen Bom digambarkan oleh pengarang sebagai
pengangguran yang idealis. Dalam mempertahankan keidealisannya, pengarang
memberitahukan kepada pembaca tentang apa yang dirasakan tokoh Dayat ketika harus
menjadi pengangguran karena mempertahankan prinsip. Motivasi yang
melatarbelakangi sikap tokoh Dayat, juga dapat diketahui jelas oleh pembaca.
18
empat ratus ribu ke atas, jangan harap kau dapat pekerjaan.” Sakit, sakit sekali hatinya mendengar perkataan itu. Bagaiman tidak sakit, sewaktu di SMA dulu, Dayat pernah uji Intelege