• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN

4.1 Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik

4.1.7 Amanat

Amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu

sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran.

Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat (Juhl

18

dalam Teeuw, 1984: 27). Sudjiman mengatakan bahwa dari sebuah karya sastra

adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan

pengarang, itulah yang disebut amanat. Dan jika permasalahan yang diajukan

dalam sebuah cerita, juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan

keluarnya itulah yang disebut amanat (Sudjiman, 1992: 52, 57 – 58).

Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara implisit ataupun

secara eksplisit. Implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam

tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit, jika pengarang pada

tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, dan

sebagainya.

Pengarang menyampaikan amanat secara eksplisit dalam cerpen Bom dan

Oppotunitis, melalui seruan dan peringatan di akhir cerita. Artinya, moral yang

ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca disampaikan secara langsung.

Dalam hal ini pengarang tampak bersifat seperti menggurui pembaca, secara

langsung memberikan nasihat dan petuahnya.

Melalui cerpen Bom pengarang menyampaikan bahwa persekot telah

menciptakan bom yang sangat dahsyat, yang setiap saat bisa meledak. Ledakan

pengangguran, ledakan ketidakadilan, ledakan penghambatan SDM, dan

ledakan-ledakan lainnya yang lebih dahsyat, seperti berikut ini:

“Nah . . . . dengarkan baik-baik, dimana dan bagaimana bentuk bom itu. Saya telah lama tamat dari SMA dan sampai sekarang menganggur. Saya bukan malas bekerja, juga bukan bodoh. Teman-teman tahu bukan, keadaan saya. Saya tidak bekerja dikarenakan tidak ingin bermain-main dengan persekot. Akibatnya sampai sekarang menganggur. Persekotlah yang menciptakan bom yang sangat dahsyat itu. Lihat di kampung kita ini berapa banyak mereka pemuda-pemudanya yang pengangguran. Tidaklah itu bom-bom yang sangat dahsyat yang setiap saat bisa meledak. Tidak saja meledakkan daerah kita ini, tetapi juga daerah lain.’

Mereka terperangah mendengar ucapan Dayat. Astaga, itulah ucapan yang terlontar dari mulut mereka, tak pernah berpikir sejauh itu. (Halaman 32)

18

Dalam cerpen Oppotunitis pengarang berpesan bahwa sesungguhnya hidup adalah untuk memikul beban, hidup untuk memikul tanggung jawab. Meskipun amanat disampaikan secara langsung oleh pengarang melalui seruan kepada tokoh-tokoh di akhir cerita, namun sikap para tokoh yang tidak pernah bersyukur atas hidup yang mereka dijalani juga mendukung dalam penyampaian amanat.

“Hai..., A, B, C, dan lainnya dengarlah: sesungguhnya hidup adalah untuk memikul beban, hidup adalah untuk memikul tanggung jawab. Tiada hidup yang tanpa beban, tiada hidup yang tanpa tanggung jawab. Oleh karena itu keinginan yang diluar jangkauan katakanlah keingina ini itu, tidak lebih adalah sebuah sifat keaportunisan. Jika saja kamu menyandang gelar aportunis sejati, tidak beda kamu dengan seorang pecandu narkotik kelas wahid, tidak beda kamu denga pelamun-pelamun abadi. Maukah kau seperti mereka?” Suara itu raib, mereka kembali terpental pada ruang kekinian. Berhasilkah mereka mencapai keakanan??

Seperti cerita pada umumnya, cerpen Ah... Gerimis Itu, Kawin Undi, dan Alunan

Biola Penghabisan memiliki pesan moral yang disampaikan secara implisit. Bentuk

penyampaian pesan moral bersifat tidak langsung, pengarang tidak menyampaikannya secara vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita. Pesan disampaikan lewat siratan saja dan terserah pada penafsiran pembaca. Yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa konflik, sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik, baik tingkah laku yang terlihat dalam verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Jika pembaca ingin memahami atau menafsirkan pesan, harus berdasarkan cerita, sikap, dan tingkah laku para tokoh tersebut (Nurgiyantoro, 1995: 340).

Cerpen Ah .. Gerimis Itu misalnya, pengarang ingin mengajarkan pembaca untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan. Hal tersebut tersirat dari peristiwa kematian mendadak tokoh Somad karena melaksanakan keinginan Imah, istri yang dicintai, untuk mempersatukan kembali jempol yang telah diamputasi karena tersengat bisa ular. Imah yang berpikir bahwa suaminya akan tampak lebih gagah dengan susunan jari yang

18

lengkap, maka tanpa pikir panjang segera menyatukan kembali jempol sang suami. Imah tidak mempertimbangkan dahulu, apakah bisa ular tersebut telah benar-benar hilang dari potongan jempol, atau memang jempol tersebut telah bersih dari bisa ular. Akibatnya, berujung pada kematian Somad, sang suami, seperti berikut ini:

“Bang, mari Imah lengketkan kembali jempol ini di tangan Abang,” pinta Imah pada Somad. Somad pun mengulurkan tangannya. Tapi, begitu jempol itu bersatu lagi dengan tangan Somad, Somad berteriak histeris. Tubuhnya kejang, matanya merah, dari seluruh pori-porinya keluar keringat.

Melihat hal itu, Imah jadi bingung, ia pun berteriak minta tolong. Dan begitu tetangga berdatangan, Somad sudah menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali. Dokter mengatakan – sesuai dengan hasil diagnosa, Somad mati keracunan bisa ular. Di luar, gerimis masih terus bernyanyi, menyayat-nyayat hati Imah. (Halaman 46 – 47)

Kritik sosial juga disampaikan dalam cerpen Kawin Undi. Pengarang ingin membuka cakrawala berpikir masyarakat tentang rendahnya rasa malu yang dimiliki oleh pemuda masa sekarang ini. Mengakui kesalahan dengan sangat gampang tanpa rasa malu, dan tanpa rasa bersalah. Bahkan bangga pada kesalahan yang telah diperbuat, seperti berikut ini:

“Nah, kalian semua, apakah kalian semua terlibat.”

“Iiiiya Pak, taaaapi kaaami tidakk memperrrkosa pak,” jawab mereka serempak. “Kau dengar Siti, mereka tidak ada memperkosamu,” Siti hanya sesenggukan tidak menjawab.

“Kami membayar emapat ratus lima puluh rupiah Pak sekali main,” suara koor dari mereka.

“Dan kami tidak hanya main ditegalan saja, tetapi juga di rumah Siti kalau orang tuanya tidak ada,” sambung Bambang. Astaga pelacuran kelas apaan.

Setelah semua diinterogasi, maka dijumlahkan bahwa Siti telah 23 kali disetubuhi oleh mereka. Masing-masing ada yang tiga kali, ada yang empat, dan ada yang dua kali. Anehnya mereka setuju dibuat undian, seperti halnya arisan, siapa yang mendapat tulisan yang ditulis oleh tangan Siti, ialah yang akan jadi suami Siti. Kertas itu digulung sebanyak 23 gulungan sesuai dengan jumlah persetubuhan itu. Dan siapa yang empat kali menyetubuhi, empat gulungan kertas pula yang ia ambil – sesuai dengan jumlah persetubuhan mereka dengan Siti.

Dengan hati berdebar-debar mereka membuka kertasnya masing-masing.

“Hore. . .” teriak Sigit kegirangan. Ternyata ia yang berhasil mendapat tulisan yang ditulis tangan oleh Siti. Sigit dan Siti berpandangan sejenak, lalu mereka berpelukan dengan mesra menunjukkan kesenangan mereka dan rasa kasih yang mungkin selama ini terpendam. Ibu dan Bapak Bohim cerah wajahnya, Bapak Kepala Desa dan Ibu tak habis pikir. (Halaman 88)

18

Pengarang juga ingin menyampaikan bahwa siapa saja memiliki peluang untuk berbuat kesalahan. Tujuh pemuda yang bersetubuh dengan Siti dikenal sebagai pemuda baik-baik, dan dari keluarga yang baik pula. Seperti sebuah peringatan bagi orang tua dalam mengawasi dan menanamkan pendidikan moral bagi anak, seperti kutipan berikut:

“Sigit? Sigit, anak saya ikut?” Sekali lagi Bapak Kepala Desa dikejutkan oleh jawaban Siti. Ia serasa tak yakin. Nama-nama yang dikatakan Siti di atas dapat dikategorikan sebgai pemuda baik-baik saja adanya. Seperti Sarmin, bapaknya seorang guru mengaji di langgar, Bambang, anak sederhana itu. Demikian juga dengan Tanto, maupun yang lain. Sigit pun ia tidak tahu sekali perilakunya. Setelah menarik nafas dalam-dalam, berpikir beberapa saat, barulah agak tenang sedikit perasaan Bapak Kepala Desa. Lalu Bapak Kepala Desa menyimpulkan malam ini juga harus diselesaikan. (Halaman 86 – 87)

Sebuah sindiran halus disampaikan bagi para orang tua yang merasa telah mendidik anaknya dengan baik, ketika pengarang menyebutkan bahwa anak Bapak Kepala Desa yang begitu disegani dan dikenal sebagai kepala desa yang bijaksana terlibat dalam kemaksiatan tersebut. Mungkin sebagai orang tua, Bapak Kepala Desa merasa telah cukup memberikan pendidikan agamanya. Tetapi memberi saja tanpa menanamkan, melihat, dan mengawasi hasil, belum cukup.

Dalam cerpen Alunan Biola Penghabisan juga terkandung kritik sosial tentang bagaimana penghargaan kita terhadap para pejuang. Sering kali kita melihat, membaca, dan mendengar di media-media, para pejuang hidup dalam keterbatasan ekonomi. Tanpa penghargaan, tanpa santunan dan perhatian dari pemerintah atau masyarakat. Pak Karta, tokoh dalam cerpen Alunan Biola Penghabisan, adalah pejuang yang tersiksa kerinduan saat sakaratul maut. Pak Karta begitu rindu masa mudanya karena hidup masa tuanya sangat sulit. Masa muda yang disibukkan dengan perjuangan hidup dan mati, namun Pak Karta masih dapat menikmati hidup. Masih memiliki waktu luang untuk menyalurkan hobinya menggesek biola kesayangannya.

Pak Karta belum juga menghembuskan napasnya, namun tidak juga sehat kembali. Ia tetap tersiksa, napasnya turun naik, denyut nadinya tidak teratur. Tapi sinar matanya

18

tetap tajam. Mereka tidak mengetahui kalau Pak Karta tengah mencari sesuatu. Ia mencari sebuah suara yang biasa ia dengarkan sewaktu masih muda.

. . .

Lelaki tua itu bercerita, bahwa ia temannya Pak Karta semasih muda. Dan segala kegemaran Pak Karta hampir tidak berbeda dengan kegemarannya. Pak Karta semasih muda adalah seorang pejuang, yang gagah berani, itu diketahui lelaki tua itu, karena ia juga seorang bekas pejuang. Setelah kemerdekaan berhasil direbut, nasib Pak Karta berubah, ia menjadi seorang tukang pangkas, sedang lelaki tua itu karena nasibnya baik, ia memangku jabatan di pemerintahan. (Halaman 96)

Segala kerinduan yang diwakilkan oleh alunan suara biola, akhirnya terjawab. Pak Karta menghembuskan nafas terakhirnya setelah mendengar alunan musik lagu kesayangannya, Selendang Sutra, dari biola kesayangannya pula.

Perlahan-lahan ia gesek senar biola. Perlahan sekali, dari gesekan tersebut mengalun musik “Selendang Sutra”. Dengan serta merta mendengar alunan biola itu Pak Karta mulai bergerak.

. . .

Air mata Pak Karta menetes, mulutnya seakan bergerak tetapi suaranya tidak terdengar. Pak Karta tersenyum, istrinya dan lelaki tua itu pun tersenyum. Namun senyum mereka seakan cemoohan bagi sebahagian keluarga Pak Karta yang mengharapkan harta kekayaan Pak Karta yang tidak seberapa itu. Alunan biola semakin sendu, wajah Pak Karta kian teduh, matanya tidak lagi menyala dan liar. Dengan senyum di bibir ia mengucap dengan perlahan sekali tetapi pasti, “Lailahaillallah Muhammadarrasulullah.” Denyut nadinya terhenti. “Innalillahiwainnailaihi rojiuun” ujar sebahagian mereka. “Alhamdulillah” ucap sebahagian lagi. “Inilah kenyataan” tutur lelai tua itu. (Halaman 97 – 98)

Pak Karta adalah salah satu contoh potret pejuang kita saat ini. Bukan hanya tidak diperhatikan secara materi, tetapi juga susah mendapat pengakuan.

Dokumen terkait