• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN

4.1 Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik

4.1.5 Gaya Bahasa

Bahasa sastra adalah bahasa khas (Endraswara, 2003: 72). Khas karena

bahasanya telah direkayasa dan dioles sedemikian rupa. Dari polesan itu

kemudian muncul gaya bahasa yang manis. Gaya bahasa harus didasari penuh

oleh pengarang. Bukan hanya suatu kebetulan, gaya bahasa diciptakan oleh

pengarang demi keistimewaan karyanya, jika pengarang pandai bersilat bahasa,

18

kaya, dan mahir dalam menggunakan stilistika maka karyanya akan semakin

mempesona dan akan lebih berbobot. Stilstik merupakan bagian dari linguistik

yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama

pemakaian bahasa dalam sastra. (Tuner dalam Pradopo, 2005: 161).

Pradopo dalam Endraswara (2003: 72) menyatakan bahwa nilai seni sastra

ditentukan oleh gaya bahasanya. Gaya bahasa dapat dikatakan sebagai keahlian

seorang pengarang dalam mengolah kata-kata. Jangkauan gaya bahasa sangat luas,

tidak hanya menyangkut masalah kata tetapi juga rangkaian dari kata-kata tersebut

yang meliputi frasa, klausa, kalimat, dan wacana secara keseluruhan (Keraf, 2006:

112) termasuk kemahiran pengarang dalam memilih ungkapan yang menentukan

keberhasilan, keindahan, dan kemasuk akalan suatu karya yang merupakan hasil

ekspresi diri (Sayuti, 2000: 110). Sejalan dengan Sayuti, Endraswara (2003: 73)

juga menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan seni yang dipengaruhi oleh

nurani. Melalui gaya bahasa sastrawan menuangkan idenya. Bagaimanapun

perasaan saat menulis, jika menggunakan gaya bahasa, karya yang dihasilkan

akan semakin indah. Endraswara menambahkan bahwa bahasa memiliki pesan

keindahan dan sekaligus membawa makna.

Penulis mengidentifikasi dan menemukan lima jenis gaya bahasa yang

digunakan pengarang kumpulan cerpen Ah... Gerimis Itu, Hidayat Banjar, dalam

cerpen-cerpennya. Gaya bahasa tersebut adalah:

4.5.1 Hiperbola

Maulana (2008: 2) berpendapat bahwa hiperbola yaitu sepatah kata yang diganti

dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat dari pada kata. Keraf

18

(2006: 135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang

mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal.

Setelah dianalisis, penulis menemukan 17 data gaya bahasa hiperbola yang

digunkan Hidayat Banjar dalam cerpen Bom, Ah... Gerimis Itu, Opportunitis,

Kawin Undi, dan Alunan Biola Penghabisan, yaitu:

1. Maka oleh pihak berwenang diutuslah intelejen-intelejen yang

benar-benar kualifait. (Halaman 29)

Pernyataan diutuslah intelejen-intelejen yang benar-benar kualifait

dianggap berlebihan untuk menangkap seorangtokoh Dayat yang hanya

masyarakat biasa dan tidak pernah memiliki catatan kriminal selama

hidupnya.

2. Orang-orang di warung itu pada melongo. Selama ini Dayat tidak pernah

berhubungan dengan kejahatan, tetapi kenapa berhubungan dengan

gari-garian, mereka heran. (Halaman 29)

Kata melongo dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti terbuka mulut

karena heran. Pengarang terlalu berlebebihan dalam menggambarkan

keheranan. Orang-orang di warung itu, menggambarkan semua yang

berada diwarung menunjukkan herannya sampai membuka mulut.

3. Dan bom itu tidak hanya ada di kampung kita ini saja. Di

kampung-kampung lain juga banyak berserakan. (Halaman 31)

Walaupun ada banyak sekali bom yang ada, tetapi penggunaan kata

berserakan sangat berlebihan. Seolah-olah bom itu jumlahnya tidak dapat

dihitung dan tersebar dimana-mana seperti daun yang berguguran di

musim kemarau.

4. Desa pantai tempatnya tinggal seolah-olah jadi mati. Pada hal di luar,

nelayan dan anaknya tak pernah tahu akan gerimis, tak pernah hirau akan

gerimis. (Halaman 41)

18

Kalimat di atas termasuk hiperbola karena desa bukan makhluk yang

bernyawa yang bisa mati. Lagi pula tidak mungkin seorang nelayan tak

pernah tahu akan gerimis karena seorang nelayan bisa merasakan hal-hal

yang terjadi di sekitanya. Sebagai makhluk hidup yang memiliki ciri

menerima dan menanggapi rangsangan.

5. Di sebuah senja beberapa orang pemuda numpang berteduh di emperan

rumahnya karena tak tahan akan dinginnya gerimis. (Halaman 42)

Kalimat tak tahan akan dinginnya gerimis bermakna hiperbola karena

biasanya gerimis tidak memengaruhi aktivitas manusia. Dan gerimis hanya

menimbulkan hawa sejuk, bukan hawa dingin yang menghalangi manusia

melakukan aktivitasnya.

6. “Imah, malam ini abang tuangkan semua yang terkandung di dalam hati,

Abang. . . .” (Halaman 43)

Bagimana mungkin apa yang ada di dalam hati bisa dituangkan di hadapan

seseorang? Hati bukanlah benda yang bisa dibuka dan diambil atau

dikeluarkan isinya.

7. “. . . Abang juga sebenarnya tak mau pisah sekejap pun dengan Imah”

(Halaman 44)

Kata tak mau pisah sekejap pun sangat berlebihan, tidak mungkin dalam

hidup ini kita tidak ada waktu untuk hal-hal privasi yang menyangkut

kebutuhan, seperti mandi, buang air besar atau kecil, bekerja, dan lain-lain

yang mengharuskan kita tidak mau atau tidak bisa bersama orang yang

sangat kita cintai sekalipun.

8. Di luar, gerimis masih bernyanyi menyayat-nyayat hati Imah. (Halaman

47)

18

Kalimat di atas termasuk hiperbola karena gerimis tidak bisa menyakiti

atau menyayat-nyayat hati layaknya manusia.

9. A seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapai lumpur, tanah,

dan alang-alang. (Halaman 61)

Meskipun hanya seorang petani, A juga punya kebutuhan dan kesenangan,

bercengkrama dengan orang-orang misalnya. Jadi, dalam hidup bukan

hanya lumpur, tanah dan alang-alang yang dihadapi A.

10.Siang, kita dapat melihat keriuhan, malam, kita pun dapat menikmati

hiburan-hiburan dari panggung kelas wahid sampai panggung kelas

kambing. (Halaman 62)

Kambing tidak mengerti kelas/tingkatan dalam kehidupannya seperti

manusia. Kambing tidak memiliki naluri kemanusiaan yang membutuhkan

hiburan, jadi tidak ada panggung kelas kambing.

11.B seorang gelandangan yang sehari-hari hidupnya dari kekotoran. Baginya

kejorokan bukan satu hal yang menjijikkan. Najis adalah teman akrabnya.

(Halaman 62)

Meskipun B seorang gelandangan, tidak akan mungkin B menjadikan najis

sebagai teman akrabnya. Berlebihan sekali dalam menggambarkan hidup

seorang gelandangan. Kata hidupnya dari kekotoran, juga sangat

berlebihan seolah-olah hidup seorang gelandangan sangat hina, tidak layak

untuk manusia.

12.Siang yang terik saat mentari di ubun-ubun, di mana manusia duduk

mengaso, menghindari kulit dari sengatan mentari. (Halaman 63)

Jika mentari berada di ubun-ubun manusia, menandakan hari telah kiamat

dan tidak ada lagi kehidupan. Sekalipun dunia belum kiamat, jika

matahari berada sedekat itu, manusia akan terbakar kepanasan terkena

18

matahari. Penggambaran panas dengan kata mentari di ubun-ubun adalah

berlebihan.

13.F, seorang politikus, hidupnya seharian dengan aturan-aturan formal. Dari

cara berpakaian sampai gerak-gerik sangat terbatas sekali. (Halaman 64)

Di negara yang menjunjung asas demokrasi, sangat berlebihan jika seorang

politikus memiliki ruang gerak yang terbatas. Di era modern ini seorang

politikus memiliki kebebasan dalam bersikap, bertutur, dan bergerak.

14.Aku selalu saja ingin menciptakan nyawa bagi karya-karyaku. (Halaman

65)

Menciptakan nyawa bagi sebuah karya adalah keinginan yang sangat

berlebihan, karena hanya tuhan yang mampu memberi nyawa pada

makhluk.

15.Malam sunyi, angin pun seakan enggan bertiup. (Halaman 83)

Kalimat di atas bermakna hiperbola, karena seolah angin memiliki hasrat

seperti manusia. Ada kalanya ingin melakukan sesuatu, adakalanya malas

melakukan sesuatu.

16.Sudah menjadi kebiasaan di kampung itu bila hari telah gelap seolah

kehidupan tiada lagi. Orang-orang kampung itu mengurung dirinya di

rumah. (Halaman 83)

Kata seolah kehidupan tiada lagi, berarti dunia telah kiamat.

Penggambaran yang berlebihan. Ditambah lagi dengan mengurung dirinya

di rumah, manusia bukan seperti hewan peliharaan yang tinggal dalam

kurungan.

17.Sorot matanya tetap menyala, seakan mencari sesuatu yang belum

diketemukannya. (Halaman 94)

Pandangan mata tidak seperti lampu atau api yang bisa dinyalakan.

Kalimat diatas menggunakan penggambaran yang berlebihan.

18

4.5.2 Personifikasi

Keraf (2006: 140) berpendapat bahwa personifikasi adalah semacam gaya

bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak

bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Personifikasi juga dapat diartikan

majas yang menerapakan sifat-sifat manusia terhadap benda mati (Maulana, 2008: 1).

Jadi, personifikasi berarti gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat manusi pada

barang atau benda mati.

Dari hasil analisis, penulis menemukan tujuh data personifikasi dalam cerpen

Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola

Penghabisan. Ketujuh data tersebut adalah:

1. Persekotlah yang menciptakan bom yang sangat dahsyat itu. (Halaman

32)

Kalimat di atas menyatakan persekot dianggap seperti manusia yang bisa

menciptakan atau membuat sesuatu.

2. Desa pantai tempatnya tinggal seolah-olah jadi mati. Pada hal di luar,

nelayan dan anaknya tak pernah tahu akan gerimis, tak pernah hirau akan

gerimis. (Halaman 41)

Kalimat, “Desa pantai tempatnya tinggal seolah-olah jadi mati”

menggunakan gaya bahasa personifikasi karena menganggap desa

memiliki nyawa, yang seolah hidup dan bisa mati, layaknya makhluk

hidup.

3. Sejak subuh tadi, tamu yang membosankan diri itu sudah tiba. Semula

Imah coba untuk tidak memperdulikan kehadiran sang gerimis yang

menyiksa. (Halaman 41)

18

Kalimat di atas menyatakan bahwa gerimis adalah makhluk hidup.

Gerimis dianggap memiliki jiwa sosial layaknya manusia, yang mampu

bertamu atau mendatangi manusia lainnya.

4. Sesekali terdengar nyanyian jangkrik dan kodok. (Halaman 44)

Jangkrik dan kodok merupakan makhluk hidup, tetapi mereka tidak dapat

bernyanyi layaknya manusia. Pada kalimat di atas menggambarkan

seolah-olah jangkrik dan kodok memiliki sifat manusia yang bisa menikmati

kesenangan dengan bernyanyi.

5. Diluar, nyanyian katak semakin deras, diiringi irama malam yang semakin

mendekati. (Halaman 44)

Dalam kalimat di atas, bukan hanya kodok yang digambarkan seperti

manusia, malam juga dapat bernyanyi.

6. Di luar, gerimis masih terus bernyanyi, menyayat-nyayat hati Imah.

(Halaman 47)

Dalam kalimat di atas gerimis dapat bergerak layaknya makhluk hidup,

bahkan dapat melukai atau menyakiti seseorng.

7. Pada saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat

inilah yang selalu mencekam perasaannya. (Halaman 61)

Surya atau matahari, dalam kalimat di atas bersikap seolah manusia yang

mampu bersembunyi.

4.5.3 Metafora

Keraf (2006: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang

membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat.

Sementara itu menurut Maulana (2008: 1) metafora juga dapat diartikan dengan

18

majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda lain. Metafora

membandingkan dua hal secara implisit.

Beberapa data gaya bahasa metafora yang ditemukan penulis dalam analisis

cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola

Penghabisan, yaitu:

1. “Umur Abang sudah banyak, Mah. Seharusnya, lelaki sesusia Abang sudah

punya bunga untuk dipetik,” jawab somad mempermainkan jemari tangannya

sendiri. (Halaman 43)

Kalimat seharusnya, lelaki sesusia Abang sudah punya bunga untuk dipetik

menggambarkan bahwa wanita diumpamakan sebagai bunga.

2. Wajah itu lugu, wajah gadis desa. Ah, air yang bening telah terkena polusi.

(Halaman 85)

Dalam kalimat di atas, keluguan gadis desa dibandingkan dengan ir yang

bening. Pengarang mengumpamakan keluguan yang diniliki gadis desa,

bersih seperti air yang bening.

3. Dengan muka bulat telur, bentuk hidung dan bibir yang pas dengan raut

wajah. (Halaman 86)

Kata muka bulat telur, menyatakan perbandingan antara bentuk wajah dan

telur. Sama-sama berbentuk oval.

4. “Kami membayar seratus lima puluh rupiah perorang, Pak sekali main,”

suarakoor dari mereka. (Halaman 88)

Pada kalimat di atas kekompakan para tokoh dalam menjawab secara implisit

diumpamakan layaknya paduan suara. Jadi, pengarang membandingkan

antara kekompakan jawaban dengan panduan suara melalui kalimat suara

koor dari mereka.

5. Alunan biola semakin sendu, wajh Pak Karta kian teduh, matanya tak lagi

menyala dan liar. (Halaman 98)

18

Kalimat matanya tak lagi menyala dan liar, secara tidak langsunng

membandingkan antara tatapan dengan kebuasan hewan.

4.5.4 Kiasmus

Kiasmus ialah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus

merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat

(Permendiknas, 2010: 103).

Dari hasil analisis, penulis menemukan enam data gaya bahasa kiasmus

dalam cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan

Biola Penghabisan. Keenam data tersebut adalah:

1. Dayat tidak melawan, tidak berbuat apa-apa ketika pihak yang berwenang

menunjukkan surat penangkapan atas dirinya. (Halaman 29)

Kata tidak melawan sama artinya dengan tidak berbuat apa-apa. Dengan

katalain, pengarang melakukan perulangan kata dalam bentuk kata yang

berbeda.

2. Tak ada duka, tak ada kegetiran hidup, semua berjalan dengan kebiruan total.

(Halaman 44)

Tak ada duka memiliki makna yang sama dengan tak ada kegetiran hidup,

berarti terjadi perulangan kata dalam satu kalimat.

3. “Seandainya dulu aku tidak meningggalkan kampungku, hidup dalam batas

wajar saja, tidak mengimpikan kehidupan muluk, tidak mengimpikan

cahaya-cahaya berbagai warna dari lampu . . . . (Halaman 62)

Kalimat hidup dalam batas wajar saja memiliki kesamaan arti dengan tidak

mengimpikan kehidupan muluk, berarti terjadi pengulangan dalam satu

kalimat.

4. Baginya panas dan hujan bukan untuk dihindari tapi untuk dihadapi.

18

Bukan untuk dihindari sama artinya dengan dihadapi, berarti terjadi

perulangan kata dalam kalimat. Hanya saja bentuk katanya berbeda.

5. Kesalahan sikap berarti kehilanagn kepercayaan masyarakat dan turunlah

wibawanya, jika saja ini terjadi maka hilanglah kharismanya sebagai

pemimpin. (Halaman 64)

Turunlah wibawanya sama maknanya dengan hilanglah kharismanya, berarti

terjadi perulangan kata dalam kalimat. Hanya saja bentuk katanya berbeda.

6. “Siti, Saya harap kau mau berkata jujur dan terus terang. . . . “ (Halaman 85)

Berkata jujur sama maknanya dengan terus terang, berarti terjadi

perulangan kata dalam kalimat. Hanya saja bentuk katanya berbeda.

4.5.5 Perifasis

Perifasis ialah gaya bahasa yang secara sengaja menggunakan frase, yang

sebenarnya dapat diganti dengan sebuah kata saja (Permendiknas, 2010: 106).

Ada delapan data gaya bahasa kiasmus yang ditemukan penulis dalam

analisis cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan

Biola Penghabisan, yaitu:

1. Mereka tambah riuh mendengar keteranga Dayat, tapi tak berani buka

mulut. (Halaman 32)

Frase buka mulut merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat diganti

dengan satu kata, yaitu bicara.

2. Ya, suaminya menghadap sang Khalik ketika gerimis di ujung senja.

(Halaman 42)

18

Frase ujung senja merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat diganti

dengan satu kata, yaitu sore.

3. Somad segera bangkit dan menuju lemari dimana tersimpan jempol

tangannya yang sudah berpisah dari dirinya. (Halaman 46)

Frase berpisah dari dirinya merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat

diganti dengan satu kata, yaitu putus.

4. E adalah seorang penjual obat kaki lima yang sehariannya selalu berteriak

dan menjual kata-kata. (Halaman 64)

Frase menjual kata-kata merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat

diganti dengan satu kata, yaitu membual.

5. Demikian juga bentuk badannya, mampu memancing kelakian setiap lelaki

yang memandangnya. (Halaman 86)

Frase memancing kelakian merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat

diganti dengan satu kata, yaitu menggoda.

6. . . . . juga tak terpikir oleh mereka apa penyebab Pak Karta sehingga

sangat sukar menemui ajalnya. (Halaman 94)

Frase menemui ajalnya merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat

diganti dengan satu kata, yaitu meninggal.

7. “Sudah berapa lama Pak Karta tidak sadarkan diri,” tanya lelaki tua itu.

(Halaman 96)

Frase tidak sadarkan diri merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat

diganti dengan satu kata, yaitu koma.

8. Sanak keluarga yang menghitung kekayaan Pak Karta seolah punah

harapannya melihat keanehan itu. (Halaman 97)

Frase punah harapannya merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat

diganti dengan satu kata, yaitu kecewa.

18

Keraf (2006: 127) berpendapat bahwa yang dinamkan epizeukis adalah repetisi

yang bersifat langsung, artinya kata-kata yang dipentingkan diulang beberapa kali

berturut-turut.

Beberapa data gaya bahasa epizeukis yang ditemukan penulis dalam analisis

cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola

Penghabisan, yaitu:

1. Sakit, sakit sekali hatinya mendengar perkataan itu. (Halaman 27)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa epizeukis karena

terdapat kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut, yaitu kata

“sakit”.

2. “Lanjutkan, lanjutkan,” teriak mereka dengan nada takut dan gelisah.

(Halaman 31)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa epizeukis karena

terdapat kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut, yaitu kata

“lanjutkan”.

3. “Betul, betul, “ teriak mereka. (Halaman 32)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa epizeukis karena

terdapat kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut, yaitu kata

“betul”.

4. Bapak Kepala Desa memandang wajah Siti, Siti kelihatan sesenggukan,

matanya balut dan wajah itu terlihat kusut. (Halaman 84)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa epizeukis karena

terdapat kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut, yaitu kata

“Siti”.

18

Keraf (2006: 127) berpendapat bahwa anaphora adalah repetisi yang berwujud

pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada

kalimat berikutnya

Dari hasil analisis, penulis menemukan delapan data gaya bahasa kiasmus

dalam cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan

Biola Penghabisan. Kedelapan data tersebut adalah:

1. Ia menganggur bukan karena ia pemalas, bukan pula karena otaknya

bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak maunya bermain-main dengan

uang persekot. (Halaman 27)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi

yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat

berikutnya yaitu kata “Ia menganggur”.

2. Saya tidak usah digari, saya tidak akan lari. . . . “ (Halaman 29)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi

yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat

berikutnya yaitu kata “saya”.

3. Panik memikirkan anak buah, panik memikirkan langganan, panik

memikirkan pembukuan, dan lain-lain. (Halaman 63)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi

yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat

berikutnya yaitu kata “panik”.

4. Tiada hidup yang tanpa beban, tiada hidup yang tanpa tanggung jawab.

(Halaman 66)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi

yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat

berikutnya yaitu kata “tiada hidup”.

18

5. Dalam bahagia ia menangis, dalam duka ia pun menangis, itulah

perempuan. (Halaman 83)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi

yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat

berikutnya yaitu kata “dalam”.

6. Ada suara perempuan menangis, ada suara orang membentak-bentak, dan

ada suara segerombolan orang berseru; Bawa ke rumah penghulu! Bawa

ke rumah penghulu. (Halaman 84)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi

yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat

berikutnya yaitu kata “ada suara”.

7. Wajah itu lugu, wajah gadis desa. (Halaman 85)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi

yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat

berikutnya yaitu kata “wajah”.

8. Perlahan-lahan ia gesek senar biola. Perlahan sekali, dari gesekan tersebut

mengalun musik “Selendang Sutra”. (Halaman 97)

Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi

yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat

berikutnya yaitu kata “perlahan”.

Dokumen terkait