BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN
4.1 Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik
4.1.5 Gaya Bahasa
Bahasa sastra adalah bahasa khas (Endraswara, 2003: 72). Khas karena
bahasanya telah direkayasa dan dioles sedemikian rupa. Dari polesan itu
kemudian muncul gaya bahasa yang manis. Gaya bahasa harus didasari penuh
oleh pengarang. Bukan hanya suatu kebetulan, gaya bahasa diciptakan oleh
pengarang demi keistimewaan karyanya, jika pengarang pandai bersilat bahasa,
18
kaya, dan mahir dalam menggunakan stilistika maka karyanya akan semakin
mempesona dan akan lebih berbobot. Stilstik merupakan bagian dari linguistik
yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama
pemakaian bahasa dalam sastra. (Tuner dalam Pradopo, 2005: 161).
Pradopo dalam Endraswara (2003: 72) menyatakan bahwa nilai seni sastra
ditentukan oleh gaya bahasanya. Gaya bahasa dapat dikatakan sebagai keahlian
seorang pengarang dalam mengolah kata-kata. Jangkauan gaya bahasa sangat luas,
tidak hanya menyangkut masalah kata tetapi juga rangkaian dari kata-kata tersebut
yang meliputi frasa, klausa, kalimat, dan wacana secara keseluruhan (Keraf, 2006:
112) termasuk kemahiran pengarang dalam memilih ungkapan yang menentukan
keberhasilan, keindahan, dan kemasuk akalan suatu karya yang merupakan hasil
ekspresi diri (Sayuti, 2000: 110). Sejalan dengan Sayuti, Endraswara (2003: 73)
juga menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan seni yang dipengaruhi oleh
nurani. Melalui gaya bahasa sastrawan menuangkan idenya. Bagaimanapun
perasaan saat menulis, jika menggunakan gaya bahasa, karya yang dihasilkan
akan semakin indah. Endraswara menambahkan bahwa bahasa memiliki pesan
keindahan dan sekaligus membawa makna.
Penulis mengidentifikasi dan menemukan lima jenis gaya bahasa yang
digunakan pengarang kumpulan cerpen Ah... Gerimis Itu, Hidayat Banjar, dalam
cerpen-cerpennya. Gaya bahasa tersebut adalah:
4.5.1 Hiperbola
Maulana (2008: 2) berpendapat bahwa hiperbola yaitu sepatah kata yang diganti
dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat dari pada kata. Keraf
18
(2006: 135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang
mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal.
Setelah dianalisis, penulis menemukan 17 data gaya bahasa hiperbola yang
digunkan Hidayat Banjar dalam cerpen Bom, Ah... Gerimis Itu, Opportunitis,
Kawin Undi, dan Alunan Biola Penghabisan, yaitu:
1. Maka oleh pihak berwenang diutuslah intelejen-intelejen yang
benar-benar kualifait. (Halaman 29)
Pernyataan diutuslah intelejen-intelejen yang benar-benar kualifait
dianggap berlebihan untuk menangkap seorangtokoh Dayat yang hanya
masyarakat biasa dan tidak pernah memiliki catatan kriminal selama
hidupnya.
2. Orang-orang di warung itu pada melongo. Selama ini Dayat tidak pernah
berhubungan dengan kejahatan, tetapi kenapa berhubungan dengan
gari-garian, mereka heran. (Halaman 29)
Kata melongo dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti terbuka mulut
karena heran. Pengarang terlalu berlebebihan dalam menggambarkan
keheranan. Orang-orang di warung itu, menggambarkan semua yang
berada diwarung menunjukkan herannya sampai membuka mulut.
3. Dan bom itu tidak hanya ada di kampung kita ini saja. Di
kampung-kampung lain juga banyak berserakan. (Halaman 31)
Walaupun ada banyak sekali bom yang ada, tetapi penggunaan kata
berserakan sangat berlebihan. Seolah-olah bom itu jumlahnya tidak dapat
dihitung dan tersebar dimana-mana seperti daun yang berguguran di
musim kemarau.
4. Desa pantai tempatnya tinggal seolah-olah jadi mati. Pada hal di luar,
nelayan dan anaknya tak pernah tahu akan gerimis, tak pernah hirau akan
gerimis. (Halaman 41)
18
Kalimat di atas termasuk hiperbola karena desa bukan makhluk yang
bernyawa yang bisa mati. Lagi pula tidak mungkin seorang nelayan tak
pernah tahu akan gerimis karena seorang nelayan bisa merasakan hal-hal
yang terjadi di sekitanya. Sebagai makhluk hidup yang memiliki ciri
menerima dan menanggapi rangsangan.
5. Di sebuah senja beberapa orang pemuda numpang berteduh di emperan
rumahnya karena tak tahan akan dinginnya gerimis. (Halaman 42)
Kalimat tak tahan akan dinginnya gerimis bermakna hiperbola karena
biasanya gerimis tidak memengaruhi aktivitas manusia. Dan gerimis hanya
menimbulkan hawa sejuk, bukan hawa dingin yang menghalangi manusia
melakukan aktivitasnya.
6. “Imah, malam ini abang tuangkan semua yang terkandung di dalam hati,
Abang. . . .” (Halaman 43)
Bagimana mungkin apa yang ada di dalam hati bisa dituangkan di hadapan
seseorang? Hati bukanlah benda yang bisa dibuka dan diambil atau
dikeluarkan isinya.
7. “. . . Abang juga sebenarnya tak mau pisah sekejap pun dengan Imah”
(Halaman 44)
Kata tak mau pisah sekejap pun sangat berlebihan, tidak mungkin dalam
hidup ini kita tidak ada waktu untuk hal-hal privasi yang menyangkut
kebutuhan, seperti mandi, buang air besar atau kecil, bekerja, dan lain-lain
yang mengharuskan kita tidak mau atau tidak bisa bersama orang yang
sangat kita cintai sekalipun.
8. Di luar, gerimis masih bernyanyi menyayat-nyayat hati Imah. (Halaman
47)
18
Kalimat di atas termasuk hiperbola karena gerimis tidak bisa menyakiti
atau menyayat-nyayat hati layaknya manusia.
9. A seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapai lumpur, tanah,
dan alang-alang. (Halaman 61)
Meskipun hanya seorang petani, A juga punya kebutuhan dan kesenangan,
bercengkrama dengan orang-orang misalnya. Jadi, dalam hidup bukan
hanya lumpur, tanah dan alang-alang yang dihadapi A.
10.Siang, kita dapat melihat keriuhan, malam, kita pun dapat menikmati
hiburan-hiburan dari panggung kelas wahid sampai panggung kelas
kambing. (Halaman 62)
Kambing tidak mengerti kelas/tingkatan dalam kehidupannya seperti
manusia. Kambing tidak memiliki naluri kemanusiaan yang membutuhkan
hiburan, jadi tidak ada panggung kelas kambing.
11.B seorang gelandangan yang sehari-hari hidupnya dari kekotoran. Baginya
kejorokan bukan satu hal yang menjijikkan. Najis adalah teman akrabnya.
(Halaman 62)
Meskipun B seorang gelandangan, tidak akan mungkin B menjadikan najis
sebagai teman akrabnya. Berlebihan sekali dalam menggambarkan hidup
seorang gelandangan. Kata hidupnya dari kekotoran, juga sangat
berlebihan seolah-olah hidup seorang gelandangan sangat hina, tidak layak
untuk manusia.
12.Siang yang terik saat mentari di ubun-ubun, di mana manusia duduk
mengaso, menghindari kulit dari sengatan mentari. (Halaman 63)
Jika mentari berada di ubun-ubun manusia, menandakan hari telah kiamat
dan tidak ada lagi kehidupan. Sekalipun dunia belum kiamat, jika
matahari berada sedekat itu, manusia akan terbakar kepanasan terkena
18
matahari. Penggambaran panas dengan kata mentari di ubun-ubun adalah
berlebihan.
13.F, seorang politikus, hidupnya seharian dengan aturan-aturan formal. Dari
cara berpakaian sampai gerak-gerik sangat terbatas sekali. (Halaman 64)
Di negara yang menjunjung asas demokrasi, sangat berlebihan jika seorang
politikus memiliki ruang gerak yang terbatas. Di era modern ini seorang
politikus memiliki kebebasan dalam bersikap, bertutur, dan bergerak.
14.Aku selalu saja ingin menciptakan nyawa bagi karya-karyaku. (Halaman
65)
Menciptakan nyawa bagi sebuah karya adalah keinginan yang sangat
berlebihan, karena hanya tuhan yang mampu memberi nyawa pada
makhluk.
15.Malam sunyi, angin pun seakan enggan bertiup. (Halaman 83)
Kalimat di atas bermakna hiperbola, karena seolah angin memiliki hasrat
seperti manusia. Ada kalanya ingin melakukan sesuatu, adakalanya malas
melakukan sesuatu.
16.Sudah menjadi kebiasaan di kampung itu bila hari telah gelap seolah
kehidupan tiada lagi. Orang-orang kampung itu mengurung dirinya di
rumah. (Halaman 83)
Kata seolah kehidupan tiada lagi, berarti dunia telah kiamat.
Penggambaran yang berlebihan. Ditambah lagi dengan mengurung dirinya
di rumah, manusia bukan seperti hewan peliharaan yang tinggal dalam
kurungan.
17.Sorot matanya tetap menyala, seakan mencari sesuatu yang belum
diketemukannya. (Halaman 94)
Pandangan mata tidak seperti lampu atau api yang bisa dinyalakan.
Kalimat diatas menggunakan penggambaran yang berlebihan.
18
4.5.2 Personifikasi
Keraf (2006: 140) berpendapat bahwa personifikasi adalah semacam gaya
bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Personifikasi juga dapat diartikan
majas yang menerapakan sifat-sifat manusia terhadap benda mati (Maulana, 2008: 1).
Jadi, personifikasi berarti gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat manusi pada
barang atau benda mati.
Dari hasil analisis, penulis menemukan tujuh data personifikasi dalam cerpen
Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola
Penghabisan. Ketujuh data tersebut adalah:
1. Persekotlah yang menciptakan bom yang sangat dahsyat itu. (Halaman
32)
Kalimat di atas menyatakan persekot dianggap seperti manusia yang bisa
menciptakan atau membuat sesuatu.
2. Desa pantai tempatnya tinggal seolah-olah jadi mati. Pada hal di luar,
nelayan dan anaknya tak pernah tahu akan gerimis, tak pernah hirau akan
gerimis. (Halaman 41)
Kalimat, “Desa pantai tempatnya tinggal seolah-olah jadi mati”
menggunakan gaya bahasa personifikasi karena menganggap desa
memiliki nyawa, yang seolah hidup dan bisa mati, layaknya makhluk
hidup.
3. Sejak subuh tadi, tamu yang membosankan diri itu sudah tiba. Semula
Imah coba untuk tidak memperdulikan kehadiran sang gerimis yang
menyiksa. (Halaman 41)
18
Kalimat di atas menyatakan bahwa gerimis adalah makhluk hidup.
Gerimis dianggap memiliki jiwa sosial layaknya manusia, yang mampu
bertamu atau mendatangi manusia lainnya.
4. Sesekali terdengar nyanyian jangkrik dan kodok. (Halaman 44)
Jangkrik dan kodok merupakan makhluk hidup, tetapi mereka tidak dapat
bernyanyi layaknya manusia. Pada kalimat di atas menggambarkan
seolah-olah jangkrik dan kodok memiliki sifat manusia yang bisa menikmati
kesenangan dengan bernyanyi.
5. Diluar, nyanyian katak semakin deras, diiringi irama malam yang semakin
mendekati. (Halaman 44)
Dalam kalimat di atas, bukan hanya kodok yang digambarkan seperti
manusia, malam juga dapat bernyanyi.
6. Di luar, gerimis masih terus bernyanyi, menyayat-nyayat hati Imah.
(Halaman 47)
Dalam kalimat di atas gerimis dapat bergerak layaknya makhluk hidup,
bahkan dapat melukai atau menyakiti seseorng.
7. Pada saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat
inilah yang selalu mencekam perasaannya. (Halaman 61)
Surya atau matahari, dalam kalimat di atas bersikap seolah manusia yang
mampu bersembunyi.
4.5.3 Metafora
Keraf (2006: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang
membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat.
Sementara itu menurut Maulana (2008: 1) metafora juga dapat diartikan dengan
18
majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda lain. Metafora
membandingkan dua hal secara implisit.
Beberapa data gaya bahasa metafora yang ditemukan penulis dalam analisis
cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola
Penghabisan, yaitu:
1. “Umur Abang sudah banyak, Mah. Seharusnya, lelaki sesusia Abang sudah
punya bunga untuk dipetik,” jawab somad mempermainkan jemari tangannya
sendiri. (Halaman 43)
Kalimat seharusnya, lelaki sesusia Abang sudah punya bunga untuk dipetik
menggambarkan bahwa wanita diumpamakan sebagai bunga.
2. Wajah itu lugu, wajah gadis desa. Ah, air yang bening telah terkena polusi.
(Halaman 85)
Dalam kalimat di atas, keluguan gadis desa dibandingkan dengan ir yang
bening. Pengarang mengumpamakan keluguan yang diniliki gadis desa,
bersih seperti air yang bening.
3. Dengan muka bulat telur, bentuk hidung dan bibir yang pas dengan raut
wajah. (Halaman 86)
Kata muka bulat telur, menyatakan perbandingan antara bentuk wajah dan
telur. Sama-sama berbentuk oval.
4. “Kami membayar seratus lima puluh rupiah perorang, Pak sekali main,”
suarakoor dari mereka. (Halaman 88)
Pada kalimat di atas kekompakan para tokoh dalam menjawab secara implisit
diumpamakan layaknya paduan suara. Jadi, pengarang membandingkan
antara kekompakan jawaban dengan panduan suara melalui kalimat suara
koor dari mereka.
5. Alunan biola semakin sendu, wajh Pak Karta kian teduh, matanya tak lagi
menyala dan liar. (Halaman 98)
18
Kalimat matanya tak lagi menyala dan liar, secara tidak langsunng
membandingkan antara tatapan dengan kebuasan hewan.
4.5.4 Kiasmus
Kiasmus ialah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus
merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat
(Permendiknas, 2010: 103).
Dari hasil analisis, penulis menemukan enam data gaya bahasa kiasmus
dalam cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan
Biola Penghabisan. Keenam data tersebut adalah:
1. Dayat tidak melawan, tidak berbuat apa-apa ketika pihak yang berwenang
menunjukkan surat penangkapan atas dirinya. (Halaman 29)
Kata tidak melawan sama artinya dengan tidak berbuat apa-apa. Dengan
katalain, pengarang melakukan perulangan kata dalam bentuk kata yang
berbeda.
2. Tak ada duka, tak ada kegetiran hidup, semua berjalan dengan kebiruan total.
(Halaman 44)
Tak ada duka memiliki makna yang sama dengan tak ada kegetiran hidup,
berarti terjadi perulangan kata dalam satu kalimat.
3. “Seandainya dulu aku tidak meningggalkan kampungku, hidup dalam batas
wajar saja, tidak mengimpikan kehidupan muluk, tidak mengimpikan
cahaya-cahaya berbagai warna dari lampu . . . . (Halaman 62)
Kalimat hidup dalam batas wajar saja memiliki kesamaan arti dengan tidak
mengimpikan kehidupan muluk, berarti terjadi pengulangan dalam satu
kalimat.
4. Baginya panas dan hujan bukan untuk dihindari tapi untuk dihadapi.
18
Bukan untuk dihindari sama artinya dengan dihadapi, berarti terjadi
perulangan kata dalam kalimat. Hanya saja bentuk katanya berbeda.
5. Kesalahan sikap berarti kehilanagn kepercayaan masyarakat dan turunlah
wibawanya, jika saja ini terjadi maka hilanglah kharismanya sebagai
pemimpin. (Halaman 64)
Turunlah wibawanya sama maknanya dengan hilanglah kharismanya, berarti
terjadi perulangan kata dalam kalimat. Hanya saja bentuk katanya berbeda.
6. “Siti, Saya harap kau mau berkata jujur dan terus terang. . . . “ (Halaman 85)
Berkata jujur sama maknanya dengan terus terang, berarti terjadi
perulangan kata dalam kalimat. Hanya saja bentuk katanya berbeda.
4.5.5 Perifasis
Perifasis ialah gaya bahasa yang secara sengaja menggunakan frase, yang
sebenarnya dapat diganti dengan sebuah kata saja (Permendiknas, 2010: 106).
Ada delapan data gaya bahasa kiasmus yang ditemukan penulis dalam
analisis cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan
Biola Penghabisan, yaitu:
1. Mereka tambah riuh mendengar keteranga Dayat, tapi tak berani buka
mulut. (Halaman 32)
Frase buka mulut merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat diganti
dengan satu kata, yaitu bicara.
2. Ya, suaminya menghadap sang Khalik ketika gerimis di ujung senja.
(Halaman 42)
18
Frase ujung senja merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat diganti
dengan satu kata, yaitu sore.
3. Somad segera bangkit dan menuju lemari dimana tersimpan jempol
tangannya yang sudah berpisah dari dirinya. (Halaman 46)
Frase berpisah dari dirinya merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat
diganti dengan satu kata, yaitu putus.
4. E adalah seorang penjual obat kaki lima yang sehariannya selalu berteriak
dan menjual kata-kata. (Halaman 64)
Frase menjual kata-kata merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat
diganti dengan satu kata, yaitu membual.
5. Demikian juga bentuk badannya, mampu memancing kelakian setiap lelaki
yang memandangnya. (Halaman 86)
Frase memancing kelakian merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat
diganti dengan satu kata, yaitu menggoda.
6. . . . . juga tak terpikir oleh mereka apa penyebab Pak Karta sehingga
sangat sukar menemui ajalnya. (Halaman 94)
Frase menemui ajalnya merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat
diganti dengan satu kata, yaitu meninggal.
7. “Sudah berapa lama Pak Karta tidak sadarkan diri,” tanya lelaki tua itu.
(Halaman 96)
Frase tidak sadarkan diri merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat
diganti dengan satu kata, yaitu koma.
8. Sanak keluarga yang menghitung kekayaan Pak Karta seolah punah
harapannya melihat keanehan itu. (Halaman 97)
Frase punah harapannya merupakan gaya bahasa perifasis karena dapat
diganti dengan satu kata, yaitu kecewa.
18
Keraf (2006: 127) berpendapat bahwa yang dinamkan epizeukis adalah repetisi
yang bersifat langsung, artinya kata-kata yang dipentingkan diulang beberapa kali
berturut-turut.
Beberapa data gaya bahasa epizeukis yang ditemukan penulis dalam analisis
cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola
Penghabisan, yaitu:
1. Sakit, sakit sekali hatinya mendengar perkataan itu. (Halaman 27)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa epizeukis karena
terdapat kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut, yaitu kata
“sakit”.
2. “Lanjutkan, lanjutkan,” teriak mereka dengan nada takut dan gelisah.
(Halaman 31)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa epizeukis karena
terdapat kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut, yaitu kata
“lanjutkan”.
3. “Betul, betul, “ teriak mereka. (Halaman 32)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa epizeukis karena
terdapat kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut, yaitu kata
“betul”.
4. Bapak Kepala Desa memandang wajah Siti, Siti kelihatan sesenggukan,
matanya balut dan wajah itu terlihat kusut. (Halaman 84)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa epizeukis karena
terdapat kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut, yaitu kata
“Siti”.
18
Keraf (2006: 127) berpendapat bahwa anaphora adalah repetisi yang berwujud
pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada
kalimat berikutnya
Dari hasil analisis, penulis menemukan delapan data gaya bahasa kiasmus
dalam cerpen Bom, Ah. . . Gerimis Itu, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan
Biola Penghabisan. Kedelapan data tersebut adalah:
1. Ia menganggur bukan karena ia pemalas, bukan pula karena otaknya
bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak maunya bermain-main dengan
uang persekot. (Halaman 27)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi
yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat
berikutnya yaitu kata “Ia menganggur”.
2. Saya tidak usah digari, saya tidak akan lari. . . . “ (Halaman 29)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi
yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat
berikutnya yaitu kata “saya”.
3. Panik memikirkan anak buah, panik memikirkan langganan, panik
memikirkan pembukuan, dan lain-lain. (Halaman 63)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi
yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat
berikutnya yaitu kata “panik”.
4. Tiada hidup yang tanpa beban, tiada hidup yang tanpa tanggung jawab.
(Halaman 66)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi
yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat
berikutnya yaitu kata “tiada hidup”.
18
5. Dalam bahagia ia menangis, dalam duka ia pun menangis, itulah
perempuan. (Halaman 83)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi
yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat
berikutnya yaitu kata “dalam”.
6. Ada suara perempuan menangis, ada suara orang membentak-bentak, dan
ada suara segerombolan orang berseru; Bawa ke rumah penghulu! Bawa
ke rumah penghulu. (Halaman 84)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi
yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat
berikutnya yaitu kata “ada suara”.
7. Wajah itu lugu, wajah gadis desa. (Halaman 85)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi
yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat
berikutnya yaitu kata “wajah”.
8. Perlahan-lahan ia gesek senar biola. Perlahan sekali, dari gesekan tersebut
mengalun musik “Selendang Sutra”. (Halaman 97)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa anafora karena ada repetisi
yang berwujud pengulangan kata pertama di awal kalimat awal dan kalimat
berikutnya yaitu kata “perlahan”.
Dalam dokumen
Kekuatan Unsur Intrinsik Cerpen Dalam Kumpulan Cerpen Ah. . . Gerimis Itu Karya Hidayat Banjar: Analisis Struktural
(Halaman 49-63)