• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN

4.2 Hubungan Unsur-Unsur Intrinsik

4.2.3 Hubungan Alur Dengan Sudut Pandang, Gaya Bahasa, Tema,

dan disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan dan penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 1995: 113). Proses kreatif tersebut, dapat berupa penggunaan sudut pandang, bahasa, tema, dan amanat yang mendukung jalan cerita.

Pemilihan sudut pandang bukan hanya masalah pemilihan orang pertama atau ketiga, tetapi lebih kepada pemilihan siapa tokoh “dia” atau “aku”. Masalah siapa tokoh “dia” atau “aku” penting dan menentukan, sebab dari kacamata tokoh-tokoh tersebutlah segala sesuatu akan dipandang dan dikemukakan. Demikian pula dengan jalan cerita (alur), berkaitan erat dengan kemunculan “dia” atau “aku” dalam cerita.

Cerpen Opportunitis memunculkan tokoh dalam dua sudut pandang sekaligus. Karena tokoh-tokoh tersebutlah yang membawa alur cerita. Adakalanya pengarang menampilkan sudut pandang orang ketiga, namun di waktu lain penampilan tokoh menggunakan sudut pandang orang pertama. Seperti penampilan tokoh C dalam cerita berikut ini:

C seoarang penarik becak, hari-harinya ia lalui dengan genjotan pedal becak. Perutnya tidak akan terisi jika kakinya tidak mengayuh. Baginya hujan dan panas bukan untuk dihindari tapi untuk dihadapi. Siang yang terik saat mentari di ubun-ubun, dimana manusi duduk mengaso, menghinadari kulit dari dari sengatan mentari. Tapi bagi si C itu tidak ada, ia hrus mengayuh terus. Saat-saat seperti ini selalu saja ia bermimpi menjadi seorang pedagang walau hanya pedagang kelas sedangan, itu baginya suatu kebahagiaan. (Halaman 62 – 63)

18

Ketika menggambarkan keadaan tokoh C, pengarang berperan sebagai pengamat yang menceritakan dengan bebas segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh C. Baik sikap atau pun pikiran. Tetapi, ketika pengarang ingin mengungkapkan perasaan tokoh C, maka pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama dan bertindak sebagai diri tokoh C, seperti berikut ini:

“Aku tidak akan kena panas dan hujan bila dulu aku jadi seorang pedagang yang hanya menunggu pembeli, tidak usah mencari-cari,” celotehnya selalu dalam hati. Namun yang jelas saat ini ia selalu kayuh becaknya. (Halaman 63)

Agar pembaca mampu memahami tema yang disampaikan oleh pengarang, pengarang harus mampu menampilkan peristiwa demi peristiwa secara tepat dan menarik. Misalnya saja, dalam pemilihan dan pemunculan konflik cerita. Keberadaan tema tidak akan mampu diungkap pembaca, jika pengarang tidak mampu menampilakan plot (alur) yang memiliki kesatupaduan. Banyak cerita yang bertema kritik sosial seperti

cerpen Kawin Undi, temanya tidak akan dapat ditafsirkan oleh pembaca karena

pengarang menyajikan peristiwa dengan jalinan yang rumit. Cerpen Kawin Undi memiliki alur maju, alur yang mudah dipahami. Peristiwa diceritakan secara runtut, namun konflik yang diangkat justru hal yang tidak diduga. Ditambah lagi dengan penyelesaian yang mungkin saja tidak dapat diterima oleh pembaca. Menyelesaikan masalah berat dengan cara yang ringan, namun disukai oleh para tokoh yang terlibat dalam cerita, seperti dalam kutipan berikut:

Pemunculan konflik:

Tiba-tiba kesunyian itu pecah, dari sebelah utara terdengar suara ribut-ribut. Ada suara perempuan menangis, ada suara orang membentak-bentak, dan ada suara segerombolan orang yang berseru; bawa ke rumah penghulu! Bawa ke rumah penghulu. Bapak Kepala Desa bangkit perlahan dari pembaringannya. Ia ambil senter. Dengan perlahan pula ia membuka pintu dan menuju ke pekarangan rumah. Dari kejauhan terlihat kelap-kelip lampu sentir dan tubuh hitam bergerombol menuju rumah Bapak Kepala Desa. (Halaman 84)

18

“Ayo, kenapa diam, katakanlah siapa yang menghamilimu. Saya berjanji apa-apa yang mnejadi persolan warga desa saya, adalah persoalan saya juga. Maka itu jangan takut. Ayo, katakanlah.”

“Eee, bagaimana ya saya mengatakannya. . .” “Jangan ragu, katakan saja,”

“Mmmmereka ada tuuuuujuh orang Pak,” dengan sangat payah Siti mengucapkan kata-kata itu.

“Haa,” serentak mereka terperangah. “Astaga,” lanjut Pak Bohim dan istrinya. Bapak Kepala Desa mengernyitkan dahinya. Tak pernah ia menduga sama sekali. . . . (Halaman 85 – 86)

Tahap akhir (penyelesaian):

Setelah semua diinterogasi, maka dijumlahkan Siti telah 23 kali disetubuhi oleh mereka. Masing-masing ada yang tiga kali, ada yang empat, dan ada yang dua kali. Anehnya, mereka bersedia diadakan undian, seperti halnya arisan, siapa yang mendapat tulisan yang ditulis oleh tangan Siti, ialah yang akan jadi suami Siti. Kertas itu digulunglah sebanyak 23 gulungan sesuai dengan jumlah persetubuhan itu. Dan siapa yang empat kali menyetubuhi, empat gulungan kertas pula yang ia ambil – sesuai dengan jumlah persetubuhan mereka dengan Siti.

Dengan hati berdebar-debar mereka membuka kertasnya masing-masing.

“Hore. . . .” teriak Sigit kegirangan. Ternyata ia yang berhasil mendapat tulisan yang ditulis oleh tangan Siti. Sigit dan Siti berpandangan sejenak, lalu mereka berpelukan dengna mesra menunjukkan kesenangan mereka dan rasa kasih sayang yang mungkin selama ini terpendam. Ibu dan Bapak Bohim cerah wajahnya, Bapak Kepala Desa dan Ibu tak habis pikir. (Halaman 88)

Jalinan peristiwa yang tepat juga memudahkan pembaca dalam menemukan amanat yang terkandung dalam cerita. Pembaca memerlukan konflik utama dan penyelesaian yang jelas dalam menafsirkan amanat.

Pada cerpen Bom, pengarang menyampaikan kritik sosial tentang budaya kolusi yang telah mengakar di negri ini, maka di awal cerita pengarang memperkenalkan tokoh Dayat sebagai pribadi yang jujur, tidak mau terlibat dalam kegiatan suap-menyuap (persekot). Akibatnya tokoh Dayat sulit mendapatkan pekerjaan, karena hanya bermodalkan kepintaran dan keidealisannya. Dalam penyajian cerita, pembaca terlebih dahulu dibawa oleh pengarang dalam jalinan peristiwa penyebab konflik terjadi. Barulah di akhir cerita, setelah pembaca memahami dan mampu memasuki peristiwa yang dibangun, pengarang memasukkan pesan dalam cerita, seperti berikut ini:

18

Bagaimana tidak sakit, sewaktu masih di SMA dulu, Dayat pernah uji Intelegensia Quation (IQ)-nya, ternyata angka dari mesin penguji menunjukkan 135, bukan suatu angka yang bisa dimain-mainkan. Kenyataan itu dibuktikan lagi dengan hasil ujian akhirnya, STTB-nya menampakkan nilai 7,0 rata-rata, Dayat memperoleh rangking III dari 500 lebih siswa. Dengan ijazah SMA jurusan IPA (Ilmu Pasti Alam) itulah Dayat memasuki perusahaan-perusahaan, kantor-kantor. Kenyataannya sampai sekarang ia tidak juga dapat pekerjaan. Hal itu karena tidak adanya persekot, itulah kesimpulan kerjanya selama tiga tahun ini. Dengan satu tekad ia memberi satu putusan dalam hatinya bahwa tidak hanya dengan mengandalkan persekot ia dapat bekerja, aku harus bekerja tanpa persekot, itu ditanamkannya dalam hati. (Halaman 27-28)

Pemunculan konflik: Bapak Yth.

Di desa saya, lingkungna 007 ditemui 1 kotak bom yang diduga masih aktif. Saya sebagai warga yang baik melaporkan hal ini kehadapan Bapak, agar Bapak dapat mengamankan bom tersebut. (Halaman 28)

Klimaks:

“OK . . . Bapak-bapak dan Saudara-saudara, Bom itu berkekuatan sangat dahsyat sekali. Jika ia meledak seluruh kampung kita ini akan hancur dibuatnya. Dan bom itu tidak hanya ada di kampung kita ini saja. Di kampung-kampung lain juga banyak berserakan.” Mendengar seluruh kampung ada bom, orang tua pada tarik napas terutama kaum wanita. (Halaman 31 – 32)

Tahap Akhir (Penyelesaian):

“. . . . Persekotlah yang menciptakan bom yang sangat dahsyat itu. Lihat di kampung kita ini berapa banyak mereka pemuda-pemudanya yang pengangguran. Tidaklah itu bom-bom yang sangat dahsyat yang setiap saat bisa meledak. Tidak saja meledakkan daerah kita ini, tetapi juga daerah lain.’

Mereka terperangah mendengar ucapan Dayat. Astaga, itulah ucapan yang terlontar dari mulut mereka, tak pernah mereka berpikir sejauh itu. (Halaman 32)

Dokumen terkait