• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN

4.1 Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik

4.1.6 Tema

Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan

arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif (Juhl dalam Teeuw, 1984: 27).

Tema adalah gagasan, ide atau pilihan yang mendasari suatu karya sastra. Tema,

kadang-kadang didukung di dalam lakuan tokoh atau di dalam penokohan. Tema

bahkan dapat menjadi faktor yang mengikat suatu peristiwa di dalam satu alur.

18

Tema itu mewakili pemikiran dasar atau tujuan utama penulisan suatu karya sastra

(Sulastin, 1983: 128). Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema

merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra

(1991: 52). Biasanya tema dinyatakan sesingkat-singkatnya. Misalnya, tema suatu

cerita ialah kawin paksa.

Untuk menafsirkan tema suatu karya sastra dapat digunakan kata kunci, yaitu

lewat judul suatu karya sastra (Sulastin, 1983: 129). Mursal Esten (1982: 92)

menyatakan tiga kriteria dalam mengindentifikasi tema sebuah cerita, yaitu:

1. Lihat persoalan mana yang paling menonjol.

2. Secara kuantitatif, persoalan mana yang paling banyak menimbulkan

konflik-konflik dalam melahirkan peristiwa.

3. Menentukan waktu penceritaan, yaitu waktu yang diperlukan untuk

menceritakan peristiwa-peristia atau tokoh-tokoh di dalam sebuah sastra.

Ketiga kriteria tersebut memudahkan kita dalam menentukan tema. Ketiganya

tidak mutlak digunakan sekaligus. Ketiga krietria tersebut digunakan sesuai

urutan. Jika masih ada keraguan dalam menentukan tema sebuah cerita, Stanton

(Nurgiyatoro, 1995: 87 – 88) menawarkan empat langkah lebih rinci dalam

menafsirkan tema.

1. Penafsiran tema dalam sebuah cerita hendaknya mempertimbangkan setiap

detil cerita yang menonjol. Biasanya, tokoh-masalah-konflik utama

merupakan tempat yang strategis untuk mengungkapkan tema sebuah

cerita.

2. Penafsira tema sebuah cerita hendaknya tidak bertentangan dengan tiap

detil cerita. Pengarang tidak akan mungkin menjatuhkan sikap dan

18

keyakinan yang diungkap melalui detil cerita tertentu lewat detil cerita

lainnya. Jika hal tersebut terjadi, coba ulangi sekali lagi penafsiran tema

tersebut, mungkin terjadi kesalahpahaman.

3. Tema cerita tidak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, atau

sesuatu yang dibayangkan ada dalam cerita. Perlu adanya bukti empiris.

4. Penunjukkan tema sebuah cerita harus berdasarkan data-data langsung,

artinya kata-kata yang ditemukan dalam cerita. Maupun data tidak

langsung, artinya berupa penafsiran terhadap kata-kata yang ada dalam

cerita. Data-data sebagai bukti langsung juga dapat berupa dialog dalam

cerita.

Berdasarkan keterangan di atas, penulis menemukan tema dalam setiap cerpen

pada kumpulan cerpen Ah. . .Gerimis Itu karya Hidayat Banjar.

Cerpen Bom bertema budaya kolusi yang telah mengakar di masyarakat,

dalam cerpen pengarang menyebutnya persekot (uang suap atau uang sogok).

Pemberian persekot agar mendapatkan pekerjaan menjadi hal yang biasa dalam

masyarakat, sehingga banyak orang pintar yang menganggur karena tidak mau

atau tidak mampu membayar persekot. Membayar persekot untuk mendapatkan

pekerjaan dianggap sebagai hal yang lumrah. Tanpa disadari oleh masyarakat,

budaya persekot menjadi pemicu utama ledakan pengangguran di desa Dayat,

tokoh dalam cerpen Bom.

Telah tiga tahun Dayat mengangur. Ia menganggur bukan karena ia pemalas,

bukan pula karena otaknya bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak mau

bermain-main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahaan ini dan

pernah pula ke perusahaan itu, koneksinya mengatakan, “Yat, kalau kau tidak

sanggup membayar empat retus ribu ke atas, jangan harap kau dapat pekerjaan.”

(Halaman 27)

18

Selanjutnya di akhir cerita, tokoh Dayat menjelaskan kenapa persekot bisa

menjadi bom yang sangat dahsyat.

“Nah . . . . dengarkan baik-baik, dimana dan bagaimana bentuk bom itu. Saya telah lama tamat dari SMA dan sampai sekarang menganggur. Saya bukan malas bekerja, juga bukan bodoh. Teman-teman tahu bukan, keadaan saya. Saya tidak bekerja dikarenakan tidak ingin bermain-main dengan persekot. Akibatnya sampai sekarang menganggur. Persekotlah yang menciptakan bom yang sangat dahsyat itu. Lihat di kampung kita ini berapa banyak mereka pemuda-pemudanya yang pengangguran. Tidaklah itu bom-bom yang sangat dahsyat yang setiap saat bisa meledak. Tidak saja meledakkan daerah kita ini, tetapi juga daerah lain.’

Mereka terperangah mendengar ucapan Dayat. Astaga, itulah ucapan yang terlontar dari mulut mereka, tak pernah berpikir sejauh itu. (Halaman 32)

Berbeda dengan cerpen Bom yang menggambarkan permasalahan dalam

masyarakat, cerpen Ah...Gerimis Itu bertemakan kesedihan mendalam dan perasaan bersalah seorang isteri atas kematian suaminya.

Dalam temaramnya lampu teplok, Imah tadahkan tangan, mohon keampunan pada Khalik atas dosa-dosanya. Menurut Imah, dirinyalah sumber petaka. Dirinyalah penyebab sang suami pergi untuk selama-lamanya. Ya, suaminya menghadap Sang Khalik ketika gerimis di ujung senja. Itulah sebabnya Imah jadi ngilu ketika gerimis tiba. (Halaman 42)

Perasaan bersalah Imah, isteri Somad karena kematian suaminya yang mendadak setelah sang suami mengikuti keinginan konyol sang isteri untuk menyatukan kembali jempol Somad yang telah dipotong karena digigit ular.

“Bang mari Imah lengketkan kembali jempol ini di tangan Abang,” pinta Imah pada Somad. Somad pun mengulurkan tangannya. Tapi, begitu jempol itu bersatu lagi dengan tangan Somad, Somad berteriak histeris. Tubuhnya kejang, matanya merah, dari seluruh pori-porinya keluar keringat.

Melihat hal itu imah jadi bingung, ia pun berteriak minta tolong. Dan, begitu tetangga berdatangan, Somad sudah menghembuskan nafas untuk terakhir kali. Dokter mengatakan – sesuai dengan hasil diagnosa, Somad mati karena keracunan bisa ular. (Halaman 46)

Cerpen Oppotunitis memiliki tema ketidaksyukuran manusia atas hidup yang dijalani. Karena tidak puas dengan takdir yang ditetapkan Tuhan atas dirinya, manusia sering kali terjebak dalam andai-andai yang panjang. Itulah yang diceritakan dalam cerpen Oppotunitis.

18

Ada enam tokoh dalam cerpen Oppotunitis, tokoh A, B, C, D, E, dan F. Keenam tokoh tersebut memiliki profesi berbeda. Namun, mereka selalu menyesali profesi yang telah mereka jalani karena merasa salah dalam memilih jalan hidupnya dahulu. Misalnya saja tokoh C yang berprofesi menjadi penarik becak, berpikir hidupnya tidak akan susah seandainya ia menjadi pedagang, seperti dalam kutipan berikut:

“Aku tidak akan kena panas dan hujan bila dulu aku jadi seorang pedagang, yang hanya menunggu pembeli, tidak perlu mencari-cari,” celotehnya selalu dalam hati. Namun yang jelas sampai saat ini ia terus kayuh becaknya. (Halaman 63)

Sementara itu, tokoh D yang berprofesi sebagai pedagang merasa hidupnya sangat sulit dan berpikir hidupnya akan lebih mudah jika dahulu ia memilih jadi petani, tukang becak, atau jadi gelandangan saja. Seperti kutipan berikut:

“Wah...jika saja dulu aku memilih hidup dengan sederhana saja, tentu aku akan mengalami ketenangan. Yakh...jadi petani, tukang becak, gelandangan, atau sejenisnya, tanpa beban mental ini itu. Aku tidaka akan pernah memikirkan gaji pegawai, pelayanan kepada pembeli, persaingan dan macam soal. Aku cukup memikirkan diriku, tanpa perlu memahami ilmu jiwa dan ini itu yang menyangkut pemasaran. Jika saja aku seperti mereka, oh...bahagianya aku,” selalu saja D memikirkan kebosanan-kebosanannya. Kenyataannya ia tetap dengan dagangannnya, ia tetap dengan spekulasinya. (Halaman 63)

Begitu juga dengan tokoh-tokoh lainnya yang menggambarkan penyesalan manusia karena sulitnya hidup yang harus dijalani. Semua itu karena manusia selalu kurang bersyukur.

Degradasi moral yang dialami masyrakat, khususnya di kalangan pemuda kita. Itulah tema yang diangkat pengarang dalam cerpen Kawin Undi. Bercerita tentang tokoh Siti, seorang gadis desa yang dihamili oleh tujuh pemuda desa. Bukan pemuda berandalan, melainkan pemuda baik-baik dari orang tua yang dikenal kesantunannya.

”Sigit? Sigit, anak saya ikut?” Sekali lagi Bapak Kepala Desa dikejutkan oleh jawaban Siti. Ia serasa tak yakin. Nama-nama dikatakan Siti di atas dapat dikategorikan sebagai pemuda baik-baik saja adanya. Seperti Sarmin, bapaknya seorang guru mengaji di langgar, Bambang, anak sederhana itu. Demikian juga dengan Tanto, maupun yang lain, Sigit pun ia tidak tahu sekali perilakunya. Setelah menarik napas dalam-dalam, berpikir beberapa saat, barulah agak tenang sedikit perasaan Bapak Kepala Desa. (Halaman 86 – 87)

18

Setelah diketahui siapa saja yang menghamili Siti, maka mereka pun diinterogasi dan disidang oleh Bapak Kepala Desa. Ternyata Siti tidak diperkosa, karena persetubuhan terjadi atas kesepakatan bersama. Ketujuh pemuda tersebut tidak merasa malu atas perbuatannya. Mereka menganggap, persetubuhan yang mereka lakukan bukanlah kesalahan karena dilakukan tanpa paksaan.

”Nah, kalian semua, apakah kalian semua terlibat.”

”Iiiya Pak, taaaapi kaaami tidakk memperrrkosa pak,” jawab mereka serempak. ”Kau dengar Siti, mereka tidak ada memperkosamu,” Siti hanya sesenggukan tidak menjawab.

”Kami membayar seratus lima puluh rupiah Pak sekali main,” suara koor dari mereka.

”Dan kami tidak hanya main di tegalan saja, tetapi juga di rumah Siti kalau orang tuanya tidak ada,” sambung Bambang. Astaga pelacuran kelas apaan. (Halaman 88)

Karena bingung siapa yang harus bertanggung jawab atas anak yang dikandung Siti, maka Bapak Kepala Desa melakukan undian layaknya arisan. Pemenangnya akan dinikahkan dengan Siti dan menjadi ayah dari anak yang dikandungnya. Anehnya, hal tersebut disambut antusias oleh ketujuh pemuda.

Dengan hati berdebar-debar mereka membuka kertasnya masing-masing.

”Hore . . . .” teriak Sigit kegirangan. Ternyata ia yang berhasil mendapat tulisan yang ditulis tangan oleh Siti. Sigit dan Siti berpandangan sejenak, lalu mereka berpelukan dengan mesra menunjukkan kesenangan mereka dan rasa kasih yang mungkin selama ini terpendam. Ibu dan Bapak Bohim cerah wajahnya, Bapak Kepala Desa dan Ibu tak habis pikir. (Halaman 88)

Begitulah degradasi moral yang dialami masyarakat muda kita, hilangnya rasa malu. Malu karena melanggar norma kesusilaan, malu karena berbuat kesalahan, tidak lagi tertanam dalam diri pemuda kini.

Tentang kerinduan juga diceritakan oleh pengarang dalam cerpen Alunan Biola

Penghabisan. Kerinduan Pak Karta, seorang veteran akan alunan musik dari biola

kesayangannya. Alunan musik yang senantiasa membawa Pak Karta pada masa jaya, masa mudanya. Masa ketika perjuangannya sangat dihargai oleh orang sekitar. Masa

18

ketika ia masih dapat menikmati waktu senggang. Masa ketika ia masih memiliki kemenangan jiwa meski perang bergejolak.

Telah hampir seminggu Pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga Pak Karta telah sibuk. Sebahagian telah sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki oleh Pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab Pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja Pak Karta telah sukar, jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lama yang ditemuinya. (Halaman 94)

Kerinduan Pak Karta akhirnya terobati dengan kedatangan Pak Brata teman seperjuangannya. Pak Brata punya kesenangan yang sama dengan Pak Karta, sehingga ia tahu apa yang dicari dan dirindukan oleh Pak Karta.

Perlahan-lahan ia gesek senar biola. Perlahan sekali, dari gesekan tersebut mengalun musik “Selendang Sutra.” Dengan serta merta mendengar alunan biola itu Pak Karta mulai bergerak. . . .

Pak Karta menggerakkan tangannya seakan ingin meraba dan mencari sesuatu. Lelaki tua itu menyadari akan hal itu. Ia dekatkan dirinya pada Pak Karta sambil berbisik, “Saya adalah Brata, Pak Karta, teman seperjuanganmu.” Ia rapatkan badannya pada Pak Karta, sambil ia terus gesek biola itu. Air mata Pak Karta menetes, mulutnya seakan bergerak tetapi suaranya tidak terdengar. Pak Karta tersenyum, istrinya dan lelaki tua itu pun tersenyum. Namun senyum mereka seakan cemoohan bagi sebahagian keluarga Pak Karta yang mengharapkan harta kekayaan Pak Karta yang tidak seberapa itu. (Halaman 97 – 98)

Setelah kerinduannya terobati, barulah Pak Karta merasa tenang dan dengan rela meninggalkan dunia, kembali pada Sang Pencipta.

Alunan biola semakin sendu, wajah Pak Karta kian teduh, matanya tidak lagi menyala dan liar. Dengan senyum di bibir ia mengucap dengan perlahan sekali tetapi

pasti, “Lailahhaillallah Muhammadarrasulullah.” Denyut nadinya terhenti.

Innalillahiwinnailaihirojiun” ujar sebahgian mereka. “Alhamdulillah” ucap sebahagian

lagi. “Inilah kenyataan” tutur lelaki tua itu. (Halaman 98)

Dokumen terkait