• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN

4.1 Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik

4.1.3 Alur

Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu. Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun cerita itu disebut dengan alur (plot) (Sudjiman, 1992: 19). Atar Semi (1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan karya fiksi. Lebih lanjut Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya.

Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur terbagi menjadi:

a. Alur maju (konvensional progresif) adalah teknik pengaluran dimulai dari

melukiskan keadaan hingga penyelesaian.

b. Alur mundur (flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan keadaan.

c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.

Cerpen Bom, Opportunitis, Kawin Undi, dan Alunan Biola Penghabisan memiliki alur maju (konvensional progesif). Pada alur maju peristiwa-peristiwa dikisahkan secara

18

kronologis atau runtut. Dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian) (Nurgiyantoro, 1995: 154).

Tahap awal pada cerpen Bom, penyituasian.

Telah tiga tahun Dayat menganggur. Ia menganggur bukan karena ia pemalas bukan karena otaknya bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak maunya ia bermain-main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahaan ini dan pernah pula ke perusahaan itu, koneksinya mengatakan, “Yat, kalau kau tidak sanggup membayar empat ratus ribu ke atas, jangan harap kau akan dapat pekerjaan.” Sakit, sakit sekali hatinya mendengar perkataan itu. (Halaman 27)

Pengenalan:

Bagaimana tidak sakit, sewaktu masih di SMA dulu, Dayat pernah uji Intelegensia Quation (IQ)-nya, ternyata angka dari mesin penguji menunjukkan 135, bukan suatu angka yang bisa dimain-mainkan. Kenyataan itu dibuktikan lagi dengan hasil ujian akhirnya, STTB-nya menampakkan nilai 7,0 rata-rata, Dayat memperoleh rangking III dari 500 lebih siswa. Dengan ijazah SMA jurusan IPA (Ilmu Pasti Alam) itulah Dayat memasuki perusahaan-perusahaan, kantor-kantor. Kenyataannya sampai sekarang ia tidak juga dapat pekerjaan. Hal itu karena tidak adanya persekot, itulah kesimpulan kerjanya selama tiga tahun ini. Dengan satu tekad ia memberi satu putusan dalam hatinya bahwa tidak hanya dengan mengandalkan persekot ia dapat bekerja, aku harus bekerja tanpa persekot, itu ditanamkannya dalam hati. (Halaman 27-28)

Pemunculan konflik: Bapak Yth.

Di desa saya, lingkungna 007 ditemui 1 kotak bom yang diduga masih aktif. Saya sebagai warga yang baik melaporkan hal ini kehadapan Bapak, agar Bapak dapat mengamankan bom tersebut.

Hormat saya penduduk Lingkungan 007

(Dayat) (Halaman 28)

18

Klimaks menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (1995: 127), adalah saat konflik mencapai intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari kejadiannya.

Klimaks pada cerpen Bom adalah ketika Dayat, sang tokoh utama berpidato di hadapan semua tokoh dan aparat desa, guna memberikan penjelasan isi surat yang dikirimkannya ke instansi-instansi pemerintahan yang ada di sekitar desanya.

“OK . . . Bapak-bapak dan Saudara-saudara, Bom itu berkekuatan sangat dahsyat sekali. Jika ia meledak seluruh kampung kita ini akan hancur dibuatnya. Dan bom itu tidak hanya ada di kampung kita ini saja. Di kampung-kampung lain juga banyak berserakan.” Mendengar seluruh kampung ada bom, orang tua pada tarik napas terutama kaum wanita.

“Tapi aparat pemerintah dan juga penduduk setempat kurang memperhatikan bom-bom yang ganas itu. Maka saya sebagai manusia yang berpikir merasa berkewajiban mengamankan bom-bom itu.” Mereka tambah riuh mendengar keterangan Dayat, tapi tak ada yang berani buka mulut. Dalam benak mereka terbayang sebuah kampung yang hancur oleh keganasan bahan peledak itu. Ya, Hirosima, Nagasaki, mereka membayangkan kedahsyatannya. (Halaman 31 – 32)

Tahap Akhir (Penyelesaian):

Tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana akhir atau penyelesaian cerita. Penyelesaian dalam cerita dapat berupa kebahagiaan atau kesedihan, atau penyelesaian cerita yang masih menggantung, masih menimbulkan tanda tanya, rasa penasaran, atau bahkan ketidakpuasan pembaca (Nurgiyantoro, 1995: 146 – 147)

Pada cerpen Bom, penyelesaian berupa penjelasan dari tokoh utama tentang konflik yang dimunculkannya, seperti berikut ini:

“Nah . . . . dengarkan baik-baik, dimana dan bagaimana bentuk bom itu. Saya telah lama tamat dari SMA dan sampai sekarang menganggur. Saya bukan malas bekerja, juga bukan bodoh. Teman-teman tahu bukan, keadaan saya. Saya tidak bekerja dikarenakan tidak ingin bermain-main dengan persekot. Akibatnya sampai sekarang menganggur. Persekotlah yang menciptakan bom yang sangat dahsyat itu. Lihat di kampung kita ini berapa banyak mereka pemuda-pemudanya yang pengangguran. Tidaklah itu bom-bom yang sangat dahsyat yang setiap saat bisa meledak. Tidak saja meledakkan daerah kita ini, tetapi juga daerah lain.’

18

Mereka terperangah mendengar ucapan Dayat. Astaga, itulah ucapan yang terlontar dari mulut mereka, tak pernah mereka berpikir sejauh itu. (Halaman 32)

Tahap Awal pada cerpen Opportunitis, penyituasian dan pengenalan:

A adalah seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapi lumpur, tanah dan alang-alang. Dengan rumah berdinding tepas, jauh dari kebisingan kota. Bila malam tiba, ia tidak akan melihat cahaya lampu yang gemerlapan lazimnya kehidupan kota. Pada saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat inilah yang selalu mencekam perasaannya. (Halaman 61)

Pemunculan konflik:

Keseluruhan konflik pada cerpen Opportunitis adalah konflik batin yang terjadi pada diri tokoh-tokohnya.

“Seandainya dulu aku tidak meninggalkan kampungku, hidup dalam batas wajar saja, tidak menginginkan hidup muluk, tidak mengimpikan cahaya-cahaya berbagai warna dari lampu-lampu pertokoan yang selalu saja dihuni oleh orang kaya. Aku tidak akan hidup seperti ini menggelandang ke sana ke mari. Tidur di emperan toko dengan beralaskan apa saja. Seandainya dulu aku tidak meninggalkan kampungku, mungkin aku akan bias punya isteri yang baik yang bisa memperhatikan dan merawatku. Dan aku akan mempunyai anak-anak yang manis pelanjut kehidupan dan keturunanku. Duh……… betapa bahagianya hari tuaku. Walau aku hanya punya rumah yang cukup sederhana tapi aku bahagia, setidaknya aku bisa tidur tenang, tidak kedinginan begitu rupa.” (Halaman 62)

Klimaks:

Pada suatu ruangan yang besar. Ruangan inilah yang dinamakan dengan “Alam Rasa”, A, B, C, D, E, F, G, berkumpul. Mereka mengeluarkan keluhan masing-masing dan segala uneg-uneg yang mengganjal hati. Sebelum mereka mengeluarkan uneg-uneg itu, sebuah suara muncul dari tengah ruang dan menggema sampai ke pelosok jantung hati mereka.

Tahap Akhir (Penyelesaian):

Tahap akhir pada cerpen Opportunitis, pemyelesaiannya diserahkan pada pembaca. Artinya, penyelesaian masih menimbulkan tanda tanya.

“Hai..., A, B, C, dan lainnya dengarlah: sesungguhnya hidup adalah untuk memikul beban, hidup adalah untuk memikul tanggung jawab. Tiada hidup yang tanpa beban, tiada hidup yang tanpa tanggung jawab. Oleh karena itu keinginan yang diluar jangkauan katakanlah keingina ini itu, tidak lebih adalah sebuah sifat keaportunisan. Jika saja kamu menyandang gelar aportunis sejati, tidak beda kamu dengan seorang pecandu narkotik kelas wahid, tidak beda kamu denga pelamun-pelamun abadi. Maukah kau

18

seperti mereka?” Suara itu raib, mereka kembali terpental pada ruang kekinian. Berhasilkah mereka mencapai keakanan??

Tahap awal pada cerpen Kawin Undi berupa penyituasian dan pengenalan.

Pengenalan tentang tokoh Bapak Kepala Desa yang bertanggung jawab, seorang pemimpin yang memiliki loyalitas tinggi terhadap rakyatnya, seperti dalam kutipan berikut ini:

“Bukne, siapa lagi yang bakal……, sudah seminggu kudengar ayam jantan berkokok di saat senja akan berangkat malam,” Bapak Kepala Desa mengeluarkan gelisahnya pada sang istri saat mereka menikmati angin senja di beranda rumah.

”Ah, Bapak. Janganlah terlalu berfirasat. Kan biasa ayam yang baru besar, kapan saja ia berkokok, agar kelompok ayam yang lain tahu bahwa ia benar-benar menjadi ayam jantan. Dengan berkokoklah ia menunjukkan kejantanannya. (Halaman 81)

Pemunculan konflik:

Tiba-tiba kesunyian itu pecah, dari sebelah utara terdengar suara ribut-ribut. Ada suara perempuan menangis, ada suara orang yang membentak-bentak, dan ada suara segerombolan orang yang berseru; bawa ke rumah penghulu! Bawa ke rumah penghulu. Bapak Kepala Desa bangkit perlahan dari pembaringannya. Ia ambil senter. Dengan perlahan pula ia membuka pintu dan menuju ke pekarangan rumah. Dari kejauhan terlihat kelap-kelip lampu sentir dan tubuh hitam bergerombol menuju rumah Bapak Kepala Desa. (Halaman 84)

Klimaks:

Puncak konflik pada cerpen Kawin Undi, ketika tokoh Siti mengungkapkan bahwa ia hamil karena telah diperkosa oleh tujuh pemuda desa dan salah satu di antara pemuda tersebut adalah Sigit, anak Bapak Kepala Desa yang begitu dihormati karena kebijaksaannya. Yang lebih mengejutkan warga, tujuh nama yang disebutkan Siti adalah pemuda-pemuda desa yang baik. Namun, ketujuh pemuda tersebut membantah jika mereka telah memperkosa Siti. Mereka melakukannya atas dasar mau sama mau. Dan ketujuh pemuda tersebut mengakui bahwa mereka membayar pada Siti setiap kali persetubuhan.

”Siapa-siapa mereka,” tanya Bapak Kepala Desa tajam.

”Tanto, Sarmin, Bambang, Agus, Karjo, dan Sigit,” jawab Siti tersendat-sendat. ”Sigit? Sigit, anak saya ikut?” Sekali lagi Bapak Kepala Desa dikejutkan oleh jawaban Siti. Ia serasa tak yakin. Nama-nama dikatakan Siti di atas dapat dikategorikan sebagai

18

pemuda baik-baik saja adanya. Seperti Sarmin, bapaknya seorang guru mengaji di langgar, Bambang, anak sederhana itu. Demikian juga dengan Tanto, maupun yang lain, Sigit pun ia tidak tahu sekali perilakunya. (Halaman 86 – 87)

Iiiiya Pak, taaaapi kaaami tidakkk memperrrkosa pak,” jawa bmereka serempak. ”Kau dengar Siti, mereka tidak ada memperkosamu,” Siti hanya sesenggukan tidak menjawab.

”Kami membayar seratus lima puluh rupiah perorang Pak sekali main,” suara koor dari mereka. (Halaman 88)

Tahap Akhir (Penyelesaian):

Setelah tujuh pemuda dikumpulkan dan ditanyai, mereka mengaku tidak memperkosa Siti. Persetubuhan tersebut terjadi atas kesepakatan bersama. Ketujuh pemuda tersebut bersedia bertanggung jawab. Lalu Bapak Kepala Desa melakukan undian, layaknya arisan, untuk menentukan siapa yang berhak menjadi suami Siti.

Setelah semua diinterogasi, maka dijumlahkan bahwa Siti telah 23 kali disetubuhi oleh mereka. Masing-masing ada yang tiga kali, ada yang empat, dan ada yang dua kali. Anehnya, mereka setuju diadakan undian, seperti halnya arisan, siapa yang mendapat tulisan yang ditulis oleh tangan Siti, ialah yang akan jadi suami Siti. Kertas itu digulunglah sebanyak 23 gulungan sesuai dengan jumlah persetubuhan itu. Dan siapa yang empat kali menyetubuhi, empat gulungan kertas pula yang ia ambil – sesuai dengan jumlah persetubuhan mereka dengan Siti.

Dengan hati berdebar-debar mereka membuka kertasnya masing-masing.

”Hore . . . .” teriak Sigit kegirangan. Ternyata ia yang berhasil mendapat tulisan yang ditulis tangan oleh Siti. Sigit dan Siti berpandangan sejenak, lalu mereka berpelukan dengan mesra menunjukkan kesenangan mereka dan rasa kasih yang mungkin selama ini terpendam. Ibu dan Bapak Bohim cerah wajahnya, Bapak Kepala Desa dan Ibu tak habis pikir. (Halaman 88)

Tahap Awal pada cerpen Alunan Biola Penghabisan, penyituasian dan pengenalan: Telah hampir seminggu Pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga Pak Karta telah sibuk. Sebahagian telah sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki oleh Pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab Pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja Pak Karta telah sukar, jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lama yang ditemuinya. (Halaman 94)

Pemunculan Konflik:

Hampir seluruh keluarga Pak Karta telah berkumpul, begitu juga dengan kerabatnya. Tapi Pak Karta belum juga menghembuskan napas terakhirnya. Matanya masih tetap melek, meski denyut nadinya semakin perlahan. Sorot matanya tetap menyala, seakan mencari sesuatu yang belum diketemukannya. Namun hal ini tidak diketahui oleh keluarga maupun kerabat yang telah hadir. Mereka hanya mengucap, Pak

18

Karta nyebutlah Pak, ingat Tuhan. Namun sedikitpun perkataan itu tidak digubris oleh Pak Karta. Atap genteng rumah telah dibuka beberapa lembar. Menurut kepercayaan mereka, jika Pak Karta mempunyai ilmu hitam ataupun karuhun di masa mudanya, ilmu hitam atau karuhan itu akan pergi lewat atap genteng yang dibuka. Sehingga ilmu hitam ataupun karuhun itu tidak menghalang-halangi berangkatnya nyawa Pak Karta meninggalkan tubuhnya. Tapi hal itu tidak juga menghasilkan apa-apa. Demikian juga dengan pembacaan surat Yassin, telah berulang kali dilakukan. Ini juga kepercayaan mereka, jika seorang dalam keadaan sekarat bacalah Surat Yassin, bila ia tidak serabuh juga berarti kematiannya telah dekat, dan kematiannya akan mudah, tidak dihalang-halangi oleh syaitan, demikian kepercayaan mereka. Namun hasilnya tetap juga nihil, Pak Karta belum juga menghembuskan napasnya, namun tidak juga sehat kembali. Ia tetap tersiksa, napasnya turun naik, denyut nadinya tidak teratur. Tapi sinar matanya tetap tajam. Mereka tidak mengetahui kalau Pak Karta tengah mencari sesuatu. Ia mencari sebuah suara yang biasa ia dengarkan sewaktu masih muda. (Halaman 95 – 96)

Klimaks:

“Buk Karta,” katanya tiba-tiba sambil menghapus air matanya. “Apakah Ibu masih menyimpan sebuah biola yang dulu selalu digesek oleh Pak Karta sewaktu jam-jam senggangnya?” Lelaki itu bertanya. Buk Karta mengernyitkan keningnya, lantas ia bergerak dari duduknya dan membuka almari. Ia menunjukkan sebuah biola pada lelaki tua itu. Lelaki tua itu manggut-manggut sambil menerima biola itu. Ia perhatikan bioala itu, berabu, menunjukkan telah lama tidak pernah dipegang ataupun digesek. Perlahan-lahan ia gesek senar biola. PerPerlahan-lahan sekali, dari gesekan tersebut mengalun musik “Selendang Sutra.” Dengan serta merta mendengar alunan biola itu Pak Karta mulai bergerak. Sanak keluarga yang sibuk menghitung harta kekayaan Pak Karta seolah punah harapannya melihat keanehan itu. Bu Karta yang tetap menunggui suaminya mempunyai harapan baru menyaksikan hal itu. (Halaman 97 – 98)

Tahap akhir (penyelesaian) pada cerepn Alunan Biola Penghabisan adalah kematian Pak Karta yang begitu tenang karena kerinduannya telah terobati. Kerinduan akan alunan musik dari biola kesayangannya yang mengingatkan tentang masa muda sebagai seorang pejuang, seperti berikut ini:

Alunan biola semakin sendu, wajah Pak Karta kian teduh, matanya tidak lagi menyala dan liar. Dengan senyum di bibir ia mengucap dengan perlahan sekali tetapi

pasti, “Lailahhaillallah Muhammadarrasulullah.” Denyut nadinya terhenti.

Innalillahiwinnailaihirojiun” ujar sebahgian mereka. “Alhamdulillah” ucap sebahagian

lagi. “Inilah kenyataan” tutur lelaki tua itu. (Halaman 98)

Dari lima cerpen yang diteliti, empat memiliki alur maju (konvensional progresif) sedangkan satu cerpen, yaitu Ah. . . Gerimis Itu memiliki alur mundur (flash back, sorot balik, regresif).

18

Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi berplot regresif, tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir (Nurgiyantoro, 1995: 154). Pengarang memulai cerita pada cerpen Ah...Gerimis Itu dengan tahap akhir, yaitu penyelesaian dari konflik batin yang dialami tokoh Imah, seperti berikut ini:

Dalam temaramnya lampu teplok, Imah tadahkan tangan, mohon keampunan pada Khalik atas dosa-dosanya. Menurt Imah, dirinyalah sumber petaka. Dirinyalah penyebab sang suami pergi untuk selama-lamanya. Ya, suaminya menghadap sang Khalik ketika gerimis di ujung senja. Itulah sebabnya Imah jadi ngilu bila gerimis tiba (Halaman 42)

Selanjutnya pengarang menceritakan tahap awal, berupa awal pertemuan Imah dengan Somad, bagaimana Imah tertarik dengan Somad hingga akhirnya mereka menikah. Pengarang menyajikan pertalian peristiwa secara kronologis hingga kemunculam konflik berupa keinginan Imah menyatukaan jempol suaminya yang telah diamputasi karena terkena bisa ular.

“Bang, jika jari Abang ini lengkap, Abang pasti lebih gagah lagi,” Imah menanggapi. “Boleh Imah melihat jempol Abang itu?” Lanjutnya bertanya.

Somad segera bangkit dan menuju lemari dimana tersimpan jempol tangannya yang sudah berpisah dari dirinya. Jempol itu masih utuh saja, sepertinya belum terlalu lama disimpan. Somad pun memberikan pada Imah. (Halaman 46)

Dan cerita diakhiri dengan klimaks, berupa kematian tokoh Somad dikala gerimis, ternyata jempol Somad yang disatukan kembali oleh Imah masih mengandung bisa ular, sehingga bisa tersebut menyerang jaringan tubuh Somad.

“Bang, mari Imah lengketkan kembali jempol ini di tangan Abang,” pinta Imah pada Somad. Somad pun mengulurkan tangannya. Tapi, begitu jempol itu bersatu lagi dengan tangan Somad, Somad berteriak histeris. Tubuhnya kejang, matanya merah, dari seluruh pori-porinya keluar keringat.

Melihat hal itu, Imah jadi bingung, ia pun berteriak minta tolong. Dan begitu tetangga berdatangan, Somad sudah menghembuskan napas untuk terakhir kali. Doketr mengatakan – sesuai dengan hasil diagnosa, Somad mati karena keracunan bisa ular.

Di luar, gerimis masih terus bernyanyi, menyayat-nyayat hati Imah. (Halaman 46 –

Dokumen terkait