• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN

4.1 Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik

4.1.4 Sudut Pandang

18

Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa dan tindakan itu dilihat. Pemilihan bentuk persona yang dipergunakan, akan memengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan, juga keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan (Stanton, 2007: 30).

Beberapa definisi tentang sudut pandang:

1. Sudut pandang adalah cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang

sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai

peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca

(Abrams dalam Nurgiantoro, 1995: 248).

2. Sudut pandang adalah tempat pencerita dalam hubungannya dengan cerita.

Dari sudut mana pencerita menyampaikan kisahnya (Sudjiman dalam

Zulfanur, 1996: 35).

3. Sudut pandang adalah siapa yang mengamati peristiwa dan menyampaikan

kisahnya (Brooks dalam Zulfanur, 1996: 35).

4. Sudut pandang adalah teknik yang digunakan pengarang untuk mengemukan

dan menyampaikan makna karya artistik, untuk dapat sampai dan

berhubungan dengan pembaca (Padmopuspita dalam Pamulat, 2001: 21).

Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,

siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan

dan ceritanya.

Pembedaan sudut pandang yang telah umum dilakukan orang yaitu

(Nurgiyantoro, 1995: 256 – 271)

18

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang ketiga, gaya

“dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menyampaikan

tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.

Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama, kerap disebut dan sebagai

variasi dipergunakan kata ganti. Hal tersebut memudahkan pembaca dalam

mengenali tokoh yang diceritakan.

2. Sudut Pandang Orang Pertama

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang pertama, narator

adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang

berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan

tindakan, yang diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya

terhadap tokoh lain pembaca. Pembaca menerima apa yang diceritakan oleh si

“aku”, maka pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti

yang dilihat dan dirasakan tokoh “aku”.

3. Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang dalam sebuah karya sastra, mungkin saja lebih

dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti teknik sesuai kreatifitasnya, untuk

mencari variasi atau demi tercapainya efektifitas cerita. Penggunaan sudut

pandang campuran dalam cerita dapat berupa penggunaan sudut pandang orang

ketiga dan pertama sekaligus.

Dari lima cerpen yang diteliti, empat cerpen : Bom, Ah... Gerimis Itu, Kawin Undi,

dan Alunan Biola Penghabisan, menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia”,

18

Penggunaan sudut pandang orang ketiga dalam pengisahan cerita pada kumpulan cerpen Ah...Gerimis Itu, Hidayat Banjar menggunakan nama tokoh, seperti Dayat pada cerpen Bom; Imah dan Somad pada cerpen Ah... Gerimis Itu; Siti, Bapak Kepala Desa, Sigit, Pak Bohim, dan lainnya pada cerpen Kawin Undi; Pak Karta dan Brata pada cerpen

Alunan Biola Penghabisan.

Sudut pandang orang ketiga “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya (Nurgiyantoro, 1995: 257 – 261).

1. Sudut Pandang Orang Ketiga “Dia Mahatahu”

Pada sudut pandang orang ketiga “dia mahatahu”, Pengarang bersifat “mahatahu”. Pengarang dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh. Narator (pengarang) secara bebas menceritakan hati dan pikiran para tokoh, mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Pengarang juga dapat menyembunyikan ucapan dan tindakan tokoh secara jelas seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Dari empat cerpen yang menggunakan sudut pandang orang ketiga, tiga cerpen

Bom, Ah . . . Gerimis Itu, dan Kawin Undi menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia

mahatahu”.

Tokoh Dayat dalam cerpen Bom digambarkan oleh pengarang sebagai

pengangguran yang idealis. Dalam mempertahankan keidealisannya, pengarang memberitahukan kepada pembaca tentang apa yang dirasakan tokoh Dayat ketika harus menjadi pengangguran karena mempertahankan prinsip. Motivasi yang melatarbelakangi sikap tokoh Dayat, juga dapat diketahui jelas oleh pembaca.

Telah tiga tahun Dayat menganggur. Ia menganggur bukan karena ia pemalas, bukan pula karena otaknya bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak maunya ia bermain-main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahaan ini dan pernah pula ke perusahaan itu, koneksinya mengatakan, “Yat, kalau kau tak sanggup membayar

18

empat ratus ribu ke atas, jangan harap kau dapat pekerjaan.” Sakit, sakit sekali hatinya mendengar perkataan itu. Bagaiman tidak sakit, sewaktu di SMA dulu, Dayat pernah uji Intelegensia Quation (IQ)-nya, ternyata angka dari mesin penguji menunjukkan angka 135, bukan suatu angka yang bisa dimain-mainkan. Kenyataan itu dibuktikan lagi dengan hasil ujian akhirnya, STTB-nya menampakkan nilai 7,9 rata-rata, Dayat memperoleh rangking III dari 500 lebih siswa. Dengan ijazah SMA jurusan IPA (Ilmu Pasti Alam) itulah Dayat memasuki perusahaan-perusahaan, kantor-kantor. Kenyataannya sampai sekarang ia juga tidak juga dapat pekerjaan. Hal itu karena tidak adanya persekot, itulah kesimpulan kerjanya selam tiga tahun ini. Dan dengan satu tekad ia memberi satu putusan dalam hatinya bahwa tidak hanya dengan mengandalkan persekot ia dapat bekerja, aku harus bekerja tanpa persekot, itu ditanamkannya dalam hati. (Halaman 27 – 28)

Gejolak jiwa tokoh Imah dalam menghadapi datangnya gerimis, rasa bersalah dan kesedihan mendalam yang dialami Imah atas kematian Somad, suaminya, dipaparkan jelas oleh pengarang dalam cerpen Ah . . . Gerimis Itu. Bahkan pengarang juga mengetahui keadaan di sekitar tokoh. Karena pengarang bersifat “mahatau”, seperti dalam kutipan berikut:

Dalam temaramnya lampu teplok, Imah tadahkan tangan, mohon keampunan pada Khalik atas dosa-dosanya. Menurt Imah, dirinyalah sumber petaka. Dirinyalah penyebab sang suami pergi untuk selama-lamanya. Ya, suaminya menghadap sang Khalik ketika gerimis di ujung senja. Itulah sebabnya Imah jadi ngilu bila gerimis tiba (Halaman 41 – 42)

Sudut pandang orang ketiga “dia mahatahu” juga digunakan pengarang dalam cerpen Kawin Undi. Pengarang menggambarkan pikiran dan perasaan para tokoh dalam cerita. Hal-hal tersembunyi yang dirasakan tokoh dalam cerita pun dapat diketahui oleh narator (pengarang), seperti dalam kutipan berikut:

Bapak Kepala Desa masih memandangi wajah istrinya. Ia berkeringat, malam yang dingin, panas ia rasa. Entah kenapa, sedari senja tadi hatinya dudah tidak tentram. (Halaman 84)

Atau perasaan tersembunyi para tokoh ketika membuka kertas undian dan perasaan Ibu dan Bapak Kepala Desa melihat Sigit, anaknya menjadi pemenang undian memperebutkan Siti dan anak yang dikandungnya.

Dengan hati berdebar-debar mereka membuka kertasnya masing-masing.

“Hore. . . .” teriak Sigit kegirangan. Ternyata ia yang berhasil mendapat tulisan yang ditulis tangan oleh Siti. Sigit dan Siti berpandangan sejenak, lalu mereka berpelukan

18

dengan mesra menunjukkan kesenangan mereka dan rasa ksih sayang yang mungkin selama ini terpendam. Ibu dan Bapak Bohim cerah wajahnya. Bapak Kepala Desa dan Ibu tak habis pikir.

2. Sudut Pandang Orang Ketiga “Dia Terbatas” (“Dia” sebagai Pengamat)

Dalam sudut pandang “dia terbatas”, seperti halnya dalam “dia mahatau”, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja, atau dalam jumlah yang sangat terbatas (Stanton dan Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995: 259 – 260). Pengarang menyajikan kepada pembaca pengamatan-pengamatan luar yang berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan perasaan yang membentuk kesadaran total pengamatan. Sama halnya dengan pembaca, pengarang adalah seorang yang berada di luar cerita.

Pengarang bertindak sebagai pengamat dalam cerpen Alunan Biola Penghabisan. Pengarang hanya menyajikan tindakan yang terlihat dari tokoh Pak Karta, seperti berikut ini:

Telah hampir seminggu Pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga Pak Karta telah sibuk. Sebahagian sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki oleh Pak Karta dan sebahagian pula sibuk memikirkan apa penyebab Pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara apa saja Pak Karta telah sukar, jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lama tidak ditemuinya. (Halaman 94)

Pengarang juga tidak menceritakan dengan jelas perasaan dan pikiran Pak Karta ketika Pak Brata mengalunkan lagu Selendang Sutra, tetapi Pak Karta merespon dengan menggerakkan tangannya dan tersenyum setelah sekian lama Pak Karta terbaring seolah tidak sadarkan diri. Tindakan Pak Karta tersebut menunjukkan perasaannya, seperti dalam kutipan berikut:

Perlahan sekali, dari gesekan tersebut mengalun musik “Selendang Sutra”. Dengan serta merta mendengar alunan biola itu Pak Karta mulai bergerak. Sanak keluarga yang sibuk menghitung harta kekayaan Pak Karta seolah punah harapannya melihat keanehan itu. Bu Karta yang tetap menunggui suaminya mempunyai harapan baru menyaksikan hala itu. Betapa tidak, ia yang tua itu beranggapan bahwa suaminya bakalan tidak akan sembuh lagi, karena dokter dan dukun yang dipanggil mengatakan bahwa Pak Karta

18

tidak dapat ditolong. Tetapi kedatangan lelaki tua itu seakan membri harapan baru. Pak Karta menggerakkan tangannya seakan ingin meraba dan mencari sesuatu. Lelaki itu menyadari akan hal itu. Ia dekatkan dirinya pada Pak Karta sambil berbisik, “Saya adalah Brata, Pak Karta. Teman seperjuanganmu.” Ia rapatkan badannya pada Pak Karta, sambil ia terus gesek biola itu. Air mata Pak Karta menetes, mulutnya seakan bergerak tapi suaranya tidak terdengar. Pak Karta tersenyum, istrinya dan lelaki tua itu pun tersenyum. Namun senyuman mereka seakan cemoohan bagi sebahagian keluarga Pak Karta yang mengharapkan harta kekayaan Pak Karta yang tidak seberapa itu. (Halaman 97 – 98)

Cerpen Opportunitis menggunakan sudut pandang campuran. Pengarang

menggunakan teknik “dia” dan “aku” sekaligus dalam bercerita.

Teknik orang ketiga, digunakan pengarang dalam menceritakan kondisi tokoh. Pengarang ingin bercerita lebih banyak kepada pembaca tentang keadaan tokoh. Pengarang juga menginginkan kebebasan dalam menggambarkan tokoh, sehingga pengarang kadangkala berperan sebagai pencerita tokoh, seperti berikut ini:

A seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapi lumpur, tanah, dan alang-alang. Dengan rumah berdinding tepas, jauh dari kebisingan kota. Bila malam tiba, ia tidak akan melihat cahaya lampu yang gemerlapan lazimnya kehidupan kota. Pada saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat inilah yang selalu mencekam perasaannya. (Halaman 61)

Namun ketika tokoh A, B, C, D, E, dan F mengeluhkan apa yang mereka rasakan, pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama “aku”, seperti berikut ini:

“Aku rasanya mau saja pulang kembali ke kampung. Tapi..., tapi aku malu pada teman-teman dan keluarga. Ah...” Selalu saja B mengeluh seperti itu, tetapi anehnya, ia tetap menggelandang terus. (Halaman 62)

Dokumen terkait