BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan
pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan pilar utama pembiayaan
penyelenggaraan negara. Untuk itu (Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 4286, Pressindo, Jakarta, 2009:
126) dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan
secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan
pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.
Pengelolaan keuangan negara yang demikian perlu dilakukan untuk
menghindari adanya penyimpangan keuangan negara baik dalam bentuk
pemborosan, ketidakefektifian dan ketidakefisiensinya penggunaan, atau
bahkan terjadinya tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk penyimpangan
tersebut akan mengakibatkan kerugian keuangan negara yang dalam
kenyataannya jumlahnya masih cukup besar. Kerugian keuangan negara yang
relatif cukup besar perlu dilakukan pemulihan dengan cara pengembalian
instrumen-instrumen hukum yang ada baik melalui hukum administrasi negara, perdata
maupun instrumen hukum pidana.
Oleh karena itu pengelolaan keuangan negara di samping harus
mencerminkan asas-asas umum juga harus mencerminkan asas-asas baru
sebagai pencerminan best practice (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara (Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Tambahan LNRI Nomor
4286, Pressindo, Jakarta, 2009: 126), yaitu :
1. akuntabilitas berorientasi pada hasil;
2. profesionalitas;
3. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
4. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Bentuk penyimpangan keuangan negara yang mengakibatkan
terjadinya kerugian keuangan negara yang cukup besar biasanya akibat dari
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab. Tindak pidana korupsi (Pertimbangan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LNRI
Tahun 1999 Nomor : 140, Nuansa Aulia, 2008: 23) sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan
nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, di
samping itu juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan
Permasalahan keuangan negara dan pemberantasan tindak pidana
korupsi secara normatif sebagai sebuah nilai ideal yang harus diwujudkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945, BAB VIII Hal Keuangan, Pasal 23 ayat (1),
mengatur tentang pengelolaan keuangan negara yang harus dilaksanakan
secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007: 96).
2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, LNRI
Tahun 2003 Nomor : 47, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 3 ayat (1),
menentukan pengelolaan keuangan negara dilakukan dengan efisien,
ekonomis, efektif, trasparan dan bertanggungjawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (Pressindo, 2009: 106).
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, LNRI Tahun 1999 Nomor : 140, BAB II Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3), dirumuskan tentang jenis pidana
tambahan dan tata cara pelaksanaan pidana tambahan dalam tindak pidana
korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian keuangan negara (Nuansa
Aulia, 2008: 27-28).
4. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, LNRI Tahun 2001 Nomor : 134, BAB IV Penyidikan,
terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan (Nuansa Aulia, 2008: 57).
5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang secara khusus menginstruksikan
kepada Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk bekerja sama dengan lembaga terkait dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku
dan menyelamatkan uang negara (Nuansa Aulia, 2008: 272).
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keppres ini
membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
diantaranya bertugas mencari dan menangkap para pelaku yang diduga
keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan
mengamankan aset-asetnya dalam rangka pengembalian keuangan negara
secara optimal (Nuansa Aulia, 2008: 275).
7. Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Dan Jaksa
Agung Republik Indonesia, Nomor : KEP - 1/12/2005 dan Nomor :
/A/JA/12/2005, tentang Kerjasama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi
Dengan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, BAB II Tujuan, Sifat dan Ruang Lingkup, Pasal 2,
pemberantasan tindak pidana korupsi secara optimal (Nuansa Aulia, 2008:
282).
Pemulihan kerugian keuangan negara dengan upaya pengembalian
kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dalam kenyataannya
masih menghadapi hambatan-hambatan baik pada tataran prosedural maupun
pada tataran teknis. Pada tataran prosedural memerlukan instrumen-intrumen
hukum tertentu yang tepat sesuai dengan modus operandi tindak pidana dan
obyek permasalahan hukumnya. Dalam kasus tindak pidana korupsi hasil dari
tindak pidana yang berupa keuangan negara dalam kenyataannya tidak hanya
diterima atau dinikmati oleh terdakwa, tetapi juga diterima atau dinikmati oleh
pihak ketiga yang tidak menjadi terdakwa. Dalam hal yang demikian upaya
pengembalian kerugian keuangan negara oleh pihak ketiga secara prosedural
memerlukan instrumen hukum yang tepat dan efektif.
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Pemerintah
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan membentuk lembaga
khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga KPK
diharapkan mempunyai kredibilitas yang memadai. Presiden telah
mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejak dikeluarkannya Inpres tersebut
grafik tindak pidana korupsi tidak menunjukkan penurunan, tetapi justru
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, sebagaimana dapat
dilihat data dibawah ini (Sumber data dari Direktorat Penuntutan Tindak
Tabel 1 : Data Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia 2004 - 2008
Tahun Kejaksaan
RI
Kepolisian
RI
KPK Prosentase
(%)
Kejaksaan
Prosentase
(%)
Kepolisian
Prosentase
(%)
KPK
2004 460 157 2 74,31 25,38 0,32
2005 542 187 17 72,65 25,07 2,28
2006 515 279 23 63,04 34,15 2,82
2007 512 200 27 69,28 27,09 3,65
2008 1.114 178 37 83,82 13,39 2,78
Di sisi lain dari sekian kasus yang disidangkan di pengadilan dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap tidak banyak kerugian keuangan negaranya
yang berhasil dikembalikan atau diselamatkan. Mengingat tujuan utama
pemberantasan tindak pidana korupsi yang terpenting adalah pengembalian
atau penyelamatan keuangan negara di samping bentuk pemidanaan lainnya
yang diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan masyarakat
pada umumnya.
Kasus konkret adalah Kasus Penyalahgunaan Kewenangan Pimpinan DPRD Kab. Boyolali Periode 1999-2004 (Kejaksaan Negeri Boyolali, 2009), yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan Pengadilan
Negeri Boyolali Nomor : 107/Pid.B/2009/PN.Bi., tanggal 2 Oktober 2009 jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor : 565/Pid/2009/PT.Smg., tanggal
23 Desember 2009. Dalam kasus tersebut kerugian keuangan negaranya relatif
besar yaitu sebesar Rp. 3.207.953.158,00 (tiga milyar dua ratus tujuh juta
diterima atau dinikmati oleh pihak-pihak yang secara hukum tidak menjadi
terdakwa atau tidak bisa dipertanggungjawabkan di pengadilan karena sebatas
menerima aliran dana.
Permasalahan pengembalian kerugian keuangan negara secara
prosedural memerlukan instrumen hukum yang tepat dan efisien terhadap
pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi. Langkah hukum
menarik keuangan negara dari pihak ketiga yang tidak menjadi terdakwa
dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut sebagai upaya pemulihan kerugian
keuangan negara dalam rangka mendukung terlaksananya pembangunan
nasional yang adil dan makmur. Peneliti menganggap penting melakukan
penelitian dengan issu hukum korupsi dengan judul “Sanksi Pengembalian
Kerugian Keuangan Negara Terhadap Pihak Ketiga Yang Menerima Hasil
Tindak Pidana Korupsi”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara
dalam tindak pidana korupsi ?
2. Berupa apakah sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak
pidana korupsi dan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan
negara ?
C. Batasan Masalah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Pidana Korupsi dalam pertimbangannya menetapkan bahwa tindak pidana
korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi
perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa. Pertimbangan tersebut dapat dimaknai bahwa kerugian
keuangan negara akibat tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan
pengembalian kerugian keuangan negara dengan cara yang „luar biasa‟ juga,
sebagai kompensasi pemulihan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Permasalahaannya dalam praktek upaya pemulihan kerugian keuangan
negara masih banyak menghadapi hambatan-hambatan, dari sisi instrumen
hukumnya maupun dari teknis proseduralnya. Dalam kasus tindak pidana
korupsi hasil dari tindak pidana yang berupa keuangan negara dalam
kenyataannya tidak hanya diterima atau dinikmati oleh terdakwa, tetapi juga
diterima atau dinikmati oleh pihak ketiga yang tidak menjadi terdakwa.
Berdasarkan permasalahan tersebut dalam penyusunan tesis ini penulis
membatasi pada permasalahan sanksi dan instrumen hukum pengembalian
kerugian keuangan negara terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak
pidana korupsi.
D. Keaslian Penelitian
Dalam penyusunan tesis ini penulis mengambil judul “Sanksi
Menerima Hasil Tindak Pidana Korupsi” yang merupakan karya asli penulis
bukan merupakan karya orang lain baik sebagian maupun seluruhnya.
Penelitian dalam tesis ini memfokuskan pada :
1. Penerapan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak
pidana korupsi.
2. Berupa apakah sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak
pidana korupsi dan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan
negara.
Dengan demikian penelitian ini, yang memfokuskan pada aspek
pengembalian kerugian keuangan negara pada tindak pidana korupsi, berbeda
dengan penelitian yang sudah pernah dilaksanakan oleh para peneliti
sebelumnya yang memfokuskan pada issu hukum korupsi, sebagaimana
tersebut di bawah ini :
1. Hendro Setyo Utomo, No. Mhs : 03 / 941 / PS / MH, Program
Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, yaitu :
a. Judul Penelitian
“Kajian Sejarah Hukum Terhadap Pengertian Korupsi”
b. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui dan mengevaluasi perkembangan sejarah
hukum terhadap unsur, pengertian dan perundang-undangan
2) Untuk mengetahui dan mengevaluasi implementasi
perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
c. Hasil Penelitian
Sejarah Hukum mengenai pengertian dan unsur-unsur korupsi
mengalami perkembangan yaitu dalam bentuk pemberian dalam arti
luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma
dan fasilitas lainnya. Dilihat dari segi implementasinya penyelesaian
dan pemberantasan korupsi di Indonesia lebih cenderung ke
pertanggungjawaban perdatanya daripada pertanggungjawaban
pidananya.
2. Gagat Gatra Krisnanta, No. Mhs : 08.1245 / PS / MIH, Program
Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, yaitu :
a. Judul Penelitian
“Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Studi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 012-016-019/PUU-IV/2006”
b. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
2) Untuk mengetahui model pemberantasan korupsi yang tepat untuk
dilaksanakan di Indonesia.
Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
012-016-019/PUU-IV/2006 yang membatalkan Pasal 53 UU No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
mengatur tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memberikan
landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Model
pemberantasan korupsi yang tepat untuk dilaksanakan di Indonesia
adalah perkara-perkara korupsi ditangani oleh badan tersendiri tanpa
campur tangan dari lembaga penegak hukum lain, sehingga tidak
menimbulkan tumpang tindih kewenangan, seperti yang dilaksanakan
di Singapura.
3. Agus Budijarto, No. Mhs : 04.981 / PS / MIH, Program Pascasarjana
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
yaitu :
a. Judul Penelitian
“Kewenangan Kejaksaan Terhadap Kerahasiaan Bank Untuk
Melakukan Proses Penyidikan Perkara Korupsi”
b. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui, mengevaluasi mengenai alasan Jaksa dalam
melakukan penyidikan perkara korupsi yang menyangkut keadaan
keuangan tersangka harus memperoleh ijin dari Gubernur Bank
2) Untuk mengetahui, mengevaluasi mengenai akibat yang muncul
dalam praktek apabila proses perijinan dari Gubernur Bank
Indonesia untuk memeriksa keadaan keuangan tersangka tidak
turun atau turun dalam waktu yang lama.
c. Hasil Penelitian
Dengan menggunakan penelitian hukum normatif ditemukan bahwa
dalam praktek untuk meminta ijin tertulis kepada Gubernur Bank
Indonesia harus melalui prosedur panjang sehingga memerlukan waktu
lama sehingga proses penyidikan juga bertambah lama. Diharapkan
Bank Indonesia berani menerobos aturan permohonan ijin membuka
kerahasiaan bank antara lain dengan cara mendelegasikan pemberian
ijin tersebut ke Pimpinan Bank Indonesia di daerah-daerah dengan
membedakan jumlah besaran rekening yang akan dibuka oleh penyidik
sehingga permohonan ijin lebih cepat diterima oleh Pimpinan
Kejaksaan diberi kebijakan-kebijakan kepada tim penyidik dalam
rangka mempercepat perkara yang ditangani.
E. Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kepentingan
teoritis maupun kepentingan praktis :
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya salah satu cabang ilmu hukum yaitu sejarah
pidana korupsi sebagai ius constituendum atau sebagai hukum yang seharusnya berlaku atau yang seharusnya diterapkan yang sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan praktis negara Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi proses penegakan
hukum di Indonesia khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi,
terutama bagi aparat penegak hukum sehingga terjadi kesamaan
persepsi dalam melakukan penerapan hukum di bidang tindak pidana
korupsi.
b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya pengembalian
dan penyelamatan kerugian keuangan negara di Indonesia, sehingga
proses penegakan hukum tidak semata-mata memberikan hukuman
penjara bagi pelaku, tetapi harus juga diikuti dengan penyelamatan
kekayaan negara demi terlaksananya pembangunan nasional. Lebih
khusus lagi dapat memberikan masukan kepada Kejaksaan dalam
upaya pengembalian dan penyelamatan kerugian keuangan negara
melalui sanksi hukum yang efektif dan efisien.
F. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan mengevaluasi penerapan sanksi pengembalian
kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui dan mengevaluasi sanksi terhadap pihak ketiga yang
menerima hasil tindak pidana korupsi dan instrumen hukum pengembalian
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bagian
yang masing-masing terbagi dalam beberapa sub bagian yaitu :
1. Bab I Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang masalah yaitu belum adanya sanksi
terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi dan
instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan negara, rumusan
masalah, batasan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan
penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tinjauan pustaka mengenai pengertian sanksi, istilah
pengembalian dan kerugian, konsep keuangan negara, pengertian pihak
ketiga, tindak pidana, dan korupsi. Bab ini juga menguraikan teori sebagai
landasan penulisan yaitu teori tujuan hukum prioritas kasuistik dan teori
keadilan restorative justice.
3. Bab III Metode Penelitian
Bab ini menguraikan tentang penelitian hukum normatif dengan
pendekatan sejarah hukum, pendekatan kasus, dan politik hukum
mengenai sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana
korupsi dan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan negara.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang
negara dan sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak
pidana korupsi, dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku,
makalah, majalah, jurnal, dokumen, surat kabar, dan bahan
bacaan/informasi dari internet.
4. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini memuat hasil penelitian mengenai sanksi pengembalian kerugian
keuangan negara terhadap pihak ketiga yang menerima korupsi. Hasil
penelitian kemudian dibahas untuk menjawab rumusan masalah, mengenai
penerapan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak
pidana korupsi dan mengenai instrumen hukum pengembalian kerugian
keuangan negara dan sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil
tindak pidana korupsi, beserta gagasan ius constituendum.
5. Bab V Penutup
Bab ini memuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan
masalah dan saran-saran yang diajukan penulis berkaitan dengan sanksi
pengembalian kerugian keuangan negara terhadap pihak ketiga yang