• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik Dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik Dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA LAHAN

PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK

(Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan

Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

TESIS

SRI JAYANTHI

Oleh

117030016/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA LAHAN

PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK

(Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan

Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

TESIS

Oleh

SRI JAYANTHI

117030016/BIO

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis :

Nama Mahasiswa

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA LAHAN PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK (Studi

Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk

Meningkatkan Kesuburan Tanah di

Desa Raya Kecamatan Berastagi

Kabupaten Karo)

: SRI JAYANTHI Nomor Induk Mahasiswa : 117030016 Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

NIP . 19621214 199103 2 001 NIP . 19700102 199702 2 002 Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA LAHAN

PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK

(Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan

Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini salah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya di jelaskan

sumbernya dengan benar.

Medan, 30 Juli 2013

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sri Jayanthi

NIM : 117030016

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyutujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksekutif (Non-Executive Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik Dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).

Beserta Perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksekutif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih data, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 30 Juli 2013

(6)

Telah diuji pada Tanggal : 30 Juli 2013

PANITIAN PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Anggota : 1. Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

2. Dr. T. Alief Aththorick, M.Si

3. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Sri Jayanthi

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 13 Agustus 1987

Alamat Rumah : Jl. Kasih Dusun II No. 29, Kelurahan Kedai Durian, Kec. Deli Tua, Kab. Deli Serdang

Telepon : 085276464626

e-mail : srijayanthizainoen@gmail.com

Instansti tempat Bekerja : -

Alamat Kantor : -

Telepon : -

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN 104214 Tamat : 1999

SMP : SMP Swasta Yapena 45 Medan Tamat : 2002

SMA : SMA Swasta Raksana Medan Tamat : 2005

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T., berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan penelitian tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Laporan ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada areal pertanian organik dan anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo dan di Laboratorium Sistematika Hewan Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, USU dengan judul “Komposisi Komunitas Cacing tanah Pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K), Direktur Program Pascasarjana Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Bapak Dr. Sutarman, M.Sc, ketua Program Pascasarjana Biologi Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed dan Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku sekretaris program pascasarjana biologi USU.

Terimakasih yang tak terhingga dan setinggi-tingginya kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan penuh perhatian memberikan bimbingan kepada penulis dan ucapan terimakasih kepada Bapak Dr. T. Alief Aththorick, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed selaku dosen penguji yang telah memberikan saran sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah membiayai penulis selama pendidikan, serta ucapan terimakasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si, Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Bapak Tanta Organik, Bapak Mail dan keluarga atas izin, fasilitas dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama mengadakan penelitian di areal pertanian organik dan anorganik, terimakasih juga kepada Bapak-Ibu dosen/staf pengajar di Pascasarjana Biologi dan kepada Bapak Erwin, Ibu Ros dan Ibu Ipit atas bantuan dan partisipasinya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Zulfan, Aini, Rivo, Mahya yang dengan setianya menemani penulis dalam melakukan penelitian serta kepada adik-adik Zulfan, Popo, Afni, Fika, Siska, Zubir, Mamat, teman-teman di Pascasarjana Biologi stambuk 2011 serta pihak-pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.

Terimakasih penulis ucapakan kepada Ibunda Syawaliyah, ayahanda Syahrial Zainoen, kakanda Dian Prihatini A.md, abanganda Amri Zatasa, SP dan adikanda Fardhan arifin, A.md serta keluarga besar atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

(9)

Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

Abstrak

Penelitian dilakukan di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara dan di Laboratorium Sistematika Hewan Depatermen Biologi, Univesitas Sumatera Utara, Medan pada bulan Januari - April 2013. Penelitian dilakukan secara purposive random sampling dengan menggunakan metode kuadrat dan hand sorting serta menganalisis unsur hara (C-organik, N, P dan K) dengan kombinasi perlakuan yaitu tanah pertanian organik, OMCo (kontrol = tanpa cacing tanah), OMCa (inokulasi cacing tanah Pheretima sp.) dan OMCb (inokulasi cacing tanah Pontoscolex corethrurus). Pada perlakuan yang menggunakan tanah pertanian anorganik yaitu AnMCo (kontrol = tanpa cacing tanah), AnMCa (inokulasi cacing tanah Pheretima sp.) dan AnMCb (inokulasi cacing tanah P. corethrurus). Hasil penelitian lapangan ditemukan 1 spesies famili Glocossicidae (P. corethrurus) dan 3 spesies famili Megascolidae (Amynthas sp.,

Megascolex sp. dan Pheretima sp.). kepadatan cacing tanah pada pertanian organik (128,000 ind/m2) dan anorganik (73,600 ind/m2). Ada perbedaan komposisi komunitas cacing tanah pada lahan pertanian organik (Pheretima sp. 50,833%, P. corethrurus 40,000%, Amynthas sp. 7,500%, Megascolex sp. 1,667%) dan anorganik (P. corethrurus 49,275%, Pheretima sp. 46,377%,

Amynthas sp. 4,384%).P. corethrurus dan Pheretima sp. merupakan jenis cacing tanah yang karakteristik pada lahan pertanian organik dan anorganik. Hasil analisis unsur hara tanah menunjukkan ada peningkatan unsur C, N dan K bila dibandingkan dengan hasil analisis unsur hara pada areal pertanian organik dan anorganik.

(10)

Community composition Earthworm on Agricultural Land Organic and inorganic (Case Study: Study Eartworm to Improve Soil Fertility in the Raya village,

Berastagi Sub District, Karo District)

Abstract

The study had been done in the Raya village, Berastagi Sub District, Karo District, North Sumatra and Animal Systematics Laboratory Department Biology, of North Sumatra University, Medan in January to Aprch 2013. The study conducted by purposive random sampling using the method of least squares and hand sorting and then analyzing nutrients (organic C, N, P and K) with a combination of treatments that organic farms OMCo (control = no earthworms), OMCa (inoculation Pheretima sp. earthworm) and OMCb (inoculation Pontoscolex corethrurus earthworm). On treatment using inorganic agricultural land that is AnMCo (control = no earthworms), AnMCa (inoculation of Pheretima sp. earthworms) And AnMCb (inoculation P. corethrurus earthworm). The results of field research found 1 family Glocossicidae species (P. corethrurus) and 3 species of family Megascolidae (Amynthas sp., Megascolex sp., And Pheretima sp.). Density of earthworms in organic farming (128,000 ind/m2) and inorganic (73,600 ind/m2). There are differences in community composition of earthworms on organic farms (Pheretima sp. 50,833%, P. corethrurus 40,000%, Amynthas sp. 7,500%, Megascolex sp. 1,667%) and inorganic (P. corethrurus 49,275%, Pheretima sp. 46,377%, Amynthas sp. 4,348%). P. corethrurus and Pheretima sp. is a characteristic species of earthworms in organic and inorganic agricultural land. Soil nutrient analysis results showed no increase in the elements C, N and K when compared with the results of the nutrient analysis of organic and inorganic agricultural areas.

(11)

DAFTAR ISI

1.6 Diagram Alur Penelitian 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Cacing Tanah 7

2.2 Ekologi Cacing Tanah 9

2.3 Peranan Cacing Tanah 13

2.4 Pertanian Organik dan Anorganik 15

BAB III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 19

3.2 Deskripsi Area 19

3.3 Metode Penelitian 21

3.3.1 Lapangan 21

3.3.2 Laboratorium 21

3.4 Pelaksanaan Penelitian Di Lapangan 22 3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah Dengan

Metode Kuadrat dan Hand sortir. 22 3.4.2 Identifikasi Cacing Tanah 23 3.5 Pelaksanaan Penelitian Dilaboratorium (Kajian

(12)

3.6.2 Laboratorium 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spesies Cacing Tanah Yang Ditemukan 27 4.2 Faktor Fisik Kimia Tanah Pada Lahan Pertanian

Organik dan Anorganik

34

4.3 Kepadatan (ind/m2) dan Kepadatan Relatif (%) 37 Populasi Cacing Tanah

4.4 Frekuensi Kehadiran (FK) Spesies Cacing Tanah Pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik

38

4.5Cacing Tanah Yang Karakteristik Pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik

38

4.6 Analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia lingkungan dengan kepadatan

39

4.7 Faktor Fisik Kimia Tanah Setelah Inokulasi Cacing Tanah Pada Media Tanah Pertanian Organik dan Anorganik

40

4.8 Pertambahan Populasi dan Berat Cacing Tanah 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 49

5.2 Saran 50

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi komponen kimiawi pada kascing 14

2 Parameter sifat fisik kimia tanah 25

3 Cacing tanah yang ditemukan pada lahan pertanian organik dan anorganik

27

4 Nilai faktor fisik-kimia tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik

34

5 Kepadatan (individu/m2), kepadatan relatif (%) dan komposisi komunitas populasi cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik

37

6 Nilai frekuensi kehadiran (FK) spesies cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik

38

7 Cacing tanah yang kepadatan relatifnya (KR) ≥ 10% dan frekuensi kehadiran (FK) ≥ 25% pada lahan pertanian organik dan anorganik

39

8 Nilai analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia lingkungan dengan kepadatan

40

9 Nilai suhu, kelembapan dan pH pada perlakuan media tanah pertanian organic

41

10 Nilai suhu, kelembapan dan pH pada perlakuan media tanah pertanian anorganik

41

11 Nilai faktor kimia tanah setelah inokulasi cacing tanah pada media tanah pertanian organik dan anorganik

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram Alur Pemikiran 6

2 Morfologi Cacing Tanah 7

3 Plot Pengambilan Sampel Cacing Tanah 22

4 Cacing Ponthoscolex corethrurus 30

5 Cacing Amynthas sp. 31

6 Cacing Megascolex sp. 32

7 Cacing Pheretima sp. 33

8 Rata-rata pertambahan berat (biomassa) populasi cacing tanah (mg/10 hari) pada setiap perlakuan

46

9 Rata-rata pertambahan jumlah populasi cacing tanah (ind/10 hari) pada setiap perlakuan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman A Peta Administrasi Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara 56

B Foto Lokasi Penelitian 57

C Foto Kerja 58

D Data Fisik Kimia Pada Media Perlakuan 60

E Data analisis C, N, P dan K tanah 61

F Data pertambahan berat cacing tanah pada setiap media perlakuan

(16)

Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Lahan Pertanian Organik dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

Abstrak

Penelitian dilakukan di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara dan di Laboratorium Sistematika Hewan Depatermen Biologi, Univesitas Sumatera Utara, Medan pada bulan Januari - April 2013. Penelitian dilakukan secara purposive random sampling dengan menggunakan metode kuadrat dan hand sorting serta menganalisis unsur hara (C-organik, N, P dan K) dengan kombinasi perlakuan yaitu tanah pertanian organik, OMCo (kontrol = tanpa cacing tanah), OMCa (inokulasi cacing tanah Pheretima sp.) dan OMCb (inokulasi cacing tanah Pontoscolex corethrurus). Pada perlakuan yang menggunakan tanah pertanian anorganik yaitu AnMCo (kontrol = tanpa cacing tanah), AnMCa (inokulasi cacing tanah Pheretima sp.) dan AnMCb (inokulasi cacing tanah P. corethrurus). Hasil penelitian lapangan ditemukan 1 spesies famili Glocossicidae (P. corethrurus) dan 3 spesies famili Megascolidae (Amynthas sp.,

Megascolex sp. dan Pheretima sp.). kepadatan cacing tanah pada pertanian organik (128,000 ind/m2) dan anorganik (73,600 ind/m2). Ada perbedaan komposisi komunitas cacing tanah pada lahan pertanian organik (Pheretima sp. 50,833%, P. corethrurus 40,000%, Amynthas sp. 7,500%, Megascolex sp. 1,667%) dan anorganik (P. corethrurus 49,275%, Pheretima sp. 46,377%,

Amynthas sp. 4,384%).P. corethrurus dan Pheretima sp. merupakan jenis cacing tanah yang karakteristik pada lahan pertanian organik dan anorganik. Hasil analisis unsur hara tanah menunjukkan ada peningkatan unsur C, N dan K bila dibandingkan dengan hasil analisis unsur hara pada areal pertanian organik dan anorganik.

(17)

Community composition Earthworm on Agricultural Land Organic and inorganic (Case Study: Study Eartworm to Improve Soil Fertility in the Raya village,

Berastagi Sub District, Karo District)

Abstract

The study had been done in the Raya village, Berastagi Sub District, Karo District, North Sumatra and Animal Systematics Laboratory Department Biology, of North Sumatra University, Medan in January to Aprch 2013. The study conducted by purposive random sampling using the method of least squares and hand sorting and then analyzing nutrients (organic C, N, P and K) with a combination of treatments that organic farms OMCo (control = no earthworms), OMCa (inoculation Pheretima sp. earthworm) and OMCb (inoculation Pontoscolex corethrurus earthworm). On treatment using inorganic agricultural land that is AnMCo (control = no earthworms), AnMCa (inoculation of Pheretima sp. earthworms) And AnMCb (inoculation P. corethrurus earthworm). The results of field research found 1 family Glocossicidae species (P. corethrurus) and 3 species of family Megascolidae (Amynthas sp., Megascolex sp., And Pheretima sp.). Density of earthworms in organic farming (128,000 ind/m2) and inorganic (73,600 ind/m2). There are differences in community composition of earthworms on organic farms (Pheretima sp. 50,833%, P. corethrurus 40,000%, Amynthas sp. 7,500%, Megascolex sp. 1,667%) and inorganic (P. corethrurus 49,275%, Pheretima sp. 46,377%, Amynthas sp. 4,348%). P. corethrurus and Pheretima sp. is a characteristic species of earthworms in organic and inorganic agricultural land. Soil nutrient analysis results showed no increase in the elements C, N and K when compared with the results of the nutrient analysis of organic and inorganic agricultural areas.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kabupaten Karo merupakan suatu daerah di Propinsi Sumatera Utara yang

terletak di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dan merupakan daerah hulu

sungai. Kabupaten Karo terkenal sebagai daerah penghasil berbagai buah-buahan,

bunga-bungaan dan sayur-sayuran. Mata pencaharian penduduk yang paling

utama adalah usaha di bidang pertanian pangan, hasil hortikultura dan perkebunan

rakyat. Kabupaten Karo terdiri dari 17 kecamatan, salah satunya adalah

kecamatanBerastagi yang memiliki iklim sejuk dan cocok sebagai lahan pertanian

sayuran dataran tinggi. Daerah tersebut telah lama berfungsi sebagai sentra

sayuran dan buah-buahan. Jenis sayuran yang banyak dihasilkan di daerah

tersebut adalah tomat, kol, kentang, labu, cabe, buncis, wortel, lobak dan lain

sebagainya (BPS. Kabupaten Karo, 2012). Daerah tersebut mensuplai berbagai

jenis sayur-sayuran dan buah-buahan untuk kebutuhan daerah baik di

perkotaan/kabupaten di Sumatera Utara, bahkan sampai ke Propinsi Aceh, Riau,

Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi, Batam serta kebutuhan hotel-hotel di

daerah pariwisata.

Kegiatan pertanian masyarakat di Kabupaten Karo pada umumnya masih

menggunakan pupuk anorganik, namun demikian ada beberapa lahan pertanian

yang telah menggunakan variasi pupuk anorganik dengan pupuk organik dan ada

pula yang hanya menggunakan pupuk organik. Sistem pertanian berbasis bahan

high input energi seperti pupuk kimia dan pestisida dapat merusak sifat-sifat tanah

dan berakibat pada menurunnya produktivitas tanah pada waktu yang akan

datang. Pertanian yang menggunakan low input energy seperti penggunaan bahan

(19)

et al., 2003). Menurut Parmelee et al., (1998), penggunaan pupuk kimia secara

terus menerus dalam jangka waktu yang lama dapat merusak sifat fisik, kimia, dan

biologi tanah, sedangkan penggunaan bahan organik ke dalam tanah diyakini

dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa pengolahan tanah secara intensif,

pemupukan dan penanaman pertanian secara monokultur dan polikultur serta

penggunaan pestisida untuk pemberantas hama pada sistem pertanian

konvensional dapat menyebabkan penurunan biodiversitas makrofauna tanah,

diantaranya cacing tanah (Ansyori, 2004 dan Bartz et al., 2009 ). Schwert (1990)

menjelaskan bahwa peranan cacing tanah sangat penting dalam proses

dekomposisi bahan organik tanah. Bersama-sama mikroba tanah lainnya terutama

bakteri, cacing tanah ikut berperan dalam siklus biogeokimia dengan cara

memakan serasah daun dan materi tumbuhan mati lainnya sampai hancur.

Hanafiah, et al., (2005) menjelaskan bahwa cacing tanah mempunyai

andil yang besar didalam melakukan perombakan materi tumbuhan dan hewan

yang telah mati, serta turut berperan dalam menentukan fertilitas tanah. Menurut

Rukmana (1999), cacing tanah berperan dalam menyuburkan lahan pertanian,

meningkatkan daya serap air permukaan, memperbaiki struktur tanah dan

meningkatkan degradasi limbah organik. Dewi (2001) menjelaskan bahwa

kepadatan cacing tanah berkorelasi positif dengan porositas, N total dan

kelembaban tanah. Selain itu, cacing tanah sebagai bagian dari fauna dalam tanah

berpotensi sebagai bioindikator kondisi tanah. Biomassa dan kepadatan cacing

tanah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan

pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus.

Edwards dan Lofty (1977) menyatakan bahwa cacing tanah juga dapat

mengubah nitrogen tidak tersedia menjadi tersedia setelah dikeluarkan berupa

kotoran (kascing). Kascing (kotoran) cacing tanah mengandung kadar N dan P

(20)

selain itu kascing cacing tanah juga mengandung unsur Ca, Mg dan Mn yang

sangat berguna bagi tanaman.

Wallwork (1970) menyatakan bahwa cacing tanah dalam melakukan

aktivitas hidupnya sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, baik faktor

abiotik maupun biotik dimana dia berada (hidup), seperti kondisi-kondisi fisik,

kimia, biotik dan ketersediaan makanannya, serta cara pengolahan tanah yang

secara umum dapat mempengaruhi populasi cacing tanah, baik kehadiran,

penyebaran, kelimpahan maupun keanekaragaman spesiesnya. Selain itu, cacing

tanah pada habitatnya dari waktu ke waktu senantiasa berinteraksi dengan

lingkungannya.

Tim Sintesis Kebijakan (2008) menyatakan bahwa peran biota tanah,

khususnya cacing tanah dalam mempertahankan kualitas tanah tidak diragukan

lagi, tetapi kemampuan tersebut kurang dimanfaatkan karena masih banyak

teknologi yang belum dikuasai. Teknologi yang diperlukan untuk pemanfaatan

cacing tanah meliputi seleksi spesies unggul, pemeliharaan, perbanyakan, dan

penggunaannya yang bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik-kimia tanah.

Subowo (2008) menyatakan, untuk memperbaiki dan mempertahankan kesuburan

tanah tropis dapat dilakukan dengan memanipulasi populasi biologi tanah.

Sampai saat ini penelitian tentang peran cacing tanah (bioindikator) pada

ekosistem tanah pertanian tropis baik yang bersifat organik maupun anorganik dan

tanggapannya terhadap kegiatan pertanian modern belum banyak dilakukan

mengingat peranan cacing tanah dalam ekosistem tanah sangatlah besar.

Berdasarkan hal tersebut penelitian komposisi komunitas cacing tanah pada lahan

pertanian organik dan anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk

Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten

(21)

1.2Permasalahan

Para petani di Kabupaten Karo mengupayakan berbagai cara untuk

meningkatkan hasil pertanian, diantaranya dengan menggunakan pupuk anorganik

dan ada juga yang menggunakan pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan

pupuk organik dan ada beberapa yang menggunakan pupuk organik saja.

Pemakaian pupuk organik diyakini mampu memelihara kesuburan tanah dan

kelestarian lingkungan sekaligus dapat mempertahankan atau meningkatkan

produktivitas tanah. Penggunaan bahan organik ke dalam tanah diyakini dapat

memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, sedangkan pemakaian pupuk

anorganik dapat merusak sifat-sifat tanah dan pada akhirnya akan menurunkan

produktifitas tanah untuk waktu yang akan datang dan akan menimbulkan

pengaruh buruk terhadap ekosistem tanah. Diasumsikan penggunaan pupuk baik

organik dan anorganik akan mempengaruhi kehidupan hewan tanah, satu

diantaranya adalah cacing tanah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah belum

diketahui bagaimanakah ”Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Lahan

Pertanian Organik dan Anorganik (Studi Kasus Kajian Cacing Tanah Untuk

Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya Kecamatan Berastagi Kabupaten

Karo.

1.3Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui jenis cacing tanah pada areal pertanian yang diberi pupuk organik

dan anorganik.

b. Mengetahui sifat fisik kimia tanah pada areal pertanian yang diberi pupuk

organik dan anorganik

c. Mengetahui komposisi komunitas cacing tanah pada areal pertanian .

yang

diberi pupuk organik dan anorganik

d. Mengetahui cacing tanah yang karakteristik pada areal pertanian .

yang diberi

(22)

e. Mengetahui peranan cacing tanah yang karakteristik untuk merubah sifat fisik

kimia tanah pada media tanah pertanian organik dan anorganik

f. Mengetahui pertambahan berat dan jumlah populasi cacing tanah yang

karakteristik pada media tanah pertanian organik dan anorganik.

1.4 Hipotesis

a. Terdapat perbedaan jenis cacing tanah pada areal pertanian yang diberi pupuk

organik dan anorganik.

b. Terdapat perbedaan sifat fisik kimia tanah pada areal pertanian yang diberi

pupuk organik dan anorganik.

c. Terdapat perbedaan komposisi komunitas cacing tanah pada areal pertanian

yang diberi pupuk organik dan anorganik.

d. Terdapat jenis cacing tanah yang karakteristik pada areal pertanian organik dan

anorganik yang dapat digunakan sebagai bioindikator kesuburan tanah.

e. Terdapat perbedaan sifat fisik-kimia tanah akibat inokulasi cacing tanah

karakteristik pada media tanah pertanian organik dan anorganik.

f. Terdapat perbedaan pertambahan berat dan jumlah populasi cacing tanah

karakteristik pada media tanah pertanian organik dan anorganik.

1.5 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Sebagai informasi bagi Dinas Pertanian Kabupaten Karo dan instansi lain yang

terkait.

b. Sebagai informasi bagi petani mengenai budidaya cacing tanah untuk

meningkatkan kesuburan tanah

c. Sebagai informasi bagi peneliti selanjutnya terutama bagi yang ingin

melakukan kajian yang lebih mendalam tentang peranan cacing tanah dalam

(23)

DESA RAYA, KEC. BERASTAGI, KAB. KARO

Penghasil sayuran, bunga dan buah-buahan (Tomat, kol, sawi, labu, cabe, buncis, wortel,dahlia

dsb)

Kimia Tanah

Perlakuan Cacing Tanah

Pupuk Anorganik Pupuk Organik

Ekosistem Tanah

Penelitian 1.6 Diagram Alur Pemikiran

Diagram alur pemikiran penelitian

komposisi komunitas cacing tanah pada

lahan pertanian organik dan anorganik (Studi kasus Kajian Cacing Tanah Untuk

Meningkatkan Kesuburan Tanah di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten

Karo) dapat dilihat pada gambar 1.

= Negatif (jangka pendek dan tidak bersahabat dengan lingkungan hidup) = Positif (jangka panjang dan bersahabat dengan lingkungan hidup)

Gambar 1. Diagram Alur Pemikiran

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Cacing Tanah

Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang

belakang (invertebrata) yang digolongkan dalam filum Annelida dan klas

Clitellata, Ordo Oligochaeta. Pengolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi,

karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (chaeta),

yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan

bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian

anteriornya terdapat mulut dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk

klitelium (Edward & Lofty, 1977). Morfologi cacing tanah dapat dilihat pada

gambar 2.

(25)

Rukmana (1999) menyatakan bahwa cacing tanah bersifat hermaprodit

atau biseksual. Artinya, pada tubuhnya terdapat dua alat kelamin, yaitu jantan dan

betina. Namun, untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri,

tetapi harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah. Dari perkawinan tersebut,

masing-masing cacing tanah dapat menghasilkan satu kokon yang didalamnya

terdapat beberapa butir telur. Subowo (2008) menyatakan bahwa kopulasi dan

produksi kokon biasanya dilakukan pada bulan panas.

Berbagai hasil penelitian didapat lama siklus hidup cacing tanah hingga

mati mencapai 1-10 tahun. Palungkun (1999), menjelaskan siklus hidup cacing

tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenil), cacing produktif dan cacing tua.

Lama siklus hidup tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan

makanan, dan jenis cacing tanah. Kokon yang dihasilkan dari cacing tanah akan

menetas setelah berumur 14 - 21 hari. Setelah menetas, cacing tanah muda ini

akan hidup dan dapat mencapai dewasa kelamin dalam waktu 2,5 - 3 bulan. Saat

dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinannya yang

berlangsung selama 6 - 10 hari dan masa produktifnya berlangsung selama 4-10

bulan.

Sherman (2003) menjelaskan bahwa cacing tanah tidak mempunyai

kepala, tetapi mempunyai mulut pada ujungnya (anterior) yang disebut

prostomium. Bagian belakang mulut terdapat bagian badan yang sedikit

segmennya dinamakan klitelium yang merupakan pengembangan

segmen-segmen, biasanya mempunyai warna yang sedikit menonjol atau tidak

dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Cacing tanah tidak mempunyai alat

pendengar dan mata, tetapi peka sekali terhadap sentuhan dan getaran, sehingga

dapat mengetahui kecenderungan untuk menghindari cahaya, selain itu cacing

(26)

2.2 Ekologi Cacing Tanah

Paoletti (1999), menyatakan bahwa cacing tanah secara umum dapat

dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, kenampakan warna,

dan makanan kesukaannya sebagai berikut:

(1) Epigaesis;cacing yang aktif dipermukaan, warna gelap, penyamaran efektif,

tidak membuat lubang, kotoran tidak nampak jelas, pemakan serasah di

permukaan tanah dan tidak mencerna tanah. Contohnya : Lumbricus rubellus

dan L. castaneus.

(2) Anazesis;berukuran besar, membuat lubang terbuka permanen ke permukaan

tanah; pemakan serasah di permukaan tanah dan membawanya ke dalam

tanah, mencerna sebagian tanah, warna sedang bagian punggung, dengan

penyamaran rendah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara tanah.

Contohnya : Eophila tellinii, Lumbricus terrestris, dan Allolobophora longa.

(3) Endogaesis; hidup di dalam tanah dekat permukaan tanah, sering dalam

dan meluas, kotoran di dalam lubang, tidak berwarna, tanpa penyamaran,

pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Contohnya :

Allolobophora chlorotica, Allolobophora caliginosa, dan Allolobophora

rosea.

(4) Coprophagic; hidup pada pupuk kandang, seperti : Eisenia foetida,

Dendrobaena veneta, dan Metaphire schmardae.

(5) Arboricolous; hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, seperti :

Androrrhinus spp.

Berdasarkan jenis makanannya cacing tanah dibagi menjadi tiga, yaitu: (1)

litter feeder (pemakan bahan organik sampah, kompos, pupuk hijau), (2)

limifagus (pemakan tanah subur/mud atau tanah basah), dan (3) geofagus

(pemakan tanah) (Lee 1985). Kelompok geofagus akan memakan masa tanah dan

litter feeder/limifagus biasanya dengan mendesak masa tanah. Hal ini

berhubungan dengan kegiatan membuat lubang yang berbeda pada tiap jenis

(27)

Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya

dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar

air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi

dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan pengelolaan tanah

(Buckman & Brady, 1982). Selanjutnya Wallwork (1970) menjelaskan bahwa

keberadaan dan kepadatan fauna tanah, khusunya cacing tanah sangat ditentukan

oleh faktor abiotik dan biotik. Disamping itu faktor lingkungan lain dan sumber

bahan makanan, cara pengolahan tanah, seperti di daerah perkebunan dan

pertanian turut mempengaruhi keberadaan dan distribusi cacing tanah tersebut.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan cacing tanah sebagai

berikut:

a. Kelembaban tanah

Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah

karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya.

Itulah sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing

tanah. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi

kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang

lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terrestris misalnya, dapat hidup walaupun

kehilangan 70% dari air tubuhnya. Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat

menurunkan jumlah cacing tanah (Wallwork, 1970; Edward & Lofty, 1977).

Rukmana (1999) menjelaskan bahwa kelembaban tanah yang terlalu tinggi

atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian

mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu kering, cacing tanah akan segera

masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya mati.

b. Suhu (temperatur) tanah

Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang ekstrim

(28)

umumnya mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme hewan

tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu optimum (Odum, 1996).

Suhu tanah pada umumnya dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi

dan metabolisme. Tiap spesies cacing tanah memiliki kisaran suhu optimum

tertentu, contohnya L. rubellus kisaran suhu optimumnya 15 – 18 0C, L. terrestris

± 10 0C, sedangkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas cacing tanah di permukaan

tanah pada waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 0C (Wallwork,

1970).

c. pH tanah

Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah

sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Umumnya cacing

tanah tumbuh baik pada pH sekitar 4,5- 6,6, tetapi dengan bahan organik tanah

yang tinggi mampu berkembang pada pH 3 (Fender dan Fender, 1990).

Tanah pertanian di Indonesia umumnya bermasalah karena pH-nya asam.

Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya

berkembangbiak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur hara

(pakan) cacing tanah relatif terbatas (Rukmana, 1999). Di samping itu, tanah

dengan pH asam kurang mendukung percepatan proses pembusukan (fermentasi)

bahan-bahan organik. Oleh karena itu, tanah pertanian yang mendapatkan

perlakuan pengapuran sering banyak dihuni cacing tanah. Pengapuran berfungsi

menaikkan (meningkatkan) pH tanah sampai mendekati pH netral (Brata, 2006).

Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH

merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup

pada tanah tertentu. Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan

cacing tanah menyukai pH tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini bakteri

(29)

Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH

tanah (Edwards & Lofty, 1970).

d. Kadar Organik

Suin (1997) mengatakan materi organik tanah sangat menentukan kepadatan

organisme tanah. Materi organik tanah merupakan sisa-sisa tumbuhan, hewan

organisme tanah, baik yang telah terdekomposisi maupun yang sedang

terdekomposisi. Selanjutnya Buckman & Brady (1982) mengatakan bahwa materi

organik dalam tanah tidaklah statis tetapi selalu ada perubahan dengan

penambahan sisa-sisa tumbuhan tingkat tinggi dan penguraian materi organik oleh

jasad pengurai. Materi organik mempunyai pengaruh besar pada sifat tanah karena

dapat menyebabkan tanah menjadi gembur, meningkatkan kemampuan mengikat

air, meningkatkan absorpsi kation dan juga sebagai ketersediaan unsur hara.

Bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan

populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat

diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya. Bahan organik juga mempengaruhi

sifat fisik-kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk

menghasilkan energi dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah (Anwar,

2007) .

e. Vegetasi

Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya

rapat, cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih baik dan

sumber makanan yang banyak ditemukan berupa serasah. Menurut Edwards &

Lofty (1977) faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi yang tersedia

di suatu habitat sangat menentukan keanekaragaman spesies dan kerapatan

populasi cacing tanah di habitat tersebut. Pada umumnya cacing tanah lebih

(30)

yang berbentuk jarum. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah lebih

menyenangi daun yang tidak mengandung tanin.

2.3 Peranan Cacing Tanah

Cacing tanah merupakan organisme tanah yang memiliki peranan penting pada

pertumbuhan tanaman yang telah diketahui lebih dari seabad yang lalu, sejak

terbit publikasi buku dari Charles Darwin berjudul The formation of vegetable

mould through the action of worms pada tahun 1881. Peranan utama cacing tanah

adalah untuk mengubah bahan organik, baik yang masih segar maupun setengah

segar atau sedang melapuk, sehingga menjadi bentuk senyawa lain yang

bermanfaat bagi kesuburan tanah (Buckman dan Brady, 1982). Selanjutnya Suin

(1982) mengatakan bahwa cacing tanah juga berperan memperbaiki aerasi tanah

dengan cara menerobos tanah sedemikian rupa sehingga pengudaraan tanah

menjadi lebih baik, disamping itu cacing tanah juga menyumbangkan unsur hara

pada tanah melalui eksresi yang dikeluarkannya, maupun dari tubuhnya yang

telah mati.

Makrofauna tanah, khususnya cacing tanah merupakan bagian dari

biodiversitas tanah yang berperan penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia, dan

biologi tanah melalui proses imobilisasi dan humifikasi. Dalam dekomposisi

bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak berperan dalam proses fragmentasi

(comminusi) serta memberikan fasilitas lingkungan mikrohabitat yang lebih baik

bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mesofauna

dan mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi (Lavelle et al., 1994).

Secara umum peranan cacing tanah adalah sebagai bioamelioran (jasad

hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam

memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan

organik, pelapukan mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah

(31)

Hegner & Engeman (1978) menyatakan bahwa pembentukan pori-pori

tanah dilakukan oleh cacing tanah sehingga campuran bahan organik dan

anorganik membentuk bahan-bahan lain yang tersedia bagi tanah. Cacing tanah

juga dapat meningkatkan daya serap tanah dalam menyerap air pada waktu hujan

karena cacing tanah memiliki kemampuan membuat liang-liang dalam tanah. Oleh

sebab itu persediaan air dalam tanah akan lebih teratur, sehingga menjamin

pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman yang baik akan menyebabkan

daun-daun tumbuhan lebih baik. Apabila daun-daun-daun-daun yang telah tua jatuh akan menjadi

humus sehingga secara langsung cacing tanah mengurangi banjir pada saat hujan

dan menjaga persedian air pada musim kering.

Suin (1982) menyatakan bahwa tanah dengan kepadatan populasi cacing

tanahnya tinggi akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah (kasting) yang

bercampur dengan tanah merupakan pupuk yang kaya akan nitrat organik, posfat,

dan kalium, yang membuat tanaman mudah menerima pupuk yang diberikan ke

tanah, disamping formasi bahan organik tanah dan mendistribusikan kembali

bahan organik di dalam tanah. Komposisi komponen kimiawi pada kascing dapat

dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Komposisi komponen kimiawi pada kascing Komposisi Kimiawi Komposisi (%)

Na 0,82

Wallwork (1976) menyatakan bahwa cacing tanah dan organisme tanah

lainnya merupakan variabel biotis penyusun suatu komunitas yang memiliki

beberapa peranan, diantaranya adalah sebagai pengurai dalam rantai makanan,

jembatan transfer energi kepada organisme yang memiliki tingkat tropik yang

(32)

serasah daun-daunan dan ranting. Disamping itu cacing tanah dapat digunakan

untuk mengestimasi kondisi ekologis suatu ekosistem tanah. Selanjutnya

dijelaskan bahwa cacing tanah juga dapat mengubah kondisi tanah yang

didiaminya melalui keunikan aktivitas dan perilakunya. Hewan ini memakan

tanah berikut bahan organik yang terdapat di tanah dan kemudian dikeluarkan

sebagai kotoran di permukaan tanah. Aktivitas ini menyebabkan lebih banyak

udara yang masuk ke dalam tanah, tanah menjadi teraduk dan terbentuk

agregasi-agregasi sehingga tanah dapat menahan air lebih banyak dan menaikkan kapasitas

air tanah. Cacing tanah sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik

tanah.

Kegiatan cacing tanah menerowongi tanah dapat membentuk pori mikro

yang mantap dan sambung menyambung melancarkan daya antar air,

memudahkan proses pertukaran gas, menyediakan medium yang baik bagi

pertumbuhan akar (Notohadiprawiro, 1998).

2.4 Pertanian Organik dan Anorganik

Pertanian organik dibanyak tempat dikenal dengan istilah yang berbeda-beda. Ada

yang menyebut sebagai pertanian lestari, pertanian ramah lingkungan, sistem

pertanian berkelanjutan dan pertanian organik itu sendiri. Penggunaan istilah

pertanian organik/Organic Farming pertama kali oleh Northbourne pada tahun

1940 dalam bukunya yang berjudul Look to the Land. Northbourne menggunakan

istilah tersebut tidak hanya berhubungan dengan penggunaan bahan organik untuk

kesuburan lahan, tetapi juga kepada konsep merancang dan mengelola sistem

pertanian sebagai suatu sistem utuh atau organik, mengintegrasikan lahan,

tanaman panenan, binatang dan masyarakat (Lotter, 2003).

Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang bertujuan untuk tetap

(33)

Mutiarawati (2001) menyatakan bahwa, sistem pertanian organik mempunyai

konsep antara lain:

- Suatu budidaya pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia (buatan)

- Mewujudkan sikap dan perilaku hidup yang menghargai alam

- Berkeyakinan bahwa kehidupan adalah anugerah Tuhan, harus dilestarikan.

Suwantoro (2008) mendefinisikan pertanian organik sebagai suatu sistem

produksi pertanian yang berasaskan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara

dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang

mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Pertanian organik

menurut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements),

2005 didefinisikan sebagai sistem produksi pertanian yang holistic dan terpadu,

dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara

alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan

berkelanjutan. Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang

mendukung dan mempercepat biodiversity, siklus biologi dan aktivitas biologi

tanah.

Salah satu alasan pentingnya pengembangan pertanian organik adalah

persoalan kerusakan lahan pertanian yang semakin parah. Penggunaan pupuk

kimia secara terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila

tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati (Ansyori,

2004).

Sistem pertanian konvensional selain menghasilkan produksi yang

meningkat dan terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem

pertanian itu sendiri dan lingkungan lainnya. Keberhasilan yang dicapai dalam

sistem pertanian konvensional hanya bersifat sementara, karena lambat laun

ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertanian itu sendiri.

Oleh karena itu perlu upaya untuk memperbaiki sistem pertanian konvensional

(34)

2003).

Kemajuan teknologi dalam bidang pertanian sebagai dampak dari revolusi

industri, revolusi kimia dan revolusi hijau, mampu meningkatkan pertumbuhan

ekonomi secara global, namun juga membawa dampak negatif. Mutiarawati

(2001) menyatakan bahwa, penggunaan sarana produksi pertanian yang tak

terbarukan (not renewable) seperti pupuk buatan dan pestisida secara terus

menerus pada sistem pertanian konvensional dan dengan takaran yang berlebihan,

menyebabkan antara lain:

- Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian

- Membahayakan kesehatan manusia dan hewan

- Menurunkan keanekaragaman hayati

- Meningkatkan resistensi organisme pengganggu

- Menurunkan produktivitas lahan karena erosi dan pemadatan tanah

Keberlanjutan produksi pertanian membutuhkan pemeliharaan kualitas

tanah. Istilah kualitas tanah (soil quality) yang diaplikasikan pada ekosistem

menunjukkan kemampuan tanah untuk mendukung secara terus menerus

pertumbuhan tanaman pada kualitas lingkungan yang terjaga. U ntuk aplikasi di

bidang pertanian, yang dimaksud kualitas tanah adalah kemampuan tanah yang

berfungsi dalam batas-batas ekosistem yang sesuai untuk produktivitas biologis,

mampu memelihara kualitas lingkungan dan mendorong tanaman dan hewan

menjadi sehat (Magdoff, 2001).

Penilaian kualitas tanah melalui pengukuran sifat fisik dan kimia, seperti

kelembaban tanah, kemantapan agregat, kepadatan tanah, jumlah air tersimpan,

hara tersedia, sifat meracun alumunium dan lainnya sering kali memiliki

kelemahan, karena diukur oleh peralatan dan ekstraktan kimia yang diasumsikan

memiliki kemampuan yang sama dengan kemampuan kerja akar tanaman dan

(35)

salah satu alternatif. Menurut Doran dan Zeiss (2000), ada lima kriteria yang

harus dipenuhi oleh suatu indikator termasuk bioindikator untuk dapat menilai

kualitas tanah, yaitu:

(1) Sensitif terhadap variasi pengelolaan

(2) Berkorelasi baik dengan fungsi tanah yang menguntungkan

(3) Dapat digunakan dalam menguraikan proses-proses di dalam ekosistem

(4) Dapat dipahami dan berguna untuk pengelolaan lahan; serta

(5) Mudah diukur dan tidak mahal

Di dalam tanah terdapat berbagai jenis biota tanah, antara lain mikroba

(bakteri, fungi, aktinomisetes, mikroflora, dan protozoa) serta fauna tanah.

Masing-masing biota tanah mempunyai fungsi yang khusus. Dalam kaitannya

dengan tanaman, mikroba sangat berperan dalam membantu pertumbuhan

tanaman dalam penyediaan hara (mikroba penambat N, pelarut P), membantu

penyerapan hara (cendawan mikoriza arbuskula), memacu pertumbuhan tanaman

(penghasil hormon), dan pengendali hama-penyakit (penghasil antibiotic,

antipogen). Demikian pula fauna tanah, setiap grup fauna tanah mempunyai

fungsi ekologis yang khusus. Keanekaragaman biota dalam tanah dapat digunakan

sebagai indikator biologis kualitas tanah. Salah satu biota tanah yang memegang

peranan penting dalam siklus hara didalam tanah yang bersifat saprofagus maupun

(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu:

1)Tahap 1

Komposisi komunitas cacing tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik

di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

2)Tahap 2

Kajian cacing tanah (bioindikator) pada lahan pertanian organik dan anorganik

untuk meningkatkan kesuburan tanah.

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tahap 1 yaitu komposisi komunitas cacing tanah pada lahan

pertanian organik dan anorganik dilakukan pada bulan Januari tahun 2013 di

Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara sedangkan penelitian

tahap 2 yaitu kajian cacing tanah (bioindikator) pada lahan pertanian organik dan

anorganik untuk meningkatkan kesuburan tanah dilakukan pada bulan Februari –

Maret tahun 2013 di Laboratorium Sistematika Hewan, Departemen Biologi,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara,

Medan.

3.2 Deskripsi Area

Kecamatan Berastagi merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di

Kabupaten Karo (Peta Kabupaten Karo dapat dilihat pada lampiran A) dengan

Ibukota Kecamatan Berastagi yang berjarak 11 km dari Kabanjahe sebagai

(37)

dengan luas ± 3.050 Ha berada pada ketinggian rata-rata 1375 m dpl dengan

temperatur 19 0

-C dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

-Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Barus Jahe

-Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat/Kecamatan

Merdeka

-Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe

(BPS Kecamatan Berastagi, 2012).

Areal pertanian organik dan anorganik (Foto lokasi pada lampiran B) yang

diteliti masing-masing memiliki luas ± 6000 m2

a. Pertanian Organik

. Deskripsi lokasi lahan yang

digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Pertanian organik berada pada koordinat 03°08’46,1” BB dan

098°30’28,9” BT dengan ketinggian 1312 mdpl. Lokasi ini ditanam dengan

tanaman brokoli (Brassica oleraceae), selada (Lactuca sativa), kol/ kubis

(Brassica oleraceae), daun bawang (Allium fistulosum), labu (Cucurbita

muschota), daun mint (Mentha piperita), jipang, sawi (Brassica rapa), kopi

(Coffea), cabai (Capsicum annum), kacang koro (Phaseolus sp.), buncis

(Phaseolus vulgaris), gladiol (Gladiol spp) dan rosemary. Pupuk yang digunakan

pada lahan ini adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran lembu yang telah

diolah menjadi kompos.

b. Pertanian anorganik

Pertanian aorganik berada pada koordinat 03°09’49,8” BB dan 098°30’38”

BT dengan ketinggian 1340 mdpl. Lokasi ini ditanam dengan tanaman tomat

(Solanum lycopersicum), selada (Lactuca sativa), wortel (Daucus carota), sawi

(Brassica rapa), labu (Cucurbita muschota), cabai (Capsicum annum), bunga

(38)

mays). Pupuk yang digunakan pada lahan ini adalah pupuk kimia NPK yang

berasal dari pabrik.

3.3 Metoda Penelitian 3.3.1Lapangan

Penelitian tahap pertama, penentuan lokasi penelitian dilakukan secara

Purposive Random Sampling yaitu pada dua areal tanah pertanian yaitu pertanian

organik dan pertanian anorganik, di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

Disetiap lokasi diukur titik koordinatnya dengan GPS. Plot dibuat secara acak

dengan menggunakan metode kuadrat dan pengambilan sampel cacing tanah

dilakukan dengan Metoda Sortir Tangan (Hand Sorting) (Minnich, 1977; Lee,

1985; Coleman et al., 2004, Bignell et al. 2008).

3.3.2Laboratorium

Penelitian tahap kedua, kajian cacing tanah sebagai bioindikator kesuburan

tanah dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Sistematika Hewan,

Departemen Biologi, FMIPA, USU dengan menggunakan jenis cacing tanah yang

termasuk kelompok bioindikator, yaitu yang mendapatkan spesies/jenis nilai KR >

10 % dan FK > 25 % dengan 5 kali ulangan dan perlakuan sebagai berikut:

OMC0 : Tanah pertanian organik + makanan (Kontrol)

OMCa : Tanah pertanian organik + makanan + spesies Pheretima sp.

OMCb : Tanah pertanian organik + makanan + spesies Pontoscolex corethrurus AnMC0 : Tanah pertanian anorganik + makanan (Kontrol)

AnMCa : Tanah pertanian anorganik + makanan + spesies Pheretima sp. AnMCb : Tanah pertanian anorganik + makanan + spesies Pontoscolex

corethrurus

(39)

3.4 Pelaksanaan Penelitian di Lapangan (Tahap 1)

3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah Dengan Metode Kuadrat dan Hand sortir.

a.Pada masing-masing areal dibuat sebanyak 15 plot yang berukuran 25 x

25 cm dengan menggunakan bingkai seukuran itu untuk memudahkan

pengambilannya (Plot pengambilan sampel cacing tanah dapat dilihat

pada gambar 3).

b.Tanah dari tiap kuadrat diambil dengan kedalaman 20 cm kemudian

tanahnya dimasukkan ke dalam goni. Pengambilan sampel dilakukan

pada pukul 06.00-09.00 WIB.

c.Selanjutnya tanah langsung disortir untuk mendapatkan cacing tanah.

d.Cacing tanah yang didapat dikumpulkan dan dibersihkan dengan air

serta dihitung jumlahnya, kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel

dan diawetkan dengan alkohol 70%,

e. Selanjutnya sampel cacing tanah dibawa ke Laboratorium Sistematika

Hewan FMIPA USU Medan untuk diidentifikasi dan dihitung jumlah

individu dari masing-masing jenis yang didapatkan, metoda ini cukup

efektif seperti yang dilakukan oleh Suin (1997). (Foto kerja pada

lampiran C).

(40)

3.4.2 Identifikasi Spesies Cacing Tanah

Sampel Cacing tanah yang telah diawetkan dengan menggunakan alkohol

70% terlebih dahulu dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, selanjutnya

dideterminasi dan diidentifikasi dengan melihat morfologi menggunakan

mikroskop stereo binokuler serta beberapa buku acuan Stephenson (1932),

Edwards & Lofty (1977), Fender & Fender (1990), James (1990) dan Suin (1997).

3.5 Pelaksanaan Penelitian Dilaboratorium (Tahap 2, Kajian Spesies Bioindikator Kesuburan Tanah)

3.5.1 Pengambilan Sampel Tanah

Tanah diambil dari lahan pertanian organik dan anorganik di Desa Raya,

Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara dengan

kedalaman 0-20 cm. Tanah dimasukkan ke dalam goni. Setelah itu tanah

dikompositkan dan dicampurkan merata, kemudian dibawa ke Laboratorium

Sistematika Hewan, Departemen Biologi, FMIPA, USU.

3.5.2 Pengumpulan Sampel Cacing Tanah

Sampel cacing tanah dikumpulkan dari lahan pertanian organik dan

anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Cacing tanah yang didapatkan dimasukkan ke dalam ember atau plastik yang telah

berisi tanah/media dan dibawa ke laboratorium untuk dikaji pada media perlakuan

yang telah disediakan. Cacing tanah yang dikaji adalah cacing tanah yang

merupakan spesies karakteristik.

3.5.3 Kajian Cacing Tanah Sebagai Bioindikator Kesuburan Tanah

a.Ember yang digunakan sebagai tempat perlakuan atau media sebanyak

(41)

dan ditambah dengan makanan cacing tanah (sesuai dengan komposisi

yang telah ditetapkan).

b.Selanjutnya setiap ember yang telah berisi dengan media perlakuan diisi

dengan jenis cacing tanah yang telah diaklimatisasi, yaitu cacing tanah

yang menjelang dewasa sebanyak 5 ekor setiap perlakuan, dengan berat

relatif sama pada masing-masing ulangan.

c.Kemudian ember-ember tempat media dan cacing tanah ditutup dengan

kain kasa warna hitam, agar cacing tanahnya tidak keluar dan tetap aktif

dalam memanfaatkan media.

d. Kondisi sifat fisik media, seperti kelembaban, temperatur dan pH media

diperiksa setiap tiga hari (Lampiran D) dan dilakukan pengamatan

pertumbuhan/pertambahan jumlah individu dan berat (biomassa)

populasi cacing tanah selama 10 hari sekali selama dua bulan (± 60 hari).

Setelah 2 bulan kemudian tanah/media perlakuan dianalisis kembali sifat

fisik-kimianya dengan cara cacing tanah dikeluarkan dari media

perlakuan. Setiap media perlakuan yang mendapat perlakuan yang sama

dikompositkan dan digabungkan secara merata lalu diambil sebanyak

500 g untuk dianalisis sifat kimia tanahnya di Laboratorium Riset &

Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

3.5.4 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Tanah pada masing-masing lokasi penelitian (pertanian organik dan anorganik)

dan media perlakuan cacing tanah diukur kelembaban relatif, suhu, N, P, K, C

organik dan pH. Pengukuran kelembaban relatif, suhu dan pH tanah dilakukan

sebelum tanah diambil. Kelembaban relatif dan pH diukur dengan menggunakan

Soil Tester, suhu tanah diukur pada bagian permukaan dengan kedalaman 10 cm

menggunakan Soil Thermometer.

Pengukuran N, P, K, dan C-organik dilakukan di Laboratorium Riset &

(42)

dibersihkan dari sisa-sisa tumbuhan dan hewan tanah lainnya, kemudian dicampur

sampai rata dan diambil sebagian untuk dianalisis dengan metode yang tertera

pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter sifat fisik kimia tanah

PARAMETER SATUAN METODE

fisik:

Jenis Cacing tanah dan jumlah individu masing-masing jenis yang di

dapatkan dihitung: Kepadatan populasi, Kepadatan Relatif masing-masing jenis,

Frekuensi kehadiran, dan komposisi (Wallwork, 1970, Southwood, 1966 dalam

Suin 1997) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

a. Kepadatan populasi (K)

b. Kepadatan Relatif (KR)

(43)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

Dimana: 0-25% = Konstansinya sangat jarang (aksidental) 25-50% = Konstansinya jarang (aksesoris)

50%-75% = Konstansinya sering (konstan) >75% = Konstansinya sangat sering (absolut)

d. Komposisi Komunitas: ditentukan dengan cara mengurutkan nilai KR tertinggi sampai terendah.

e. Bioindikator : apabila nilai KR > 10 % dan nilai FR > 25%

3.6.2Laboratorium

Analisis data untuk kajian cacing tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah

dilakukan secara deskriptif. Parameter tanah yang dianalisis adalah unsur hara

C-organik, N, P dan K tanah (Lampiran E).

Data sekunder yang diamati adalah pertambahan jumlah individu dan berat

(biomassa) cacing tanah. Pengamatan ini dilakukan 10 hari sekali selama 2 bulan

(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spesies Cacing Tanah Yang Ditemukan

Hasil penelitian dan identifikasi yang dilakukan pada lahan pertanian organik dan

anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo didapatkan 4

spesies cacing tanah dari 2 Famili, Glossocolecidae 1 spesies dan Megascolecidae

3 spesies (Tabel 3).

Tabel 3. Cacing tanah yang ditemukan pada lahan pertanian organik dan anorganik

No. Famili Spesies/Jenis Lokasi

I II 1. Glossoscolecidae 1) Pontoscolex corethrurus + +

2. Megascolecidae 2) Amynthas sp. + +

3) Megascolex sp. + -

4) Pheretima sp. + +

Jumlah Spesies 4 3

Keterangan: I = Lahan Pertanian Organik, II = Lahan Pertanian Anorganik, (+) = Ditemukan, (-) = Tidak Ditemukan

Pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah jenis cacing tanah lebih banyak

ditemukan pada lahan pertanian organik, sebanyak 4 jenis (Pontoscolex

corethrurus, Amynthas sp., Megascolex sp. dan Pheretima sp.), dibandingkan

pada lahan pertanian anorganik sebanyak 3 jenis (P. corethrurus, Amynthas sp.

dan Pheretima sp.). Jenis cacing tanah Megascolex sp. tidak ditemukan pada lahan

pertanian anorganik hal ini diduga karena pada lahan pertanian organik

menggunakan kompos berupa kotoran lembu sedangkan pada lahan pertanian

anorganik diberikan perlakuan tambahan berupa pupuk NPK. Diduga keberadaan

jenis cacing Megascolex sp. dipengaruhi akibat penggunaan dari kompos yang

(45)

lebih dari 1%, terlindungi dari sinar matahari, kelembaban tanah berkisar antara

80-90% dan lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH sedikit asam yaitu

kurang dari 6 (John, 1998). Habitat seperti ini sangat spesifik bagi Megascolex sp.

ini untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik.

Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan

lingkungan dimana cacing tanah itu berada. Lingkungan yang dimaksud disini

adalah kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan yang secara

bersama-sama dapat mempengaruhi populasi cacing tanah. Menurut Hanafiah et al (2003)

faktor-faktor ekologis yang memengaruhi cacing tanah meliputi: (a) keasaman

(pH), (b) kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik, (f)

jenis, dan (g) suplai nutrisi.

Banyaknya jenis cacing tanah yang ditemukan di lahan pertanian organik

diduga karena lahan yang diberikan pupuk organik berupa kompos akan

memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (cacing tanah) sedangkan lahan

yang diberikan pupuk kimia secara intensif akan mempengaruhi atau menurunkan

kualitas tanah yang dicirikan dengan terjadinya pemadatan tanah dan

berkurangnya pori tanah, hal ini akan menyebabkan organisme dalam tanah akan

mati karena kekurangan oksigen. Kelembaban dan kadar organik pada lahan

pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian anorganik

(Tabel 4), hal ini sesuai dengan pernyataan Notohadiprawiro (1998) komunitas

yang kaya akan nutrisi mempunyai banyak organisme. Sedikitnya jumlah spesies

yang didapatkan di lahan pertanian anorganik disebabkan oleh rendahnya

kandungan kadar organik tanah dan kelembaban tanah (Tabel 4). Suin (1997)

menyatakan bahwa kadar air tanah sangat menentukan kehidupan hewan tanah.

Umumnya pada tanah yang rendah kadar airnya keberadaan cacing tanah juga

rendah, hal ini karena cacing tanah memerlukan air yang banyak untuk menjaga

(46)

Spesies cacing tanah yang ditemukan pada lahan pertanian organik dan

anorganik memiliki ciri spesifik sesuai dengan peran ekologis pada habitatnya

serta kebiasaan dalam menggali terowongan (Wallwork, 1970). Hasil penelitian

didapatkan 2 sifat yaitu endogeik (P. corethrurus) dan anesik (Amynthas sp.,

Megascolex sp. dan Pheretima sp.) (Barrat, 2002). Cacing endogeik hidup di

dalam tanah yang lebih dalam dan memakan tanah serta kumpulan bahan-bahan

organik. Cacing tanah jenis ini tidak memiliki pigmen tubuh dan membuat liang

horizontal yang bercabang ke dalam tanah. Kelompok cacing ini berperan penting

dalam mencampur serasah di atas tanah dengan tanah lapisan bawah (Lee, 1985).

Cacing anesik hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih permanen,

dapat meluas beberapa meter ke dalam tanah. Cacing jenis ini mengeluarkan sisa

pencernaannya (kasting) pada permukaan tanah, sehingga berperan penting dalam

meningkatkan kadar biomass dan kesuburan tanah lapisan atas. Pengaruh cacing

ini terlihat lebih cepat terhadap produktivitas tanaman semusim yang berakar

dangkal (Hanafiah et al., 2005). Ciri khusus keempat spesies cacing tanah yang

(47)

1. Family Glossocolecidae, Ponthoscolex cerethrurus

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 4. Ponthoscolex corethrurus: morfologi tubuh (a), klitelum berbentuk sadel (b), seta tipe lumbrisine (c), prostomium prolobus (d).

Tanda-tanda khusus:

Panjang tubuh berkisar antara 45-120 mm, diameter 2-3 mm, dan jumlah segmen

antara 120-167 warna bagian dorsal coklat kekuningan, bagian ventral abu-abu

keputihan, warna ujung anterior kekuningan dan ujung posterior coklat

kekuningan, prostomium prolobus, klitelium berbentuk sadel pada segmen ke

13-17 berwarna kekuningan, pada bagian dorsal menebal sedangkan bagian ventral

tidak. Tipe seta lumbricine di bagian dorsal tubuh, terlihat lebih jelas pada bagian

posterior, lubang kelamin jantan terletak pada segmen 20/21 dan lubang kelamin

betina tidak jelas (Gambar 4).

Cacing tanah jenis P. corethrurus ini ditemukan pada lahan pertanian

organik dan anorganik. Hanafiah dkk (2005) menyatakan bahwa cacing tanah dari

famili Glossocolicidae banyak terdapat di lahan pertanian. Blakemore (2002)

(48)

Malay Peninsula, Filipina, dan India. Suin (1997) menyatakan bahwa cacing tanah

jenis P. corethrurus ini memiliki sebaran yang sangat luas di Indonesia, dan

banyak ditemukan pada semak belukar, padang rumput, dan tidak ditemukan pada

hutan yang lebat. Selanjutnya John (1998) menjelaskan bahwa cacing tanah dari

jenis P. corethrurus juga ditemukan di Sumatera Utara, yaitu pada areal

perkebunan kelapa sawit, coklat dan karet, serta areal pertanian tanaman pangan.

2. Family Megascolecidae, Amynthas sp.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 5. Amynthas sp.: morfologi tubuh (a), klitelum berbentuk annular (b), prostomium tipe epilobus (c), seta perichitine (d).

Tanda-tanda khusus:

Panjang tubuh berkisar antara 60-158 mm, diameter 3-5 mm, dan jumlah segmen

antara 87-167 warna bagian dorsal coklat kemerah-merahan, bagian ventral coklat

pucat, warna ujung anterior coklat dan ujung posterior coklat kekuningan,

prostomium epilobus, klitelium berbentuk annular pada segmen 14-16 dengan

warna coklat muda. Tipe seta perichaetine tersebar diseluruh segmen. Lubang

kelamin jantan terletak pada segmen 18 dan lubang kelamin betina terletak pada

(49)

Cacing tanah jenis Amynthas sp. ini ditemukan pada lahan pertanian

organik dan anorganik. Cacing tanah jenis Amynthas sp. ini merupakan spesies

kosmopolit sehingga sering ditemukan diberbagai tipe habitat. Penyebaran

Amynthas meliputi Asia, Oceania dan Australasia (Blakemore 2002).

3. Family Megascolecidae, Megascolex sp.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 6. Megascolex sp.: morfologi tubuh(a), klitelum berbentuk annular (b), prostomium tipe epilobus (c), seta perichitine (d).

Tanda-tanda khusus:

Panjang tubuh berkisar antara 90-130 mm, diameter 3-4 mm dengan jumlah

segmen antara 134-178. Warna bagian dorsal merah keunguan, bagian ventral

pucat atau coklat keputihan. Warna ujung anterior coklat keputihan dan ujung

posterior abu-abu coklat. Prostomium epilobus. Klitelium berbentuk annular

dimulai pada segmen ke 14-16, mempunyai setae dengan tipe Perichaetine.

Lubang kelamin jantan pada segmen 18, lubang kelamin betina pada septa 7/8-8/9

Gambar

Gambar 1. Diagram Alur Pemikiran
gambar 2.
Gambar 3. Plot Pengambilan Sampel Cacing Tanah
Gambar 4. Ponthoscolex corethrurus: morfologi tubuh (a), klitelum
+7

Referensi

Dokumen terkait

hasil penelitian dan teori yang dipergunakan sebagai dasar penelitian ini, se- hingga teori yang mengatakan bahwa modal finansial sebagai faktor produk- si yang sangat penting

Yaitu, the administrative model (menggunakan garis komando), the grass-roots model (pengembangan kurikulum berada di tangan guru), the demonstration model (memperkenalkan

Menimbang : bahwa sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Bupati Banyumas Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan

Kaltim Tahun Anggaran 2012, menyatakan bahwa pada tanggal 31 Juli 2012 pukul 11.59 Wita tahapan pemasukan/upload dokumen penawaran ditutup sesuai waktu pada aplikasi SPSE

[r]

Kaltim Tahun Anggaran 2012, menyatakan bahwa pada tanggal 31 Juli 2012 pukul 11.59 WIB tahapan pemasukan/upload dokumen penawaran ditutup sesuai waktu pada aplikasi SPSE

Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku maka Peraturan Bupati Banyumas Nomor 30 Tahun 2011 tentang Tambahan Penghasilan Pegawai I Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyumas

Our goal in writing Involvement parent program for teachers is to empower you to be a more successful teacher by showing you how to get the support you need