ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).
Oleh Ahmad Fauzi NIM:105024000860
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Maret 2011
ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).
Oleh
Ahmad Fauzi NIM:105024000860
Pembimbing
Dr. Abdullah, M.Ag. NIP: 19610825 199303 1 002
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 10 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 10 Maret 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum. NIP: 19700505 200003 1001 NIP: 1979 1229 200511004
Anggota, Anggota,
PRAKATA
Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senantiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum.
Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Abdullah, M.Ag yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak.
Kepada Jajaran Dosen Tarjamah: Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bpk.Syukron Kamil, MA., Bpk. Irfan Abubakar, MA., Bpk. Drs. A. Syatibi, M.Ag, dan lainnya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari.
Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda H. No’an dan Ibunda Hj. Uliyah. Kepada Kakak-kakak Penulis yaitu Suryanih, Abdul Hakim dan Nurhasan yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini. Dan tak lupa kepada Peri Kecil Penulis Nur Ainih yang telah membimbing sekaligus memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Kemudian kepada Yudi, Hilman, Asep, Deni, Rachmad, Doli, dan Agus yang telah memberikan semangat, hiburan dan berbagai candaan di basecamp Tarjamah. Serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak kelas dan adik kelas sehingga Penulis bangga menjadi salah satu mahasiswa Tarjamah.. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis.
Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.
Jakarta, 09 Maret 2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv
PRAKATA ... v
DAFTAR ISI ... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... ix
ABSTRAK ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Tinjauan Pustaka ... 8
E. Metodologi Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II KERANGKA TEORI A. Konsep Umum Penerjemahan Al-Qur’an ... 11
1. Pengertian Terjemahan Al-Qur’an ... 11
2. Macam-macam Terjemahan Al-Qur’an ... 12
3. Syarat-syarat Terjemahan Al-Qur’an ... 13
B. Homonimi ... 17
1. Pengertian Homonimi ... 17
2. Konsep Homonimi ... 20
3. Homonimi dalam Bahasa Arab ... 22
4. Homonimi dalam Bahasa Indonesia ... 24
BAB III BIOGRAFI HAMKA
A. Riwayat Hidup Hamka ... 30
B. Pendidikan dan Karir Hamka ... 33
C. Karya-karya Hamka ... 40
BAB IV ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA A. Homonimi Mutlak ... 43
1. Kelas nomina ... 43
2. Kelas Partikel ... 49
B. Homonimi Sebagian ... 51
1. Berdasarkan Perbedaan Derivasi ... 51
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 56
B. Saran ... 57
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
ا ط t
ب b ظ z
ت t ع ‘
ث ts غ gh
ج j ف f
ح h ق q
خ kh ك k
د d ل l
ذ dz م m
ر r ن n
ز z و w
س s ة h
ش sy ء `
ص s ي y
ض d
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
A. Vokal tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
))))
َ
a Fathahِ
))))
i Kasrahُ
)))))
u DammahB. Vokal rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ
)))
ي ai a dan i
َ )))
و au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي/ا----َ â a dengan topi di atas
))))
يِ î i dengan topi di atas
)))
وُ û u dengan topi di atas
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda---ّ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةرو.ّ/0ا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah
sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh no.3)
No. Kata Arab Alih Aksara
1 123.4 tarîqah
2 156789ا 1:6;<0ا al-jâmi’ah al-islâmiyah
3 د=ﺝ=0ا ة?@و wihdat al-wujûd
6. Huruf kapital
ABSTRAK
Ahmad Fauzi
“Analisis Homonimi Kata Nafs (ﺱ ﻔﻨ) dalam al-Qur’an Terjemahan Hamka”. Di bawah bimbingan Dr. Abdullah, M.Ag.
Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pengalihan makna dari bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Proses menerjemahkan sangat membutuhkan peran semantic sebagai alat untuk aktualisasi makna sehingga penerjemahan dirasakan lebih fleksibel
Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat homonimi. Homonimi menjelaskan bahwa banyak terdapat kata yang sama. Dalam segi penulisan juga sama, tetapi mempunyai makna yang berbeda. Konsekuensi logis munculnya gejala kehomonimian adalah ketaksaan ujaran atau kalimat yang disampaikan oleh pembicara kepada pendengar/lawan bicara. Dalam bahasa Arab, sampai saat ini belum ditemukan kajian homonimi secara khusus. Misal; kata nafs dalam al-Qur’an yang mempunyai banyak makna (kehomonimian), namun makna-makna tersebut tidak terdapat di dalam kamus-kamus Arab. Pemahaman terhadap kehomonimian dapat menghindari ketaksaan dalam ujaran atau kalimat yang disampaikan.
Penulis menemukan bahwa kata nafs dalam al-Qur’an memiliki makna yang bervariatif, meskipun pada dasarnya secara harfiah maknanya berbeda dengan yang tercantum di dalam kamus, untuk itu butuh kehati-hatian bagi para penerjemah al-Qur’an dalam menerjemahkannya. Dengan memakai pembahasan homonimi dalam bahasa Arab yang disebut musytarak al-lafzi dan dengan pendekatan teori lyons yang membagi kehomonimian menjadi dua, yakni homonimi mutlak dan homonimi sebagian, penulis mengemukakan konsep nafs dalam al-Qur’an.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semantik berasal dari bahasa Yunani: semantikos yang berarti, tanda atau
memberikan tanda. Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna
yang terkandung pada suatu bahasa, kode atau jenis representasi lain.1
Semantik
dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti dan merupakan satu
dari tiga jenis analisis bahasa: fonologi, gramatika dan semantik.2 Dalam
menganalisis semantik, seseorang harus menyadari bahwa bahasa itu bersifat unik
dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat
pemakainya.3
Maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja dan
tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Itu semua karena bahasa
adalah sebuah produk budaya. Jadi makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau
memiliki nuansa makna yang berlainan.
Teks adalah objek utama dalam kajian semantik. Ketika kita berhadapan
dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan
pembaca. Suatu teks tidak ada artinya, jika tidak ada penulis sebagai pengirim
makna (sender) dan pembaca sebagai penerima makna (receiver) dari sang
1
www.id.wikipedia.org/semantik. Data diakses pada tanggal 19 Februari 2010. 2
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet
ke-2, h. 2. 3
penulis. Di samping itu juga, sebagai penerima makna, “pembaca juga memberi
makna kedua” bagi teks. Di dalam posisi ini, pembaca diartikan sebagai penafsir
makna.4
Dalam kajian semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi.
Homonimi adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan
tetapi maknanya berbeda. Secara semantic, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya
sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi
maknanya tidak sama.5
Homonimi adalah relasi makna antar kata yang ditulis sama, tetapi
maknanya berbeda. Menurut Moeliono, homo sedikitnya mempunyai dua makna.
Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonim muncul sebagai lema (entri)
yang terpisah. Misalnya saja, kata tahu dalam kamus besar bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema:
Ta.hu v mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami)
Ta.hu n makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus.
Homonin dalam bahasa Arab pun banyak sekali dapat ditemukan. Berikut
salah satu contoh homonim dalam bahasa Arab:
4
Yustian Yusa, Terjemahan Ayat-Ayat Ttentang Eksklusivitas Islam: Analisis Hermeneutik Terhadap Terjemahan Versi Departemen Agama dan The Holy Quran , (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009), h. 2.
5
Kata daraba (ب ) mempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata daraba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
Homonim merupakan salah satu objek kajian dalam Al-Qur’an.6 Sebagai
teks, al-Qur’an telah termasuk dalam kajian semantik. Al-Qur’an sebagai kitab
suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat berbahasa Arab yang
sastrawi dan indah, tetapi juga telah menjadi pedoman hidup kaum muslimin.
Agar menjadi pegangan hidup maka kaum muslimin perlu menafsirkan al-Qur’an
agar senantiasa aplikatif di dalam kehidupan.
Dalam kajian studi al-Quran, persoalan terjemahan al-Quran merupakan
salah satu yang dipersoalkan di kalangan ulama. Mereka pada umumnya
menganggap terjemahan al-Quran tanpa menyertakan teks Arab (ayat) sebagai
sesuatu yang dilarang. Sehingga, andai kata al-Quran harus diterjemahkan, teks
aslinya harus disertakan agar makna sesungguhnya yang diinginkan ayat tidak
tereduksi atau tidak menimbulkan pengertian yang justru berlawanan dengan
maksud al-Quran. Oleh sebab itu, dapat dipahami jika dalam penulisan karya
ilmiah ada pedoman bahwa jika seseorang ingin memaknai sebuah kata-kata
tertentu yang padanannya dalam bahasa lain tidak ditemukan atau ditemukan,
6
Beberapa tahun terakhir Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa atas bantuan rabithah al alam al Islami dan dar al ifta wa al irsyad yang bermarkas di Saudi Arabia. Mujamma’ khadim al haramain al syarifain al malik fahd untuk pencetakkan mushaf, telah mencetak terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Turki, Urdu, China, Hausa, dan Indonesia. Departemen agama, Al-Qur’an dan terjemahannya (semarang: PT. Karya Toha Putra,
namun mempunyai kemungkinan banyak arti harus menyertakan teks aslinya agar
pembaca bisa memahami konteks yang diinginkan. Atau, dalam rangka
mengarahkan bahwa maksud yang diinginkan dari teks Arab atau lainnya adalah
makna yang diungkapkan penulis. Hal itu dianggap penting agar pembaca tidak
menimbulkan persepsi lain selain yang diinginkan penulis.
Salah satu bentuk variasi makna terjemahan yang terdapat dalam
al-Qur’an yaitu kata nafs’. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufûs dan anfus) berarti rûh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).7 Sedangkan dalam kamus al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufûs) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-syakhsu (orang), al-syakhsu
al-insân (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri)8. Sedangkan menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an
nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), disamping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.9 Dawan Raharjo menyimpulkan dalam
Ensiklopedi al-Qur’an, kata nafs’ lebih identik dengan jiwa (soul). Pengertian
tentang ”jiwa” dalam kata nafs memang cukup tampak didalam al-Qur’an dan
ternyata dalam sejarah kebudayaan, makna kata itu tertangkap oleh pembacanya
dan dikembangkan lebih lanjut dalam tasawuf. Dalam Qur’an Q.S.
al-Anbiya(21) ayat 53 dan diulang dalam al-Qur’an Q.S. al-’Ankabût(29) ayat 57
7
Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), 826.
8
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1984), 1545. 9
disebut bahwa: ”Tiap-tiap jiwa itu pasti akan merasakan kematian”. Kata ”kullu
nafs” dalam kedua ayat itu dapat pula diterjemahkan dengan ”tiap-tiap yang berjiwa”. Pada terjemahan itu, seorang dilihat esensinya pada jiwanya, sedangkan
pada ayat yang kedua, jiwa dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dan terdapat
pada sesuatu yang tak lain pada wadah atau badannya.
Jamridafrizal, S.Ag.,M.HUM dalam tesis Nafs (jiwa) menurut konsep
al-Qur’an, menjelaskan sisi dalam nafs. Kajian tentang nafs merupakan bagian dari
kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa
menempatkan dirinya menjadi subyek dan obyek sekaligus. Nafs juga sebagai
penggerak tingkah laku seperti berbuat baik ataupun yang buruk.
Kata nafs juga menjadi bahan perbincangan para sufi, terutama dalam kajian tasawwuf. Sebagaimana terminologi kaum sufi (ahli tasawuf), yang oleh
Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa, ”Nafs dalam pengertian kaum
sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk”. Al-Ghazali
pun menyatakan dalam hadist yang berbunyi
ﻙﻴﺒﻨﺠ ﻥﻴﺒ ﻰﺘﻝﺍ ﻙﺴﻔﻨ ﻙﻭﺩﻋ ﻯ ﺩﻋ
َﺃ
yang artinya “musuhmu yang paling berat adalah nafsumu yang ada di dua sisimu”. 10
Sama halnya yang terdapat dalam Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, padahal dalam alQur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif.
10
Dalam penelitian ini, penulis ingin menganalisis dan mengklasifikasikan
homonimi terhadap terjemahan kata nafs dalam al-Qur’an, berdasarkan fitur dan
perilaku semantis dalam pemakaian bahasa tulis.
Sebagaimana contoh nafs yang diartikan ”jiwa” atau ”diri”, sebenarnya kedua istilah tersebut hanyalah soal pilihan kata terjemahan. Dalam Qur’an Q.S.
al-Hasyr(59) ayat 9, umpamanya dijumpai kalimat: ”Dan barang siapa diselamatkan dari kekikiran jiwanya, mereka adalah orang yang beruntung”. Disini kata ”jiwa” dapat diganti dengan ”diri”. Pokoknya nafs menunjuk kepada orang. Namun, jika seorang penterjemah memilih kata ”jiwa”, maka ia tentu
mempunyai maksud tertentu. Misalnya, penterjemah melihat bahwa esensi
manusia adalah jiwanya. Jika seseorang itu kikir, maka yang memiliki predikat
kikir adalah jiwanya.11
Atas dasar inilah penulis tertarik dengan karya-karya terjemahan al Qur’an,
terutama yang berkaitan dengan kata nafs dalam al-Qur’an. Dengan memakai pendekatan teori Lyons,12 penelitian ini mengacu kepada klasifikasi homonimi
bahasa Arab yang terdiri atas: (i) homonimi mutlak (absolute homonymy), dan (ii)
homonimi sebagian (partial homonymy). Dalam pembahasan kali ini Penulis
mengangkat seorang profil ulama Indonesia yang sudah diakui karya-karya
terjemahannya, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal
dengan sebutan HAMKA sebagai objek penelitian. Dari sekian banyak bentuk
11
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 254
12
dan makna kata nafs, penulis hanya membatasi penulisan ini dengan menggunakan teori Achmad Mubarok dengan metode temantiknya, menyebutkan
8 makna nafs dalam al-Quran.
Dengan dilatarbelakangi variasi makna tersebut, penulis mengambil
skripsi yang berjudul ”ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS’ DALAM
AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA”.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Setelah memaparkan latar belakang masalah, penulis hanya membatasi
penulisan hanya pada kata nafs dalam Al-quran terjemahan HAMKA.
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas, yaitu:
1. Apakah terjemahan kata nafs dalam Al-quran terjemahan HAMKA sudah tepat?
2. Bagaimana kehomonimian kata nafs karya Hamka dalam penerjemahan al-Qur’annya?
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui ketepatan terjemahan kata nafs dalam Al-Qur’an terjemahan HAMKA.
Adapun manfaatnya adalah :
1. Memberikan pengetahuan baru bagi yang mempelajari bahasa Arab terutama penerjemahan dan dapat memberikan informasi tambahan
pengetahuan tentangvariasimakna.
2. Untuk para peneliti lainnya agar dapat memberikan sumbangan dalam mengadakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan semantik
yang berkaitan dengan variasi makna.
D. Tinjauan Pustaka
Pada skripsi ini, penulis menggunakan terjemahan al-Qur’an terhadap kata
nafs yang diterjemahkan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
sebagai objek utama dalam penelitian ini. Adapun judul skripsi ini terinspirasi
dari penelitian oleh Jamridafrizal, S.Ag.,M.HUM yang mengangkat analisa Nafs
menurut konsep al-Qur’an. Sedangkan analisis Homonimi kata nafs dalam al-Qur’an terjemahan HAMKA hanya pada skripsi ini. Dalam penelitian
Jamridafrizal tersebut, penulis menemukan adanya variasi makna yang terdapat
pada kata nafs. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menggunakan penelitian
tersebut sebagai pustaka utama, yang kemudian membandingkan dengan
terjemahan HAMKA dalam terjemahan al-Qur’annya.
Untuk melengkapi pembahasan ini, penulis menggunakan buku-buku,
artikel-artikel ataupun referensi lain yang dapat dijadikan acuan yang terkait
E. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, Sumber data yang diperoleh adalah melalui sumber
literer (library reaserch) yaitu dari kepustakaan, sedangkan metode penilitian yang
digunakan adalah metode deskriptif analitis yaitu dengan cara mengumpulkan
data-data dari Al Qur’an yang diterjemahkan oleh HAMKA sebagai bahan primer,
seperti yang diutarakan Sutrisno Hadi: “Penelitian deskriptif yaitu suatu
penelitian dimana peneliti hanya mengumpulkan data, menganalisa data, dan
kemudian menyimpulkan tanpa menarik kesimpulan yang berlaku secara
umum.”13 Analitis yaitu penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelahaan bagian itu sendiri, serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Sedangkan untuk bahan
sekunder adalah dengan mengumpulkan dari berbagai literature yang relevan
dengan pokok permasalahan baik dari artikel, majalah, internet, maupun dari
buku-buku lain yang berkaitan.
Adapun pedoman penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang disusun oleh tim UIN Syarif
Hidayatullah dan diterbitkan oleh UIN Jakarta press 2002.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari V bab, yaitu :
13
Bab I Pendahuluan : terdiri dari 6 Sub Bab, yaitu : Pertama, Latar Belakang Masalah, Kedua, Pembahasan dan Perumusan Masalah, Ketiga, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Keempat, Tinjauan Pustaka, Kelima, Metodologi Penelitian, dan Keenam, Sistematika Penulisan.
Bab II Kerangka Teori : terdiri dari 3 Sub Bab, yaitu : Pertama, Gambaran Mengenai Penerjemahan al-Qur’an; Pengertian, Macam-macam dan
Syarat-syarat Terjemahan al-Qur’an. Kedua, Homonimi Secara Umum;
[image:22.612.118.527.241.512.2]Pengertian, Konsep, Homonimi dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Ketiga,
Gambaran umum tentang Nafs
Bab III Sekilas Biografi Hamka : terdiri dari 3 Sub Bab, yaitu : Pertama, Riwayat Hidup Hamka. Kedua, Pendidikan dan Karir Hamka. Ketiga, Karya-karya Hamka.
Bab IV Analisis variasi makna kata nafs dalam Al-Qur’an terjemahan Hamka : terdiri dari 2 sub bab, yaitu: Pertama, analisis homonimi mutlak, yang terdapat 2 bagian, yaitu: kelas nomina dan kelas partikel. Kedua, analisis homonimi sebagian berdasarkan perbedaan derivasi.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Konsep Umum Penerjemahan al-Qur’an
. Pengertian Terjemah Al-Qur’an
Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu
pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau singkatnya
mengalihbahasakan. Sedangkan terjemahan, berarti salinan bahasa, atau alih
bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain.14 Secara etimologis kata ”
ﺔﻤﺠﺭﺘ
” atautranslation berarti menerangkan atau menjelaskan, seperti dalam ungkapan tarjamtu al-kalam maksudnya bayyantuhu wa waddahtuhu “menerangkan suatu pembicaraan dan menjelaskan maksudnya.15
Maka, menafsirkan atau
menjelaskan al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa selain bahasa Arab,
termasuk menerjemahkan Qur’an. Dalam hubungan ini, Ibnu Katsir dan
al-Baghawi menyatakan: kata terjemah itu dalam tuturan bahasa Arab digunakan
secara mutlak dengan arti menjelaskan, baik itu masih dalam satu bahasa
maupun dalam bahasa yang berbeda.16
Berdasarkan penjelasan tersebut maka
dapat disimpulkan kata tarjamah bermakna penjelasan dan kata terjemah dapat diperluas untuk setiap ungkapan yang membutuhkan penjelasan.
14
Tim PrimaPena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Terbaru), (Jakarta: Gita Media Press), h.
15
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an ( ): bersumber dari kitab at-tafsiru wal mufassirûn karya Dr.Moch.Husein az-Zahabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, ) h. .
16
. Macam-Macam Terjemah Al-Qur’an
Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika
masyarakat yang progresif mendorong umat Islam untuk mencurahkan
perhatian yang besar dalam menjawab problematika kontemporer yang
semakin kompleks dari masa ke masa.17 Untuk itu Penulis akan menjelaskan
beberapa model dalam penerjemahan al-Qur’an sebagai berikut:
a. Terjemahan secara harfiyah (lafziyah) yaitu menerjemahkan al-Qur’an ke
dalam bahasa sasaran di mana kalimat dan susunan kata disesuaikan
dengan bahasa aslinya. Contoh, kalimat bismillah diartikan dengan “dengan menyebut nama Allah” yang secara harfiyah adalah dua kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa pemakai yang sudah beredar di
masyarakat contohnya adalah terjemahan al-Qur’an Depag RI dari tiap
edisi.
Dalam terjemahan harfiyah selain beberapa pemahaman di atas ada dua hal yang harus diikuti jika menerjemahkan al-Qur’an.
• Adanya kosakata-kosakata yang sempurna dalam bahasa terjemah
sama dengan kosakata-kosakata bahasa asli.
• Harus adanya penyesuaian kedua bahasa mengenai kata ganti dan
kalimat penghubung yang menghubungkan antara satu frasa dengan
frasa yang lain untuk menyusun kalimat.
17
b. Terjemahan tafsiriyah (ma’nawiyah) yaitu menerjemahkan dari ayat-ayat Qur’an di mana si penerjemah memusatkan perhatiannya pada arti
al-Qur’an yang diterjemahkan dengan lafaz-lafaz yang tidak terikat oleh
kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa dalam bahasa asli. Model
terjemahan tafsiriyah seperti ini juga sudah banyak beredar di masyarakat.18
. Syarat-Syarat Terjemah Al-Qur’an
Penerjemahan al-Qur’an adalah mengalihkan pesan al-Qur’an, ke
bahasa asing selain bahasa Arab, dan terjemahan tersebut dicetak dengan
tujuan agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab
sehingga dapat dimengerti maksud dari firman Allah tersebut dengan bantuan
terjemahan.
Seorang penerjemah al-Qur’an harus memenuhi syarat-syarat berikut:
• Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung
jawab keislamannya dapat dipercaya.
• Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya,
seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan al-Qur’an.
• Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia
harus mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik.
18
• Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dan
memenuhi kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada
hakikatnya adalah seorang mufasir.
Menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy ada beberapa ilmu yang
harus dimengerti dan dikuasai oleh seorang mufassir sebagai berikut:
• Lughah Arabiyah: dengan ilmu ini seorang muafassir akan mengetahui syarah kata tunggal.
• Undang-undang bahasa Arab: aturan-aturan yang terdapat
dalam bahasa Arab atau jelasnya mengerti ilmu sharaf dan nahwu.
• Ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’: dari ketiga ilmu ini seorang mufassir akan mengerti susunan pembicaraan dan penjelasan
dari setiap kalimat dan memahami letak keindahan bahasa
al-Qur’an.
• Mengetahui asababun nuzul dan nasakh serta mengerti antara mubham dan mujmal.
• Mengetahui ijmal, tabyin, umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk
suruhan, petunjuk larangan. Ini diambil dari ilmu ushul fiqh.
• Ilmu Kalam
• Ilmu Qira’at.19
19
Pada saat melakukan kerja penerjemahan al-Qur’an, seseorang harus
memenuhi syarat-syarat berikut:
• Dalam menerjemahkan seorang penerjemah harus berpedoman
pada syarat-syarat penafsiran rasional (
ﻲﻠﻘﻌﻝﺍﺭﻴﺴﻔﺘﻝﺍ
).• Penerjemah harus memperhatikan ketepatan terjemah dengan
melihat tingkat penerjemah sebagai berikut: ( ) terjemah kata
per kata dengan melihat padanannya; ( ) terjemah makna dan
penjelasannya dengan menggambarkan makna tersebut dan
memberi beberapa penjelas tambahan atas makna kata; ( )
menjelaskan kebenaran pemilihan makna terjemahan dan
berusaha menjelaskan dengan dalil.
• Dalam menerjemahkan haruslah terkonsentrasi pada redaksi
(
ﻅﺎﻔﻝﻷﺍ
) dan makna Qur’an, bukan pada bentuk susunanal-Qur’an, karena sistem susunan tersebut merupakan mukjizat
yang tak terjemahkan.
• Hendaknya menerjemahkan makna al-Qur’an dengan metode
terjemah yang benar dengan kriteria: ( ) gaya penerjemahan
dengan bahasa yang mudah dicerna, dan sesuai dengan
kemampuan umum pembaca; ( ) hati-hati dalam mencarikan
padanan yang tepat dari kalimat-kalimat yang ada dalam
al-Qur’an; ( ) menuliskan makna ayat dengan sempurna; ( )
• Menjadikan tafsir sebagai rujukan dalam penerjemahan.
• Harus memberikan keterangan pendahuluan yang menyatakan
bahwa terjemah al-Qur’an tersebut bukanlah al-Qur’an,
melainkan tafsir al-Qur’an.
Selain strategi di atas, ada teknik umum yang harus pula diketahui
seorang yang hendak menerjemahkan al-Qur’an, seperti berikut:
• Penerjemahan ayat sebaiknya ditulis miring.
• Penerjemahan informasi ayat dituliskan sesuai dengan
kelaziman yang dipakai, seperti (QS Al-Baqarah [ ]: ).
Namun demikian, penulisan ini bisa disesuaikan dengan gaya
selingkung yang berlaku.
• Penerjemahan ayat sebaiknya diapit oleh tanda petik ganda.
• Penerjemahan harus mengacu pada penerjemahan lain yang
telah disepakati keakuratannya oleh banyak kalangan,
meskipun tetap dibenarkan melakukan penyuntingan bahasa,
bukan isi terjemahan.
• Penerjemahan al-Qur’an di dalam teks lain, biasanya didahului
dengan klausa Allah Swt. berfirman. Ini bukan merupakan
keharusan. Penerjemah bisa memodifikasinya.20
20
B. Homonimi
. Pengertian Hominimi
Homonimi berasal dari bahasa yunani kuno, onoma yang artinya
‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat
diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik,
verhaar memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau
kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase
atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.21
Umpamanya kata pacar yang berarti ‘inai’ dengan pacar yang berarti
‘kekasih’, antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang berarti
’sanggup, dapat’. Contoh lain, antara kata baku yang berarti ’standar’ dengan baku yang berarti ’saling’, atau antara kata Bandar yang berarti ’pelabuhan’ dengan Bandar yang berarti ’parit’ dan Bandar yang berarti ’pemegang uang dalam perjudian’.
Hubungan antara kata pacar dengan arti ’inai’ dan kata pacar dengan
arti ’kekasih’ inilah yang disebut Homonim. Jadi kata pacar yang pertama
berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena
hubungan homonimi ini bersifat dua arah. Dalam kasus Bandar yang menjadi
contoh di atas, homonimi ini terjadi pada tiga buah kata. Dalam bahasa
Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri dari tiga buah kata.
21
Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.
Artinya, kalau kata bisa yang berarti ’racun ular’ homonim dengan kata bisa
yang berarti ’sanggup’, maka kata bisa yang berarti ’sanggup’ juga homonim
dengan kata bisa yang berarti ’racun ular’. Kalau ditanyakan, bagaimana bisa
terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab
terjadinya homonimi.
Pertama, bentuk-bentuk homonimi itu berasal dari bahasa atau dialek
yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti ’racun ular’ berasal dari
bahasa melayu, sedangkan bisa yang berarti ’sanggup’ berasal dari bahasa
jawa. Contoh lain kata bang yang berarti ’adzan’ berasal dari bahasa jawa,
sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti ’kakak laki-laki
berasal’ dari bahasa melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti ’pangkal
permulaan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti
’kalau’ berasal dari dialek Jakarta.
Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses
morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ’ibu sedang mengukur
kelapa di dapur’ adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat
’petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami’. Jelas, kata mengukur
yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata
kukur (me + kukur = mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua
terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me +
Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat
terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat
dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem -nya pada kalimat:
ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya’ berhomonimi dengan –
nya pada kalimat “mau belajar tetapi bukunya belum ada.” Morfem –nya adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti ’racun
ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup atau dapat’ seperti sudah disebutkan
di muka.
Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti
’perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta anak yang
berarti ’cinta kepada anak dari seornag ibu’. Contoh lain, orang tua yang
berarti ’ayah ibu’ dan frase orang tua yang berarti ’orang yang sudah tua’.
Juga antara frase lukisan yusuf yang berarti ’lukisan milik yusuf’ dan lukisan
yusuf yang berarti ’lukisan hasil karya yusuf’, serta lukisan yusuf yang berarti
’lukisan wajah yusuf’.
Homonimi antar kalimat, misalnya antara istri lurah yang baru itu
dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu baru menikah
lagi dengan seorang wanita yang cantik.22
. Konsep Homonimi
Para ahli bahasa sepakat bahwa konsep homonimi merupakan bagian
dari ketaksaan (ambiguity) yang secara definitif diartikan sebagai hubungan
pertalian dari dua atau lebih leksem-leksem yang berbeda, dan kebetulan
mempunyai bentuk sama. Rasional dikemukakannya teori homonimi adalah
kenyataan bahwa kosakata, yang di dalam kamus merupakan lema-lema,
dapat mempunyai implikasi sama bentuk lain makna.
Lyons (Linguistic Semantics, Cet. Ke- : ) membagi homonimi ke
dalam dua kelas besar, yakni: Homonimi mutlak (absolute homonymy), dan
Homonimi sebagian (partikal homonymy).
Homonimi mutlak mempunyai ciri formal sebagai berikut: (i) makna
masing-masing leksem anggota homonimi tidak berhubungan; (ii) semua
leksem yang homonim dapat teridentifikasi; (iii) bentuk leksem yang identik
itu secara gramatikal equivalen. Homonimi mutlak, misalnya bank ’lembaga
keuangan’ dan bank ’tepi sungai’, bisa ’racun ular’ dan bisa ’dapat melakukan’.
Hasil analisis mutlak ini akan dipilah berdasarkan (tiga) kategori
kelas kata (kategori primer) yang berlaku dalam tradisi linguistik arab, yakni
( ) nomina (al-ism), ( ) verba (al-fi’il), dan ( ) partikel (al-harf). Kelas
22
-nomina (al-ism) mencakup subkelas: adjektiva (al-sifat), partisip aktif (isim
fâil), partisip pasif (isim maf’ul), infinitif (masdar), dan pronomina persona. Kelas verba (al-fi’il) mencakup verba perfektif (fi’il mâdi), verba imperfektif
(fi’il mudâri), dan verba imperatif (fi’il amr). Kelas partikel (al-haf)
mencakup preposisi (harf jarr), adverbia lokatif (zaraf makân), adverbia
waktu (zaraf zamân), interjeksi (munadâ’), partikel negasi (huruf manfi), konjungsi (al-atf), interogativa (huruf istifhâm), dan fatis (al-isti’nâf).
Homonimi sebagian apabila ditemukan identitas (i), atau (i) dan (ii)
dari klasifikasi homonimi mutlak, tetapi tidak ditemukan identitas (iii).
Misalnya, verba find ’menemukan’ dan found ’mendirikan’ sama-sama memiliki bentuk found; dan found sebagai bentuk dari find ’menemukan’ secara gramatikal tidak equivalen dengan bentuk found sebagai bentuk dari found ’mendirikan’. Termasuk juga ke dalam homonimi sebagian apabila leksem homonimis itu tidak berasal dari lingkungan gramatikal yang sama,
seperti adjektifa last dalam last week ’minggu yang lalu’ dan verba last dalam Bricks last a long time ’Bricks tahan lama’.23
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa leksem-leksem itu homonimi
mutlak apabila memenuhi syarat dan bentuknya sama, baik dalam medium fonik atau grafik. Homonimi sebagian cenderung mengakibatkan ketaksaan dalam konteks tertentu, sehingga dapat dijelaskan dengan tata bahasa yang
23
menurunkannya. Apabila homonimi sebagian mengakibatkan ketaksaan dalam
kalimat, maka itu merupakan kataksaan leksikal dan gramatikal.
. Homonim dalam Bahasa Arab
Homonimi (Al-Musytarak Al-Lafzi) dalam bahasa Arab sama dengan
polisemi dalam bahasa Indonesia, yaitu kata atau frasa yang memiliki makna
lebih dari satu, atau memiliki makna yang berbeda-beda.
Pengertian homonimi Musytarak Lafzi di dalam buku ’Inda al-Arab dibagi menjadi dua bagian yaitu polisemi dan homonimi, sedangkan di dalam
buku Ilmu ad-Dilalah, musytarak Lafzi banyak dipelajari di dalam al-Qur’an,
hadist nabi dan di dalam bahasa Arab. Menurut salah satu ahli bahasa,
musytarak Lafzi adalah satu kata yang mempunyai makna lebih dari satu, pengertian ini sama dengan definisi polisemi dalam bahasa Indonesia.24
Berbeda pengertian musytarak Lafzi di dalam kitab Mulakhas Qowâidul al-Lughah al-Arabiyah bahwa homonimi adalah lawan kata dari sinonim. Homonimi adalah setiap kata yang memiliki beberapa makna, baik
makna yang sebenarnya atau makna kiasan. Para ahli bahasa berbeda
pendapat tentang definisi musytarak Lafzi tersebut, ada yang menolaknya dan
ada juga yang mengakui keberadaannya, dengan menunjukkan berbagai fakta
yang ada dan tidak dapat diragukan lagi.
Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya homonim
musytarak Lafzi di antaranya:
24
a. Perbedaan dialek-dialek Arab klasik, maka adanya homonim
menampakkan implikasi dari perbedaan penggunaan kata dari berbagai
suku.
b. Bergesernya beberapa kata dari makna yang asli pada makna kiasan,
dengan adanya hubungan tertentu, seringnya kata-kata itu digunakan,
sehingga kata kiasan menjadi sekuat kata yang sebenarnya.
c. Adanya dua kata yang hampir sama, sighatnya juga sama. Dari situ muncullah beraneka ragam makna.
Pengaruh bahasa (kata) asing ke dalam bahasa Indonesia ternyata
mengakibatkan munculnya banyak homonimi. Homonin dalam bahasa Arab
banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab:
a. Kata daraba (ب mempunyai artî ( ) berdenyut; ( ) mengepung; ( ) memikat; ( ) menembak; ( ) memukul; ( ) menyengat; ( ) cenderung; ( )
menentukan; ( ) mengetuk. Semua kata dharaba yang mempunyai
sedikitnya arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
b. Kata tawallâ( ) mempunyai artî ( ) berkuasa; ( ) menaruh perhatian; ( ) mengendalikan diri; ( ) mengerjakan; ( ) mengemudikan; ( )
memimpin. Semua kata tawallâ yang mempunyai sedikitnya arti ini
semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
c. Kata rusyd( ر ) mempunyai artî ( ) dewasa; ( ) sadar; ( ) petunjuk; ( ) rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya arti ini semuanya
d. Kata qabadha ( ) mempunyai artî ( ) menekan; ( ) mengembalikan; ( ) mengerutkan: ( ) menyempitkan; ( ) melepaskan; ( ) meninggalkan;
( ) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai sedikitnya arti ini
semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
e. Tahlil n Puji-pujian kepada tuhan dengan menyebut la ila ha illallah. Tahlil n Pengesahan perkawinan antara suami istri yang telah bercerai
tiga kali dengan perantaraan muhalil.
f. Sirat n Mata jala (jarring, rajut), Sirat n Celah, sela (antara gigi dan gigi), Sirat n Jembatan.
. Homonimi dalam Bahasa Indonesia
Saeed ( ) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi antara
kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini
agak berbeda dengan definisi dari Matthews ( ) yang menyebut
homonimi sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama namun
maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat saya,
definisi homonimi menurut Saeed rancu dengan definisi homofon, sedangkan
definisi hominimi menurut Matthews rancu dengan definisi homograf.
Homonimi seharusnya mencakup relasi antara kata yang pengucapannya dan
bentuknya sama, namun maknanya tidak berhubungan.25
Berikut contoh homonim dalam bahasa Indonesia:
Rapat (berdempet-dempetan) dengan kata Rapat (meeting)
Beruang (hewan) dengan kata Beruang (punya uang)
25
Bisa (dapat) dengan kata Bisa (racun ular)
Pacar (inai) dengan kata Pacar (kekasih)
Bandar (pelabuhan), Bandar (parit), Bandar (pemegang uang dalam perjudian)
C. Sekilas Tentang Nafs’
Istilah nafs yang dimaksud di sini adalah istilah bahasa Arab yang dipakai
dalam al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jamaknya nufus dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).26 Sedangkan dalam kamus al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), as-syakhs (orang), as-syahks al-insan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri).27Sedangkan menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs yang jamaknya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), disamping juga dipakai
untuk beberapa arti lainnya.28
Dalam pembahasan ini yang dimaksud nafs adalah makhluk ciptaan Allah29 yang termasuk makhluk hidup, dan karena itu nafs juga dimatikan (QS: ; ), ciri khusus nafs adalah bernafas, sebagai tanda dari kehidupan dan keberadaannya menyatu dengan unsur fisika kimiawi, dan dari unsur tanah dan air
26
Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, ), h. .
27
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, ), h. .
28
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep kunci, (Jakarta: Paramadina, ), h. .
29
(QS: ; ). Nafs sebagai makhluk Allah diciptakan atau berasal dari nafs wahidah (QS: ; ). Para mufassir umumnya menafsirkan nafs wahidah itu identik dengan Nabi Adam. Menurut Ibnu Katsir, bahwa semua manusia itu berasal dari
Adam dan Allah menjadikan istri Adam yaitu Hawa’ darinya, kemudian Allah
membuat keturunannya sehingga terbesar semua manusia lakilaki perempuan
sebanyak penduduk dunia sekarang ini dan seterusnya sehingga hari kiamat nanti.
Ayat pertama turun yang mengandung kata nafs dalam bentuk jama’nya nufus terdapat pada surat al-Muzammil ( ) ayat surat paling awal ke tiga sesudah al-‘Alaq dan al-Qalam, yang menjelaskan sesuatu perbuatan manusia
yang efeknya hanyalah kepada diri manusia sendiri (anfus), bahwa apapun yang
dikerjakan oleh nafs di dunia ini berupa perbuatan baik dan buruk akan ditemui
balasannya di hari kiamat30. Ayat kedua yang turun bersama dengan kata nafs terdapat pada surat al-Mudatsir ( ) ayat , yang menjelaskan bahwa setiap jiwa
itu tergadai dengan amalnya di sisi Allah dari terikat denganNya, maka jiwa itulah
sebagai jaminan (rahinah) baik jiwa itu kafir maupun mukmin, durhaka atau taat31.
Nafs di sini diartikan sebagai jiwa yang memiliki jaminan bahwa yang diusahakan seseorang akan memberi pengaruh terhadap jiwa orang tersebut.
Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata bahasa
Indonesia telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat
pejoratif, berkonotasi seksual. Pada hal kata nafs yang bermakna nafsu sendiri itu
30
Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir Maraghi, Juz VIII, (Cairo: Musthafa Babi al-Halabi, ), h. .
31
sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk32. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengenal kata nafsu yang dipahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap
manusia. Nafsu ini walaupun tidak tampak dirasakan kehadirannya ketika
seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk
bertindak dan memuaskan batinya. Nafsu ini disebut juga nafsu syahwat(libido).
Tetapi bernafsu tidak hanya identik dengan seks, bernafsu bisa digunakan untuk
sebagainya. Dalam al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa syahwat adalah
merupakan anugerah dari Tuhan (QS: ; ).
Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian emosi yang ada pada
manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga
mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi.33
Sebenarnya dalam al-Qur’an terdapat dua kata yang sama-sama diartikan
nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa berarti hasrat (desire), hawa nafsu (lust).
Kata hawa atau ahwa disebut kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata
hawa bermakna kosong, jauh, sedangkan dari sudut leksiologis kata tersebut bermakna kecenderungan atau kecintaan kepada yang jelek, kecenderungan hati
kepada kejelekan. Al-Raghib menambahkan bahwa kecenderungan jiwa pada
32
Hal ini sangat dipengaruhi oleh teorinya Sigmund Freud, yang mengatakan bahwa nafsu (libido) adalah energi psikis yang mengendalikan manusia.
33
syahwat disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan seseorang akan kehidupan dunia
ini ke dalam kecelakaan dan dalam kehidupan akhirat ke dalam neraka.34
Dalam al-Qur’an dibedakan antara ruh dan nafs, pada kedua kata itu bukanlah sinonim. Kata ruh disebutkan sebanyak kali, antara lain menunjuk arti pembawa wahyu (QS: ; - ), dan ruh yang membuat hidup manusia (QS: ; ). Sedangkan kata nafs dalam al-Qur’an semua memiliki pengertian dzat secara umum terdiri dari dua unsur material dan immatrial, yang akan mati
dan terbunuh (QS: ; ). Dengan kemutlakan seperti ini, maka kata nafs bukanlah
sinonim dari kata al-ruh.
Fazlur Rahman menjelaskan mengenai nafs dalam al-Qur’an, kata ini dalam filsafat dan tasawuf Islam telah menjadi konsep tentang jiwa dengan
pengertian bahwa ia adalah substansi yang terpisah dari jasmani. Jiwa yang
dikatakan juga sebagai diri atau batin manusia memang dinyatakan oleh al-
Qur’an dengan realitas pada manusia, tetapi ia tidak terpisah secara eklusif dari
raga. Dengan kata lain, menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an tidak mendukung
doktrin dualisme yang radikal antara jiwa dan raga. Menurut penafsirannya nafs yang sering diterjemahkan menjadi jiwa (soul), sebenarnya berarti pribadi,
perasaan, atau aku. Adapun predikat yang beberapa kali disebut dalam al-Qur’an
hanyalah dan seharusnya dipahami sebagai kaidah-kaidah, aspek-aspek,
watak-watak, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal ini
34
seharusnya dipahami sebagai aspek mental, sebagai lawan dari aspek phisik,
tetapi tidak sebagai substansi yang terpisah.35
Sedangkan diskursus menganai jiwa oleh para pemikir muslim seperti
al-Ghazali yang mengkaji konsep nafs secara mendalam. Menurut al-al-Ghazali nafsitu
mempunyai dua arti, arti nafs yang pertama adalah nafsu-nafsu rendah yang kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan agresif (al-ghadlab), dan
dorongan erotik (al-syahwat), yang keduanya dimiliki oleh hewan dan
manusia.Adapun nafs yang kedua adalah nafs muthmainah yang lembut, halus, suci dan tenang yang diundang oleh Tuhan sendiri dengan lembutnya untuk
masuk ke dalam surga-Nya (QS:al-Fajr; - ).36
35
Fazlur Rahman, dalam M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia... h. . 36
BAB III
BIOGRAFI HAMKA
A. Riwayat Hidup Hamka
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Panggilan kecilnya ialah Abdul Malik. Ia dilahirkan pada tanggal Februari
di Manijuratau lebih tepatnya lahir pada tanggal Muharram , di
sebuah desa tanah Sirah, di tepi danau Maninjau Sumatra Barat. Ayahnya
bernama Syekh Haji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Haji
Rasul. Dia adalah adalah seorang tokoh pelopor gerakan pemuda Minangkabau.37
Berbicara tentang Hamka, maka tidak lepas pembicaraan kita tentang latar
belakang dimana tokoh tersebut dilahirkan, baik dari kondisi sosial masyarakat
ataupun letak geografisnya. Kalau diperhatikan keberhasilan Hamka sebagai
seorang yang pandai dan terkenal tidaklah mengherankan, seperti kata pepatah
“buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Seperti itulah kiranya Hamka dikenal,
Hamka dilahirkan dari keluarga yang memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat
serta disegani dalam lingkungannya. Kakeknya seorang ulama dan tokoh
masyarakat yang dihormati, begitu juga ayahnya yang juga seorang ulama dan
37
tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemikiran yang luas. Ini dapat
dilihat dari aktifitasnya dalam berbagai organisasi yang diikutinya.38
Pada akhir abad ke- dan pertengahan abad ke- Haji Abdul Karim
Amrullah (ayah Hamka) dan ketiga tokoh lainnya yaitu Syekh Taher Jalaluddin,
Syekh Muhammad Jamil Djambek, dan Haji Abdullah Ahmad mempelopori
sebuah gerakan kebangkitan yang dikenal dengan sebutan kaum muda. Gerakan
ini ditandai dengan munculnya berbagai publikasi, sekolah serta organisasi yang
dikelola secara modern.39
Organisasi ini dikatakan organisasi pemuda, karena alasannya adalah
bahwa pendirinya adalah kaum muda. Usia para pendiri ini belum sampai pada
usia tahun. Ayah Hamka sendiri, Tuan Rasul, usianya waktu itu kira-kira baru
tahun. Sedangkan ulama-ulama yang mempertahankan tarikat di tanah tersebut,
kebanyakan mereka berusia - tahun dan relatif dibilang para golongan tua.40
Syekh Taher Jalaluddin, meskipun menetap di Singapura dan hanya dua
kali singgah ke tanah Minang, akan tetapi pemikiran beliau sangat berpengaruh
terhadap tokoh-tokoh tanah Minang tersebut, terutama ketiga tokoh angkatan
muda tersebut. Ketiga tokoh kaum muda tersebut adalah teman sekaligus murid
dari syekh Taher Jalaluddin. Pengaruh tersebut disalurkan melalui majalah
al-Imam dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh Syekh Taher bersama Raja Ali di
Singapura pada tahun yang diberi nama Iqbal Islami. Majalah
38
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtar baru Van Hoeve, ), h.
39
M. Yunan Yusuf, Corak penafsiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Perpustakaan IAIN, ), h.
40
Imam berisi tentang artikel-artikel tentang masalah keagamaan dan laporan
peristiwa yang terjadi pada dunia islam. Melalui majalah inilah
pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh disebar luaskan, yang dikutib dari majalah
Manar. Dengan semangat yang diberikan oleh Syekh Taher melalui majalah
al-Imam dan dasar intelekstual yang sudah bersentuhan dengan pemikiran Saudi
Arabia dan Mesir, ketiga tokoh tersebut melancarkan serangan-serangan terhadap
kaum adat yang memegang teguh adat dan tradisi yang dipengaruhi kebiasaan
Belanda.41
Syekh Abdul Karim menentang keras Rabithah dan Wasilah dengan
menulis buku Qati’u Razbi al-Mulhidin (pemotong tusukan oarang-orang ilhad).
Buku untuk memperkuat argumen Syekh Ahmad Khatib dalam menjawab Syekh
Sa’ad Munka, tokoh kaum tua. Setelah beberapa tahun majalah al-Imam tidak
terbit, Haji Abdullah Ahmad menerbitkan majalah baru yang diberi nama
al-Munir, yang memuat berbagai artikel tentang agama, biografi nabi,
peristiwa-peristiwa luar negeri, serta mengambil berbagai artikel dari al-Manar. Tujuan
majalah al-Munir adalah untuk memajukan putra-putra muslim supaya
mempunyai pengetahuan yang luas dalam masalah islam dan juga pengetahuan
yang memadai.42
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Syekh Abdul Karim Amrullah beserta
kawan-kawannya mendapat tantangan keras dari masyarakat setempat, terutama
dari kaum tua. Mereka dituduh keluar dari Majhab Ahli Sunnah, dan mereka juga
41
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, ), Cet. Ke- , h. 42
dituduh menganut paham Mu’tazilah, Wahabi dan Khawarij, bahkan dikatakan
telah zindiq, sesat dan menyesatkan. Minangkabau saat itu terbagi atas dua bagian,
kaum muda yang dipimpi oleh Syekh Abdul Kasim Amrullah dan
kawan-kawannya sementara kaum tua yang dipimpin oleh Syekh Sa’ad Munka.
Puncaknya perselisihan ini terjadi pada tahun .
Ditengah potret latar belakang seperti itulah seorang Hamka dilahirkan,
dari salah satu dari ketiga tokoh pemuda tersebut. Yaitu Syekh Rasul (Syekh
Abdul Kasim Amrullah), yang berharap agar anaknya kelak mengikuti jejak
ayahnya sebagai tokoh yang revolusioner dalam merubah kebekuan tradisi yang
menghambat kemajuan umat dan bangsa.43
B. Pendidikan dan Karir Hamka
Hamka atau pada waktu kecilnya dengan sebutan Abdul Malik memulai
pendidikannya dengan membaca al-Qur’an dirumah orang tuanya, dan gurunya
adalah ayahnya sendiri. Baru pada usia tujuh tahun, Hamka disekolahkan di
sekolah yang ada di desa dimana Hamka tinggal. Mereka pindah dari Maninjau ke
Padang Panjang pada tahun .44
Pada tahun ketika Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan sekolah
diniyah petang hari, di Padang Panjang (pasar usang), Hamka dimasukkan ke
43
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, ), Cet. Ke- , h. 44
sekolah tersebut. Sore hari aktifitas Hamka di sekolah, sementara malam harinya
beliau di surau belajar mengaji bersama teman-teman sebayanya.45
Kegiatan-kegiatan ini dilakukan Hamka setiap hari. Keadaan yang
demikian membuat Hamka merasa jenuh, ditambah lagi sikap ayahnya yang keras
dan otoriter, membuat Hamka merasa terkekang dan kehilangan kebebasan di
masa kanak-kanaknya, sehingga sikap yang menyimpang dari Hamka adalah ia
dikenal sebagai anak yang nakal.46
Pada tahun saat ayahnya kembali dari perlawatan pertamanya ke
tanah jawa, suarau jembatan besi, tempat Syekh Abdul Karim Amrullah
memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, yang kemudian diubah
menjadi sebuah madrasah yang dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan
harapan dari sekolah ini agar anaknya kelak menjadi ulama’ seperti dia juga.
Setelah selesai dari sekolah desa, Hamka di masukkan ke sekolah Thawalib
School tersebut.
Namun sistem belajar klasikal Thawalib School yang masih menggunakan
kurikulum dan materi pelajaran lama, membuat Hamka cepat bosan. Keadaan
seperti itu membuat Hamka lebih senang berada di dalam perpustakaan untuk
membaca buku-buku cerita dan sejarah. Imajinasinya sebagai anak-anak mulai
muncul, walaupun sesekali mendapat hambatan dari ayahnya yang lebih
menginginkan Hamka menjadi seorang alim.47
45
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h. 46
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h. 47
-Pada tahun Hamka merantau ke tanah jawa, Yogyakarta adalah
tempat pertama dia merantau. Di tempat ini, Hamka menemukan semangat baru
dalam mempelajari islam. Lewat pamannya yang bernama Ja’far Amrullah,
Hamka mengikuti kursus yang diadakan oleh Muhammadiyah dan Sarikat Islam.48
Pada kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Agus Hadikusuma, dari
pertemuan ini Hamka mendapat pelajaran tentang tafsir Al-Qur’an. Ia juga
bertemu dengan HOS Cokrominoto. Dan sering mendengarkan ceramahnya
tentang islam dan sosialisme. Disamping itu, ia juga sering bertukar pikiran
dengan tokoh penting lainnya, seperti Haji Fachruddin dan Samsul Rijal (tokoh
jong islamited bond).
Keberadaan Hamka di tanah jawa yang menumbuhkan semangat baru dan
kesadaran dalam melihat islam. Hal ini membuat ia membandingkan dengan
tanah kelahirannya, sebagaimana disinggung oleh para ahli islam, islam di
minangkabau lebih banyak berhadapan dengan adat praktek ninang yang
dipandang berbau Jahiliyah. Sebaliknya citra pembaharuan Islam di jawa
kelihatannya lebih berorentasi kepada upaya memerangi keterbelakangan,
kebodohan dan kemiskinan serta kristenisasi yang dapat sokongan dari kolonial.49
Setelah beberapa lama di tanah jawa, Hamka pun kembali ke
Minangkabau dalam usia tujuh belas tahun. Hamka telah tumbuh menjadi
pemimpin ditengah-tengah lingkungannya. Ia sering berpidato ditengah-tengah
masyarakat Minangkabau yang telah melahirkan dan membesarkannya itu. Ia juga
48
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h. 49
-membuka kursus pidato bagi teman-teman sebayanya di suarau jembatan besi.
Kemudian hasil pidato teman-temannya dia kumpulkan dan terbitkan dalam
majalah yang diberi nama Khatibul Ummah.50
Pada bulan Februari Hamka berangkat ke Makkah. Semangat pergerakan
yang tertanam sejak tinggal di tanah jawa, tidak membuat Hamka tinggal diam di
tanah suci. Menjelang ibadah Haji berlangsung, Hamka bersama beberapa jamaah
haji lainnya mendirikan organisasi persatuan Hindia Timur yang bertujuan untuk
memberikan pelajaran agama, terutama manasik haji kepada calon jamaah haji
asal Indonesia.
Sepulangnya dari Tanah Suci, Hamka telah menjadi seorang yang
menggantikan ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah sebagai ulama yang
menjadi panutan masyarakat Minangkabau. Semangat pergerakan tetap tertanam
dalam jiwanya, karena itulah beberapa waktu setelah itu ia aktif sebagai pengurus
Muhammadiyah cabang Padang Panjang, bahkan ia diserahi untuk memimpin
sekolah yang diberi nama Tabligh School.51
Demikianlah Hamka dalam menempuh hidupnya dengan pasti.
Pengukuhan diri sebagai seorang tokoh dan pengajar islam telah ia guratkan
dengan yakin dalam jiwanya.
Setiap muktamar Muhammadiyah berlangsung Hamka selalu tampil
sebagai pembicara atau pemberi ceramah.52 Atas kepercayaan pimpinan pusat
Muhammadiyah, Hamka diutus untuk menjadi Muballiqh di Makasar. Pada tahun
50
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, ), jilid. , h. . 51
M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h. 52
, ia menghadiri muktamar Muhammadiyah semarang, dan setahun kemudian
dia diangkat menjadi anggota majlis konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah.53
Sekembalinya dari Makasar Hamka mendirikan Kullyatul Mabilghien di Padang Panjang. Kemudian pada tahun di kota Medan, Hamka bersama
M.Yunan Nasution menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat, majalah yang menurut Yunan Nasution memberikan andil besar bagi kepengarangan dan
kepujanggaan Hamka di masa depan.
Ketika Jepang mendarat di kota Medan pada tahun , segala bentuk
perkumpulan dan perserikatan dilarang. Hampir semua masyarakat kecewa
dengan keadaan ini, namun Hamka ditempatkan sebagai ”anak emas” oleh Jepang. Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, Hamka
diangkat sebagai anggota Syusang Kai, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun .54
Pada tahun , Hamka dipilih sebagai ketua Muhammadiyah melalui
konferensi yang berlangsung di Padang Panjang. Dan pada tahun , Hamka
dipercaya untuk menjadi ketua dari sekretaris FPN (Front Pertahanan Nasional),
sebuah badan yang dibentuk untuk membangkitkan semangat rakyat Sumatra
Barat dalam perjuangan bersenjata menghalau pejabat ketika terjadi agresi
Belanda yang pertama. Dan dalam waktu yang sama, Hamka menerbitkan
majalah yang diberi nama Menara.
53
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h. 54
Hamka hijrah ke Jakarta pada tanggal Desember . Jakarta ternyata
menawarkan sejuta kemungkinan buat Hamka. Beberapa lama kemudian, ia
diterima sebagai anggota koresponden surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Dimasa ini juga Hamka terjun dalam politik praktis yaitu menjadi anggota Partai Islam Masyumi.55
Pada tahun , Hamka terpilih sebagai anggota konstituante Partai
Masyumi. Lewat konstituante, Hamka gigih memperjuangkan kepentingan islam.
Hamka pernah mengusulkan untuk mendirikan negara berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Usulannya memang tidak diterima, namun ia telah menunjukan
dengan gigih upayanya untuk berjuang demi Islam.
Ketika menjadi pejabat tinggi dan Penasehat Departemen Agama, Hamka
diundang pemerintah Amerika Serikat untuk menetap selama empat bulan di
Amerika. Setelah itu, berturut-turut menjadi anggota misi kebudayaan ke
Muangthai ( ), mewakili Departemen Agama beliau menghadiri peringatan
mangkatnya Budha ke di Myanmar (ketika itu Burma, ), ia juga
diundang menghadiri Konferensi Islam di Lahore ( ), dan oleh Universitas
Al-Azhar Kairo Hamka diminta untuk memberikan ceramah tentang pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia. Ceramah tersebut menghasilkan gelar Doctor
Honoris Causa bagi Hamka.56
Ketika perkembangan polotik di Indonesia kian buruk akibat pengaruh
Partai Komunis Indonesia ( PKI ), Pancasila dan UUD hanya dijadikan
55
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Op. Cit, h. 56
semboyan belaka dan diganti dengan Nasakom (Nasional Agama Komunis).
Kemudian Partai Masyumi pun dibubarkan oleh Soekarno, namun Hamka sebagai
tokoh masyarakat dan ulama tidak luput dari hasutan, yaitu dituduh mengadakan
rapat gelap menyusun rencana membunuh Presiden Soekarno. Ia juga dituduh
melakukan plagiat karya Mustafa Lutfi al-Manfaluti. Atas tuduhan perencanaan
pembunuhan itu, Hamka dijebloskan ke dalam tahanan. Namun ketika Orde Baru
bangkit, orang-orang yang ditahan atas hasutan PKI dibebaskan termasuk
Hamka.57
Hamka kemudian memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah islam. Ia
memimpin majalah Panji Msyarakat dan menjadi imam besar masjid Al-azhar. Hamka juga sering dipercaya mewakili Pemerintah Indonesia menghadiri
pertemuan-pertemuan Islam Internasional, seperti Konferensi Negara-negara
Islam di Rabat ( ), Muktamar