• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Jarak Genetik antar Domba Garut Tipe Tangkas dengan Tipe Pedaging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi Jarak Genetik antar Domba Garut Tipe Tangkas dengan Tipe Pedaging"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Estimasi Jarak Genetik antar Domba Garut Tipe Tangkas

dengan Tipe Pedaging

S.S. Mansjoer, T. Kertanugraha & C. Sumantri

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, email: mamadlsopspk@yahoo.com (Diterima 18-04-2007; disetujui 16-07-2007)

ABSTRACT

The objectives of the present study were to estimate the genetic distance and to determine the discriminant variables among fighting and meat types sheep of Garut (Garut sheep). A total of 413 heads of Garut sheep from five sub-populations were used in this study. Data were collected from the Regional Animal Research Center (BPPTD) as follows: 102 heads of common type sheep from Margawati (M), 69 heads from meat type sheep from Wanaraja (P), 72 heads of meat type from Sukawening (D), 81 heads of fighting sheep from Wanaraja (T) and 89 heads of fighting sheep from Sukawening (A). Data obtained were analyzed by simple discriminant with SAS package program version 7.0 and MEGA2 program to get the construction of phenogram tree. The results showed that in general fighting sheep had body weights and body measurements significantly higher (P<0.05) than meat type sheep. However they were almost the same as com-mon type sheep Margawati. The length and width of ears, tail width and chest width were the most discriminant variables to determine the differences of fighting type and meat type sheep. The highest similarities between individuals inside the group were obtained from Margawati common type sheep (71.57%), followed by Wanaraja meat type sheep (69.57%), Sukawening meat type sheep (69.44%), Wanaraja fighting type sheep (69.14%) and Sukawening fighting type sheep (59.55%). The Wanaraja fighting type sheep (T) had the closest genetic distance (1.16) to the Sukawening fighting type sheep (A), while the longest genetic distance (6.17) was between the Wanaraja meat type sheep and the Margawati common type sheep. The phenogram tree showed that the Margawati common type sheep was outside Wanaraja and Sukawening fighting type and meat type sheep, but the genetic distances were closer for the Wanaraja and Sukawening fighting type sheep.

Key words: Garut sheep, genetic distance, body measurements

PENDAHULUAN

Domba Garut atau domba Priangan merupakan domba lokal Indonesia yang banyak

tersebar di Jawa Barat, terutama di Kabupaten Garut dengan populasi domba Garut mencapai 337.036 ekor (BPS Kabupaten Garut, 2004). Domba Garut memiliki tingkat kesuburan tinggi

(2)

(prolifik), memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dan dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah. Domba ini banyak dipelihara sebagai domba aduan (tipe tangkas) dan sebagai sumber pedaging (tipe pedaging). Domba Garut tipe tangkas memiliki telinga yang pendek dengan tanduk yang kekar dan besar. Domba Garut tipe pedaging banyak tersebar di Kecamatan Wanaraja dan Sukawening. Domba ini mempunyai tubuh yang kompak, telinga yang panjang, memiliki wol yang halus dengan warna dasar dominan putih, serta memiliki paha belakang yang cukup besar.

Domba Garut pedaging jantan maupun betina memiliki ciri-ciri garis muka lurus, bentuk mata nor-mal, bentuk telinga hiris dan rubak, garis punggung lurus, bentuk bulu lurus dengan warna dasar dominan putih, jantan bertanduk dan betina kebanyakan tidak bertanduk (Riwantoro, 2005). Tipe ekor sedang, panjang telinga lebih dari 9 cm dengan posisi menggantung ke tanah, serta bagian belakang (paha dan kelangkang) lebih besar (Mulliadi, 1996).

Morfologi tubuh domba Garut tipe tangkas berbeda dengan tipe domba lainnya, yaitu bergaris muka cembung, telinga rumpung atau kecil, jantan memiliki tanduk yang kokoh dan kuat, bergaris punggung cekung, pundak lebih tinggi dari bagian belakang dan panggul lebih rapat dengan dada berukuran besar, ekor bertipe sedang sampai gemuk, sedangkan betina bertanduk kecil, garis punggung lurus, bagian dada tidak tampak mengembang seperti halnya pada jantan dan ekornya bertipe sedang (Mulliadi, 1996). Ciri-ciri domba Garut tangkas menurut Budinuryanto (1991) memiliki mata besar, bersih dan bersinar tajam, pembuluh darah yang besar pada kelopak mata, raut muka kuat dan kencang, mulut lebar atau besar dengan bibir yang tebal, punggung lurus dengan posisi bagian depan lebih tinggi dibandingkan bagian belakang, bentuk tubuh panjang dan bulat, bagian dadanya besar, lebar dan kuat; dan memiliki kaki yang besar, pendek dan kuat.

Jarak genetik adalah tingkat perbedaan gen antar populasi atau spesies yang diukur oleh beberapa kuantitas numerik (Nei, 1987). Metode yang lebih murah dan sederhana dapat dilakukan dengan penentuan pola perbedaan sifat fenotipik yang dapat ditemui dalam setiap individu ternak (Hartl, 1988). Penelitian tentang pendugaan jarak genetik telah banyak dilakukan dengan pendekatan analisis molekuler (Tan, 1996; Arranz et al., 2001; Sumantri et al., 2006; Uzun et al., 2006; Pedrosa et al., 2007) dan analisis polimorfisme protein darah (Astuti, 1997; Tsunoda et al., 2007). Menurut Tan (1996), analisis pada tingkat DNA akan memberikan hasil estimasi jarak genetik yang jauh lebih akurat dibandingkan analisis lokus biokimia maupun metode lainnya. Namun, analisis molekuler membutuhkan fasilitas yang memadai dan dana yang besar (Suparyanto et al., 1999). Penggunaan ukuran-ukuran tubuh sebagai penduga terhadap jarak genetik dan peubah pembeda dari lima kelompok kambing Andalusia dengan menggunakan analisis diskriminan telah dilaporkan oleh Herera et al. (1996) dan Suparyanto et al. (1999) pada domba di Indonesia.

Masyarakat peternak di Kecamatan Wanaraja dan Sukawening banyak memelihara domba Garut tipe pedaging. Seiring dengan semakin tingginya nilai ekonomis domba Garut tipe tangkas, maka ada kecenderungan populasi domba pedaging menurun dan terjadi perkawinan antara domba Garut pedaging dengan domba Garut tangkas yang diharapkan dapat memperbaiki mutu genetik domba Garut.

(3)

informasi dasar bagi penentuan kebijakkan pengembangan domba Garut di Kabupaten Garut.

MATERI DAN METODE

Penelitian lapangan dilakukan di tiga tempat, yaitu Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Pembibitan Ternak Domba (UPTD BPPTD) Margawati Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Wanaraja dan Kecamatan Sukawening Kabupaten Garut, dari awal bulan Maret sampai dengan akhir Mei 2006. Jumlah ternak yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 413 ekor. Teknik pengambilan contoh domba Garut dilakukan secara acak, masing-masing lokasi sebanyak 102 ekor dari BPPTD Margawati (M), 81 ekor domba Garut tangkas dari Wanaraja (T), 69 ekor domba Garut pedaging dari Wanaraja (P), 89 ekor domba Garut tangkas dari Sukawening (A), 72 ekor domba Garut pedaging dari Sukawening (D). Data yang dikumpulkan meliputi: bobot badan, tinggi pundak, tinggi kelangkang, panjang badan, panjang kelangkang, lebar dada, lebar pangkal paha, dalam dada, lingkar dada, lingkar kanon (metatarsus), panjang tengkorak, lebar tengkorak, tinggi tengkorak, panjang ekor, lebar ekor, lebar telinga dan panjang telinga. Semua data di standarisasi ke umur I

1 (1,0-1,5) tahun.

Parameter tubuh yang diamati dianalisa menggunakan general linear model (GLM) dengan prosedur least square means (LSM) menurut paket program komputerSAS 6.12 (SIC, 1982), dengan model analisis diskriminan yang digunakan untuk menentukan jarak genetik (Herera et al., 1996). Fungsi diskriminan digunakan melalui pendekatan jarak Mahalanobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik minimum (Nei, 1987) adalah sebagai berikut:

( )i j

(

Xi Xj

) (

C Xi X j

)

D2 , = − −1 − Keterangan:

( )i j

D2 , = nilai statistik Mahalanobis sebagai ukuran

jarak kuadrat genetik antar kelompok domba ke-i dan kelompok domba ke-j;

1

C = kebalikan matrik gabungan ragam

peragam antar peubah;

i

X = vektor nilai rataan pengamatan dari kelompok domba ke-i pada masing-masing peubah kuantitatif; dan

j

X = vektor nilai rataan pengamatan dari kelompok domba ke-j pada masing-masing peubah kuantitatif.

Setelah perhitungan jarak kuadrat, kemudian dilakukan pengakaran terhadap hasil kuadrat jarak, agar jarak genetik yang didapat bukan dalam bentuk kuadrat. Hasil pengakaran dianalisa lebih lanjut dengan program MEGA 2 (Kumar et al., 2001) untuk mendapatkan pohon fenogram.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis parameter tubuh (Tabel 1), menunjukkan bahwa pada domba Margawati jantan mempunyai bobot badan nyata lebih tinggi (P<0,05) bila dibandingkan dengan domba pedaging Wanaraja, domba pedaging Sukawening dan domba tangkas Sukawening, tetapi hampir sama dengan domba tangkas Wanaraja. Hal ini karena ada kemungkinan efek heterosis, domba Margawati merupakan hasil silangan antara domba pedaging dengan domba tangkas Wanaraja.

(4)

22,79±2,09 cm dan lebar pangkal paha 18,76±1,87 cm. Penelitian Salamahwati (2004)

yang menyatakan domba Garut pedaging jantan umur I1 memiliki rataan ukuran tubuh seperti bobot Tabel 1. Ukuran parameter tubuh domba Garut Margawati, tangkas Wanaraja, pedaging Wanaraja,

tangkas Sukawening dan pedaging Sukawening umur I1 (1,0-1,5 tahun)

Kelompok domba

Ukuran-ukuran tubuh

Margawati Tangkas Wanaraja

Pedaging Wanaraja

Tangkas Sukawening

Pedaging Sukawening

Jantan: n = 43 n = 46 n = 26 n = 53 n = 43 Tinggi pundak (cm) 70,2±1,4 a 70,8±6,2 a 63,2±1,5 b 66,9± 6,2 ab 65,9±3,8 ab Panjang badan (cm) 67,1±1,7 a 66,6±5,9 ab 59,1±2,8 c 63,8±3,8 abc 61,2±4,9 bc Lebar dada (cm) 19,2±2,1 ab 19,9±3,7 ab 15,2±0,4 c 17,8±1,2 abc 16,8±2,0 bc Dalam dada (cm) 33,0±2,2 a 33,1±4,3 a 27,1±0,6 c 31,0±1,3 ab 29,7±1,8 bc Lingkar dada (cm) 89,6±3,3 a 87,7±6,4 a 74,1±3,7 c 81,3±4,6 b 78,4±4,2 bc Tinggi kelangkang (cm) 64,6±1,8 a 57,3±11,6 ab 52,3±3,7 b 60,4±5,3 ab 57,6±4,5 ab Panjang kelangkang (cm) 21,7±1,5 a 21,0±1,4 ab 19,0±1,1 c 20,2±1,5 abc 19,8±0,8 bc Lebar pangkal paha (cm) 21,0±1,0 a 21,7±3,4 a 17,3±1,3 b 19,6±1,0 ab 18,9±2,3 ab Lingkar kanon (cm) 9,7±0,6 a 8,7±0,5 b 7,4±0,3 c 8,1±0,6 b 8,1±0,5 b Panjang tengkorak (cm) 23,5±0,9 a 22,9±2,1 ab 19,7±0,9 d 21,5±1,0 bc 20,5±0,9 dc Tinggi tengkorak (cm) 16,3±0,9 a 16,3±1,9 a 13,3±1,0 b 15,5±0,6 a 15,1±1,5 a Lebar tengkorak (cm) 8,7±0,9 a 8,2±1,1 ab 7,5±0,7 b 8,2±0,5 ab 7,9±0,6 ab Panjang tanduk (cm) 36,5±8,9 ab 42,1±10,1 a 26,7±2,7 c 34,8±6,9 abc 30,7±6,2 bc Lingkar pangkal tanduk (cm) 24,9±0,9 a 3,7±3,7 ab 18,6±1,5 b 22,9±2,2 ab 21,5±1,8 bc Jarak antar tanduk (cm) 1,4±0,3 1,3±0,3 1,3±0,3 1,6±0,4 1,2±0,4 Panjang telinga (cm) 3,9±0,6 b 4,7±1,6 b 12,3±1,4 a 5,2±1,6 b 12,3±1,5 a Lebar telinga (cm) 2,4±0,1 b 2,2±0,5 b 5,0±0,7 a 2,2±0,6 b 4,8±1,0 a Panjang ekor (cm) 25,3±0,6 24,7± 3,3 21,7±1,0 23,0±4,5 24,8±2,6 Lebar ekor (cm) 6,2±1,1 6,6±1,4 5,0±0,7 5,9±1,3 5,6±1,3 Bobot badan (kg) 46,3±5,5 a 44,0±13,3 b 27,2±2,0 b 34,1±4,7 b 32,0±5,0 b

Betina: n = 59 n = 23 n = 55 n = 19 n = 46 Tinggi pundak (cm) 63,1±2,9 ab 64,8±4,5 a 63,2±4,8 ab 61,3±5,8 ab 58,5±3,5 b Panjang badan (cm) 58,1±4,1 ab 61,2±1,6 a 59,0±5,5 ab 59,5±7,8 ab 54,2±3,3 b Lebar dada (cm) 14,3±1,9 16,6±1,7 16,1±3,4 15,6±2,2 14,7±1,9 Dalam dada (cm) 26,8±1,9 28,9±1,2 28,1±3,2 27,6±2,1 26,5±2,8 Lingkar dada (cm) 74,5±3,5 ab 79,3±4,9 a 77,9±9,7 ab 78,2±6,4 ab 71,0±5,6 b Tinggi kelangkang (cm) 55,8±2,0 ab 57,6±6,1 a 56,6±5,6 ab 54,0±4,4 ab 52,3±3,9 b Panjang kelangkang (cm) 19,2±1,0 ab 20,3±1,2 a 19,6±1,5 ab 19,9±1,1 ab 18,8±0,8 b Lebar pangkal paha (cm) 17,3±1,6b 19,8±1,4 a 20,2±3,4 a 17,8±0,9 ab 18,0±1,7 ab Lingkar kanon (cm) 7,3±0,4 ab 7,3±0,5 ab 7,8±0,9 a 7,4±0,7 a 6,6±0,4 b Panjang tengkorak (cm) 19,2±1,2 ab 19,8±1,2 a 20,3±2,1 a 19,7±1,1 a 17,7±0,7 b Tinggi tengkorak (cm) 13,6±0,4 13,2±1,2 13,6±2,2 13,5±1,3 12,4±1,4 Lebar tengkorak (cm) 7,4±0,9 ab 7,4±0,8 ab 7,3±1,0 ab 8,1±0,9 a 6,8±0,5 b Panjang telinga (cm) 4,6±1,2 b 5,8±2,1 b 13,5±1,9 a 5,6±1,7 b 12,9±1,0 a Lebar telinga (cm) 2,0±0,4 c 2,8±0,8 b 5,6±1,0 a 2,3±0,7 cb 5,4±0,4 a Panjang ekor (cm) 21,0±3,3 21,9±2,6 21,8±2,6 21,8±3,0 19,6±2,2 Lebar ekor (cm) 3,9±1,0 b 5,7±0,8 a 4,4±1,2 b 4,6±1,3 ab 4,0±1,2 b Bobot badan (kg) 26,9±1,6 29,2± 4,6 29,5±12,2 27,2± 7,9 23,2±5,4

(5)

badan 31,44±5,22 kg, tinggi pundak 58,28 cm, panjang badan 71,28 cm, lingkar dada 60,67 cm, dalam dada 28,89 cm dan lebar dada 16,00 cm. Performa domba Garut tipe pedaging lebih rendah dari tipe tangkas karena diakibatkan domba pedaging di Garut merupakan domba sisa hasil seleksi atau domba afkir dari domba tangkas baik jantan maupun betina (Mulliadi, 1996).

Gambaran Kanonikal dari Kelompok Domba Garut

Analisis total struktur kanonik peubah ukuran tubuh domba yang diamati diperlihatkan pada Tabel 2. Hasil menunjukkan panjang telinga, lebar telinga, lebar ekor dan lebar dada memberikan pengaruh yang kuat terhadap pembeda antar kelompok domba dengan nilai total struktur kanonik yang relatif tinggi. Faktor pembeda antar kelompok domba adalah panjang telinga sebesar 0,986648 dan lebar telinga sebesar 0,962327 pada kanonik 1, serta lebar ekor sebesar 0,802558 dan lebar dada sebesar 0,530397 pada kanonik 2. Namun,

peubah panjang kelangkang, lingkar kanon, panjang tengkorak dan tinggi tengkorak kurang dapat digunakan sebagai peubah pembeda kelompok domba. Dugaan tersebut di atas didasari dari hasil analisis terhadap total struktur kanonik dengan memberikan angka negatif yang relatif tinggi yaitu panjang kelangkang (-0,424007), lingkar kanon (-0,479248) , panjang tengkorak (-0,287665), dan tinggi tengkorak (-0,217997) pada kanonik 2. Semakin rendah angka yang diperoleh dari hasil analisis total struktur kanonik, semakin tidak dapat digunakan sebagai peubah pembeda kelompok domba.

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara morfologis tampak adanya pemisah yang jelas antara domba pedaging dan tangkas (Gambar 1). Kelompok domba tangkas berkumpul pada daerah kuadran I dan IV, yaitu kelompok domba tangkas Wanaraja dan Sukawening termasuk domba Margawati menyebar pada kuadran IV. Kelompok domba pedaging berkumpul pada daerah kuadran II dan III, yaitu domba asal Wanaraja dan Sukawening.

Tabel 2. Struktur total kanonik ukuran-ukuran tubuh domba Garut

(6)

Kelompok domba pedaging Wanaraja dan Sukawening saling berhimpitan, berarti kedua kelompok domba tersebut memiliki karakteristik fenotipe yang hampir sama. Demikian pula

(7)

pedaging dengan domba tangkas Wanaraja, tetapi hasil silangan tersebut memiliki karakter morfologi domba tangkas. Hal ini sesuai dengan data yang didapat pada nilai korelasi morfologi dan jarak genetik.

Berdasarkan analisis komponen utama pada lima kelompok domba yang diamati dapat disimpulkan bahwa di Garut, masyarakat sudah secara mandiri memisahkan tipe domba Garut tangkas dan pedaging. Demikian pula domba Margawati yang dikembangkan oleh UPTD BPPTD Margawati, jelas telah mengarah pada pengembangan domba tangkas.

Hasil analisis diskriminan dapat digunakan untuk menduga adanya nilai kesamaan pada suatu kelompok dan kemungkinan besarnya proporsi nilai campuran yang mempengaruhi kesamaan suatu bangsa dengan bangsa lain yang didasarkan atas persamaan ukuran tubuh (Suparyanto et al., 1999). Persentasi nilai kesamaan dan campuran di dalam dan di antara kelompok domba Garut diperlihatkan pada Tabel 3.

Nilai kesamaan ukuran tubuh dari tinggi ke rendah berturut-turut adalah domba Margawati (71,57%), domba pedaging Wanaraja (69,57%), domba pedaging Sukawening (69,44%), domba

tangkas Wanaraja (69,14%) dan domba tangkas Sukawening (59,55%). Domba Margawati mendapat nilai campuran yang cukup rendah dari domba tangkas Wanaraja sebesar 10,78%, sedangkan tangkas Sukawening sebesar 17,65% dan tidak ada nilai campuran domba pedaging. Selebihnya ukuran tubuhnya tidak dipengaruhi oleh kelompok domba pedaging Wanaraja dan pedaging Sukawening (0,00%). Tingginya nilai kesamaan pada domba Margawati dengan domba tangkas lainnya, diduga akibat perkembangbiakan dan pemeliharaannya yang terisolasi, serta adanya seleksi yang dilakukan secara terus-menerus terhadap ukuran tubuh domba yang mengarah pada keseragaman ukuran tubuh domba tangkas. Demikian pula domba pedaging Sukawening dan Wanaraja, merupakan pengelompokan dan pemilihan ternak kearah kriteria tubuh domba pedaging.

Penentuan Jarak Genetik dan Pohon Fenogram

Hasil analisis nilai jarak genetik antara masing-masing kelompok domba dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan nilai matriks jarak genetiknya

Tabel 3. Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan di antara kelompok domba Garut

Keterangan: n = jumlah contoh domba

(8)

kelompok domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening memiliki nilai terkecil yaitu 1,16, sedangkan nilai matriks jarak genetik yang lebih besar adalah antara kelompok domba Margawati dengan domba pedaging Wanaraja (6,17) dan Sukawening (5,62). Hal ini menunjukkan bahwa domba Garut tipe tangkas dengan domba Garut tipe pedaging telah memiliki jarak genetik yang lebih jauh, dibandingkan jarak genetik domba Garut tipe tangkas dan tipe pedaging meskipun berasal dari satu daerah pemeliharaan yang sama. Hasil ini mendukung gambaran kanonikal dari kelima kelompok domba Garut (Gambar 2). Kelompok domba pedaging Wanaraja dan domba pedaging Sukawening tidak menunjukkan campuran atau pencilan yang masuk ke dalam kelompok domba tangkas Wanaraja, domba tangkas Sukawening dan domba Margawati.

Konstruksi pohon fenogram menunjukkan bahwa kelompok domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening memiliki ukuran jarak genetik yang paling dekat yaitu 0,58. Kelompok domba pedaging Wanaraja mempunyai jarak genetik yang sangat dekat dengan kelompok domba pedaging Sukawening (0,68). Persilangan antara dua kelompok domba yang memiliki ukuran jarak genetik yang relatif dekat tidak akan memberikan kemajuan ukuran kuantitatif yang signifikan, apabila tidak disertai dengan sistem seleksi yang ketat, hal ini karena sifat heterosis yang didapat hanya berasal dari keragaman dalam bangsa atau kelompok (Suparyanto et al., 1999)

Kelompok domba Margawati secara genetik agak terpisah dari kelompok domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening, meskipun berasal dari kelompok atau bangsa yang Tabel 4. Matrik jarak genetik antar kelompok domba Garut

Kelompok domba Kelompok domba Margawati

(M)

Tangkas Wanaraja

(T)

Pedaging Wanaraja

(P)

Tangkas Sukawening

(A)

Pedaging Sukawening

(D)

Margawati (M) 0 2,08 6,17 1,57 5,62

Tangkas Wanaraja (T) 0 5,24 1,16 4,95

Pedaging Wanaraja (P) 0 5,59 1,36

Tangkas Sukawening (A) 0 5,15

Pedaging Sukawening (D) 0

Gambar 2. Pohon fenogram dari kelima kelompok domba Garut

Tangkas Sukawening

Tangkas Wanaraja

Margawati

Pedaging Sukawening

Pedaging Wanaraja 0,58

0,68 0,91

0,68 0,58 0,33

2,05 1,82

0,0 0,5

1,0 1,5

(9)

sama yaitu domba Garut tangkas. Hal ini diduga berdasarkan cabang kaitan yang tersaji tidak menunjukkan cabang kaitan yang langsung. Hasil ini disebabkan domba Margawati telah mengalami seleksi yang mengarah pada domba tangkas Garut yang seragam dan mengarah pada domba Garut murni sebagai akibat terjadinya seleksi dan biak-dalam atau perkawinan antar kerabat dekat, sehingga domba Margawati membentuk suatu karakteristik tersendiri yang berbeda dengan domba tangkas yang lain.

Cabang pohon fenogram pada Gambar 2 memperjelas bahwa kelompok domba Margawati, domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening mempunyai jarak genetik lebih jauh dengan kelompok domba pedaging Wanaraja dan Sukawening. Hal ini menunjukkan kejelasan bahwa adanya perbedaan bangsa domba Garut, yaitu domba Garut tangkas dan domba Garut pedaging. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Riwantoro (2005) yang menyebutkan bahwa domba Garut pedaging tidak mempunyai kekerabatan langsung dengan domba Garut tangkas, meskipun keduanya merupakan domba asli Kabupaten Garut. Persilangan antara domba Garut tangkas dengan domba Garut pedaging dapat meningkatkan performa domba Garut pedaging yang semula bobot badannya lebih rendah dari domba tangkasm, tetapi terhadap komposisi karkas dan kualitas daging masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

KESIMPULAN

Secara umum domba Garut tipe tangkas lebih besar dari tipe pedaging. Panjang telinga, lebar telinga, lebar ekor dan lebar dada memberikan pengaruh yang kuat terhadap pembeda antar kelompok domba tangkas dan pedaging dengan nilai total struktur kanonik yang relatif tinggi. Faktor pembeda antar kelompok domba adalah panjang telinga sebesar 0,986648 dan lebar telinga sebesar 0,962327 pada kanonik 1, serta lebar ekor sebesar 0,802558 dan lebar dada sebesar 0,530397 pada

kanonik 2. Domba Garut Margawati mempunyai nilai kesamaan kelompok paling tinggi sebesar 71,57%, sedangkan domba tangkas Wanaraja, domba tangkas Sukawening, domba pedaging Wanaraja dan domba pedaging Sukawening masing-masing sebesar 69,14%; 59,55%; 69,57% dan 69,44%.

Jarak genetik antar kelompok domba Margawati, domba tangkas Sukawening dan Wanaraja lebih dekat dibandingkan dengan domba pedaging Wanaraja dan Sukawening. Domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening mempunyai jarak genetik terdekat (1,16). Berdasarkan pohon fenogram kelompok domba Margawati, domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening tidak berkerabat dekat dengan kelompok domba pedaging dari Wanaraja dan Sukawening.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi RI yang telah mendanai penelitian ini melalui Program RUT XII No. 12/Perj/Dep.III/RUT/PPKI /II/2005, serta kepada BPPTD Margawati dan para peternak di Kecamatan Wanaraja dan Kecamatan Sukawening yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anang, A. 1992. Beberapa sifat kualitatif dan kuantitatif domba Priangan jantan tipe adu. Majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran, Bandung. 10: 62-66.

Arranz, J.J., Y. Bayon & F.S. Primotivo. 2001. Differentiation among sheep breeds using microsatellites. Genet. Sel Evol. 33: 529-542.

Astuti, M. 1997. Estimasi jarak genetik antar populasi kambing Kacang, kambing Peranakan Etawah dan kambing Lokal berdasarkan polimorfisme protein darah. Buletin Peternakan 21: 1-9.

(10)

Budinuryanto, D.C. 1991. Karakteristik domba Priangan adu ditinjau dari segi eksterior dan kebiasaan peternak dalam pola pemeliharaannya. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hartl, D.L. 1988. A Primer of Population Genet-ics. Second Edition. Sinauer Associates, Inc. Publisher, Sunderland, Massachusetts.

Herera, M., E. Rodero, M.J. Gutierrez, F. Pena & J.M. Rodero. 1996. Application of multifaktorial discriminant analysis in the morphostructural differentiation of Andalusian caprine breeds. Small. Rum. Res. 22: 39-47.

Kumar, S., K.Tamura, I.B. Jacobsen & M. Nei.

2001. MEGA2: Molecular Evolutionary Ge-netics Analysis Software. Arizona State Uni-versity, Tempe, Arizona, USA.

Mulliadi, D. 1996. Sifat fenotipe domba Priangan di Kabupaten Pandeglang dan Garut. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press, New York.

Pedrosa, S., J.J. Arranz, N. Brito, A. Molina, F.S. Primitivo & Y. Bayon. 2007. Mithocondrial diversity and the origin of iberian sheep. Genet. Sel Evol. 39: 91-103.

Riwantoro. 2005. Konservasi plasma nutfah domba Garut dan strategi pengembangannya secara berkelanjutan. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ruminah, R.S.S. 2003. Karakteristik ukuran-ukuran tubuh bibit domba Priangan betina tipe tangkas. Skripsi. Fakultas Peternakan. Uni-versitas Padjadjaran, Sumedang.

Salamahwati, S. 2004. Karakteristik fenotip domba Garut tipe tangkas dan tipe pedaging di Kabupaten Garut. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

[SIC] SAS Institute Inc. 1982. SAS User’s Guide:Statistic. North Corolina:SIC.

Sumantri, C., A. Farajallah & U. Fauzi. 2006. Genetic variation among local sheep in Indo-nesia using microsatellit DNA. Proceedings of The 4th “ISTAP” Animal Production and Sustainable Agricultural in The Tropic. Fact of Anim. Sci. Gadjah Mada Univ. November 8-9. Page 25-32.

Suparyanto, A., T. Purwadaria & Subandriyo.

1999. Pendugaan jarak genetik dan faktor peubah pembeda bangsa dan kelompok domba di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4: 80-87.

Tan, S.G. 1996. Genetic relationship among live-stock population in Asia. Proc. Partnership for Sustainable Livestock Production and Human Welfare. The 8th AAAP Animal Science Con-gress. Tokyo. 590-597.

Tsunoda, K., C. Hong, S. Wei, M.A. Hasnath, M.M. Nyunt, H.B. Rajhbhandar, T. Dorji, H. Tummenasan & K. Sato. 2006. Phylo-genetic relationship populations in East Asia based on five informative blood protein and nonprotein polymorphism. Biochem Genet. 44: 287-306.

Uzun, M., B. Gutierrez-Gill, J.J. Arranz, F.S. Primitivo, M. Saatci, M. Kaya & Y. Bayon.

(11)

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap

Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo

Kabupaten Sleman Yogyakarta

S.A. Wibowo & F.T. Haryadi

Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

(Diterima 10-05-2006; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

This research was conducted to know the farmer’s attitude toward cattle credit assistance and farmer’s characteristic factors that influence the probability of the farmer’s attitude toward cattle credit assistance. The respondents in this research were all of the members of Andiniharjo cattle farmer’s group of 40 farmers as respondents which located in Pojokan sub village, Caturharjo, Sleman regency. The farmer’s characteristics factor which influence the probability of the farmer’s attitude toward cattle credit assistance was analized using binomial logistic regressions test. The model of binomial logistic regressions test had 92,5% of correct prediction. The characteristic factors which infuence the probability of the farmer‘s attitude were the age of farmers (P<0.05), the farming motivation (P<0.05) and the income from farming (P<0.05). The conclusion of this research was that most farmer’s attitude of Andiniharjo cattle farmer’s group which located in Pojokan sub village toward cattle credit assistance from PT Telkom was negative. The age of farmers, the farming motivation and the income of farming influenced the probability of the farmer’s attitude to have positive attitude toward cattle credit assistance from PT Telkom.

Keywords : attitude, credit assistance, cattle

PENDAHULUAN

Kebijaksanaan pemerintah dalam subsektor peternakan mengenai peternakan sapi potong sebagai salah satu usaha yang perlu dikembangkan adalah usaha peternakan rakyat. Peternakan sapi potong merupakan salah satu bagian penting dalam perekonomian masyarakat desa di Indonesia dan sebagian merupakan usaha ternak rakyat dengan skala usaha satu sampai empat ekor per rumah tangga

peternak. Pemeliharaan ternak oleh petani ternak di pedesaan masih merupakan usaha pelengkap bagi kegiatan usahataninya. Hal ini disebabkan karena pemeliharaannya yang masih bersifat tradisional (Buletin PPSKI, 1992).

(12)

mengambil keputusan dalam menerima atau menolak program kredit sapi potong yang diberikan oleh pihak pemerintah ataupun swasta (Azis, 1993). Sebagian petani peternak, tidak bisa mengandalkan modal pribadi untuk memenuhi kebutuhan usahataninya. Oleh karena itu mereka berusaha memperoleh dana dari berbagai sumber, baik secara informal yang hanya melibatkan pihak petani dengan pemberi pinjaman, maupun secara formal yang pelaksanaannya melibatkan instansi pertanian di tingkat kabupaten atau PPL. Umumnya, kredit formal merupakan pilihan pertama, tetapi karena terbatas, petani yang tidak memperoleh kredit formal terpaksa meminjam dari sumber informal (Tim Peneliti SMERU, 2002). Petani masih tetap membutuhkan kredit usahatani. Kredit yang disediakan harus mudah diakses oleh petani. Skim kredit yang ditawarkan, baik penyaluran maupun pengembaliannya, perlu memperhatikan kebutuhan petani dan pola usahataninya (Tim Peneliti SMERU, 2001).

Kebijakan adanya paket-paket kredit usaha tani atau crash program yang lain, terkadang dalam pelaksanaannya seperti dipaksakan ke petani, sehingga petani yang sebenarnya tidak memerlukannya, terpaksa mengambil juga karena tidak mau repot di kemudian hari. Hal ini akan menyebabkan tidak efisiennya penggunaan kredit usaha tani yang berakibat pada kredit macet (Arfian & Wijonarko, 2000). Karakter kepribadian individu mempengaruhi peternak dalam mengambil suatu risiko (Shrapnel & Davie, 2001). Peternak harus berani mengambil risiko atas segala persyaratan yang diberikan oleh pemberi kredit yaitu berupa angsuran beserta bunga yang telah ditetapkan. Peternak yang melanggar peraturan kredit akan mendapatkan konsekuensi sesuai dengan kesepakatan. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa individu yang memiliki keberanian dalam menghadapi risiko biasanya individu tersebut lebih inovatif. Kredit pertanian memiliki peranan yang sangat

signifikan dalam sejarah pelaksanaan program pembangunan pertanian di Indonesia. Selain sebagai faktor pelancar, kredit juga berfungsi sebagai simpul kritis pembangunan yang efektif, sehingga kredit pertanian tetap harus tersedia (Supadi & Sumedi, 2004).

Persepsi dari petani merupakan halangan serius dalam mengaplikasikan suatu metode atau inovasi baru. Inovasi baru tidak akan dicoba oleh petani, bila mereka belum yakin benar akan efektivitasnya, dan keuntungan ekonomisnya. Petani akan mengikuti apabila sudah melihat hasil nyata (Arfian & Wijonarko, 2000). Misalnya dengan memperkecil risiko program kredit akan menjadi faktor penting dalam adopsi teknologi (Drost et al., 1996). Apabila para peternak bersikap positif terhadap adanya program permodalan berupa kredit sapi potong, maka peternak tersebut akan cenderung menerima program kredit tersebut, sebaliknya apabila peternak bersikap negatif, maka akan cenderung menolak adanya program kredit tersebut. Menurut Walgito (2003) perilaku seseorang akan dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan.

(13)

(character), kemampuan (capacity), modal (capital), kondisi ekonomi (condition of economy) dan jaminan/agunan (collateral).

Sikap adalah kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu seandainya seseorang tersebut menghadapi suatu rangsang tertentu. Misalnya seseorang memiliki sikap positif terhadap sesuatu hal, maka orang tersebut akan cenderung menggunakannya, tetapi jika orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap sesuatu itu, maka ia akan cenderung menghindarinya. Adanya kepercayaan terhadap sesuatu hal akan menyebabkan timbulnya sikap tertentu terhadap sesuatu hal tersebut. Semakin besar kepercayaan yang diberikan, akan semakin kuat pengaruhnya untuk mengubah sikap (Sarwono, 2000). Sikap seseorang tidak selamanya tetap. Sikap dapat berkembang apabila mendapat pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar, baik bersifat positif ataupun negatif (Ahmadi, 2002).

Menurut Krech et al. (1996) struktur sikap mempunyai tiga komponen, yaitu: komponen kognitif, komponen afektif, komponen kecenderungan tindakan. Komponen kognitif disebut juga komponen kepercayaan. Komponen ini berhubungan dengan kesadaran dan pengetahuan terhadap suatu obyek tertentu. Komponen afektif merupakan unsur perasaan atau reaksi emosional seseorang tentang suatu obyek. Obyek yang dirasakan sebagai sesuatu hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Beban emosional inilah yang memberikan watak tertentu terhadap sikap yaitu watak mantap, tergerak, dan bertindak. Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai-nilai baru yang diyakini benar,

baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap obyek atau subyek, yang sejalan dengan hasil penilaiannya, sedangkan komponen kecenderungan bertindak berkenaan dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subyek (Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi Pembangunan, 2005). Rahmat (2000) menyatakan bahwa sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap. Sikap positif atau negatif terhadap program kredit sapi potong merupakan proses perilaku seseorang yang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor karakteristik orang tersebut (Soekartawi, 1988).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap peternak terhadap program kredit sapi potong dan faktor karakteristik peternak yang mempengaruhi kecenderungan sikap peternak terhadap program kredit sapi potong. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu informasi mengenai gambaran sikap peternak terhadap program kredit sapi potong dan faktor-faktor karakteristik yang mempengaruhinya serta diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi pemerintah dan pihak pemberi kredit.

MATERI DAN METODE

(14)

kelompok petani peternak tersebut sudah terorganisasi dengan baik dan sebagian peternak mendapatkan program kredit sapi potong dari PT Telkom. Materi penelitian ini adalah petani peternak sapi potong di kelompok tani ternak Andiniharjo. Responden yang diambil adalah semua petani peternak anggota kelompok tani ternak Andiniharjo yang berjumlah 40 orang.

Penelitian dilakukan dengan metode pengumpulan data menggunakan kuesioner yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diambil dengan wawancara langsung dan dengan menggunakan kuesioner kepada para peternak sapi potong. Data primer yang diambil meliputi umur, lama pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman beternak, jumlah sapi yang dimiliki, jumlah tenaga kerja, luas kepemilikan lahan, motivasi beternak dan pendapatan usaha ternak sapi potong, sedangkan data sekunder adalah data yang diambil dari Dinas Peternakan, instansi-instansi terkait, dan sumber-sumber lain yang mendukung. Data sekunder berupa jumlah populasi sapi potong di Kecamatan Sleman dan di Kabupaten Sleman.

Analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan dari usaha ternak sapi potong adalah penghitungan selisih antara pengeluaran dengan penerimaan dari usaha ternak sapi potong (Soekartawi et al., 1984). Digunakan 25 pernyataan untuk mengetahui motivasi beternak dan 15 pernyataan untuk mengetahui sikap peternak terhadap program kredit, kemudian menentukan skor alternatif jawaban pernyataan dengan metode Likert. Sesuai dengan pernyataan Rollins (1993) bahwa Metode Likert menggunakan 5 skor sebagai alternatif jawaban yang masing-masing mempunyai makna Sangat Tidak Setuju (1), Tidak Setuju (2), Ragu-ragu (3), Setuju (4) dan Sangat Setuju (5). Skor jawaban dari setiap pernyataan dijumlahkan,

dicari skor maksimum, dan skor minimum, dengan rumus sebagai berikut :

Skor Maksimum : skor jawaban tertinggi X jumlah pernyataan Skor Minimum : skor jawaban terendah X

jumlah pernyataan Keterangan :

Skor jawaban tertinggi : 5

Skor jawaban terendah : 1 (Sakdiah, 2003) Hasil dari perhitungan mencerminkan sikap setiap peternak terhadap bantuan kredit yaitu :

Negatif : yang memiliki kisaran nilai 15-44 (skor 0)

Positif : yang memiliki kisaran nilai 45-75 (skor 1)

Semakin tinggi skor yang diperoleh pada pernyataan sikap peternak, maka akan menunjukkan kecenderungan ke arah sikap yang positif dan makin rendah skor akan menunjukkan kecenderungan ke arah sikap yang negatif. Hasil uji validitas dapat diketahui bahwa pernyataan untuk mengukur motivasi beternak dan sikap peternak semuanya sahih dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,9652 dan 0,9721.

Analisis regresi binomial logistik digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap. Analisis regresi binomial logistik adalah analisis regresi yang memiliki dua nilai di dalamnya. Alasan digunakannya analisis regresi binomial logistik yaitu: 1) dalam penelitian ini hanya dibedakan dua nilai yaitu sikap positif = 1 dan sikap negatif = 0, 2) variabel terikat (dependent variable) dalam penilaian ini bersifat kualitatif (Santoso, 2001).

(15)

Selanjutnya rumus umum analisis regresi binomial logistik tersebut diterapkan dalam penelitian menjadi :

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah

Kecamatan Sleman merupakan salah satu wilayah yang potensial dalam pengembangan ternak sapi potong terutama yang dipelihara dalam perkampungan ataupun kandang kelompok. Hal ini didukung oleh keadaan tanah yang subur sehingga dapat ditanami tanaman pertanian dan hijauan pakan ternak yang melimpah sepanjang tahun. Daerah pertanian

yang subur di wilayah Kecamatan Sleman ini menjadikan hasil produksi pertanian tinggi sehingga limbah pertanian akan mampu untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak. Usaha pertanian sangat mendukung usaha peternakan sebagai penyedia pakan hijauan ternak.

Program Kredit Sapi Potong

Program kredit sapi potong di Kecamatan Sleman merupakan kerjasama PT Telkom, Dinas Peternakan Sleman dan peternak sapi potong di Dusun Pojokan, Caturharjo, Kecamatan Sleman dengan kredit yang dikelola oleh pihak Bank BPD. Adapun kredit yang diterima adalah dalam wujud sejumlah uang sebesar Rp 5.000.000,00. Uang tersebut dibelikan sapi potong betina dalam keadaan bunting minimal tiga bulan yang akan beranak pertama kali dan sudah diperiksa oleh mantri hewan, sehingga sudah ada kepastian bahwa sapi yang diterima oleh peternak tidak mandul. Pengembalian kredit dilakukan dengan membayar angsuran setiap enam bulan sekali beserta bunga sebesar 12% menurun per tahun selama empat tahun.

Karakteristik Peternak Responden

Tabel 1 berikut ini menunjukkan rata-rata persentase masing-masing karakteristik peternak responden. Hasil penelitian menunjukkan umur peternak rata-rata 44,73 tahun dengan kisaran 25 tahun sampai 65 tahun (Tabel 1). Hal ini berarti seluruh responden termasuk dalam kategori umur produktif. Sesuai dengan BPS Daerah Istimewa Yogyakarta (2002) menyatakan bahwa kategori usia produktif adalah usia antara 15 tahun sampai 65 tahun atau dapat dikategorikan usia kerja yaitu penduduk berusia 15 tahun atau lebih.

Banyaknya responden yang tidak sekolah sebanyak satu orang, SD sebanyak delapan orang, SLTP sebanyak 15 orang, SLTA sebanyak

(16)

13 orang dan Sarjana Muda sebanyak tiga orang. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lama pendidikan peternak responden rata-rata 9,6 tahun (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata menurut lama mengenyam pendidikan, sebagian besar peternak berpendidikan setingkat SLTP.

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata peternak mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 1,8 orang. Menurut Soekartawi (1988), jumlah tanggungan keluarga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak suatu teknologi baru.

Rata-rata pengalaman peternak dalam beternak sapi potong adalah 16 tahun (Tabel 1). Pengalaman terendah peternak dalam beternak sapi potong adalah enam tahun dan tertinggi adalah 28 tahun. Pengalaman peternak dalam memelihara sapi dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan peternak dalam mengembangkan usahanya. Semakin lama pengalaman beternak

sapi potong maka tingkat ketrampilan dan pengetahuan peternak dalam menerapkan teknologi akan semakin mudah dan cepat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak, tenaga kerja pada usaha ternak sapi potong dialokasikan untuk mencari rumput sebesar 50,8 HOK, membersihkan kandang sebesar 22,3 HOK, memberi pakan dan minum sebesar 15,3 HOK, memandikan ternak sapi sebesar 19,8 HOK. Diketahui rata-rata jumlah tenaga kerja dalam memelihara ternak sapi potong selama satu tahun rata-rata 108,2 HOK yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan anggota keluarganya (Tabel 1). Kepemilikan lahan sawah rata-rata seluas 790,5 m2 (Tabel 1). Kepemilikan lahan

sawah yang relatif luas ini menunjukkan bahwa pertanian di Desa Caturharjo memiliki potensi untuk berkembang dengan baik.

Besarnya modal bergerak biasanya digunakan sebagai petunjuk majunya tingkat usahatani (Hernanto, 1989). Rata-rata jumlah

Karakteristik peternak Nilai

Rata-rata umur (Tahun) 44,73

Tingkat pendidikan (orang)

Tidak Sekolah 1,00

SD 8,00

SLTP 15,00

SLTA 13,00

Sarjana muda 3,00

Rata-rata lama pendidikan (Tahun) 9,60

Rata-rata jumlah tanggungan keluarga (orang) 1,80

Rata-rata pengalaman beternak (Tahun) 16,00

Rata-rata jumlah tenaga kerja (HOK) 108,20

Rata-rata kepemilikan lahan sawah (m2) 790,50

Rata-rata kepemilikan Ternak (UT) 1,36

Motivasi beternak (%)

Tinggi 80,00

Sedang 20,00

Rendah 0,00

Rata-rata pendapatan usaha ternak sapi potong (Rp/th/UT) 1.600.060,40

(17)

kepemilikan ternak sapi potong yang dimiliki oleh peternak adalah 1,36 unit ternak (Tabel 1) dengan kisaran antara 0,8 sampai 3,05 unit ternak. Dilihat dari jumlah kepemilikan ternaknya termasuk rendah. Rendahnya jumlah kepemilikan ternak akan mengakibatkan peternak berusaha meningkatkan produktivitas dari ternak tersebut.

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa 80% peternak memiliki motivasi tinggi, 20% peternak memiliki motivasi sedang dan 0% peternak memiliki motivasi rendah dalam memelihara ternak sapi potong. Hasil dari perhitungan motivasi beternak sapi potong pada Tabel 1 mencerminkan motivasi beternak setiap peternak. Hasil pengukuran motivasi beternak sapi potong yang ada di kandang kelompok ternak sapi potong Andiniharjo tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa peternak mempunyai keinginan yang besar untuk memelihara ternak sapi potong.

Rata-rata penerimaan usaha ternak sapi potong responden adalah Rp 4.634.156,7, sedangkan rata-rata biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh peternak per tahun sebesar Rp 3.034.096,3, sehingga dapat diketahui rata-rata pendapatan usaha ternak sapi potong peternak responden yaitu sebesar Rp 1.600.060,4 (Tabel 1).

Sikap Peternak terhadap Bantuan Kredit Sapi Potong

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sikap peternak di kelompok ternak

Andiniharjo, Dusun Pojokan terhadap bantuan kredit sapi potong dari PT. Telkom adalah negatif. Hal ini ditunjukkan dengan kategori sikap yang diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak. Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase sikap peternak terhadap bantuan kredit sapi potong dari PT. Telkom adalah 47,5% peternak bersikap positif dan 52,5% peternak bersikap negatif terhadap seluruh pernyataan sikap.

Sebanyak 52,5% peternak bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa jika ada bantuan kredit sapi potong seperti ini, maka kesejahteraan keluarga peternak akan meningkat. Sebanyak 52,5% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa bantuan kredit sapi potong tersebut dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Sebanyak 75% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini akan membawa keberhasilan dengan cepat. Sebanyak 60% peternak bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa jika program bantuan kredit sapi potong ini diberikan kepada para peternak akan meningkatkan usaha peternakan mereka. Sebanyak 52,5% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa jika program bantuan kredit sapi potong ini diberikan kepada para peternak akan menguntungkan para peternak. Sebanyak 40% peternak bersikap setuju, sebanyak 40% peternak bersikap ragu-ragu dan sebanyak 20% peternak bersikap tidak setuju terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini dapat diterima oleh peternak yang miskin. Sebagian besar peternak masih

Tabel 2. Sikap mental peternak terhadap bantuan kredit dari PT. Telkom

Jumlah Sikap mental peternak

(orang) (%)

Positif 19 47,5

Negatif 21 52,5

(18)

meragukan keberhasilan dari program kredit sapi potong tersebut. Hal ini dikarenakan sebagian peternak merasa terbebani dengan persyaratan kredit yang dirasa cukup berat apabila bantuan tersebut diterima oleh peternak. Sebanyak 55% peternak bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini mudah dimengerti dan dilaksanakan. Sebanyak 50% bersikap setuju, sebanyak 50% peternak bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini tidak bertentangan dengan adat dan kepercayaan/ agama. Walaupun program bantuan kredit ini cukup mudah dimengerti dan dilaksanakan dan sebanyak 50% peternak setuju bahwa bantuan kredit dari PT Telkom ini tidak bertentangan dengan adat dan kepercayaan/agama di masyarakat, akan tetapi tetap saja belum sesuai dengan keinginan para peternak. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa sebanyak 12,5% peternak bersikap setuju, 42,5% bersikap ragu-ragu, sebanyak 40% peternak bersikap tidak setuju dan sebanyak 5% peternak bersikap sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 77,5% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa prosedur pemberian kredit sapi potong seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan berbelit-belit.

Sebagian peternak anggota kelompok ternak Andiniharjo bersikap negatif terhadap bantuan kredit dari PT Telkom karena bantuan kredit yang diberikan ini cukup memberatkan para peternak. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa sebanyak 2,5% peternak bersikap sangat setuju dan sebanyak 50% bersikap setuju terhadap pernyataan bahwa pengembalian pinjaman dan bunga kredit ini terlalu besar. Para peternak merasa terbebani dengan pengembalian bunga pinjaman yang dianggap masih relatif besar yaitu sebesar 12% per tahun dengan jangka waktu pengembalian pinjaman empat tahun

diangsur tiap enam bulan sekali. Akan tetapi, ada juga sebagian peternak yang merasa tidak terbebani dengan adanya angsuran dan bunga pinjaman yang telah ditetapkan. Sebanyak 52,5% peternak bersikap setuju terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong dari PT Telkom ini akan menambah beban biaya usaha peternakan sapi potong para peternak, karena mereka beranggapan bahwa dengan bunga pinjaman masih relatif besar dan jangka waktu pengembalian pinjaman yang lama ini akan sulit untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga mereka. Jangka waktu pengembalian pinjaman yang lama dengan angsuran setiap enam bulan sekali selama empat tahun ini akan menambah beban biaya usaha peternakan sapi potong mereka. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sebanyak 37,5% bersikap setuju, sebanyak 15% peternak bersikap ragu-ragu dan sebanyak 47,5% peternak bersikap tidak setuju terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong dari PT Telkom ini akan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengembalikan modal. Sebanyak 52,5% peternak bersikap setuju bahwa persyaratan yang diberikan untuk mendapatkan bantuan kredit sapi potong ini akan dapat memberatkan peternak.

(19)

Faktor-Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap Peternak

Hasil analisis binomial logistik dengan metode forward wald dapat diketahui bahwa kemampuan prediksi model regresi binomial logistik yang digunakan ini layak dipakai, artinya bahwa faktor karakteristik peternak yang meliputi umur, motivasi beternak dan pendapatan usaha ternak terbukti meyakinkan tingkat prediksi kebenaran terhadap kecenderungan bersikap positif atau negatif sebesar 92,5%. Hasil analisis ini dapat dibuat model persamaan regresi binomial logistik adalah seperti berikut:

Hasil analisis menunjukkan bahwa umur peternak (X1) berpengaruh secara signifikan (P<0,05) terhadap kecenderungan peternak untuk bersikap positif. Semakin bertambah usia seseorang, diharapkan semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa dalam arti semakin bijaksana dan mampu berpikir secara rasional serta dapat menilai sesuatu hal dengan lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Matatula (1997) yang mengemukakan bahwa

pada batasan umur yang produktif, seorang petani akan berpikir lebih matang dalam menjalankan usahanya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa motivasi beternak (X8) berpengaruh secara signifikan (P<0,05) terhadap kecenderungan peternak masuk dalam kategori sikap positif. Motivasi beternak yang tinggi dari peternak akan cenderung menjadi bersikap positif terhadap sesuatu hal yang berhubungan dengan inovasi dibidang peternakan dalam hal ini program kredit sapi potong dari PT Telkom. Menurut Handoko (1997) makin kuat motivasi seseorang makin kuat pula usahanya untuk mencapai tujuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan peternak dari usaha ternak sapi potong (X9) berpengaruh secara signifikan (P<0,05) terhadap kecenderungan peternak untuk bersikap positif. Semakin bertambahnya pendapatan peternak dalam memelihara ternak sapi potong, maka peternak akan cenderung bersikap positif terhadap program kredit sapi potong dari PT. Telkom. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya pendapatan dari pemeliharaan ternak sapi potong, peternak akan merasa lebih yakin dalam menentukan sikapnya terhadap program kredit sapi potong dari PT. Telkom untuk menerima atau menolak program tersebut. Sesuai dengan pendapat Kotler (1993) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang maka kemampuan untuk menentukan pilihan akan lebih besar.

Keterangan : *= signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.

Variabel bebas B Exp(B) Sig.

X1 (Umur) 0,1669212* 1,182 0,020

X8 (Motivasi beternak) 0,8834772* 2,419 0,036

X9 (Pendapatan) 0,0000024* 1,000 0,045

Constant -108,598 0,000 0,030

Correct prediction (%) 92,5

Tabel 3. Faktor-faktor karakteristik yang mempengaruhi sikap mental peternak dengan metode forward

(20)

KESIMPULAN

Sebagian besar sikap peternak di kelompok ternak Andiniharjo, Dusun Pojokan terhadap program kredit sapi potong dari PT. Telkom adalah negatif. Kecenderungan peternak untuk bersikap positif atau negatif terhadap kredit sapi potong dipengaruhi oleh umur peternak, motivasi beternak dan pendapatan peternak dari usaha ternak sapi potong. Lama pendidikan, pengalaman beternak, luas kepemilikan lahan, jumlah tenaga kerja, jumlah sapi yang dimiliki oleh peternak dan jumlah tanggungan keluarga tidak mempengaruhi kecenderungan peternak untuk bersikap positif atau negatif terhadap kredit sapi potong.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 2002. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. P. 170.

Arfian, M. & A. Wijonarko. 2000. Kondisi dan tantangan ke depan sub sektor tanaman pangan di Indonesia. Proceedings of The Fourth Symposium on Agri-Bioche 2000. Hal. 247-251.

Azis, M. A. 1993. Agroindustri Sapi Potong. Cetakan V BPFE, Yogyakarta.

BPS Daerah Istimewa Yogyakarta. 2002. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.

Buletin PPSKI. 1992. Strategi pengembangan industri peternakan sapi potong skala kecil dan menengah. Buletin PPSKI Vol.VIII No.39 pp 7-9.

Drost, D., G. Long, D. Wilson, B. Miller & W. Campbell. 1996. Barriers to adopting sustainable agricultural practices. J. of Extension. Vol. 34 Number 6. Departments of Plants, Soils and Biometeorology (PS&B) and Agricultural Systems Technology and Education (ASTE), Utah State University Logan, Utah.

Handoko, T. 1987. Manajemen Pemasaran: Analisis Perilaku Konsumen. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. Penerbit Swadaya, Jakarta.

Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi Pembangunan. 2005. Pembelajaran yang Menumbuhkan Sikap Wirausahawan. Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran. Edisi ke-7. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Krech, D., R.S. Crutchfield & E.L. Ballachey.

1996. Sikap Sosial. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta. pp 7-10.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Matatula, M. J. 1997. Evaluasi pengembangan sapi potong gaduhan Yayasan Mitra Mandiri di Daerah Transmigrasi Wayapo Kabupaten Maluku Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mubyarto. 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES, Jakarta.

Rahmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Rollins, T.J. 1993. Profile of farm technology adopters. J. of Extension 31 (3): 38-39. Department of Agricultural and Extension Education, Penn State University-University Park, Pennsylvania.

Sakdiah, A. 2003. Hubungan berbagai motif usaha beternak ayam kampung secara kelompok dengan pendapatan : studi kasus kelompok peternak di Desa Trimurti Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Santoso, S. 2001. SPSS Statistik Parametrik. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Sarwono. 2000. Teori-teori Psikologi Sosial. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Shrapnel, M. & J. Davie. 2001. The influence of personality in determining farmer responsive-ness to risk. The Journal of Agricultural Education and Extension 7 (3):167-178.

Gambar

Tabel 1. Ukuran parameter tubuh domba Garut Margawati, tangkas Wanaraja, pedaging Wanaraja,tangkas Sukawening dan pedaging Sukawening umur I1 (1,0-1,5 tahun)
Tabel 2.  Struktur total kanonik ukuran-ukuran tubuh domba Garut
Gambar 1.  Gambaran kanonikal dari kelompok domba Margawati (M), domba tangkas Wanaraja(T), domba tangkas Sukawening (A), domba pedaging Wanaraja (D) dan dombapedaging Sukawening (P)
Tabel 3.   Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan di antara kelompok domba Garut
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada ekosistem padang lamun di Taman Nasional Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, ditemukan sedikitnya 27 spesies juvenile ikan dari

‘They’re looking for us, then,’ Father Kreiner said, peering at the immobile Type 102, poking her as if to see what a walking TARDIS felt like, ‘the Doctor’s friends.’..

Hal tersebut dapat terlihat dari berbagai kondisi yang terjadi di Bank Bjb cabang Tamansari Bandung, antara lain masih banyak kuantitas pekerjaannya belum sesuai dengan target

Faktor dukungan pada penilaian harga diri yang merupakan aspek dalam variabel dukungan so- sial memliki pengaruh signifikan terhadap faktor kelambanan dan kesenjangan waktu

MajIis Majlis Mesyuarat Kerajaan dibahagikan kepada dua, Majlis Negeri.. yang mempunyai kuasa perundangan dan Jemaah Menteri yang mempunyai kuasa pe1aksanaan. MB Majlis

Kondisi faktor lingkungan sosial seperti tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan kuantil indeks kepemilikan merupakan determinan variabel yang dapat dimodifikasi

Skenario pencapaian sasaran pembangunan sanitasi Kabupaten Mahakam Ulu untuk mencapai target universal access 2019 jangka menengah dalam rencana peningkatan akses pada setiap

Dari definisi judul di atas, dapat disimpulkan bahwa Perancangan Hotel Resort di Pantai Lenggoksono Kabupaten Malang ini merupakan sebuah resort yang berfungsi sebagai