• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Indikator Kekeringan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Indikator Kekeringan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

FERSELY GETSEMANI FELIGGI. Identifikasi Indikator Kekeringan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh. Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan M. ROKHIS KHOMARUDIN.

Kekeringan berdampak negatif terhadap sektor petanian, lingkungan hidup, sosial, ekonomi

dan politik. Oleh karena itu, perlu adanya pemantauan pada wilayah-wilayah yang rentan terjadi

kekeringan sebagai upaya dalam mengurangi resiko terjadinya kekeringan. Potensi terjadinya

kekeringan dapat diidentifikasi dari nilai Evaporative Fraction (EF), Bowen Ratio (ß) dan Crop

Water Stress Index (CWSI). Nilai EF, ß dan CWSI merupakan fungsi dari radiasi netto, fluks

bahang terasa, fluks bahang tanah dan fluks bahang penguapan (turunan dari neraca energi).

Penelitian ini mengidentifikasi potensi terjadinya atau tidak terjadinya kekeringan

berdasarkan indikator berbasis proses fisik (EF, ß dan CWSI) dengan menggunakan teknik

penginderaan jauh. Tinggi rendahnya nilai komponen-komponen neraca energi dipengaruhi oleh

tinggi rendahnya suhu udara, suhu permukaan, albedo permukaan dan Normalized Difference

Vegetation Index (NDVI). Daerah kajian pada penelitian ini adalah dua tipe dominasi penutupan

lahan, yaitu daerah pemukiman dan daerah bervegetasi. Daerah pemukiman memiliki nilai EF

yang rendah serta nilai ß dan CWSI yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan daerah pemukiman

(2)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bencana alam merupakan fenomena yang dapat mengancam kelangsungan hidup makhluk hidup. Dampak negatif dari bencana alam berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas makhluk hidup. Salah satu bencana alam yang frekuensi kejadiannya tinggi (hampir setiap tahun) adalah kekeringan.

Kemungkinan yang potensial terjadi akibat bencana kekeringan di antaranya, kebakaran hutan, kesulitan mendapatkan air bersih, gagal panen bahkan rawan pangan. Kekeringan dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya pada sektor pertanian dan lingkungan hidup tetapi juga berdampak negatif pada sektor sosial-ekonomi bahkan dapat mengganggu stabilitas politik. Kekeringan merupakan masalah serius bagi setiap negara termasuk Indonesia.

Beberapa wilayah di Indonesia seperti pantai utara Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi Tenggara sangat rentan terjadi kekeringan. Oleh karena itu, perlu penanganan khusus untuk mengantisipasi terjadinya kekeringan serta meminimalisir kerugian akibat kekeringan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah mitigasi serta adaptasi terhadap bencana kekeringan. Pemantauan (monitoring) merupakan salah satu upaya dalam melakukan mitigasi. Pemantauan dilakukan terutama pada wilayah-wilayah yang rentan terjadi bencana kekeringan. Kegiatan ini memerlukan informasi menyeluruh tentang prediksi dan penyebab terjadinya bencana kekeringan.

Penelitian ini mengkaji serta menganalisis indikator-indikator kekeringan yang merupakan bagian dalam pelaksanaan mitigasi bencana kekeringan. Konsep neraca energi merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi indikator kekeringan berdasarkan proses secara fisis (Voght et. al.). Deskripsi indikator kekeringan pada suatu wilayah merupakan representasi dari nilai Evaporative Fraction (EF), Bowen Ratio (ß) dan dan Crop Water Stress Index (CWSI) pada wilayah tersebut. Nilai EF, ß dan CWSI merupakan fungsi dari radiasi netto, fluks bahang terasa, fluks bahang tanah dan fluks bahang penguapan. Dengan kata lain, Nilai EF, ß dan CWSI merupakan turunan dari komponen neraca energi.

Salah satu cara untuk mengetahui informasi indikator kekeringan secara spasial adalah teknik penginderaan jauh berbasis sistem informasi geografi. Dengan menggunakan teknik penginderaan jauh pemantauan dapat dilakukan pada luasan area yang relatif lebih besar.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai Evaporative Fraction (EF), Bowen Ratio (ß) dan Crop Water Stress Index (CWSI) serta mengidentifikasi potensi terjadinya atau tidak terjadinya kekeringan di daerah pemukiman dan vegetasi berdasarkan nilai EF, ß dan CWSI.

1.3. Hasil yang diharapkan

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang meteorologi terapan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dalam pelaksanaan mitigasi terhadap bencana kekeringan serta dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk mengurangi resiko kekeringan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Neraca Energi

Radiasi netto merupakan selisih antara gelombang pendek dan gelombang panjang yang datang ke permukaan bumi dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang keluar (hilang) dari permukaan bumi (Handoko, 1995) (Gambar 1). Secara umum neraca energi ditulis sebagai berikut:

Rn = Rs in + Rl in - Rs out - Rlout (1)

Keterangan :

Rn : radiasi netto (W m-2)

Rs in : radiasi gelombang pendek yang datang (+) (W m-2)

Rl in : radiasi gelombang panjang yang datang (+) (W m-2)

Rs out : radiasi gelombang pendek yang keluar (-) (W m-2)

(3)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bencana alam merupakan fenomena yang dapat mengancam kelangsungan hidup makhluk hidup. Dampak negatif dari bencana alam berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas makhluk hidup. Salah satu bencana alam yang frekuensi kejadiannya tinggi (hampir setiap tahun) adalah kekeringan.

Kemungkinan yang potensial terjadi akibat bencana kekeringan di antaranya, kebakaran hutan, kesulitan mendapatkan air bersih, gagal panen bahkan rawan pangan. Kekeringan dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya pada sektor pertanian dan lingkungan hidup tetapi juga berdampak negatif pada sektor sosial-ekonomi bahkan dapat mengganggu stabilitas politik. Kekeringan merupakan masalah serius bagi setiap negara termasuk Indonesia.

Beberapa wilayah di Indonesia seperti pantai utara Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi Tenggara sangat rentan terjadi kekeringan. Oleh karena itu, perlu penanganan khusus untuk mengantisipasi terjadinya kekeringan serta meminimalisir kerugian akibat kekeringan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah mitigasi serta adaptasi terhadap bencana kekeringan. Pemantauan (monitoring) merupakan salah satu upaya dalam melakukan mitigasi. Pemantauan dilakukan terutama pada wilayah-wilayah yang rentan terjadi bencana kekeringan. Kegiatan ini memerlukan informasi menyeluruh tentang prediksi dan penyebab terjadinya bencana kekeringan.

Penelitian ini mengkaji serta menganalisis indikator-indikator kekeringan yang merupakan bagian dalam pelaksanaan mitigasi bencana kekeringan. Konsep neraca energi merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi indikator kekeringan berdasarkan proses secara fisis (Voght et. al.). Deskripsi indikator kekeringan pada suatu wilayah merupakan representasi dari nilai Evaporative Fraction (EF), Bowen Ratio (ß) dan dan Crop Water Stress Index (CWSI) pada wilayah tersebut. Nilai EF, ß dan CWSI merupakan fungsi dari radiasi netto, fluks bahang terasa, fluks bahang tanah dan fluks bahang penguapan. Dengan kata lain, Nilai EF, ß dan CWSI merupakan turunan dari komponen neraca energi.

Salah satu cara untuk mengetahui informasi indikator kekeringan secara spasial adalah teknik penginderaan jauh berbasis sistem informasi geografi. Dengan menggunakan teknik penginderaan jauh pemantauan dapat dilakukan pada luasan area yang relatif lebih besar.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai Evaporative Fraction (EF), Bowen Ratio (ß) dan Crop Water Stress Index (CWSI) serta mengidentifikasi potensi terjadinya atau tidak terjadinya kekeringan di daerah pemukiman dan vegetasi berdasarkan nilai EF, ß dan CWSI.

1.3. Hasil yang diharapkan

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang meteorologi terapan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dalam pelaksanaan mitigasi terhadap bencana kekeringan serta dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk mengurangi resiko kekeringan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Neraca Energi

Radiasi netto merupakan selisih antara gelombang pendek dan gelombang panjang yang datang ke permukaan bumi dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang keluar (hilang) dari permukaan bumi (Handoko, 1995) (Gambar 1). Secara umum neraca energi ditulis sebagai berikut:

Rn = Rs in + Rl in - Rs out - Rlout (1)

Keterangan :

Rn : radiasi netto (W m-2)

Rs in : radiasi gelombang pendek yang datang (+) (W m-2)

Rl in : radiasi gelombang panjang yang datang (+) (W m-2)

Rs out : radiasi gelombang pendek yang keluar (-) (W m-2)

(4)

Gambar 1. Ilustrasi neraca energi pada suatu permukaan.

Hukum Pergeseran Wien menjelaskan bahwa panjang gelombang suatu benda pada pancaran maksimumnya berbanding terbalik dengan suhu mutlak permukaan tersebut.

Ts

maks

2987

=

λ

(2)

Keterangan :

?maks : panjang gelombang pada pancaran

maksimum (µm)

Ts : suhu mutlak permukaan (K)

Berdasarkan Hukum Pergeseran Wien, radiasi matahari pada pancaran maksimum mempunyai panjang gelombang yang jauh lebih pendek dibandingkan dengan radiasi bumi atau benda langit lainnya. Suhu mutlak permukaan matahari yang relatif tinggi (6000 K) daripada suhu mutlak permukaan bumi (300 K) menyebabkan panjang gelombang radiasi matahari lebih pendek daripada radiasi bumi . Jadi, radiasi gelombang pendek pada persamaan (1) merupakan radiasi matahari dan radiasi gelombang panjang pada persamaan (1) merupakan radiasi bumi.

Radiasi surya yang datang sebagian akan dipantulkan oleh permukaan (refleksi), sebagian lagi akan diserap (absorbsi) dan sisanya akan diteruskan (emisi). Rasio antara radiasi gelombang pendek (radiasi surya) yang dipantulkan permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang datang disebut albedo permukaan tersebut.

a = Rs out / Rs in (3)

Keterangan : a : albedo

Rs out : radiasi gelombang pendek yang keluar (dipantulkan) (Wm-2) Rs in : radiasi gelombang pendek yang

datang (W m-2)

Pada radiasi gelombang panjang, sulit dibedakan antara radiasi yang dipantulkan oleh permukaan dengan radiasi yang

dipancarkan oleh permukaan tersebut. Hal ini dikarenakan permukaan juga memancarkan radiasi gelombang panjang. Hukum Stefan-Boltzman menyatakan bahwa setiap benda yang suhu permukaannya lebih dari 0 K (-273

o

C) memancarkan radiasi yang besarnya berbanding lurus dengan pangkat empat suhu permukaannya (Handoko, 1995). Jadi radiasi bumi (radiasi gelombang panjang yang keluar) ditulis sebagai berikut :

Rl out = es . s . Ts4 (4)

Keterangan :

Rl out : radiasi gelombang panjang yang keluar (W m-2)

es : emisivitas permukaan

s : tetapan Stefan-Boltzman (5,67 . 10-8 W m-2 K-4)

Ts : suhu permukaan (K)

Dari persamaan (3) dan (4) maka neraca energi (persamaan (1)) dapat ditulis sebagai berikut (Laymon & Quattrochi, 2000) :

Rn = (1- a) Rs + Rl – e.σ.Ts4 (5)

Radiasi netto bernilai negatif pada malam hari. Hal ini dikarenakan radiasi surya pada malam hari bernilai nol (Handoko, 1995). Jumlah radiasi netto yang diterima oleh suatu permukaan digunakan untuk memanaskan udara (H), memanaskan tanah atau lautan (G), penguapan atau evapotranspirasi (?E) dan sisanya digunakan untuk fotosintesis (P) serta proses metabolisme mahluk hidup. Energi yang digunakan untuk fotosintesis (P) serta proses metabolisme mahluk hidup lainnya sangat kecil (sekitar 5 %) sehingga besarnya energi untuk fotosintesis dapat diabaikan (Handoko, 1995; Khomarudin, 2005).

Rn = H ± G ± ?E ±∆P (6)

Keterangan :

Rn : Radiasi Netto (W m-2)

H : Fluks Bahang Terasa (Sensible Heat Flux) (W m-2)

G : Fluks Bahang Tanah (Soil Heat Flux) (W m-2)

?E : Fluks Bahang Penguapan (Latent Heat Flux) (W m-2)

P : fotosintesis (W m-2) (diabaikan) Rl in

Rl outt Rs in

Rs out

(5)

2.1. Indikator Kekeringan

Voght et. al. (1998) mengklasifikasikan indikator kekeringan menjadi tiga, yaitu : • Indikator meteorologis;

Kekeringan diidentifikasi berdasarkan nilai Standardised Precipitation Index (SPI). Nilai SPI merupakan perhitungan statistik defisit dan surplus presipitasi bulanan pada jangka panjang (lebih dari 30 tahun). Selain dapat mengindikasikan terjadinya kekeringan pada suatu wilayah, perhitungan SPI juga dapat digunakan untuk memonitor indeks kebasahan pada suatu wilayah.

• Indikator berbasis satelit;

Identifikasi indikator kekeringan dilakukan berdasarkan parameter-parameter permukaan yang merupakan turunan dari data satelit. Beberapa parameter yang sering digunakan yaitu indeks vegetasi seperti, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Global Environmental Monitoring Index (GEMI), Vegetation Condition Index (VCI) dan Temperature Condition Index (TCI).

Indeks vegetasi merupakan indikator kekeringan yang efisien jika digunakan pada wilayah kajian yang permukaannya relatif homogen. Identifikasi indikator kekeringan berdasarkan indeks vegetasi berasumsi bahwa kondisi vegetasi pada suatu wilayah berhubungan erat dengan ketersediaan air di wilayah tersebut. Jika suatu wilayah kondisi vegetasinya baik maka wilayah tersebut cenderung memiliki ketersediaan air yang cukup baik juga. Sebaliknya, jika kondisi vegetasi pada suatu wilayah, buruk, maka ketersediaan air pada wilayah tersebut juga buruk.

• Indikator berbasis proses fisik;

Identifikasi indikator kekeringan berdasarkan proses secara fisik merupakan analisis dan kajian terhadap transfer massa dan energi antara permukaan dan atmosfer. Secara umum analisis ini merupakan analisis komponen-komponen neraca energi.

Nilai Evaporative Fraction (EF), Bowen Ratio (ß) dan dan Crop Water Stress Index (CWSI) merupakan turunan dari komponen-komponen neraca energi. Tinggi rendahnya nilai EF, ß dan CWSI pada suatu wilayah ditentukan oleh tinggi rendahnya radiasi netto, fluks bahang terasa, fluks bahang tanah dan fluks

bahang penguapan di wilayah tersebut. Nilai EF, ß dan CWSI pada suatu wilayah dapat mengindikasikan wilayah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan (no water stress) (Gambar 2a ) atau dapat juga mengidentifikasi wilayah-wilayah yang berpotensi terjadi kekeringan (water stress) (Gambar 2b).

Gambar 2a. Ilustrasi tidak terjadi potensi kekeringan (no water stress).

Gambar 2b. Ilustrasi terjadinya potensi kekeringan (water stress).

Jika suatu wilayah memiliki kelengasan tanah yang tinggi (basah) maka albedo dan suhu permukaan di wilayah tersebut relatif rendah. Albedo permukaan yang rendah akan mengakibatkan tingginya radiasi netto karena radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi rendah. Sementara itu, suhu permukaan yang rendah akan mengakibatkan kecilnya perbedaan antara suhu permukaan dengan suhu udara sehingga transfer energi untuk pemanasan tanah dan udara relatif kecil. Radiasi netto yang tinggi serta fluks bahang

Ts rendah Kelengasan tinggi (basah)

Rn tinggi

a rendah dT rendah

H dan G rendah

?E tinggi

EF tinggi ß rendah CWSI rendah

Ts tinggi Kelengasan rendah (kering)

Rn rendah

a tinggi dT tinggi

H dan G tinggi

?E rendah

(6)

tanah dan fluks bahang terasa yang rendah akan mengakibatkan fluks bahang penguapan yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan nilai Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index yang rendah serta nilai Evaporative Fraction yang tinggi yang mengindikasikan wilayah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan.

Sebaliknya, kelengasan tanah yang rendah (kering) pada suatu wilayah akan mengakibatkan albedo dan suhu permukaan pada wilayah tersebut relatif tinggi. Albedo yang tinggi akan menyebabkan rendahnya radiasi netto. Sementara itu, suhu permukaan yang rendah akan mengakibatkan perbedaan yang besar antara suhu permukaan dengan suhu udara sehingga fluks bahang tanah dan fluks bahang terasa relatif tinggi. Akibatnya, fluks bahang penguapan pada wilayah itu akan rendah. Kondisi ini mengindikasikan wilayah tersebut berpotensi terjadi kekeringan yang direpresentasikan oleh nilai Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index yang tinggi serta nilai Evaporative Fraction yang rendah.

2.3. Teknik Penginderaan Jauh 2.3.1. Definisi

Pengideraan jauh atau remote sensing didefinisikan sebagai teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak bersinggungan langsung dengan obyek atau fenomena yang dikaji (American Society of Photogrammetry, 1983). Penginderaan jauh juga dapat dikatakan gabungan antara seni dan ilmu.

Menurut Barus (2000), ciri utama penginderaan jauh adalah kemampuannya menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah yang relatif besar. Data penginderaan jauh biasanya dalam bentuk suatu gambar (image) yang menggambarkan suatu obyek atau fenomena, contohnya : foto udara, citra satelit.

2.3.2. Pengukuran Berbasis Data Satelit Estimasi dan pengukuran berbasis data satelit dapat diartikan sebagai pengukuran energi yang dipantulkan dan atau diemisikan oleh material permukaan seperti vegetasi, batuan dan air pada kisaran panjang gelombang tertentu dalam spektrum eletromagnetik (Stefanov & Netzband, 2004). Satelit menerima spektrum elektromagnetik ini dalam beberapa kanal sesuai dengan karakteristik satelit tersebut. Setiap satelit mempunyai jumlah kanal dan kisaran panjang

gelombang yang berbeda-beda. Secara umum, kisaran panjang gelombang pada satelit adalah gelombang cahaya tampak (visible light), gelombang inframerah dekat (near infrared), gelombang pendek inframerah (shortwave infrared) dan gelombang mikro.

Indeks vegetasi seperti Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan salah satu parameter awal yang dapat ditentukan dari data satelit. Pigmen pada daun, klorofil, menyerap gelombang cahaya tampak (0,4 sampai 0,7 µ m) untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Sementara itu, struktur sel daun memantulkan gelombang inframerah dekat (0,7 sampai 1,1 µ m). Oleh karena itu, estimasi NDVI berbasis data satelit merupakan penghitungan kanal cahaya tampak dan inframerah dekat. Nilai NDVI menggambarkan tingkat kehijauan biomassa dan merupakan indikator yang baik untuk menentukan status (kesehatan, kerapatan) vegetasi pada suatu wilayah namun tidak berhubungan langsung dengan ketersediaan air tanah di wilayah tersebut (Hung, 2000).

Selain indeks vegetasi, suhu permukaan juga dapat ditentukan dari data satelit. Suhu permukaan adalah suhu bagian terluar dari obyek di permukaan, misalnya, suhu permukaan vegetasi adalah suhu kanopi. Di daerah tropis, suhu permukaan sebagian besar merupakan indikator fluks bahang penguapan (Hung, 2000).

Satelit Terra MODIS menerima energi yang dipantulkan dan atau diemisikan oleh material permukaan dalam 36 kanal (bands).. Setiap kanal mempunyai kisaran panjang gelombang dan kegunaan utama yang spesifik (Lampiran 1). Pada satelit MODIS, kanal yang digunakan untuk menentukan nilai NDVI adalah kanal 1 dan 2.

III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan bulan September 2006 di Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional – Pekayon, Jakarta dan di Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan

(7)

tanah dan fluks bahang terasa yang rendah akan mengakibatkan fluks bahang penguapan yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan nilai Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index yang rendah serta nilai Evaporative Fraction yang tinggi yang mengindikasikan wilayah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan.

Sebaliknya, kelengasan tanah yang rendah (kering) pada suatu wilayah akan mengakibatkan albedo dan suhu permukaan pada wilayah tersebut relatif tinggi. Albedo yang tinggi akan menyebabkan rendahnya radiasi netto. Sementara itu, suhu permukaan yang rendah akan mengakibatkan perbedaan yang besar antara suhu permukaan dengan suhu udara sehingga fluks bahang tanah dan fluks bahang terasa relatif tinggi. Akibatnya, fluks bahang penguapan pada wilayah itu akan rendah. Kondisi ini mengindikasikan wilayah tersebut berpotensi terjadi kekeringan yang direpresentasikan oleh nilai Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index yang tinggi serta nilai Evaporative Fraction yang rendah.

2.3. Teknik Penginderaan Jauh 2.3.1. Definisi

Pengideraan jauh atau remote sensing didefinisikan sebagai teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak bersinggungan langsung dengan obyek atau fenomena yang dikaji (American Society of Photogrammetry, 1983). Penginderaan jauh juga dapat dikatakan gabungan antara seni dan ilmu.

Menurut Barus (2000), ciri utama penginderaan jauh adalah kemampuannya menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah yang relatif besar. Data penginderaan jauh biasanya dalam bentuk suatu gambar (image) yang menggambarkan suatu obyek atau fenomena, contohnya : foto udara, citra satelit.

2.3.2. Pengukuran Berbasis Data Satelit Estimasi dan pengukuran berbasis data satelit dapat diartikan sebagai pengukuran energi yang dipantulkan dan atau diemisikan oleh material permukaan seperti vegetasi, batuan dan air pada kisaran panjang gelombang tertentu dalam spektrum eletromagnetik (Stefanov & Netzband, 2004). Satelit menerima spektrum elektromagnetik ini dalam beberapa kanal sesuai dengan karakteristik satelit tersebut. Setiap satelit mempunyai jumlah kanal dan kisaran panjang

gelombang yang berbeda-beda. Secara umum, kisaran panjang gelombang pada satelit adalah gelombang cahaya tampak (visible light), gelombang inframerah dekat (near infrared), gelombang pendek inframerah (shortwave infrared) dan gelombang mikro.

Indeks vegetasi seperti Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan salah satu parameter awal yang dapat ditentukan dari data satelit. Pigmen pada daun, klorofil, menyerap gelombang cahaya tampak (0,4 sampai 0,7 µ m) untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Sementara itu, struktur sel daun memantulkan gelombang inframerah dekat (0,7 sampai 1,1 µ m). Oleh karena itu, estimasi NDVI berbasis data satelit merupakan penghitungan kanal cahaya tampak dan inframerah dekat. Nilai NDVI menggambarkan tingkat kehijauan biomassa dan merupakan indikator yang baik untuk menentukan status (kesehatan, kerapatan) vegetasi pada suatu wilayah namun tidak berhubungan langsung dengan ketersediaan air tanah di wilayah tersebut (Hung, 2000).

Selain indeks vegetasi, suhu permukaan juga dapat ditentukan dari data satelit. Suhu permukaan adalah suhu bagian terluar dari obyek di permukaan, misalnya, suhu permukaan vegetasi adalah suhu kanopi. Di daerah tropis, suhu permukaan sebagian besar merupakan indikator fluks bahang penguapan (Hung, 2000).

Satelit Terra MODIS menerima energi yang dipantulkan dan atau diemisikan oleh material permukaan dalam 36 kanal (bands).. Setiap kanal mempunyai kisaran panjang gelombang dan kegunaan utama yang spesifik (Lampiran 1). Pada satelit MODIS, kanal yang digunakan untuk menentukan nilai NDVI adalah kanal 1 dan 2.

III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan bulan September 2006 di Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional – Pekayon, Jakarta dan di Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan

(8)

• Citra satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) kanal 1 sampai kanal 7 Propinsi Jawa timur (bulan Juni 2004)

(sumber : NASA, USA)

• Data DEM SRTM (Digital Elevation Model – Shuttle Radar Topographic Mission) Propinsi Jawa Timur.

(sumber : USGS, USA)

• Peta administrasi Propinsi Jawa Timur (sumber : Bakosurtanal)

• Data pengukuran albedo (daerah Surabaya dan sekitarnya, bulan Juni 2004)

(Su mber : LAPAN, Jakarta)

• Data suhu udara harian (stasiun cuaca Karangploso, bulan Juni 2004)

(sumber : BMG, Jakarta)

3.2.2. Alat

Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini :

Personal ComputerMicrosoft (word, excel) • ESRIArcView 3.3 • ERMapper 6.4 • Surfer 8 • Minitab 14

3.3. Metode

3.3.1.Import Data Citra

Langkah awal ialah mengimport data citra dan menampilkannya. Citra yang ditampilkan telah terkoreksi secara radiometrik sehingga hanya perlu dilakukan koreksi geometrik. Metode yang digunakan dalam melakukan koreksi geometrik adalah penentuan titik kontrol permukaan (Ground Control Point atau disingkat GCP). Koreksi geometrik dilakukan untuk menyamakan koordinat pada citra dengan koordinat bumi.

3.3.1.Menentukan Nilai Normalized Difference Vegetation Index

NDVI adalah indeks kehijauan yang besarnya berkisar antara -1 sampai +1. Jika nilai NDVI semakin besar (mendekati 1) maka wilayah tersebut semakin hijau dan semakin rapat tertutup vegetasi (atau kanopi). Sebaliknya, nilai NDVI pada suatu wilayah yang jarang atau tidak terdapat vegetasi akan mendekati -1. Nilai NDVI merupakan perbedaan reflektansi dari kanal infamerah dekat dan kanal cahaya tampak (merah).

NDVI = (NIR - VIS) / (NIR + VIS) (7)

Keterangan :

NIR : reflektansi kanal inframerah dekat (kanal 2)

VIS : reflektansi kanal cahaya tampak (merah) (kanal 1)

3.3.3. Estimasi Emisivitas

Laymon dan Quattrochi (2000) mengekspresikan nilai emisivitas sebagai fungsi dari NDVI.

e = 0,022 NDVI + 0,928 (8)

3.3.4. Download Suhu Permukaan Suhu permukaan di-download dari ftp.eodps01u.ecs.nasa.gov berupa citra (image) dengan resolusi spasialnya 1 Km.

3.3.5. Pendugaan Albedo

Berdasarkan persamaan (3) albedo merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun sensor satelit merekam pantulan ini pada panjang gelombang yang berbeda-beda. Oleh karena itu, albedo diduga dari persamaan regresi berganda reflektansi kanal 1 sampai 7. Pada sensor satelit MODIS, kanal 1 sampai 7 digunakan untuk mengkaji dan menganalisis permukaan tanah.

a = a + b1R1 +b2R2 + b3R3 + b4R4 + b5R5 + b6R6 + b7R7

(9) Keterangan :

R1-7 : reflektansi kanal 1 - kanal 7

3.3.6.Pendugaan Radiasi Surya

Radiasi ekstraterrestrial adalah radiasi surya yang sampai di puncak atmosfer. Radiasi ekstraterrestrial dapat dihitung dari konstanta matahari dan sudut deklinasi matahari dengan memperhitungkan letak lintang dan tanggal dalam setahun (Julian day). Radiasi ekstraterrestrial diekspresikan sebagai berikut (Allen et. al., 1998) :

+ = 24(60) (ω sin(ϕ)sin(δ)

π Gscdr s

Ra )) sin( ) cos( )

cos(ϕ δ ωs (10)

Keterangan :

Ra : radiasi ekstraterrestrial (MJ m-2 hari-1) Gsc : konstanta matahari

= 0,0820 MJ m-2 mnt-1

dr : inverse jarak bumi matahari (rad)

(9)

f : lintang (rad)

d : sudut deklinasi matahari (rad) rad = (p / 180) derajat desimal

Nilai dr dan d merupakan fungsi dari Julian

day, yaitu nomor hari dalam setahun (contoh : 1 Februari = 32, 12 Desember = 365/366). Nila i dr dan d diekspresikan sebagai berikut :

      + = J dr 365 2 cos 33 , 0

1 π (11)

     

= 1,39

365 2 sin 409 ,

0 π J

δ (12)

Keterangan : J : Julian day

Nilai ?s dihitung menggunakan persamaan

berikut :

?s = arccos (- tan (f ) tan (d)) (13)

Radiasi surya diekspresikan sebagai fungsi dari ketinggian dan radiasi ekstraterrestrial (Allen et. al., 1998) :

Rs = (0,75 + 2.10-5 z) Ra (14)

Keterangan :

Rs : radiasi surya (MJ m-2 hari-1) z : ketinggian (m)

Ra : radiasi ekstraterrestrial

Nilai radiasi surya diasumsikan sebagai fungsi sinusoidal sehingga radiasi maksimum (A) terjadi pada pukul 12.00 waktu lokal (sin 90o) dan radiasi minimum terjadi pada pukul 06.00 dan 18.00 waktu lokal (sin 0o) (Lampiran 2).

3.3.7.Estimasi Radiasi Netto

Dalam Narasimhan dan Srinivasan (2002), Swinbank (1963) mengekspresikan radiasi gelombang panjang yang datang sebagai:

Rl in = ea.σ. Ta4 .0,7 (1 + 0,17 N2) (15)

Keterangan :

Rl in: radiasi gelombang panjang yang datang (W m-2)

ea : emisivitas udara ( 0,938 x 10 -5 Ta 2 )

Ta : suhu udara (K) N : faktor keawanan (%)

Substitusi persamaan (4) dan (15)

Rn = (1- a) Rs in + 0,7 (ea.σ.Ta4) – e.σ.Ts4

(16) Asumsi :

- Langit cerah (N= 0)

3.3.8.Estimasi Fluks Bahang Terasa Fluks bahang terasa (sensible heat flux) dipengaruhi oleh suhu udara, suhu permukaan, dan tahanan aerodinamiknya (Khomarudin, 2005). Allen et. al. (1998) dan Narasimhan dan Srinivasan (2002) mengekspresikan fluks bahang terasa sebagai berikut :

) ( . 273 900

2 Ts Ta

U Ta

H

+

=γ λ (17)

Keterangan :

H : Fluks bahang terasa (MJ m-2 hari-1) Ts : Suhu permukaan (°C)

Ta : Suhu udara (°C)

U2 : Kecepatan angin pada ketinggian 2 m

= 2 m s-1

? : Tetapan psikrometrik (kPa °C -1) = 0,665 x 10 -3 P

P : Tekanan atmosfer (k Pa) = 101,3 (293-0,0065z)/293) 5,26 Z : Ketinggian tempat (altitude) (m)

λ

: panas laten penguapan (MJ kg-1)

3.3.9.Estimasi Fluks Bahang Tanah Chemin (2003) dan Allen et. al. (2001) mengekspresikan fluks bahang tanah (soil heat flux) sebagai fungsi dari radiasi netto, suhu permukaan, albedo dan NDVI, diekspresikan sebagai berikut :

(

0.0038 0.0074 2

)(

1 0.98NDVI4

)

T Rn G s − + = α α α (18)

3.3.10. Estimasi Fluks Bahang Penguapan Penghitungan bahang penguapan dan evapotranspirasi menggunakan persamaan (6)

3.3.11. Estimasi Evaporative Fraction Nilai EF berkisar antara 0 - 1. Jika nilai EF semakin besar (mendekati 1) maka radiasi netto yang digunakan untuk evapotranspirasi akan semakin besar juga sehingga wilayah tersebut akan semakin basah. Sebaliknya, semakin kecil nilai EF (mendekati 0) berarti wilayah tersebut semakin kering. EF diekspresikan sebagai berikut :

(10)

3.3.12. Estimasi Bowen Ratio (ß)

Nilai ß berbanding terbalik dengan ?E sehingga jika ß semakin besar maka ?E semakin kecil sehingga sebagian besar radiasi netto akan digunakan untuk memanaskan udara (H) dan tanah (G) akibatnya daerah tersebut semakin kering. Sebaliknya, jika nilai ß semakin kecil maka daerah tersebut semakin basah (kebalikan dari EF). ß diekspresikan sebagai berikut :

ß = H / ?E (20)

3.3.13. Estimasi Crop Water Stress Index (CWSI)

Nilai CWSI merupakan kebalikan dari EF juga berkisar antara 0 – 1.Nilai CWSI ditulis sebagai berikut :

CWSI = 1 - ?E / (Rn – G) = 1- EF (21)

Gambar 3. Diagram alir penelitian.

Citra satelit MODIS

Koreksi geometrik Koreksi radiometrik

Ts

NDVI

a

Rn

G H

DEM

?E

EF, ß, CWSI

Identifikasi indikator kekeringan pada daerah pemukiman dan vegetasi

e

observasi

Pendugaan

Ta

Peta administrasi Jawa Timur

Rs

P

(11)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo

Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun satelit menangkap pantulan gelombang ini pada beberapa kanal sesuai dengan karakteristik satelit.

Pada sensor satelit MODIS, ada tujuh kanal yang menangkap reflektansi gelombang elektromagnetik untuk kajian dan analisis permukaan tanah, yaitu kanal 1 sampai kanal 7. Nilai albedo diduga dari korelasi antara reflektansi gelombang elektromagnetik pada kanal 1 sampai 7 dan hasil pengukuran lapang. Analisis yang digunakan dalam pendugaan albedo ini adalah analisis regresi berganda.

Pengukuran lapang dilakukan pada tiga tempat dengan tipe penutupan lahan yang berbeda-beda. Ketiga tempat itu adalah daerah perkotaan, daerah bervegetasi dan tambak (Tabel 1). Pengukuran dilakukan sekitar pukul 10.00 WIB menggunakan alat albedometer.

Nilai reflektansi kanal 1 sampai 7 diperoleh dengan mengekstrak nilai piksel pada citra. Pengekstrakan dilakukan pada koordinat yang sama dengan koordinat hasil pengukuran lapang pada s etiap tanggal.

Tabel 1. Hasil pengukuran albedo.

Tanggal (Juni 2004) Tempat pengukuran Nilai albedo

perkotaan 0,31

15 vegetasi 0,29

tambak 0,25

perkotaan 0,31

16 vegetasi 0,15

tambak 0,07

perkotaan 0,25

18 vegetasi 0,19

tambak 0,12

perkotaan 0,22

19 vegetasi 0,25

tambak 0,14

perkotaan 0,25

20 vegetasi 0,23

tambak 0,17

perkotaan 0,31

25 vegetasi 0,24

tambak 0,22

perkotaan 0,26

29 vegetasi 0,24

tambak 0,15

perkotaan 0,27

30 vegetasi 0,19

tambak 0,18

Sumber : LAPAN

Nilai albedo dihitung menggunakan persamaan regresi berganda. Analisis regresi berganda dilakukan menggunakan Minitab 14. Persamaan regresi yang diperoleh adalah :

Albedo = 0,0312 – 5,9 R1 + 1,02 R2 + 0,0425 R3 + 4,08 R4 – 2,56 R5 + 2,2 R6 +

2,51 R7 (23)

Model pendugaan albedo (persamaan 23) merupakan signifikansi pengaruh reflektansi kanal cahaya tampak satelit MODIS dengan nilai albedo. Nilai R2 persamaan regresi tersebut adalah 0,77 yang berarti reflektansi kanal 1 sampai kanal 7 (R1 sampai R7) pada satelit MODIS berpengaruh nyata terhadap nilai albedo permukaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai albedo berdasarkan model tersebut mendekati keadaan sebenarnya.

Persamaan regresi ini adalah formula untuk memperoleh nilai albedo dari citra satelit MODIS dengan inputnya adalah reflektansi kanal 1 sampai kanal 7. Nilai albedo merupakan input dalam estimasi radiasi netto dan fluks bahang tanah.

4.1.2. Pendugaan Radiasi Surya

Nilai radiasi surya ditentukan oleh nilai radiasi ekstraterrestrial dan ketinggian tempat. Estimasi nilai radiasi ekstraterrestrial dihitung berdasarkan persamaan (11), (12), (13), (14) dengan menggunakan Microsoft Excel.

Nilai radiasi ekstraterrestrial dihitung pada setiap 0,5 derajat bujur dan lintang antara 109o sampai 115o BT dan 6o sampai 9o LS. Hasil penghitungan nilai radiasi ekstraterrestrial ini kemudian dirata-ratakan. Penghitungan nilai radiasi ekstraterrestrial rata-rata dilakukan pada setiap tanggal sehingga didapat persamaan untuk memperoleh nilai radiasi surya rata-rata pada setiap tanggal (Tabel 2). Persamaan pada Tabel 2 merupakan formula untuk menghitung nilai radiasi surya rata-rata menggunakan ERMapper 6.4 dengan DEM (z = ketinggian) sebagai inputnya.

Tabel 2. Persamaan nilai radiasi surya rata-rata Tanggal

(Juni 2004) Persamaan (formula) 15 16 18 19 20 25 29 30

Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,236

Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,22

Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,196

Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,188

Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,183

Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,202

Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,267

(12)

Estimasi radiasi surya pada pukul 10.00 WIB dilakukan menggunakan ERMapper 6.4 dengan inputnya adalah nilai radiasi surya rata-rata. Dengan mengasumsikan radiasi surya sebagai fungsi sinusoidal dan kondisi langit yang cerah saat pengambilan citra maka formula yang digunakan untuk menghitung nilai radiasi surya pada pukul 10.00 WIB adalah :

Rs 10 = 1.36 Rs rataan

(24)

Keterangan : sin 60o = 0,866

Nilai radiasi surya pada pukul 10.00 ini merupakan input dalam estimasi radiasi netto.

4.1.3. Pendugaan Suhu Udara

Pengukuran suhu udara pada stasiun cuaca Karangploso dilakukan tiga kali dalam satu hari, yaitu pukul 00.00 GMT, 06.00 GMT dan 12.00 GMT. Selisih waktu antara Waktu Indonesia Barat dan Greenwich Mean Time adalah +7 jam. Jadi, pengukuran suhu udara di stasiun cuaca Karangploso dilakukan pada pukul 07.00 WIB, 13.00 WIB dan 19.00 WIB. Pengambilan citra dilakukan pada pukul 10.00 WIB. Oleh karena itu, untuk mendekati keadaan yang sebenarnya perlu diketahui nilai suhu udara pada pukul 10.00 WIB.

Profil suhu udara harian dari pukul 07.00 sampai pukul 19.00 WIB dapat diketahui dari ketiga hasil pengukuran tersebut (Lampiran 3). Dari profil suhu tersebut diperoleh persamaan untuk menghitung suhu udara pada pukul 10.00 WIB (Tabel 3).

Tabel 3. Persamaan profil suhu udara harian di stasiun cuaca Karangploso, Jawa Timur.

Tanggal

(Juni 2004) Persamaan (formula) 15 16 18 19 20 25 29 30

Y = -0,1361 x2 + 3,8222 x + 0,1139

Y = -0,125 x2 + 3,4333 x + 3,2917 Y = -0,1472 x2 + 4,2444 x - 2,2972 Y = -0,1708 x2 + 4,9667 x - 8,8958

Y = -0,0472 x2 + 1,3611 x + 13,586 Y = -0,1194 x2 + 3,4889 x - 0,7694

Y = -0,1194 x2 + 3,4222 x + 1,4972 Y = -0,1292 x2 + 3,6667 x + 0,8375

Berdasarkan persamaan pada Tabel 3, jika x = jam maka dapat diperoleh nilai suhu udara (Y) pada pukul 10.00 WIB (x = 10) (Tabel 4).

Tabel 4. Suhu udara (oC) pada pukul 10.00 WIB di stasiun

cuaca Karangploso, Jawa Timur.

Tanggal

(Juni 2004) Suhu udara (

o

C) pada pukul 10.00 WIB

15 16 18 19 20 25 29 30 24,7 25,1 25,4 23,7 22,5 22,2 23,8 22,9

Untuk mengetahui sebaran nilai suhu udara di Propinsi Jawa Timur maka diasumsikan suhu udara berkurang 0,65 oC setiap ketinggian bertambah 1 Km. Hal ini dilakukan karena keterbatasan data yang ada (hanya satu stasiun). Oleh karena itu suhu udara di stasiun cuaca Karangploso yang memiliki ketinggian 575 m dpl (di atas permukaan laut) dijadikan acuan untuk menghitung suhu udara di permukaan laut (0 m dpl) (Tabel 5).

Tabel 5. Suhu udara (oC) di permukaan laut (0 m dpl)

pada pukul 10.00 WIB. Tanggal

(Juni 2004)

Suhu udara (oC) di permukaan laut pada pukul 10.00 WIB 15 16 18 19 20 25 29 30 28,5 28,9 29,2 27,4 26,2 25,9 27,5 26,6

Persamaan regresi antara suhu udara di stasiun cuaca Karangploso dan suhu udara di permukaan laut merupakan formula untuk memperoleh sebaran nilai suhu udara (Y) berdasarkan ketinggian (x) (Tabel 6, Lampiran 4). Suhu udara digunakan dalam penghitungan radiasi netto dan fluks bahang terasa.

Tabel 6. Persamaan sebaran nilai suhu udara (oC) berdasarkan ketinggian (m).

Tanggal

(Juni 2004) Persamaan (formula)

15 16 18 19 20 25 29 30

(13)

4.1.4. Penentuan Nilai NDVI

Nilai NDVI merupakan hubungan antara reflektansi gelombang inframerah dekat dengan reflektansi gelombang cahaya tampak (merah) (persamaan (7)). Pada sensor satelit MODIS, reflektansi gelombang inframerah dekat ditangkap oleh kanal 2 dan reflektansi gelombang cahaya tampak (merah) oleh kanal 1. Nilai NDVI di daerah pemukiman lebih kecil daripada nilai NDVI di daerah bervegetasi. NDVI merupakan input dalam penghitungan radiasi netto dan fluks bahang tanah.

4.2. Estimasi Komponen Neraca Energi 4.2.1. Estimasi Radiasi Netto

Radiasi netto dihitung menggunakan persamaan (16) sebagai formula dalam pengolahan citra MODIS menggunakan ERMapper 6.4. Oleh karena itu, input yang diperlukan adalah albedo, suhu udara, radiasi surya, suhu permukaan dan emisivitas permukaan. Nilai emisivitas permukaan didapat dari nilai NDVI (persamaan (8)).

Pada penelitian ini, nilai radiasi netto berkisar antara 17 sampai 32 M J m-2 hari -1. Pada tanggal 25 Juni 2004, nilai radiasi netto di Propinsi Jawa Timur bagian utara relatif rendah. Hal ini menunjukan bahwa radiasi netto di daerah pemukiman relatif rendah karena sebagian besar wilayah di utara Jawa Timur merupakan daerah pemukiman. Sementara itu, nilai radiasi netto di daerah pegunungan relatif tinggi sehingga radiasi netto di daerah bervegetasi lebih tinggi daripada radiasi netto di daerah pemukiman (Gambar 4). Sebaran nilai radiasi netto dilampirkan pada Lampiran 5.

Gambar 4. Sebaran nilai radiasi netto (MJ m-2 hari–1) di

Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004.

Untuk mengetahui sebaran nilai radiasi netto di daerah vegetasi dan pemukiman maka diambil sepuluh titik (pixel) sebagai sampel. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap

tanggal dengan letak geografis yang sama dengan mengasumsikan setiap pixel (picture element) merupakan dominasi penutupan lahan (pemukiman atau vegetasi). (Tabel 7). Penelitian ini menggunakan delapan citra satelit MODIS sehingga jumlah sampelnya adalah 80.

Tabel 7. Letak geografis sampel sebaran nilai komponen neraca energi di daerah pemukiman dan vegetasi.

Pemukiman Vegetasi

Bujur (o BT)

Lintang (o LS)

Bujur (o BT)

Lintang (o LS)

112.6 7.43 111.78 7.45

112.9 7.72 111.8 7.8

112.76 7.32 111.95 7.44

112.48 7.27 114.17 8.2

112.02 7.8 114.29 8.07

111.61 7.5 113.62 8.02

112.21 7.42 112.84 8.13

113.85 7.95 113.1 8.08

113.8 8.14 112.64 7.84

114.13 7.76 111.88 7.06

Daerah yang memiliki kelengasan rendah (kering) seperti daerah pemukiman memiliki nilai albedo permu kaan yang tinggi. Hal ini menyebabkan radiasi netto pada daerah pemukiman rendah (Gambar 5). Sebaliknya, nilai radiasi netto tinggi pada daerah yang memiliki kelengasan tinggi (basah) seperti daerah bervegetasi. Dengan kata lain, radiasi netto berbanding terbalik dengan nilai albedo permukaan. 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00

10 15 20 25 30

tanggal (Juni 2004)

Rn (MJ m

-2 hari -1)

Rn pemukiman Rn vegetasi

Gambar 5. Rata-rata nilai radiasi netto (MJ m-2 hari–1) di

daerah vegetasi dan pemukiman.

4.2.2. Estimasi Fluks Bahang Terasa Input yang diperlukan untuk menghitung fluks bahang terasa adalah suhu udara dan suhu permukaan. Kecepatan angin pada ketinggian 2 m diasumsikan konstan (2 m s-1). Formula yang digunakan dalam penghitungan fluks bahang terasa adalah persamaan (17).

(14)

juga. Hal in i dikarenakan semakin besar perbedaan atau selisih antara suhu permukaan dan suhu udara yang mengakibatkan semakin besar transfer energi dari permukaan ke udara. Sebaliknya, semakin rendah suhu permukaan akan mengakibatkan semakin kecil perbedaan suhu antara suhu permukaan dan suhu udara sehingga nilai fluks bahang terasa akan semakin rendah juga.

Pada tanggal 25 Juni 2004, daerah pemukiman memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi daripada daerah bervegetasi. Akibatnya, nilai fluks bahang terasa pada daerah pemukiman lebih tinggi dibandingkan dengan daerah bervegetasi (Gambar 6).

Gambar 6. Sebaran nilai fluks bahang terasa (MJ m-2 hari–

1) di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004.

Pada penelitian ini, perbedaan suhu antara suhu permukaan dengan suhu udara relatif kecil karena waktu pengambilan citra yang relatif pagi (pukul 10.00 WIB). Akibatnya, suhu permukaan tidak pada keadaan maksimum atau relatif rendah sehingga nilai fluks bahang terasanya juga relatif rendah. Di beberapa tempat (sebagian besar di daerah bervegetasi) fluks bahang terasa bernilai negatif (Gambar 7). Fluks bahang terasa yang bernilai negatif disebabkan oleh suhu udara yang lebih tinggi daripada suhu permukaan di daerah tersebut. Kisaran nilai fluks bahang terasa pada penelitian ini adalah –5 sampai 10 MJ m-2 hari-1 (Lampiran 6).

-4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00

10 15 20 25 30

tanggal (Juni 2004)

H (MJ m

-2 hari -1)

H pemukiman

H vegetasi

Gambar 7. Rata-rata nilai fluks bahang terasa (MJ m-2

hari–1) di daerah vegetasi dan pemukiman.

4.2.3. Fluks Bahang Tanah

Persamaan (18) merupakan formula untuk menghitung fluks bahang tanah dengan albedo, suhu permukaan, radiasi netto dan NDVI sebagai inputnya. Lampiran 7 mendeskripsikan sebaran nilai fluks bahang tanah yang berkisar antara 0,5 sampai 5,5 MJ m-2 hari-1.

Sama halnya dengan fluks bahang terasa, semakin rendahnya suhu permukaan akan mengakibatkan semakin kecilnya perbedaan antara suhu permukaan dan suhu udara. Hal ini mengakibatkan transfer energi dari permukaan tanah ke tanah bagian dalam akan semakin kecil juga sehingga fluks bahang tanah akan semakin rendah. Begitupun sebaliknya, semakin tinggi suhu permukaan akan mengakibatkan semakin tinggi pula nilai fluks bahang tanah.

Pada penelitian ini, daerah yang memiliki suhu permukaan yang relatif tinggi yaitu daerah pemukiman daripada daerah bervegetasi. Sehingga, daerah pemukiman memiliki nilai fluks bahang tanah yang lebih besar daripada daerah bervegetasi ( Gambar 8).

1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00

10 15 20 25 30

tanggal (Juni 2004)

G (MJ m

-2 hari -1)

G pemukiman G vegetasi

Gambar 8. Rata-rata nilai fluks bahang tanah (MJ m-2

hari–1) di daerah vegetasi dan pemukiman.

(15)

Gambar 9. Sebaran nilai fluks bahang tanah (MJ m-2 hari– 1

) di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. 4.2.4. Estimasi Fluks Bahang Penguapan

Input yang diperlukan untuk menghitung fluks bahang penguapan adalah radiasi nettto, fluks bahang terasa dan fluks bahang tanah. Formula yang digunakan adalah persamaan (6). Nilai fluks bahang penguapan pada penelitian ini relatif besar karena nilai fluks bahang terasanya relatif kecil. Pada tanggal 19 Juni 2004, rata-rata nilai fluks bahang terasa yang negatif mengakibatkan nilai fluks bahang penguapan cukup tinggi. Nilai fluks bahang penguapan pada daerah pemukiman lebih rendah daripada daerah bervegetasi (Gambar 10). 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 26.00 28.00

10 15 20 25 30

tanggal (Juni 2004)

LE (MJ m

-2 hari -1)

LE pemukiman

LE vegetasi

Gambar 10. Rata-rata nilai fluks bahang penguapan (MJ m-2 hari–1) di daerah vegetasi dan pemukiman.

Pada daerah pemukiman, radiasi netto lebih banyak digunakan untuk memanaskan tanah dan memanaskan udara daripada untuk menguapkan uap air. Hal ini menunjukan bahwa daerah pemukiman memiliki kelengasan tanah yang rendah dan uap air yang relatif lebih sedikit daripada daerah bervegetasi (Gambar 11). Kisaran nilai fluks bahang penguapan pada penelitian ini adalah 5 sampai 35 MJ m-2 hari-1 (Lampiran 8).

Gambar 11. Sebaran nilai fluks bahang penguapan (MJ m -2

hari–1) di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004.

4.3. Estimasi Indikator Kekeringan 4.3.1. Estimasi Evaporative Fraction

Evaporative Fraction merupakan fraksi atau bagian energi yang digunakan untuk

menguapkan air. Formula yang digunakan untuk menghitung EF adalah persamaan (19) dengan inputnya adalah radiasi netto, fluks bahang tanah dan fluks bahang penguapan. Nilai EF berbanding lurus dengan nilai fluks bahang penguapan sehingga jika nilai EF semakin tinggi maka sebagian besar radiasi netto akan digunakan untuk menguapkan air daripada memanaskan udara dan tanah.

Nilai fluks bahang penguapan di daerah bervegetasi lebih tinggi daripada di daerah pemukiman. Akibatnya, nilai EF di daerah bervegetasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai EF di daerah pemukiman (Gambar 13). Daerah dengan nilai EF yang rendah, seperti daerah pemukiman, mengindikasikan daerah tersebut berpotensi terjadi kekeringan (Gambar 12). Begitupun sebaliknya, daerah dengan nilai EF yang tinggi (daerah bervegetasi) mengindikasikan daerah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan. Sebaran nilai Evaporative Fraction dilampirkan pada Lampiran 9.

Gambar 12. Sebaran nilai Evaporative Fraction di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004.

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20

10 15 20 25 30

tanggal (Juni 2004)

EF

EF pemukiman EF vegetasi

Gambar 13. Rata-rata nilai Evaporative Fraction di daerah vegetasi dan pemukiman.

4.3.2. Estimasi Bowen Ratio

(16)

bahang penguapan semakin tinggi maka nilai Bowen Ratio akan semakin rendah. Sebaliknya, jika nilai fluks bahang penguapan semakin rendah maka nilai Bowen Ratio akan semakin tinggi.

Nilai Bowen Ratio sebanding dengan nilai fluks bahang terasa. Daerah yang memiliki nilai fluks bahang terasa negatif menyebabkan nilai Bowen Ratio di daerah tersebut juga negatif (sebagian besar daerah bervegetasi). Sebaran nilai Bowen Ratio berkisar antara – 0,2 sampai 1,3 (Lampiran 10). Nilai Bowen Ratio di daerah pemukiman lebih tinggi daripada di daerah bervegetasi (Gambar 15). Daerah yang memiliki nilai Bowen Ratio yang tinggi (daerah pemukiman) mengindikasikan daerah tersebut berpotensi terjadi kekeringan (Gambar 14).

Gambar 14. Sebaran nilai Bowen Ratio di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004.

-0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

10 15 20 25 30

tanggal (Juni 2004)

B

B pemukiman

B vegetasi

Gambar 15. Rata-Rata nilai Bowen Ratio di daerah vegetasi dan pemukiman.

4.3.3. Estimasi Crop Water Stress Index Nilai Crop Water Stress Index merupakan kebalikan dari nilai Evaporative Fraction (persamaan 21). Jadi, jika semakin besar nilai Crop Water Stress Index maka potensi terjadinya kekeringan akan semakin besar juga. Sebaliknya, semakin kecil nilai Crop Water Stress Index maka potensi terjadinya kekeringan akan semakin kecil (Gambar 16). Lampiran 11 mendeskripsikan sebaran nilai Crop Water Stress Index.

Gambar 16. Sebaran nilai Crop Water Stress Index di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004.

Pada penelitian ini, nilai Crop Water Stress Index pada daerah pemukiman lebih besar daripada daerah bervegetasi (Gambar 17). Jadi, daerah pemukiman lebih berpotensi terjadi kekeringan daripada daerah bervegetasi. -0.20 -0.10 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50

10 15 20 25 30

tanggal (Juni 2004)

CWSI

CWSI pemukiman

CWSI vegetasi

Gambar 17. Rata-rata nilai Crop Water Stress Index di daerah vegetasi dan pemukiman.

V. KESIMPULAN

Konsep neraca energi merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi potensi tidak terjadinya atau terjadinya kekeringan. Indikator-indikator kekeringan seperti Evaporative Fraction, Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index adalah indikator berbasis proses fisik yang merupakan turunan dari neraca energi.

Faktor-faktor yang menentukan tinggi rendahnya komponen-komponen neraca energi adalah albedo permukaan, suhu udara, suhu permukaan dan indeks vegetasi (NDVI). Daerah pemukiman memiliki albedo permukaan yang lebih tinggi daripada daerah bervegetasi. Hal ini menyebabkan radiasi netto pada daerah pemukiman lebih rendah daripada daerah bervegetasi.

(17)

bahang penguapan semakin tinggi maka nilai Bowen Ratio akan semakin rendah. Sebaliknya, jika nilai fluks bahang penguapan semakin rendah maka nilai Bowen Ratio akan semakin tinggi.

Nilai Bowen Ratio sebanding dengan nilai fluks bahang terasa. Daerah yang memiliki nilai fluks bahang terasa negatif menyebabkan nilai Bowen Ratio di daerah tersebut juga negatif (sebagian besar daerah bervegetasi). Sebaran nilai Bowen Ratio berkisar antara – 0,2 sampai 1,3 (Lampiran 10). Nilai Bowen Ratio di daerah pemukiman lebih tinggi daripada di daerah bervegetasi (Gambar 15). Daerah yang memiliki nilai Bowen Ratio yang tinggi (daerah pemukiman) mengindikasikan daerah tersebut berpotensi terjadi kekeringan (Gambar 14).

Gambar 14. Sebaran nilai Bowen Ratio di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004.

-0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

10 15 20 25 30

tanggal (Juni 2004)

B

B pemukiman

B vegetasi

Gambar 15. Rata-Rata nilai Bowen Ratio di daerah vegetasi dan pemukiman.

4.3.3. Estimasi Crop Water Stress Index Nilai Crop Water Stress Index merupakan kebalikan dari nilai Evaporative Fraction (persamaan 21). Jadi, jika semakin besar nilai Crop Water Stress Index maka potensi terjadinya kekeringan akan semakin besar juga. Sebaliknya, semakin kecil nilai Crop Water Stress Index maka potensi terjadinya kekeringan akan semakin kecil (Gambar 16). Lampiran 11 mendeskripsikan sebaran nilai Crop Water Stress Index.

Gambar 16. Sebaran nilai Crop Water Stress Index di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004.

Pada penelitian ini, nilai Crop Water Stress Index pada daerah pemukiman lebih besar daripada daerah bervegetasi (Gambar 17). Jadi, daerah pemukiman lebih berpotensi terjadi kekeringan daripada daerah bervegetasi. -0.20 -0.10 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50

10 15 20 25 30

tanggal (Juni 2004)

CWSI

CWSI pemukiman

CWSI vegetasi

Gambar 17. Rata-rata nilai Crop Water Stress Index di daerah vegetasi dan pemukiman.

V. KESIMPULAN

Konsep neraca energi merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi potensi tidak terjadinya atau terjadinya kekeringan. Indikator-indikator kekeringan seperti Evaporative Fraction, Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index adalah indikator berbasis proses fisik yang merupakan turunan dari neraca energi.

Faktor-faktor yang menentukan tinggi rendahnya komponen-komponen neraca energi adalah albedo permukaan, suhu udara, suhu permukaan dan indeks vegetasi (NDVI). Daerah pemukiman memiliki albedo permukaan yang lebih tinggi daripada daerah bervegetasi. Hal ini menyebabkan radiasi netto pada daerah pemukiman lebih rendah daripada daerah bervegetasi.

(18)

fluks bahang penguapannya rendah. Dengan kata lain, radiasi netto pada daerah tersebut lebih banyak digunakan untuk memanaskan tanah dan udara daripada untuk menguapkan air (evapotranspirasi). Akibatnya, daerah tersebut memiliki nilai Evaporative Fraction yang rendah serta nilai Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan daerah pemukiman lebih berpotensi terjadi kekeringan daripada daerah bervegetasi.

DAFTAR PUSTAKA

Allen et. al. 1998. Crop Evapotranspiration - Guidelines for Computing Crop Water Requirements - FAO Irrigation and Drainage Paper 56. Rome.

Allen, et al. 2001. Evapotranspiration from Landsat (SEBAL) for Water Right Management and Compliance with Multi-State water Compacts. University of Idaho.

American Society of Photogrammetry. 1983. Manual of Remote Sensing. Editor : R.N. Colwell. Washington DC.

Barus, B. Wiradisastra, U.S. 2000. Sistem Informasi Geografi Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB: Bogor.

Chemin, Y.H. 2003. Fusion Of Spatiotemporal Remotely Sensed Evapotranspiration By Data Assimilation For Irrigation Performance. Asian Institute of Technology School of Advanced Technologies. Bangkok.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hidayati, R. Risdiyanto, I. 1999. Pengantar Iklim Mikro. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA. IPB: Bogor. Hung, T. 2000. MODIS Applications in

Monitoring Surface Parameters. Institute of Industrial Science. University of Tokyo.

Khomarudin, M.R. 2005. Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh [tesis ]. Bogor:

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Khomarudin, M.R. Risdiyanto, I. 2006. Determination of Evaporative Fraction as Drouht Indicator Using Aster Data. Paper disampaikan pada International Workshop on: Client-Oriented Agrometerological services to Support Agriculture Development. 9 – 10 Maret 2006. Jakarta.

Laymon, C.A; Quattrochi, D.A. 2000. Estimating Spatially Distributed Surface Fluxes in A Semi-arid Great Basin Desert Using Landsat TM Thermal Data. Editor: Quattrochi, D.A; Luvall, J.C. Thermal Remote Sensing in Land Surface Processes. CRC Press. Narasimhan, B and Srinivasan, R. 2002.

Determination of Regional Scale Evapotranspiration of Texas from NOAA-AVHRR Satellite. Final Report Submitted to Texas Water Resources Institute. Texas.

Niemeyer, S. Voght, J.V. 1999. Monitoring the Moisture Status of the Land Surface in Sicily Using an Energy Belance Approach. Proceedings IGARSS ’99; Hamburg, 28 Juni – 2 Juli 1999. Risdiyanto, I. 2003. Meteorologi Satelit.

Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA. IPB.

Stefanov, W. L. Netzband, M. 2004. Remote Sensing Applications in Urban Environments. Consortium for the Study of Rapidly Urbanizing Region. Tjasjono, B. 1999. Klimatologi Umum.

Bandung: ITB

Voght et al. 1998. Drought Monitoring from Space Using Empirical Indices and Physical Indicators. Paper disampaikan pada Internasional Symposium on Satellite-Based Observation: A Tool for the Study of Mediterranean Basin. 23 – 27 November 1998. Tunis.

http://earthobservatory.nasa.gov/Library/ MeasuringVegetation/measuring_veg etation_2.html

(19)

IDENTIFIKASI INDIKATOR KEKERINGAN

MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH

FERSELY GETSEMANI FELIGGI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(20)

IDENTIFIKASI INDIKATOR KEKERINGAN

MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH

FERSELY GETSEMANI FELIGGI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(21)

IDENTIFIKASI INDIKATOR KEKERINGAN

MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH

FERSELY GETSEMANI FELIGGI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(22)

Judul Skripsi : Identifikasi Indikator Kekeringan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh

Nama

:

F. GETSEMANI F.

NRP

: G 24101038

Departemen : Geofisika dan Meteorologi

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Yon Sugiarto, S.Si. M.Sc.IT

M. Rokhis Khomarudin, S.Si. M.Si.

NIP. 132215103

NIP. 300001631

Diketahui

Dekan

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.

(23)

ABSTRAK

FERSELY GETSEMANI FELIGGI. Identifikasi Indikator Kekeringan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh. Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan M. ROKHIS KHOMARUDIN.

Kekeringan berdampak negatif terhadap sektor petanian, lingkungan hidup, sosial, ekonomi

dan politik. Oleh karena itu, perlu adanya pemantauan pada wilayah-wilayah yang rentan terjadi

kekeringan sebagai upaya dalam mengurangi resiko terjadinya kekeringan. Potensi terjadinya

kekeringan dapat diidentifikasi dari nilai Evaporative Fraction (EF), Bowen Ratio (ß) dan Crop

Water Stress Index (CWSI). Nilai EF, ß dan CWSI merupakan fungsi dari radiasi netto, fluks

bahang terasa, fluks bahang tanah dan fluks bahang penguapan (turunan dari neraca energi).

Penelitian ini mengidentifikasi potensi terjadinya atau tidak terjadinya kekeringan

berdasarkan indikator berbasis proses fisik (EF, ß dan CWSI) dengan menggunakan teknik

penginderaan jauh. Tinggi rendahnya nilai komponen-komponen neraca energi dipengaruhi oleh

tinggi rendahnya suhu udara, suhu permukaan, albedo permukaan dan Normalized Difference

Vegetation Index (NDVI). Daerah kajian pada penelitian ini adalah dua tipe dominasi penutupan

lahan, yaitu daerah pemukiman dan daerah bervegetasi. Daerah pemukiman memiliki nilai EF

yang rendah serta nilai ß dan CWSI yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan daerah pemukiman

(24)

Har i k em ar in adalah PENGALAMAN. . . Har i ini adalah PERJUANGAN. . .

Har i esok adalah HARAPA N. . . . ! ! !

(25)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Purwakarta pada tanggal 29 Agustus 1982. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Ferry Salmon dan Lydia Wala.

Pada tahun 1988, penulis menempuh pendidikan di SD Yos Sudarso Puwakarta setelah lulus dari TK Yos Sudarso Purwakarta. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Yos Sudarso Puwakarta pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 1997. Kemudian pada tahun 2000, penulis lulus dari SMU Negeri 1 Purwakarta. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Geofisika dan Meteorologi melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada tahun 2001.

(26)

PRAKATA

Puji Tuhan...Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas karunia-Nya yang memampukan penulis menyelesaikan laporan tugas akhir dengan judul Identifikasi Indikator Kekeringan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh. Penulisan laporan skripsi ini tidak terlepas dari keterbatasan penulis yang memerlukan bantuan pihak-pihak terkait serta dukungan dari keluarga, kerabat dan sahabat penulis.

Untuk itu, penulis menyampaikan penghargaan kepada Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penlis dalam mengembangkan diri dan berkarya untuk menjadi yang terbaik. Terima kasih kepada Bapak Handoko selaku Kepala Laboratorium Agrometeorologi, FMIPA, IPB dan kepada Ibu Ratih Dewanti selaku Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, LAPAN serta Ibu Orbita Roswintiarti selaku Kepala Bidang PSDAL yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian.

Terima kasih kepada Bapak Yon Sugiarto selaku pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang telah memberi masukan dan nasehat baik masalah perkuliahan maupun tentang penulisan laporan skripsi ini. Terima kasih juga kepada Bapak M. Rokhis Khomarudin untuk ilmu, diskusi, bantuan dan arahannya dalam penulisan tugas akhir ini serta kesediaannya untuk menjadi pembimbing penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Mas Putu yang menjadi penguji dalam sidang skripsi.

Terima kasih untuk Bapak Hartoyo (BMG) dan alumni GFM la innya di BMG Kemayoran yang telah membantu penulis memperoleh data cuaca. Terima kasih juga kepada staf Tata Usaha Departemen Geofisika dan Meteorologi yang membantu penulis dalam administrasi akademis .

Penulis berterima kasih kepada Alm. Papa dan Almh. Mama yang telah mengajarkan arti kata kasih. Kepada K’Lartha dan Alexa yang menjadi stimulan bagi penulis untuk selalu lebih baik serta kepada D’Anoy Maceuh untuk pembelajaran dan dinamika dalam proses pendewasaan penulis . Terima kasih juga penulis sampaikan untuk Keluarga Besar Salmon – Wala atas dukungannya baik moril maupun materil.

Terima kasih kepada ineb dan qq yang sangat membantu penulis dalam melaksanakan tugas akhir ini hingga selesai. Terima kasih kepada Tari, Erwin ’37 dan Utian atas literatur dan datanya. Terima kasih juga kepada rekan-rekan GFM ’38 dan FIS ’37.

Untuk rekan-rekan seperjuangan di ‘rumah singgah’ Alamanda 358, Graha Indah, ex-Villa Choghan, ex-P 99, ex-P 73, P 47, Telepati + crew, Kayu Manis Barat, Tambak II dan KPR GKP Purwakarta, penulis menyampaikan penghargaan serta terima kasih atas bantuan dan dukungannya.

Kiranya laporan skripsi ini dapat menjadi bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang meteorologi terapan.

God Bless U all...!!!

Bogor, Januari 2007

(27)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

I. PENDAHULUAN………... 1 1.1. Latar Belakang………... ... 1 1.2. Tujuan………... 1 1.3. Hasil yang Diharapkan………... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA………... 1 2.1. Neraca Energi………... 1 2.2. Indikator Kekeringan………... 3 2.3. Teknik Penginderaan Jauh………... 4 2.3.1. Definisi……… …... 4 2.3.2. Pengukuran Berbasis Data Satelit ………... 4

III. METODOLOGI..………... 4 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian………... .... 4 3.2. Bahan dan Alat………... 4 3.2.1. Bahan………... 4 3.2.2. Alat………... 5 3.3. Metode………... 5 3.3.1. Import Data Citra ……….. 5 3.3.2. Menetukan Nilai Normalized Defference Vegetation Index……….… 5 3.3.3. Estimasi Emisivitas………... 5 3.3.4. Download Suhu Permukaan……….….… 5 3.3.5. Pendugaan Albedo……….… 5 3.3.6. Pendugaan Radiasi Surya……… …….. 5 3.3.7. Estimasi Radiasi Netto……….. 6 3.3.8. Estimasi Fluks Bahang Terasa……….. 6 3.3.9. Estimasi Fluks Bahang Tanah………... 6 3.3.10. Estimasi Fluks Bahang Penguapan……….... 6 3.3.11. Estimasi Evaporative Fraction………. .... 6 3.3.12. Estimasi Bowen Ratio... 7 3.3.13. Estimasi Crop Water Stress Index... 7

(28)

V. KESIMPULAN..……….………... 13

DAFTAR PUSTAKA………... 14

(29)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Hasil pengukuran albedo... 8 2. Persamaan nilai radiasi surya rata-rata... 8 3. Persamaan profil suhu udara harian di stasiun cuaca Karangploso, Jawa Timur.... 9 4. Suhu udara (oC) pada pukul 10.00 WIB di stasiun cuaca Karangploso, Jawa

Timur... 9 5. Suhu udara (oC) di permukaan laut (0 m dpl) pada pukul 10.00 WIB... 9 6. Persamaan sebaran nilai suhu udara (oC) berdasarkan ketinggian (m)... 9 7. Letak geografis sampel sebaran nilai komponen neraca energi di daerah

(30)

DAFTAR

GAMBAR

Halaman

1. Ilustrasi neraca energi pada suatu permukaan……….….... 2 2a. Ilustrasi tidak terjadi potensi kekeringan (no water stress)……….….... 3 2b. Ilustrasi terjadinya potensi kekeringan (water stress)………... 3 3. Diagram alir penelitian……….……... 7 4. Sebaran nilai radiasi netto (MJ m-2 hari-1) di Propinsi Jawa Timur, tanggal

25 Juni 2004……….... 10

5. Rata-rata nilai radiasi netto (MJ m-2 hari-1) di daerah pemukiman dan vegetasi…. 10 6. Sebaran nilai fluks bahang terasa (MJ m-2 hari-1) di Propinsi Jawa Timur,

tanggal 25 Juni 2004……….... 11 7. Rata-rata nilai fluks bahang terasa (MJ m-2 hari-1) di daerah vegetasi dan

pemukiman………... 11

8. Rata-rata nilai fluks bahang tanah (MJ m-2 hari-1) di daerah vegetasi dan

pemukiman………... 11

9. Sebaran nilai fluks bahang tanah (MJ m-2 hari-1) di Propinsi Jawa Timur,

tanggal 25 Juni 2004………... 11 10. Rata-rata nilai fluks bahang penguapan (MJ m-2 hari-1) di daerah vegetasi

dan pemukiman………... 12 11. Sebaran nilai fluks bahang penguapan (MJ m-2 hari-1) di Propinsi Jawa

Timur, tanggal 25 Juni 2004………... 12 12. Sebaran nilai Evaporative Fraction di Propinsi Jawa Timur, tanggal

25 Juni 2004………... 12 13. Rata-rata nilai Evaporative Fraction di daerah vegetasi dan pemukiman…... 12 14. Sebaran nila i Bowen Ratio di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004... 13 15. Rata-rata nilai Bowen Ratio di daerah vegetasi dan pemukiman………... 13 16. Sebaran nilai Crop Water Stress Index di Propinsi Jawa Timur, tanggal

(31)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(32)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bencana alam merupakan fenomena yang dapat mengancam kelangsungan hidup makhluk hidup. Dampak negatif dari bencana alam berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas makhluk hidup. Salah satu bencana alam yang frekuensi kejadiannya tinggi (hampir setiap tahun) adalah kekeringan.

Kemungkinan yang potensial terjadi akibat bencana kekeringan di antaranya, kebakaran hutan, kesulitan mendapatkan air bersih, gagal panen bahkan rawan pangan. Kekeringan dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya pada sektor pertanian dan lingkungan hidup tetapi juga berdampak negatif pada sektor sosial-ekonomi bahkan dapat mengganggu stabilitas politik. Kekeringan merupakan masalah serius bagi setiap negara termasuk Indonesia.

Beberapa wilayah di Indonesia seperti pantai utara Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi Tenggara sangat rentan terjadi kekeringan. Oleh karena itu, perlu penanganan khusus untuk mengantisipasi terjadinya kekeringan serta meminimalisir kerugian akibat kekeringan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah mitigasi serta adaptasi terhadap bencana kekeringan. Pemantauan (monitoring) merupakan salah satu upaya dalam melakukan mitigasi. Pemantauan dilakukan terutama pada wilayah-wilayah yang rentan terjadi bencana kekeringan. Kegiatan ini memerlukan informasi menyeluruh tentang prediksi dan penyebab terjadinya bencana kekeringan.

Penelitian ini mengkaji serta menganalisis indikator-indikator kekeringan yang merupakan bagian dalam pelaksanaan mitig

Gambar

Tabel 5. Suhu udara (oC) di permukaan laut (0 m  dpl) pada pukul 10.00 WIB.
Tabel 7. Letak geografis sampel sebaran nilai komponen neraca energi di daerah pemukiman dan vegetasi
Gambar 6. Sebaran nilai fluks bahang terasa (MJ m -2 hari–1
Gambar 10. Rata-rata nilai fluks bahang penguapan (MJ  m-2 hari–1) di daerah vegetasi dan pemukiman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah tentang bagaimanakah pola komunikasi interpersonal dalam

Berdasarkan hasil analisis data de- ngan teknik korelasi product moment yang dilakukan dalam penelitian ini menun- jukkan bahwa tidak ada hubungan antara religiusitas

Proses pembuatan komposit Al/SiC yang dilapisi dengan spinel MgAl 2 O 4 dengan mengunakan media pencampur N-Butanol mampu menghasilkan komposit dengan karakter

Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan

Adapun faktor-faktor penyebab kecemasan matematika pada siswa kelas XII Perawat Kesehatan 2 SMK Muhammadiyah Delanggu tahun ajaran 2015/2016 antara lain: kondisi

Pada Tahun 1983, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 31 Tahun 1983, telah dibentuk Kota Administratif Tanjungpinang yang membawahi 2 (dua) Kecamatan yaitu

Hasil dari analisis berdasarkan survey pada siswa di MAM 02 Pondok Modern Paciran didapatkan hasil bahwa selama proses pembelajaran di dalam kelas tidak semua

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan menulis siswa kelas V SD Negeri Pulorejo 01 Pati dalam pembelajaran