• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Lingkungan Terhadap Infertilitas Sapi Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Lingkungan Terhadap Infertilitas Sapi Di Indonesia"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

tercinta Ngkang.

(2)

S K R I P S I

oleh

TITA SARAH PONIARTI

B 17.0853

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGaR

(3)

TITA SARAH PONIARTI. DAMPAK UNGKUNGAN TERHADAP INFER-TIUT AS SAPI Dl INDONESIA. (Dibimbing oleh Drh. Soeharto Djojosoe-darmo dan Drh. Muchidin Noordin).

Kegiatan reproduksi dimulai dengan pubertas baik pada sapi betina maupun sapi jantan. Pada sapi betina sesudah mencapai pubertas mem-punyai keteraturan faali yang disebut siklus estrus atau berahi yang terdiri dari proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Pada periode estrus hewan memperlihatkan gejala ingin kawin, dan 10 jam setelah pe-riode estrus akan terjadi proses ovulasi.

Sedangkan pada sapi jan tan siklus ini tidak ada, sehingga· pejantan selalu bersedia setiap saat melayani kehendak betina untuk melakukan aktifi tas reproduksi. Keinginan kawin pada hewan jan tan disebut libido.

Kegiatan reproduksi pada sapi dipengaruhi oleh sistem hormonal yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa dibawah kontrol hipothalamus, di-sam ping organ kelamin primer baik pada jantan maupun betina.

Faktor Iingkungan dapat mempengaruhi kegiatan reproduksi yang bersifat sementara. Faktor Iingkungan dapat mempengaruhi infertilitas secara langsung maupun tidak langsung.

(4)

SKRIPSI

Oleh

TITA SARAH PONIARTI B. 170853

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Oleh

TITA SARAH PONIARTI B. 170853

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERT ANIAN BOGOR

(6)

S K R I P S I

Oleh

TIT A SARAH PONIAR TI

-B. 170853

Disetujui

o

(7)

Penyusunan Skripsi ini. merupakan Studi Literatur yang berhubungan dengan I1mu Reproduksi yang penulis pilih untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh Ujian Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Insti tut Pertanian Bogor.

Dengan selesainya penulisan Skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh. Soeharto Djojosoedarmo dan Drh. Muchidin Noordin atas segala bimbingannya. Rasa terima kasih yang sama penulis sampai-kan kepada seluruh staf pengajar FakuItas Kedokteran Hewan IPB dan· seluruh karyawan perpustakaan pusat IPB, perpustakaan FKH-IPB, per pus-takaan Bakitwan Bogor dan perpuspus-takaan BPT Ciawi-Bogor.

Meskipun tulisan ini mungkin masih banyak kekurangan mengingat keterbatasan yang ada, tetapi penulis harapkan semoga karya tulis ini

bermanfaa t bagi siapa sa ja yang mungkin memerlukannya.

Bogor, Juli 1985

TIT A SARAH PONIAR TI Penulis

(8)

RINGKASAN • • • • • • • • • • • • • • • • . • • • • • • • • . •

KATA PENGANTAR • • • • • • • • • • . • • • • • • •• • • . • ii DAFT AR lSI • • • • • • • • • • • • ••

DAFT AR GAM BAR • • • • • • • • • •

iii

v

DAFT AR T ABEL 6 • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •

vr

PENDAHULUAN • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • . • Pengertian Infertilitas • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • La tar Belakang • • • • • • • • • • • •

KEGIATAN REPRODUKSI PADA SAPI 3

Kegiatan reproduksi pada sapi betina Pubertas • • • • • • • • • ••• Siklus dan lama estrus/berahi Ovulasi • • • • • • ••

Saat yang baik untuk dikawinkan • • • • • • • • • • . Kegia tan reproduksi pada sapi jan tan • • • • • • • . • • • •

Pubertas • • • • • • • • • • • • • • • • • • • . • • • . . Libido • • • • • • • •

Mekanisme kerja hormonal

BEBERAPA FAKTOR LINGKUNGAN YANG MENYE -BABKAN INFERTILITAS • • • • • • •

Faktor iklim •• Faktor makanan

Defisiensi enersi

Defisiensi protein • • • • • • • • •

iii

3

3

4

5 5 6

6

7

8

12

12

14

15

(9)

Defisiensi vitamin .

Faktor manajemen • • • • • • . . • • • • • • • • • • • • • • • • • Kegagalan menditeksi berahi/estrus • • . • • • • • • • • • Jumlah pejantan yang digunakan sebagai pemacek • • • Waktu yang tepat untuk mengawinkan . • . • • • • • • • Transportasi

Umur sapi •

Faktor penyakit dan parasit • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Pen yakit alat reproduksi . • • • • • • • • • • • • • • • • • Pen yak it somatis • • • • • • • • • • • • • • . • • • • • • • Gangguan sistem hormonal • • • • • • . . • • • • • • • • • Kawin berulang • • . . • . • •

PEMBAHASAN • . • • • • . • . . • .

.

. . .

.

. . .

.

. .

.

KESIMPULAN • • . • . • • • • . . • • • • • • • • • • • • • • • • DAFT AR PUST AKA • • . . • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • RIW A Y A T HIDUP . . • • • . . . . • • • • • • • • • • • • • • • •

iv

18

18

18

19

20

20

20

21 21

22

22 25

32

38

(10)
[image:10.615.92.464.83.309.2]

Gambar 1.

2.

Mekanisme hormonal pada sapi jan tan

Mekanisme hormonal pada sapi bet ina • • • • • 3. Interaksi iklim dan faktor-faktor lain terhadap reproduksi dan pertumbuhan • . • • • • • • • • • 4. Diagram skematis dari kejadian ovarium yang

sistik • • • • • . •

. . . .

.

. .

. .

.

5.

Diagram skematis dari anestrus pada laktasi • • • •

v

10

11

12

23

(11)

Tabel

1. Lama siklus estrus dan waktu ovulasi • •

2. Perkembangan Populasi Sapi Bali Selama Agustus

1981 sid Juli 1982 dan Curah Hujan rata-rata 10

Tahun di Tulang Bawang ••

.

.

.

. .

.

.

. . .

. .

3. Macam Penyebab Kegagalan Reproduksi Berdasarkan

Pemeriksaan Rektal pada Sapi di Daerah Inseminasi Buatan di Propinsi Jawa Barat, Lampung dan Jawa

Halaman 5

26

Tengah tahun 1979/1980 • • • • • • • • • • • • • • • • 27

4. Penyebab Kegagalan Reproduksi Berdasarkan Peme-riksaan Rektal Pada Sapi di Daerah Inseminasi Buatan (IB) di Propinsi Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat tahun 1980/1981 ••••

5. Hasil Operasional Tim Pengelola Reproduksi Pusat pada sapi perah di Jawa Tengah

6. HasH Operasional Tim Pengelola Reproduksi Pusat pada sapi potong di Jawa Tengah • • . . . •

7. Komposisi sapi betina tidak bunting yang menderita gangguan reproduksi hasH pemeriksaan Tim Penge -lola Reproduksi Peternakan Wilayah Timur di 10 UWIB tahun 1984 • • • • • • • • • • • • • • • •

vi

28

29

30

[image:11.624.100.482.71.651.2]
(12)

Pengertian infertilitas

Infertilitas adalah menurunnya derajat kesuburan pada ternak (Arthur dalam Setyowati, 1984-). Infertilitas merupakan kegagalan repro-duksi yang bersifat sementara, tetapi jika tidak cepat ditanggulangi dapat bersifat permanen atau steril (Toelihere, 198 1).

Masalah infertilitas ini lebih sering dijumpai pada sapi perah dari-pada sapi potong dan kehidupan secara berkelompok lebih sering diban-dingkan dengan individual, sehingga makin besar ternak yang dike lola makin sering kejadian infertilitas (Toelihere, 1981).

Kegagalan reproduksi dapat disebabkan oleh faktor iklim, makanan, manajemen, penyakit dan parasit (Payne, 1970), karen a fertilitas atau kesuburan merupakan interaksi yang selaras an tara faktor-faktor sebagai berikut : Genotif x iklim x makanan x manajemen (Campbell, 1979).

Latar Belakang

Mengingat tujuan dari Pelita IV pada hakekatnya meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang makin merata, maka pengembangan dan perbaikan produksi ternak khususnya sapi merupakan salah satu penunjang untuk mencapai tujuan tersebut.

(13)

Salah satu faktor yang perJu diperhatikan dalam pembangunan pe-ternakan adalah masalah kegagalan reproduksi. Kegagalan reproduksi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yang akan dikemukakan dalam tulisan ini terutama pengaruh dari faktor-faktor Iingkungan.

Indonesia yang terletak antara 6° LU dan II ° LS, berpengaruh ter-hadap perbedaan iklim dian tara pulau-pulau di Indonesia, menurut letaknya dari dataran benua Asia dan Australia. Pengaruh utama dibidang penga-daan makanan ternak ialah curah hujan, yang berlangsung akibat hem-busan angin barat laut an tara bulan Nopember sampai dengan Maret, lalu diikuti oleh angin tenggara yang kering berasal dari padang pasir gersang di Australia. Pulau-pulau disebelah barat menikmati hujan sepanjang tahun, karen a angin timur yang kering itu mengumpulkan banyak uap air (Robinson, 1977).

Pengaruh keadaan suhu terhadap pengadaan rumput atau pertanian tidak seberapa dibandingkan curah hujan, meskipun demikian dapat juga mengganggu aktifitas reproduksi yang akan dikemukakan di bagian lain dalam tulisan ini. Suhu di dataran rendah berkisar antara 23-35°C dan suhu di dataran tinggi antara 20-30°C (Robinson, 1977).

Indonesia sekarang berusaha meningka tkan mutu ternak dengan mengimpor bibit sapi dari New Zealand dan Australia yang berbeda Iing-kungannya. Kemudian dengan dibukanya daerah-daerah Transmigrasi, diikuti juga dengan perpindahan sapi baik lokal maupun impor antar pulau dengan lingkungan yang berbeda pula.

(14)

Kegiatan reproduksi sapi betina

Pubertas. Pubertas atau dewasa kelamin adalah periode dalam ke-hidupan hewan baik jantan maupun betina, dimana proses reproduksi mulai terjadi dengan ditandai oleh kemampuan untuk pertama kali memproduksi benih (Cole dkk, 1969), yaitu spermatozoa pada jantan dan sel telur pada hewan betina (Sukra, 1979). Akan tetapi pubertas dapat juga didefinisikan sebagai umur atau waktu dimana organ reproduksi mulai aktif berfungsi (Toelihere, 1981).

Pubertas pada hewan bet ina ditandai oleh terjadinya estrus dan ovulasi. Pada umumnya pubertas dapat dicapai sebelum dewasa tubuh terjadi (Rice dalam Sukra, 1979), yaitu pada waktu mencapai sepertiga dari besar hewan dewasa.

Menurut Partodihardjo (1980), tercapainya dewasa kelamin bagi setiap individu hewan berbeda, karena pertumbuhan dari tubuh dan alat kelamin sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, sosial, iklim dan makanan. Mengenai faktor sosial dikemukakan oleh beliau, bahwa adanya hewan jantan di sekitar anak-anak sapi betina akan mempercepat terca-painya pubertas, sedangkan sekumpulan hewan betina tanpa adanya pe-jan tan mengalami kelambatan untuk mencapai saat pubertas.

Selanjutnya beliau menyatakan bahwa pengaruh iklim dan kondisi makanan untuk mencapai pubertas seperti sapi Madura di pulau Madura akan mencapai saat pubertas pada umur 11 sampai 12 bulan dengan berat badan 125 kg, sedangkan sapi Madura yang digemukan di Panumbangan (Sukabumi Selatan), dengan iklim yang agak sejuk dan curah hujan yang

(15)

ransum berprotein tinggi pubertas dicapai pada umur & bulan, sedangkan yang memperoIeh ran sum berprotein rendah dicapai pada umur 11-12 bulan.

Menurut Toelihere (! 9& I), sapi FH yang dipelihara di Indonesia umumnya mencapai saat pubertas pada umur 12 bulan dengan kisaran 6-24 bulan.

Siklus dan lama estrus. Semua hewan yang telah mencapai puber-tas mempunyai keteraturan fungsi faa Ii terutama dari sistem reproduksinya yang disebut siklus estrus. Siklus estrus dibedakan atas empat fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Pada periode estrus, hewan betina memper lihatkan gejala ingin kawin, dimana folikel de Graaf tumbuh secara maksimum dan terjadi ov·ulasi (Toelihere, 19& 1).

Siklus reproduksi pada hewan berada dibawah pengaruh endokrin disamping faktor lingkungan luar, yang mana keduanya akan dikontrol melalui susunan syaraf pusat .dan hipothalamus untuk mengatur pelepasan hormon (Toelihere, 19& 1).

Selanjutnya beliau mengatakan lamanya siklus estrus pada sapi dara rata-rata 20 hari dengan kisaran antara 1 &-20 hari, sedangkan sa pi induk menunjukkan kisaran siklus estrus 1 &-24 hari dengan rata-rata 21 hari.

(16)

1981) menyatakan bahwa iklim tropis yang panas akan memperpendek waktu estrus. Sapi FH yang dikandangkan dalam suhu 24-35°C, lama berahinya menjadi 11 jam dibandingkan dengan 20 jam pada suhu

17-18°C.

Ovulasi. Ovulasi didefinisikan sebagai pelepasan ovum dari folikel de Graaf. Ovulasi terjadi secara spontan dengan rata-rata 10 jam setelah estrus. Sapi dara cenderung berovulasi 5 jam lebih cepa t dari sapi induk atau sapi dewasa.

Telah diketahui bahwa proses ovulasi distimulir oleh LH (Luteinizing Hormone). Pelepasan LH dari kelenjar hipofisa anterior ditimbulkan oleh mekanisme neurohormonal. Hipothalamus akan mensekresikan faktor pelepas LH (LH-RF) ke dalam aliran darah menuju adenohipofisa yang menyebabkan pelepasan LH sehingga terjadi ovulasi.

Terjadinya ovulasi perJu diketahui untuk menentukan waktu yang tepat dalam melakukan IB (Inseminasi Buatan). Hubungan an tara siklus estrus, lama estrus dan waktu ovulasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Siklus estrus, lama estrus dan waktu ovulasi pada sa pi perah.

---Siklus estrus (harD

lama estrus (jam)

---

MセMMNMMM

Waktu ovulasi (jam) Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran Rata-rata

21,3 18-24 19,3 13-27 10,7

----

-

---

----

-

---

---

--

---

-.

Sumber : Cole dan P. T. Cupps (1969)

(17)

estrus sampai 6 jam sesudah akhir estrus berlangsung. Salah satu faktor yang terpenting dalam hal ini adalah pengamatan estrus, sehingga saat melakukan inseminasi mudah ditentukan (Partodihardjo, 1980).

Kegiatan reproduksi sapi jan tan

Pubertas. Pada hewan jan tan pubertas ditandai dengan mulai ak-tifnya proses spermatogenesis yang waktunya bersamaan dengan ternak betina dalam spesies yang sama (Toelihere, 1981). Menurut Foote (dalam Cole dkk, 1969) pubertas pada hewan jan tan ditandai dengan : (1) telah sempurnanya proses spermatogenesis, (2) adanya keinginan untuk kawin (libido) dan (3) terdapatnya sperma yang hidup dalam ejakulat.

Pubertas pada bangsa sapi Eropa antara 6 sampai 10 bulan, ditan-dai dengan pertumbuhan alat-alat kelamin seeara eepat akibat peninggian pelepasan LH atas rangsangan hipothalamus ke dalam Adenohypofisa, disamping manifestasi luar pubertas akan mempereepat proses spemato-genesis. Timbulnya pubertas tidak sepenuhnya menandakan kapasitas reproduksi yang maksimal akibat peninggian yang eukup berarti dalam volume ejakulat, karena konsentrasi dari jumlah sperma yang moti! baru terjadi 6 sampai 9 bulan sesudah awal pubertas. Jadi sebaiknya hew an jantan dikawinkan sesudah setengah sampai satu tahun sejak mulai timbul pubertas.

(18)

rata-rata ukuran SC 31-34 em (Campbell, 1979). Pubertas pada jan tan dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan dan makanan ·(Toelihere, 1981).

Libido. Libido adalah keinginan untuk kawin pada hewan jantan atau intensitas kelakuan kelamin pada jantan (Toelihere, 1981).

Pada hewan jantan tidak dimiliki siklus berahi seperti halnya pada hewan betina. Pada umumnya pejantan selalu bersedia melayani betina setiap saat untuk melakukan aktifitas reproduksi. Jika ada pejantan yang menoiak untuk melakukan aktifitas reproduksi (kawin), maka barang tentu pejantan tersebut tidak normal atau sudah tua atau masih terlampau muda (Partodihardjo, 1980).

Kualitas makanan yang rendah nilainya dapat menyebabkan pejantan mudah kehabisan tenaga. Defisiensi protein, konsumsi air yang berle-bihan, terlampau singkat siang hari, defisiensi vitamin A, keraeunan makanan atau setiap gangguan fisik walaupun tidak nyata seeara klinis .dapat sangat mempengaruhi penampilan seksual, misalnya perbarahan kuku atau persendian-persendian, pergantian gigi, eksima, kesakitan karena keeelakaan atau pen yak it tertentu (Toelihere, 1981).

(19)

Pada sapi dengan libido yang tinggi tidak selalu merupakan krite-dum fertilitas bagi pejantan, tetapi dengan libido yang tinggi, maka volume semen akan tinggi pula. Pada umumnya apabila volume semen tinggi, maka konsentrasi sperm a moti! per ejakulat juga akan meninggi (Toelihere, 1981).

Mekanisme kerja hormonal

Kelenjar hipofisa adalah kelenjar endokrin yang terletak didasar otak. Mekanisme kerjanya ada dibawah kontrol hipothalamus sebagai pusat pengatur sistem hormonal tubuh, dengan mengeluarkan realising faktor/realising hormone. Mekanisme kerja hipofisa sangat komplek, sedangkan bagian anterior dad hipofisa menghasilkan hormon sebanyak lebih kurang 7 macam. Dari hormon-hormon tersebut sebagian besar terlibat langsung dalam proses reproduksi seperti FSH, LH dan L TH (Partodihardjo, 1980).

Follicle Stimulating Hormone (FSH) berfungsi sebagai stimulan bagi pertumbuhan folikel disamping pematangan folikel de Graaf di dalam ovarium dan spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi testis (Toelihere, 1981).

(20)

Luteotropik Hormone (L TH) atau proJaktin bertanggung jawab menguatkan pembentukan korpus Juteum sehingga sanggup menghasilkan hormon progesteron. ApabiJa terjadi kebuntingan L TH akan menstimulir perkembangan keJenjar ambing untuk persiapan Jaktasi. SeJama kebun-tingan progesteron bekerja secara sinergis dengan estrogen daJam mem-pertahankan kebuntingan, menghambat sekresi FSH sehingga pematangan folikeJ tidak terjadi (Toelihere, 1980. Mekanisme hormonaJ pada sapi jantan terlihat pada gam bar

terliha t pada gam bar 2.

(21)
[image:21.623.95.518.105.482.2]

Gambar 1. Mekanisrne hormonal pada sapi jantan

SUSUNAN SY ARAF PUSA T

/ /

"

HYPOTHALAMUS Tingkah laku

seksual (libido) / / / / セ@

1 / /

II "lnhibin" \1 \\ '\ / / / / / / / / /

FAKTOR-FAKTOR PELEPAS (REALISING FACTORS)

ADENOHYPOPHYSIA l', I

'---, _______________ -.--J , \

,

.

\ \

ICSH \ I FSH

(LH) \ I

iMMMGlMMM]MMZZM」ZMZZZMZZMMZZZM⦅セlM _ _ --,I I

T EST E S II

"

I

\ TUBULI SEL-SEL

'\ '\ SEMINIFERI INTERSTITIAL I

,

" " , - ' - -_ _ ---,,,-_ _ _ _ --'-_ _ _ _ _ - . _ _ _ --' I I

...

-

-_

... / SPERMA TOGENETIK

1

SPERl\>\A , , TESTOSTERON

Sumber Toelihere, 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak.

(22)
[image:22.621.127.506.114.574.2]

Gambar 2. Mekanisme hormonal pada sapi betina

Adenohypophysa

Pertumbuhan Folikel

Pertumbuhan uterus dan sa-luran reproduksi

Ovulasi

Proliferasi uterus (untuk implantasi)

Rangsangan L uar - G3.haya

- Stress - Visuil - Auditoris - Perabaan - OHaktoris - Makanan

- Stimulasi uterus - Fisik

Faktor-faktor Pelepas _ Lain-lain (Releasing Factors)

Neurohypophysa

Corpus Luteum

Kelangsungan kebuntingan

Part us Laktasi

(Let down susu)

(23)

Faktor iklim

Iklim dapat mempengaruhi kegiatan reproduksi baik secara Iangsung maupun tidak langsung. Pengaruh iklim secara langsung misalnya oleh. suhu dan keIembaban, sedangkan yang tidak langsung dimana ikIim mem-pengaruhi mutu makanan dan prevalensi pen yak it serta parasit.

Pengaruh iklim berinteraksi dengan faktor-faktor lain terhadap 'kegiatan-kegiatan reproduksi dan pertumbuhan seperti terlihat pada

Gambar 3 (Campbell, 1979).

Gambar 3. Interaksi iklim dan faktor-faktor lain terhadap reproduksi dan pertumbuhan.

genotif

r ,

-manajemen

I ____ n _ _ u n _ _

pertumbuhan

iklim

---1

makanan

I reproduksi Sumber Campbell, 1979. Infertility in Cattle. Refresher Course fcr

Vet. Proceeding no. 42.

Untuk menditeksi secara langsung pengaruh iklim terhadap repro-duksi sapi agak sulit, karena jenis sapi dan rnakanan ikut mempengaruhi pula.

(24)

Iklim dapat mempengaruhi waktu pubertas, lama estrus, sistem hor-monal, kejadian abnormalitas dari ovarium pada sapi betina. Sedangkan pada sapi jantan mempengaruhi waktu pubertas, libido, spermatogenesis dan karakteristik daripada semen (Payne, 1970).

Iklim dan pertumbuhan rumput di daerah tropis mempengaruhi pro-duksi dan repropro-duksi, terutama pada sapi dara dimana pada musim hujan yang berkisar an tara bulan Juli sampai Oktober banyak sapi yang bunting. Sedangkan pada musim kemarau aktifitas reproduksi menurun, karena udara yang terlalu panas disamping jumlah makanan yang relatif berku-rang (Siebert, 1976).

Kelly dan Hurst (dalam Payne, 1970) mengemukakan, bahwa tempe-ratur yang tinggi dan berJangsung secara terus menerus dapat menekan fertilitas sapi jantan dan betina. Temperatur yang meningkat di daerah subtropis terjadi pada musim panas sehingga fertilitas menjadi rendah, yang dikenal dengan "Summer Infertility" (Salisbury dalam Payne, 1970).

Paston dalam Payne (1970) mengemukakan temperatur yang tinggi di musim panas di daerah subtropis sulit untuk menditeksi estrus diban-ding pad a musim diban-dingin. Sedangkan di daerah tropis menurut Toelihere (1981) periode berahi menjadi pendek pada sapi Eropa dan sapi Zebu. Hal tersebut terjadi karen a iklim tropis yang panas akan memperpendek waktu estrus. Periode berahi yang pendek ini tidak akan terobservasi apabila hanya dilakukan satu kali dalam sehari (Tranter, 1982).

Pada hewan jantan, temperatur lingkungan yang meninggi dapat me-nurunkan kualitas semen dan libido (Ganong dkk dalam Cole dkk, 1969).

(25)

jantan pada musim panas antara bulan September dan Oktober pada ke-lompok ternak akan mengasingkan diri dan kehilangan nafsu seksual. Kehilangan nafsu seksual ini terutama diperlihatkan oleh sapi jantan yang gemuk (Enler dalam Hafez, 1969).

Faktor makanan

Dalam pola peternakan rakyat yang masih bersifat tradisional se-perti halnya di Indonesia, faktor makanan mungkin merupakan satu faktor terpenting yang menjadi penyebab kegagalan reproduksi, khususnya pada sapi. Sedangkan pada perusahaan-perusahaan sapi perah yang besar pada umumnya kegagalan reproduksi disebabkan oleh pemberian makanan yang berlebihan atau tidak be rim bang antara hijauan dengan makanan penguat (konsentrate).

Menurut Hafez (daIam Hafez, 1969) di Australia dan Afrika Selatan sistem pemeliharaan sapi dilepas di padang pengembalaan (ekstensif), untuk mengatasi kekurangan makanan, disamping merekapun memperhati-kan curah hujan dan suhu, agar didapatmemperhati-kan sapi-sapi dengan pertumbuhan yang baik.

Menurut Campbell (1979) kekurangan makanan dapa t menyebabkan target berat badan menjadi terhambat, pubertas terlambat, anestrus dan kebuntingan yang tidak stabil pada sapi betina. Sedangkan pada sapi jantan menyebabkan terlambatnya pubertas dan menurunnya libido.

Kelebihan makanan menyebabkan sapi betina kegemukan dengan ovarium kecil sehingga menyebabkan anestrus (Toelihere, 1981). Pada sapi yang dibesarkan dan dipelihara dengan makanan yang berlebihan

akan ban yak mengalami kegagalan reproduksi dikemudian hari, sehingga' ", akan mempunyai masa produktif yang lebih singkat daripada sapi

(26)

Defisiensi enersi. Pada sapi yang digembalakan, defisiensi enersi merupakan masalah umum, terutama ketika periode produksi tinggi pada waktu laktasi. Defisiensi enersi ini pada sapi yang berlaktasi akan me-nurunkan kondisi tubuh dan mengalami hipofungsi dari oyariumnya (Hafez, 1969).

Sedangkan sapi dara dan sapi yang untuk kedua kalinya melahirkan, yang menjadi masalah di padang gembalaan adalah keterbatasan tempat merumput, karena status so sial yang rendah dalam kelompok dibanding sapi yang sudah berkali-kali melahirkan (Tranter, 1982). Menurut Hafez (1969) defisiensi enersi pada sapi yang belum dewasa menyebabkan

hipo-pi asia oyad dan alat-alat reproduksi lainnya, sedangkan pada sahipo-pi dara terlambatnya masa pubertas.

Campbell (1979) mengemukakan pubertas yang tertunda akibat ke-kurangan makanan atau enersi, menyebabkan tertundanya masa kebun-tingan yang pertama. Anestrus akibat kekurangan enersi menyebabkan tenggang waktu antar kelahiran diperpanjang. Hal ini dapat disebabkan karena kesalahan manajemen, dimana secara praktis dan ekonomis lebih sering terlihat pada sapi perah dibandingkan sapi potong. Pengaruh dan manfaat enersi yang jelas di USA, dimana sa pi yang diberi enersi yang cukup dalam makanannya, mempunyai oyarium yang besar, estrus post-partum yang cepat dan nilai konsepsi yang baik (Campbell, 1979).

Pada sapi jan tan apabila bersifat sementara, defisiensi ini dapat di-perbaiki, sedangkan bila terjadi pada sapi jan tan muda yang mengalami defisiensi terus menerus dan dalam waktu yang lama tidak dapat diper-baiki lagi (fatal). Kerusakan yang terjadi adalah testis kedl, dan fungsi produksi sperma berkurang (Ehler dalam Hafez, 1969).

yaitu menekan fungsi kelenjar-kelenjar pelengkap.

(27)

Defisiensi protein. Meskipun protein tidak begitu penting dalam masalah reproduksi seperti halnya yada kebutuhan enersi, tetapi apabila kadar yang dibutuhkan dari protein rendah juga akan mempermudah ter-jadinya infertilitas.

Pada sapi dara defisiensi protein akan memperlihatkan gejala an-estrus, hipoplasi ovari dan uterus yang tidak berkembang, apabiJa keada-an ini masih dini dapat dengkeada-an mudah untuk diperbaiki dengkeada-an pemberikeada-an makanan yang baik dalam beberapa minggu (Hafez, 1969).

Pada sapi jantan muda akan tertundanya masa pubertas, sedangkan pada yang dewasa akan berpengaruh terhadap ukuran testes, disamping produksi semen akan terganggu. ApabiJa kebutuhan protein rendah dan dalam waktu tidak kurang dad 6 bulan, maka produksi sperma menjadi sanga t sedikit (Ehler dalam Hafez, 1969).

Defisiensi mineral. Defisiensi mineral penyebab infertilitas pada sapi umumnya terbatas pada phosphor, sedangkan mineral lainnya jarang terjadi.

Defisiensi phosphor akan selalu terjadi pada padang gembalaan yang mengalami defisiensi protein. Defisiensi phosphor dalam tanah menye-babkan rumput kering dan cepat mati, keadaan ini umum di daerah subtropis dan tropis (Campbell, 1979).

(28)

dewasa, ternyata pada sapi darapun dapat menyebabkan kelambatan pubertas.

Kebutuhan phosphor lebih kurang 10-12 gram per hari pada daerah yang tanahnya miskin phosphor (Toelihere, 1981). Sedangkan di Australia per hari 15 gram berupa tepung tulang yang diberikan terpisah dari makanan lainnya (Campbell, 1979).

Defisiensi mineral lain, seperti defisiensi mangan akan menyebabkan tertundanya konsepsi, menghambat sekresi hormon gonadotropin dan hipo-fungsi ovari pada sapi betina, sedangkan pada sapi jantan menyebabkan degenerasi ekstensif dari testes (Hafez, 1969).

Defisiensi Cu terjadi pada area dim ana kadar Cu dalam tanah rendah atau dimana molibdenum (yang dapat menurunkan Cu pada hewan) dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan rumput (Tranter, 1982). Defisiensi Cu mengakibatkan kegagalan reproduksi pada hewan betina terutama kegagalan memperlihatkan gejala estrus.

Defisiensi Zn menghalangi spermatogenesis dan hipofungsi testes (Moustgaard dalam Cole dkk, 1969).

Defisiensi iodine akan menghalangi pertumbuhan organ reproduksi, karena menghambat kerja thyroid. Hipo atau hiperthyroidismus menye-babkan sekresi hormon-hormon gonadotropik dari hipofisa dihambat. Di daerah-daerah yang kekurangan jodium untuk mencukupi mineral tersebut harus disediakan dalam bentuk pemberian garam dapur. Kekurangan garam dalam waktu yang lama menyebabkan penurunan berat badan dan anestrus (Toelihere, 1981).

(29)

Defisiensi vitamin. Defisiensi vitamin A pada sapi betina dapat menyebabkan anestrus, kawin berulang, abortus dan melahirkan bayi dengan kondisi yang lemah. Sedangkan pada sapi jan tan diperlukan untuk perkembangan alat seksual dan spermatogenesis yang normal. Vitamin A terdapat pada karotene dalam rumput yang baik, hay dan silase. Defi-siensi vitamin A biasanya berkaitan erat dengan musim kemarau yang panjang dim ana rum put kering (Payne, 1970).

Faktor manajemen

Kegagalan mendi teksi berahi. Apabila sapi jan tan dipisahkan dari kelompok sapi betina untuk melakukan kontrol baik terhadap kawin alam ataupun IB, ternyata cara ini sulit untuk mengetahui waktu berahi. Seringkali sapi betina dinilai gagal untuk memperlihatkan berahi, seba-gian besar disebabkan oleh adanya CL (Corpus Luteum) pada ovarium dalam siklus estrusnya.

Apabila berahi tenang terjadi, terutama pada sapi dengan produksi tinggi, ternyata kejadiannya selalu berbanding terbalik terhadap intensitas dan efektifitas dari cara menditeksi berahi (Tranter, 1982).

Menurut Tranter (1982) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi situasi yang menjadi masalah dalam menditeksi berahi, yaitu :

a. Ditemukan pada .peternakan dengan tempat セ。ョァ@ buruk untuk mela-kukan observasi berahi. Sapi betina enggan menaiki betina lainnya apabila lapangan yang terbuka tempatnya licin, sehingga lebih mudah dilakukan pengamatan pada sapi yang dipelihara di gunung, diikat atau dikandangkan dimana aktifitas untuk memperlihatkan berahi lebih nyata ter lihat.

(30)

diobservasi, atau adalah jumlah besar.

bangsal yang mengendalikan sapi dalam

c. Mengupah orang untuk membantu dalam peternakan yang motivasinya tidak sama dengan pengelola, malah akan menambah masalah.

d. Pada kelompok sapi yang besar banyak waktu dihabiskan untuk me-rum put guna memenuhi kebutuhan akan makanan, dan sedikit sekali waktu untuk memperlihatkan gejala berahi.

e. Oi negara tropis intensitas dan lama berahi menurun pada temperatur Iingkungan yang tinggi, sehingga periode berahi mudah menjadi tidak tepat.

Jumlah pejantan yang digunakan sebagai pemacek. Kegagalan re-produksi dapat disebabkan karen a .iumlah pejantan sangat rendah pada se-kebmpok sapi potong yang digembalakan (Campbell, 1979). Suatu pe-ternakan di Florida mempergunakan pejantan yang cukup untuk dapat melayani sapi betina, sehingga dapat menghasilkan persentase angka kelahiran yang tinggi. Kemampuan optimum seekor pejantan dapat melayani 14 ekor betina maka persentase angka kelahiran menjadi menurun (Koger dkk dalam Payne, 1970).

Selain jumlah pejantan yang cukup harus diperhatikan juga umur dari pejantan, lamanya musim kawin, ukuran dan topografi dari lokasi peternakan tidak dapat diabaikan. Pejantan yang belum dewasa dan keadaan semen yang buruk juga dapat mempengaruhi persentase angka kelahiran.

(31)

dari pejantan pertama secara IB (Partodihardjo, 1980). Dalam hal ini harus diperhatikan dan disadari akan bahaya pemindahan penyakit kela-min.

Waktu yang tepat untuk mengawinkan. Kawin alam maupun inse-minasi buatan harus dilakukan pada waktu yang optimum untuk dapat menghasilkan konsepsi seperti yang telah diterangkan pada bagian yang terdahulu. Jika estrus terjadi pada pagi hari maka sebaiknya inseminasi dilakukan selambat-Iambatnya sore

pada sore hari maka inseminasi

hari, sedangkan jika estrus terjadi dilakukan selambat-Iambatnya pada keesokan pagi harinya (Partodihardjo, 19&0).

Pada betina yang baru melahirkan saat yang optimum dilakukan perkawinan kembali setelah 60 hari setelah beranak (post partum) dan jangan sampai kurang dari 50 har i (Djojosoedarmo dalam Toelihere, ' 1981). Juga perlu diperhatikan apabila pedet tetap menyusu akan menunda waktu estrus dan memperpanjang jarak an tara kelahiran (Payne,

1970).

Transportasi. Perpindahan sapi dari kondisi Iingkungan yang ber-lainan akan mempengaruhi fertilitas sapi jantan, karen a faktor stress baik diperjalanan maupun di Iingkungan yang baru (Payne, 1970).

Umur sapi. Umur dapat mempengaruhi fertilitas pada sapi jantan maupun sapi bet ina baik perah maupun potong. Jadi dalam manajemen, segi umur perlu diperhatikan.

(32)

konsepsi yang baik pada umur 4-6 tahun dan menurun secara berangsur-angsur.

Pada sapi jantan waktu optimum untuk dikawinkan yaitu pada umur 2 tahun dan menurun secara berangsur-angsur (Salisbury dalam Payne,

1970).

Walaupun demikian umur tidak berdiri sendiri di dalam fertilitas tetapi biasanya bersama-sama dengan faktor Iingkungan yang lain.

Faktor penyakit dan parasit

Oi daerah tropis dan subtropis kasus penyakit dan parasit dapat mempengaruhi reproduksi. Pengaruh temperatur Iingkungan dimana tinggi rendahnya kelembaban udara serta kondisi iklim memungkinkan timbulnya kasus penyakit dan prevalensi dari parasit.

Makanan, penyakit, parasit dan stress Iingkungan menyebabkan infertilitas (Clark dkk dalam Payne, 1970).

Penyakit alat reproduksi. Infertilitas pada sapi dapat disebabkan oleh penyakit Vibriosis (Vibrio fetus), Trichomoniasis (Trichomonas foetus) dan leptospirosis (Leptospira セセIN@ Umumnya pada sapi betina dapat menyebabkan abortus dan siklus berahi menjadi tidak teratur. ApabiJa tidak ditanggulangi maka akan menjadi infertil at au steril. Sedang pada jantan biasanya orchitis, sedangkan apabiJa terjadi hal-hal yang tidak memperlihatkan gejala dapat bertindak sebagai carrier.

Sedangkan infertilitas yang tidak spesifik seperti vaginitis, metritis dan endometritis dapat juga menurunkan tingkat fertilitas atau kesuburan.

(33)

sapi Aberden Angus dapat menurunkan libido (Ehler dalam Hafez, 1969). Selain penyakit pada alat kelamin, arthritis dan kepincanganpun dapat

menurunkan libido (Tranter, 1982).

Penyakit somatis. Penyakit somatis dapat mempengaruhi kesehatan secara umum dari sapi, apabiJa berlanjut dapat menurunkan fungsi repro-duksinya. Pen yak it soma tis yang umum terhadap sapi di daerah sub-tropis dan sub-tropis yai tu Anaplasmosis, Piroplasmosis, Tuberkulosis, Penya-ki t Mulut dan Kuku (PMK), Babesiosis dan sebagainya (Payne, 1970).

Penyakit-penyakit tersebut menyebabkan demam yang tinggi, se-hingga pada sapi betina dapat menimbulkan gejala anestrus, sedangkan pada sapi jantan mengganggu fungsi testes dalam proses spermatogenesis (Payne, 1970).

Gangguan sistem hormonal. Faktor Iingkungan dapat mempengaruhi mekanisme kerja sistem hormonal, sehingga mengakibatkan gangguan ter-hadap reproduksi a tau infertilitas. Gangguan sistem hormonal dapat dibagi menjadi dua yaitu : Faktor dari dalam yang berhubungan dengan tingginya produksi susu atau stress waktu laktasi dan faktor dari luar.

Faktor dari dalam, yaitu :

a. Ovarium yang sistik. Sering terjadi pada sapi-sapi perah karena faktor bergerak yang kurang setelah· partus terutama pada puncak laktasi. Kejadian ovarium yang sistik dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor keturunan dan kondisi lingkungan dalam hal ini produksi susu tinggi berkorelasi dengan stress di musim ding in di daerah subtropis.

(34)

siste ini oleh karena kurangnya sekresi LH dari hipofisa anterior pada saat menjelang ovulasi. Folikel yang terbentuk terus membesar ka-rena sekresi FSH yang cukup memadai tetapi untuk berovulasi tidak didapatkan cukup kandungan LH (Toelihere, 1981).

[image:34.616.91.507.313.594.2]

Cam pbeJl (! 979) memperlihatkan hubungan dampak Iingkungan -dengan faktor turunan terhadap kejadian Nymphomania, sebagai gejala dari ovarium yang sistik (Gambar 4). Selain rnemperlihatkan gejala Nymphomania sekitar 25 per sen dari sapi yang mengalami sista ovari dapat memperlihatkan gejala anestrus.

Gambar 4. Diagram skematis dari kejadian ovarium yang sistik. Genotip - Produksi tinggi - Stress Iingkungan

1

Hipothalamus

1

Hipofisa anterior

1

LH.,( FSH1'

r .

sistik ovanum

1

Tanpa ovulasi

j

HlP""roo,,"

Nymphomania; Oedema. Sal. Kelamin

ACTH1'

1

Adenocorticoid hipertropi Na + H

20 retensi

J

Adrenal virilism
(35)

b. Anestrus akibat laktasi. Anestrus akibat laktasi biasanya terjadi pada sapi perah yang menunjukkan laktasi yang tinggi, sedangkan pad a sapi po tong karena defisiensi enersi yaitu pada musim ding in di daerah subtropis dan musim kemarau yang panjang di daerah tropis. Disini terjadi interaksi akibat kekurangan makanan dan laktasi.

Pad a waktu laktasi Gn-RH (Gonadotropin Realising Hormon) dihambat, sehingga Gonadotropin hormone akan menurun. Keadaan ini ditunjang oleh makanan yang kurang sehingga sekresi FSH dan LH menurun, sehingga sebagai akibatnya pertumbuhan folikel akan .dihambat. Pertumbuhan folikel tidak terjadi sehingga hewan tidak akan dapat memperlihatkan gejala estrus (anestrus). Pola kerja kejadian ini pada Gambar 5 (Campbell, 1979).

Gambar 5. Diagram skematis dari anestrus pada saat laktasi.

oxytocin - - - - . t )

I

SUSU KELUAR MMMMセI@ cortison7' Prolaktin

inhibitor-Faktor inhibitor

I

1

Gn-RHi

----..y,

fungsi hipofisai ProgesteronJ. FSH;LHi _ _ _ _ _ _

-'1

nutr isi yang kurang

1

Anestrus (tanpa folike!)

[image:35.621.80.491.379.617.2]
(36)

Faktor dari Juar

KegagaJan reproduksi terjadi pada sapi yang makan rum put dari tumbuhan yang mengandung campuran yang mempunyai aktifitas estrogen, seperti pada sapi yang makan rumput alfafa dari Israel. Sindrom khas infertilitas adaJah Nymphomania (ovarium yang sistik), kegagaJan transpor teJur dan sperma, serta kegagaJan inpJantasi (Hafez, 1969).

Kandungan estrogen ini juga dapat diisoJasi dari tanaman isofJavones. Isoflavones dari famiJi Jeguminosa menyebabkan aktifitas ovarium menjadi rendah, sedangkan buah apeJ, cherry dan kentang mengandung estrogen yang tinggi (Hafez, 1969).

Kawin beruJang. Sebagian besar kasus infertilitas dan kawin beruJang pada keJompok ternak disebabkan oJeh kesalahan manajemen dan keku-rangan makanan. Makin banyak jumJah ternak yang ditangani makin ba-nyak kasus infertiJitas dan kawin berulang (Robert dalam ToeJihere, 1981).

Kesalahan manajemen terutama daJam mengobservasi berahi yang harus diJakukan minimal 2 kaJi daJam sehari, akan tetapi apabila tanda berahi sudah terlihat tidak perJu diJakukan inseminasi sampai 2 kaJi berturut-turut.

Makanan berpengaruh terhadap infertilitas dan kawin beruJang, ka-rena makin baik kuaJitas makanan maka sapi akan lebih subur.

(37)

Tabel 2. Perkembangan Populasi Sapi Bali Selama Bulan Agustus 1981 s.d. Juli 1982 dan Curah Hujan Rata-rata Selama 10 Tahun Di Tulang Bawang.

----

----

---

---Curah kematian

Pertam-Kelahiran

Bulan Hujan (ekor) bahan

(mm) Anak Dewasa Total Populasi

______________________________________________ ._ H・ォセAZl@ ___ _

Januari 287 18

o

Pebruari 283 14

Maret 344 39 2

April 249 36 4

Mei 177 49

o

Juni 60 34

o

Juli 49 2

Agustus 79 37

September 191 26 4

Oktober 204 12

Nopember 299 16 6

Desember 358 16

Total 2615 346 22

Maret s.d.

Mei 257 124 6

Juni s.d.

Agustus 74 120 3

Maret s.d.

Agustus 166 242 9

2 8

o

o

2 3 2 5 2 27 9 3 11 3 10 4

o

4 2 7 3 11 3 15 6 20 17 11 29 32 48

34

45 35 19 9 5 13 297 109 114 223 [image:37.610.76.484.141.651.2]
(38)

- - - ----C-- ---L--t- --- -

-Hypofungslr----

-Perbaharari --- -

--N---1- -- ---- -- --

Abnorinailtas- ---

---K asus orpus P ' t erS1S e n . u eum h I ' ypop aSla a at repro-1 . A spesl 1 erma 'f'\ < anatonll a at . . 1 .lsta ovan S' . J um a 1 h

ovan dukSl イ・ーセッ、オォウャ@

Propinsi (Ekor) ( % ) (Ekor) ( % ) (Ekor) ( %) (Ekor) ( % ) (Ekor) ( % ) (Ekor) ( % ) (Ekor)

---_._---_.

Jawa Barat 80 29,30 95 SセLSU@ Rセ@ 8,79 59 2\ ,73 12 セLセY@ 3 1 LSセ@ 273

Lampung 38 16,37 131 56,46 0,43 49 21,14 12 5,17 0,43 232

Jawa Tengah 212 37,17 206 36,78 19 3,39 100 18,86 19 3,39 セ@ ッLセ@ I 560

- - - - ---

-

-

---

---

--- --

--

--

-- -

-

---

--

---

- ---

---

-- -- ---- --

---Jumlah 330 1132 114 208 113 8 1065

Rata-rata 27,61 42,53 11,20 20,57 セLSU@ 0,73

Surnber Toelihere c1kk., 1980. Laporan Pilot Proyek I'enanggulangan Penyakij Reproeluksi pada Ternak Sapi eli Indonesia 1979/1980.

N

[image:38.842.32.720.100.353.2]
(39)

--- ---- - --

----

- -

---

--.----

-_.- ---

----------_ ... --- - --- - --- ---- ------ - - - -

---

----I-lipofungsi Corpus lu-teum per- Perbarahan alat

re-Sista ovari I<elainan (lIlCI- J J t

Propinsi ovari

slsten Aspesifik prod. tomik um a 1

(Ekod

(%)

(Eked

(%)

(Ekod

(%)

(Eked

(%)

(Eked

(%)

(Eked

(%)

(Ekod

-_

...

-

..

--_

...

_

...

_-_

....

_

...

-_

... ,

.. ---

---

... -...

---_

....

---_

... --

---_

...

_-Jawa Timur 252 37,7 247 36,9 116 17,3 30 I{ ,5 11 1,6 13 1,9 669

Bali 227 37,6 163 27,0 147 24,4 46 7,6 20 3,1{ 0 0 603

N.T.B. 92 39,1 26 11,1 98 41,7 16 6,8 2 0,9 0,4 235

---

---.-

-- ---

---

--- --- ---

-

-- ---

----.-

--- ----

-

-- -

---

--Jumlah (ekorl 571 436 361 92 33 14 1507

Rata-rata (%) 38,1 25 27,8 6,3 0,8 0,8

Sumber ToeJihere e1kk., 1981. J..aperan Pilot Preyek Penanggulangan Penyakit Reproeluksi Paela Ternak Sapi eli Indenesia tahun 1980/1981.

N

[image:39.847.31.715.104.372.2]
(40)

PROPINSI DATI I JAWA TENGAH

---KETERANGAN Magelang Klaten Sukoharjo Karanganyar Semafang Temanggung

______ セ@ ____________ Ekor % Ekor ___ % ⦅セNYf⦅@ % [kat:: % _ Ekar ⦅Nセ@ ___ Ne[A\セ⦅Aq@

1. Diperiksa

2. Bunting

3. Tidak bunting

4. Dubieus

S. Tidak bunting normal 6. Tidak bunting karena a. Gangguan hormonal

a.1. CLP a.2. HYDofungsi

oVary 8.3. Cyste ovary 0.4.

b. Kelainan Anatomi

260

131 50,38 122 46,38 5 1,92 9S 36,54

7 2,69 7 2,69

b.l. セセYウセャ。ウゥ@ 12 4;62

b.2. Atropy Ov/ut b.3. Aplasia Ovlut

c. Patologis

c.1. Endomclrj liB

c.2. PyomeLra

c.3. Vaginitis

c.4. Mummifikasi

c.5.

d. Lain-lain

d.l. Dystokia

d. 2. Tumor d.3. Retensio d.4. Abortus

d.S.

7. p・ョYNqエセᆪiエッョ@

KemdJlaran

0,38

62 23,!l5 83

48 57,83 28 33,73 5 6,02 26 31,33

1,20 1,20

7 8,43 372 244 170 8 143 15 7 3 62,64 43,37 2,04 36,48 3,83 1,79 0,77 0,26

2 0,51

51 13,01 217

146 67,28 66 30,41

5 2,30 52 23,90

13 5,99 0,46

26 11,99 144

75 52,08 64 44,44 5 3,47 50 34,72

11 7,64

3 2,08

48 33,33 158

81 51,27 72 45,57

5 3,16 52 32,91

16 10,13

2 1,27

2 1,27

59 37,34

Kodya

SembranQ Ekaf %

25 5 20 11 6 3 20 80 44 24 12

17 68

Kendal

Ekar %

291

189 64,95 98 33,68 4 1,37 87 29,90

20 6,87

4 1,37

42 14,43

Jumlah Ekaf %

1521

878 57,73 637 41,88

32 2,10 514 33,79

82 5,39 16 1,05

25 1,64 0,07

2 0,13

0,07

276 18,15

---

-

---

_.' .. _ ... '---

--

---.

--. -

-_.

---

---_.

- -

---,---_.

---,--

---

--

---

---Surnbel' Ojojosocdnrmo dkk., 1985. Lnpornn Peoqelnlf1(1(l Repn)(ltlkr, i di .l11wO Tenqutl, PCl'telnuun EvoltlOu.i PengcloJoan RepI'lldlJkni elfin IB SwndnYlJ (11 Ungal'un.

(41)

Tabel 7. Komposisi sapi betina tidak bunting yang menderita gangguan Reproduksi hasil pemeriksaan Tim Pengelola Reproduksi Peter-nakan Wilayah Timur di 10 UWIB tahun 1984.

---

-

----

---

--

---

-

---

---

-

---

--

----No. Macam Gangguan

1. Gangguan Hormonal :

a. Corpus Luteum Persisten b. Hipofungsi Ovar i

c. Sista Ovari

2.

Kelainan Anatomis a. Hipoplasia Ovari b. Hipoplasia Uteri

c. Hipoplasia Ovari et Uteri d. A tropi Ovar i

e. Aplasia Ovari f. Atresia Ovari

3. Patologi Alat Kelamin a. Endometritis

b. Pyometra c. Vaginitis

d. Indurasi Cervix

- Tumor Ovarium, Uterus dan Vagina

- Distokia

- Retensio Secundinae - Mummifikasi

- Involusio Uteri Lambat

Jumlah (ekor) 606 928 90 60 5 19 1f3 3 29 4 3 5

Persentase dari seluruh sapi yang di -periksa 6,60 10,10 0,98 0,65 0,05 0,21 0,1.7 0,03 0,32 0,04 0,03 0,05

(42)

Indonesia yang beriklim tropika basah, sehingga faktor musim dan curah hujan akan mempengaruhi fertilitas pada sapi. Pasta dan

Dar-madja (dalam Siregar, 1983) melaporkan, dimana 70,86 persen kelahiran sapi Bali di pulau Bali terjadi pada bulan Mei sampai Oktober dan puncaknya terjadi pada bulan Juni. Siregar (1983) menyatakan di Tulang Bawang (Lampung Utara) kelahiran sapi Bali terjadi paling banyak pada tiga bulan menjelang musim kemarau (Maret sampai Mei) yaitu 35,8 persen, kemudian pada musim kemarau (Juni sampai Agustus), 34,1 persen (Tabel 2). Bila terjadinya kelahiran pada bulan Maret sampai Agustus, maka perkawinan terjadi antara bulan Juli sampai Desember yaitu jatuh pada pertengahan musim kering sampai pertengahan musim hujan.

Faktor makanan mungkin merupakan penyebab utama kegagalan reproduksi di Indonesia, terutama kualitas makanan yang buruk pada peternakan rakyat di pedesaan. Toelihere (1981) mengemukakan faktor makanan yang buruk dapat menurunkan angka konsepsi di daerah IB di Indonesia. Pada peternakan rakyat, cara pemberian makanan merupakan gabungan an tara rum put lapangan dengan sisa-sisa hasil pertanian (Toeli-here dkk, 1980). Gabungan makanan tersebut di Bali dilaporkan oleh Payne dan Rollinson (1983) sebanyak 20-30 kg per hari tanpa makanan penguat. Pola tanam mempengaruhi pemberian makanan pada ternak, Darmadja (dalam Siregar, 1983) melaporkan kelahiran sapi Bali di pulau Bali yang dikaitkan dengan pola tan am padi-padi 74,66 persen, padi palawija 84,82 per sen dan palawija 86,2 persen. Pember ian palawija dapat meningkatkan angka kelahiran, karena paJawija mengandung

(43)

zat makanan terutama vitamin dan mineral. Sedangkan perusahaan-perusahaan sapi perah di Indonesia pada umumnya untuk meningkatkan produksi susu secara maksimal, mereka memberikan makanan dalam jumlah berlebihan dan tidak berimbang, dimana pemberian makanan hijauan kurang atau tidak mencukupi, padahal di dalam makanan hijauan tersebut ban yak terdapat vitamin dan mineral yang diperlukan bagi kesu-buran fungsi alat reproduksi.

Sistematik pemeriksaan fisik produksi sapi bet ina dalam menentukan fertilitas dan sterilitas, menurut Settergen (dalam Djojosoedarmo dkk, 1985) yaitu dengan melakukan pemeriksaan khusus alat reproduksi, pengambilan contoh, disamping riwayat kasus atau anamnesa. Pemerik-saan klinis khusus meliputi pemerikPemerik-saan per-rektal dan per-vaginal. Abnormalitas yang ada hubungannya dengan pengaruh Iingkungan meliputi hipofungsi ovari, hipoplasia ovari, CLP (Corpus Luteum Persisten) dan sista ovari.

(44)

Indonesia masih bersifat tradisional disertai pemberian makanan yang kurang mencukupi terutama pad a musim kemarau yang panjang dimana rum put sulit tumbuh. Petani peternak masih jarang yang menanam rum put secara khusus untuk ternaknya. Sebetulnya di daerah-daerah Indonesia bagian barat, yang mana curah hujannya tinggi lebih mudah memelihara rum put dan menyimpannya untuk persediaan pada waktu musim kemarau.

Hipoplasia ovari atau hambatan pertumbuhan ovarium, umumnya ditemukan pada sapi-sapi dara yang cukup umur, tetapi belum dewasa kelamin. Jadi kemungkinannya masih dapat diharapkan adanya perbaikan di kemudian hari, kecuali bila penyebabnya adalah faktor genetik maka prognosanya adalah infausta.

(45)

Disamping gejala anestrus dan subestrus pada sapi kemungkinan lain adalah sapi menunjukkan gejala estrus atau berahi akan tetapi tidak diamati secara cermat. Di Indonesia ternak sapi .:':. 60 per sen untuk tenaga kerja (Robinson, 1977) dan tenaga kerja ini di daerah transmigrasi merupakan fungsi utama (Siregar, 1983). Toelihere dkk (1980) melapor-kan umumnya sapi dikerjamelapor-kan di sawah dua kali dalam setahun dan dikerjakan per harinya selama 5 jam dalam beberapa hari, sehingga apabiJa sapi sedang dikerjakan gejala berahinya kurang diperhatikan. Selain sebagai tenaga kerja di sawah juga sebagai penarik pedati sewaktu mengangkut hasil panen. Jadi kesalahan tatalaksana yang ban yak dijum-pai adalah akibat kegagalan menditeksi berahi karen a sapi dibutuhkan sebagai tenaga kerja atau karena peternak tidak dapat menditeksi berahi dan mengawinkan pada sa at yang tepa t.

(46)

peternak atau inseminator, disamping ditunjang oleh faktor lingkungan dim ana pada musim hujan kasus penyakit dan prevalensi parasit menjadi meningkat.

Kasus yang lain yaitu sista ovari, kejadian ini di Jawa Barat, jawa Tengah dan Lampung rata-rata 0,7 persen (Tabel 3) dan Jawa Timur, NTB dan Bali 0,8 persen (Tabel 4). Sedangkan pada tahun 1985 di Jawa Tengah pada sapi perah 1,39 per sen dan sapi po tong 0,07 per sen (Tabel 5 dan 6) dan di Jawa Timur 0,98 per sen (Tabel 7). Sista ovari ini meru-pakan kejadian utama sebagai penyebab infertilitas pada sapi perah, dim ana biasanya lebih sering terjadi pada sapi perah yang dikandangkan secara terus menerus dan dapat menyerang semua umur, dan yang tersering adalah sapi yang pernah beranak an tara 2-5 kali. Sebab utama dari kejadian sista ovari, karen a hipofisa tidak mampu mengsekresikan LH dalam jumlah yang cukup, sehingga menghambat ovulasi dan pembentukan CL (Toelihere, 1981). Sekresi LH menurun sebagai akibat pemberian makanan yang tidak berimbang, dan terlampau berlebihan pada perusahaan perusahaan sapi perah disamping sapi yang dikandangkan secara terus menerus. Sedangkan pada sapi po tong yang dipelihara oleh para peternak di pedesaan akibat kekurangan makanan.

(47)

kurang disebabkan karena sapi-sapi jantan tersebut kekurangan makanan terutama pada musim kemarau. Perbaikan ransum makanan pada sapi-sapi jantan tersebut masih dapat diharapkan untuk memperbaiki perkem-bangan alat reproduksi dan ukuran SC.

Berdasarkan hasil survai Toelihere dkk (1980) sapi jantan yang dimiliki di Indonesia rata-rata berumur It tahun dengan libido sedang dan kebanyakan sapinya gemuk sehingga sedikit sekali yang dapat melayani

betina sekali bunting, biasanya lebih dari 5 kali baru terjadi kebuntingan.

Hal tersebut dapat disebabkan karena pengaruh Iingkungan terutama suhu yang tinggi karen a Indonesia terletak di garis khatulistiwa, Lindsay dkk. (1982) mengemukakan suhu 32,5°C telah cukup membuat terjadinya degenerasi tubuli seminiferi, sehingga menurunkan proses spermatogesis, libido dan kualitas semen. Libido yang menurun atau kehilangan nafsu seksual lebih diperlihatkan oleh sapi-sapi yang gem uk. SeIain faktor suhu lingkungan yang tinggi juga karena faktor makanan yang kurang mencu-kupi serta faktor manajemen. Faktor manajemen mungkin dalam hal

(48)

Faktor iklim, makanan, tatalaksana, penyakit dan parasit dapat menyebabkan infertilitas pada sapi di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengaruh langsung dari iklim terhadap infertilitas adalah musim dan curah hujan yang dapat mempengaruhi kelahiran pada sapl sedangkan suhu yang tinggi menyebabkan kegagalan reproduksi pada sapi betina dan sapi jantan. Pada sapi betina juga dapat menyebabkan kegagalan memperlihatkan tanda-tanda estrus (anestrus) dan lama estrus menjadi singkat, sedangkan pada sapi jantan mengganggu proses spermatogenesis, menurunkan libido dan kualitas semen.

Sedangkan pengaruh tidak langsung dari iklim terhadap infertilitas adalah terhadap pertumbuhan rum put dan timbulnya kasus pen yak it dan parasit.

Faktor makanan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan organ reproduksi, sehingga makanan dengan kualitas rendah dapat menyebabkan hipoplasia oyari pada sapi-sapi dara dan hipoplasia testes pada sapi jantan muda yang berakibat keterlambatan masa pubertas atau dewasa kelamin.

Sedangkan pengaruh tidak lang sung dari makanan terhadap inferti-litas adalah terhadap kerja dari kelenjar hipofisa, oyarium dan testes. Sehingga pada sapi betina lokal pemberian makanan yang kurang dapat menyebabkan terjadinya hipofungsi oyari dan gejala anestrus, sedangkan pada sapi jan tan menyebabkan produksi sperma dan fungsi kelenjar-kelanjar pelengkap menurun. Sebaliknya pember ian makanan yang

(49)

bihan dan tidak berimbang pada perusahaan-perusahaan sapi perah menyebabkan sista ovari.

Faktor Iingkungan yang utama adalah faktor tatalaksana karena berhubungan erat dengan peternaknya sendiri. Pengaruh lang sung dari tatalaksana yang kurang baik yaitu cara menditeksi berahi dan waktu mengawinkan yang tidak tepat.

Sedangkan faktor tatalaksana mempengaruhi fertilitas secara tidak langsung meliputi pemberian makanan yang kurang, baik jumlah maupun mutunya, estrus yang tidak diamati pada sapi yang dikerjakan, pelaksa-naan perkawinan yang tidak hygienis sehingga menyebabkan kasus eLP dan perbarahan alat reproduksi.

(50)

Campbell, R. SF. 1979. Infertility in Cattle. Refresher Course For Vet. Proceeding No. 42. The Past Graduate Committee in Vet. Science. The University of Sydney. pp. II 13-1145.

Cole and Cupps, P.T. 1969. Reproduction in Domestic Animals. Academic Press. New York and London.

Djojosoedarmo, S. 1983. Kegagalan Reproduksi dan Masalah-masalahnya Pada Sapi. Ceramah I1miah. PDHI Jawa Barat II. Bogor.

Djojosoedarmo, S., Partiman, Ismudiono. 1985. Laporan Pengelolaan Re-produksi di Yogyakarta. Pertemuan Evaluasi Pengelolaan Repro-duksi dan IB Swadaya di Ungaran. Direktorat Bina ProRepro-duksi Pe-ternakan. Direktorat Jenderal PePe-ternakan. Departemen Pertanian

Jakarta. "

Djojosoedarmo, S., Partiman, Ismudiono. 1985. Laporan Pengelolaan produksi di jawa Tengah. pertemuan Evaluasi Pengelolaan Re-produksi dan IB Swadaya 29 sid 31 Januari 1985 di Ungaran. Direktorat Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Peter-nakan Departemen Pertanian, Jakarta.

Hafez, E.S.E. 1969. Reproduction in Farm Animals. 2 nd. Ed. Lea & Febiger Philadelphia. USA.

Hardjopranoto, S., M. Nurdin, P.P. Putro. 1985. Laporan Pengelolaan Reproduksi di Jawa Timur. Pertemuan Evaluasi Pengelolaan Re-produksi dan IB Swadaya 29 sid 31 Januari 1985 di Ungar an. Direktorat Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Peter-nakan Departemen Pertanian, Jakarta.

Lindsay, D.R., K. W. Entwistle and A. Winantea. 1982. Reproduction in Domestic Livestock in Indonesia. Australian Universities Inter-national Development Program (AUIDP) and Australian - Asian Universities Co-operation Scheme (AAUCS). Australian Vice-Choncellor's Committee.

Payne, W.J.A. 1970. Cattle Production in The Tropics. Vol. 1. Longman. London. pp. 283-307.

Payne, W.J.A. and Rollinson, D.H.L. 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7; 25-29.

Partodihardjo, S. 1980. I1mu Reproduksi Hewan. Mutiara. Bandung. Robinson, D. W. 1977. Peternakan di Indonesia. Laporan Peneliatian No. 1. Colombo Plan Australia Indonesia. Pusat Penelitian & Pengembangan Peternakan Ciawi. Bogor.

Setyowati, W.E. 1984. Latar Belakang Beberapa Kausa Non Infeksious Dan Hubungannya Dengan Infertilitas Pada Sapi Betina. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(51)

Siregar, A.R. 1983. Perkembangan Sapi Bali di Daerah Transmigrasi Tu-lang Bawang Lampung Utara. Wartazoa No. 1. Vol. 1: 25-29. Sukra, Y. 1979. Pengantar Kuliah Embriologi. Departemen Zoologi

FKH-IPB. Bogor.

Toelihere, M.R., S. Partodihardjo, S. Djojosoedarmo, T.L. Yusuf, R.K. Achjadi, M. Noordin, M. Buyung T. dan I. Supriatna. 1980. Laporan Pilot Proyek Penanggulangan Penyakit Reproduksi Pada ternak Sapi di Indonesia 1979/1980. FKH-IPB &. Ditkeswan, Ditjen Peternakan.

Toelihere, M.R., K. Achjadi, S. Partodihardjo, S. Djojosoedarmo, T.L. Yusuf, M. Noordin, M. Buyung T. dan I. Supriatna. 1981. Laporan Pilot Proyek Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Ternak Sapi di Indonesia 1980/1981. FKH-IPB &. Ditkeswan, Ditjen Pe-ternakan.

Toelihere, M.R. 1981. Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi. Ed. 1. Depar-temen Reproduksi FKH-IPB.

Toelihere, M.R. 1981. Inseminasi Buatan Pada Ternak. P.T. Angkasa. Bandung.

Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada ternak. P .T. Angkasa. Bandung.

(52)

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 September 1961 di Bandung, dari keluarga Adang Djutarsa {aIm} dan Itjeu Dinarsih.

Pada tahun 1968 keluar dari Taman Kanak-kanak Delima di Ban-dung, tahun 1973 tamat dari Sekolah Dasar Negeri Nilem IV di BanBan-dung, tahun 1976 tamat dari Sekolah Menengah Pertama Negeri XIII di Bandung dan tahun 1980 tamat dari Sekolah Menengah A tas Negeri VlII di Bandung.

Melalui Proyek Perin tis II, penulis terdaftar sebagai mahasiswa persiapan pada Institut Pertanian Bogor tahun 1980 dan dilanjutkan ke Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 1981.

Pada tanggal 29 September 1984, meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Institut Pertanian Bogor.

(53)

JENIS TERNAK : SAPI PERAH TANGGAl : 24 Juli sid 10 Nopember 1984

_______________________ £'.RpPIi/SI.Jl.AJ]_LJ.A'fiA tenᄃセ@ ___________ セ@ ________________________ _

KETERANGAN BoyoloJ..L ____

!<

ャMAャセセセ@

____ . ___ .

N_セA\eAjeNAGェe@

__ . __

A\セNNイ⦅オAQY。ョyAャ⦅イ@

⦅セュ。ャGeャANャNl@

__

NiセセセNYNYセセ@

セセセxエセeャNNARY@

___

kセd、eャNNl@

___ _ )umlah ___ _

__________ . ______ fl<.9! __

セ@

_____ f!<.9! ___

セ@

_

_

. _

__

セA\ッイ@ ___ 1G ____ Ekor ⦅セセャ\ッイ@ % _ _ eォッイ⦅セ@ _____ Ekar_t!

1. Diperiks8 639 530 85 89 334 109 365

2. Bunting 326 51,02 2B1 53,01' 34 40 40 44,94 123 36,B3 40 36,70 120 32,88 3. Tidak bunting 297 46,48 227 42,83 36 42,35 42 47,19 183 54,79 69 63,30 208 56,97

4. Dubieu5 16

5. Tidak bunling normsl 245 6 Tidak bunting karena

El. Gang9uan hormonal

2,50 38,34

•. 1. elP 4 0,63

8.2. Hypofungsi

ovary 31 4,85

a.3. Cyste ovary 0,16

8.4.

b. Kelainan Anatomi

b.1. HYPODlasi

oセOオエ@ 9 1,41

b.2. Atropy Oviut 2 0,32 b.3. Aplasia Oviut 0,16 b.4.

c. Patologis

c.1. End{JfllcU'jl.h

c.2. Pyometro c.3. Vaginitis

c.4. Mummifikasi c.5.

d. lain-lain

d.1. Dystokia

d.Z. Tumor

d.3. Retens;o

d.4. Abort.us

d.5.

0,16

3 4,85

22 4,15 121 22,83

5 0,57

43 8,11 28 5,28

30 5,60

0,19

7. PenqQt;HJtun

KemlOl"JlarHn 136 21,28 176 33,21

15 17,65 22 25,88

11 12,94

2 2,35

1 ,18

25 29,"3

7 7,87 36 40,45

3 3,37

3 3,37

28 8,36 144 43,11

26 7,78

9 2,69

"

1,20

3D 33,70 101 30,2"

60 55,05

9 8,26

27 7,40 156 42,74

2 0,54

33 9,04 2 0,54

9 2,47 0,27

5 1,37

23 21,10 136 37,26

[kar % [kar %

29 2229

9 31,03 1014 45,49 14 48,28 126 48,41

6 20,68 126 5,65 12 41,38 788 35,35

2 6,89

7 24,14

9 0,40

165 7,40 31 1,39

64 2,87

3 0,13 2 0,09

9 0,40

0,04

4 0,18

663 29,74

Sumber : Ojojosoedsrmo, 198.5. Laporan Pengelolaan Reproduksi di JawS Tenguh Pertemufln Evaluasi PengelolElan Reproduksi clan 18 Swadaya di

Ungaran

[image:53.847.43.710.69.520.2]
(54)

PROPINSI OATI I JAWA TENGAH

---

---KETERANGAN Magelang Klaten Sukoharjo KaranganYClr Semarang _ _ _ _ Temanggung KodYB Semarang

Ekor ra Ekor ___ % ⦅セNYf@ % [kor % _Ekor ⦅Nセ@ ___ q\セ⦅セ@ __ セセッイ@ %

1. Diperiksa 260

2. Bunting 131

3. Tidak bunting 122

4. Dubieus 5

5. Tidak bunting normal 95 6. Tidak bunting kurena

B. Gangguan hormonal

a.1. CLP

50,38 46,38 1,92 36,54

a.2. HYDOfungsi

O\lary

8.3. Cyste ovary

0.4.

7 2,69 7 2,69

b. Kelainan Anatomi

b.1. 。セセsセャ。ウゥ@ 12 4;62

b.2. Atropy Ov/ut b.3. Aplasia Ov/ut

c. Patologis

c.1. EndomclrJtis

c.2. Pyomelra

c.3. Vaginitis

c.4. Mummifikasi

c.S. d. Lain-lain

d.1. Dystokia

d. 2. Tumor

d.3. Ratensio d.4. Abortus

d.5. 7. Penqqi)atan

Kemt:lJHlran

0,38

62 23,85 83

48 57,83 28 33,73 5 6,02 26 31,33

1,20 1,20

7 8,43

372 244 170 8 143 62,64 43,37 2,04 36,48

15 3,83 7 1,79

3 0,77

0,26

2 n,51

51 13,01 217

146 67,28 66 30,41 5 2,30 52 23,90

13 5,99

0,46

26 11,99 144

75 52,08 64 44,44 5 3,47 50 34,72

11 7,64

3 2,08

48 33,33 158

81 51,27

72 45,57 5 3,16 52 32,91

16 10,13

2 1,27

2 1,27

59 37,34 25 5 20 11 20 80 44

6 24

3 12

17 68

Kendal Ekor %

291 189 98 4 87 64,95 33,68 1,37 29,90

20 6,87

4 1,37

42 14,43

Jumlah

[kor %

1521

878 57,73 637 41,88

32 2,10 514 33,79

82 5,39 16 1,05

25 1,64 0,07

2 0,13

0,07

276 18,15

---

---

---

--

-

---

-

--- --

--

--- -

--

---

---

-

--

--- -- ---

--- --

---

---Sumt)er Djojosocdflrnlo dkk., 1985. I.flporon Pen<jelolnnn I1cprl,dukni eli :lFI\\,11 Tenquh. Pcrtermmn Evoluosj PengcloJoun ReprudukGi dl1n IB Swoc!oyo

Cl UngOl'Ufl.

'"

[image:54.846.50.719.69.500.2]
(55)

tercinta Ngkang.

(56)

S K R I P S I

oleh

TITA SARAH PONIARTI

B 17.0853

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGaR

(57)

TITA SARAH PONIARTI. DAMPAK UNGKUNGAN TERHADAP INFER-TIUT AS SAPI Dl INDONESIA. (Dibimbing oleh Drh. Soeharto Djojosoe-darmo dan Drh. Muchidin Noordin).

Kegiatan reproduksi dimulai dengan pubertas baik pada sapi betina maupun

Gambar

Gambar 1.
Tabel Halaman
Gambar 1. Mekanisrne hormonal pada sapi jantan
Gambar 2. Mekanisme hormonal pada sapi betina
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Tertentu Berkaitan Dengan Kegiatan Operasional Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, Dan

Standarisasi harga honorarium Satgas PPKS mengacu pada capaian kinerja setiap bulannya, dapat menggunakan standar harga tertinggi dari Kepwal Kota Bandung dalam halaman 3 Nomor 7

HASIL DAN PEMBAHASAN Alga epilitik yang ditemukan pada sumber air panas Rimbo Panti terdiri dari 11 jenis yang tergolong kedalam divisi Chryso- phyta dan Cyanophyta dan

2 Mendukung kegiatan pada tingkat pusat maupun daerah untuk membangun dan mengembangkan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip Ekonomi Biru. 3

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada keempat model pada table 8.3 diatas, terlihat GCG (Good Corporate Governance), profitabilitas perusahaan, dan ukuran

Pengujian bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial dengan menggunakan uji t, dimana pengujian ini membandingkan antara

Konsep warna pada perancangan bangunan SD pada dasarnya menggunakan skematik warna jingga, kuning dan hijau toska yang mendekati warna putih (pastel). Skematik

Gangguan campuran anxietas dan depresif ini mencakup pasien yang memiliki gejala kecemasan dan depresi, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk suatu gangguan