• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perda ketertiban umum di wilayah DKI Jakarta dalam perspektif Islam dan HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perda ketertiban umum di wilayah DKI Jakarta dalam perspektif Islam dan HAM"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

“ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : Arief Rahman Nim : 0045219457

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

“ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : Arief Rahman Nim : 0045219457

Di bawah Bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

(Drs. Abu Thamrin, SH.M.Hum) (Dr. Rumadi, M.Ag) NIP : 19650908 199503 1 001 NIP : 19690304 199703 1 012

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”, telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah).

Jakarta, 23 Juni 2008 Dekan,

(Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN MUNAQOSAH

1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag

(---)

NIP : 19721010 199703 1 008

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (---)

NIP : 19710215 199703 2 002

3. Pembimbing I : Drs. Abu Thamrin, SH, M.Hum (---)

NIP : 19650908 199503 1 001

4. Pembimbing II : Dr. Rumadi, M.Ag (---)

(4)

5. Penguji I : H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA (---)

NIP : 19500817 198903 1 001

6. Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag, M.H (---)

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Segala Puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, atas kekuatan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Tak ada kemampuan dalam diri penulis, kecuali semua ini karena Nikmat dan Karunia dari Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada do’a dan bantuan yang diberikan kepada penulis. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang besar-besarnya, kepada :

1. Bapak Prof Dr. H. Muhammad Amin, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Bapak Asmawi, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Kajur Jinayah Siyasah dan Sekjur Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Abu Thamrin, M.Hum dan Bpk. Dr. Rumadi, M.Ag selaku Pembimbing skripsi, yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak – Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(6)

membantu dalam pengadaan data-data yang menunjang demi terselesainya skripsi ini.

6. Kedua Orang Tua Tercinta, H. Abdul Cholik, MS dan Hj. Nur Azizah dan tak terlupakan pula Almh. Hj. Maisuri yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya yang tak terhingga kepada penulis.

7. Kepada Kakak-kakakku Elin Herlina, SH dan Heri Hermawan, ST dan adik-adikku tersayang Diana Kusumawati, Nur Faizah, Ahmad Sofwan Mulyawan dan Nurlaila.

8. Serta penulis ucapkan kepada keluarga Bapak Soemarjono dan Ibu Karminah serta keluarga Bapak Yasin dan Ibu Rohani yang telah mengizinkan tempat tinggalnya digunakan untuk berteduh serta tidak capeknya memberikan semangat dan support kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada sahabat-sahabat sekalian, Eko Hadi Prasetyo, S.Sos, Adi Syahlani, S.HI, Rio Tamara, S.HI, Faisal Anwar, S.Pd.I dan Etty Herawati, S.Pd.I serta seluruh teman-teman Jurusan Jinayah Siyasah yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang sudah bersama-sama penulis, baik dalam keadaan suka maupun duka telah memberikan dorongan, semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang melelahkan ini.

(7)

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan do’a yang ditujukan kepada penulis dengan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya yang berlipat ganda.

Peribahasa mengatakan, “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran serta masukan dari berbagai pihak demi sempurnanya tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat berguna, bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan.

23 Juni 2008 M 19 Jumadil Awal 1429 H

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………... 7

C. Tujuan Penelitian ……….. 8

D. Tinjauan Pustaka ……….. 9

E. Manfaat Yang Diharapkan……… 15

F. Metode Kajian ………. 15

G. Sistem Matika Penulisan ………... 17

BAB II : HAM, ISLAM DAN KETERTIBAN UMUM A. Konsep HAM dan Perkembangannya di Indonesia …….. 20

B. HAM dalam Sistem Perudangan di Indonesia ………….. 25

C. Negara, HAM dan Ketertiban Umum ……… 29

D. Ketertiban Umum dalam Islam……… ………. 34

BAB III : PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM : TINJAUAN TERHADAP ISI DAN IMPLEMENTASINYA A. Latar Belakang Terbitnya Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007………..………. 37

B. Telaah Terhadap Isi Perda tentang Ketertiban Umum B.1. Perda Nomor 11 Tahun 1988………. 39

B.2. Perda Nomor 8 Tahun 2007 ... 49

(9)

C. Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum ………… 63 BAB IV : PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA

DALAM TINJAUAN ISLAM DAN HAM

A. Tinjauan Islam Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta... ……….... 67 B. Tinjauan HAM Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum

di DKI Jakarta ...……….... 74 C. Solusi atas Masalah Isi dan Implementasi Tentang

Ketertibang Umum di DKI Jakarta... 82 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 86

B. Sara-saran ……….. 89

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara filosofis, salah satu tujuan dari keberadaan negara adalah melindungi hak-hak warganya dan mewujudkan serta menjaga ketertiban umum. Melalui mekanisme kontraktual, penyelenggara Negara ‘diberi’ kewenangan oleh warganya untuk membentuk aparatus negara yang bertugas melindungi hak-hak warga dan menjaga ketertiban umum. Sayangnya, di banyak negara, kewenangan untuk menjaga ketertiban umum seringkali disalahgunakan justru untuk melanggar dan menindas hak-hak warga. Dengan dalih mendahulukan kepentingan negara dan menegakkan ketertiban umum, penyelenggara Negara merasa berhak dan absah untuk melakukan penggusuran, pengusiran dan pencabutan akan hak-hak warga, termasuk hak asasi manusianya. Di sini terjadi ketidakseimbangan negara di dalam meletakkan secara proporsional kewajibannya untuk melindungi hak-hak warganya dengan kewenangannya untuk mewujudkan ketertiban umum. Padahal keduanya harus diletakkan dalam posisi yang berimbang dan proporsional. Melulu mementingkan hak warga dapat memicu anarki dan instabilitas sosial. Terlalu berpihak pada penegakan ketertiban umum rentan memunculkan tirani. Itulah sebabnya negara harus memiliki regulasi yang mengatur dua hal tersebut secara adil, berimbang dan proporsional.

(11)

Meski demikian, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau tak kunjung terselesaikan hingga kini.1 Bahkan belakangan muncul berbagai kasus baru yang terindikasi kuat merupakan bentuk pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya, seperti penggusuran, penganiayaan dan perusakan properti milik warga oleh aparat negara. Celakanya, dalam banyak kasus penggusuran, perusakan dan penganiayaan, berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara seringkali dianggap sah karena didasarkan atas berbagai peraturan yang diduga kuat bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan umumnya terbit pada era Orde Baru.

Salah satu peraturan yang sampai saat ini tidak pernah sepi dari kontroversi adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Perda yang dibuat pada masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto dan masih berlaku sampai saat ini, dinilai banyak kalangan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang telah diakomodasi dalam berbagai peraturan dan perundangan yang lebih tinggi dan berlaku sekarang ini.2 Perda 11/1988 selama ini selalu dijadikan dasar justifikasi oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan ‘penertiban’ berupa

1

Diantara kasus pelanggaran HAM yang menyita perhatian public adalah penculikan para aktivis pada era Orde Baru dan kasus Trisakti, kasus Semanggi I, Kasus Semanggi II dan kasus tewasnya aktivis HAM Munir.

2

(12)

penggusuran, pengusiran dan perusakan terhadap properti warga yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Perda.

Faktanya, dalam kurun enam tahun terakhir ini aktivitas ‘penertiban’ yang dilakukan aparat Pemda DKI Jakarta menunjukkan intensitas yang semakin tinggi, dengan dampak dan cakupan ‘korban’ yang semakin luas.3

Yang penting untuk dicatat adalah Pemerintah DKI Jakarta selalu menjadikan Perda Nomor 11 Tahun 1988 sebagai dasar hukum untuk melakukan semua aktivitas ‘penertiban’ tersebut di atas. Dengan alasan pemukiman berada di jalur hijau, pemukiman berada di bantara kali, pemukiman berada di bantaran rel kereta api, atau lahan usaha berada di taman dan trotoar, dengan serta merta Pemda DKI Jakarta merasa berwenang untuk menghilangkan hak warga untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak yang ironisnya telah diakui dan dijamin dalam berbagai peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Upaya untuk menghapus Perda ini bukan tidak dilakukan. Berbagai kalangan LSM aktif melakukan demonstrasi menuntut agar Perda 11/1988 dicabut.4 Demikian juga telah ditempuh langkah-langkah hukum, namun hasilnya masih nihil. Terakhir, setelah gugatan citizen law suit yang dilakukan oleh gabungan Urban Poor Consortium (UPC), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan LBH APIK di tolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

3

Koran Tempo, 26 Januari 2007, Data detail penggusuran dan berbagai pelanggaran hak warga lihat dokumen Forum Keprihatinan Akademisi, ibid.

4

(13)

Pusat, Mereka kemudian berupaya melakukan judicial review terhadap Perda ini ke Mahkamah Agung, yang hasilnya sampai saat ini juga juga tidak menentu.5 Perkembangan terakhir, justru menunjukkan gejala yang semakin meresahkan kalangan LSM dan warga miskin kota. Pemerintah DKI Jakarta, mulai 1 Januari 2008 resmi memberlakukan Perda Nomor 8 tahun 2007 yang merupakan penyempurnaan terhadap Perda 11 Tahun 1988. Oleh banyak kalangan Perda baru ini dianggap lebih represif dan anti rakyat miskin kota.6

Secara faktual harus diakui bahwa persoalan penegakan ketertiban melalui Perda ini adalah masalah yang rumit. Pihak Pemerintah DKI sering berargumen, sebagai Ibu Kota dan sekaligus ‘etalase’ Negara, Jakarta dituntut untuk menghadirkan suasana yang tertib, teratur, aman, sehat, bersih dan nyaman bagi warga dan tamu-tamunya. Sehingga untuk itu, regulasi yang tepat dan penegakan hukum secara konsekwen mutlak dibutuhkan. Di sisi lain, kompleksitas persoalan yang ada di Jakarta, sejak dari himpitan ekonomi sampai keterbatasan lahan membuat banyak dari warganya tidak memiliki pilihan lain selain tinggal atau mencari nafkah di lokasi-lokasi yang menurut Perda di larang. Padahal menurut Pemda DKI, jika hal ini dibiarkan terus berlangsung, Jakarta tentu akan menjadi semakin semrawut, dan bukan tidak mungkin dapat mengganggu kepentingan dan hak-hak publik yang lebih besar.7

5

Lihat di situs www.hukumonline.com, tanggal 27 Februari 2007.

6

Lihat, www.hukumonline.com, Perda Ketertiban Umum, Niat Baik yang Tidak Didukung Kemampuan, 6 januari 2008.

7

(14)

Secara filosofis, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggungjawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun militer) bahkan Negara. Jadi di dalam memenuhi dan menuntut hak, tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti pemenuhan terhadap KAM (kewajiban asasi manusia) dan TAM (Tanggungjawab Asasi Manusia) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.8 Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara hak, kewajiban dan tanggungjawab yang berlangsung secara sinergis dan berimbang. Bila ketiga unsur asasi yang melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan kehidupan pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak berjalan secara seimbang, dapat dipastikan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan kesewenang-wenangan dalam tata kehidupan umat manusia.

Di dalam Islam, hak dan kewajiban ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Tidak seorangpun manusia yang boleh dibiarkan menyisihkan

8

(15)

hak istimewa untuk dirinya sehingga terbebas dari kewajibannya. Hak dan kewajiban setiap pribadi warga Negara adalah sama. Hak seseorang terhadap yang lain adalah kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang terhadap orang lain adalah hak orang yang bersangkutan. Jika dikaitkan dengan masalah kekuasaan negara, menurut Nurcholis Madjid, dalam masyarakat secara minimal harus ditegakkan hak-hak yang tak terpisahkan dari perikehidupan yang sentosa. Yaitu, hak-hak pribadi untuk hidup dan memperoleh jaminan keamaan atas hidupnya; hak-hak pribadi untuk tidak disiksa baik fisik mapun mental; hak-hak pribadi untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair; hak-hak pribadi untuk tidak mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.9

Pelanggaran atas hak pribadi tersebut, menurut Nurcholis, akan merupakan pelanggaran hak asasi yang paling telanjang. Pelanggaran atas hak-hak itu juga merupakan penyelewengan paling gawat dari dasar dan falsafah kenegaraan. Dan karena hak-hak itu ada dalam konteks kekuasaan, maka usaha melindungi dan menegakkannya memerlukan sistem dan tatanan kekuasaan yang adil dan tidak memihak kepada kepentingan diri sendiri dan golongan. Di dalam Al Qur’an ditegaskan bahwa menjalankan kekuasaan harus dengan tujuan menegakkan keadilan, tanpa perasaan suka atau tidak suka , dan meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua maupun sanak kerabat. Quran surat Al Maidah/5:8, “Wahai sekalian orang yang beriman, jadilah kamu orang yang adil karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu kepada suatu

9

(16)

golongan membuatmu tidak adil. Tegakkanlah keadilan, itulah yang lebih dekat

kepada taqwa. Dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui

apapun yangkamu kerjakan”.

Atas dasar fakta-fakta dan pemikiran tersebut di atas, penulis merasa penting untuk mengkaji isi Perda Nomor 11 tahun 1988 (yang meskipun tidak lagi berlaku namun penting untuk dijadikan pijakan analisis karena Perda yang baru belum dapat dilihat dampak implementasinya) dan Perda Nomor 8 Tahun 1988 dilihat dari perspektif Islam dan HAM terkhusus hak-hak sipil, ekonomi dan sosial warga. Karena jika selama ini pemerintah daerah DKI Jakarta selalu berargumen bahwa Perda ini merupakan instrument hukum yang penting bagi penegakan ketertiban umum yang sesungguhnya di dalamnya juga terkandung hak publik dan hak asasi warga, maka fakta bahwa Perda ini juga selalu menjadi dasar justifikasi hukum bagi terjadinya serangkaian penggusuran, pengusiran dan perusakan warga oleh aparat Negara menunjukkan bahwa ada yang bermasalah dari isi Perda ini sendiri. Untuk itu, telaah terhadap isi (content analysis) Perda, dikaitkan dengan Islam dan berbagai produk hukum lainnya yang mengatur tentang HAM menjadi penting untuk dilakukan.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

(17)

akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan. Setiap pasal yang dimaksud akan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak atas pekerjaan.

Atas dasar pembatasan tersebut di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana isi dan implementasi Perda Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta?

2. Bagaimana isi Perda Nomor 8 tahun 2007 yang merupakan revisi atas Perda Nomor 11 tahun 1988?

3. Bagaimana tinjauan Islam terhadap isi dan impelementasi dari Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007?

4. Bagaimana isi dan kajian perda 8 tahun 2007 terhadap pasal-pasal yang akan membatasi dan/atau akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan.? C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan melakukan pengayaan wacana akademis berkaitan dengan materi ketertiban umum dalam hubungannya dengan penegakan hak asasi manusia.

Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui isi dan implementasi dari Perda 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

(18)

3. Mengetahui perspektif Islam terhadap isi dan implementasi Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan isi Perda Nomor 8 Tahun 2007.

4. Mengetahui perspektif HAM terhadap pasal-pasal yang membatasai dan/atau mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan.

D. Tinjauan Pustaka

Terdapat tiga variable utama yang akan dikaji dalam penelitian ini, yakni variable ketertiban umum yang dalam konteks ini secara konseptual-substansial dibatasi dan direpresentasikan oleh Perda 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007, variable HAM, dan variable Islam yang dikaitkan dengan HAM dan ketertiban umum. Untuk mengetahui fokus dan posisi penelitian ini, penting untuk dijelaskan konsep-konsep tersebut dengan cara mereview literatur-literatur baik berupa buku maupun hasil penelitian sebelumnya yang berkenaan dengan Perda 11/1988 dan Perda 8/2007 , ketertiban umum, HAM dan Islam.

Hasil penelusuran kami menunjukkan bahwa penelitian tentang Perda 11 tahun 1988 bukanlah yang pertama dilakukan. Pada tahun 2002, LBH APIK telah melakukan kajian terhadap Perda ini, dimana fokus kajian lebih diarahkan kepada dampak penerapan perda ini yang lebih banyak merugikan kaum perempuan dan anak-anak.10

10

(19)

Berdasarkan kajian LBH APIK, Penerapan Perda 11/1988 berupa penggusuran ternyata tidak hanya menyisakan penderitaan fisik dan kerugian material pada rakyat miskin, tapi lebih jauh lagi dampak psikologis yang dirasakan oleh perempuan dan anak memberikan trauma yang berkepanjangan yang hal ini tidak terpikirkan oleh Pemda DKI Jakarta. Trauma menghadapi kekerasan dari tingkah laku petugas Tramtib ketika menghancurkan rumah dan perkampungan membekas dalam ingatan anak-anak dan perempuan. Ditambah lagi dengan tidak diberinya kesempatan pada mereka menyelamatkan barang-barang menambah penderitaan ini. Anak-anak kehilangan kesempatan sekolah karena perlengkapan sekolahnya musnah terkubur puing-puing rumahnya, anak dan perempuan tidak mempunyai akses pelayanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi. Menurut LBH-APIK ini semua merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah melanggar konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia, Hak Anak dan Hak Perempuan.

(20)

rehabilitasi yang dilakukan Pemda juga tidak betul-betul dilakukan, dimana dana untuk panti-panti sosial dan rehabilitasi hanya sebagian kecil saja dari seluruh dana APBD. Sehingga ketika di panti rehabilitasi itu para perempuan prostitut yang terjaring operasi harusnya mendapatkan pendidikan ketrampilan serta kebutuhan hidup yang layak dan sesuai dengan keputusan berapa lama mereka harus menjalani rehabilitasi tersebut ternyata hanya mampu dilayani beberapa hari saja karena panti-panti tersebut tidak bisa menanggung biaya operasionalnya.

LBH APIK juga menemukan bahwa pelanggaran ini berkaitan dengan dialihfungsikannya fasilitas umum dan fasilitas sosial untuk pembangunan yang berorientasi pada investasi. Dan yang perlu diingat dalam pelaksanaan Perda 11/88 ini, Pemerintah DKI Jakarta hanya sebatas melaksanakan saja padahal kalau memang ada niat baik dari Pemerintah harus ada penyediaan layanan umum dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Tapi itu tidak dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta.

Pada variable Islam dan HAM terdapat cukup banyak literatur baik berupa buku maupun hasil riset yang dapat dijadikan titik pijak dan alat bantu peneliti dalam mengkaji tema penelitian ini. Literatur dalam bentuk buku yang mengulas tentang Islam dan HAM antara lain buku Tengku Muhammad Hasbie As Shiddiqi yang berjudul, Islam dan HAM.11 Bukan hanya memberikan tinjauan filosofis seputar posisi HAM dalam perspektif Islam, buku ini juga mengutip nilai-nlai dasar HAM yang telah diletakkan oleh Nabi. Buku ini juga mengulas

11

(21)

komponen HAM yang dicantumkan di dalam Deklarasi Cairo yang kemudian sering dijadikan dasar oleh kalangan masyarakat Muslim untuk menyatakan bahwa Islam bukan hanya kompatibel dengan HAM, bahkan memberi perhatian yang sangat besar kepada HAM. Hal itu ditunjukkan dengan justifikasi ayat-ayat al Quran yang terkait dengan HAM di dalam Deklarasi ini.

Buku-buku lain yang membahas tentang Islam dan HAM antara lain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang merupakan terjemahan karya Abu A’la Al Maududi, buku Islam dan HAM karya Tengku Muhammad hasby As Shiddiqy, buku Hak Asasi Manusia dalam Islam karya Harun Nasution dan Bahtiar Effendi, dan lain-lain.

Selain buku-buku, literatur tentang HAM dan Islam dalam bentuk makalah atau artikel yang merupakan hasil riset juga cukup banyak tersedia. Misalnya hasil riset Ahmad Ali Nurdin yang berjudul Islam dan HAM. Makalah ini berusaha menelaah dua isu pokok. Pertama, kontroversi apakah HAM harus dipahami sebagai prinsip universal yang bisa diterapkan bagi seluruh umat manusia atau hanya dipandang sebagai nilai esensial yang dibentuk oleh suatu negara yang hanya berlaku bagi negara tertentu. Kedua, hubungan Universal Declaration of Human Rights di satu sisi dan nilai-nilai universal Islam di sisi lain, adakah kontradiksi atau konflik nilai di dalamnya.

(22)

Nurdin menyebutnya sebagai kelompok old-traditionalist dan new-traditionalist, sementara Bielefeldt menyebut mereka sebagai kelompok konservatif dan liberal. Kelompok konservatif menolak untuk memaksakan standar Barat diterapkan pada masalah-masalah publik masyarakat Muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam masyarakat Islam telah diatur secara jelas oleh norma agama. Bagi kelompok ini, universalitas HAM yang dipromosikan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Muslim.

Meskipun demikian, kelompok ini tidak serta-merta menolak seluruh konsep tentang HAM yang ditawarkan Barat, mereka menawarkan solusi dengan penekanan pada perlunya masyarakat Islam merumuskan konsep HAM dengan

framework yang islami.

(23)

dikembangkan PBB. Ide-ide Al Quran tentang tingginya martabat manusia, perlunya solidaritas kemanusiaan bahkan tidak adanya pemaksaan dalam beragama menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai HAM.

Menurut Nurdin, sampai sekarang, kontroversi antara kaum konservatif dan liberal Muslim tentang hubungan antara Islam dan HAM masih belum berakhir. Namun, untuk menyinergikan dan membangun suatu konsep tentang HAM dengan framework islami, seperti ditekankan kaum konservatif, masyarakat Muslim telah berhasil menyusun dua deklarasi tentang HAM: The Universal Islamic Declaration of Human Rights yang dirumuskan oleh Islamic-Council

Eropa pada tahun 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam pada Agustus 1991 sebagai acuan HAM dalam Islam.12

Berdasarkan penelusuran sementara terhadap literatur yang tersedia terlihat bahwa pengkajian terhadap Perda Nomor 8 Tahun 1988 meskipun telah pernah dilakukan sebelumnya, namun kajian tersebut –meskipun juga menyinggung HAM- masih dalam kacamata yang sangat spesifik pada aspek HAM perempuan dan anak-anak. Demikian pula, kajian tentang Islam dan HAM juga telah banyak dilakukan oleh para Ahli, namun mengaitkan Islam dan HAM denan ketertiban umum yang secara praktis sering memicu terjadinya benturan

12

(24)

nilai, belum –atau belum banyak- di kaji orang. Untuk mengisi ‘kekosongan’ itulah fokus kajian penelitian ini diarahkan.

E. Manfaat Yang Diharapkan

Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi positif dalam pengembangan wacana bidang ketertiban umum dan HAM. Secara lebih spesifik, penelitian ini mempunyai dua manfaat berikut :

1. Manfaat Akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan berkontribusi menambah khazanah ilmu dalam lapangan hukum, khususnya hukum Islam dan hukum Hak Asasi Manusia berkait dengan penegakan ketertiban umum oleh Negara.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan DPRD dalam rangka revisi dan penyempurnaan terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007 yang saat ini sedang menjalani proses evaluasi di Kementerian dalam Negeri.

F. Metode Kajian

1. Sifat dan Pendekatan

(25)

berlaku, dalam konteks ini dibatasai pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif.13

2. Pengumpulan Data

Data di dalam kajian ini terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan dokumen-dokumen pokok yang akan dijadikan objek kajian, yang meliputi; Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Sedangkan data sekunder merupakan data-data pendukung yang terkait dengan tema kajian, baik pada tataran teoritis, maupun data-data praktis berupa fakta-fakta dari implementasi Perda Nomor 11 tahun 1988. Data sekunder berupa buku-buku, laporan penelitian, pemberitaan di koran dan majalah, artikel serta dokumen-dokumen lain yang relevan. Pengumpulan data, baik primer maupun sekunder dilakukan melalui studi dokumen

3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa menggunakan content analysis. Teknik ini ini diawali dengan mengkompilasi dan menelaah berbagai perspektif Islam tentang HAM dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 serta Undang-undang Nomor 12 tahun

13

(26)

2005, yang akan digunakan sebagai dasar untuk menganalisa Perda 11 tahun 1988. Selanjutnya dari kumpulan perundang-undangan tersebut dikaji konten isi-nya, baik terkait kata-kata (words), makna (meanings), simbol, ide, tema-tema dan pelbagai pesan lainnya yang disampaikan oleh perundang-undangan dimaksud.

Unit analisa perundang-undangan mencakup beberapa aspek penting, yaitu hak mendapat penghidupan yang layak, hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan serta hak atas kebebasan pribadi (UUD 1945 dan UU Nomor 39 tahun 1999). Berdasarkan mesing-masing aspek tersebut Perda 11 Tahun 1988 kemudian ditelaah, dikritisi, dikomparasi, diuji, dan disimpulkan berdasarkan karakteristik term masing-masing teks perundang-undangan.14

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan, penulisan hasil penelitian ini akan disistematisasi dalam lima bab dengan sistematika bahasan sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan

Bab ini membahas latar belakang masalah, pembatasan dan pertanyaan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan.

Bab II : Islam, HAM dan Ketertiban Umum

14

(27)

Bab ini akan membahas teori-teori tentang hak asasi manusia, hak asasi manusia dalam sistem perundangan di Indonesia dan peran negara terhadap penegakan HAM dan ketertiban umum dan perspektif Islam ketertiban umum.

Bab III : Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007: Tinjauan Terhadap Isi dan Implementasinya

Di dalam bab ini akan dibahas tiga sub tema. Pertama-tama akan diulas latar belakang munculnya Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007 berikut kondisi sosial Jakarta yang turut melatari terbitnya Perda ini. Selanjutnya ditelaah isi Perda berikut implementasinya. Bab IV: Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 dalam

Tinjauan Islam dan HAM

Bab ini akan membahas Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 dalam perspektif Islam dan HAM. Perspektif HAM yang akan digunakan adalah Undang-undang yang merupakan ratifikasi terhadap dua kovenan internasional, yakni; Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dan mengkaji pasal-pasal pada perda no 8 tahun 2007 yang akan membatasai dan/atau akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan.

(28)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menyimpulkan hasil penelitian dan merumuskan sejumlah saran bagi perbaikan ke depan.

(29)

HAM, ISLAM DAN KETERTIBAN UMUM

A. Konsep Ham Dan Perkembangannya Di Indonesia

Apa yang disebut hak-hak asasi manusia adalah konsep yang mempunyai riwayat yang panjang, terolah dan tersempurnakan dalam sejarah sosial politik bangsa-bangsa di dunia. Jika kini konsep dan masalah-masalah HAM telah menjadi wacana global, harus diakui bahwa menilik riwayatnya, konsep ini berkecambah dan berkembang di negara-negara barat.

Secara konseptual, HAM didefinisikan secara beragam. Menurut Jan Matterson, sebagaimana dikutip Baharudin Lopa, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.15 Menurut John Locke, seperti terdapat dalam buku Masyhur Effendi, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati, yang karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia dapat mencabutnya.16 Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 1 disebutkan bahwa, “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hokum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

15

Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994, hal. 17

(30)

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto HAM -lebih tepat disebut hak-hak manusia (human rights)17 saja- adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan ‘universal’ karena hak-hak itu dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaannya. Sementara dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena hak-hak itu dimiliki siapapun manusia karena kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian suatu organisasi atau kekuasaan manapun. Karena dikatakan ‘melekat’ inilah, maka hak-hak ini tidak sesaatpun dapat dicabut atau dirampas.18

Menurut Soetandjo, pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan – secara moral maupun demi hukum - kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia. Berabad-abad lamanya manusia dalam jumlah missal hidup tanpa pengakuan atas hak-haknya. Jutaan manusia dalam sejarah hidup dalam kedudukannya yang rendah sebagai hamba-hamba. Banyak pula yang harus hidup sebagai tawanan yang dapat diperjual belikan oleh para majikannya. Dalam keadaan seperti itu, berabad-abad lamanya

17

Sebelum istilah ‘human rights’ pada mulanya Barat menggunakan istilah ‘right of man’ yang menggantikan istilah ‘natural right’. Istilah ‘right of man’ ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi ‘right of woman’. Karenanya istilah itu kemudian diganti oleh Eleanor Roosevelt dengan istilah ‘human rights’ yang dipandang lebih netral dan universal.

18

(31)

manusia dalam jumlah massal harus hidup dalam kondisi yang amat tak bermartabat, tak mempunyai harta milik sebagai bekal hidup yang layak, dan bahkan tidak memiliki diri dan kepribadiannya sendiri.19

Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa cirri pokok dari HAM, yakni; 1). HAM tidak data diberikan, dibeli maupun diwarisi. HAM merupakan bagian dari manusia secara otomatis; 2). HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik dan asal-usul sosial dan bangsa; 3). HAM tidak bias dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.

Bagir Manan membagi perkembangan pemahaman HAM di Indonesia dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode paska kemerdekaan. Pemikiran HAM pra-kemerdekaan mulai bersemai dalam organisasi-organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Syarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia dan perdebatan dalam BPUPKI. Pada masa ini, pemikiran tentang HAM di dominasi oleh gagasan-gagasan tentang hak untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of selfdetermination), hak untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial, hak sosial untuk mengakses alat produksi,

19

(32)

hak mendapatkan perlakuan yang sama dan kemerdekaan, hak persamaan dimuka hukum dan hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.20

Setelah merdeka, pada masa-masa awal kemerdekaan gagasan tentang HAM masih lebih terfokus pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik, serta hak untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pada masa ini, pemikiran tentang HAM telah mendapatkan legitimasi formal dalam UUD 1945. Pemikiran tentang HAM semakin berkembang ketika demokrasi parlementer diterapkan pada 1950-1959. Dalam istilah Bagir Manan, pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang diikuti dengan kebijakan restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan politik warga, HAM layu dengan seketika sampai masa kekuasaan Soekarno berakhir pada 1966 dan lahirnya Orde Baru.21

Pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru, muncul gejala di kalangan parlemen untuk kembali menyuburkan pemikirn tentang HAM. MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban warga negara. Namun niat ini tidak pernah tercapai. Seiring dengan semakin kuatnya konsolidasi kekuasaan oleh Soeharto, atas nama stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, pemerintah sejak awal tahun 1970-an mulai menerapkan kebijakan yang bersifat defensive dan represif yang dicerminkan oleh produk hukum yang umumnya

20

Lebih lengkap lihat Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2001.

21

(33)

restriktif terhadap HAM. Meski demikian, dalam situasi yang restriktif, pemikiran tentang HAM justru tumbuh subur di kalangan LSM dan akademisi yang terus bergerak membentuk jejaring dan lobi-lobi internasional.22

Upaya yang dilakukan oleh kalangan LSM dan akademisi mulai menampakkan hasil pada periode 1990-an ketika pemerintah mulai menggeser kebijakan yang defensive dan represif terhadap HAM menjadi kebijakan yang lebih akomodatif terhadap tuntutan penegakan HAM. Bentuk paling nyata sikap akomodatif pemerintah adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasar Kepres Nomor 50 tahun 1993. Meski upaya penegakan HAM pada masa ini oleh banyak pihak dinilai masih setengah hati, namun hal penting yang patut dicatat menurut Manan adalah sikap akomodatif pemerintah terhadap HAM juga menggeser paradigma pemerintah terhadap HAM yang partikularistik menjadi universalistik.

Berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 memberi dampak yang besar pada upaya pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Era keterbukaan telah memungkinkan berbagai elemen bangsa untuk melakukan pengkajian terhadap berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Untuk selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Masa pemerintahan Habibie merupakan periode awal yang cukup siginifikan bagi perkembangan dan pemajuan HAM di Indonesia. Pada masa ini, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM disahkan, dan sejumlah konvensi tentang

22

(34)

HAM diratifikasi, antara lain; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU Nomor 5 Tahun 1998; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan UU Nomor 29 Tahun 1998; Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan untuk Berorganisasi dengan Kepres Nomor 83 tahun 1998; dan lain-lain.23 Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling progresif menerbitkan berbagai peraturan perundangan dan meratifikasi konvensi tentang HAM. Dikukuhkannya Makarim Wibisono sebagai Ketua Komisi HAM PBB beberapa waktu lalu menunjukkan pengakuan dunia akan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menegakkan HAM.

B. Ham Dalam Sistem Perundangan Di Indonesia

Secara legal formal, dalam kurun satu dasawarsa terakhir, Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam hal legalisasi berbagai peraturan dan perundangan yang terkait dengan penegakan HAM. Hal tersebut tidak lepas dari akibat pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 yang dengan cepat membangkitkan kesadaran berbagai kalangan masyarakat akan pentingnya penegakan HAM melalui berbagai regulasi. Euforia reformasi dan tekanan politik yang kuat dari berbagai elemen pro-demokrasi mencatatkan masa-masa awal era reformasi pada 1998-1999 sebagai saat paling penting dalam perkembangan legalisasi HAM di Indonesia. Pada kurun ini dihasilkan berbagai produk perundang-undangan yang mengadopsi ataupun meratifikasi instrument

23

(35)

HAM internasional dalam berbagai UU, TAP MPR, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden.

Beberapa produk perundangan tentang HAM yang dihasilkan pada masa ini antara lain; TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional; UU Nomor 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan dan Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat; UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat; UU Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU Nomor 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi; UU Nomor 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan yang paling penting adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dilanjutkan dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.24

Selain di tingkat TAP MPR dan Undang-undang, regulasi tentang HAM juga telah diakomodasi dalam berbagai Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden. Misalnya; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM; Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrument hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-bangsa serta tindak lanjutnya; Kepres Nomor 31 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar; dan

(36)

Kepres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan.25

Terakhir, melalui UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005, Indonesia meratifikasi dua kovenan penting tentang HAM. UU Nomor 11 tahun 2005 meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut di atas, maka Indonesia telah melengkapi penerimaan atas Undang-undang Internasional Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan sebelumnya. Karenanya, Indonesia perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi dari ketiga undang-undang tersebut di atas, terutama isi yang terdapat di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Komitmen yang kuat tersebut, tidak hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut.

Penegakan hukum dan pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut, merupakan arti penting dari ratifikasi dua kovenan HAM tersebut. Pembenahan hukum juga diartikan sebagai menyesuaikan atau mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yang telah mengatur mengenai HAM, mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan di bawah nya, dengan kovenan-kovenan tersebut.26

25

Ibid, hal. 69

26

(37)

Ada beberapa poin penting yang secara mutatis terdapat dalam kedua kovenan tersebut dan hak-hak khusus dalam bidang sipil dan politik, serta ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu; Pertama, kewajiban pihak negara untuk mengambil langkah-langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang diakui dalam kovenan, memastikan pelaksanaan hak-hak-hak-hak itu tanpa diskriminasi apapun yang berkenaan dengan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, pandangan politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya; Kedua. Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan; Ketiga, Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam Kovenan ini.

(38)

atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya bunyi pasal 11.

Kelima, Khusus di bidang, ekonomi, sosial, dan budaya, setiap manusia dijamin haknya atas pekerjaan, pasal 6. Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, pasal 7. Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh, pasal 8. Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial, pasal 9. Hak atas perlindungan dan bantuan seluas mungkin bagi keluarga, ibu, dan anak, dan orang muda, pasal 10. Hak atas standar hidup yang memadai, pasal 11. Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai, pasal 12. Hak atas pendidikan, pasal 13 dan 14. Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya, pasal 15.27

C. Negara, Ham Dan Ketertiban Umum

Mendiskusikan peran negara dalam penegakan HAM dan ketertiban umum harus kembali pada perdebatan seputar posisi dan hakikat hubungan kekuasaan dengan warga negaranya. Teori dan filsafat tentang terbentuknya negara sebagai pihak yang menerima delegasi wewenang dari rakyat untuk mengatur kehidupan masyarakat dan sekaligus juga kewajiban untuk menjamin dan melindungi hak-haknya dapat dijadikan pijakan untuk memahami persoalan ini.

Konsep tentang hubungan negara, HAM dan ketertiban umum berkembang tatkala sejumlah pemikir Eropa Barat yang tercerahkan pada paruh kedua abad 18 mulai mempertanyakan keabsahan kekuasaan dan monarkhi yang absolut berikut wawasan tradisionalnya amat diskriminatif dan memperbudak.

27

(39)

Ketika gagasan-gagasan baru tersebut semakin berpengaruh luas dan menguat, cita-cita kebebasan dan egalitarianisme menjadi tak terbendung lagi. Komunitas-komunitas warga sebangsa diorganisir dalam wujud institusi politik baru yang memproklamasikan diri sebagai negara republik yang demokratik. Di dalam sistem kenegaraan yang baru, rakyat dapat berartikulasi untuk menuntut pengakuan atas statusnya yang baru sebagai warga pengemban hak kodrati, atas dasar gagasan bahwa kekuasaan kolektif mereka adalah sesungguhnya suara Tuhan. Vox populi, vox dei. Penguasa tidak lagi memiliki kekuasaan tak terbatas yang diklaim sebagai representasi kekuasaan Tuhan, melainkan dibatasi oleh dan berdasarkan perjanjian dengan rakyat. Inilah yang oleh Rousseau disebut sebagai kontrak sosial. Di dalam kontrak sosial itu, apparatur negara menerima delegasi wewenang rakyat untuk mengatrur dan menciptakan ketertiban diantara warga masyarakat, termasuk menjatuhkan punishment kepada warga yang melanggar perjanjian bersama dan pada saat bersamaan juga berkewajiban melindungi hak-hak warganya tanpa terkecuali.28

Berdasarkan paradigma ini, menjadi jelas negaralah yang bertanggungjawab menjaga dan menjamin HAM setiap warga terpenuhi. Bukan hanya menjaga, negara juga mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk menegakkan (respection), memajukan (promotion), melindungi (protection), dan memenuhi (fulfill) HAM. Itulah sebabnya adalah kewajiban negara juga untuk memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan HAM bagi rakyatnya. Negara yang tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM berarti negara telah

28

(40)

mengabaikan amanat rakyat. Oleh karena itu, deklarasi PBB tentang HAM yang dikenal dengan Piagam HAM Dunia, Beberapa Kovenan, Hukum Perjanjian Internasional, Piagam Madinah, Deklarasi Kairo dan sebagainya harus diletakkan sebagai norma hukum internasional yang mengatur bagaimana negara-negara di dunia menjamin hak-hak individualnya.

Dalam perkembangan pengkajian tentang HAM, dikenal dua jenis HAM, yakni hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun ( non-derogable rights) dan hak asasi yang dapat dibatasi oleh negara dengan alasan dan tujuan tertentu.

Di dalam konstitusi kita, hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (derogable rights) diatur dalam pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999. Hak-hak tersebut adalah; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.29

Terkait dengan hak yang tidak termasuk dalam non-derogable rights, konstitusi kita menyatakan diperbolehkannya pembatasan dan pengurangan hak-hak dalam kondisi tertentu. Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 Perubahan Kedua Pasal 28 J yang menyatakan :

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang engan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

29

(41)

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Lebih lanjut, UU Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa kebebasan dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.30 Lebih terperinci, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya menetapkan beberapa klausul pembatasan terhadap HAM sebagai berikut; diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/ordre public), kesehatan publik (public health), moral publik (public moral), keamanan nasional (national security) dan keamanan publik (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and reputations of others), serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties) yang berkaitan dengan pembatasan terhadap Pers dan publik pada pengadilan (restriction on public trial).31

Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik diterjemahkan secara lebih detil di dalam Prinsip-prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua

30

Ibid, pasal 73.

31

(42)

klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait, artinya pembatasan hak tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.32

Di dalam berbagai peraturan perudangan tersebut di atas, disebutkan bahwa salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar oleh negara untuk melakukan pembatasan dan pengurangan hak adalah pertimbangan untuk menjamin ketertiban umum (public order). Berdasarkan siracusa principles –sebagaimana dikutip dalam laporan Kajian Komnas HAM-, dinyatakan bahwa ungkapan ketertiban umum (public order/ordre public) yang digunakan dalam kovenan (hak sipil dan politik) harus diartikan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau serangkaian prinsip-prinsip mendasar yang mendari berdirinya masyarakat. Penghormatan hak asasi merupakan bagian dari ketertiban umum (public order/ordre public).

Siracusa principles juga menyatakan bahwa organ negara atau agen negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dkontrol dalam pelaksanaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badan-badan yang kompeten lainnya. Selain itu, ketertiban umum harus ditafsirkan dalam konteks maksud dari hak asasi manusia tertentu yang dibatasi berdasarkan

32

(43)

ketertiban umum tersebut. Dengan demikian, pembatasan hak yang didasarkan atas alasan ketertiban umum harus dilihat kasus perkasus.33

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut datas, kajian Komnas HAM menyimpulkan bahwa pembatasan hak tertentu yang didasarkan pada alasan ketertiban umum haruslah sesuai dengan persyaratan ketertiban untuk kasus-kasus khusus. Hal itu hanya dapat dibenarkan dalam situasi atau tindakan seseorang yang merupakan ancaman yang cukup serius terhadap ketertiban umum. Oleh karena itu, kontrol dari badan mandiri, apakah itu lembaga politik (parlemen), badan peradilan (pengadilan) atau badan apapun lainya amatlah penting.34

D. Ketertiban Umum Dalam Islam

Islam sangat menghargai dan menganjurkan terciptanya suasana tertib dan stabil, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun ekonomi. Tugas utama seorang pemimpin, di dalam banyak literatur keislaman adalah hirasat al- di’n wa siyasat al-dunya (melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial-politik), menunjukkan bahwa Islam menaruh perhatian yang besar bagi terciptanya tata kehidupan yang tertib dan stabil.35 Kekacauan sosial, instabilitas politik dan kesemerawutan tata kehidupan sangat tidak dikehendaki didalam Islam.36 Ketertiban umum merupakan bagian dari –apa yang di dalam Islam dikenal sebagai konsep al-maslahah al-‘ammah (kemaslahatan umum).

(44)

Secara etimologi, maslahah berarti manfaat, kemanfaatan atau pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologis maslahah berarti mengambil manfaat dan menolak mudlarat untuk memelihara tujuan-tujuan syari’at. Ditinjau dari materinya, maslahat terbagi dalam dua jenis, yakni al-maslahah al-amah (kemaslahatan umum) dan al-maslahah al-kh’assah/al-maslahah al-ainiyah (kemaslahatan pribadi). Menurut KH. Ali Yafie, mengutip Imam Ar Rafi’i, al-maslahah al-‘ammah adalah urusan umum yang menyangkut kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya urusan agama dan dunia dalam kehidupan kita, di antara al-maslahah al-‘ammah adalah mencegah kemelaratan orang banyak (kaum muslim), menciptakan lapangan kerja untuk mewujudkan mata pencaharian bagi anggota-anggota masyarakat, menegakkan kontrol sosial melalui amar ma'ruf nahi mungkar, mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan penyebaran buku-buku.37

Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan umum secara bersamaan tanpa harus ada yang dikorbankan. Namun demikian di saat terjadi pertentangan antara kepentingan pribadi dan umum maka yang didahulukan adalah kemaslahatan umum, dengan catatan, kemaslahatan umum tetap harus selaras dengan tujuan dari syariat itu sendiri, yakni terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al-dharuriyat al-khamsah) yang meliputi; keselamatan jiwa (hifdzu al-nafs), keselamatan akal (hifdzu al-aql), keselamatan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan harta benda (hifdzu al-maal), dan keselamatan agama (hifdzu al-din).

37

(45)
(46)

BAB III

PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA: TINJAUAN TERHADAP ISI DAN IMPLEMENTASINYA

A. Latar Belakang Terbitnya Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007

Secara makro, terbitnya Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang kemudian disempurnakan menjadi Perda Nomor 8 Tahun 2007 tidak terlepas dari penerapan ideologi developmentalisme sebagai strategi pembangunan yang dipilih oleh rezim Orde Baru. Ideologi developmentalisme menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur utama keberhasilan pembangunan. Demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah giat berhutang ataupun mengundang investor untuk mendanai proyek-proyek dan pembukaan usaha berskala besar. Dalam konteks kota Jakarta, program pembangunan kota yang dilaksanakan sejak Orde Baru lebih memprioritaskan pada industrialisasi, dimana implementasinya adalah pembangunan proyek-proyek besar seperti real estate, lapangan golf, pabrik, waduk, mal, jalan tol dan jalan layang susun tiga (triple decker), gedung-gedung bertingkat dan sebagainya.

(47)

kemudian menjadikan perumahan, tanah dan lainnya semakin mahal. Padahal, implementasi proyek-proyek besar di suatu kawasan seharusnya tidak akan menciptakan orang miskin baru jika kompensasi yang diberikan cukup memadai dan ada syarat bagi pemilik proyek disamping dari Pemda sendiri untuk turut andil dalam menyiapkan lokasi pengganti serta tidak menggunakan security approach dalam menangani dan mendekati masyarakat yang tergusur.

Masyarakat miskin yang semakin bertambah dan urbanisasi yang tak terkendali di satu sisi, terbatasnya lapangan pekerjaan dan sempitnya lahan di sisi lain membuat berbagai permasalahan sosial ekonomi di Jakarta seperti pengangguran, kejahatan, pemukiman liar dan berbagai gangguan keamanan dan ketertiban umum juga menjadi semakin meningkat.38

Untuk mengatasi permasalahan kota Jakarta tersebut, Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta mengeluarkan sejumlah kebijakan yang selanjutnya dituangkan dalam perda, seperti kebijakan ekonomi, sosial, budaya, politik, penataan kota, pendirian bangunan, pengolahan limbah, perburuhan dan lain sebagainya. Itu semua dimaksudkan untuk menciptakan Jakarta yang tertib, indah, aman, nyaman dan bersahabat. Dalam konteks inilah, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di wilayah DKI Jakarta dibuat dan diberlakukan.

38

(48)

Perkembangan kota yang semakin pesat berjalan seiring dengan berbagai problematika sosial yang mengikutinya. Atas dasar pemikiran tersebut, Pemerintah DKI Jakarta menganggap bahwa Perda Nomor 11 Tahun 1988 tidak lagi mampu mengakomodasi dan merespon berbagai persoalan sosial yang berkembang, sehingga membutuhkan penyesuaian. Maka revisi terhadap Perda 11 Tahun 1988 dilakukan dan kemudian muncullah Perda Nomor 8 Tahun 2007.

Namun demikian, meski tujuan dari pemberlakuan perda ini dalam rangka mewujudkan tata kehidupan kota Jakarta yang tertib dan melindungi seluruh warga kota dan prasarana kota beserta kelengkapannya, dalam praktiknya objek dari perda ini bukanlah seluruh warga Jakarta, melainkan kaum miskin kota dan masyarakat yang termarjinalkan seperti gelandangan, pengemis, asongan, pak ogah, joki three in one, becak, PKL, WTS dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya. Dilihat dari prioritas sasarannya, perda ini sepertinya menjadikan rakyat miskin sebagai sumber terjadinya pelanggaran hukum dan menghalangi ketertiban umum kota Jakarta.

B. Telaah Terhadap Isi Perda Tentang Ketertiban Umum B.1. Perda Nomor 11 Tahun 1988

(49)

Jakarta, terutama pada aspek ketertiban dan kebersihan. Di dalam konsideran perda tersebut disebutkan, tujuan diterbitkannya Perda ini adalah dalam rangka mewujudkan kota Jakarta yang tertib, teratur, nyaman dan tenteram, serta untuk menumbuhkan rasa disiplin diri dan berperilaku tertib setiap warga kota.39 Namun demikian, meski tujuan diterbitkannya Perda untuk mewujudkan rasa aman, nyaman dan tenteram bagi warga, faktanya Perda ini justru oleh sebagian besar warga miskin Jakarta justru dianggap ancaman bagi keamanan, dan pengusik kenyamanan dan ketentraman mereka dalam menjalani kehidupan di Jakarta. Di dalam sub bab ini akan dipaparkan isi dari Perda Nomor 11 Tahun 1988 bab demi bab yang diikuti dengan analisa terhadap pasal-pasal dari perda tersebut di atas.

Bab I dari Perda 11 Tahun 1988 terdiri dari 1 pasal yang mengatur tentang ketentuan umum terkait dengan definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan di dalam perda tersebut. Di dalam bab ini antara lain didefinisikan konsep; Daerah, Pemerintah Daerah, Gubernur Kepala Daerah, Ketertiban Umum, Kepentingan Dinas, Jalan, Jalur Hijau, Taman dan Badan. Dalam kaitannya dengan pembahasan kajian ini, penting untuk dikemukakan definisi Perda tentang ketertiban umum, yakni “suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib, teratur, nyaman dan tentram”.40

Di dalam bab ini, terdapat dua konsep terkait dengan ketertiban umum yang tidak memiliki definisi yang jelas, yakni konsep kepentingan umum dan konsep jalur hijau. Di dalam perda ini, kepentingan umum selalu dijadikan dasar untuk melarang sesuatu aktivitas atau memberikan perkecualian bagi berbagai

39

Lihat, konsideran menimbang pada Perda 11 Tahun 1988.

40

(50)

larangan. Meski demikian Perda ini tidak mendefinisikan secara spesifik apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Tafsir terhadap kepentingan umum selama ini menjadi hak mutlak pemerintah daerah, sehingga dalam praktiknya, istilah kepentingan umum justru banyak digunakan untuk menindas kelompok yang lemah dan terpinggirkan secara sosial, ekonomi dan politik, untuk kepentingan segelintir elit. Seyogyanya, kepentingan umum didefinisikan secara lebih jelas dengan memasukkan kepentingan mayoritas rakyat miskin dan kelompok-kelompok marjinal perkotaan. Istilah kedua yang tidak jelas definisinya adalah jalur hijau. Definisi dari jalur hijau harus jelas dan menyebutkan kawasan apa saja yang termasuk dalam jalur hijau serta mempertimbangkan aksesibilitas rakyat miskin terhadap pembangunan kota.

Bab II tentang Tertib Jalan dan Angkutan Jalan Raya. Bab ini terdiri atas 6 pasal (pasal 2-7). Di dalam bab ini antara lain diatur kewajiban pengguna jalan baik pejalan kaki maupun angkutan umum untuk mematuhi ketentuan penggunaan jalan (pasal 2) dan larangan bagi pengguna jalan yang dapat mengganggu ketertiban penggunaan jalan raya (pasal 3 sampai 6). Di dalam bab ini juga ditegaskan larangan bagi siapapun untuk bertempat tinggal atau tidur di jalan, di atas atau di bawah jembatan dan jembatan penyeberangan, kecuali untuk kepentingan dinas (pasal 7).

(51)

hilangnya pembatas ruas jalan, terbatasnya halte pemberhentian bis, beralih fungsinya trotoar, halte dan ruas jalan yang hal tersebut di diamkan oleh aparat, bahkan dijadikan sumber pendapatan restribusi dan membuka peluang adanya praktek pungli. Terkait dengan pasal 7, konsekuensi dari Pemda terhadap pelaksanaan pasal ini adalah Pemda harus menjamin tersedianya tempat alternatif (perumahan dan lahan usaha), sarana prasarana bagi korban penggusuran berikut kompensasinya. Dalam pasal ini, Pemda DKI tidak memberikan alternatif tempat dan tidak mengatur sarana dan prasarana bagi korban penggusuran, juga kompensasi bagi korban penggusuran. Kepentingan Dinas selalu dijadikan alasan, sehingga memungkinkan terjadinya praktek Pungli jika ada masyarakat yang terpaksa melakukan seperti apa yang disebutkan dalam pasal 7.

Bab III mengatur tentang Tertib jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum. Yang dimaksud dengan jalur hijau adalah setiap jalur yang terbuka sesuai dengan rencana kota, sedangkan taman adalah jalur hijau yang dipergunakan dan diolah untuk pertamanan. Di dalam bab yang hanya terdiri dari 1 pasal ini antara lain ditegaskan larangan warga untuk memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang tidak secara khusus diperuntukkan bagi umum. Selain itu di dalam bab ini juga dicantumkan larangan setiap warga untuk bertempat tinggal dan merusak jalur hijau dan taman-taman (pasal 8).

(52)

dalam akuarium’, yang hanya bisa dipandangi saja oleh masyarakat. Jika benar-benar Pemda DKI ingin melaksanakan Perda ini, sebelum pemberlakuan, sarana dan prasarana (struktur maupun infrastruktur) dari Pemda sendiri harus sudah dibentuk dan dipersiapkan. Karena jika Perda ini dilaksanakan dengan sepenuhnya, justru akan menyebabkan konflik horizontal antar masyarakat sendiri.

Bab IV mengatur tentang Tertib Sungai, Saluran Kolam dan Lepas Pantai. Terdiri atas lima pasal (pasal 9-13). Di dalam bab ini antara lain diatur larangan bagi setiap orang untuk bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di pinggirkali dan saluran (pasal 9). Bukan hanya dilarang untuk tinggal di bantaran sungai, setiap warga juga dilarang untuk mandi, membersihkan angota badan, mencuci pakaian, bahan makanan, binatang, kendaraan atau benda-benda di sungai, saluran dan kolam-kolam serta memanfaatkannya untuk kepentingan usaha.41

Dalam bab ini, Pemda DKI seperti lepas tangan dengan melarang orang bertempat tinggal di bantaran sungai dan sejenisnya. Padahal di Jakarta, rakyat kecil sudah mengalami marginalisasi diberbagai bidang termasuk pemukiman akibat dikalahkan oleh kepentingan pembangunan yang mengutamakan pembangunan fisik kota dan modernisasi. Rakyat kecil sebenarnya terpaksa tinggal di bantaran sungai karena memang kemampuan mereka hanya sampai disitu saja. Dengan pasal-pasal ini mereka semakin tersisih dari kota dan tidak tahu harus dimana lagi bertempat tinggal karena Pemda DKI tidak memberikan

41

(53)

solusi misalnya dengan pembangunan pemukiman sederhana, atau dengan penataan pemukiman. Kebijakan pembangunan pemukiman rakyat yang kemudian justru dibelokkan oleh pengusaha untuk membangun perumahan mewah juga menjadi penyebab mengapa rakyat miskin umumnya berada di pinggiran dan membangun rumah seadanya di lahan-lahan kosong yang masih ada karena harga rumah sudah tidak terjangkau lagi oleh mereka sebagai akibat dari orientasi pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan investasi. Bab ini juga mengatur penggunaan air, tetapi Pemda DKI Jakarta justru belum menyediakan pelayanan umum menyangkut penggunaan air seperti bak mandi umum ataupun pompa air umum (MCK umum). Sehingga rakyat kecil yang aksesnya terbatas untuk mendapatkan air bersih terpaksa menggunakan sumber air yang mudah didapat meskipun itu tidak layak seperti air dari sungai ataupun menampung air hujan.

Bab V tentang Tertib Lingkungan terdiri atas 2 pasal (pasal 14 dan pasal 15). Pasal 14 mengatur larangan setiap orang untuk menangkap, memburu atau membunuh binatang tertentu yang jenisnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan pasal 15 menegaskan larangan bagi setiap warga untuk bermain-main di jalan, di atas atau di bawah jembatan, dipinggir rel kereta api, pinggir kali, pinggir saluran dan tempat-tempat umum.

Referensi

Dokumen terkait

1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.. 2)

Menyusun mekanisme penelusuran kinerja pelayanan SOP Penilaian kinerja Menyusun struktur organisasi penanggung jawab upaya puskesmas yang efektif Struktur organisasi tiap

Dari berbagai analisis kesulitan yang dialami guru dalam proses pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia pada siswa dysgraphia ini sebenaranya masih harus ditingkatkan kembali

40/Pdt.G/2009/PN-Sim, berikut dengan semua surat-surat yang berhubungan dengan perkara ini, maka Pengadilan Tinggi berpendapat alasan dan pertimbangan hukum yang

Pada umur 63 HST atau masa panen, tanaman bawang merah memberikan hasil yang berbeda nyata pada parameter bobot umbi tanaman bawang merah dengan perlakuan media

Tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 diperoleh tingkat efektivitas penerimaan retribusi persampahan/kebersihan masih tergolong rendah dan tidak efektif, pemerintah

Setelah didapat nilai kandungan lempung dan porositas di setiap zona, perlu dilakukan zonasi untuk mengetahui zona-zona yang berpotensi sebagai reservoar yang baik.. Lapisan

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dengan menggunakan alat analisis SEM dapat diketahui bahwa diantara indikator-indikator lainnya, indikator rumah sakit memberikan biaya