• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh material lamun buatan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan crustacea di peraian pulau pari kepulauan seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh material lamun buatan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan crustacea di peraian pulau pari kepulauan seribu"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun oleh :

Aji Septiyadi

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Rahmat dan Hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada penulis dalam menyelesaikan

SKRIPSI yang berjudul “

Pengaruh Material Lamun Buatan Terhadap

Keanekaragaman dan Kelimpahan jenis Crustacea Di Perairan Pulau Pari,

Kepulauan Seribu

”. Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada

Rasulullah SAW.

Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan

bantuan dan motivasi dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung

untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga

kepada:

.

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi.

.

DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud, selaku ketua Program Studi Biologi

dan Pembimbing II. Terima kasih telah memberikan bimbingan dan masukannya

dalam penulisan skripsi.

.

Dra. Rianta Pratiwi, M.Sc, selaku pembimbing I, terima kasih atas bimbingan

dan semua masukannya selama penelitian berlangsung, dengan bimbingan dari

Ibu penulis mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman yang tak pernah

didapatkan dari Kampus.

.

Drs. Indra Aswandy, selaku Peneliti Utama yang telah membantu dan memberi

(3)

.

Para Dosen Biologi, yang telah memberikan dukungan baik moral maupun

spiritual dan membantu dalam teknis Akademis penyelesaian skripsi penulis.

.

Ayah dan Ibu Penulis, yang tidak henti – hentinya membantu baik doa, motivasi

maupun secara materi dalam proses mulai kuliah sampai selesai tugas akhir

penelitian dan memberikan masukan secara moral ketika dalam penelitian

berlangsung.

.

Adik – adik Penulis, yang telah membantu berupa dukungan baik moral maupun

spiritual.

.

Bpk. Mumuh, selaku Pengawas dan Teknisi Lapangan yang ada di Pulau Pari,

ketika memulai dan berlangsungnya penelitian.

.

Bpk. Hasan, selaku warga yang ada di Pulau Pari, yang telah memberikan

fasilitas baik pangan maupun papan (tempat tinggal) ketika saat penelitian di

lapangan.

.

Pengawas Perpustakaan LON-LIPI, yang telah memberikan bantuan berupa

referensi atau sumber literatur dalam proses penulisan skripsi penelitian.

.

Sdr. Achmad Syaifurrachman, S.Si, selaku teman yang selalu membantu dalam

penelitian berlangsung saat di lapangan (Pulau Pari) baik tenaga maupun fasilitas

alat dan bahan penelitian.

.

Sdr. Mr. Lukman Budianto, S.Si, selaku teman yang telah menyumbangkan

(4)

dukungan baik moral ataupun spiritual.

.

Keluarga Besar Biologi

(BIOMA), kita semua telah mengarungi lautan dan

menjelajah lembah yang curam serta mendaki gunung – gunung tertinggi selama

hampir tahun lebih bersama. Mudah – mudahan kita semua selalu diikatkan dan

jangan pernah terpisah. Semoga Allah SWT selalu memberkati ‘jalan’ yang kita

tempuh baik sekarang maupun kedepannya.

.

Teman-teman BIOLOGI angkatan

dan

kita semua satu rumpun,

satu ordo, satu famili dan satu marga hingga kita menjadi satu saudara penuh.

.

Kepada semua pihak yang tidak dapat dituliskan semua karena keterbatasan

halaman dan tempat.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada

semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Skripsi ini tentu

saja masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis dengan senang hati menerima

saran dan kritik yang bersifat membangun dan mengembangkan. Akhirnya semoga

Skripsi ini dapat digunakan sebaik-baiknya serta memiliki banyak manfaat bagi

semua pihak.

Jakarta, Maret

(5)
(6)

BAB I

PENDAHULUAN

. Latar Belakang

Keberadaan biota laut seperti crustacea berperan penting dalam berbagai

proses yang terjadi di daerah padang lamun. Peranan mereka tidak hanya sebagai

pengurai tapi juga sebagai komponen jaring makanan. Kelangsungan hidup

crustacea tidak dapat lepas dari keberadaan lamun sebagai tempat hidup, sumber

makanan, reproduksi dan lain – lain. Hewan yang datang sebagai pengunjung

biasanya untuk memijah dan tempat makanan seperti ikan dan beberapa jenis

crustacea di antaranya kepiting, udang, amphipoda dan isopoda (Putra, 2008).

Menurut Kasim (2005), bentuk crustacea infaunal maupun epifunal

berhubungan erat dengan produsen primer dan berada pada tingkatan trofik yang

lebih tinggi, karena selama masa juvenil dan dewasa mereka merupakan sumber

makanan utama bagi berbagai ikan dan invertebrata yang berasosiasi dengan

lamun. Adapun lamun memiliki produktifitas primer di perairan dangkal di

seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme

(Fahruddin, 2002). Oleh sebab itu, padang lamun merupakan ekosistem yang

mempunyai produktivitas tinggi dan kaya akan keanekaragaman jenis biota laut

khususnya crustasea. Padang lamun biasanya terdapat di perairan tropis seperti

yang terdapat di Pulau Pari kawasan Kepulauan Seribu.

Kawasan tersebut banyak terdapat pemukiman penduduk yang dilengkapi

(7)

kurang upaya yang diberikan untuk menyelamatkan ekosistem lamun, meskipun

data mengenai kerusakan ekosistem lamun tidak tersedia, tapi faktanya sudah

banyak mengalami degradasi akibat aktivitas di darat (Rani, 2008).

Sektor wisata, budidaya, dermaga dan kegiatan manusia lainnya

(reklamasi, pertambakan, industri dan pengembangan kota) yang berada di Pulau

Pari tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran untuk melestarikan lingkungannya

(Diatin et al, 2007). Hal ini banyak menimbulkan dampak negatif bagi pihak

setempat salah satunya mengalami pencemaran polusi dan sampah.

Menurut Rani (2008), degradasi padang lamun memberi dampak yang

nyata yaitu mengarah pada penurunan keragaman biota laut sebagai akibat hilang

atau menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem lamun. Akibatnya dari berbagai

kegiatan manusia tersebut jelas ekosistem lamun akan mengalami kerusakan dan

kehilangan fungsinya serta membawa dampak terhadap penurunan produksi biota.

Khususnya bagi kehidupan biota crustacea ekonomis yang bergantung pada

habitat lamun akan mengalami penurunan dan berangsur – angsur akan hilang.

Sebagai tindak lanjut dalam menanggulangi penurunan produksi biota

lamun (crustacea) perlu dilakukan upaya antara lain pengembangan lamun buatan.

Lamun buatan dibentuk dari berbagai material seperti tali tambang, rumpon

plastik, batang bambu atau kayu, sabut kelapa dan lain – lain. Tujuannya untuk

memberikan habitat baru bagi berbagai biota laut dan dapat menciptakan suatu

proses ekologi terutama proses makan memakan (food chain & food web) (Rani,

2008).

Terbatasnya penelitian mengenai lamun buatan yang berperan penting bagi

(8)

dan mengingat perairan Pulau Pari sebagai penunjang, tempat perawatan hidup

(nursery ground) bagi biota crustacea, memiliki padang lamun dan telah banyak

mengalami kerusakan, maka untuk mengembalikan fungsi lamun alami di

perairan setempat perlu dikembangkan lamun buatan (artifisial).

. Rumusan Masalah

1. Apakah di lamun buatan terdapat jenis–jenis crustacea?

2. Apakah terdapat pengaruh baik pada lamun buatan terhadap

keanekaragaman dan kelimpahan crustacea padang lamun yang bernilai

ekonomis dan non ekonomis?

. Hipotesis

1. Di lamun buatan terdapat jenis–jenis crustacea antara lain dari kelompok

Decapoda (udang dan kepiting), Isopoda dan Amphipoda.

2. Terdapat pengaruh baik pada lamun buatan terhadap keanekaragaman

dan kelimpahan crustacea padang lamun yang bernilai ekonomis dan non

ekonomis.

. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh dan peranan dari beberapa material lamun buatan

pada lokasi yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan

crustacea.

2. Mengetahui jenis–jenis crustacea yang hadir pada lamun buatan, di

(9)

. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

1. Memberikan informasi mengenai kelimpahan dan keanekaragaman

crustacea pada lamun buatan, di ekosistem lamun, Pulau Pari.

2. Memberikan informasi tentang kualitas perairan Pulau Pari, Kepulauan

Seribu.

3. Menjadi bahan informasi tambahan kepada pihak-pihak terkait

khususnya Lembaga Oseanografi, P2O-LIPI dan Balai Taman Nasional

Laut Kepulauan Seribu (BTNLKpS) dalam mengembangkan wilayah di

(10)
[image:10.612.142.537.48.744.2]

. Kerangka Berpikir

Gambar 1: Kerangka berpikir penelitian.

Padang lamun Pulau Pari sebagai habitat bagi biota crustacea

Berubahnya parameter fisik dan kimia perairan Pulau Pari, perputaran air akibat pergerakan aktivitas perahu nelayan di

perairan lamun dan metode penangkapannya.

Tercemar polusi dan rusaknya pada ekosistem lamun serta turunnya regenerasi biota crustacea

Dilakukan pengelolaan dan penelitian mengenai pengaruh material lamun buatan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman crustacea di perairan padang lamun, Pulau

Pari

Pengambilan sampel crustacea dengan model artifisial (tali

tambang hijau)

Pengambilan sampel crustacea dengan model artifisial (sabut

kelapa)

Identifikasi crustacea yang diperoleh

Memberi informasi jenis crustacea khususnya bernilai ekonomis dan non ekonomis yang terdapat di lamun

buatan

Memberikan informasi tentang kegunaan dan manfaat dari artifisial lamun sebagai tempat kehidupan biota

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

. Keadaan Umum Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu

. Letak Geografis Kawasan

Kepulauan Pari terletak antara 05° 50′ hingga 05° 52′ Lintang Selatan dan

106° 34′ sampai 106° 38’ Bujur Timur. Daerah ini terletak di Laut Jawa, tepatnya

di sebelah Utara DKI Jakarta dan Tangerang. Secara administrasi Kepulauan Pari

termasuk Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan,

Kabupaten Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk tercatat

[image:11.612.134.534.54.670.2]

567 jiwa pada tahun 1994 (Asriningrum, 2004) (Gambar 2).

(12)

Gugusan Pulau Pari terdiri atas 6 pulau kecil yaitu Pulau Pari, Burung,

Kongsi Timur, Kongsi Tengah, Kongsi Barat, dan Tikus. Gugusan pulau ini

menjadi satu kesatuan oleh adanya pertumbuhan terumbu karang. Dalam kesatuan

kepulauan ini, terumbu karang membentuk lagun di tengahnya sehingga

kepulauan ini dapat dikatakan sebagai Pulau Atol dalam bentuk mini

(Asriningrum, 2004).

. Topografi dan Luas Lahan

Menurut Asriningrum (2004) Gugusan Pari diketahui ada empat kelas

bentuk lahan dimana, dataran aluvial pantai merupakan bentuk lahan terluas.

Bentuk lahan terumbu cincin terbentuk oleh pertumbuhan terumbu karang atau

karena naiknya air laut pada terumbu samudera. Bentuknya seperti cincin dan

disebut juga atol. Luas bentuk lahan Gugus Pulau Pari dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel . Luas Bentuk Lahan Gugus Pulau Pari.

Sumber : (Asriningrum, 2004).

Bentuk atol tersebut berasosiasi dengan terbentuknya lagun, sedangkan

bentuk lahan lagun merupakan genangan air laut yang berada di tengah terumbu

karang karena terbentuk oleh pertumbuhan terumbu karang atau naiknya air laut.

Bentuk lahan terumbu penghalang berupa terumbu karang yang muncul ke

No. Bentuklahan Luas (m )

Luas (km ) % Luas 1 Terumbu cincin

(atol) 8025497.731 8.025 70.65 2 Lagun 2133587.95 2.134 18.78 3

Terumbu

penghalang 740896.1737 0.741 6.52 4 Permukaan planasi 459497.6 0.459 4.05

[image:12.612.189.449.473.593.2]
(13)

permukaan laut oleh pertumbuhannya atau penurunan air laut. Bentuk lahan ini

muncul ke permukaan sebagai pulau-pulau karang timbul, sedangkan bentuk

lahan permukaan yang lebih dari satu bidang datar (planasi) terbentuk oleh proses

pengikisan lapisan atas permukaan (denudasi) sehingga membentuk suatu relief

hampir datar. Bentuk lahan ini terdapat di Pulau Pari yang material penyusunnya

merupakan sedimentasi pasir (Asriningrum, 2004).

Pulau Pari berbentuk memanjang arah diagonal Barat Daya – Timur Laut

mengikuti pola patahan secara regional. Sementara ke-lima pulau kecil lainnya

menunjukkan pola bentuk perkembangan terumbu karang yang telah lanjut dan

oleh adanya pertumbuhan karang dan atau penurunan air laut, terumbu karang ini

muncul ke permukaan (Asriningrum, 2004). Karang Timbul lainnya juga muncul

di tepi Gugusan Pulau Pari bagian Barat dan Utara dengan ukuran lebih kecil.

Menurut Kiswara (1992) bagian Selatan Pulau Pari merupakan rataan

terumbu dengan panjang terpendek 180 m dan terpanjang 900 m. Pantai utaranya

terdiri atas Goba (Goba Besar I dan II) di sebelah Barat dan rataan terumbu di

Timur. Panjang dari bagian tersempit rataan terumbu di pantai Utara Pulau Pari

sekitar 300 m dan yang terlebar 600 m. Rataan terumbu adalah bagian pulau

karang yang berada di daerah pasang surut. Pada waktu pasang rataan terumbu

tergenang air dan waktu surut terdapat tempat – tempat kering dan dasarnya terdiri

atas lumpur, pasir dan puing karang mati.

. Sejarah dan Dasar Hukum

Menurut Lestari (2008) Kelurahan Pulau Pari yang berkedudukan di Pulau

(14)

Adapun luas daratan Kepulauan Seribu kurang lebih 864,59 hektar dan luas

lautannya kurang lebih 6.997,50 km2 . Usaha pengaturan wilayah perairan laut di

Kepulauan Seribu sudah lama dilakukan, selain melalui peraturan daerah juga

melalui peraturan pusat (Diatin et al, 2007).

Pada tanggal 21 Juli 1982 dengan melihat potensi dan pemanfaatan

sumber daya alam khususnya daerah laut di Kepulauan Seribu yang cukup tinggi,

melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/1982, ditetapkan

wilayah seluas 108.000 hektar di Kepulauan Seribu sebagai Cagar alam dan

dengan diberi nama Cagar Alam Laut Seribu (Diatin et al, 2007). Selanjutnya pada tahun yang sama dibulan Oktober, Menteri Pertanian memberikan

pernyataan pada Kongres Taman Nasional sedunia yang diadakan di Bali, dengan

Nomor 736/Mentan/X/1982, mengubah nama Cagar Alam Laut Pulau Seribu

menjadi Taman Nasional Kepulauan Seribu. Perubahan luas Taman Nasional

Kepulauan Seribu menjadi 108.475,45 hektar ditetapkan melalui Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor 220/Kpts- II/2000. Namun, selanjutnya luas dari

Taman Nasional Kepulauan Seribu tersebut dirubah kembali menjadi 107.489

hektar dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 6310/Kpts-II/2002 pada

tanggal 13 Juni 2002.

Menurut Diatin et al (2007) adapun pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam Perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu diserahkan kepada

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Luas Taman

Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) tersebut hanya 15% luas Kabupaten

Kepulauan Seribu, akan tetapi sangat berperan dalam pembangunan Kepulauan

(15)

potensi budidaya kelautan dan 73 % dari keseluruhan potensi wisata bahari yang

ada di Kepulauan Seribu.

. Zonasi Kawasan

Berdasarkan administrasi Gugusan Pulau Pari termasuk Kelurahan Pulau

Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu,

Propinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk tercatat 567 jiwa (1994). Wilayah

Kepulauan Seribu seluas 108.000 Ha, sebagian telah ditetapkan sebagai Taman

Nasional melalui SK. Menteri Pertanian No. 736 /MENTAN/ X /1 982

(Asriningrum, 2004).

Zonasi Taman Nasional ini, ditetapkan sebagai berikut: Zona I, II, dan III

merupakan daerah yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya

perubahan dalam bentuk apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang

berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, dan Penelitian.

1. Zona inti I, merupakan perlindungan habitat Penyu Sisik yang berlokasi di

Pulau Gosong Rengat dan perairannya. Pulau Karang Rengat dan perairannya,

seluas 1.356,8 Ha.

2. Zona Inti II, merupakan perlindungan Hutan Bakau yang berlokasi di Perairan

Gosong Penjaliran dan perairannya, seluas 2.440,9 Ha.

3. Zona Inti III, merupakan ekosistem Terumbu Karang yang berlokasi di

Perairan Pulau Kayu Angin, Pulau Bira, dan perairan Pulau Belanda, seluas

(16)

Di samping Zona Inti tersebut, ada pula Zona Perlindungan yang

merupakan daerah perlindungan bagi zona inti dan dipergunakan sebagai kajian

konservasi serta pengembangan kegiatan cinta alam. Zona ini berlokasi di

perairan Pulau-pulau Jagung, Karang Buton, Karang Mayang, Rengit,

Nyamplung, Sebaru Besar dan Kecil, Lipan, Kapas, Bundar, Hantu Barat dan

Hantu Timur, Yu Barat dan Yu Timur, Satu, Kelor Barat, dan Kelor Timur. Zona

Perlindungan mempunyai luas total 12.271,94 Ha.

. Karakteristik Crustacea

. Klasifikasi

Menurut Romimohtarto dan Juwana (2007) crustacea merupakan

Arthropoda yang sebagian besar hidup di laut dan bernafas dengan insang.

Tubuhnya terbagi dalam kepala (chepalin), dada (thorax) dan abdomen. Kepala

dan dada bergabung membentuk kepala-dada (cephalotorax; Y: cephale = kepala;

thorax = bagian tengah tubuh atau dada). Kepalanya biasanya terdiri atas lima ruas yang tergabung menjadi satu. Mereka mempunyai dua pasang antena,

sepasang mandibel (mandible) atau rahang dan dua pasang maksila (maxilla).

Dada mempunyai embelan dada yang bentuknya berbeda – beda. Beberapa di

antaranya digunakan untuk berjalan. Ruas abdomen biasanya sempit dan lebih

mudah bergerak daripada kepala dan dada. Ruas – ruas tersebut mempunyai

embelan yang ukurannya sering mengecil.

Salah satu kelompok crustacea adalah Ordo Decapoda, yang masuk ke

dalam kelompok Infra Ordo Caridea. Ordo ini sangat penting, baik dari segi

(17)

karapas kecil yang tidak menutupi kepala dan dada (torax). Mereka memiliki

rangka luar (eksoskeleton), hanya satu atau dua sepasang kaki yang berfungsi

sebagai capit (chela) dan otot abdomen untuk berenang. Decapoda dari Klass

Crustacea biasa dibagi atas tiga kelompok menurut bentuk abdomennya, yakni

Macrura, Anomura dan Brachyura (Romimohtarto dan Juwana, 2007).

Gambar 3. Morfologi kelompok Macrura secara umum (Mackie, 1998).

Pengelompokkan Crustacea mengikuti Latreille yang pada tahun 1806

membagi Crustacea menjadi dua anak kelompok, yakni Entomostraca dan

Malacostraca. Berdasarkan ukuran tubuhnya Crustacea dikelompokkan menjadi

sebagai berikut (Putra, 2008):

1). Entomostraca (berukuran mikrokopis)

Hewan ini dikelompokkan menjadi empat ordo,yaitu:

a). Branchiopoda

(18)

c). Copepoda

d). Cirripedia

2). Malacostraca (berukuran makroskopis)

Hewan ini dikelompokkan dalam tiga ordo, yaitu:

a). Isopoda

b). Stomatopoda

c). Decapoda

d) Amphipoda

Malacostraca banyak hidup di laut dan air tawar. Tubuhnya terdiri dari

cephalotorax yaitu kepala dan dada bersatu dengan perut (abdomen).

Malacostraca dibagi tiga ordo, yaitu Isopoda, Amphipoda, Stomatopoda dan

Decapoda.

Decapoda (kaki sepuluh) terdiri dari udang dan kepiting. Decapoda

memiliki ciri – ciri kepala sampai dada menjadi satu (cephalotorax) yang ditutupi

oleh karapas, tubuh mempunyai lima pasang kaki atau sepuluh kaki (Jones (1984)

dalam Putra, 2008). Adapun Amphipoda yang terdiri atas Super Famili Gammaridean mendominasi kelompok Crustacea (Pera Carida) di zona Intertidal

laut dunia, yang sebagian di wilayah tropis (Thomas, 1993).

Gammaridean dari Ordo Amphipoda yang terkecil berukuran 1-8 mm dan

kehidupannya bebas seperti udang-udangan dan menghabiskan waktunya di dalam

sedimen pasir. Amphipoda (Pera Carida) memiliki rahang mulut yang

berkembang baik, tubuh lateral kompresi (subcylindrical) dan kutikula halus

(19)

Menurut Brusca & Wilson (1991), seperti halnya dari (Pera Carida)

Crustacea, Isopoda memiliki 10 Sub Ordo, 4 memiliki perwakilan di dalam laut.

Namun, salah satu dari 4 Sub Ordo, kelompok Asellota jauh dari dominasi

Isopoda laut dalam klasifikasi takson, sedangkan kelompok yang paling umum

dijumpai di daerah zona pantai laut (intertidal) ada 3 Famili yaitu Idoteidae

(Valvifera), Sphaeromatidae (Flabellifera) dan Cirolanidae (Flabellifera).

Isopoda memiliki tubuh yang terbagi menjadi 3 daerah berbeda, yaitu

kepala (cephalon), dada dan perut (pleon). Segmen pertama bagian dada (toraks)

menyatu ke kepala dan bagian yang tersisa dari segmen (pereonites) dari toraks

terdiri dari pereon, masing – masing segmen terdapat sepasang kaki (pereiopods)

(Brusca & Wilson,1991).

Dalam Isopoda, perut berbentuk primitif terdiri dari 5 segmen (pleonites)

ditambah 6 yang merupakan bagian segmen pleonite + telson (pleotelson) dan

memiliki mata majemuk, dua pasang antena, dan empat set rahang. Rahang

(anterior ke posterior) terdiri dari mandibula, maxillae 1, maxillae 2 dan

maxillipeds (Brusca & Wilson, 1991).

. Ekologi Crustacea lamun

Menurut Azkab (2000) padang lamun merupakan satu tipe biotip yang

sangat luas di lingkungan estuaria dan pesisir pantai. Di samping produktivitas

biologis yang tinggi dari lamun dan adanya asosiasi flora, kekayaan fauna

terkonsentrasi di padang lamun.

Crustacea termasuk salah satu fauna konsumen di padang lamun. Beberapa

(20)

samping itu, beberapa decapoda memakan daun lamun dan beberapa kepiting

dengan ukuran besar memakan moluska, polikhaeta dan algae yang menempel

pada serasah lamun (Aswandy, 2008).

Menurut Schmitt (1973) dalam Pratiwi (2003) Amphipoda umumnya hidup mendiami substrat dasar yang ditumbuhi oleh lamun (akar dan tangkai akar

lamun), tetapi apabila Amphipoda menempati substrat pasir mereka akan merubah

corak tubuhnya seperti warna pasir dan jenis ini juga membuat lubang pada

habitatnya dengan warna yang sesuai dengan akar lamun. Adapun pada Decapoda

ditemukan mendiami berbagai macam habitat dan substrat, terutama pada kepiting

(Sub ordo Brachyura) yang sebagian besar mendiami substrat keras seperti

batu-batuan (coral) yang terdapat di antara tumbuhan lamun (Aswandy, 2008).

Menurut Moosa dan Aswandy (1995) kepiting dan udang (Suku

Palaeomonidae) dari kelompok Decapoda beradaptasi dengan baik dan hidup

diantara daun lamun. Crustacea ini memangsa binatang–binatang kecil lainnya

yang hidup menempel (epizoa) pada daun atau bagian dari lamun. Kelompok ini

yang diwakili oleh berbagai jenis udang (Macrura), kepiting (Brachyura) dan

Kumang (Anomura) pada umumnya adalah pemakan segala (omnivore) dengan

kecenderungan ke arah pemakan daging (karnivore).

Decapoda sudah mengadaptasikan diri hidup pada tumbuhan seperti

beberapa jenis algae dan lamun, contohnya (Sub Ordo Brachyura) jenis Suku

Xantidae yang sebagian besar ditemukan pada substrat keras dan Suku Majidae

ditemukan merayap diantara tumbuhan, sedangkan Suku Portunidae dan

Calappidae bergerak di substrat dasar berpasir (Aswandy dan Moosa (1995)

(21)

Menurut Widyastuti (2002) Sub Ordo Brachyura berperan sebagai parasit

dan diperkirakan ada 130 jenis yang terbagi dalam 4 marga Argulus, ke empat

marga tersebut merupakan parasit di laut. Morfologi dari kelompok ini

mempunyai sepasang alat penghisap (sucker), sepasang mata faset yang besar dan

kepala tertutup oleh karapas yang transparan pada bagian dorsalnya.

Investasi dari parasit dapat menyebabkan kerusakan pada bagian tubuh

mangsa (hospes), termasuk Ordo Isopoda yang bersifat parasit bagi ikan dan jenis

crustacea lain seperti kepiting dan lainnya, sehingga biasanya ditemukan melekat

pada bilik insang dari hospes (Widyastuti, 2002). Adaptasi morfologi dari Isopoda

terutama untuk memakan dan melekat pada mangsanya, sehingga pada bagian

mulut dengan mandibula dan maksila pertama mampu menusuk dan masuk

jaringan hospes. Adapun Stomatopoda merupakan pemangsa (predator) yang

bergerak aktif mencari mangsa tapi merupakan jenis karnivora yang menunggu

mangsanya untuk diterkam (Barnard (1971) dalam Aswandy, 2008).

Ordo hoplocarida (Stomatopoda) hidup di substrat dasar dengan meliang,

seperti Lysiosquilla maculate dan ada pula yang membenamkan diri di substrat

dasar atau hidup di antara batu – batuan yang terdapat dalam ekosistem lamun.

Binatang ini merupakan pemangsa yang memangsa berbagai jenis moluska atau

binatang lain seperti ikan kecil atau crustacea, sedangkan stomatopoda sendiri

merupakan mangsa dari hewan lainnya seperti ikan, cumi dan gurita (Aswandy,

(22)

. Asosiasi dan Interaksi Lamun

. Pengertian

Menurut Azkab (2000) lamun merupakan tumbuhan berbunga

(Angiospermae) yang mempunyai adaptasi untuk hidup pada lingkungan laut dan

memerlukan kemampuan berkolonisasi untuk hidup pada media air asin yang

mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran

yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan untuk berkembang biak

secara generatif dalam keadaan terbenam dan dapat berkompetisi dengan

organisme lain dalam kondisi stabil. Untuk melihat karakter dan jenis lamun dapat

dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Jenis–jenis Lamun di Perairan Indonesia. (http:// w ww.indo.seagrass.org.id.).

Menurut Azkab (2006) lamun juga sebagian besar memiliki struktur

berumah dua yang artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau

(23)

lamun adalah bersifat hidrophilus yaitu kemampuannya untuk melakukan polinasi

di bawah air.

Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) ekosistem padang lamun

memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem

mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain:

1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir

2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran

terumbu karang

3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan

terlindung

4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan

5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan

tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif

6. Mampu hidup di media air asin

7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.

. Klasifikasi

Menurut ITK-IPB (2007) di Indonesia hanya terdapat 7 genus dan sekitar

15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu : Hydrocharitacea ( 9 marga, 35

jenis ) dan Potamogetonaceae (3 marga, 15 jenis). Jenis Thalassia hemprichii tersebar luas di seluruh Indonesia dan tumbuh merambat secara vertikal dari zona

intertidal bawah ke zona subtidal, sedangkan Halophila ovalis juga tersebar dan tumbuh secara vertikal dari zona intertidal dengan kedalaman 20 meter dan

tumbuh dengan baik dalam sedimen dasar (Kuriandewa et al (2003) dalam Green

(24)

Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez,

Phillips, dan Calumpong (1983) adalah sebagai berikut :

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Famili : Potamogetonacea

Subfamili : Zosteroideae

Genus : Zostera

Phyllospadix

Heterozostera

Subfamili : Posidonioideae

Genus : Posidonia

Subfamili : Cymodoceoideae

Genus : Halodule

Cymodoceae

Syringodium

Amphibolis

Thalassodendron

Famili : Hydrocharitaceae

Subfamili : Hydrocharitaceae

Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologik lamun,

misalnya bentuk ‘Parvozosterid’ dan ‘Halophilid’ dapat dijumpai pada hampir

semua habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai lumpur yang lunak, mulai dari

(25)

. . Asosiasi Crustacea Lamun

Asosiasi lamun yang paling beragam ditemukan pada habitat terumbu

karang di zona sublitoral atas, ditemukan pada daerah yang memiliki kestabilan

tinggi dan paling sedikit mengalami penurunan atau pasir yang hampir horisontal

(landai). Pecahan karang yang menutupi terumbu karang termasuk banyak

habitatnya, sehingga tiap spesies fauna dapat sangat melimpah dan mendominasi

komunitas (Azkab, 2006).

Komunitas lamun dihuni oleh banyak jenis fauna bentik, organisme

‘demersal’ serta ‘pelagis’ yang menetap maupun yang tinggal sementara disana.

Adapun spesies yang sementara hidup di lamun biasanya adalah juvenil dari

sejumlah organisme yang mencari makanan serta perlindungan selama masa kritis

dalam siklus hidup mereka, atau mereka mungkin hanya pengunjung yang datang

ke padang lamun setiap hari untuk mencari makan (Kasim, 2005).

Menurut Ngangi (2003) ekosistem padang lamun berperan sebagai

penyuplai energi, baik pada zona bentik maupun pelagis, salah satunya detritus

daun lamun yang tua didekomposisi oleh sekumpulan jasad bentik crustacea

(seperti udang, kepiting, termasuk bakteri), sehingga dihasilkan bahan organik,

baik yang tersuspensi maupun yang terlarut dalam bentuk nutrien. Nutrien

tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, tetapi juga bermanfaat

untuk pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya zooplankton, juvenil ikan dan

lainnya (Dahuri (2003) dalam Ngangi, 2003).

Fauna crustacea yang berasosiasi dengan lamun merupakan komponen

penting dari jaring makanan di lamun, meskipun bentuk crustacea infaunal

(26)

sebagai konsumen di lamun karena sebagian besar membutuhkan pakan nutrisi

atau epifit pada lamun dan lamun sebagai habitat yang ideal bagi crustacea untuk

berkembang biak. Kelompok crustacea di lamun berada pada tingkatan trofik

yang lebih tinggi, karena selama masa juvenil dan dewasa mereka merupakan

sumber makanan utama bagi berbagai ikan, udang dan invertebrata yang

[image:26.612.143.535.152.435.2]

berasosiasi dengan lamun (Kasim, 2005)

Gambar 5. Jenis Udang yang menjadikan Lamun sebagai habitat utama nya (Kasim, 2005).

Banyak spesies epibentik udang baik yang tinggal menetap maupun

tinggal sementara di lamun dan bernilai ekonomis, seperti dari suku Penaeid

komersial penting, contohnya Penaeus esculentus dan P. semisulcatus (Bell & Pollard 1989; Coles et al. 1993; Mellors & Marsh 1993; Watson et al. 1993) dan lobster berduri (Panulirus ornatus) (Bell & Pollard 1989; Poiner et al. 1989), yang tergantung pada lamun sebagai tempat mencari makan serta berlindung

selama masa post larva dan juvenil dari siklus hidup mereka (Aswandy, 2008).

Menurut Moosa dan Aswandy (1995) padang lamun juga ditemukan

kelompok Stomatopoda yang merupakan kelompok predator dengan jenis

(27)

ciliata yang benar-benar berasosiasi dengan lamun. Stomatopoda umumnya hidup berbatasan dengan rataan terumbu intertidal. Diantara stomatopoda ada yang

berasosiasi dengan karang dan paling beragam warnanya adalah Odontodactylus scyllaus (Squillidae), merupakan predator aktif memakan moluska.

Crustacea predator yang berasosiasi dengan padang lamun umumnya

berada pada kondisi alami (tidak dieksploitasi oleh penduduk lokal). Kepiting dan

beberapa crustacea lain menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya dengan

mengubur diri di bawah permukaan substrat. Diantara yang paling umum adalah

jenis kepiting kotak dari Famili Calappidae. Kepiting kotak biasanya meliang

dibawah permukaan pasir, dan aktif memakan gastropoda. Capit kanan mereka

digunakan khusus untuk menghancurkan cangkang gastropoda (Kasim, 2005).

. . Parameter Ekologi Lamun

a. Suhu

Menurut Azkab (1999) kisaran suhu bagi spesies lamun dapat tumbuh di

bawah atau di atas tingkat temperatur normal yaitu antara 28 – 30oC . Hal tersebut menyebabkan fotosintesis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Jenis

Thalassia sp yang hidup pada temperatur tinggi (di atas 30oC) dapat berbunga

tetapi tidak dapat berbuah dan dapat mengakibatkan banyak daun yang gugur.

b. Salinitas

Menurut Dahuri (2003) dalam Ngangi (2003) kisaran salinitas bagi spesies

(28)

c. Kecerahan

Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus

lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat

penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Kebutuhan cahaya yang

tinggi bagi lamun untuk kepentingan fotosintesis terlihat dari sebarannya yang

terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (ITK-IPB, 2007).

Nilai kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan lumpur, kandungan

plankton, dan zat-zat terlarut lainnya.

d. Kedalaman

Menurut Gonzagawawa (2009) tumbuhan lamun ini hidup di habitat

perairan pantai yang dangkal hingga kedalaman 3 meter di lautan tropis hingga

sub tropis. Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan

perairan pantai yang dasarnya bisa berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan

karang mati, dengan kedalaman hingga empat meter. Adapun di perairan yang

sangat jernih, beberapa jenis lamun ditemukan tumbuh di kedalaman 8 hingga 15

meter (Husein, 2005).

e. Nutrien

Menurut Husein (2005) detritus daun lamun yang tua diuraikan

(dekomposisi) oleh sekumpulan hewan dan jasad renik yang hidup di dasar

perairan, seperti teripang, kerang, kepiting, dan bakteri. Hasil penguraian ini

berupa nutrien yang tercampur atau terlarut di dalam air. Nutrien ini tidak hanya

bermanfaat bagi tumbuhan lamun, melainkan juga bermanfaat untuk pertumbuhan

(29)

f. Substrat

Menurut ITK-IPB (2007) kesesuaian substrat yang paling utama bagi

perkembangan lamun ditandai dengan kandungan sedimen yang cukup. Semakin

tipis substrat (sedimen) perairan akan menyebabkan kehidupan lamun yang tidak

stabil,sebaliknya semakin tebal substrat, lamun akan tumbuh subur yaitu berdaun

panjang dan rimbun serta pengikatan dan penangkapan sedimen semakin tinggi.

Sementara itu, di kepulauan Spermonde Makassar, Erftemeijer (1993) melaporkan

bahwa menemukan lamun tumbuh pada rataan terumbu dan paparan terumbu

yang didominasi oleh sedimen karbonat (pecahan karang dan pasir koral halus),

teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam (terrigenous) dan pantai intertidal

datar yang didominasi oleh lumpur halus.

(30)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 bertempat di

Perairan Pesisir Pulau Pari, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS),

Teluk Jakarta – DKI Jakarta. Lokasi penelitian (Gambar 4), meliputi daerah Utara

(stasiun 1), Barat Daya (stasiun 2) dan Selatan (Stasiun 3) dari Pulau Pari untuk

mengambil data yang mewakili daerah tersebut.

Gambar 6. Lokasi dan Stasiun penelitian P. Pari, Kepulauan Seribu (PusLit Geoteknologi-LIPI, 2002).

. Alat dan Bahan

Alat–alat yang digunakan adalah termometer, kertas pH

universal/pHmeter, rollmeter, refraktosalinometer, kompas, water quality checker,

ember, GPS, mikroskop binokuler, snorkel, alat ukur kedalaman (Depth gauge), Keterangan :

= Lokasi

Penelitian.

(31)

alat ukur kecerahan (Secchi disk), sabut kelapa, tali plastik (tambang), plastik,

patok bambu ukuran 1,5 m, botol sampel, sedotan plastik 10 cm, jaring net, pinset,

tatakan dan alat tulis. Sedangkan bahan–bahan yang digunakan adalah alkohol

70% untuk mengawetkan sampel biota crustacea dan mengidentifikasinya.

. Cara Kerja

. Penentuan Titik Sampling

Untuk mengetahui penentuan titik sampling atau stasiun penelitian, maka

dilakukan pra survey terhadap kondisi lingkungan sebagai berikut:

a. Titik sampling ditentukan dari kondisi lingkungan atau parameter yang

mendukung baik (substrat, kondisi lamun dan geografis).

b. Penentuan stasiun tersebut berdasarkan pada zona padang lamun

sangat lebat (Selatan), sedang (Barat Daya) dan jarang (Utara).

c. Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi lamun

adalah metode transek garis dan petak contoh (Line Transect)..

d. Tiap stasiun pengamatan, ditetapkan transek garis dari arah tepi pantai

ke arah laut hingga jarak 100 m (tegak lurus garis pantai sepanjang

zonasi padang lamun yang terjadi) di daerah intertidal.

e. Pada transek garis, letakkan petak contoh berbentuk segi empat dengan

ukuran 50x50 cm (interval 10 m).

f. Peletakkan tiap petak contoh perlu dilakukan, agar area tersebut

(32)

Gambar 7. Petakan plot di tiap stasiun.

. Metode Pengambilan sampel crustacea

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data sampel menggunakan

metode eksperimen rumpon buatan (Juwana, 2001), melalui beberapa tahap

sebagai berikut:

1. Tahap persiapan, yaitu menyiapkan seluruh keperluan alat atau bahan yang

digunakan untuk pembuatan artifisial lamun.

2. Tahap pembuatan konstruksi lamun buatan. Lamun buatan terdiri dari 2

model yaitu material tali plastik dan sabut kelapa yang sebelumnya dalam

bentuk produk pabrikan. Kemudian kedua material tersebut masing–

masing direntangkan dan dipotong dengan panjang 60 cm. Setelah itu,

material tersebut disisir dan dibuat bentuk rumbai atau rumpon. Sediakan

benang pancing dengan ketebalan ukuran 50–100 lbs dan dipotong dengan

ukuran 1-1,5 m. Setelah masing–masing material diukur, kemudian

(33)

satu rumpon (lamun buatan) dengan rumpon lain dalam satu buah artifisial

adalah 10 cm.

3. Tahap peletakkan lamun buatan. Tiap stasiun dibuat petak ukuran 10x10

m untuk penempatan artifisial dengan 2 model secara sejajar dan diagonal.

Tiap–tiap artifisial sudah ditentukan dengan ukuran 1m x 0,2m x 0,3m (P

x L x T). Untuk perolehan luasan plot, maka ukuran artifisial tersebut

diasumsikan menjadi 1x1m dengan 3 ulangan (plot), agar mewakili area

tersebut. Lalu artifisial tersebut ditempatkan dimasing–masing zona lamun

dengan ketentuan tingkat kerapatan rendah (6,25-12,5%), sedang (12,5

-50%) dan tinggi (50-100%) (Keputusan Meneg LH, 2004) pada tiap

stasiun. Jarak penempatan lamun buatan dengan alami disesuaikan dengan

kondisi lamun sekitar. Pengambilan data sampel dilakukan setelah

artifisial berumur 1, 2, 3 dan 4 minggu berada di perairan padang lamun.

4. Tahap pengambilan data. Pengambilan sampel crustacea yang berada di

artifisial menggunakan metode pengambilan secara langsung, yang

terlebih dahulu meletakkan jaring tepat di bawah lamun buatan secara

menyeluruh agar biota crustacea yang masuk perangkap artifisial tidak

mudah lolos, kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam ember dan

dibawa ke laboratorium. Pengambilan sampel tersebut dilakukan mulai

jam 13.30 – 17.00 WIB waktu setempat.

5. Identifikasi data. Identifikasi sampel dilakukan di laboratorium. Sampel

dalam botol atau kantong plastik telah diberi pengawet alkohol 70%. Lalu

disortir antara jenis sampel crustacea dan non crustacea. Kemudian

(34)

dari buku “Identification Manual for the Marine Amphipoda:

(Gammaridea)” (Thomas, 1993) dan buku “Guide To The Marine Isopods Of Southern Africa” (kensley, 1978) serta buku lainnya, sehingga dapat dikelompokkan secara sistematik.

Gambar 8. Gambaran dan Letak Plot Lamun Buatan.

Keterangan gambar;

(A) = Peta Pulau Pari yang terdiri dari beberapa lokasi : a. Utara (tingkat kerapatan lamun jarang). b. Selatan (sedang).

c. Barat Daya (padat).

(35)

. . Pengukuran Parameter Kualitas Perairan Pada Tiap Stasiun Penelitian Dilakukan Sebanyak Tiga Kali Ulangan.

a. Temperatur

Suhu perairan diukur dengan menggunakan termometer alkohol, dengan

cara dicelupkan ke dalam perairan, kemudian suhu dilihat di dalam air. Untuk

menghindari berubahnya suhu dalam pengamatannya dengan cara pengambilan

sampel air. Posisi termometer harus sejajar dengan arah penglihatan agar tidak

terjadi kesalahan membaca suhu.

b. Kedalaman

Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan batang bambu berskala,

dengan dimasukkan tongkat tersebut ke dalam perairan sampai menyentuh dasar.

Kemudian catat nilai yang diperoleh.

c. Kecerahan

Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan Secchi disk, lalu dimasukkan ke dasar permukaan air dan dilihat apakah masih terlihat atau tidak

terlihat warna yang terdapat di Secchi disk tersebut. Jika tak terlihat, maka panjang tali dicatat dan pada saat Secchi disk diangkat lalu terlihat warna lempengannya, maka panjang tali tersebut dicatat kembali. Sehingga hasilnya

(36)

d. Salinitas

Salinitas perairan diukur dengan menggunakan refraktosalinometer, dengan cara

pengambilan sampel air pada setiap stasiun. Kemudian dibawa ke laboratorium

untuk dicatat nilai yang diperoleh.

e. pH

pH perairan diukur dengan menggunakan pH universal atau pHmeter,

dengan cara pengambilan sampel air pada tiap stasiun. Kemudian dibawa ke

laboratorium dan dicatat nilainya.

. Analisis Data

. Kelimpahan Crustacea

Analisis kelimpahan crustacea yang berada di lamun buatan, dihitung

dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Odum (1971), sebagai

berikut:

Keterangan :

X : Kelimpahan crustacea.

Xi : Jumlah individu (crustacea) pada stasiun pengamatan ke-i.

(37)

. Indeks Keanekaragaman (H’)

Untuk pengolahan data keanekaragaman digunakan rumus Shanon–

Wiener (Krebs (1989), yaitu;

S

H’ = ∑ (pi) (log2 pi)

i=1

dimana :

H’ : Nilai Indeks Keanekaragaman.

pi : Proporsi jumlah individu spesies ke –i (ni) terhadap

total individu (N) : (ni/N).

N : Jumlah total individu semua spesies.

S : Jumlah jenis.

Nilai indeks keanekaragaman (Shanon-Wiener) mempunyai beberapa

kategori menurut (Hardjosuwarno (1990) dalam Darojah, 2005), dibagi menjadi empat kriteria berdasarkan kondisi diversitas fauna bentik dengan kisaran:

H’ > 3,0 : Keanekaragaman sangat tinggi.

H’ 1,6–3,0 : Keanekaragaman tinggi.

H’ 1,0–1,5 : Keanekaragaman sedang.

H’ < 1 : Keanekaragaman rendah.

(38)

. Indeks Dominansi (D)

Metode indeks dominansi ‘Simpson’ digunakan untuk mengetahui adanya

spesies jenis tertentu yang mendominansi habitat tertentu (Krebs (1989) dalam Werdiningsih, 2005), dengan rumus:

Keterangan:

D : Indeks dominansi Simpson.

Pi : Proporsi spesies ke-i dalam komunitas

ni : Jumlah individu spesies ke-i.

N : Jumlah total individu.

Indeks Dominansi antara 0–1

D = 0, berarti tidak terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.

D = 1, berarti terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis.

. Indeks Keseragaman (E)

Indeks keseragaman dapat diketahui dengan cara membandingkan

keanekaragaman dengan nilai maksimum (Krebs (1989) dalam Werdiningsih,

2005), yang dinyatakan sebagai berikut:

Keterangan :

H’ max : Nilai maksimum H’ = Log2 S = 3,3219 log S.

(39)

H’ : Indeks keanekaragaman.

S : Jumlah jenis.

Nilai indeks berkisar antara 0–1

E ≈0: keseragaman antara spesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda.

(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

. Deskripsi Habitat

. Kondisi Habitat Lamun Alami, Pulau Pari

Berdasarkan hasil pengamatan dalam pengambilan sampel crustacea,

didapat bahwa lokasi penelitian berada di Perairan Pulau Pari. Pengambilan

sampel crustacea dilakukan pada tiga titik stasiun antara lain stasiun Barat Daya,

Utara dan Selatan. Pada perairan Barat Daya, Pulau Pari memiliki struktur

permukaan dengan rataan terumbu dan terdapat goba serta substrat yang

berlumpur pasir. Lokasi stasiun tersebut merupakan titik penelitian yang baik,

karena didukung oleh hamparan padang lamun dan berhubungan langsung dengan

laut lepas. Diduga stasiun Barat Daya memiliki beranekaragam jenis bentik

(demersal atau pelagis) yang hidup pada ekosistem padang lamun.

Adapun di stasiun Barat Daya terdapat sebagian kecil mangrove yang

tumbuh disekitar pesisir padang lamun. Tumbuhan mangrove dan padang lamun

yang terdapat di stasiun Barat Daya memiliki hubungan yang erat dilihat dari segi

ekologi. Kedua tumbuhan tersebut mampu memberikan habitat yang baik bagi

bentik crustacea atau biota lainnya. Padang lamun merupakan salah satu

ekosistem perairan pantai yang menjadi habitat dari berbagai jenis binatang

invertebrata termasuk beraneka jenis crustacea (Moosa dan Aswandy, 1995).

Lamun yang terdapat di perairan Barat Daya antara lain dari jenis Enhalus

(41)

Hampir sebagian besar di stasiun Barat Daya didominasi oleh jenis lamun

tersebut, walaupun ada sebagian kecil terdapat jenis Thalassia sp. Diduga jenis Enhalus sp lebih cocok dengan substrat dasar lumpur berpasir, sehingga dapat tumbuh subur dilingkungan tersebut.

Substrat berlumpur juga terdapat di stasiun Utara yang berbatasan

langsung dengan pulau kudus. Stasiun tersebut memiliki struktur dasar permukaan

yang curam dan tidak rata, ditambah juga kondisi dataran yang lunak, sehingga

cukup sulit apabila melintasinya. Perairan di stasiun Utara kondisinya cukup

tenang dan gelombang arus yang kecil, karena letaknya tidak berhubungan

langsung dengan perairan laut lepas. Perairan tersebut cukup ideal untuk dijadikan

tempat budidaya keramba khususnya jenis udang-udangan bagi masyarakat

sekitar. Hal ini diduga kondisi lingkungan perairan yang mendukung salah

satunya suhu mencapai (29-34oC) (tabel 8).

Padang lamun di stasiun Utara cenderung memiliki tingkat kerapatan yang

lebih rendah (12,1%) bila dibandingkan dengan stasiun lainnya (Barat Daya dan

Selatan) (lihat lampiran 9). Jenis lamun yang terdapat di stasiun Utara antara lain

Enhalus acroides dan Thalassia sp. Diduga kedua jenis lamun tersebut tidak mendominasi satu sama lain dan kondisi lamunnya yang tidak lebat (jarang),

sehingga kemungkinan bentik penghuni lamun khususnya crustacea jarang

ditemukan. Tidak hanya ekosistem lamun yang terdapat di stasiun Utara, tetapi

ada juga ekosistem mangrove walaupun hanya sebagian kecil wilayahnya.

Selain lokasi di Utara ada juga lokasi Selatan yang memiliki kondisi

padang lamun yang cukup baik, karena stasiun tersebut ditumbuhi oleh lamun

(42)

Thalassia mendominasi padang lamun di stasiun tersebut. Substrat dasar

lamunnya berpasir kasar dan halus serta permukaan dataran dengan rataan

terumbu. Disamping itu perairan bagian Selatan berdekatan dengan

perkampungan nelayan dan dermaga, sehingga bagi masyarakat tersebut dijadikan

tempat mencari ikan dan udang-udangan.

Lamun alami yang terdapat di 3 lokasi perairan dapat memberi keuntungan

tersendiri bagi crustacea dan terdapat suatu rantai makanan antar organisme

tersebut. Bentik crustacea sebagai konsumen bagi lamun, karena dapat

memanfaatkan daun lamun sebagai pakan nutrisi, sedangkan lamun sebagai

produsen dengan memanfaatkan detritus sisa pakan crustacea untuk dijadikan

nutrien bagi lamun.

. Lamun Buatan

Beberapa material lamun buatan yang dijadikan sebagai bahan alternatif

lamun alami, antara lain material tali plastik dan sabut kelapa. Kedua material

tersebut tidak memiliki ukuran yang luas dan cukup untuk mewakili dari tiap

stasiun, karena hanya untuk mengetahui keberadaan crustacea baik dari segi

diversitas (keanekaragaman) maupun kelimpahan jenis yang terdapat di area

padang lamun. Salah satunya material tali plastik yang memiliki kondisi fisik

yang kuat dan tahan lama walaupun lebih cenderung kurang ramah lingkungan. Di

duga material tali plastik mampu memberikan keuntungan bagi crustacea bentik di

lamun. Pada dasarnya material tali plastik memiliki kandungan bahan kimia

(43)

karet alam dan sejenisnya), mengandung zat pewarna yang berfungsi

meningkatkan penampilan fisik (Mujiarto, 2005).

Selain material tali plastik, sabut kelapa juga merupakan salah satu

material yang digunakan untuk pengambilan sampel dan mengetahui keberadaan

crustacea. Bahan tersebut diketahui dapat mempengaruhi keberadaan biota

crustacea antara lain dari jenis Amphipoda, Isopoda, Mysidacea dan sebagian dari

Decapoda, sehingga kemungkinan bahan tersebut mampu dijadikan sebagai

alternatif dan pengganti lamun alami. Sabut kelapa memiliki tekstur fisik yang

kasar pada tiap untaian helaiannya, karena dengan kondisi tekstur tersebut diduga

dapat menangkap zat–zat organik berupa kandungan mineral dan unsur hara lain

(fitoplankton) di perairan laut. Crustacea yang menempel pada material sabut

kelapa memiliki keuntungan antara lain sebagai tempat persembunyian dan

berlindung sementara agar terhindar dari predator di wilayah padang lamun.

Selain itu, dapat juga sebagai tempat mencari makan, karena diduga pada setiap

helai sabut kelapa terdapat zat organik (pakan) yang melekat, sehingga crustacea

dapat dengan mudah mencari makan.

Adapun bahan sabut kelapa memiliki daya tahan yang cukup terbatas

sebagai material lamun buatan. Diduga karena kondisi fisik yang cukup rentan

terhadap arus perairan laut dan teksturnya renggang, sehingga tiap beberapa

waktu perlu penggantian yang baru. Material Sabut kelapa cenderung ramah

terhadap lingkungan ataupun baik untuk dijadikan penunjang habitat sementara

bagi bentik crustacea. Hal ini juga karena bahan tersebut merupakan bahan

organik alternatif berasal dari buah kelapa tua yang memiliki serat kuat. Bagian

(44)

absorben terutama polutan logam berat yang berbahaya dan mempunyai

kemampuan untuk menyerap logam berat Pb, Fe dan Cu (Putra, 2008).

Pada material tali plastik memiliki kondisi rimbunan lebih lebat bila

dibandingkan dengan sabut kelapa yang agak renggang. Material tersebut dapat

dijadikan sebagai habitat alternatif yang bersifat sementara bagi crustacea yang

melekat. Diduga dengan kondisi rimbunan yang lebat dapat dijadikan tempat

berkembang biak dan berteduh ataupun asuhan “nursery ground”.

Kedua material tersebut memiliki fungsi yang hampir sama dilihat dari

segi fisik bahan (kerimbunan, kandungan zat, struktur dan bentuk) ataupun

perolehan jumlah komposisi bentik crustacea tersebut. Perolehan komposisi jenis

crustacea pada material tali plastik lebih banyak daripada sabut kelapa. Lain

halnya dengan material, lamun alami cenderung merupakan habitat yang secara

alami dapat menunjang bentik crustacea tersebut dapat hidup berkembang biak

ataupun reproduksi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.

. . Kelimpahan jenis Crustacea

. . . Lokasi Barat Daya

Pengambilan sampel crustacea di 3 stasiun penelitian yang dilakukan di

perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu diperoleh bahwa stasiun Barat Daya

terdapat jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda). Paracerceis sp memiliki kelimpahan sebesar 115 individu/m2, sedangkan Cymadusa filosa 67 individu/m2 (model artifisial sabut kelapa/M1). Pada jenis yang memiliki kelimpahan terendah

(45)

Ceradocus Sheardi (Ordo Amphipoda), Megaluropus sp (Famili Megaluropidae); Liljeborgia brevicornis, Liljeborgia sp (Ordo Amphipoda; Famili Liljeborgidae); Orchestia sp, Podocerus kleidus, Anamixis sp, Chevalia aviculae, Leucothoe sp, (Ordo Amphipoda), Dynamenella sp, Cymodoce velutina, Cymodoce sp, Ianiropsis sp (Ordo Isopoda); Cyclaspis sp (Ordo Cumacea); Famili Euphausid, Alpheus sp (Famili Alpheidae); Palaemonetes sp, Palaemon sp (Ordo Decapoda; Famili Palaemonidae), Spirontocaris sp (Caridean). Jenis–jenis tersebut masing – masing memiliki kelimpahan antara 0–2 individu/m2.

Model artifisial sabut kelapa (M1) mendukung kehidupan biota crustacea,

sehingga tercatat pada jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) memiliki kelimpahan jenis tertinggi. Hal ini diduga bahan

sabut kelapa memiliki struktur rimbunan agak renggang, kasar dan didukung oleh

faktor lingkungan (nutrien), dimana senyawa organik di perairan Barat Daya

menempel pada substrat sabut, sehingga memudahkan jenis–jenis tersebut dapat

mencari makan dengan mudah dan hadir di substrat sabut kelapa.

Model tali plastik (M2) memiliki kelimpahan jenis tertinggi adalah

Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) yang masing – masing sebesar 126 dan 72 individu/m2. Kelimpahan jenis terendah pada model tali plastik (M2) adalah Ceradocus sheardi (Famili Gammaroidea),

Listriella barnardi (Famili Liljeborgidea), Eusiroidea sp, Anamixis sp, Chevalia

aviculae, Leucothoe sp, Cymodoce sp (Ordo Isopoda), Palaemon sp (Macrura;

Ordo Decapoda), Spirontocaris sp (Caridean) dan Lacnopodus subacutus

(Brachyura). Jenis–jenis tersebut tidak memiliki jumlah individu yang sama yaitu

(46)

Jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi pada model tali plastik (M2)

hampir sama seperti model sabut kelapa (M1). Hal ini disebabkan tali plastik

memiliki kandungan polimer (protein, karet alam dan sejenisnya), mengandung

zat pewarna yang berfungsi meningkatkan penampilan fisik (Mujiarto, 2005).

Oleh sebab itu, tali plastik dapat memberikan habitat baru (sementara) untuk

berlindung bagi kehidupan crustacea.

Selain itu juga didukung oleh kondisi alaminya, pada jenis Paracerceis sp yang termasuk Famili Sphaeromatidae (isopoda) penyebarannya bersifat

kosmopolit dan menguasai zona intertidal (pesisir). Beberapa spesiesnya terdapat

menempel pada substrat tonggak kayu atau serabut dan sekitar karang (Kensley,

1978).

Kondisi substrat berupa lumpur pasiran yang didiami oleh kedua jenis ini

mendominasi di stasiun Barat Daya. Kelompok organisme yang mampu

beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro

(berukuran 1-10 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir dan organisme

meiofauna mikro (berukuran 0,1–1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam

ruang interaksi (Ardi (2002) dalam Schmieg, 2007). Hal lain adanya komponen berupa lamun buatan dan alami pada stasiun Barat Daya yang saling memberi

(47)

Tabel . Kelimpahan Crustacea (individu/m ) Pada Stasiun Penelitian Barat Daya.

No Nama Crustacea Modul Artifisial

M M

1 Famili Gammaroidae 2 Ceradocus sheardi 3 Anamaera hixoni 4 Megaluropus sp 5 Cymadusa filose 6 Orchestia sp

7 Liljeborgia brevicornis 8 Liljeborgia sp

9 Listriella barnardi 10 Podocerus kleidus 11 Famili Colomastigidae 12 Eusiroidea sp

13 Anamixis sp 14 Chevalia aviculae 15 Leucothoe sp 16 Dynamenella sp 17 Cymodoce setulosa 18 Paracerceis sp 19 Cymodoce velutina 20 Cymodoce sp (A) 21 Cymodoce sp (B) 22 Cymodoce sp (C) 23 Cymodoce natalensis 24 Ianiropsis sp

25 Ordo Mysidacea

26 Cyclaspis sp 27 Palaemonetes sp 28 Palaemonella sp 29 Palaemon sp 30 Famili Euphausidae 31 Alpheus sp

32 Spirontocaris sp 33 Lacnopodus subacutus

Keterangan: M1 = Sabut Kelapa

[image:47.612.144.538.68.615.2]
(48)

Sedikit atau tidak adanya kelimpahan jenis di stasiun Barat Daya bisa

disebabkan karena kurang cocoknya lamun buatan dalam memerankan fungsi

ekologinya bila dibanding dengan yang alami dan kondisi rimbunan lamun buatan

khususnya sabut kelapa yang kurang lebat, sedangkan pada lamun alaminya dapat

memproduksi detritus daun lamun untuk keperluan pakan crustacea. Kekurangan

lainnya bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu parameter (kecerahan).

Diduga apabila kecerahan yang cukup rendah kehadiran dari biota khususnya

crustacea akan relatif banyak dan begitu juga sebaliknya.

. . . Lokasi Utara

Pantauan dari hasil pengamatan yang didapat bahwa terdapat kelimpahan

jenis tertinggi yang berada di lokasi Utara antara lain pada Ordo Mysidacea dan

Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang masing–masing sebesar 24 dan 17

individu/m2. Jenis yang memiliki kelimpahan terendah antara lain Anamaera

hixoni (Ordo Amphipoda), Cymadusa filosa, Dynamenella sp (Ordo Isopoda),

Cymodoce setulosa, Cymodoce velutina, Famili Euphausidea, Alpheus sp (Ordo

Decapoda), Thalamita prymna (Brachyura), Thalamita sp dan Thalamita crenata.

Masing – masing jenis tersebut memiliki kelimpahan yang hampir sama dengan

rata – rata antara 0-3 individu/m2. Jenis–jenis tersebut berlaku pada kedua model

artifisial yaitu sabut kelapa (M1) dan tali plastik (tambang) (M2).

Jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) merupakan paling dominan menempati posisinya pada lokasi penelitian Utara dengan jumlah yang signifikan

(49)

pada Ordo Isopoda diperoleh dari koleksi yang berada di sepanjang pantai

(pesisir) dan zona karang yang dangkal (Glynn, 1971). Kelimpahan jenis

crustacea pada lokasi Utara dapat dilihat di tabel 3.

Tabel . Kelimpahan Crustacea (individu/m ) Yang Terdapat Pada Stasiun Utara.

Keterangan:

M1 = sabut kelapa

M2 = tali plastik (tambang)

Walaupun demikian jenis tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan

sekitar baik yang berada di substrat alami maupun buatan dengan serabut atau

tonggak kayu untuk dijadikan habitat. Ordo Mysidacea memiliki kelimpahan lebih

tinggi daripada Ordo Isopoda yang berada di lokasi Utara yaitu dengan

kelimpahan 24 individu/m2. Hal ini dikarenakan Ordo Mysidacea memiliki sifatnya yang hidup bebas (epibentik) di perairan dan hidup berkoloni serta

sifatnya yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat.

No Nama Crustacea Model Artifisial

M M

1 Anamaera hixoni 2

2 Cymadusa filose 2

3 Dynamenella sp 1

4 Cymodoce setulosa 3

5 Paracerceis sp 1

6 Cymodoce velutina 3

7 Ordo Mysidacea 5

8 Famili Euphausidae 2

9 Alpheus sp 1

10 Thalamita prymna 1

11 Thalamita sp 1

(50)

Kelompok Mysidacea pada tingkatan taksa genusnya secara spesifik tidak

diketahui, karena keterbatasan data literatur yang diperoleh tentang kelompok

tersebut. Diketahui bahwa morfologi dan adaptasi dari Ordo Mysidacea sebagian

besar menyerupai kelompok larva udang (Macrura). Mysidacea memiliki karapas

yang hampir menutup seluruh dadanya, mata bertangkai dan embelan dada semua

bercabang dua (Romimohtarto dan Juwana, 2007). Adapun ciri khas yang

diperoleh dari kelompok Mysidacea salah satunya terdapat sepasang bulatan

(statocyst proximal) pada bagian endopod (uropods) (Meland & Willassen, 2007).

Jenis tersebut merupakan spesies laut yang beradaptasi dan hidup sebagai hewan

bentik dan pelagis, terdistribusi dari zona litoral pantai sampai laut terbuka hingga

kedalaman tinggi dan tersebar diseluruh lautan benua. Sebagian dari kelompok

tersebut terdapat pada habitat laut dalam dan di tubir gua (Meland & Willassen,

2007).

Ordo Mysidacea merupakan kelompok crustacea tingkat rendah, diduga

dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya saling memiliki sifat

ketergantungan dengan organisme lain atau sifat parasit. Substrat lamun buatan

yang dipakai dalam penggunaannya berpengaruh terhadap keberadaan Mysidacea,

karena terlihat dari data yang ada pada lokasi penelitian ini memiliki jumlah

individu lebih besar dari jenis yang lain. Hal ini disebabkan pengaruh dari lamun

buatan (substrat sabut kelapa) cukup terpenuhi sebagai tempat berkembang biak

atau aktivitas lainnya dan dapat dijadikan perantara sumber zat organik esensial

bagi kelompok tersebut. Pengaruh lain karena lokasi Utara berdekatan langsung

(51)

mangrove juga berperan dalam proses penyuplai energi yang dibutuhkan oleh

kelompok Mysidacea.

Tingginya kelimpahan jenis dari kedua jenis tersebut di stasiun penelitian

Utara disebabkan oleh sifatnya yang hidup bebas di perairan dan kondisi

lingkungan yang terpenuhi dalam mencari makan, karena terdapat zat organik

berupa lamun alami yang merupakan habitat asli dalam memenuhi kebutuhannya

atau mikroalga serta substrat berlumpur. Adapun pantai berlumpur cenderung

untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang

potensial bagi bentos pantai tersebut (Ardi (2002) dalam Schmieg, 2007).

Kondisi lamun buatan dari kedua model dengan bahan sabut kelapa (M1)

dan tali plastik (M2) menentukan keberadaan dari kedua jenis tersebut, sehingga

diduga stasiun ini merupakan habitat yang cukup cocok. Sumber makanan (zat

organik) yang menempel di lamun buatan khususnya pada bahan sabut kelapa

akan dikonsumsi oleh crustacea, sehingga dapat dijadikan tempat mencari makan

sementara dengan kondisi lingkungan parameter yang sesuai. Lokasi tersebut juga

berdekatan dengan ekosistem mangrove, sehingga dapat berinteraksi dengan baik.

Jenis yang memiliki kelimpahan sedikit bisa disebabkan karena kurang

cocoknya lamun buatan dalam memerankan fungsi ekologinya bila dibanding

dengan yang alami. Aktivitas masyarakat nelayan di perairan dan kondisi

parameter (suhu) yang mengalami perubahan signifikan dari minggu 3 ke 4 (Tabel

6). Oleh sebab itu, hasil yang didapat dari rimbunan kedua artifisial sabut kelapa

(M1) dan tali plastik (M2) relatif sedikit dengan jumlah kelimpahan antara 0–3

(52)

mencapai 30-33oC dan salinitas 30-33o/oo tinggi, sehingga memungkinkan perkembangan bakteri patogen (Aeromonas) (Juwana, 2001).

. . . Lokasi Selatan

Pada stasiun Selatan terdapat kelimpahan jenis tertinggi yaitu jenis

Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) dan Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang masing – masing berjumlah 51 dan 17 individu/m2, sedangkan jenis yang memiliki kelimpahan terendah yaitu Gammaropsis sp (Ordo Amphipoda), Dynamenella sp (Ordo Isopoda), Cymodoce velutina, Thalamita sp (Brachyura), Ordo Mysidacea yang masing–masing kelimpahannya antara 0–1 individu/m2. Kelimpahan tertinggi dan terendah tersebut berlaku pada kedua model (sabut

kelapa (M1) dan tali plastik (M2). Ordo Mysidacea memiliki kelimpahan terendah

pada model tali plastik (M2).

Jenis Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) dan Paracerceis sp (Ordo Isopoda), seperti halnya sama dengan lokasi sebelah Barat Daya yang

mendominasi sebagian dari seluruh crustacea yang didapat dari lamun buatan

tersebut. Jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang mendominasi seluruh stasiun dan berperan penting sebagai rantai makanan bagi organisme lain. Kedua jenis

tersebut yang memiliki kelimpahan tertinggi merupakan predator bagi organisme

lain, salah satunya ikan dan juga crustacea lain seperti kepiting dan udang. Hal ini

karena hidupnya yang bebas dan menguasai daerah territorial serta tidak memiliki

nilai ekonomis penting bagi masyarakat sekitar. Secara ekologi, jenis dari

Amphipoda berperan sebagai kutu dan hidupnya parasit pada organisme lain.

(53)

didasarkan pada hospesnya, yaitu Isopoda pada ikan dan crustacea lain

(Widyastuti, 2002). Pengaruh dari lamun buatan terhadap kedua jenis antara lain

Amphipoda dan Isopoda cukup ideal, karena materialnya berperan sebagai untuk

dijadikan tempat perlindungan, asuhan dan bahkan untuk mencari makan.

Kelimpahan jenis crustacea pada stasiun selatan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel . Kelimpahan Jenis Crustacea (individu/m ) Pada Stasiun Selatan.

Keterangan: M1 = sabut kelapa M2 = tali plastik (tambang)

Jenis dari Decapoda yang diperoleh dari stasiun Selatan jumlah

kelimpahannya antara 0–2 individu/m2. Sementara itu, jumlah yang dominannya berasal dari jenis Ordo Isopoda dan Ordo Amphipoda bila dibandingkan

kelompok Decapoda yang lebih sedikit. Hal ini diduga posisi peletakkan habitat

No Nama

Crustacea

Model Artifisial

M M

1

Famili

Gammaroidae 2 2

2 Gammaropsis sp 1

3 Cymadusa filose 6

4 Cymadusa sp 2 3

5

Cymadusa

compta 2 1

6

Podocerus

kleidus 3 1

7 Dynamenell

Gambar

Gambar 1: Kerangka berpikir penelitian.
Gambar 2. Peta Lokasi Pulau Pari, Kepulauan Seribu. (http:// kepulauan seribu. multiply.com/GIF-image/item/Kepulauan_Seribu, 20 05)
Tabel �. Luas Bentuk Lahan Gugus Pulau Pari.
Gambar 5. Jenis Udang yang menjadikan Lamun sebagai habitat utama
+6

Referensi

Dokumen terkait

Rataan nilai rasa sosis ikan gulamah berkisar antara yang terendah 5,09 pada inter- aksi perlakuan kombinasi “wrapping plastic” styrofoam dengan lama penyimpanan 15 hari (A2B6)

Pencampuran bahan dilakukan dengan cara melarutkan atau mencampurkan bahan-bahan kedalam sari kacang merah pada kondisi hangat, sukrosa dan gelatin tulang ikan patin

Berkaitan dengan kompetisi peradilan semu, Moot Court Community Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (MCC FH UNS) telah menerima undangan tertanggal 5 Juni

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya yang telah dilimpahkan sejak penulis mencari

pada jurusan Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam. Negeri (IAIN) Tulungagung dengan judul “Konsep Akal Dan Wahyu Menurut

Berdasarkan hasil kegiatan pengabdian masyarakat tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat di daerah Bale-Bale khususnya remaja yang mempunyai jiwa

Peningkatan performa yang dihasilkan oleh linear engine diakibatkan karena gaya gesek yang diterima lebih sedikit dibandingkan dengan mesin konvensional biasa.

Sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan Lembaga Amil Zakat, dapat dikatakan baik, yaitu sebesar 68,7% , sedangkan indikator adanya ukuran