1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan masyarakat akan jasa layanan kesehatan semakin tinggi, hal ini disebabkan karena semakin tingginya kesadaran masyarakat
akan artinya kesehatan. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan jasa layanan kesehatan, maka fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama seperti klinik harus selalu berusaha untuk memenuhinya dalam
penanganan kebutuhan pelayanan medik dasar dan juga harus dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan pelayanan kesehatan yang
bermutu.
Upaya yang dilakukan kementrian kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan adalah melalui kegiatan akreditasi klinik baik milik
pemerintah maupun milik swasta. Dalam upaya tersebut sudah diatur di dalam permenkes tentang klinik pada pasal 38, menyebutkan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan klinik, dilakukan akreditasi secara berkala
paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali dan setiap klinik yang telah memperoleh izin operasional dan telah beroperasi paling sedikit 2 (dua)
tahun wajib mengajukan permohonan akreditasi (Permenkes RI, 2014). Pada dasarnya sesuai dengan permenkes tentang akreditasi klinik dalam
Standar akreditasi klinik 2015 disusun dalam 4 bab yaitu
kepemimpinan dan manajemen klinik (KMK), layanan klinis yang berorientasi pasien (LKBP), manajemen penunjang layanan klinis
(MPLK), peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien (PMKP). Standar akreditasi ini sudah dimulai pelaksanaannya pada tahun 2015, dan sampai saat ini semua fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
sedang mempersiapkan untuk memenuhi standart instumen akreditasi tersebut agar mampu memberikan pelayanan yang bermutu (Permenkes RI
No.46, 2015).
Saat ini paradigma standar akreditasi telah mengalami perubahan di mana tujuan akreditasi adalah untuk peningkatan mutu pelayanan klinik
bukan semata mata untuk mendapatkan sertifikat kelulusan, standar akreditasi harus memenuhi kriteria dan bersifat dinamis, pelayanan yang
berfokus pada pasien, keselamatan pasien menjadi standar utama, dan kesinambungan pelayanan harus dilakukan baik dan hasil survey merupakan upaya pencapaian klinik terhadap scoring yang ditentukan berupa level pencapaian yaitu tidak terakreditasi, terakreditasi dasar, madya atau paripurna (Permenkes RI No.46 ,2015).
Pada saat ini mutu pelayanan kesehatan telah memasuki era keselamatan pasien. Hal ini didasari dari penetapan kelulusan akreditasi untuk pencapaian level dasar, madya, atau paripurna. Pada saat ini
meningkatkan mutu pelayanan dan upaya keselamatan pasien di rumah sakit atau klinik sudah merupakan sebuah gerakan universal, berbagai
baru yaitu quality-safety. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya mutu pelayanan saja yang harus ditingkatkan tetapi yang lebih penting lagi adalah menjaga keselamatan pasien secara konsisten dan terus menerus
(DEPKES, 2011).
Kualitas pelayanan dan keselamatan pasien di pelayanan primer perlu ditingkatkan di mana keselamatan pasien didefinisikan sebagai
pencegahan bahaya atau cedera yang disebabkan oleh kelalaian dari petugas medis maupun non medis (IOM, 2004). Seperlima dari orang di
masyarakat yang terkena kesalahan medis setinggi 34% - 42%, hasil yang didapatkan bisa kematian atau menderita luka akibat kesalahan medis tersebut (Blendon et.al, 2002). Namun, karena kasus yang parah dan rumit membutuhkan perlakuan khusus yang perlu ditangani di rumah sakit, sehingga baik penyedia pelayanan kesehatan dan masyarakat sering
meremehkan pentingnya layanan kesehatan primer akibatnya pandangan masyarakat dalam pelayanan primer rentan terhadap kesalahan organisasi,
pemberitahuan/ komunikasi dokter, dan juga staf (Kuzel et.al, 2004)
Survey pertama penelitian yang dilakukan di Turki tekait budaya
patient safety di pelayanan kesehatan primer yang dimodifikasi dari
Hospital Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC) didapatkan bahwa frekuensi pelaporan kejadian jauh lebih rendah dibandingkan di rumah sakit (Sorra J et.al, 2004). Data survey kedua pada penelitian yang dilakukan terkait modifikasi dari (HSOPSC) yang dilakukan di pelayanan kesehatan primer didapatkan bahwa budaya keselamatan pasien di
kesehatan primer di semua dimensi dibandingkan dengan hasil untuk
rumah sakit. Sebagian besar nilai rata-rata dari pelayanan kesehatan primer untuk budaya keselamatan pasien berada di bawah 50% (Sorra J, et.al, 2008).
Pada data laporan insiden keselamatan pasien di klinik rawat inap x Malang didapatkan 4 insiden atau 1,6% dari seluruh kunjungan pasien
rawat inap tahun 2013. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan angka statistik nasional ataupun internasional.
Berdasarkan survey pendahuluan dengan teknik wawancara dan studi dokumen yang telah dilakukan di Klinik Trio Husada Batu pada bulan Januari 2016 didapatkan bahwa adanya program sasaran
keselamatan pasien dan service excellent telah mendapatkan perhatian dan menjadi program khusus yang di laksanakan sebagai komitmen bersama di
lingkungan Klinik Trio Husada Batu. Program keselamatan pasien dibentuk atas dasar untuk meningkatkan mutu dan pelayanan di Klinik Trio Husada Batu bersama seluruh karyawan baik medis maupun non
medis. Tetapi pada pelaksanaanya masih belum maksimal, kurangnya pengetahuan secara maksimal tentang sasaran keselamatan pasien dan
budaya melaporkan suatu kesalahan/ kejadian menjadi hambatan karena tidak adanya tindak lanjut dari penangung jawab program patient safety di Klinik Trio Husada Batu. Program tersebut hanya berjalan sekitar 6 bulan
Melihat fenomena tersebut di atas, maka implementasi sasaran
keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Kota Batu diharapkan dapat merubah perilaku keselamatan pasien dan bisa menjadi prioritas di unit
pelayanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan primer yang melakukan upaya memberikan pelayanan keselamatan pasien dapat membantu memperbaiki proses pelayanan dan juga meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan serta upaya dalam mempersiapan menghadapi akreditasi klinik di Klinik Trio Husada Kota Batu.
B. Rumusan Masalah
“ Bagaimana implementasi sasaran keselamatan pasien dalam
upaya menghadapi akreditasi di Klinik Pratama Trio Husada Kota Batu ?“
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui implementasi sasaran keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Kota Batu dalam persiapan menghadapi akreditasi
klinik.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk dapat mengetahui peningkatan implementasi 6 sasaran
keselamatan pasien yang dilakukan oleh tenaga medis maupun non medis di Klinik Trio Husada Kota Batu.
b. Untuk dapat menilai kesiapan Klinik Trio Husada dalam
D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
tambahan referensi atau masukan dalam mengimplementasikan standar sasaran keselamatan pasien yang terdapat pada bab iv akreditasi klinik sehingga dapat memahami implementasi (PMKP)
peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien. Khususnya ilmu manajemen rumah sakit dan klinik untuk mengetahui bagaimana
persiapan dalam menghadapi akreditasi FKTP yang di tetapkan oleh kemenkes.
2. Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengaktifkan lagi program sasaran keselamatan pasien (patient safety) sesuai 6 sasaran keselamatan pasien, serta masukan serta evaluasi bagi tenaga medis dan non medis dalam pemahaman dan implementasinya di Klinik Pratama Trio Husada Batu. Penelitian ini
juga dapat bermanfaat dalam membantu mempersiapkan bab iv dalam menghadapi akreditasi klinik khususnya pemilik dan seluruh staf dan
karyawan Klinik Pratama Trio Husada Batu dalam mempersiapkan kelengkapan untuk akreditasi klinik yang dapat meningkatkan pelayanan dan mutu dari Klinik Pratama Trio Husada Batu untuk
7 A. Telaah Pustaka
1. Klinik
a. Pengertian Klinik
Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan dan menyediakan pelayanan medis dasar dan atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (Permenkes RI
No.9, 2014) .
b. Jenis Klinik
1) Klinik Pratama
Klinik pratama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar yang dilayani oleh dokter umum dan
dipimpin oleh seorang dokter umum. Berdasarkan perijinannya klinik ini dapat dimiliki oleh badan usaha ataupun perorangan.
2) Klinik Utama
Klinik utama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan
spesialistik. Spesialistik berarti mengkhususkan pelayanan pada satu bidang tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
perijinannya klinik ini hanya dapat dimiliki oleh badan usaha
berupa CV, ataupun PT.
Adapun perbedaan antara klinik pratama dan klinik utama adalah:
1) Pelayanan medis pada klinik pratama hanya pelayanan medis dasar, sementara pada klinik utama mencangkup pelayanan medis dasar dan spesialis;
2) Pimpinan klinik pratama adalah dokter atau dokter gigi, sementara pada klinik utama pimpinannya adalah dokter
spesialis atau dokter gigi spesialis;
3) Layanan di dalam klinik utama mencangkup layanan rawat inap, sementara pada klinik pratama layanan rawat inap hanya
boleh dalam hal klinik berbentuk badan usaha;
4) Tenaga medis dalam klinik pratama adalah minimal dua orang
dokter atau dokter gigi, sementara dalam klinik utama diperlukan satu orang spesialis untuk masing-masing jenis
pelayanan.
Adapun bentuk pelayanan klinik dapat berupa:
1) Rawat jalan;
2) Rawat inap; 3) One day care; 4) Home care;
Perlu ditegaskan lagi bahwa klinik pratama yang
menyelenggarakan rawat inap, harus memiliki izin dalam bentuk badan usaha. Mengenai kepemilikan klinik, dapat dimiliki secara
perorangan ataupun badan usaha. Bagi klinik yang menyelenggarakan rawat inap maka klinik tersebut harus menyediakan berbagai fasilitas yang mencakup: (1) ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan;
(2) minimal 5 bed, maksimal 10 bed, dengan lama inap maksimal 5 hari; (3) tenaga medis dan keperawatan sesuai jumlah dan kualifikasi;
(4). dapur gizi dan (5) pelayanan laboratorium klinik pratama (Permenkes RI No.9, 2014).
c. Kewajiban Klinik
Klinik memiliki kewajiban yang meliputi:
1) Memberikan pelayanan aman, bermutu, mengutamakan
kepentingan pasien, sesuai standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional;
2) Memberikan pelayanan gawat darurat pada pasien sesuai
kemampuan tanpa meminta uang muka terlebih dahulu/mengutamakan kepentingan pasien;
3) Memperoleh persetujuan tindakan medis; 4) Menyelenggarakan rekam medis;
5) Melaksanakan sistem rujukan;
7) Menghormati hak pasien;
8) Melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya;
9) Memiliki peraturan internal dan standar prosedur operasional;
10) Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan (Permenkes RI No.9, 2014) .
d. Kewajiban Pihak Penyelenggara Klinik
Pihak penyelenggara klinik memiliki kewajiban yaitu: 1) Memasang papan nama klinik;
2) Membuat daftar tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja di klinik beserta nomor surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) atau surat izin kerja
(SIK) dan surat izin praktik apoteker (SIPA) bagi apoteker; 3) Melaksanakan pencatatan untuk penyakit-penyakit tertentu
dan melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dalam rangka melaksanakan program pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan klinik ini dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah
daerah. Bagi klinik yang melakukan pelanggaran, maka pemerintah dapat mengenakan sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis
e. Bangunan dan Ruangan
Klinik diselenggarakan pada bangunan yang permanen dan tidak bergabung dengan tempat tinggal atau unit kerja lainnya. Dan
juga bangunan klinik harus memenuhi persyaratan lingkungan sehat sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Bangunan klinik juga harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan
dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang usia
lanjut.
Bangunan klinik paling sedikit terdiri atas:
1) Ruang pendaftaran/ruang tunggu; 2) Ruang konsultasi;
3) Ruang administrasi;
4) Ruang obat dan bahan habis pakai untuk klinik yang melaksanakan pelayanan farmasi;
5) Ruang tindakan;
6) Ruang/pojok asi; 7) Kamar mandi/wc; dan
8) Ruangan lainnya sesuai kebutuhan pelayanan
f. Prasarana Klinik
Berdasarkan permenkes RI No.9, 2014 tentang klinik disebutkan bahwa prasarana klinik meliputi:
1) Instalasi air; 2) Instalasi listrik;
3) Instalasi sirkulasi udara;
4) Sarana pengelolaan limbah;
5) Pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
6) Ambulans, untuk klinik yang menyelenggarakan rawat inap; dan
7) Sarana lainnya sesuai kebutuhan.
Prasarana sebagaimana dimaksud di atas harus dalam keadaan
terpelihara dan berfungsi dengan baik.
g. Peralatan Klinik
Klinik harus dilengkapi dengan peralatan medis dan nonmedis yang memadai sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan.
Peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar mutu, keamanan, dan keselamatan. Selain memenuhi standar, peralatan
medis juga harus memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang - undangan.
Peralatan medis yang digunakan di klinik harus diuji dan
pengkalibrasi yang berwenang untuk mendapatkan surat kelayakan
alat. Peralatan medis yang menggunakan radiasi pengion harus mendapatkan izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan peralatan medis untuk kepentingan penegakan diagnosis, terapi dan rehabilitasi harus berdasarkan indikasi medis (Permenkes
RI No.9, 2014) .
h. Ketenagaan Klinik
Pimpinan klinik pratama adalah seorang dokter atau dokter
gigi. Pimpinan klinik utama adalah dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang memiliki kompetensi sesuai dengan jenis kliniknya. Pimpinan klinik sebagaimana dimaksud pada ayat dan ayat merupakan
penanggung jawab klinik dan merangkap sebagai pelaksana pelayanan.
Tenaga medis pada klinik pratama minimal terdiri dari 2 (dua) orang dokter dan/atau dokter gigi. Lain hal nya dengan klinik utama, minimal harus terdiri dari 1 (satu) orang dokter spesialis dari
masing-masing spesialisasi sesuai jenis pelayanan yang diberikan. Klinik utama dapat mempekerjakan dokter dan/atau dokter gigi sebagai
tenaga pelaksana pelayanan medis. Dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud di atas harus memiliki kompetensi setelah mengikuti pendidikan atau pelatihan sesuai dengan jenis pelayanan
kesehatan lain serta tenaga non kesehatan disesuaikan dengan
kebutuhan dan jenis pelayanan yang diberikan oleh klinik.
Setiap tenaga medis yang berpraktik di klinik harus
mempunyai surat tanda registrasi dan surat izin praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang - undangan. Begitu juga tenaga kesehatan lain yang bekerja di klinik harus mempunyai surat izin
sebagai tanda registrasi/ surat tanda registrasi dan surat izin kerja (SIK) atau surat izin praktik apoteker (SIPA) sesuai ketentuan
peraturan perundang - undangan.
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, standar
pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien. dan juga klinik dilarang
mempekerjakan tenaga kesehatan warga negara asing (Permenkes RI No.9, 2014) .
i. Perijinan Klinik
Untuk mendirikan dan menyelenggarakan klinik harus mendapat izin dari pemerintah daerah kabupaten/kota setelah
mendapatkan rekomendasi dari dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Dinas kesehatan kabupaten/kota mengeluarkan rekomendasi
setelah klinik memenuhi ketentuan persyaratan klinik. Permohonan izin klinik diajukan dengan melampirkan:
2) Salinan/fotokopi pendirian badan usaha kecuali untuk
kepemilikan perorangan; 3) Identitas lengkap pemohon;
4) Surat keterangan persetujuan lokasi dari pemerintah daerah setempat;
5) Bukti hak kepemilikan atau penggunaan tanah atau izin
penggunaan bangunan untuk penyelenggaraan kegiatan bagi milik pribadi atau surat kontrak minimal selama 5 (lima)
tahun bagi yang menyewa bangunan untuk penyelenggaraan kegiatan;
6) Dokumen upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL);
7) Profil klinik yang akan didirikan meliputi struktur
organisasi kepengurusan, tenaga kesehatan, sarana dan prasarana, dan peralatan serta pelayanan yang diberikan; dan
8) Persyaratan administrasi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Izin klinik diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan
6 (enam) bulan sebelum habis masa berlaku izinnya. Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima harus menetapkan menerima atau menolak
yang tidak memenuhi syarat ditolak oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota dengan memberikan alasan penolakannya kepada pihak penanggung jawab klinik pratama yang bersangkutan
(Permenkes RI No.9, 2014).
2. Sasaran Keselamatan Pasien (Patient Safety) a. Pengertian Patient Safety
Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi
(penyakit, cedera fisik/sosial psikologis, cacat, kematian) terkait dengan pelayanan kesehatan (KKP-RS, 2008).
Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk: assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (DepKes, 2008).
b. Kebijakan Depkes Tentang Keselamatan Pasien
Kebijakan depkes RI tentang keselamatan pasien di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainya antara lain:
1) Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit/
2) Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien
dan masyarakat.
3) Menurunnya kejadian tak diharapkan (KTD).
4) Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.
c. Kebijakan Akreditasi Klinik Tentang Patiens Safety
Komisi akreditasi telah mengeluarkan kebijakan standar akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama 2015, yang
memuat tentang instrumen akreditasi klinik . Dalam standar akreditasi klinik 2015 ini, patients safety ditempatkan sebagai salah satu komponen penting dalam Intrumen akreditasi rumah sakit di Indonesia.
Standar ini disusun dengan mengacu pada standar permenkes
tentang keselamatan pasien rumah sakit atau sasaran internasional keselamatan pasien (SIKP) yang berisikan enam sasaran keselamatan pasien. Enam sasaran keselamatan pasien menurut permenkes
No.1691 tahun 2011 tersebut adalah sebagai berikut; sasaran 1
ketepatan identifikasi pasien ; sasaran 2 peningkatan komunikasi yang
efektif; sasaran 3 peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert medications); sasaran 4 kepastian lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; sasaran 5 pengurangan risiko infeksi
terkait pelayanan kesehatan; sasaran 6 pengurangan risiko pasien jatuh Uraian keenam sasaran keselamatan pasien adalah sebagai
1) Sasaran I: ketepatan identifikasi pasien
Standar SKP I rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/ meningkatkan ketelitian
identifikasi pasien. Maksud dan tujuan SKP I kesalahan karena salah pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Keadaan yang dapat
mengarahkan terjadinya error / kesalahan dalam mengidentifikasi pasien, adalah pasien yang dalam keadaan
terbius / tersedasi, mengalami disorientasi, atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi
di dalam rumah sakit; mungkin mengalami disabilitas sensori; atau akibat situasi lain.
Maksud ganda dari sasaran ini adalah : pertama,
untuk dengan cara yang dapat dipercaya/reliable
mengidentifikasi pasien sebagai individu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pelayanan atau
pengobatan dan kedua untuk mencocokkan pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya proses yang digunakan untuk
untukpemeriksaan klinis; atau memberikan pengobatan atau
tindakan lain.
Kebijakan atau prosedur memerlukan sedikitnya
dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, dengan dua nama pasien, nomor identifikasi menggunakan nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang
(identitas pasien) dengan bar-code, atau cara lain. Nomor kamar atau lokasi pasien tidak bisa digunakan untuk
identifikasi.
Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan
penggunaan dua pengidentifikasi/penanda yang berbeda pada lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan ambulatori atau pelayanan rawat jalan yang lain,
unit gawat darurat, atau kamar operasi. Identifikasi terhadap pasien koma yang tanpa identitas, juga termasuk. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan
kebijakan dan/atau prosedur untuk memastikan telah mengatur semua situasi yang memungkinkan untuk
diidentifikasi.
Elemen penilaian sasaran I adalah (1). Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak
boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien; (2). Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau
darah dan spesimen lain untuk. pemeriksaan klinis; (4).
Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur; (5). Kebijakan dan prosedur
mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi.
2) Sasaran II: Peningkatan komunikasi yang efektif
Standar SKP II rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi
antar para pemberi layanan. Maksud dan tujuan SKP II adalah komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat,
lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh resipien/penerima, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik,
lisan, atau tertulis.
Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan yang
diberikan melalui telpon, bila diperbolehkan peraturan perundangan. Komunikasi lain yang mudah terjadi
kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera/cito.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan
ke komputer) perintah secara lengkap atau hasil
pemeriksaan oleh penerima informasi; penerima membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwaapa yang sudah dituliskan dan dibacakan ulang dengan akurat untuk obatobat yang termasuk obat NORUM/LASA dilakukan eja
ulang.
Elemen penilaian sasaran II adalah; (1) perintah
lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima
perintah; (2) perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah; (3) perintah atau hasil pemeriksaan
dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan; (4) kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten. 3) Sasaran III: peningkatan keamanan obat yang perlu
diwaspadai (high alert medications)
Standar SKP III adalah rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki/
meningkatkan keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai
penerapan manajemen yang benar penting/krusial untuk
memastikan keselamatan pasien.
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang persentasinya tinggi dalam menyebabkan terjadi kesalahan/error dan/atau kejadian sentinel (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) demikian pula obat-obat yang tampak mirip/ucapan mirip (nama obat, rupa dan ucapan mirip/NORUM, atau look-alike sound-alike / LASA).
Daftar obat-obatan yang sangat perlu diwaspadai tersedia di WHO. Yang sering disebut-sebut dalam isu keamanan obat adalah pemberian elektrolit konsentrat
secara tidak sengaja (misalnya, kalium/potasium klorida [sama dengan 2 mEq/ml atau yang lebih pekat]), kalium/potasium fosfat [(sama dengan atau lebih besar dari
3 mmol/ml)], natrium/sodium klorida (lebih pekat dari 0.9%), dan magnesium sulfat (sama dengan 50% atau lebih
pekat).
Kesalahan ini bisa terjadi bila staf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien,
bila perawat kontrak tidak diorientasikan sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien, atau pada keadaan
mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah
dengan mengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit
konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.
Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana yang membutuhkan elektrolit konsentrat secara
klinis sebagaimana ditetapkan oleh petunjuk dan praktek profesional, seperti di IGD atau kamar operasi, serta
menetapkan cara pemberian label yang jelas serta bagaimana penyimpanannya di area tersebut sedemikian
rupa, sehingga membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak disengaja/kurang hati-hati.
Elemen penilaian sasaran III adalah; (1) kebijakan
dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat; (2) implementasi
kebijakan dan prosedur; (3) elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan
secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan; (4) elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit
4) Sasaran lV: kepastian lokasi, prosedur,
tepat-pasien operasi.
Standar SKP IV adalah rumah sakit
mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi. Maksud dan tujuan SKP IV adalah salah lokasi, salah prosedur, salah
pasien operasi, adalah kejadian yang mengkhawatirkan dan biasa terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari
komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/ tidak melibatkan pasien di
dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk memverifikasi lokasi operasi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Kebijakan termasuk definisi dari
operasi yang memasukkan sekurang-kurangnya prosedur yang menginvestigasi dan/atau mengobati penyakit dan
kelainan/disorder pada tubuh manusia dengan caramenyayat, membuang, mengubah, atau menyisipkan kesempatan diagnostik/terapeutik. Kebijakan berlaku atas
setiap lokasi di rumah sakit dimana prosedur ini dijalankan. Praktek berbasis bukti, seperti yang diuraikan dalam
juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi melibatkan pasien dan dilakukan dengan tanda yang segera dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di seluruh rumah sakit; dan harus dibuat oleh orang yang akan melakukan tindakan;
harus dibuat saat pasien terjaga dan sadar; jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai pasien disiapkan
dan diselimuti. Lokasi operasi ditandai pada semua kasus termasuk sisi (laterality), struktur multipel (jari tangan, jari kaki, lesi), atau multiple level (tulang belakang).
Maksud dari proses verifikasi praoperatif adalah untuk: memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang
benar; memastikan bahwa semua dokumen, foto (images), dan hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang, memverifikasi keberadaan
peralatan khusus dan/atau implant-implant yang dibutuhkan. Tahap “sebelum insisi” / Time out
memungkinkan setiap pertanyaan yang belum terjawab atau kesimpang-siuran dibereskan. Time out dilakukan di tempat tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai,
dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan (secara
Elemen penilaian sasaran iv adalah; (1) rumah sakit
menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam
proses penandaan; (2) rumah sakit menggunakan suatu
checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan
semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional; (3) tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/
time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan pembedahan; (4) kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk
prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.
5) Sasaran V: pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.
Standar SKP V adalah rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Maksud dan tujuan SKP V
adalah pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam kebanyakan tatanan pelayanan
yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan
keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan.
Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih-terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pokok dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi
lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman
hand hygiene yang berlaku secara internasional bisa diperoleh dari WHO. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi pedoman
hand hygiene yang diterima secara umum untuk implementasi pedoman itu di rumah sakit.
Elemen penilaian sasaran V adalah; (1) rumah sakit
mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum
(al.dari WHO Patient Safety); (2) rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif; (3) kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Standar SKP VI adalah rumah sakit
mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh. Maksud dan tujuan
SKP VI adalah jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang
diberikan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.
Evaluasi bisa meliputi riwayat jatuh, obat dan telaah
terhadap obat dan konsumsi alkohol, penelitian terhadap gaya / cara jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program ini
memonitor baik konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak sengaja terhadap langkah - langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misalnya penggunaan yang tidak
benar dari alat penghalang aau pembatasan asupan cairan bisa menyebabkan cedera, sirkulasi yang terganggu, atau
integrasi kulit yang menurun. Program tersebut harus dapat diterapkan di rumah sakit.
Elemen penilaian sasaran VI adalah; (1) rumah
sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila
dan lain-lain; (2) langkah-langkah diterapkan untuk
mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh; (3) langkah-langkah
dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan; (4) kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
d. Kewajiban Patient Safety Bagi Setiap Rumah Sakit
Kebijakan patient safety merupakan kewajiban bagi setiap rumah sakit untuk melaksanakan patient safety, yakni:
1) Rumah sakit wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien.
2) Rumah sakit wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan pasien.
3) Rumah sakit wajib menerapkan standart keselamatan
pasien.
4) Evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien akan dilakukan
melalui program akreditasi rumah sakit (Permenkes No. 1691, 2011)
e. Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Berdasarkan (Permenkes No. 1691, 2011) sistem keselamatan pasien yaitu :
2) Analisa, belajar, riset masalah dan pengembangan
taxonomy.
3) Pengembangan dan penerapan solusi serta
monitoring/evaluasi.
4) Penetapan panduan, pedoman, sop, standart indikator keselamatan pasien berdasarkan pengetahuan dan riset.
5) Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarganya.
f. Standar Akreditasi Klinik Sasaran Keselamatan Pasien
Berdasarkan (Permenkes RI No.9, 2014) standar akreditasi pada bab VI yang membahas tentang keselamatan pasien adalah :
1) Tanggung jawab tenaga klinis
Perencanaan ,monitoring, dan evaluasi mutu layanan klinis dan keselamatan menjadi tanggung jawab tenaga yang
bekerja di pelayanan klinis. 2) Pemahaman mutu layanan klinis
Mutu layanan klinis dan keselamatan dipahami dan
didefinisikan dengan baik oleh semua pihak yang berkepentingan.
3) Pengukuran mutu layanan klinis dan sasaran keselamatan pasien.
Mutu layanan klinis dan sasaran keselamtaan pasien diukur,
dikumpulkan dan dievaluasi dengan tepat.
Perbaikan mutu layanan klinis dan keselamayan pasien
diupayakan, dievaluasi dan dikomunikasikan dengan baik.
g. Langkah Penerapan Patient Safety
Menurut DepKes RI (DepKes.2008) penerapan program
patient safety, terdiri dari:
1) Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.
2) Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang keselamatan pasien.
3) Membangun sistem dan proses managemen resiko serta melakukan identifikasi dan assessmen terhadap potensial
masalah.
4) Membangun sistim pelaporan.
5) Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.
6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan melakukan analisis akar masalah.
7) Mencegah cedera melalui implementasi sistim keselamatan
pasiendengan menggunakan informasi yang ada.
h. Indikator Patient Safety
Indikator patient safety (IPS) merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai
Dengan mendasarkan pada IPS ini maka rumah sakit dapat
menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah timbulnya outcome
klinik yang tidak diharapkan pada pasien (Dwi Prahasto, 2008).
Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area pelayanan.
1) Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan berbagai
tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder
akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik.
2) Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik yang didokumentasikan di tingkat
pelayanan setempat (kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik
Indikator patient safety antara lain: komplikasi anesthesi, angka kematian yang rendah, ulkus dekubitus, kematian oleh karena komplikasi pada pasien rawat inap, benda asing tertinggal selama prosedur, pneumotoraks iatrogenic. Infeksi akibat perawatan, patah tulang pascaoperasi, pendarahan atau hematoma pascaoperasi,
abdominopelvik, luka tusukan dan laserasi, reaksi transfusi, trauma lahir - cedera pada neonatus, trauma kebidanan oleh karena persalinan dengan instrument, trauma kebidanan oleh karena persalinan tanpa
instrument, trauma kebidanan - kelahiran sesaria.
Elemen patient safety meliputi: kesalahan pengobatan yang merugikan, menggunakan restraint, infeksi nosokomial, kecelakaan bedah, luka karena tekanan (dicubitus), keamanan produk darah, resistensi antimikrobial, Imunisasi, falls (jatuh), darah stream (aliran), perawatan kateter pembuluh darah serta tindak lanjut dan pelaporan insiden keselamatan pasien.
Akar penyebab kesalahan keselamatan pasien paling umum disebabkan antara lain: masalah komunikasi, kurangnya informasi, masalah manusia, pasien yang berhubungan dengan isu-isu, transfer
pengetahuan dalam organisasi, staffing pola/alur kerja, kegagalan teknis, kurangnya kebijakan dan prosedur. Tujuan umum atau sasaran keselamatan pasien, yakni: mengidentifikasi pasien dengan benar,
meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan obat, hilangkan salah tempat, salah-pasien, prosedur tindakan yang salah,
mengurangi resiko infeksi terkait perawatan kesehatan dan mengurangi risiko bahaya pasien dari jatuh (KARS, 2012).
3. Akreditasi Klinik
a. Pengertian Akreditasi Klinik
Akreditasi puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri
disebut akreditasi adalah pengakuan yang diberikan oleh lembaga
independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh menteri setelah memenuhi standar akreditasi (Permenkes RI No.46, 2015).
Klinik pratama adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan dengan menyediakan pelayanan medik dasar baik umum maupun khusus.
Pengaturan akreditasi puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi
bertujuan untuk:
1) Meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien;
2) Meningkatkan perlindungan bagi sumber daya manusia kesehatan, masyarakat dan lingkungannya, serta puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat
praktik mandiri dokter gigi sebagai institusi; dan
3) Meningkatkan kinerja puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter
gigi dalam pelayanan kesehatan perseorangan dan/atau kesehatan masyarakat.
b. Penyelenggaraan akreditasi
Puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi wajib terakreditasi. Akreditasi
puskesmas dan klinik pratama dilakukan setiap 3 (tiga) tahun. Akreditasi tempat praktik mandiri dokter dan tempat praktik mandiri
berkewajiban mendukung, memotivasi, mendorong, dan
memperlancar proses pelaksanaan akreditasi puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri
dokter gigi (Permenkes RI No.46, 2015)..
Dalam menyelenggarakan akreditasi dapat dilakukan pendampingan dan penilaian praakreditasi. Puskesmas yang telah
terakreditasi wajib mendapatkan pendampingan pasca akreditasi. Klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik
mandiri dokter gigi yang telah terakreditasi dapat mengajukan permohonan pendampingan pasca akreditasi kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota (Permenkes RI No.46, 2015).
c. Penetapan Akreditasi
Penetapan akreditasi sebagaimana merupakan hasil akhir
survei akreditasi oleh surveior dan keputusan rapat lembaga independen penyelenggara akreditasi. Penetapan akreditasi dilakukan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan
oleh menteri. Penetapan akreditasi dibuktikan dengan sertifikat akreditasi.
Penetapan status akreditasi puskesmas terdiri atas: 1) Tidak terakreditasi;
2) Terakreditasi dasar;
3) Terakreditasi madya; 4) Terakreditasi utama; atau
Penetapan status akreditasi klinik pratama terdiri atas:
1) Tidak terakreditasi; 2) Terakreditasi dasar;
3) Terakreditasi madya; atau 4) Terakreditasi paripurna.
Penetapan status akreditasi tempat praktik mandiri dokter dan
tempat praktik mandiri dokter gigi terdiri atas: 1) tidak terakreditasi; atau
2) terakreditasi.
Puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan
tempat praktik mandiri dokter gigi yang telah mendapatkan status Akreditasi dapat mencantumkan status akreditasi di bawah atau di belakang nama puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri
dokter, atau tempat praktik mandiri dokter gigi, dengan huruf lebih kecil (Permenkes RI No.46, 2015).
d. Penilaian Akreditasi
Penetapan struktur standar akreditasi klinik terdiri dari 4 Bab, dengan total 503 elemen penilaian. Setiap bab akan diuraikan dalam
standar, tiap standar akan diuraikan dalam kriteria, tiap kriteria diuraikan dalam elemen penilaian untuk menilai pencapaian kriteria tersebut: bab i kepemimpinan dan manajemen fasilitas pelayanan
kesehatan (KMFK) dengan 122 ep; bab ii layanan klinis yang berorientasi pasien (LKBP) dengan 151 ep; bab iii manajemen
peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien (PMKP) dengan 58
ep.
Penilaian akreditasi dilakukan dengan menilai tiap elemen
penilaian pada tiap kriteria. Pencapaian terhadap elemen-elemen penilaian pada setiap kriteria diukur dengan tingkatan sebagai berikut: 1) Terpenuhi : bila pencapaian elemen ≥ 80 % dengan nilai 10,
2) Terpenuhi sebagian : bila pencapaian elemen 20 % - 79 %, dengan nilai 5,
3) Tidak terpenuhi : bila pencapaian elemen < 20 %, dengan nilai 0.
Penilaian tiap bbab adalah penjumlahan dari nilai tiap elemen penilaian pada masingmasing kriteria yang ada pada bab tersebut dibagi jumlah elemen penilaian bab tersebut dikalikan 10, kemudian
dikalikan dengan 100 % (Permenkes RI No.46, 2015).
e. Alur Akreditasi Klinik
Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk
Gambar 2.1. Mekanisme Atau Alur Akreditasi FKTP Sumber : (Kemenkes, 2015).
B. Penelitian Terdahulu
1. Yuniar Hanawati, 2015. Implementasi manajemen keselamatan pasien (patient safety) Dalam usaha pencegahan medication error di RSUD dr. Moewardi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan manajemen keselamatan pasien pada pencegahan dari kesalahan pengobatan yang mengacu pada tujuh langkah untuk keselamatan pasien.
Jenis dan rancangan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang bertujuan untuk menggali informasi tentang implementasi manajemen keselamatan
melaporkan insiden keselamatan pasien hanya untuk RCA dan untuk
KKP-RS PERSI, dan tidak ada hadiah untuk staf yang berani melaporkan kejadian tersebut. Perbedaan penelitian implementasi yang dilakukan
dengan penelitian implementasi adalah dalam metode penelitian dimana metode yang digunakan dalam penelitian implementasi sasaran keselamatan pasien menggunakan action research di mana peneliti mengimplementasikan 6 standar SKP. Sehingga peneliti dapat mengetahui sejauh mana pemahaman tenaga medis dan non medis di Klinik Pratama
Trio Husada Batu dapat merubah sikap dan perilaku setelah mendapatkan implmentasi patient safety tersebut dan juga dalam persiapan menghadapi akreditasi klinik khususnya bab iv tentang peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
2. Firawati, 2012. pelaksanaan program keselamatan pasien di RSUD Solok.
Penelitian kualitatif berikut ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan program keselamatan pasien di RSUD Solok. Hasil penelitian didapatkan dari tujuh langkah menuju keselamatan pasien, lima langkah sudah
dilaksanakan seperti, bangun kesadaran akan nilai keselamatan, pimpin dan dukung staf anda, integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, belajar
dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dan cegah cedera melalui implementasi keselamatan pasien, meskipun pelaksanaan baru sebagian. Namun, kembangkan sistem pelaporan dan libatkan dan
berkomunikasi dengan pasienbelurn dilaksanakan. Kesimpulan penelitian ini, dari tujuh langkah menuju keselamatan pasien, lima langkah sudah
melengkapi fasilitas, merevisi standar keselamatan pasien, memonitor dan
mengevaluasi pelaksanaan dari program keselamatan pasien. Perlu uji coba pelaksanaan program keselamatan pasien di satu unit ruangan.
Perbedaan penelitian penerapan ini dengan penelitian implementasi adalah dalam metode penelitian di mana metode yang digunakan dalam penelitian implementasi sasaran keselamatan pasien menggunakan action research dimana peneliti mengimplementasikan 6 standar SKP sesuai standart permenkes patient safety. Sehingga peneliti dapat melihat hasil dari pemahaman tenaga medis dan non medis di Klinik Pratama Trio Husada Batu dapat merubah sikap dan perilaku setelah mendapatkan
C. Kerangka Teori
Gambar 2.2. Skema Kerangka Teori implementasi sasaran keselamatan pasien di klinik pratama dalam persiapan menghadapi akreditasi. Plan : 6 Sasaran keselamatan pasien (Permenkes, 2014)
Siklus PDCA (Sugeng, 2009)
Akreditasi Klinik :
Bab IV. Peningkatan Mutu Klinis dan Keselamatan Pasien (PMKP)
D. Kerangka Konsep
Gambar 2.3. Skema Kerangka Konsep Penelitian
Implementasi Sasaran Keselamatan pasien
1) Ketepatan identifikasi pasien;
2) Peningkatan komunikasi yang efektif;
3) Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
4) Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
5) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan
6) Pengurangan risiko pasien jatuh.
Hasil
Peningkatan sikap perilaku tentang Patient Safety dan nilai
akreditasi klinik bab 4 80%
Kebijakan
(Permenkes Sasaran Keselamatan Pasien)
Telaah Tertutup
(Dokumen Akreditasi bab IV)
Telusur
E. Pertanyaan Penelitian
Adapun beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dalam penelitian ini di antaranya adalah :
1. Bagaimana penerapan implementasi 6 sasaran program patient safety di Klinik Trio Husada ?
2. Bagaimana persiapan Klinik Trio Husada dalam menghadapi
44
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan tindakan (action research), yaitu metode penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki kinerja sehingga hasil action research dapat diterapkan di dalam penelitian ini. Gibson (2012), menyatakan bahwa
pembelajaran merupakan suatu dari proses dasar yang melandasi perilaku. Berdasarkan kebutuhan itu peneliti membuat penelitian action reseach dalam implementasi sasaran keselamatan pasien dalam upaya menghadapi akreditasi klinik.
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, Kurt Lewin
mengembangkan penelitian tindakan atas dasar konsep pokok bahwa penelitian tindakan terdiri dari empat komponen pokok yang juga
menunjukkan langkah, yaitu :
1) Perencanaan (planning), 2) Tindakan (acting),
3) Pengamatan (observing), dan
4) Refleksi (reflecting). (Kurt Lewin, 1990)
Hubungan antara keempat komponen tersebut menunjukkan sebuah siklus atau kegiatan yang berulang. “Siklus” inilah yang sebetulnya menjadi
Plan *Apa yang akan dikerjakan *
bagaimana mengerjakanya.
Do * Kerjakan yang sudah direncanakan
Check * Apakah sesuatu berjalan menurut rencana Act * Bagaimana
pengembangan yang akan datang
harus dilaksanakan dalam bentuk siklus, bukan hanya satu kali intervensi
saja. (Arikunto, 2006)
Dari tahapan tersebut peneliti menggunakan gabungan antara tahapan
tersebut dengan siklus deming (plan-do-study/check- action) . Landasan yang digunakan dalam pelaksaaan implementasi sasaran keselamatan pasien tersebut adalah (P-D-C-A) , seperti gambar berikut :
Gambar 3.1. Landasan Proses Manajemen Siklus PDCA- Deming Sumber : (Sugeng , 2007)
Plan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memantapkan tujuan dan proses yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan
persyaratan dan kebijakan perusahaan. Do merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menjalankan proses, fokus dari tahap ini adalah kerjakan apa
yang sudah direncanakan. Check merupakan tahapan proses monitoring atau evaluasi terhadap proses dan pembelajaran yang tidak sesuai dengan standar
pengembangan dan berkelanjutan (Sugeng, 2007). Berikut ini adalah tahapan
alur penelitian yang digunakan :
(Kembali ke Siklus2)
Gambar 3.2. Diagram Alur Penelitian Sumber : Hasil Data Analisis , Februari 2016
Tahap 3 (Refleksi) Peningkatan sikap perilaku tentang
patient safety dan kesiapan menghadapi akreditasi klinik bab 4
Output : 1. Dokumen SKP 80 % 2. Sikap dan Perilaku
80%
3. Akreditasi klinik bab 4 80%
Siklus 1
Tahap 1
Plan :
- Menyusun dokumen sasaran keselamatan pasien target 6 SKP
Do :
- Pelaksanaan implementasi 6 SKP kepada seluruh staf
- Metode yg digunakan ceramah (1x20 menit) dan demontrasi (1x30 menit) - Dilaksanakan 1 x pertemuan,
dilakukan 2 sesi (karena
mengumpulkan karyawan susah).
Check :
- Hasil pembelajaran tentang 6 SKP
Action :
- Menganalisa hasil pembelajaran dan wawancara ke responden secara langsung. pasien tentang patient safety sesuai 6 SKP
- Penyusunan dokumen SKP dan akreditasi
- Melakukan post test Check :
- Hasil implementasi dan kelengkapan dokumen + hasil post test
- Survey akreditasi klinik bab 4
Action :
- Menganalisa dari hasil implementasi secara langsung kepada pasien.
Siklus 2
Siklus 3
1) (Planning)
Pada tahap perencanaan dilakukan persiapan sebagai berikut :
a) Menilai sejauh mana program sasaran keselamatan pasien sudah
berjalan.
b) Melakukan pretest terhadap seluruh karyawan tentang pengetahuan terhadap sasaran keselamatan pasien.
c) Menilai dokumen sasaran keselamatan pasien yang ada di klinik
Pada tahap asessment di bawahnya terdapat membuat perencanaan di mana dalam hal ini adalah :
a) Menetapkan standar sasaran keselamatan pasien di klinik
b) Menyiapkan instrumen dan media pendukung dalam pelaksanaan sasaran keselamatan pasien.
c) Menyiapkan instrumen evaluasi. 2) Tahap 1 (Implementasi)
Pada tahap implementasi ini akan dilaksanakan dengan
menggunakan metode ceramah dan demostrasi 2 sesi (pagi dan sore ) untuk sesi pertama akan dibahas 2 SKP dan sesi ke 2
dibahas 4 SKP Setiap sasaran terdapat 2 metode, yaitu ceramah dan demonstrasi di mana metode ceramah (1 x 20 menit) dan metode demontrasi (1 x 30 menit). Total pertemuan dalam 6
sasaran keselamatan pasien adalah 1 kali pertemuan dengan 2 sesi
a) Ketepatan identifikasi pasien;
b) Peningkatan komunikasi yang efektif;
c) Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
d) Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; e) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan
f) Pengurangan risiko pasien jatuh.
Metode yang digunakan :
a) Memberitahukan tujuan pelaksanaan
b) Menyampaikan manfaat memahami dan melakukan materi yang akan diajarkan
c) Menunjuk dari salah satu karyawan medis dan non medis untuk
mempraktekan setiap sasaran yang telah diajarkan di akhir metode ke 2 (Demontrasi).
d) Membuat kesimpulan hasil pelaksanaan pemberian materi dan demostrasi.
3) Tahap 2 (Implementasi)
Pada tahap implementasi ini meliputi kegiatan implementasi langsung yang akan dilaksanakan kepada pasien oleh
responden. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis hasil observasi dan hasil implementasi serta melakukan checklist pengecekan pada saat ke pasien. Peneliti juga memeriksa langsung dan membantu
post test untuk melihat apakah sudah memahami dari materi dan juga dari implementasi yang dilakukan. Peneliti selanjutnya melakukan survey akreditasi bersama direktur dan tim mutu dan
keselamatan pasien untuk menilai kesiapan akreditasi klinik bab 4. Hasil evaluasi ini digunakan sebagai dasar untuk melihat sudah tercapai atau belum dari implementasi pelaksanaan sasaran
keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Kota Batu dalam menghadapi akreditasi klinik. Apabila hasil evaluasi belum
tercapai maka akan kembali lagi ke tahap ke 2, yaitu perencanaan dan implementasi ulang dari sasaran keselamatan pasien yang
belum terpenuhi. Jika hasil evaluasi tercapai maka akan disimpulkan rekomendasi hasil dan output/indikator dari
keberhasilan pelaksaan sasaran keselamatan pasien.
4) Tahap 3 (Reflecting)
Refleksi dari hasil penelitian tersebut diharapkan dapat meningkatan pengetahuan, sikap perilaku tentang patient safety
dan kesiapan menghadapi akreditasi klinik bab 4. Indikator /output
yang dihasilkan yaitu meliputi : kelengkapan dokumen 80 %,
perubahan sikap dan perilaku 80%, serta kelengkapan dokumen akreditasi klinik bab 4 minimal 80%, semua hal tersebut dapat dinilai dari hasil kuisioner yang akan diberikan kepada pasien dan
juga hasil observasi serta telusur dokumen dan implementasi bab 4 akreditasi klinik yang dilakukan untuk merefleksi apakah
terbentuknya penanggung jawab dari sasaran keselamatan pasien
yang dipimpin oleh petugas medis sehingga dapat membantu mempersiapkan peningkatan mutu dan keselamatan pasien dan
persiapan akreditasi klinik bab 4.
B. Objek Penelitian
Objek pada penelitian ini adalah Klinik Trio Husada Kota Batu
C. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Klinik Trio Husada Batu pada Bulan
Februari 2016 s.d Maret 2016
Tabel 3.1 Waktu Penelitian dan Implementasi TGL Obs Pretest SKP1 SKP2 SKP3 SKP4 SKP5 SKP
6
Susun
dokumen
Implementasi Refleksi
1/2/16 – 5/2/16
6/2/16
D. Populasi dan Sampel
Dalam penentuan populasi dan sampel, peneliti menggunakan
purposive sample, yaitu mengambil beberapa responden yang diambil dengan pertimbangan akan mempengaruhi hasil dari penelitian. Responden dalam penelitian ini adalah Seluruh karyawan Klinik Trio Husada baik medis maupun non medis. Petugas medis terdiri dari 3 dokter dan 12 perawat ,
karyawan non medis berjumlah 5 orang diantaranya : prewakilan apotek 2 orang , resepsionis dan administrasi 1 orang , cleaning service 2 orang , Total subjek adalah 20 orang
Dalam penelitian ini peneliti melibatkan perwakilan setiap unit yang
berada di Klinik Trio Husada Batu yang terdiri dari manajer , penanggung jawab SDM , dan penanggung jawab patient safety dengan total jumlah informan sebanyak 3 orang dan juga melibatkan independen yaitu pembina
klinik (Ka.Bid Yankes) dari Puskesmas Beji Kota Batu sebanyak 1 orang. Selain dari internal dan independen peneliti juga mengambil beberapa informan dari pasien untuk dijadikan informan terkait pelayanan patient safety sebanyak 5 pasien dengan kasus yang sesuai dengan implementasi 6 SKP.
E. Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari satu variabel yaitu Implementasi patient safety dengan beberapa sub variabel adalah :
1. Pengorganisasian patient safety
4. Sikap dan perilaku terhadap patient safety
5. Proses pelayanan patient safety
F. Definisi Operasional
Definisi operasional bertujuan untuk membantu atau sebagai pedoman dalam penelitian , dalam penelitian ini terdapat beberapa definisi operasional , yaitu :
1. Klinik Pratama Trio Husada adalah sebuah klinik rawat jalan dan rawat inap yang menangani pelayanan kasus medik dasar dan
rawat inap. Klinik Trio Husada berada di jl.Wukir Torongrejo Junrejo – Batu , di Klinik Trio Husada terdapat 5 dokter umum , 12 tenaga paramedis, dan penanggung jawab di pegang oleh
dokter umum. Klinik Pratama Trio Husada mempunyai ruang rawat jalan 3 ruang dan mempunyai ruang rawat inap 10 ruang
dimana mampu melayani kebutuhan medis dasar untuk masyarakat Kota Batu dan sekitarnya.
2. Pelaksanaan patient safety adalah ukuran sukses bagi petugas medis maupun non medis dalam pelaksanaan program patients safety. Dimensinya adalah, peraturan, kebijakan/prosedur, koordinasi, dan supervisi. Adapun indikatornya adalah:
a) Perilaku kerja, didapatkan pada kuisioner nomor
(1,2,3,4,5,6,8,9,1,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24) b) keterampilan kerja, didapatkan pada kuisioner nomor
c) proteksi risiko kerja, didapatkan pada kuisioner nomor
(1,2,3,9,10,11,14,15,16,17,18,19,24)
d) efisiensi kerja, didapatkan pada kuisioner nomor
(1,6,10,14,19,20,22,24)
e) hasil kerja didapatkan pada kuisioner nomor (1,7,8,9,10,13,14,20,21,23,24)
3. Akreditasi adalah menilai kesiapan Klinik Trio Husada dimana akreditasi tersebut digunakan sebagai alat untuk menuju tujuan
terjapainya peningkatan kualitas mutu dan keselamatan pasien. Akreditasi pada penelitian ini dilakukan secara internal dengan
menilai akreditasi pada bab 4 sesuai dengan proses penilaian akreditasi.
G. Instument Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Standar permenkes patient safety
Standar permenkes ini digunakan untuk dasar dari tindakan
yang akan dilakukan , sehingga peneliti menginginkan hasil sesuai dengan 6 standar sasaran keselamtan pasien sesuai dengan
permenkes sebagai acuanya. 2) Kuisioner tentang patien safety
Kuisioner dalam hal ini akan diberikan berupa soal pretest
dari hasil pretest akan mampu membuat rancangan untuk tindakan yang akan dilakukan , dan untuk post test akan digunakan sebagai
reflecting dari tindakan yang sudah dilakukan.
3) Format wawancara dengan observer (penanggung jawab klinik ) Format wawancara dengan observer di mana adalah penanggung jawab klinik yang tahu sejauh mana laporan dan
tindakan tentang patient safety di Klinik Trio Husada Batu sehingga dapat membantu mengobservasi segala tindakan yang di
lakukan oleh peneliti dan format wawancara ini dimaksudkan untuk menambah informasi kepada peneliti apakah tindakan dari
implementasi sasaran keselamatan pasien dapat dipahami oleh karyawan.
4) Format wawancara dengan penilai (KaBid. Yankes Puskesmas
Beji).
Format wawancara ini berbeda dengan format kepada observer , karena dalam hal ini yaitu perwakilan dari puskesmas
setempat akan menjadi tim penilai untuk patient safety dan juga kesiapan klinik sesama FTKP untuk persiapan akreditasi klinik
khususnya pada peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Diharapkan dari format wawancara ini psukesmas dapat menilai hasil dari tindakan yang dilakukan peneliti apakah sudah berhasil
5) Studi dokumentasi merupakan salah satu cara peneliti untuk
mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat
langsung oleh subjek yang bersangkkutan (Herdiansyah, 2010). Dokumen yang di pelajari pada penelitian ini meliputi dokumen-dokumen yang berkaitan langsung dengan implementasi patient safety seperti ; SOP, kebijakan yang ada, struktur organisasi, SK direktur terkait dengan patient safety.
6) Instrumen akreditasi klinik bab 4
Penelitian ini menggunakan instrumen akreditasi klinik bab
4 untuk menilai kelengkapan dari hasil capaian nilai akreditasi yang dilaksanakan di Klinik Trio Husada Batu.
7) Checklist atau daftar tilik.
Penelitian ini menggunakan daftar tilik untuk menilai prosentase kelengkapan studi dokumen, kepatuhan SDM dan beberapa fasilitas patient safety yang ada di Klinik Trio Husada yang disesuaikan dengan standar akreditasi patient safety 6 SKP.
H. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1. Metode Wawancara
antara pedoman wawancara dan observasi untuk menggali hasil
observasi yang tidak dapat digali lebih mendalam. Alat pengumpulan data yang paling utama adalah peneliti sendiri, selain
itu digunakan pedoman wawancara yang telah disusun peneliti yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, alat tulis, dan alat perekam.
2. Metode Observasi
Pengamatan secara langsung pada subyek penelitian.
Peneliti akan mengobservasi kelengkapan dokumen dan sarana prasarana serta melihat sejauh mana dokumen itu sudah sesuai
dengan standar instrumen akreditasi. Data observasi tersebut akan menjadi dasar untuk menilai dan mempersiapkan melengkapi dokumen agar sesuai dengan standar akreditasi, dengan telaah
tertutup/ pengecekan dokumen .
3. Metode Before – After (pre test dan post test)
Pretest dan Post test merupakan metode pengumpulan data dengan cara memberikan soal kepada subyek penelitian sebelum dan sesudah pemberian materi. Data tersebut dapat digunakan
sebagai acuan dalam menentukan perencanaan dan menilai hasil dari implmentasi materi yang diberikan. Metode ini akan membantu dalam menentukan hasil akhir dari pelaksanaan dalam
4. Metode Demontrasi
Dalam metode demontrasi ini yaitu si peneliti akan memberikan sebuah penjelasan secara tindakan langsung atau
demonstrasi terhadap 6 sasaran keselamatan pasien kepada responden sehingga diharapkan nantinya responden dapat merefleksikan apa yang sudah didemontrasikan. Data ini juga akan
akan memperlihatkan seberapa antusiasnya karyawan terhadap kegiatan ini.
I. Pengolahan Data
Proses pengolahan data dalam penilaian hasil implementasi
pelaksanaan 6 sasaran keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Batu yaitu menggunakan kategori hasil nilai dimana penilaian tersebut digunakan untuk membandingkan kuisioner sebelum dilakukan implementasi dan sesudah
dilakukan implementasi (Suyanto, 2006).
Dalam penelitian ini instrument pretest – postest akan diukur untuk mengetahui hasil perubahan setelah dilakukan implementasi 6 sasaran
keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Batu.
J. Tahap Penelitian
Proses pengumpulan data tahap PDCA di atas dilaksanakan melalui beberapa tahap :
1. Tahap Orientasi
Pada tahap ini, sebelum peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, peneliti memperkenalkan diri dan membina