• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENYELESAIAN SECARA ALTERNATIF DALAM PERADILAN PIDANA (Studi Khusus terhadap Model Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Kepolisian)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PENYELESAIAN SECARA ALTERNATIF DALAM PERADILAN PIDANA (Studi Khusus terhadap Model Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Kepolisian)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di republik ini, si kaya dan si miskin seperti memiliki neraca keadilan

sendiri-sendiri. Ketika polisi kesulitan mencari pasal untuk menjerat Anggodo

Widjojo, adik buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau Robert

Tantular, yang menggarong uang trilyunan rupiah milik nasabah hanya divonis

empat tahun penjara, satu per satu rakyat miskin dengan gampang divonis bersalah

karena didakwa "mencuri".

Ada Nenek Minah di Banyumas yang disangka mencuri tiga butir kakao.

Lalu Tabriji di Serang yang mencuri dua ekor bebek. Juga Basar dan Kholil yang

mencuri sebutir semangka di Kediri atau Sarjo yang mencuri dua batang sabun

mandi dan sebungkus kacang senilai Rp 13.000 di toko swalayan di Cirebon.

Nenek Minah akhirnya dihukum satu setengah bulan penjara dengan masa

percobaan tiga bulan. Tabriji dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara. Basar dan

Kholil dihukum 15 hari penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Sedangkan

Sarjo, yang telah mengganti kerugian toko swalayan, dihukum 12 hari penjara

setelah menjalani masa tahanan 14 hari.1

Beberapa waktu sebelumnya juga pernah terjadi kasus pemukulan

(penganiayaan) yang terjadi di kalangan artis. Misalnya, Ratu Pelisa yang melempar

1

(2)

sepatu terhadap temannya. Kemudian penyanyi Ungu, Pasha, memukul temanya

sendiri.

Pertanyaannya kemudian, apakah tidak mungkin kasus pencurian yang

nilainya tidak seberapa dan kasus-kasus penganiyaan yang para pelaku dan

korbanya sudah berdamai itu diselesaikan di luar pengadilan atau diselesaikan

secara alaternatif ?

Dalam sistem peradilan pidana (hukum pidana) memang dikenal dengan asas legalitas, baik dalam hukum pidana materiil maupun dalam hukum pidana formil (hukum acara pidana). Asas legalitas, menurut hukum pidana materiil, adalah dasar bagi penegak hukum untuk menetapkan bahwa suatu perbuatan adalah tindak pidana dan dapat dipidana. Sedangkan asas legalitas menurut hukum pidana formil adalah suatu asas yang mewajibkan terhadap bagi penegak hukum untuk melakukan penuntutan. Jadi, semua tindak pidana yang diketahui atau diterima oleh penegak hukum, berdasarkan hasil laporan masyarakat maupun tertanggkap tangan, harus (wajib) dilakukan penuntutan, kecuali memang ada hal-hal yang menghapuskan kewenangan penuntutan. Misalnya, terdakwa meninggal, adanya tenggang waktu daluwarsa, dsb.

(3)

pidana (penghentian penyidikan atau penuntutan) apabila disertai dengan adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (Penuntutan), sering disingkat dengan SP3. SP3 dapat dilakukan apabila, antara lain, bukti-bukti yang diperlukan untuk menguatkan sangkaan atau dakwaan tidak dapat dipenuhi, terdakwa meninggal dunia (dalan perkara pidana tertentu tidak dapat dijadikan alasan), sudah daluwarsa, dsb.

Jadi, menurut asas maupun doktrin serta hukum positif, penegak hukum tidak dapat menghentikan perkara pidana yang bukan delik aduan, meskipun ada pencabutan laporan atau para pihak (pelaku dan korban) sudah melakukan perdamaian.

Pengajar hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudy

Satriyo Mukantardjo, menegaskan bahwa mediasi tidak dikenal dalam ranah hukum

pidana. "Mediasi hanya ada dalam hukum perdata. Penyelesaian perkara pidana di

luar pengadilan tidak punya landasan hukum formal. Akibatnya, tak jarang suatu

kasus yang telah didamaikan secara informal, seperti hukum adat, tetap saja

diproses ke pengadilan sesuai dengan hukum.

Pandangan maupun pemberlakuan asas tersebut tidak memang tidak salah

secara yuridis formal. Pemberlakuan mekanisme atau prosedur tersebut tidak dapat dilepaskan dari jiwa hukum modern yang diambil oleh pembuat kebijakan maupun aparat pelaksana. Max Webber2 mengidentifikasi hukum modern sebagai hukum yang mempunyai ciri-ciri: (1) memiliki kualitas “normatif” yang umum dan kurang

2

(4)

abstrak; (2) merupakan hasil keputusan-keputusan yang diambil secara sadar; (3) diperkuat oleh kekuasaan yang memaksa dari negara dri negara dalam bentuk sanksi yang diberikan dengan sengaja, yang dikaitkan dengan aturan-aturan hukum yang dapat diberlakukan melalui pengadilan; (4) sistematis; (5) “sekuler”, karena substansi sama sekali terpisah dari pertimbangan-pertimbangan keagamaan dan etis, artinya kesahihannya tidak tergantung dari kebenaran moralnya, dan prosedur-prosedurnya telah menjadi upaya-upaya rasional manusiawi.

Dalam pimikiran tersebut, unsur moral tidak mendapatkan tempat dalam penegakan hukum. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila aspek kultural, magis dan humanis tidak tersentuh proses penegakan hukum, yang dalam hal ini termasuk pula dalam proses peradilan pidana.

Sehubungaan dengan hal tersebut, tidak mengherankan apabila Abraham Lincoln3 pernah memberi nasehat dengan mengatakan : “Hindarilah berperkara di pengadilan. Sedapat mungkin ajaklah tetangga-tetangga anda untuk berkompromi. Tunjukanlah kepada mereka, betapa seorang yang menang perkara seringkali merupakan orang yang kalah...”

Himbauan tersebut sejalan dengan peringatan falsafah Jawa bagi orang yang hendak berperkara di pengadilan, yakni “menang dadi pindang, kalah dadi rempah”. Orang yang menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, menang ataupun kalah, hasilnya sama, yaitu hancur (rugi). Kehancuran (kerugian) tersebut bisa

3

(5)

berupa materi maupun non materi, seperti hubungan persaudaraan, kekeluargaan dan/atau kerjasama.

Sebenarnya pandangan tersebut tidak mutlak, karena semuanya tergantung

dari para pengemban hukum (UU). Yesmil Anwar4, yuris dari Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran, Bandung, tidak sepakat dengan pandangan yang cenderung

yuridis formil tersebut.. Beliau menjelaskan bahwa mediasi pidana memang seperti

barang asing. Penyelesaian di luar sidang itu dalam istilah hukum lazim dikenal

sebagai alternative dispute resolution. Alternatif penyelesaian sengketa ini dipakai

untuk menyelesaikan sengketa pidana ringan. Sayang, kata Yesmil, alternatif itu

tampaknya belum jadi model di Indonesia. "Kita masih berpikir legalistik," ia

memberi alasan.

Yesmil mengakui, penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu belum ada

dasar hukumnya. Sekalipun begitu, dalam prakteknya, mediasi pidana bisa

dilakukan. Sebab, kata Yesmil, Indonesia memiliki kemampuan pidana adat, yang

bisa dipakai untuk menyelesaikan konflik-konflik di tengah masyarakat.

Masalahnya, "Itu dibunuh oleh cara berpikir legalistik yang kaku," katanya.

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat dsb.). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak

4

(6)

ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.5

Peneliti, selaku penasehat hukum Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, dalam praktek menangani kasus pidana yang bukan tindak pidana aduan, sering melakukan upaya penyelesaian secara alternatif dengan pihak penegak hukum. Model penyelesaian ini memang dilakukan secara tidad formal, biasanya dilakukan secara diam-diam berdasarkan musyawarah atau kesepakatan antara pihak korban dan pelaku serta aparat penegak hukum.

Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung R.I., dalam kasus korupsi yang dalam skala kecil, pernah menganjurkan untuk diselesaikan secara alternatif, artinya di luar proses peradilan pidana6. Dalam kasus pencemaran di Sidoharjo, Jawa Timur, beliau juga berpendapat agar tidak mencari orang yang bersalah. Yang penting, menurut beliau, adalah pemberian ganti rugi terhadap para korban akibat pencemaran tersebut7. Mantan KAPOLRI Jenderal (Purn) Sutanto juga pernah melontarkan gagasan perlunya melakukan diskresi dalam kasus kejahatan Narkoba, khusus yang menyangkut pelaku yang sekaligus korban.

Prof. Dr. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, mengaku sangat prihatin dengan sejumlah peristiwa hukum yang belakangan menurutnya telah dan

5

Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengket Di

luar Pngadilan, Makalah Seminar Nasional “Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks

Good Corporate Governance”, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, di Inter Continental Hotel, Jakarta, 27 Maret 2007, hal. 2

6

Jawa Pos, 11 Juni 2006 7

(7)

sering menyinggung rasa keadilan masyarakat. Hal itu terutama terjadi ketika aparat penegak hukum berhadapan dengan para pelanggar hukum dari kalangan masyarakat kelas bawah dan miskin. Hukum seolah diterapkan dan diterjemahkan serta-merta seperti yang tertulis. Sementara itu, kepada para pelanggar hukum yang berasal dari kalangan mampu, baik secara finansial maupun terkait aksesnya terhadap kekuasaan, aparat penegak hukum tidak melakukan hal serupa dan bahkan mengatur sedemikian rupa agar hukum bisa lebih menguntungkan bagi para pelanggar jenis itu.

Beliau, lebih lanjut, mendesak para aparat penegak hukum lebih mendahulukan kebenaran substantif dalam menegakkan hukum atau memutus suatu perkara. Hukum kita saat ini memang tengah mengalami persoalan besar, terutama ketika aparat langsung memberlakukan bunyi hukum secara formal kepada orang-orang kecil yang berurusan dengan hukum. "Jadi seorang-orang nenek yang dilaporkan mencuri tiga buah kakao bisa langsung ditangkap dan diproses sampai ke tingkat pengadilan," ujar Mahfud.8

Setelah heboh kasus mbok Minah dan kasus pidana sepele lainnya, Menteri hukum dan HAM Patrialis Akbar melakukan rapat koordinasi forum Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Polri. Rapat koordinasi akan memfokuskan diri pada proses prajudifikasi kasus kecil. Pasalnya, rakyat kecil terbukti sering dirugikan oleh permainan dalam proses peradilan. "Proses prajudifikasi ini yang ingin dikedepankan. Tak semua kasus kecil perlu ke

8

(8)

pengadilan, ada penyelesaian lain yang harus dikepdepankan. Misalnya diversi, rekonsiliasi, mediasi, atau penyelesaian secara masyarakat adat. Ini cukup. kalau sudah dimaafkan ngapain masih dipenjara.

Dikatakan Patrialis, pencurian-pencurian kecil seperti pencurian semangka, kejahatan yang dilakukan anak di bawah umur, kesemuanya perlu diberlaukan proses pra judifikasi. Artinya ada mekanis bersama di 4 institusi tersebut untuk tak serta merta mempidanankan kasus tersebut.9

Dalam tataran yuridis, sebenarnya, dapat ditemukan adanya beberapa ketentuan yang memberikan peluang untuk adanya penggunaaan model penyelesaian secara alternatif dalam peradilan pidana. Dalam KUHP, Pasal 82, dimungkinkan adanya hapusnya penuntutan terhadap pelanggran apabila denda damainya sudah dibayar. Terdapat asas, yang sudah dijamin dalam UU, yang dapat dijadikan dasar bagi penegak hukum untuk mengesampingkan perkara pidana atau menyelesaikan secara alternatif (di luar pengadilan). Seperti misalnya, polisi diberi wewenang melakukan penilaian secara pribadi terhadap suatu kasus (UU Kepolisian). Kejaksaan diberikan wewenang untuk melakukan pengesampingan perkara atau tidak melakukan penuntutan (depponeer) berdasarkan asas opportunitas (UU Kejaksaan). Hak inilah yang dalam kepustakaan disebut sebagai hak “diskresi”.

Dalam perkembangannya, penggunaan penyelesaian alternatif dalam perkara pidana, PBB, dalam kongresnya yang ke-9 Tahun 1995, menyerukan kepada semua

9

(9)

negara untuk mempertimbangan Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam sistem peradilan pidana.10

B. Permasalahan

Objek penelitian ini adalah kebijakan lembaga kepolisian dalam penyelesaian perkara pidana. Penelitian ini memiliki karakteristik persoalan yang berbobot yuridis, sosiologis, ekonomi dan sekaligus bernuansa psikhologis. Namun, pada praktiknya (dari pengamatan), penangangan (penyelesaian) perkara pidana oleh kepolisian sering kali mengabaikan sejumlah aspek tersebut.

Dalam penyelesaian perkara pidana seharusnya memperhatikan aspek-aspek tersebut, sebab penyelesaian perkara pidana akan diperoleh hasil yang memberikan keadilan kepada para pihak yang terlibat dalam perkara, seperti korban dan pelaku, serta masyarakat, bahkan pihak penegak hukum juga akan lebih diuntungkan.

Secara keseluruhan, permasalahan dalam penelitian tahap pertama ini adalah sebagai berikut:

1. Bentuk-bentuk perkara pidana apa yang ditangani oleh kepolisian ? 2. Bagaimana kepolisian menyelesaikan perkara pidana yang ada ?

3. Bagaimana pandangan kepolisian terhadap penyelesaian perkara pidana secara alternatif ?

10

(10)

LAPORAN PENELITIAN

MODEL PENYELESAIAN SECARA ALTERNATIF

DALAM PERADILAN PIDANA

(Studi Khusus terhadap Model Penyelesaian Perkara Pidana oleh

Lembaga Kepolisian)

(TAHUN II)

Oleh:

SUDARYONO, S.H, M.Hum. (Ketua) Anggota:

(11)

HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

1. Judul : MODEL PENYELESAIAN SECARA ALTERNATIF DALAM

PERADILAN PIDANA (Studi Khusus terhadap Model Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Kepolisian)

2. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Sudaryono, S.H., M.Hum.

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. NIP/Golongan : 195704151985031004 / IV b

d. Strat / Jabatan Fungsional : S2 / Lektor Kepala

e. Jabatan Struktural :

f. Fakultas / Jurusan : Hukum

g. Bidang Ilmu : Hukum Pidana dan Kriminologi

h. Alamat Kantor : Jl. A Yani. Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102

i. Telepon/Faks/E-mail : (0271) 717417, 715448

j. Alamat Rumah : Pucangan Baru I/02 Kartasuro Sukoharjo

k. Telepon/Faks : (0271) 789546

3. Lokasi Penelitian : Kota Surakarta

4. Jangka Waktu Penelitian : 8 Bulan

5. Pembiayaan : Biaya diajukan ke Dikti Biaya dari Instansi Lain

Biaya Tahun I : Rp 32.000.000

Surakarta, Oktober 2011

Mengetahui Ketua Peneliti

Dekan Fakultas Hukum

Muhammad Iksan, S.H., M.H. Sudaryono, S.H., M.Hum.

NIK. 571 NIP. 195704151985031004

Mengetahui Ketua Lembaga Penelitian

Dr. Harun Jaka Prayitno

(12)

 

 

 

 

RINGKASAN PENELITIAN

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk perkara pidana apa yang ditangani oleh kepolisian; bagaimana kepolisian menyelesaikan perkara pidana yang ada; dan bagaimana pandangan kepolisian terhadap penyelesaian perkara pidana secara alternative.

Tujuan dari penelitian pada tahun pertama ini adalah untuk; (1) menyusun bentuk-bentuk perkara pidana yang ditangani oleh lembaga kepolisian; (2) menginventarisasi cara-cara penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh lembaga kepolisian; dan (3) mendeskripsikan pandangan kepolisian terhadap model (cara-cara) penyelesaian perkara pidana secara alternatif. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: (1) secara akademik, dapat memberikan kontribusi yang berguna bagi kasanah ilmu hukum pidana, khususnya model alternatif dalam penyelesaian perkara pidana; dan (2) bagi pengambil kebijakan, dapat memberikan masukan yang berupa konsep pemikiran yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan (perumusan) kebijakan penyelesaian perkara pidana yang berorientasi kepada keadilan yang substantive.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum – sosiologis dengan pendekatan kualitatif, maksudnya fakta – fakta sosial tentang masalah Kebijakan Kepolisian dalam penyelesaian perkara pidana akan menjadi perhatikan dan sumber utama untuk menentukan model penyelesaian perkara pidana, dengan tanpa mengabaikan aspek normatifnya. Oleh karena itu data yang diperlukan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara. Wawancara ditujukan kepada pejabat kepolisian Polresta Surakarta. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur, statastik criminal, jurnal, dan dokumentasi peraturan yang relevan. Analisis data dilakukan dengan teknik

content analysis melalui model legal interpretation dan theoritical interpretation.

    Tugas pokok kepolisian negara Republik Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan dalam perundang-undangan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah (1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) Menegakkan hukum; dan (3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dari ketiga tugas pokok ini, yang terkait langsung dengan tugas yuridis di bidang penegakan hukum adalah terbatas dalam kapasitasnya sebagai penyelidik dan penyidik proses perkara pidana.

(13)

 

 

 

 

73 (tujuh tiga) kasus; dan (5) Tindak Pidana Penganiayaan Ringan sebanyak 65 (enam lima) kasus. Sedangkan dari 8 (delapan) tindak pidana inkonvensional, selama 5 (lima) bulan, yang paling menonjol adalah Tindak Pidana Narkoba sebanyak 51 (lima puluh lima) kasus, disusul Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 23 (dua puluh tiga) kasus, kemudian Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak sebanyak 8 (delapan) kasus.

Dalam penanganan perkara pidana Polresta Surakarta masih menggunakan prosedur tetap (Protap) sebagai landasan untuk penyelesaian perkara pidana. Protap ini sebagaimana ditentukan dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan peraturan pelaksananya, serta peraturan petunjuk pelaksanaan dan teknis dari Pimpinan POLRI.

Jadi, untuk perkara (tindak) pidana biasa (bukan tindak pidana aduan), Polresta Surakarta masih selalu menyelesaikannya sampai tuntas sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Mengapa demikian, karena landasan yuridis yang ada, untuk sementara (sekarang) memang demikian adanya.

Dalam penyelesaian perkara pidana, Polresta Surakarta bukan berarti tidak mendengar dan mengerti pendapat ahli tentang penggunaan model (cara) alternatif dispute resolution (ADR) seperti musyawarah diantara pihak korban dengan pelaku, mediasi, diversi, rekonsiliasi, atau penyelesaian secara masyarakat adat. Polresta Surakarta sudah sangat paham akan hal tersebut, namun Kepolisian (Polresta Surakarta) belum menemukan landasas yuridis yang kuat untuk menyelesaikan perkara pidana dengan cara alternatif (ADR) tersebut. Diakui oleh Polresta Surakarta, bahwa, dalam UU Kepolisian, Polisi diberikan

kewenangan untuk melakukan “diskresi”, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaiannya sendiri. Namun, landasan yuridis ini masih bersifat umum, sehingga masih diperlukan aturan yang bersifat lebih operasional.

Dalam mensikapi terhadap penggunaan ADR dalam penyelesaian perkara pidana Kepolisian sebenarnya sudah melakukan langkah maju. Melalui Surat Telegram Reskrim (STR) Kabareskrim Polri No. ST/110/V/2011, tanggal 18 Mei 2011 tentang Pedoman Penerapan ADR Di Jajaran Reskrim Polri, Reskrim Polri berkehendak untuk menerapan ADR dalam penyelesaian perkara pidana. Hanya sayang, kebijakan tersbut ditunda dengan Surat Telegram Kabareskrim Polri No. . ST/209/IX/2011, tanggal 6 September 2011, tentang Penangguhan Penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri. Surat Telegram ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Telegram Direktur Reskrimum Polda Jateng No. ST/2157/IX/2011, tanggal 23 September 2011 yang isinya berebunyi: “mengingat substansi dan materi yang termuat dalam ADR merupakan bentuk pemberian kewenangan bagi anggota Polri dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang harus diatur dengan UU, maka penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri ditangguhkan sampai dikeluarkannya payung hukum dalam bentuk peraturan perundangan yang dirancang oleh Mabs Polri”.

(14)

 

 

 

 

SUMMARY

The problem statements of this study include: 1) what are the types of criminal cases handled by the police; 2) how do the police handle the cases; and 3); how do the police’s insight of handling them alternatively.

In the first year, the study aims to 1) establish the types of criminal cases handled by the police; 2) inventory the ways the police handle them; and (3) describe the police’s insight of a model for handling those alternatively. Hopefully, it can be beneficial for academicians and policy makers. For the academicians, it can be meaningful to contribute to criminal law development, particularly an alternative model for handling criminal cases. For the policy makers, it can be useful to develop a conceptual thinking to make a policy of handling criminal cases oriented to substantive justice.

The study is a research of sociological law with qualitative approach. It means that the study examines the social facts in relation to the Police’s Policy (for handling criminal cases) that will be a main reference to establish a model of handling criminal cases without including a normative aspect. For this, the data included primary and secondary. The primary data gathering used a depth-interview. This technique was intended to interview the police officials of Polresta Surakarta (the Surakarta Resort Police). The secondary data included relevant literatures, criminal statistic, journals, and documents. The data employed a content analysis with legal and theoretical interpretations.

    As stipulated in the Act of the Police of the Republic of Indonesia, the police are mainly responsible for 1) keeping a safety and orderliness of people, 2) upholding a law, and 3) providing protection, care, and service to people. Out of the three, related to juridical power for upholding, is limited to their capacity as an investigating officer and an officer in criminal process.

In running its juridical responsibility, from January to May, 2011 the Polresta Surakarta has handled a variety of criminal cases. The types of these cases handled by the Polresta in 2011, particularly for five months, consisted of 33 cases. Out of the 2 felony cases were conventional at 25 criminal cases and unconventional (transnational) at 8 criminal cases. Out of the 25 conventional crimes were 5 criminal cases, including 1) 136 robbing,  2) 114 deception, 3) 85 looting, 4) 73 embezzlement, and 5) 65 cruel mistreatment. Out of the unconventional cases were as follows: 1) 51 illegal drug, 2) 23 violence-of-household, and 3) violence-of-children.

In handling the criminal cases, the Polresta Surakarta uses a fixed procedure as a reference to them, as stipulated in the Act of the Criminal Code, operating rule and guidance and technique of the Indonesian Police Administration.

For the common criminal cases (not denunciation), thus, the Polresta Surakarta always handles them completely in a reference to the Criminal Code because the juridical Act is provisionally present.

(15)

 

 

 

 

understands it but this has not found a high-juridical reference to handle criminal cases in the ADR.

It is confessed by the Plorestas that in the Act of the Police, the Police have an authority to apply ‘discretion’, a power to take an action for the sake of public based on their self-judgment. But, this juridical reference is common so that it needs a more operating rule.

In facing the implication of the ADR to handle criminal cases, the Police have actually taken a better action. In the Telegram of the Criminal Investigation Bureau (STR), the Sub-Division of the STR of the Indonesian Police No ST/110/V/2011, dated on May 18, 2001 on the Implication Guidance of the ADR in the Rank of the STR of the Indonesian Police, the STR of the Indonesia Police will apply the ADR to handle criminal cases. Unfortunately, the policy is delayed with the Telegram of the STR of the Indonesian Police No ST/209/IX/2011, dated September 6, 2001 on Delaying the Implication of the ADR in the Rank of the STR of the Indonesian Police. Then, the telegram is followed up with the Telegram of the Director of the Central Java Regional Police No ST/2157/IX/2011, dated on September 23, 2011. It states for substance and material in the ADR is a type of giving an authority to the Indonesian Police for handling criminal cases outside the court that must be regulated by the Act, the implication of the ADR in the Rank of the STR of the Indonesian Police is delayed until the law protection is issued in the form of rule and regulation designed by the Headquarter of the Indonesian Police.

(16)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Ucapan syukur Alhamdulillahirabbil’alamin, Tim Peneliti telah dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun laporannya yang berjudul: ”MODEL PENYELESAIAN SECARA ALTERNATIF DALAM PERADILAN PIDANA” (Studi Khusus terhadap Model Penyelesaian Perkara Pidana oleh Lembaga Kepolisian). Penelitian tahun I ini mengkaji profil perkara pidana di Kota Surakarta, Cara Penyelesaian yang digunakan Kepolisian dan pandangan Kepolisian terhadap Model Alternatif dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

Peneliti menyadari bahwa tersusunnya laporan ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih, khusunya, kepada:

1. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional RI menyetujui proposal kami dan menyediakan dana untuk peleksanaan penelitian;

2. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UMS beserta para stafnya yang memberikan dukungan dan fasilitas serta bantuan administrasi, sehingga penelitian dan penyusunan laporan penelitian dapat terealisasi sesuai dengan jadual;

3. Dekan Fakultas Hukum UMS yang telah menyetujui dan mengesahkan pengajuan proposal penelitian ini, serta memberikan dukungan fasilitas yang diperlukan dalam penelitian;

4. Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta beserta jajarannya, khususnya Bagain Satuan Reskrimn yang telah memberikan data yang diperlukan dalam penelitian ini.

Peneliti juga menyadari bahwa masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini, Untuk itu Peneliti mengharap kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaannya lebih lanjut. Akhir kata, Peneliti berharap agar penelitian ini bisa ditindaklanjuti pada tahun berikutnya dan disetujui oleh DP2M.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

(17)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……… i

Halaman Pengesahan ……….. ii

Ringkasan ... iii

Summary ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Kegunaan Penyelesaian Sengketa secara Alternatif ... 10

B. Model Penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana ... 17

C. Diskresi Kepolisian ... 22

BAB III : TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Peneltian ... 34

B. Manfaat Peneltian ... 34

BAB IV : METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 36

B. Lokasi Penelitian ... 36

C. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 36

D. Penentuan Informan ... 37

E. Analisis Data Penelitian ... ... 37

BAB V : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANd A. Deskripsi Kepolisian Resor Kota Surakarta ... 38

B. Bentuk Perkara Pidana yang Ditangani Polresta Surakarta ... 42

C. Cara Penyelesaian Perkara Pidana oleh Polresta Surakarta ... 52

D. Pandangan Kepolisian terhadap Penyelesaian secara Alternatif ... 57

BAB VI : P E N U T U P A. Simpulan ... 67

B. Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA

(18)

 

 

 

 

RINGKASAN PENELITIAN

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk perkara pidana apa yang ditangani oleh kepolisian; bagaimana kepolisian menyelesaikan perkara pidana yang ada; dan bagaimana pandangan kepolisian terhadap penyelesaian perkara pidana secara alternative.

Tujuan dari penelitian pada tahun pertama ini adalah untuk; (1) menyusun bentuk-bentuk perkara pidana yang ditangani oleh lembaga kepolisian; (2) menginventarisasi cara-cara penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh lembaga kepolisian; dan (3) mendeskripsikan pandangan kepolisian terhadap model (cara-cara) penyelesaian perkara pidana secara alternatif. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: (1) secara akademik, dapat memberikan kontribusi yang berguna bagi kasanah ilmu hukum pidana, khususnya model alternatif dalam penyelesaian perkara pidana; dan (2) bagi pengambil kebijakan, dapat memberikan masukan yang berupa konsep pemikiran yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan (perumusan) kebijakan penyelesaian perkara pidana yang berorientasi kepada keadilan yang substantive.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum – sosiologis dengan pendekatan kualitatif, maksudnya fakta – fakta sosial tentang masalah Kebijakan Kepolisian dalam penyelesaian perkara pidana akan menjadi perhatikan dan sumber utama untuk menentukan model penyelesaian perkara pidana, dengan tanpa mengabaikan aspek normatifnya. Oleh karena itu data yang diperlukan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara. Wawancara ditujukan kepada pejabat kepolisian Polresta Surakarta. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur, statastik criminal, jurnal, dan dokumentasi peraturan yang relevan. Analisis data dilakukan dengan teknik

content analysis melalui model legal interpretation dan theoritical interpretation.

    Tugas pokok kepolisian negara Republik Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan dalam perundang-undangan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah (1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) Menegakkan hukum; dan (3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dari ketiga tugas pokok ini, yang terkait langsung dengan tugas yuridis di bidang penegakan hukum adalah terbatas dalam kapasitasnya sebagai penyelidik dan penyidik proses perkara pidana.

(19)

 

 

 

 

73 (tujuh tiga) kasus; dan (5) Tindak Pidana Penganiayaan Ringan sebanyak 65 (enam lima) kasus. Sedangkan dari 8 (delapan) tindak pidana inkonvensional, selama 5 (lima) bulan, yang paling menonjol adalah Tindak Pidana Narkoba sebanyak 51 (lima puluh lima) kasus, disusul Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 23 (dua puluh tiga) kasus, kemudian Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak sebanyak 8 (delapan) kasus.

Dalam penanganan perkara pidana Polresta Surakarta masih menggunakan prosedur tetap (Protap) sebagai landasan untuk penyelesaian perkara pidana. Protap ini sebagaimana ditentukan dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan peraturan pelaksananya, serta peraturan petunjuk pelaksanaan dan teknis dari Pimpinan POLRI.

Jadi, untuk perkara (tindak) pidana biasa (bukan tindak pidana aduan), Polresta Surakarta masih selalu menyelesaikannya sampai tuntas sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Mengapa demikian, karena landasan yuridis yang ada, untuk sementara (sekarang) memang demikian adanya.

Dalam penyelesaian perkara pidana, Polresta Surakarta bukan berarti tidak mendengar dan mengerti pendapat ahli tentang penggunaan model (cara) alternatif dispute resolution (ADR) seperti musyawarah diantara pihak korban dengan pelaku, mediasi, diversi, rekonsiliasi, atau penyelesaian secara masyarakat adat. Polresta Surakarta sudah sangat paham akan hal tersebut, namun Kepolisian (Polresta Surakarta) belum menemukan landasas yuridis yang kuat untuk menyelesaikan perkara pidana dengan cara alternatif (ADR) tersebut. Diakui oleh Polresta Surakarta, bahwa, dalam UU Kepolisian, Polisi diberikan

kewenangan untuk melakukan “diskresi”, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaiannya sendiri. Namun, landasan yuridis ini masih bersifat umum, sehingga masih diperlukan aturan yang bersifat lebih operasional.

Dalam mensikapi terhadap penggunaan ADR dalam penyelesaian perkara pidana Kepolisian sebenarnya sudah melakukan langkah maju. Melalui Surat Telegram Reskrim (STR) Kabareskrim Polri No. ST/110/V/2011, tanggal 18 Mei 2011 tentang Pedoman Penerapan ADR Di Jajaran Reskrim Polri, Reskrim Polri berkehendak untuk menerapan ADR dalam penyelesaian perkara pidana. Hanya sayang, kebijakan tersbut ditunda dengan Surat Telegram Kabareskrim Polri No. . ST/209/IX/2011, tanggal 6 September 2011, tentang Penangguhan Penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri. Surat Telegram ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Telegram Direktur Reskrimum Polda Jateng No. ST/2157/IX/2011, tanggal 23 September 2011 yang isinya berebunyi: “mengingat substansi dan materi yang termuat dalam ADR merupakan bentuk pemberian kewenangan bagi anggota Polri dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang harus diatur dengan UU, maka penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri ditangguhkan sampai dikeluarkannya payung hukum dalam bentuk peraturan perundangan yang dirancang oleh Mabs Polri”.

(20)

 

 

 

 

SUMMARY

The problem statements of this study include: 1) what are the types of criminal cases handled by the police; 2) how do the police handle the cases; and 3); how do the police’s insight of handling them alternatively.

In the first year, the study aims to 1) establish the types of criminal cases handled by the police; 2) inventory the ways the police handle them; and (3) describe the police’s insight of a model for handling those alternatively. Hopefully, it can be beneficial for academicians and policy makers. For the academicians, it can be meaningful to contribute to criminal law development, particularly an alternative model for handling criminal cases. For the policy makers, it can be useful to develop a conceptual thinking to make a policy of handling criminal cases oriented to substantive justice.

The study is a research of sociological law with qualitative approach. It means that the study examines the social facts in relation to the Police’s Policy (for handling criminal cases) that will be a main reference to establish a model of handling criminal cases without including a normative aspect. For this, the data included primary and secondary. The primary data gathering used a depth-interview. This technique was intended to interview the police officials of Polresta Surakarta (the Surakarta Resort Police). The secondary data included relevant literatures, criminal statistic, journals, and documents. The data employed a content analysis with legal and theoretical interpretations.

    As stipulated in the Act of the Police of the Republic of Indonesia, the police are mainly responsible for 1) keeping a safety and orderliness of people, 2) upholding a law, and 3) providing protection, care, and service to people. Out of the three, related to juridical power for upholding, is limited to their capacity as an investigating officer and an officer in criminal process.

In running its juridical responsibility, from January to May, 2011 the Polresta Surakarta has handled a variety of criminal cases. The types of these cases handled by the Polresta in 2011, particularly for five months, consisted of 33 cases. Out of the 2 felony cases were conventional at 25 criminal cases and unconventional (transnational) at 8 criminal cases. Out of the 25 conventional crimes were 5 criminal cases, including 1) 136 robbing,  2) 114 deception, 3) 85 looting, 4) 73 embezzlement, and 5) 65 cruel mistreatment. Out of the unconventional cases were as follows: 1) 51 illegal drug, 2) 23 violence-of-household, and 3) violence-of-children.

In handling the criminal cases, the Polresta Surakarta uses a fixed procedure as a reference to them, as stipulated in the Act of the Criminal Code, operating rule and guidance and technique of the Indonesian Police Administration.

For the common criminal cases (not denunciation), thus, the Polresta Surakarta always handles them completely in a reference to the Criminal Code because the juridical Act is provisionally present.

(21)

 

 

 

 

understands it but this has not found a high-juridical reference to handle criminal cases in the ADR.

It is confessed by the Plorestas that in the Act of the Police, the Police have an authority to apply ‘discretion’, a power to take an action for the sake of public based on their self-judgment. But, this juridical reference is common so that it needs a more operating rule.

In facing the implication of the ADR to handle criminal cases, the Police have actually taken a better action. In the Telegram of the Criminal Investigation Bureau (STR), the Sub-Division of the STR of the Indonesian Police No ST/110/V/2011, dated on May 18, 2001 on the Implication Guidance of the ADR in the Rank of the STR of the Indonesian Police, the STR of the Indonesia Police will apply the ADR to handle criminal cases. Unfortunately, the policy is delayed with the Telegram of the STR of the Indonesian Police No ST/209/IX/2011, dated September 6, 2001 on Delaying the Implication of the ADR in the Rank of the STR of the Indonesian Police. Then, the telegram is followed up with the Telegram of the Director of the Central Java Regional Police No ST/2157/IX/2011, dated on September 23, 2011. It states for substance and material in the ADR is a type of giving an authority to the Indonesian Police for handling criminal cases outside the court that must be regulated by the Act, the implication of the ADR in the Rank of the STR of the Indonesian Police is delayed until the law protection is issued in the form of rule and regulation designed by the Headquarter of the Indonesian Police.

(22)

 

 

 

 

RINGKASAN PENELITIAN

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk perkara pidana apa yang ditangani oleh kepolisian; bagaimana kepolisian menyelesaikan perkara pidana yang ada; dan bagaimana pandangan kepolisian terhadap penyelesaian perkara pidana secara alternative.

Tujuan dari penelitian pada tahun pertama ini adalah untuk; (1) menyusun bentuk-bentuk perkara pidana yang ditangani oleh lembaga kepolisian; (2) menginventarisasi cara-cara penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh lembaga kepolisian; dan (3) mendeskripsikan pandangan kepolisian terhadap model (cara-cara) penyelesaian perkara pidana secara alternatif. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: (1) secara akademik, dapat memberikan kontribusi yang berguna bagi kasanah ilmu hukum pidana, khususnya model alternatif dalam penyelesaian perkara pidana; dan (2) bagi pengambil kebijakan, dapat memberikan masukan yang berupa konsep pemikiran yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan (perumusan) kebijakan penyelesaian perkara pidana yang berorientasi kepada keadilan yang substantive.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum – sosiologis dengan pendekatan kualitatif, maksudnya fakta – fakta sosial tentang masalah Kebijakan Kepolisian dalam penyelesaian perkara pidana akan menjadi perhatikan dan sumber utama untuk menentukan model penyelesaian perkara pidana, dengan tanpa mengabaikan aspek normatifnya. Oleh karena itu data yang diperlukan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara. Wawancara ditujukan kepada pejabat kepolisian Polresta Surakarta. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur, statastik criminal, jurnal, dan dokumentasi peraturan yang relevan. Analisis data dilakukan dengan teknik

content analysis melalui model legal interpretation dan theoritical interpretation.

    Tugas pokok kepolisian negara Republik Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan dalam perundang-undangan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah (1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) Menegakkan hukum; dan (3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dari ketiga tugas pokok ini, yang terkait langsung dengan tugas yuridis di bidang penegakan hukum adalah terbatas dalam kapasitasnya sebagai penyelidik dan penyidik proses perkara pidana.

(23)

 

 

 

 

73 (tujuh tiga) kasus; dan (5) Tindak Pidana Penganiayaan Ringan sebanyak 65 (enam lima) kasus. Sedangkan dari 8 (delapan) tindak pidana inkonvensional, selama 5 (lima) bulan, yang paling menonjol adalah Tindak Pidana Narkoba sebanyak 51 (lima puluh lima) kasus, disusul Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 23 (dua puluh tiga) kasus, kemudian Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak sebanyak 8 (delapan) kasus.

Dalam penanganan perkara pidana Polresta Surakarta masih menggunakan prosedur tetap (Protap) sebagai landasan untuk penyelesaian perkara pidana. Protap ini sebagaimana ditentukan dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan peraturan pelaksananya, serta peraturan petunjuk pelaksanaan dan teknis dari Pimpinan POLRI.

Jadi, untuk perkara (tindak) pidana biasa (bukan tindak pidana aduan), Polresta Surakarta masih selalu menyelesaikannya sampai tuntas sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Mengapa demikian, karena landasan yuridis yang ada, untuk sementara (sekarang) memang demikian adanya.

Dalam penyelesaian perkara pidana, Polresta Surakarta bukan berarti tidak mendengar dan mengerti pendapat ahli tentang penggunaan model (cara) alternatif dispute resolution (ADR) seperti musyawarah diantara pihak korban dengan pelaku, mediasi, diversi, rekonsiliasi, atau penyelesaian secara masyarakat adat. Polresta Surakarta sudah sangat paham akan hal tersebut, namun Kepolisian (Polresta Surakarta) belum menemukan landasas yuridis yang kuat untuk menyelesaikan perkara pidana dengan cara alternatif (ADR) tersebut. Diakui oleh Polresta Surakarta, bahwa, dalam UU Kepolisian, Polisi diberikan

kewenangan untuk melakukan “diskresi”, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaiannya sendiri. Namun, landasan yuridis ini masih bersifat umum, sehingga masih diperlukan aturan yang bersifat lebih operasional.

Dalam mensikapi terhadap penggunaan ADR dalam penyelesaian perkara pidana Kepolisian sebenarnya sudah melakukan langkah maju. Melalui Surat Telegram Reskrim (STR) Kabareskrim Polri No. ST/110/V/2011, tanggal 18 Mei 2011 tentang Pedoman Penerapan ADR Di Jajaran Reskrim Polri, Reskrim Polri berkehendak untuk menerapan ADR dalam penyelesaian perkara pidana. Hanya sayang, kebijakan tersbut ditunda dengan Surat Telegram Kabareskrim Polri No. . ST/209/IX/2011, tanggal 6 September 2011, tentang Penangguhan Penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri. Surat Telegram ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Telegram Direktur Reskrimum Polda Jateng No. ST/2157/IX/2011, tanggal 23 September 2011 yang isinya berebunyi: “mengingat substansi dan materi yang termuat dalam ADR merupakan bentuk pemberian kewenangan bagi anggota Polri dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang harus diatur dengan UU, maka penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri ditangguhkan sampai dikeluarkannya payung hukum dalam bentuk peraturan perundangan yang dirancang oleh Mabs Polri”.

(24)

 

 

 

 

SUMMARY

The problem statements of this study include: 1) what are the types of criminal cases handled by the police; 2) how do the police handle the cases; and 3); how do the police’s insight of handling them alternatively.

In the first year, the study aims to 1) establish the types of criminal cases handled by the police; 2) inventory the ways the police handle them; and (3) describe the police’s insight of a model for handling those alternatively. Hopefully, it can be beneficial for academicians and policy makers. For the academicians, it can be meaningful to contribute to criminal law development, particularly an alternative model for handling criminal cases. For the policy makers, it can be useful to develop a conceptual thinking to make a policy of handling criminal cases oriented to substantive justice.

The study is a research of sociological law with qualitative approach. It means that the study examines the social facts in relation to the Police’s Policy (for handling criminal cases) that will be a main reference to establish a model of handling criminal cases without including a normative aspect. For this, the data included primary and secondary. The primary data gathering used a depth-interview. This technique was intended to interview the police officials of Polresta Surakarta (the Surakarta Resort Police). The secondary data included relevant literatures, criminal statistic, journals, and documents. The data employed a content analysis with legal and theoretical interpretations.

    As stipulated in the Act of the Police of the Republic of Indonesia, the police are mainly responsible for 1) keeping a safety and orderliness of people, 2) upholding a law, and 3) providing protection, care, and service to people. Out of the three, related to juridical power for upholding, is limited to their capacity as an investigating officer and an officer in criminal process.

In running its juridical responsibility, from January to May, 2011 the Polresta Surakarta has handled a variety of criminal cases. The types of these cases handled by the Polresta in 2011, particularly for five months, consisted of 33 cases. Out of the 2 felony cases were conventional at 25 criminal cases and unconventional (transnational) at 8 criminal cases. Out of the 25 conventional crimes were 5 criminal cases, including 1) 136 robbing,  2) 114 deception, 3) 85 looting, 4) 73 embezzlement, and 5) 65 cruel mistreatment. Out of the unconventional cases were as follows: 1) 51 illegal drug, 2) 23 violence-of-household, and 3) violence-of-children.

In handling the criminal cases, the Polresta Surakarta uses a fixed procedure as a reference to them, as stipulated in the Act of the Criminal Code, operating rule and guidance and technique of the Indonesian Police Administration.

For the common criminal cases (not denunciation), thus, the Polresta Surakarta always handles them completely in a reference to the Criminal Code because the juridical Act is provisionally present.

(25)

 

 

 

 

understands it but this has not found a high-juridical reference to handle criminal cases in the ADR.

It is confessed by the Plorestas that in the Act of the Police, the Police have an authority to apply ‘discretion’, a power to take an action for the sake of public based on their self-judgment. But, this juridical reference is common so that it needs a more operating rule.

In facing the implication of the ADR to handle criminal cases, the Police have actually taken a better action. In the Telegram of the Criminal Investigation Bureau (STR), the Sub-Division of the STR of the Indonesian Police No ST/110/V/2011, dated on May 18, 2001 on the Implication Guidance of the ADR in the Rank of the STR of the Indonesian Police, the STR of the Indonesia Police will apply the ADR to handle criminal cases. Unfortunately, the policy is delayed with the Telegram of the STR of the Indonesian Police No ST/209/IX/2011, dated September 6, 2001 on Delaying the Implication of the ADR in the Rank of the STR of the Indonesian Police. Then, the telegram is followed up with the Telegram of the Director of the Central Java Regional Police No ST/2157/IX/2011, dated on September 23, 2011. It states for substance and material in the ADR is a type of giving an authority to the Indonesian Police for handling criminal cases outside the court that must be regulated by the Act, the implication of the ADR in the Rank of the STR of the Indonesian Police is delayed until the law protection is issued in the form of rule and regulation designed by the Headquarter of the Indonesian Police.

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan sampel dengan DSP Check- Quick Test Kit diperoleh hasil sebagai berikut; untuk kekerangan positif asam okadaik pada dua sampel dengan kisaran 200 ppb sampai 2

Program Gerak Gempur Bengkel Bersama Industri, Auto Count Sdn Bhd, menggunapakai AutoCount Computerized Accounting diadakan demi meningkatkan kefahaman tentang

Levene's Test of Equality of Error Vari ances a. Dependent Variable:

komprehensif yang dimulai dari kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas. dan perencanaan

Kemudian alat ukur tersebut dipakai kembali oleh Septiana Constanti mahasiswi psikologi Binus University pada tahun 2012 dengan skripsinya yang berjudul

Matriks persegi adalah matriks yang mempunyai banyak baris dan kolom sama. Diagonal samping matriks adalah semua entry matriks yang terletak pada garis diagonal dari sudut kiri

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi zakat dan yang dikeluarkan UMKM mebel ukir dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar melalui BAZNAS