PEMANFAATAN BERKELANJUTAN
(Kasus: Teluk Bone, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara)
SYAHRIR
=
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Rajungan (Portunus pelagicus) untuk Pemanfaatan Berkelanjutan, Kasus: Teluk Bone, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Syahrir
SYAHRIR. Management Strategy Resources of Blue Swimming Crab
(Portunus pelagicus) Fishery for Sustainable Uses. Case: Bone Bay, Kolaka
Regency, Southeast Sulawesi Province. Under direction of BAMBANG WIDIGDO, and YUSLI WARDIATNO.
Blue swimming crab (Portunus pelagicus) resources is one of high economic value commodity of marine products and numerous in Kolaka Regency waters. Kolaka Regency including in the Bone bay region, in which this region is the second largest contributor (21%) after the northern coast of Java (28%) of the blue swimming crab total production throughout Indonesia since 2001 until 2008. Estimated total blue swimming crab production in Kolaka Regency decreased because of increasing fishing activities, thus requiring a comprehensive study. The purpose of this study: 1) Knowing the potential resources of blue swimming crabs in the Bone bay waters, Kolaka Regency, Southeast Sulawesi Province; 2) Determine the ecological economics sustainability index of the blue swimming crab resources 3) Analyze the feasibility level of catch effort; 4) Determine the strategic management direction of the blue swimming crab resources for sustainable uses. The research shows that the alleged maximum sustainable yield (MSY) of 129 997 kg, optimum fishing effort (fMSY) equal to 21 739 trips.
Sustainability index values obtained 1.63 (very good). Catch effort feasible to be developed,the value of NPV = Rp27 857 867, Net B/C = 3.15, and IRR = 60.62%. There are several fishing ground which clashed with the allocation based on local government policy. Blue swimming crab management resources require attention from governments and policymakers and all stakeholders. For that to be implemented management resources policies includes: 1) rescue policies, and (2) utilization policy, in order to create sustainability and obtained an optimal and sustainable utilization.
SYAHRIR. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Rajungan
(Portunus pelagicus) untuk Pemanfaatan Berkelanjutan. Kasus: Teluk Bone,
Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh BAMBANG WIDIGDO, dan YUSLI WARDIATNO.
Sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditi hasil laut bernilai ekonomis tinggi dan banyak terdapat di perairan Kabupaten Kolaka. Kabupaten Kolaka termasuk kedalam kawasan Teluk Bone, di mana kawasan ini merupakan penyumbang terbesar kedua (21%) setelah pantai utara jawa (28%) dari total produksi rajungan seluruh Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2008. Secara nasional, diketahui adanya indikasi penurunan volume produksi dari 30 530 ton pada tahun 2003 turun menjadi 18 760 ton pada tahun 2005. Diperkirakan total produksi rajungan di Kabupaten Kolaka juga mengalami penurunan karena terjadinya peningkatan kegiatan penangkapan. Penurunan jumlah hasil tangkapan dan ukuran rajungan serta perubahan fishing ground
merupakan bukti terjadinya tekanan terhadap sumberdaya tersebut. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan kajian komprehensif.
Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agustus 2009, di kawasan Teluk Bone, khususnya di perairan Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tujuan penelitian adalah (1) Mengkaji bio-ekologi sumberdaya rajungan; (2) Menentukan potensi dan tingkat pemanfaatan optimum; (3) Menentukan indeks keberlanjutan ekologi ekonomi; (4) Menganalisis tingkat kelayakan usaha penangkapan; dan (5) Menentukan arahan strategis pengelolaan untuk pemanfaatan berkelanjutan. Hasil penelitian direkomendasikan untuk membantu pengambil keputusan beserta semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya rajungan untuk pemanfaatan berkelanjutan.
Data terdiri dari data primer yang dikumpulkan melalui pendataan hasil tangkapan dan wawancara dengan nelayan rajungan, data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pustaka berupa hasil penelitian, laporan dan informasi. Metode analisis yang digunakan yakni: (1) Analisis biologi dan sumberdaya rajungan yang meliputi ukuran rajungan, hubungan masing-masing parameter pertumbuhan, nisbah kelamin, dan kelayakan tangkap rajungan; (2) Analisis potensi dengan pendekatan model produksi surplus metode Fox; (3) Analisis keberlanjutan ekologi ekonomi dengan pendekatan sustainability checklist; (4) Kelayakan usaha penangkapan rajungan dianalisis dengan menggunakan tolok ukur finansial yang meliputi net present value (NPV), net benefit cost rasio (Net B/C), dan internal rate of return (IRR); dan (5) Analisis fishing ground dengan pendekatan deskriptif.
dan berat tubuh memiliki korelasi positif dan kuat. Model hubungan antara lebar karapas dengan berat tubuh sebagai berikut: W=0.00002 L3.210 (Jantan=allometrik positif). W=0.00006 L3.029 (Betina=isometrik). Nisbah kelamin adalah 1.53:1 atau rasio kelamin rajungan dalam keadaan tidak seimbang (1≠1). Rajungan hasil tangkapan tergolong layak untuk ditangkap (CW≥80 mm) berdasarkan ukuran lebar karapas. Namun, penetapan standar ukuran minimal rajungan layak tangkap yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat perlu direvisi dan diusulkan yaitu berukuran sama atau lebih besar dari 110 mm (CW≥110 mm). Hal ini sangat dibutuhkan demi menjaga kelestarian sumberdaya rajungan dengan memberi kesempatan untuk melakukan reproduksi minimal satu kali sepanjang hidupnya.
Dugaan potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY) rajungan adalah 129 997 kg pada upaya penangkapan optimum (fMSY) 21 739 trip. Sedangkan dugaan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/TAC) yaitu sebesar 103 998 kg. Status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya rajungan sangat baik ditinjau dari aspek ekologi dan ekonomi. Nilai indeks keberlanjutan didapatkan sebesar 1.63. Usaha penangkapan rajungan dengan alat tangkap pukat rajungan layak untuk dikembangkan, mengingat keuntungan yang dapat diperoleh, prospek yang menjanjikan, dan tingginya kebutuhan pasar akan komoditi rajungan. Disamping itu, semua syarat dalam NPV (Rp27 857 867),
Net B/C (3.15), dan IRR (60.62 %) sebagai kriteria kelayakan suatu usaha dapat dipenuhi. Distribusi spasial fishing ground rajungan menyebar di sepanjang wilayah pesisir dan berjarak antara 0.3–3.7 km atau rata-rata 1.6 km dari daratan. Sebagian daerah penangkapan tersebut berbenturan dengan peruntukannya berdasarkan kebijakan pemerintah daerah setempat. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan di Kabupaten Kolaka perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan pengambil kebijakan beserta seluruh stakeholders. Untuk itu perlu ditempuh kebijakan pengelolaan sumberdaya yang meliputi: (1) kebijakan penyelamatan, dan (2) kebijakan pemanfaatan.
Kata kunci: sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus), pemanfaatan berkelanjutan, perairan Kabupaten Kolaka.
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang–Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PEMANFAATAN BERKELANJUTAN
(Kasus: Teluk Bone, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara)
SYAHRIR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Tenggara). Nama : Syahrir
NIM : C252070021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Widigdo Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Alhamdulillah... Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis dengan judul ”Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Rajungan (Portunus pelagicus) untuk Pemanfaatan Berkelanjutan. Kasus: Teluk Bone, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara” berhasil diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Widigdo dan Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku penguji tamu/luar komisi pada Ujian Tesis, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Azhari, S.STP, M.Si selaku Rektor Universitas 19 November (USN) beserta staf atas dukungannya. Pimpinan beserta staf COREMAP II dan Mitra Bahari atas Beasiswa bantuan penulisan tesis. Bapak Ir. Agussalim Pammusu, M.Si beserta staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kolaka, dan Bapak Hasan (nelayan rajungan) yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih yang tulus dipersembahkan kepada Ayahanda Sambasri Bandu dan Ibunda Hj. Marauleng, Kakanda Bahrum,SH., Yusri,SE., Basri, dan adinda Yuliana beserta seluruh keluarga, Ayahanda AKBP. Syahrial Tanjung dan Ibunda Erawati Sapitri, serta teristemewa kepada istri tercinta Yolanda Fitria Syahri,S.P.,M.Si., atas segala doa dan kasih sayangnya.
Hanya kepada Allah SWT kita patut berserah. Semoga segala amal ibadah kita senantiasa mendapat ridho-Nya dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.
Bogor, Januari 2011
Penulis dilahirkan di Sanrangeng, Kabupaten Bone pada tanggal 27 Februari 1974 dari Ayah Sambasri Bandu dan Ibu Hj. Marauleng. Penulis
merupakan anak putra keempat dari lima bersaudara.
xvii
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Kerangka Pemikiran ... 5
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7
2 TINJAUAN PUSTAKA... 9
2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan ... 9
2.2 Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) ... 13
2.2.1 Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus) ... 14
2.2.2 Klasifikasi Rajungan (Portunus pelagicus) ... 14
2.2.3 Habitat Rajungan (Portunus pelagicus) ... 16
3 METODOLOGI PENELITIAN ... 19
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 19
3.2 Metode Pengumpulan Data ... 19
3.2.1 Data Primer ... 20
3.2.2 Data Sekunder ... 25
3.3 Metode Analisis Data ... 26
3.3.1 Biologi dan Sumberdaya Rajungan ... 26
3.3.2 Analisis Potensi Sumberdaya Rajungan ... 28
3.3.3 Analisis Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sumberdaya Rajungan ... 29
3.3.4 Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Rajungan ... 32
3.3.5 Analisis Fishing Ground Sumberdaya Rajungan ... 33
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 35
4.1 Geografis dan Administratif ... 35
4.2 Keadaan Iklim ... 35
4.3 Topografi dan Kondisi Hidro-Oseanografi ... 36
4.4 Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ... 37
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
5.1 Deskripsi Unit Penangkapan Rajungan ... 41
5.1.1 Alat Tangkap Rajungan ... 41
5.1.2 Kapal / Perahu dan Mesin Penggerak ... 43
5.1.3 Nelayan Rajungan ... 44
xviii
5.3 Biologi dan Sumberdaya Rajungan ... 48
5.3.1 Komposisi Jenis Hasil Tangkapan ... 48
5.3.2 Ukuran Rajungan ... 52
5.3.3 Hubungan Panjang Karapas, Lebar Karapas, Tebal Tubuh dan Berat Tubuh ... 56
5.3.3 Nisbah Kelamin ... 59
5.3.5 Kelayakan Tangkap Rajungan ... 61
5.4 Potensi Sumberdaya Rajungan ... 62
5.4.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Rajungan ... 63
5.4.2 Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap (catch per unit effort/ CPUE) ... 65
5.4.3 Estimasi Hasil Tangkapan Maksimum Lestari dan Upaya Optimum ... 66
5.5 Indeks Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sumberdaya Rajungan .. 68
5.5.1 Penilaian Indikator Pengelolaan ... 68
5.5.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan ... 72
5.6 Kelayakan Usaha Penangkapan Rajungan ... 74
5.7 Distribusi Spasial Fishing Ground Rajungan ... 77
5.8 Arahan Strategis Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Rajungan ... 79
5.8.1 Kebijakan Penyelamatan ... 80
5.8.2 Kebijakan Pemanfaatan ... 80
6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
6.1 Kesimpulan ... 83
6.2 Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 85
xix
1 Perbedaan jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus) antara
jantan dan betina ... 23
2 Data primer dan data sekunder yang diperoleh dalam penelitian ... 25
3 Kriteria dan indikator penilaian keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya perikanan rajungan ... 30
4 Potensi sumberdaya perikanan dan tingkat pemanfaatannya di
Kabupaten Kolaka tahun 2008 ... 38
5 Perkembangan produksi perikanan Kabupaten Kolaka tahun 2004 – 2008 ... 39
6 Siklus perkembangan hidup dan habitat rajungan ... 48
7 Hasil tangkapan pukat rajungan pada setiap stasiun pengamatan ... 49
8 Jenis, jumlah individu dan komposisi spesies hasil tangkapan
sampingan (non target) pukat rajungan ... 51
9 Kisaran ukuran rajungan yang tertangkap selama penelitian... 52
10 Hasil analisis korelasi panjang karapas, lebar karapas, tebal tubuh, dan berat tubuh rajungan ... 56
11 Komposisi rajungan yang layak tangkap dan tidak layak tangkap
berdasarkan ukuran lebar karapas ... 61
12 Hasil tangkapan dan upaya penangkapan rajungan di Kabupaten Kolaka selama tahun 2004 hingga 2008 ... 63
13 Penilaian indeks keberlanjutan ekologi ekonomi pengelolaan
sumberdaya perikanan rajungan di Kabupaten Kolaka ... 73
14 Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan pukat rajungan ... 75
xvii
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii
1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Kerangka Pemikiran ... 5 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7
2 TINJAUAN PUSTAKA... 9 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan ... 9 2.2 Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) ... 13 2.2.1 Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus) ... 14 2.2.2 Klasifikasi Rajungan (Portunus pelagicus) ... 14 2.2.3 Habitat Rajungan (Portunus pelagicus) ... 16
3 METODOLOGI PENELITIAN ... 19 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 19 3.2 Metode Pengumpulan Data ... 19 3.2.1 Data Primer ... 20 3.2.2 Data Sekunder ... 25 3.3 Metode Analisis Data ... 26 3.3.1 Biologi dan Sumberdaya Rajungan ... 26 3.3.2 Analisis Potensi Sumberdaya Rajungan ... 28 3.3.3 Analisis Keberlanjutan Ekologi Ekonomi
Sumberdaya Rajungan ... 29 3.3.4 Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Rajungan ... 32 3.3.5 Analisis Fishing Ground Sumberdaya Rajungan ... 33
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 35
4.1 Geografis dan Administratif ... 35 4.2 Keadaan Iklim ... 35 4.3 Topografi dan Kondisi Hidro-Oseanografi ... 36 4.4 Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ... 37
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41 5.1 Deskripsi Unit Penangkapan Rajungan ... 41
xviii
5.3 Biologi dan Sumberdaya Rajungan ... 48 5.3.1 Komposisi Jenis Hasil Tangkapan ... 48 5.3.2 Ukuran Rajungan ... 52 5.3.3 Hubungan Panjang Karapas, Lebar Karapas, Tebal Tubuh
dan Berat Tubuh ... 56 5.3.3 Nisbah Kelamin ... 59 5.3.5 Kelayakan Tangkap Rajungan ... 61 5.4 Potensi Sumberdaya Rajungan ... 62 5.4.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Rajungan ... 63 5.4.2 Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap
(catch per unit effort/ CPUE) ... 65 5.4.3 Estimasi Hasil Tangkapan Maksimum Lestari
dan Upaya Optimum ... 66 5.5 Indeks Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sumberdaya Rajungan .. 68 5.5.1 Penilaian Indikator Pengelolaan ... 68 5.5.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan ... 72 5.6 Kelayakan Usaha Penangkapan Rajungan ... 74 5.7 Distribusi Spasial Fishing Ground Rajungan ... 77 5.8 Arahan Strategis Pengelolaan Berkelanjutan
Sumberdaya Rajungan ... 79 5.8.1 Kebijakan Penyelamatan ... 80 5.8.2 Kebijakan Pemanfaatan ... 80
6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 83 6.1 Kesimpulan ... 83 6.2 Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 85
xix
1 Perbedaan jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus) antara
jantan dan betina ... 23
2 Data primer dan data sekunder yang diperoleh dalam penelitian ... 25
3 Kriteria dan indikator penilaian keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya perikanan rajungan ... 30
4 Potensi sumberdaya perikanan dan tingkat pemanfaatannya di
Kabupaten Kolaka tahun 2008 ... 38
5 Perkembangan produksi perikanan Kabupaten Kolaka tahun 2004 – 2008 ... 39
6 Siklus perkembangan hidup dan habitat rajungan ... 48
7 Hasil tangkapan pukat rajungan pada setiap stasiun pengamatan ... 49
8 Jenis, jumlah individu dan komposisi spesies hasil tangkapan
sampingan (non target) pukat rajungan ... 51
9 Kisaran ukuran rajungan yang tertangkap selama penelitian... 52
10 Hasil analisis korelasi panjang karapas, lebar karapas, tebal tubuh, dan berat tubuh rajungan ... 56
11 Komposisi rajungan yang layak tangkap dan tidak layak tangkap
berdasarkan ukuran lebar karapas ... 61
12 Hasil tangkapan dan upaya penangkapan rajungan di Kabupaten Kolaka selama tahun 2004 hingga 2008 ... 63
13 Penilaian indeks keberlanjutan ekologi ekonomi pengelolaan
sumberdaya perikanan rajungan di Kabupaten Kolaka ... 73
14 Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan pukat rajungan ... 75
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut Indonesia sangat kaya dan mempunyai peran
strategis dan prospek yang cerah. Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan
yang dapat dikembangkan, yakni; perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri
pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, perhubungan laut,
pertambangan dan energi, pariwisata bahari, kehutanan, sumberdaya pulau-pulau
kecil, industri dan jasa maritim, serta SDA nonkonvensional (Dahuri 2009). Total
potensi ekonomis 11 sektor kelautan Indonesia itu, diperkirakan 800 miliar dollar
AS (7 200 triliun rupiah) per tahun atau lebih dari tujuh kali lipat APBN 2009 dan
satu setengah kali PDB saat ini.
Sektor perikanan menjadi isu global seiring terjadinya perubahan
paradigma ekonomi dunia, dari ekonomi terresterial menuju ekonomi maritim.
Perburuan pun berubah dari darat menuju ke laut. Pertumbuhan penduduk dunia
yang terus mengalami peningkatan, minimnya lapangan kerja dan meningkatnya
kebutuhan pangan penduduk dunia menjadi momentum bangkitnya sektor
perikanan sebagai pertumbuhan ekonomi baru dunia. Permasalahan penyediaan
bahan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia menjadi tuntutan yang
mendesak.
Pada awal perkembangan perikanan dunia, beberapa ahli beranggapan
bahwa stok ikan laut sangat besar dan memiliki daya pulih (recovery) yang cepat
sehingga bisa dieksploitasi secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif yang
lama. Namun kenyataannya, hanya dalam jangka waktu sekitar 20 tahun, stok
ikan laut dunia sudah berkurang sekitar 80 % (Wiyono dan Alimuddin, 2006).
Tercatat pada tahun 2000, produksi perikanan dunia menurun menjadi 126 juta
ton dari tahun tahun sebelumnya yang mencapai 130 juta ton/tahunnya (Yusuf,
2007). Salah satu komoditi yang belakangan menjadi perhatian masyarakat
adalah rajungan. Komoditi ini, menurut data Statistik Kelautan dan Perikanan
Tahun 2005 (DKP RI, 2006) juga menunjukkan indikasi penurunan pada tahun
2003 hingga 2005 dengan volume produksi masing-masing pada tahun 2003
sebesar 30 530 ton turun menjadi 21 854 ton pada tahun 2004 dan kemudian
turun menjadi 18 760 ton pada tahun 2005.
Selain faktor tekanan penangkapan yang tinggi, faktor pemanfaatan di
kualitas sumberdaya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir serta
padatnya aktivitas lalu lintas laut juga menyumbang terdegradasinya sumberdaya
pesisir dan lautan. Dengan demikian segala aktivitas penangkapan di laut,
aktivitas di daratan dan di wilayah pesisir menjadi sangat penting untuk dikelola
secara baik dan tepat.
Pengelolaan sumberdaya alam senantiasa diarahkan pada tiga dimensi
utama pembangunan yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Dari sisi ekologi
sumberdaya alam diarahkan untuk mencapai aspek keberlanjutan (sustainable),
sementara dari sisi ekonomi diarahkan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (welfare) dan dari sisi sosial pengelolaan sumberdaya
diarahkan pada aspek pemerataan (equity). Begitu pula tujuan pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah bagaimana tetap menjaga keberlanjutan
sumberdaya (ketersediaan stok) dan berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat nelayan.
Kabupaten Kolaka merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara
yang memiliki potensi perikanan yang cukup besar, hal ini didukung oleh kondisi
wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Teluk Bone yang kaya
dengan beragam sumberdaya alam, diantaranya potensi kekayaan alam
perikanan tangkap sebesar 144 320 ton/tahun (La Hatta, 2007). Kawasan Teluk
Bone dan sekitarnya merupakan penyumbang terbesar kedua (21%) setelah
pantai utara jawa (28%) dari total produksi rajungan seluruh Indonesia sejak tahun
2001 hingga 2008 (Surjadi, 2009). Rajungan (Portunus pelagicus) tergolong
hewan dasar laut/bentos dan dapat berenang ke dekat permukaan laut pada
malam hari untuk mencari makan, juga sering disebut swimming crab yang artinya
kepiting berenang. Sumberdaya perikanan rajungan (Portunus pelagicus) yang
dalam istilah lokal disebut “bukkang suji” merupakan salah satu jenis komoditas
hasil laut bernilai ekonomis tinggi seperti halnya udang dan jenis perikanan
lainnya yang banyak terdapat di perairan pesisir dan laut Kabupaten Kolaka dan
telah dimanfaatkan untuk menambah pendapatan dan pemenuhan protein hewani.
Potensi rajungan sangat melimpah dan dapat ditemukan di sepanjang
perairan Indonesia yang berpantai pasir dan lumpur. Total potensi rajungan
Indonesia diperkirakan sebesar 7.2 juta ton/tahun (Sulistiono, 2009). Rajungan
memiliki nilai ekonomis penting dan telah diekspor ke berbagai negara dalam
bentuk segar maupun olahan. Negara Singapura, Malaysia, Jepang, Hongkong,
Taiwan dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor (Adam et al., 2006).
3
Amerika 8-9 juta pon. Komoditas ini merupakan komoditas ekspor urutan ketiga
dalam arti jumlah setelah ikan dan udang (Susanto et al., 2004). Sihombing (2004)
menyatakan bahwa produksi rajungan Indonesia yang diekspor pada tahun 1993
sebanyak 442 724 ton dengan nilai US$ 1 042 miliar dalam bentuk tanpa kepala
dan kulit.
Diperkirakan total produksi rajungan di Kolaka mengalami penurunan
karena terjadinya peningkatan kegiatan penangkapan. Sementara itu peningkatan
penangkapan dipicu oleh tingginya nilai jual yang mencapai minimal Rp. 25.000,-
per kilogram dengan kulit atau Rp. 250.000,- per kilogram khusus daging.
Faktor lain adalah permintaan pasar yang terus meningkat, Surjadi (2009)
mengungkapkan bahwa salah satu tujuan pasar ekspor rajungan Indonesia
yaitu Amerika terus mengalami peningkatan permintaan, pada tahun 2005
sebesar 21 114 ton, pada tahun 2006 sebesar 21 530 ton dan 21 678 ton pada
tahun 2007.
Faktor harga komoditi yang tinggi dan pasar yang jelas telah mendorong
terjadinya peningkatan penangkapan rajungan di Kabupaten Kolaka yang
berakibatkan penurunan produksi. Upaya peningkatan produksi banyak dilakukan
melalui penambahan unit usaha (effort). Penambahan jumlah effort tersebut
secara langsung akan memberikan tekanan terhadap sumberdaya dan ekosistem.
Dampak nyata yang ditimbulkan terhadap sumberdaya dalam kurun waktu tertentu
akan menurunkan tingkat biomassa atau terjadi penurunan stok, sementara bagi
ekosistem akan terganggu yang juga akan berdampak terhadap pertumbuhan
sumberdaya rajungan. Kangas (2000) menyatakan bahwa sampai saat ini seluruh
kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut,
sehingga dikuatirkan akan mempengaruhi populasinya di alam. Penurunan
jumlah hasil tangkapan dan ukuran rajungan serta perubahan fishing ground
merupakan bukti terjadinya tekanan terhadap sumberdaya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan kehati-hatian dan kajian
komprehensif dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya kegiatan
penangkapan sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di kawasan Teluk Bone
khususnya perairan Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara yang
nantinya dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam pengelolaan sumberdaya
2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan
Menurut Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, yang
dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumberdaya ikan adalah potensi semua
jenis ikan, sedangkan pengertian ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh
atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Perairan
tempat kehidupan sumberdaya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya
merupakan maksud atau pengertian dari lingkungan sumberdaya ikan.
Pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan
berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Pengelolaan
sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus
menerus, baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya. Penangkapan
ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, manangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Murdiyanto (2004) adalah
rangkaian tindakan yang terorganisasi untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan terutama untuk memanfaatkan dan memelihara sumberdaya perikanan
secara berkelanjutan. Pengelolaan perikanan menyangkut berbagai tugas yang
kompleks yang bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam
yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara, yang diperoleh dari
memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Keberhasilan pengelolaan
perlu ditunjang dengan pengetahuan para pengelolanya dan perangkat yang
cukup memadai menyangkut ketersediaan informasi, personil pengelola, dana
serta kesadaran dan partisipasi masyarakat yang berhubungan dengan kegiatan
usaha perikanan tersebut.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan dalam pengelolaan sumberdaya
tersebut, maka setiap orang dapat memanfaatkan dan masuk dalam industri
perikanan. Setidaknya ada dua rejim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu
10
(centrally planned management). Perbedaan kedua rejim ini terletak pada
terkontrol-tidaknya pengelolaan sumberdaya dan bebas-tidaknya nelayan
melakukan ekspansi penangkapan ikan baik secara teknologi, hari menangkap
ikan maupun daerah penangkapan. Walaupun akses terbuka seringkali
disamakan dengan milik bersama (common property) namun pada dasarnya
keduanya memiliki arti yang sangat berbeda (Fox, 1992 in Ishak, 2006).
Pelaksanaan pengelolaan perikanan menurut Murdiyanto (2004), dapat
dilakukan dengan menetapkan dua langkah berikut ini: 1). Merancang dan
merumuskan rencana pengelolaan perikanan yang meliputi rangkaian kebijakan
dan tujuan yang akan dicapai menyangkut kelestarian stok ikan dan kegiatan
perikanan yang bersangkutan. Dalam menetapkan kebijakan senantiasa
mempertimbangkan karakteristik biologi dari stok ikan, potensi yang tersedia
secara alami serta dampak aktifitas perikanan yang ada terhadap stok ikan dan
aspek ekonomi dan sosial bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat, 2).
Memutuskan dan melaksanakan peraturan yang ditetapkan dengan
langkah-langkah (action) yang diperlukan, yang memungkinkan pihak pengelola, nelayan
dan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan dapat bersama-sama bekerja bahu-membahu mencapai
tujuan yang ditetapkan. Tujuan pengelolaan ini seyogyanya disusun dan
disepakati bersama oleh pengelola dan komponen masyarakat yang berkaitan dan
berkepentingan. Tindakan yang diperlukan akan melingkupi: mengembangkan
dan melaksanakan rencana pengelolaan untuk semua stok ikan yang dikelola,
menjamin terpeliharanya stok ikan dan ekosistem sumberdayanya,
mengumpulkan dan menganalisis data biologi dan perikanan yang diperlukan
untuk pengelolaan, memonitor, mengawasi dan melakukan penegakan hukum
sehingga peraturan dapat berjalan secara efektif dan mengupayakan agar nelayan
dapat menerima dan mematuhi peraturan yang dikeluarkan.
Masalah-masalah pengelolaan perikanan menurut Kusumastanto (2002),
antara lain meliputi; masalah biologi maupun masalah ekonomi. Masalah biologi
seperti ancaman berkurangnya stok, dan masalah ekonomi seperti borosnya
tenaga kerja dan modal. Dalam kapasitas penangkapan yang berlebih serta
pendapatan yang menurun, dapat diatasi dengan sistem individual tranferable
quota (ITQ), namun sistem ini, dirasakan kurang sesuai untuk diterapkan di
Indonesia, sehingga disarankan kepada pemerintah, agar mempertimbangkan
model territorial use right, yang dipandang lebih realistis bagi Indonesia dalam
pendekatan community based management, state based management dan
perpadauan keduanya yakni Coo-Management.
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Pengembangan
jenis teknologi penangkapan ikan perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan
pembangunan umum perikanan.
Monintja dan Zulkarnain (1995) menyatakan bahwa apabila
pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan
kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit
penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja dengan pendapatan
nelayan yang memadai. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan penyediaan
protein untuk masyarakat, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki
produktifitas unit serta produktifitas nelayan per tahun yang tinggi namun masih
dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis.
Menurut Martasuganda (2003), beberapa permasalahan yang dihadapi
dalam upaya untuk terus meningkatkan hasil tangkapan (produksi) baik untuk
perikanan tangkap ataupun perikanan budidaya laut, dikarenakan belum
optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada antara lain: 1).
Pemanfaatan sumberdaya banyak yang masih belum menggunakan teknologi
yang ramah lingkungan, 2). Penentuan daerah penangkapan ikan yang masih
dilakukan dengan cara dikira-kira dan umumnya masih disekitar perairan pantai,
3). Pembuatan alat yang masih dilakukan secara turun temurun tanpa
memperhitungkan target tangkapan, daerah penangkapan, waktu penangkapan
dan aspek lainnya yang terkait, 4). Alat tangkap dan perahu yang digunakan
sebagian besar masih berskala kecil sedangkan yang berskala besar masih
sangat sedikit, 5) Kwalitas sumberdaya manusia yang masih rendah, 6). Teknologi
penanganan hasil perikanan yang masih rendah dan tidak ramah lingkungan, 7).
Rantai pemasaran yang masih belum tertata dengan baik, 8). Kualitas dan
kuantitas sarana dan prasarana yang masih kurang, 9). Pengelolaan informasi
data masih belum dilakukan secara profesional, 10). Pembinaan dan penyuluhan
usaha masih kurang, 11). Minimnya permodalan yang dimiliki, 12).
Penanggulangan pencurian ikan di wilayah ZEEI masih belum dilakukan secara
terkoordinasi dan berkelanjutan, serta 13). Aspek lainnya yang berhubungan
12
Menurut Fauzi (2004), penerapan kebijakan konvensional yang sering
digunakan antara lain pajak, baik pajak terhadap input maupun output perikanan,
pembatasan entry (limited entry), maupun kuota, untuk mencapai tujuan
pengelolaan perikanan yang rasional dan bertanggung jawab, sering menemui
kegagalan. User fee atau fishing fee sebagai salah satu alternatif alat
pengelolaan sumberdaya perikanan yang didasarkan pada cost-effective
management, diharapkan menjadi stimulus bagi pengelolaan sumberdaya
perikanan yang lebih efektif, disamping tersedianya dana untuk pemeliharaan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan.
Tujuan utama pengelolaan sumberdaya berkelanjutan adalah pencapaian
keuntungan secara maksimum, dengan tetap menjaga keberlangsungan
ketersediaan sumberdaya, sebagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa
menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987 in Dahuri, 2002). Selanjutnya bahwa atas
dasar definisi dari tujuan tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung tiga
unsur (dimensi) utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologis dan sosial (Harris
et al., 2001 in Dahuri, 2002).
Pendekatan kelestarian ekologis dapat digunakan dalam pengelolaan
perikanan dengan cara memperkuat, mengembangkan sistem budaya lokal yang
ramah lingkungan. Pada umumnya budaya tradisional memiliki pengakuan bahwa
manusia bagian dari alam. Pemerintah sebagai decession maker perikanan perlu
melibatkan masyarakat lokal dalam merumuskan kebijakan (Sujastani, 1982).
Peran langsung masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan di perkuat sesuai
budaya setempat. Setiap daerah memiliki budaya yang khas. Sifat khas ini
menyebabkan kebijakan pengelolaan perikanan akan menjadi sulit bersifat global
(sama untuk setiap daerah), sehingga setiap daerah dapat memiliki sistem
pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-masing daerah. Gambar 2 Indikator Pengelolaan Berkelanjutan.
Ekologi
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut Indonesia sangat kaya dan mempunyai peran
strategis dan prospek yang cerah. Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan
yang dapat dikembangkan, yakni; perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri
pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, perhubungan laut,
pertambangan dan energi, pariwisata bahari, kehutanan, sumberdaya pulau-pulau
kecil, industri dan jasa maritim, serta SDA nonkonvensional (Dahuri 2009). Total
potensi ekonomis 11 sektor kelautan Indonesia itu, diperkirakan 800 miliar dollar
AS (7 200 triliun rupiah) per tahun atau lebih dari tujuh kali lipat APBN 2009 dan
satu setengah kali PDB saat ini.
Sektor perikanan menjadi isu global seiring terjadinya perubahan
paradigma ekonomi dunia, dari ekonomi terresterial menuju ekonomi maritim.
Perburuan pun berubah dari darat menuju ke laut. Pertumbuhan penduduk dunia
yang terus mengalami peningkatan, minimnya lapangan kerja dan meningkatnya
kebutuhan pangan penduduk dunia menjadi momentum bangkitnya sektor
perikanan sebagai pertumbuhan ekonomi baru dunia. Permasalahan penyediaan
bahan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia menjadi tuntutan yang
mendesak.
Pada awal perkembangan perikanan dunia, beberapa ahli beranggapan
bahwa stok ikan laut sangat besar dan memiliki daya pulih (recovery) yang cepat
sehingga bisa dieksploitasi secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif yang
lama. Namun kenyataannya, hanya dalam jangka waktu sekitar 20 tahun, stok
ikan laut dunia sudah berkurang sekitar 80 % (Wiyono dan Alimuddin, 2006).
Tercatat pada tahun 2000, produksi perikanan dunia menurun menjadi 126 juta
ton dari tahun tahun sebelumnya yang mencapai 130 juta ton/tahunnya (Yusuf,
2007). Salah satu komoditi yang belakangan menjadi perhatian masyarakat
adalah rajungan. Komoditi ini, menurut data Statistik Kelautan dan Perikanan
Tahun 2005 (DKP RI, 2006) juga menunjukkan indikasi penurunan pada tahun
2003 hingga 2005 dengan volume produksi masing-masing pada tahun 2003
sebesar 30 530 ton turun menjadi 21 854 ton pada tahun 2004 dan kemudian
turun menjadi 18 760 ton pada tahun 2005.
Selain faktor tekanan penangkapan yang tinggi, faktor pemanfaatan di
2
kualitas sumberdaya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir serta
padatnya aktivitas lalu lintas laut juga menyumbang terdegradasinya sumberdaya
pesisir dan lautan. Dengan demikian segala aktivitas penangkapan di laut,
aktivitas di daratan dan di wilayah pesisir menjadi sangat penting untuk dikelola
secara baik dan tepat.
Pengelolaan sumberdaya alam senantiasa diarahkan pada tiga dimensi
utama pembangunan yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Dari sisi ekologi
sumberdaya alam diarahkan untuk mencapai aspek keberlanjutan (sustainable),
sementara dari sisi ekonomi diarahkan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (welfare) dan dari sisi sosial pengelolaan sumberdaya
diarahkan pada aspek pemerataan (equity). Begitu pula tujuan pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah bagaimana tetap menjaga keberlanjutan
sumberdaya (ketersediaan stok) dan berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat nelayan.
Kabupaten Kolaka merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara
yang memiliki potensi perikanan yang cukup besar, hal ini didukung oleh kondisi
wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Teluk Bone yang kaya
dengan beragam sumberdaya alam, diantaranya potensi kekayaan alam
perikanan tangkap sebesar 144 320 ton/tahun (La Hatta, 2007). Kawasan Teluk
Bone dan sekitarnya merupakan penyumbang terbesar kedua (21%) setelah
pantai utara jawa (28%) dari total produksi rajungan seluruh Indonesia sejak tahun
2001 hingga 2008 (Surjadi, 2009). Rajungan (Portunus pelagicus) tergolong
hewan dasar laut/bentos dan dapat berenang ke dekat permukaan laut pada
malam hari untuk mencari makan, juga sering disebut swimming crab yang artinya
kepiting berenang. Sumberdaya perikanan rajungan (Portunus pelagicus) yang
dalam istilah lokal disebut “bukkang suji” merupakan salah satu jenis komoditas
hasil laut bernilai ekonomis tinggi seperti halnya udang dan jenis perikanan
lainnya yang banyak terdapat di perairan pesisir dan laut Kabupaten Kolaka dan
telah dimanfaatkan untuk menambah pendapatan dan pemenuhan protein hewani.
Potensi rajungan sangat melimpah dan dapat ditemukan di sepanjang
perairan Indonesia yang berpantai pasir dan lumpur. Total potensi rajungan
Indonesia diperkirakan sebesar 7.2 juta ton/tahun (Sulistiono, 2009). Rajungan
memiliki nilai ekonomis penting dan telah diekspor ke berbagai negara dalam
bentuk segar maupun olahan. Negara Singapura, Malaysia, Jepang, Hongkong,
Taiwan dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor (Adam et al., 2006).
Amerika 8-9 juta pon. Komoditas ini merupakan komoditas ekspor urutan ketiga
dalam arti jumlah setelah ikan dan udang (Susanto et al., 2004). Sihombing (2004)
menyatakan bahwa produksi rajungan Indonesia yang diekspor pada tahun 1993
sebanyak 442 724 ton dengan nilai US$ 1 042 miliar dalam bentuk tanpa kepala
dan kulit.
Diperkirakan total produksi rajungan di Kolaka mengalami penurunan
karena terjadinya peningkatan kegiatan penangkapan. Sementara itu peningkatan
penangkapan dipicu oleh tingginya nilai jual yang mencapai minimal Rp. 25.000,-
per kilogram dengan kulit atau Rp. 250.000,- per kilogram khusus daging.
Faktor lain adalah permintaan pasar yang terus meningkat, Surjadi (2009)
mengungkapkan bahwa salah satu tujuan pasar ekspor rajungan Indonesia
yaitu Amerika terus mengalami peningkatan permintaan, pada tahun 2005
sebesar 21 114 ton, pada tahun 2006 sebesar 21 530 ton dan 21 678 ton pada
tahun 2007.
Faktor harga komoditi yang tinggi dan pasar yang jelas telah mendorong
terjadinya peningkatan penangkapan rajungan di Kabupaten Kolaka yang
berakibatkan penurunan produksi. Upaya peningkatan produksi banyak dilakukan
melalui penambahan unit usaha (effort). Penambahan jumlah effort tersebut
secara langsung akan memberikan tekanan terhadap sumberdaya dan ekosistem.
Dampak nyata yang ditimbulkan terhadap sumberdaya dalam kurun waktu tertentu
akan menurunkan tingkat biomassa atau terjadi penurunan stok, sementara bagi
ekosistem akan terganggu yang juga akan berdampak terhadap pertumbuhan
sumberdaya rajungan. Kangas (2000) menyatakan bahwa sampai saat ini seluruh
kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut,
sehingga dikuatirkan akan mempengaruhi populasinya di alam. Penurunan
jumlah hasil tangkapan dan ukuran rajungan serta perubahan fishing ground
merupakan bukti terjadinya tekanan terhadap sumberdaya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan kehati-hatian dan kajian
komprehensif dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya kegiatan
penangkapan sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di kawasan Teluk Bone
khususnya perairan Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara yang
nantinya dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam pengelolaan sumberdaya
2 TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan
Menurut Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, yang
dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumberdaya ikan adalah potensi semua
jenis ikan, sedangkan pengertian ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh
atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Perairan
tempat kehidupan sumberdaya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya
merupakan maksud atau pengertian dari lingkungan sumberdaya ikan.
Pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan
berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Pengelolaan
sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus
menerus, baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya. Penangkapan
ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, manangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Murdiyanto (2004) adalah
rangkaian tindakan yang terorganisasi untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan terutama untuk memanfaatkan dan memelihara sumberdaya perikanan
secara berkelanjutan. Pengelolaan perikanan menyangkut berbagai tugas yang
kompleks yang bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam
yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara, yang diperoleh dari
memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Keberhasilan pengelolaan
perlu ditunjang dengan pengetahuan para pengelolanya dan perangkat yang
cukup memadai menyangkut ketersediaan informasi, personil pengelola, dana
serta kesadaran dan partisipasi masyarakat yang berhubungan dengan kegiatan
usaha perikanan tersebut.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan dalam pengelolaan sumberdaya
tersebut, maka setiap orang dapat memanfaatkan dan masuk dalam industri
perikanan. Setidaknya ada dua rejim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu
(centrally planned management). Perbedaan kedua rejim ini terletak pada
terkontrol-tidaknya pengelolaan sumberdaya dan bebas-tidaknya nelayan
melakukan ekspansi penangkapan ikan baik secara teknologi, hari menangkap
ikan maupun daerah penangkapan. Walaupun akses terbuka seringkali
disamakan dengan milik bersama (common property) namun pada dasarnya
keduanya memiliki arti yang sangat berbeda (Fox, 1992 in Ishak, 2006).
Pelaksanaan pengelolaan perikanan menurut Murdiyanto (2004), dapat
dilakukan dengan menetapkan dua langkah berikut ini: 1). Merancang dan
merumuskan rencana pengelolaan perikanan yang meliputi rangkaian kebijakan
dan tujuan yang akan dicapai menyangkut kelestarian stok ikan dan kegiatan
perikanan yang bersangkutan. Dalam menetapkan kebijakan senantiasa
mempertimbangkan karakteristik biologi dari stok ikan, potensi yang tersedia
secara alami serta dampak aktifitas perikanan yang ada terhadap stok ikan dan
aspek ekonomi dan sosial bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat, 2).
Memutuskan dan melaksanakan peraturan yang ditetapkan dengan
langkah-langkah (action) yang diperlukan, yang memungkinkan pihak pengelola, nelayan
dan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan dapat bersama-sama bekerja bahu-membahu mencapai
tujuan yang ditetapkan. Tujuan pengelolaan ini seyogyanya disusun dan
disepakati bersama oleh pengelola dan komponen masyarakat yang berkaitan dan
berkepentingan. Tindakan yang diperlukan akan melingkupi: mengembangkan
dan melaksanakan rencana pengelolaan untuk semua stok ikan yang dikelola,
menjamin terpeliharanya stok ikan dan ekosistem sumberdayanya,
mengumpulkan dan menganalisis data biologi dan perikanan yang diperlukan
untuk pengelolaan, memonitor, mengawasi dan melakukan penegakan hukum
sehingga peraturan dapat berjalan secara efektif dan mengupayakan agar nelayan
dapat menerima dan mematuhi peraturan yang dikeluarkan.
Masalah-masalah pengelolaan perikanan menurut Kusumastanto (2002),
antara lain meliputi; masalah biologi maupun masalah ekonomi. Masalah biologi
seperti ancaman berkurangnya stok, dan masalah ekonomi seperti borosnya
tenaga kerja dan modal. Dalam kapasitas penangkapan yang berlebih serta
pendapatan yang menurun, dapat diatasi dengan sistem individual tranferable
quota (ITQ), namun sistem ini, dirasakan kurang sesuai untuk diterapkan di
Indonesia, sehingga disarankan kepada pemerintah, agar mempertimbangkan
model territorial use right, yang dipandang lebih realistis bagi Indonesia dalam
11
pendekatan community based management, state based management dan
perpadauan keduanya yakni Coo-Management.
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Pengembangan
jenis teknologi penangkapan ikan perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan
pembangunan umum perikanan.
Monintja dan Zulkarnain (1995) menyatakan bahwa apabila
pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan
kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit
penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja dengan pendapatan
nelayan yang memadai. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan penyediaan
protein untuk masyarakat, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki
produktifitas unit serta produktifitas nelayan per tahun yang tinggi namun masih
dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis.
Menurut Martasuganda (2003), beberapa permasalahan yang dihadapi
dalam upaya untuk terus meningkatkan hasil tangkapan (produksi) baik untuk
perikanan tangkap ataupun perikanan budidaya laut, dikarenakan belum
optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada antara lain: 1).
Pemanfaatan sumberdaya banyak yang masih belum menggunakan teknologi
yang ramah lingkungan, 2). Penentuan daerah penangkapan ikan yang masih
dilakukan dengan cara dikira-kira dan umumnya masih disekitar perairan pantai,
3). Pembuatan alat yang masih dilakukan secara turun temurun tanpa
memperhitungkan target tangkapan, daerah penangkapan, waktu penangkapan
dan aspek lainnya yang terkait, 4). Alat tangkap dan perahu yang digunakan
sebagian besar masih berskala kecil sedangkan yang berskala besar masih
sangat sedikit, 5) Kwalitas sumberdaya manusia yang masih rendah, 6). Teknologi
penanganan hasil perikanan yang masih rendah dan tidak ramah lingkungan, 7).
Rantai pemasaran yang masih belum tertata dengan baik, 8). Kualitas dan
kuantitas sarana dan prasarana yang masih kurang, 9). Pengelolaan informasi
data masih belum dilakukan secara profesional, 10). Pembinaan dan penyuluhan
usaha masih kurang, 11). Minimnya permodalan yang dimiliki, 12).
Penanggulangan pencurian ikan di wilayah ZEEI masih belum dilakukan secara
terkoordinasi dan berkelanjutan, serta 13). Aspek lainnya yang berhubungan
Menurut Fauzi (2004), penerapan kebijakan konvensional yang sering
digunakan antara lain pajak, baik pajak terhadap input maupun output perikanan,
pembatasan entry (limited entry), maupun kuota, untuk mencapai tujuan
pengelolaan perikanan yang rasional dan bertanggung jawab, sering menemui
kegagalan. User fee atau fishing fee sebagai salah satu alternatif alat
pengelolaan sumberdaya perikanan yang didasarkan pada cost-effective
management, diharapkan menjadi stimulus bagi pengelolaan sumberdaya
perikanan yang lebih efektif, disamping tersedianya dana untuk pemeliharaan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan.
Tujuan utama pengelolaan sumberdaya berkelanjutan adalah pencapaian
keuntungan secara maksimum, dengan tetap menjaga keberlangsungan
ketersediaan sumberdaya, sebagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa
menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987 in Dahuri, 2002). Selanjutnya bahwa atas
dasar definisi dari tujuan tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung tiga
unsur (dimensi) utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologis dan sosial (Harris
et al., 2001 in Dahuri, 2002).
Pendekatan kelestarian ekologis dapat digunakan dalam pengelolaan
perikanan dengan cara memperkuat, mengembangkan sistem budaya lokal yang
ramah lingkungan. Pada umumnya budaya tradisional memiliki pengakuan bahwa
manusia bagian dari alam. Pemerintah sebagai decession maker perikanan perlu
melibatkan masyarakat lokal dalam merumuskan kebijakan (Sujastani, 1982).
Peran langsung masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan di perkuat sesuai
budaya setempat. Setiap daerah memiliki budaya yang khas. Sifat khas ini
menyebabkan kebijakan pengelolaan perikanan akan menjadi sulit bersifat global
(sama untuk setiap daerah), sehingga setiap daerah dapat memiliki sistem
pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-masing daerah. Gambar 2 Indikator Pengelolaan Berkelanjutan.
Ekologi
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian di lapangan dimulai pada akhir bulan Mei hingga
akhir bulan Agustus 2009, di kawasan perairan Teluk Bone, khususnya yang
berada di perairan pesisir wilayah Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
[image:40.595.91.514.216.630.2]Sumber: DKP Prov.Sultra, 2009
Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian dan Posisi Stasiun Pengamatan di Teluk Bone, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan dengan mempertimbangkan
kondisi wilayah kajian, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa
3.2.1 Data Primer
a. Pendataan hasil tangkapan
Pengamatan dan pendataan secara langsung terhadap rajungan (Portunus
pelagicus) hasil tangkapan dilakukan dengan tujuan untuk memberikan gambaran
tentang kondisi stok dan ketersediaan sumberdaya rajungan di wilayah kajian
ditinjau dari aspek biologi.
Penentuan lokasi atau stasiun pengamatan didasarkan pada informasi
tempat-tempat yang sering dilakukan penangkapan rajungan oleh nelayan
setempat. Berdasarkan wawancara pendahuluan diperoleh ada 30 lokasi
penangkapan rajungan oleh karena itu lokasi tersebut yang dijadikan sebagai
objek penelitian (Gambar 6). Untuk mengetahui posisi pengamatan digunakan alat
bantu GPS (Global Position System).
Penangkapan dilakukan dengan cara mengikuti secara langsung operasi
penangkapan bersama-sama dengan nelayan rajungan. Operasi penangkapan
dilakukan dengan menggunakan perahu/kapal dan alat tangkap serta sistem
penangkapan yang sama. Bergerak dari satu stasiun pengamatan pindah ke
stasiun pengamatan yang lain sampai ke 30 lokasi yang telah ditetapkan
sebelumnya, menggunakan perahu motor dalam (inboard) bermesin diesel
dengan kekuatan atau daya 16 PK. Penangkapan dilakukan masing-masing satu
kali trip operasi penangkapan untuk setiap stasiun pengamatan.
Cara penangkapan dilakukan dengan menggunakan alat tangkap “pukat
rajungan”. Alat tangkap ini dibuat khusus untuk menangkap rajungan. Pukat
rajungan merupakan alat tangkap pasif yang bersifat statis. Pada prinsipnya alat
tangkap ini dapat diklasifikasikan ke dalam bottom gillnet karena merupakan jaring
insang yang cara pengoperasiannya dipasang di dasar perairan (Muslim, 2000;
Martasuganda, 2002; Susanto, 2006). Pukat rajungan merupakan rangkaian dari
badan jaring (webbing), tali ris atas atau tali pelampung (float line), pelampung
(float), tali ris bawah atau tali pemberat (sinker line) dan pemberat (sinker). Badan
jaring (webbing) berbentuk empat persegi panjang dan terbuat dari bahan nylon
PA monofilament (tasi) berwarna putih transparan, memiliki ukuran mata jaring
(mesh size) 3.5 inchi atau 8.75 cm dengan nomor benang 30 dan diameter 0.3
mm. Pukat rajungan yang digunakan sebanyak 5 pis, satu pis terdiri atas 10 tinting
(potong), panjang satu tinting yaitu + 25 meter atau panjang satu pis sekitar 250
meter, sehingga panjang keseluruhan pukat rajungan yang digunakan yaitu
21
Cara operasi penangkapan dimulai dari proses pemasangan alat tangkap
(setting). Pemasangan pukat rajungan umumnya dilakukan sejajar dengan garis
pantai atau dipasang terentang menghadap ke laut. Proses penurunan alat
tangkap pukat rajungan (setting) diawali dengan penurunan pelampung tanda
pertama disusul dengan pemberat kemudian badan jaring diturunkan secara
perlahan-lahan dengan cara mengulur sambil perahu didayung mengarah ke
depan sampai semua pukat telah diturunkan secara keseluruhan, yang diakhiri
dengan pemasangan pelampung tanda terakhir. Waktu yang dibutuhkan untuk
proses pemasangan alat tangkap (setting) ini sekitar 30 – 60 menit. Pemasangan
alat ini umumnya dilakukan pada pagi hari yaitu pada pukul 07.30 – 11.00 waktu
setempat dan membiarkan pukat rajungan tersebut terpasang di dalam air selama
+ 24 jam.
Pada keesokan harinya di waktu yang sama baru dilakukan pengambilan
hasil tangkapan (hauling). Proses pengambilan hasil tangkapan dimulai dengan
penarikan alat tangkap pukat rajungan, yang diawali dengan pengangkatan
pelampung tanda dan pemberat. Saat hauling, posisi nelayan berada disisi haluan
perahu dan menarik pukat secara perlahan dengan memegang tali ris atas sambil
melakukan pengambilan hasil tangkapan yang terdapat di badan jaring, hingga
dipastikan semua rangkaian alat tangkap pukat rajungan telah terangkat. Waktu
yang dibutuhkan untuk proses hauling berkisar antara 60 – 90 menit. Setelah
proses hauling selesai, maka selanjutnya alat tangkap pukat rajungan siap untuk
dipasang (setting) kembali di lokasi penangkapan yang lain.
Pengamatan hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) dilakukan
terhadap parameter biologi rajungan meliputi :
1. Jumlah individu,
2. Jenis kelamin,
3. Jumlah betina yang bertelur,
4. Ukuran panjang dan lebar karapas,
5. Tebal tubuh, dan
6. Berat tubuh.
Panjang karapas diukur menggunakan mistar geser atau jangka sorong
(ketelitian 0.05 mm) mulai dari gigi median dahi sampai tepi posterior karapas
dalam bentuk garis lurus, sedangkan lebar karapas diukur lurus dari kedua ujung
gigi anterolateral terakhir, sementara tebal tubuh diukur dari ketebalan terbesar
rajungan ditimbang per individu dengan menggunakan timbangan digital atau
elektrik dengan ketelitian 0.01 gram (Gambar 7).
[image:43.595.83.481.144.644.2]Sumber: Dokumentasi pribadi (saat penelitian)
Gambar 7 Sketsa dan Cara Pengukuran Tubuh Rajungan (Portunus pelagicus).
Penentuan jenis kelamin rajungan dilakukan secara morfologi dengan cara
melihat secara langsung bentuk dan warna karapas serta bentuk abdomen atau
apron. Perbedaan jenis kelamin jantan dan betina serta betina yang bertelur
secara spesifik dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 8 berikut.
Sumber: Stephenson dan Campbell (1959)
Lebar karapas (mm) Panjang karapas (mm)
23
Tabel 1 Perbedaan Jenis Kelamin Rajungan (Portunus pelagicus) antara Jantan dan Betina
Karakteristik Jantan Betina
Warna Karapas Berbinti warna biru
terang Berbintik warna abu-abu atau coklat
Bentuk abdomen atau apron
Abdomen yang sempit berbentuk “T”
(Muda) berbentuk segitiga “V” atau triangular dan melapisi badan. (Dewasa) berbentuk “U” membundar secara melebar atau hampir semi-circular dan bebas dari ventral cangkang
Ukuran dan warna capit
Berwarna biru, capit lebih panjang
Berwarna abu-abu atau coklat dan lebih pendek dari capit jantan
Sumber: (FishSA, 2000; Blue Crab Identification, 2001).
Gambar 8 Perbedaan Jenis Kelamin Rajungan (Portunus pelagicus) antara Jantan dan Betina serta Betina yang Bertelur.
[image:44.595.99.446.327.723.2]Komposisi hasil tangkapan pukat rajungan berdasarkan jenis komoditi
yang tertangkap, dianalisis secara deskriptif untuk menentukan keragaman hasil
tangkapan pukat rajungan, perbandingan hasil tangkapan utama (target) dengan
hasil tangkapan sampingan (non-target), dan hasil tangkapan sampingan yang
mendominasi.
Kualitas lingkungan perairan yang mendukung kehidupan sumberdaya
rajungan dilakukan pengukuran dan pengamatan secara langsung di lapangan,
yang terdiri atas suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman dan jenis substrat. Suhu
air diukur menggunakan Water Quality Checkers atau Waterproof (merk: HANNA
HI 991300, buatan Romania), salinitas diukur menggunakan Refraktometer (merk:
ATAGO 3904, buatan Japan). Untuk menentukan kecerahan digunakan alat
keping secci (secchi disc) dan jenis substrat diamati dengan cara menyelam ke
dasar perairan. Pengamatan dilakukan masing-masing satu kali pada setiap
stasiun pengamatan atau lokasi penangkapan dan dilaksanakan pada saat
sebelum pengambilan hasil tangkapan (hauling).
b. Wawancara
Wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun
(Lampiran 1) dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal
dalam usaha pemanfaatan sumberdaya rajungan. Responden dalam penelitian ini
adalah nelayan penangkap rajungan, berdasarkan pertimbangan keterwakilan
data maka penentuan jumlah responden dilakukan dengan menggunakan rumus
Slovin (Umar, 2004) :
Dimana:
n = Jumlah responden
N = Jumlah nelayan rajungan
d = Galat pendugaan (10 %)
Dalam penelitian ini diketahui N sebesar 53 orang (nelayan rajungan),
d ditetapkan sebesar 10 %. Jadi jumlah responden yang diwawancarai dalam
25
3.2.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelurusan dari berbagai penelitian yang
terkait (desk study). Data yang bersumber dari Dinas/Instansi/Lembaga terkait
seperti: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi serta Kabupaten; Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi dan Kabupaten; Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Provinsi dan Kabupaten; dan Data dari Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) serta Data dari perusahaan swasta yang melakukan pembelian komoditi
rajungan di wilayah kajian.
Secara lengkap data primer dan data sekunder yang diperoleh dalam
[image:46.595.88.507.317.751.2]penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Data Primer dan Data Sekunder yang Diperoleh dalam Penelitian
No Jenis Data Aspek Komponen Parameter Sumber
1. Data Primer Ekologi • Biota • Jumlah (ekor)
Survei/ Lapangan
Analisa lapangan
• Panjang (mm)
• Lebar (mm)
• Tebal (mm)
• Berat (g)
• Kualitas Air • Suhu (oC)
• Salinitas (o/ oo) • Kecerahan (m)
• Kedalaman (m)
• Habitat • Jenis substrat
Ekonomi Tingkat Kelayakan Usaha
Penangkapan Rajungan
• Struktur biaya
• Produktivitas
Survei Lapangan
2. Data Sekunder • Hasil tangkapan (time series)
• Jumlah nelayan
• Musim
penangkapan
• Pendapatan nelayan
• Upah minimum
• Suku bunga
• Peta dasar
Dinas/ Instansi/ Lembaga
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Geografis dan Administratif
Kabupaten Kolaka berada di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan secara
geografis terletak pada bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara memanjang dari
utara ke selatan berada di antara 02°45' – 05°00' Lintang Selatan dan
membentang dari Barat ke Timur diantara 121°00' – 122°15' Bujur Timur
(Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2008). Batas-batas wilayah Kabupaten Kolaka,
yaitu :
• Disebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara
• Disebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Konawe dan Konawe
Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara
• Disebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana Provinsi
Sulawesi Tenggara
• Disebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone Provinsi Sulawesi Selatan.
Daerah Kabupaten Kolaka mencakup jazirah daratan dan kepulauan yang
memiliki luas wilayah daratan kurang lebih 6 918.38 km2, luas wilayah perairan
laut diperkirakan seluas 15 000 km2 dengan panjang garis pantai 295 875 km
serta memiliki 13 (tiga belas) buah pulau-pulau kecil dengan luas secara
keseluruhan pulau-pulau kecil tersebut yaitu 4 384 Ha. Secara administratif
Kabupaten Kolaka dibagi dalam 20 Kecamatan yang terdiri dari 45 Kelurahan dan
178 Desa. Dari 20 kecamatan tersebut terdapat 10 kecamatan yang berbatasan
langsung dengan laut atau kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Wolo, Samaturu,
Latambaga, Kolaka, Wundulako, Baula, Pomalaa, Tanggetada, Kecamatan
Watubangga dan Kecamatan Toari (DKP Kolaka, 2009).
4.2 Keadaan Iklim
Iklim di daerah ini umumnya sama seperti di wilayah lain di Indonesia yang
berada disekitar daerah khatulistiwa yakni beriklim tropis. Memiliki dua musim,
yaitu musim hujan yang berlangsung pada bulan November sampai bulan Maret,
dimana pada bulan-bulan tersebut angin barat bertiup dari Asia dan Samudera
Pasifik yang mengandung banyak uap air yang lazim juga disebut musim barat.
Musim kemarau atau angin timur umumnya atau biasa terjadi pada bulan Mei
36
terjadi tiupan angin dengan arah angin tidak menentu dan diiringi dengan curah
hujan yang tidak menentu pula sehingga pada bulan ini dikenal sebagai musim
pancaroba.
Sebaran curah hujan di wilayah Kabupaten Kolaka pada umumnya tidak
merata, hal ini menimbulkan adanya wilayah daerah basah dan wilayah daerah
kering. Wilayah daerah basah dengan curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun
berada pada wilayah bagian utara dengan jumlah bulan basah 5 – 9 bulan/tahun.
Wilayah daerah kering memiliki curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun
ditemukan pada wilayah bagian selatan dan timur yang memiliki bulan basah
antara 3 – 4 bulan/tahun.
Suhu udara rata-rata bulanan di wilayah Kabupaten Kolaka berkisar antara
24oC sampai 28oC, dengan suhu udara minimum sekitar 10oC dan suhu
maksimum sekitar 31oC. Keadaan suhu tersebut merupakan akumulasi kondisi
cuaca secara keseluruhan. Wilayah daratan Kabupaten Kolaka mempunyai
ketinggian umumnya dibawah 1000 meter dari permukaan laut (DKP Kolaka,
2009).
4.3 Topografi dan Kondisi Hidro-Oseanografi
Keadaan permukaan bumi di wilayah Kabupaten Kolaka umumnya terdiri
dari gunung dan bukit-bukit yang memanjang dari utara ke selatan. Diantara
gunung dan bukit terbentang dataran-dataran yang merupakan daerah potensial
untuk pengembangan sektor pertanian dengan tingkat kemiringan yang bervariasi
(DKP Sulawesi Tenggara, 2005), sebagai berikut :
• Antara 00 - 20 seluas 102 493 Ha (9.94% dari luas daratan).
• Antara 20 - 150 seluas 88 051 Ha (8.84% dari luas daratan). • Antara 150 - 400 seluas 206 068 Ha (19.99% dari luas daratan).
• Antara 400 keatas seluas 634 388 Ha (61.23% dari luas daratan).
Berdasarkan data tersebut di atas maka dapat dijelaskan bahwa
Kabupaten Kolaka memiliki topografi yang pada umumnya berbukit sampai
bergunung-gunung dan hanya sedikit terdapat daerah yang landai. Pada
perkembangannya daerah yang landai terus mengalami peningkatan sebagai
akibat adanya usaha pemerintah dan rakyat/masyarakat setempat untuk
melakukan reklamasi pantai. Ditemukan beberapa daerah yang telah mengalami
reklamasi pada daerah pantai termasuk ditemukannya perumahan nelayan di atas
perairan pantai, yaitu di Anaiwoi, Hakatutobu, Tambea, Dawi-dawi, Lamokato dan
Kabupaten Kolaka memiliki beberapa sungai yang cukup potensial untuk
memenuhi kebutuhan seperti; irigasi, sumber air bersih, industri, serta pariwisata.
Sungai-sungai tersebut, yaitu : sungai Wolulu; sungai Oko-Oko; sungai
Huko-Huko; sungai Baula; sungai Lamekongga; sungai Ladongi, Andowengga; sungai
Tokai; sungai Loea dan sungai Simbune; sungai balandete, Kolaka; sungai
Manggolo; sungai Wolo; sungai Tamboli dan Konaweha; sungai Mowewe; sungai
Konawe.
Dipandang dari sudut oseanografi, luas wilayah perairan laut Kabupaten
Kolaka diperkirakan mencapai + 15 000 Km2 dan masuk ke dalam kawasan
perairan Teluk Bone. Wagey (2004) mengatakan bahwa kajian daya dukung lahan
laut di perairan Teluk Bone pada tahun 2004 ini, menghasilkan penggambaran
fenomena yang terjadi pada periode Monsun Tenggara (Bulan Agustus 2004).
Dimana Elevasi permukaan laut pada kondisi Pasang Purnama adalah berkisar
0.0492–2.4140 meter. Sedangkan kecepatan arus permukaan pada kondisi yang
sama berkisar 0.5x10-3–12.25x10-3 m/dt, dengan arah dominan menyusur pantai
timur yang kemudian menuju ke arah Utara dan Barat. Peristiwa downwelling
terjadi di beberapa lokasi di pantai barat dan upwelling di beberapa lokasi di pantai
timur. Dimana kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke atas adalah
0.5x103–3.5 x 10-3 m/dt, sedangkan kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju
ke bawah adalah 0.5x10-3