• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI ETNOBIOLOGI MASYARAKAT KERINCI

DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI

DAN EKOSISTEMNYA

ASVIC HELIDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

(4)

RINGKASAN

ASVIC HELIDA. Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dibimbing oleh ERVIZAL AMIR MUHAMMAD ZUHUD, HARDJANTO, Y. PURWANTO dan AGUS HIKMAT Etnobiologi merupakan disiplin ilmu yang dianggap mampu menjelaskan pengetahuan lokal dan praktik konservasi tradisional beserta dinamikanya. Sifat dinamis pengetahuan lokal yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan membuat pengetahuan lokal berkembang dan mendapat tempat dalam kehidupan sosial masyarakat. Kedalaman penghayatan masyarakat tradisional terhadap prinsip-prinsip konservasi tercermin dari sistem budaya dan sosial mereka yang memiliki rasa hormat kepada alam. Prinsip ini juga tercermin dalam perangkat sistem pengetahuan dan daya adaptasi masyarakat dalam penggunaan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumber daya alam dan ekosistem yang ada di sekitar masyarakat tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan etnobiologi masyarakat Kerinci untuk mendukung integrasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sehingga dapat menjadi suatu pengetahuan yang dapat diintegrasikan ke dalam pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat. Penelitian dilakukan pada masyarakat Kerinci di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi yang tinggal di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu masyarakat di Dusun Baru Lempur, Dusun Lama Tamiai, Dusun Ulu Jernih dan Dusun Keluru. Pendekatan penelitian dilakukan secara kualitatif dengan metode etnografi dan ekologi.

Hasil penelitian menyatakan bahwa masyarakat Kerinci adalah kelompok masyarakat liyan yang memiliki sistem nilai dan sistem pengetahuan yang bersifat kecil, unik dan diwariskan secara turun temurun. Kecil dan unik artinya sistem nilai dan sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat bersifat khas dan spesifik berbeda dengan sistem nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat lainnya. Hal ini sudah berlangsung sejak lama dan berproses hingga sampai kepada saat kini yang terungkap melalui sejarah asal usul suku, bahasa, sistem kekerabatan, agama/kepercayaan, kesenian/upacara tradisional, sistem kepemimpinan dan sistem sosial. Konsep-konsep pengetahuan masyarakat Kerinci terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tertuang dalam etnobotani, etnoekologi dan etnozoologi yang mereka miliki.

(5)

tumbuhan menjadi penting perannya, sehingga pilihan pengembangannya haruslah untuk jangka panjang, bukan jangka pendek (short terms benefits). Tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat Kerinci saat ini berada pada level sedang (Mg=0,625) dengan tingkat retensi atau kemampuan menyimpan pengetahuan tertinggi berada pada kelas umur empat yaitu 55 hingga 69 tahun

(RG=1,015) dan terjadi perubahan tahunan rata-rata yang cendrung menurun. Pengetahuan masyarakat Kerinci terhadap lingkungan (etnoekologi) terungkap melalui pandangan mereka terhadap lingkungan. Masyarakat Kerinci memiliki pandangan bahwa alam dan lingkungannya merupakan hasil perjalanan sejarah kehidupan yang sangat panjang hingga melahirkan kepercayaan, kebudayaan dan tradisi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungan mereka. Pandangan ini melahirkan pengetahuan yang bernilai positif dalam penataan satuan lingkungan berdasarkan kondisi geomorfologi yang meliputi jenis tanah, kelerengan dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Masyarakat Kerinci telah memiliki kemampuan dalam pembagian satuan lingkungan mereka berdasarkan fungsi kawasan yaitu kawasan perkampungan (dusun, umah, laman), kawasan persawahan, kawasan perladangan (pelak, ladang pnanam mudo, ladang pnanam tuo), kawasan hutan sekunder (bluko mudo, bluko tuo), kawasan hutan primer (imbo lengang) dan kawasan hutan adat (imbo adat) serta bentuk satuan lingkungan lainnya seperti batang ayiek dan danau.

Pengetahuan masyarakat Kerinci terhadap sumber daya hewan (etnozoologi) terungkap melalui kemampuan mereka mengidentifikasi dan memanfaatkan 89 spesies hewan yang ada di sekitar mereka terdiri dari hewan liar (78,65%) dan hewan budidaya (21, 35%). Pengelompokan hewan berdasarkan klasnya adalah mamalia (29 spesies), insekta (18 spesies), aves (16 spesies), reptil (9 spesies), pisces (13 spesies), vermes (1 spesies) dan chilopoda (1 spesies). Pemanfaatan berbagai sumber daya hewan tersebut adalah untuk sumber pangan (sumber protein), bahan-bahan pengobatan dan keperluan ritual adat. Selain itu masyarakat Kerinci melakukan aktivitas perburuan pada beberapa hutan sekunder bekas ladang bluko mudo dan bluko tuo. Perburuan dilakukan terhadap hewan-hewan yang mengganggu hasil pertanian masyarakat seperti kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan babi hutan (Sus scrofa). Untuk menjaga kelestarian sumber daya alam hayati hewan ini masyarakat Kerinci telah memiliki kearifan cara pemanfaatan dan pengelolaannya yaitu seperti adanya lubuk larangan. Keberadaan lubuk larangan adalah untuk mengatur waktu pemanenan populasi ikan sehingga dapat memperpanjang waktu pemanfaatannya dan memberi kesempatan kepada ikan untuk dapat memulihkan populasinya.

Pengetahuan tradisional masyarakat Kerinci ini sepatutnya dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam mendukung integrasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat. Masyarakat Kerinci harus dijadikan subyek dalam pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem sehingga pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berkelanjutan dan kawasan menjadi terjaga. Oleh karena itu diperlukan prasyarat penguatan aturan kebijakan yang dapat menjamin upaya tersebut berjalan dengan baik dan aman.

(6)

SUMMARY

ASVIC HELIDA. Integration Ethnobiology of Kerinci Community Into Conservation Biodiversity and Ecosystem Supervised by ERVIZAL AMIR MUHAMMAD ZUHUD, HARDJANTO, Y. PURWANTO and AGUS HIKMAT

Ethnobiology is a discipline that explain the local knowledge and traditional conservation practices and their dynamics. The dynamic nature of local knowledge that adapt to environmental conditions so that local knowledge developed and its place in the social life of the community. Depth appreciation of traditional society to the principles of conservation of nature is reflected in the cultural and social system of those who have respect for nature so that it becomes a part of it. This principle is also reflected in the system of public knowledge and adaptability in the use of technology in accordance with the conditions of natural resources and ecosystems around the community live. This study was aimed to reveal the concepts of knowledge and conservation practices of Kerinci community to plant resources (ethnobotany), animal resource (etnozoologi), environmental resources (ethnoecology) and the dynamics. The results of this study were expected providing a knowledge that could be integrated into conservation management of Kerinci Seblat National Park. The study was conducted on people Kerinci in Jambi Province Kerinci district who live in the buffer zone area of Kerinci Seblat National Park. Location of the study consisted of Dusun Baru Lempur, Dusun Lama Tamiai, Dusun Ulu Jernih and Dusun Keluru. The approach of the research conducted qualitative methods of ethnography and ecology.

The result of the study found that the Kerinci community is the liyan group of community that has a system of values and knowledge systems that are small, unique and inherited. The meaning of small and unique are the Kerinci’s values and knowledge systems are unique and different from the specific system of values shared by other community groups. It is long-standing and proceed up until the present moment is revealed through the history of ethnic origin, language, system of kinship, religion / belief, art / traditional ceremony, the leadership system and social system. The concepts of Kerinci community knowledge on natural resources and ecosystems could be found in their ethnobotany, ethnoecology and etnozoologi.

Kerinci community knowledge on plant resources (ethnobotany) revealed through the recognition and the ability to use as many as 234 species of plants for a variety of uses consisting medical material (200 species) and food (70 species). The measurements of plants Important Cultural Values (ICS) indicates that the Kerinci community has leveraged the resources of plants well. Utilization of the subsistence and diverse utilization of one species can suppress the pace of extinction of the species. Rattan (Calamus caesius) is a plant species from forests with high ICS is 36, while the rice (Oryza sativa) and cinnamon (Cinnamomun burmanii) is a type of crops with ICS highest of 59 and 57.

(7)

(Mg = 0.625) with a retention rate or the ability to store the highest knowledge that are in the age class of four that is 55 to 69 years (RG = 1.015) and a change in the average annual that tends to decline.

The knowledge of Kerinci people's in the environment (ethnoecology) revealed through their views on the environment. Kerinci community have the view that the nature and the environment is the result of the history of a very long life to give birth to beliefs, cultures and traditions are deeply affected by natural conditions and their environment. This view gave birth to the knowledge that is positive in the unit arrangement environment based on geomorphological conditions that include soil type, slope and altitude above sea level. Community Kerinci has the ability in the distribution of units of their environment based on the function of the area, namely the area of village (dusun, umah, laman), paddy fields, cultivation areas (pelak, ladang pnanam mudo, ladang pnanam tuo), secondary forest (bluko mudo, bluko tuo), primary forest (imbo lengang) and forest customs areas (imbo adat) as well as other environmental unit forms such as batang ayiek and lakes. In use of the environments, they have implemented adaptation techniques to get the better they can afford. Pelak agroforestry systems conducted by the Kerinci community has given the results and benefits to meet the needs of foodstuffs. This continues for their natural stimulus and stimulus benefits that have become an integral part in the life of the community.

The Kerinci community knowledge on animal resources is revealed through their ability to identify and utilize various types of animals that are around them. In this study may well documented 89 species of animals livestock (cultivated) or wild animals (wildlife). Animal grouping based on class are mammals (29 species), insects (18 species), aves (16 species), reptiles (9 species), Pisces (13 species), Vermes (1 species) and centipede (1 species). Utilization of various resources for these animals is a source of food (protein source), the materials and the treatment of indigenous ritual purposes. Some animal species are known as predators, pests and nuisance animals, pets / hobbies and animals of unknown benefit in particular. In addition, people of Kerinci hunt on some secondary forest and fallow bluko mudo and bluko tuo. Hunting consist of hunting for customs and hunting in general. Hunting for customs to follow the rules and rituals to be done collectively, while hunting in general can be done at any time, either individually or collectively. The hunt is done to the animals who disturb public agricultural products such as long-tailed macaques (Macaca fascicularis) and wild boar (Sus scrofa). To preserve the natural resources of this animal, Kerinci community has had the wisdom in utilization and management, i.e. lubuk larangan. The function of lubuk larangan is to set the time of harvesting of fish in the lake or on the river so as to extend their use of time and resources provide an opportunity for animals (fish) to be able to restore the population.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

INTEGRASI ETNOBIOLOGI MASYARAKAT KERINCI

DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI

DAN EKOSISTEMNYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)

Ujian Tertutup : 16 Mei 2016

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Herwasono Soedjito, MSc., APU 2. Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS

Sidang Promosi Terbuka : 19 Juli 2016

(11)

Judul Disertasi : Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Nama : Asvic Helida

NIM : E361110021

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS Prof Dr Ir Hardjanto, MS Ketua Anggota

Prof Dr Ir Y. Purwanto, DEA Dr Ir Agus Hikmat, MSc F Trop Anggota Anggota

Diketahui oleh :

Ketua Program Studi , Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta meningkatkan derajat bagi orang-orang yang berilmu. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad Shallallahu’alaihi Wa Salam yang telah membawa manusia dari jalan gelap kepada jalan yang terang benderang hingga akhir zaman. Hanya dengan izin dan rahmat-Nya, disertasi yang berjudul Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini dapat penulis selesaikan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS selaku ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Hardjanto, MS, Prof Dr Ir Y.Purwanto DEA dan Dr Ir Agus Hikmat,MSc.F.Trop masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang tidak bosan-bosannya memberikan ilmu, saran dan masukan serta kesabaran mereka membimbing penulis hingga disertasi ini dapat penulis selesaikan.

2. Dr Herwasono Soedjito, MSc dan Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MS selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sekaligus anggota komisi promosi pada sidang promosi. Atas saran, masukan dan kritikannya sehingga disertasi ini menjadi lebih baik dan sempurna. 3. Dr Ir Siti Badriah dari Prodi Konservasi Biodiversitas Tropika dan Dr Ir

Lailan Syaufina selaku pimpinan sidang pada pelaksanaan Ujian Tertutup yang telah berkenan memberikan masukan demi kesempurnaan tulisan disertasi ini.

4. Prof Dr Ir Sambas Basuni dari Prodi Konservasi Biodiversitas Tropika pada saat sidang promosi penulis atas saran dan kritikannya untuk menjadikan disertasi ini menjadi lebih baik.

5. Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti studi program doktor di IPB.

6. Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) yang telah memberikan dukungan beasiswa melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS).

7. Kepala dan staf TN Kerinci Seblat, masyarakat Dusun Baru Lempur, Dusun Lama Tamiai, Dusun Ulu Jernih dan Dusun Keluru yang telah menerima penulis dan memberi banyak kemudahan dalam pengambilan data lapangan.

8. Teman-teman satu angkatan KVT 2011: Fifin Nopriansyah (Pak ketua), Toto Supartono (akang), Nurul Qomar (Pak uwo), Iing Nasihin (abah), Zeth Parinding (Pace), Sri Soegiarto (Pak Lek), Tuah Bangun Malam (Abang), Abdul Rosyid (Pak Ochid), Kaniwa Berliani (mami), Liza Niningsih (acil), Hotnida Siregar (madam) atas kebersamaan dan diskusi-diskusinya.

(14)

Ungkapan hati yang tak mampu terucap juga penulis sampaikan kepada keluarga : ayahnda Dalimo Leman Dt Rajo Mangkuto (alm) dan ibunda Chadidjah (alm), Munawir (suami) dan anak-anak tercinta Muhammad Krissakti Gamala, Intan Qurrata Aini dan Ahmad Hafidz Al-Anshori, Ibu mertua Layinah, serta kakak-kakak dan adik-adik yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas doa dan dukungannya yang tiada henti.

Penulis menyadari, disertasi ini memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu diperlukan saran dan masukan dari berbagai pihak untuk menjadikan hasil penelitian ini lebih baik serta bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan etnobiologi khususnya dan ilmu kehutanan pada umumnya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin

Bogor, Agustus 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

DAFTAR ISTILAH 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 4

1.3 Tujuan Penelitian 5

1.4 Manfaat Penelitian 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian 6

1.6 Kebaruan Penelitian 6

1.7 Kerangka Pemikiran 8

2 ETNOGRAFI MASYARAKAT KERINCI 13

2.1 Pendahuluan 13

2.2 Metode 14

2.3 Hasil dan Pembahasan 15

2.3.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 15

2.3.2 Kondisi Geomorfologi 18

2.3.3 Lingkungan Biologi 21

2.3.4 Kondisi Sosio- budaya 22

2.4 Simpulan 37

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT KERINCI 38

3.1 Pendahuluan 38

3.2 Metode 40

3.3 Hasil dan Pembahasan 47

3.3.1 Pengetahuan Masyarakat Kerinci Terhadap Sumber Daya

Tumbuhan 47

3.3.2 Keanekaragaman Hayati Tumbuhan dan Kategori

Pemanfaatannya 48

3.3.3 Kuantifikasi Nilai Penting Budaya Tumbuhan 71

3.3.4 Valuasi Ekonomi Tumbuhan Berguna 73

3.3.5 Tingkat Pengetahuan Etnobotani 78

3.3.6 Retensi Pengetahuan Etnobotani 82

3.4 Simpulan 86

4 ETNOEKOLOGI MASYARAKAT KERINCI 87

4.1 Pendahuluan 87

4.2 Metode 89

4.3 Hasil dan Pembahasan 89

(16)

4.3.3 Pengetahuan Pembagian dan Pemanfaatan Satuan Lingkungan 95

4.4 Simpulan 125

5 ETNOZOOLOGI MASYARAKAT KERINCI 126

5.1 Pendahuluan 126

5.2 Metode 127

5.3 Hasil dan Pembahasan 127

5.3.1 Persepsi Masyarakat Kerinci Terhadap Sumber Daya Hewan 127 5.3.2 Pengetahuan Masyarakat Kerinci Terhadap Sumber Daya

Hewan 128

5.3.3 Pemanfaatan Hewan Oleh Masyarakat Kerinci 135 5.3.4 Perburuan Tradisional Masyarakat Kerinci 139 5.3.5 Kearifan Lokal Masyarakat Kerinci dalam Pemanfaatan Sumber

Daya Hewan 141

5.4 Simpulan 142

6 SINTESIS PEMECAHAN MASALAH 143

6.1 Konsep Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem 143 6.1.1 Konsep Pengetahuan Masyarakat Kerinci Terhadap Tumbuhan 145 6.1.2 Konsep Pengetahuan Masyarakat Kerinci Terhadap Hewan 149 6.1.3 Konsep Pengetahuan Masyarakat Kerinci Terhadap Lingkungan 150 6.1.4 Konsep Sikap Masyarakat Kerinci Terhadap Konservasi 151 6.1.5 Pendekatan Agama dan Budaya Dalam Konservasi 153 6.2 Etnobiologi Masyarakat Kerinci untuk Mendukung Integrasi

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem 154 6.3 Relevansi Etnobiologi Masyarakat Kerinci untuk Konservasi 155 6.4 Etnobiologi Masyarakat Kerinci Masa Kini untuk Masa Depan 157

6.5 Implikasi dan Kebijakan. 159

6.5.1 Kebijakan Perundangan 159

6.5.2 Implikasi Teori 163

7 SIMPULAN DAN SARAN 163

7.1 Simpulan 163

7.2 Saran 164

DAFTAR PUSTAKA 165

(17)

DAFTAR TABEL

1.1 Relevansi penelitian masyarakat Kerinci 7

2.1 Tingkat aksesibilitas dan masyarakat 18

2.2 Karakteristik geomorfologi lokasi penelitian 18

2.3 Distribusi suhu dari permukaan laut 19

2.4 Keadaan tekanan udara, kecepatan angin, lama penyinaran matahari 20

2.5 Luas wilayah menurut jenis tanah 21

2.6 Contoh perbedaan kata bahasa Kerinci dengan bahasa lainnya 24

2.7 Idiom-idiom masyarakat Kerinci 26

2.8 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin 27

2.9 Tingkat pendidikan masyarakat Kerinci 28

3.1 Pemilihan responden penelitian 41

3.2 Kategori kualitas kegunaan dalam etnobotani 43

3.3 Kategori ekslusifitas kegunaan dalam etnobotani 44 3.4 Kategori intensitas kegunaan dalam etnobotani 45

3.5 Indeks Kesamaan Spesies tumbuhan 48

3.6 Kategori pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat Kerinci 50 3.7 Spesies tumbuhan sebagai makanan pokok dan karbohidrat 51 3.8 Spesies tumbuhan yang dikonsumsi sebagai buah-buahan 53 3.9 Spesies tumbuhan yang dikonsumsi sebagai sayuran 55 3.10 Spesies tumbuhan yang dapat dijadikan untuk bahan bangunan dan

konstruksi 60

3.11 Spesies tumbuhan untuk bahan bangunan dan konstruksi 60 3.12 Keanekaragaman tumbuhan bahan bangunan umah laheik 61

3.13 Spesies tumbuhan untuk bahan tali 62

3.14 Spesies tumbuhan sebagai bahan peralatan rumah tangga 64

3.15 Spesies tumbuhan sebagai materi sekunder 66

3.16 Kategorisasi lokal jenis penyakit dan jenis tumbuhan obat 69 3.17 Lima belas spesies hutan dengan ICS tertinggi 71 3.18 Lima belas spesies tanaman budidaya dengan ICS tertinggi 72 3.19 Jumlah spesies berdasarkan kategori skoring ICS 73

3.20 Nilai ekonomi tumbuhan sumber karbohidrat 74

3.21 Nilai ekonomi buah-buahan bagi masyarakat Kerinci 75

3.22 Frekuensi pemanfaatan sayuran 76

3.23 Nilai ekonomi kategori bahan materi utama 77

3.24 Nilai ekonomi bahan kayu bakar 77

3.25 Nilai ekonomi total tumbuhan berdasarkan kategori guna langsung 78 3.26 Tingkat pengetahuan etnobotani berdasarkan kelas umur 79 3.27 Perubahan pengetahuan etnobotani rata-rata masyarakat Kerinci 82 3.28 Perubahan pengetahuan etnobotani diketiga lokasi penelitian 83 4.1 Kriteria pengelolaan hutan lestari menurut masyarakat Kerinci 94

4.2 Indeks kesamaan spesies tumbuhan di laman 100

4.3 Keanekaragaman spesies tumbuhan di satuan lingkungan laman 101

4.4 Keragaman spesies tumbuhan di pelak 104

4.5 Indeks kesamaan spesies lahan pelak 104

(18)

4.7 Keragaman spesies tumbuhan di ladang pnanam tuo 110 4.8 Indeks kesamaan spesies satuan lingkungan ladang pnanam tuo 111 4.9 Jenis dan ciri-ciri tanah menurut pengetahuan masyarakat 112 4.10 Indeks kesamaan spesies satuan lingkungan bluko mudo 113

4.11 Keragaman spesies tumbuhan di bluko mudo 114

4.12 Keragaman spesies tumbuhan di bluko tuo 116

4.13 Indeks kesamaan spesies satuan lingkungan bluko tuo 117 4.14 Keragaman spesies tumbuhan imbo adat Temedak 120

4.15 Spesies tumbuhan di sekitar batang ayiek 124

5.1 Spesies hewan menurut pengetahuan masyarakat Kerinci 129

5.2 Spesies – spesies Mamalia 130

5.3 Spesies – spesies Insekta 131

5.4 Spesies - spesies Aves 132

5.5 Spesies – spesies Pisces 133

5.6 Spesies spesies Reptil 135

5.7 Spesies hewan sumber protein hewani 136

5.8 Perbandingan pengelolaan sumber daya alam masyarakat Kerinci 141

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka Teori 11

1.2 Alur Penelitian 12

2.1 Lokasi penelitian 14

2.2 Grafik suhu udara rata-rata, maksimum dan minimum 19 2.3 Grafik rata-rata curah hujan bulanan dari tahun 2003 – 2012 20

2.4 Bentuk tulisan aksara incung 25

2.5 Aksara incung pada tanduk kerbau dan bambu 25

2.6 Struktur kelas umur masyarakat Dusun Baru Lempur 28

2.7 Struktur kekeluargaan masyarakat Kerinci 29

2.8 Hubungan dalam sistem sosial masyarakat Kerinci 34 3.1 Diagram nilai ekonomi total sumber daya alam (Pearce et al. 1990) 45 3.2 Jumlah spesies tumbuhan berdasarkan organ yang digunakan 49 3.3 Jumlah spesies tumbuhan berdasarkan perawakan 49 3.4 Siklus pengenalan baru spesies oleh masyarakat hutan 53 3.5 Jamur sebagai sayuran alternatif bernilai ekonomi tinggi 56 3.6 (a) Daun kawa kering sebagai bahan minuman (b) Sirup kulit kayu manis 56 3.7 Nephentes sp sebagai pembungkus makanan 58

3.8 Masjid Agung Pondok Tinggi dari kayu 59

3.9 Sketssa umah laheik masyarakat Kerinci 61

3.10 Bangunan biliek padi (lumbung) 62

(19)

3.15 Perubahan pengetahuan etnobotani pada KU yang sama di ketiga lokasi 85

4.1 Diagram konsep Tri Stimulus Amar Konservasi 92

4.2 Bentuk bentuk perlindungan kawasan menurut pengetahuan masyarakat 95 4.3 Sketsa pembagian satuan lingkungan Masyarakat Kerinci 96

4.4 Pola perubahan pemukiman masyarakat Kerinci 98

4.5 Rumah tradisional masyarakat Kerinci 99

4.6 Sawah Masyarakat Kerinci 102

4.7 Stimulus alami dan manfaat masyarakat Kerinci terhadap pemilihan

spesies tanaman pelak 108

4.8 Ladang pnanam mudo masyarakat 109

4.9 Siklus aktivitas perladangan masyarakat Kerinci 112

4.10 Kawasan hutan sekunder 115

4.11 Skema evolusi sistem perladangan 118

4.12 Kawasan hutan primer imbo lengang 118

4.13 Kawasan imbo adat Temedak 119

4.14 Satuan lingkungan yang membentuk heterogenitas ekosistem menurut pengetahuan masyarakat Kerinci

122 4.15 Perbandingan jumlah spesies tumbuhan di setiap satuan lingkungan dan

jumlah spesies digunakan

123

4.16 Satuan lingkungan danau Danau Kaco 125

5.1 Ikan semah (Tor douronensis) 134

6.1 Interaksi sistem sosial dan sistem ekologi masyarakat Kerinci 143 6.2 Indikator keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan berdasarkan

informasi etnobotani (Pei et al. 2009)

146 6.3 Indikator pengelolaan sumber daya hutan masyarakat Kerinci berdasarkan

informasi etnobotani

148 6.4 Konsep Tri-Stimulus Amar Konservasi masyarakat Kerinci 152 6.5 Model integrasi etnobiologi masyarakat Kerinci untuk konservasi 155

DAFTAR LAMPIRAN

3.1 Daftar spesies tumbuhan menurut pengetahuan Masyarakat Kerinci

disusun berdasarkan famili 174

3.2 Daftar spesies tumbuhan obat yang digunakan oleh Masyarakat Kerinci

dan kategori penyakit yang dapat diobati 184

(20)

DAFTAR ISTILAH

Agroforestri : Sistem pengelolaan lahan dimana tanaman pohon (hutan) dengan sengaja diusahakan dalam unit pengelolaan lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan atau pakan ternak pada saat bersamaan atau berurutan

Aksara incung : Huruf khas Kerinci, termasuk tulisan fonetik berjenis suku kata

Bluko mudo : Kawasan bekas perladangan yang ditinggalkan selama 0 hingga 5 tahun

Bluko tuo : Kawasan bekas perladangan yang ditinggalkan lebih dari 5 tahun hingga 15 tahun

Corpus : Keseluruhan perbendaharaan simbol, konsep, persepsi masyarakat tertentu terhadap sumberdaya alam.

Depati : Pemimpin tertinggi masyarakat adat Kerinci Ekstraksi sumber

daya hutan

: Kegiatan meramu, mengumpulkan dan memanen hasil hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Emik : Pengetahuan berdasarkan sudut pandang atau pemikiran masyarakat lokal.

Enclave : Pemukiman penduduk di dalam kawasan taman nasional atau kawasan konservasi

Etik : Ilmu pengetahuan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah (saintifik).

Etnobotani : Studi tentang hubungan antara tumbuh-tumbuhan dengan masyarakat yang memanfaatkannya

Etnoekologi : Studi tentang hubungan antara lingkungan dengan masyarakat yang memanfaatkannya dalam proses produksi serta mengevaluasi pengaruhnya terhadap ekosistem.

Hasil Hutan

Bukan Kayu :

Hasil hutan yang tidak berupa kayu untuk bahan bangunan, dapat berupa daun, kulit, getah, buah, rotan, hewan, kayu bakar dan lain-lain.

Hutan primer : Kawasan hutan yang masih asli, belum pernah mengalami alih fungsi menjadi bentuk penggunaan lainnya.

Hutan sekunder

: Kawasan hutan yang telah pernah mengalami alih fungsi menjadi bentuk penggunaan lainnya

Imbo lengang : Sebutan untuk hutan primer oleh masyarakat Kerinci,

lengang dan tempat banyak terdapat binatang buas.

(21)

DAFTAR ISTILAH (lanjutan)

Keanekaragaman hayati

:

Segala macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan makhluk hidup, baik pada tingkatan ekosistem, tingkatan jenis maupun tingkatan genetik.

Kearifan

(wisdom) :

Pengetahuan yang dibangun berdasarkan pengalaman hidup berinteraksi dengan alam dan budaya yang mengandung nilai-nilai kebaikan.

Kearifan lokal : Pengetahuan masyarakat tempatan yang arif dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Kearifan

tradisional

:

Karifan masyarakat yang masih menganut budaya tradisional dalam mengelola sumberdaya alam dan diturunkan secara turun-temurun.

Kenduri sko : Kenduri adat atau pesta adat masyarakat Kerinci pasca

panen hasil pertanian yang biasanya bersamaan dengan penobatan dan pelantikan depati

Konservasi keanekaragaman hayati

:

Pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan yang mencakup aspek-aspek pelestarian, pemanfaatan dan penelitian.

Ladang pnanam

mudo :

Kawasan perladangan budidaya masyarakat Kerinci yang biasanya bersifat monokultur

Ladang pnanam

tuo :

Bentuk pengelolaan lahan masyarakat Kerinci dengan sistem agroforestry yang dapat dijumpai pada kawasan perladangan

Masa bera : Jangka waktu lahan bekas ladang ditinggalkan peladang. Masyarakat lokal : Masyarakat tempatan

Masyarakat liyan : Masyarakat kecil Masyarakat

tradisional :

Masyarakat yang masih hidup secara sederhana dalam melakukan aktifitas kehidupan dan masih teguh melaksanakan adat dan tradisi leluhur.

Perladangan

berpindah :

Sistem pertanian dengan menggarap lahan secara berpindah-pindah di lahan hutan

Perladangan : Sistem pertanian yang sifanya membuka lahan dengan melakukan pembakaran dan ditanami tanaman secara tidak berkesinambungan.

Pertanian

berkelanjutan :

Sistem pertanian yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan produktivitas sepanjang masa Pertanian

tradisional

: Sistem pertanian yang dilakukan dengan cara dan alat-alat yang sederhana dengan tidak banyak melakukan

(22)

DAFTAR ISTILAH (lanjutan)

Praxis

: Kumpulan kegiatan praktikal pengelolaan sumberdaya alam oleh suatu masyarakat tertentu

Proses

produksi : Sistem tata

ruang : Sistem pengetahuan dalam mengatur dan mengelola tata letak satuan-satuan lingkungan pada suatu bentang lahan yang luas.

Sistem zonasi :

Sistem pengelolaan kawasan konservasi yang dibagi atas zona-zona atau kawasan tertentu berdasarkan ciri dan fungsinya

Sumber daya

alam :

Komponen dari ekosistem (hayati dan non hayati) yang menyediakan barang dan jasa bagi kebutuhan manusia.

Tumbi : Perkembangan dari talang sebagai cikal bakal kampung yang terdiri dari 5 hingga 10 rumah sebagai pusat pemukiman

Umah laheik :

(23)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara mega-biodiversity menempati urutan kedua dunia setelah Brazil. Kekayaan sumber daya alam hayati Indonesia terdiri atas 10% spesies tumbuhan berbunga, 12% mamalia, 16% reptil dan ampibi, 17% burung dan lebih 25% spesies ikan di dunia terdapat di Indonesia (Dephut 2009). Selain itu Indonesia juga negara mega-cultural yaitu negara dengan jumlah suku atau etnik yang banyak. Lebih dari 550 etnik terdapat di Indonesia, mereka tinggal di lebih 73 798 desa (350 000 dusun) dan 50% diantaranya berada di sekitar hutan (Baplan 2013). Dirjen PHKA (2014) menyatakan bahwa telah terjadi laju deforestasi hutan sebesar 1.1 juta ha per tahun. Hal ini berdampak pada penetapan sebanyak 521 unit kawasan konservasi dengan luas lebih dari 27.1 juta ha.

Penetapan kawasan konservasi di Indonesia merupakan program nasional yang kurang mempertimbangkan keberadaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi (Damayanti 2008). Hal ini terjadi diduga karena kebijakan pengelolaan kawasan konservasi selama ini belum memasukkan kearifan tradisional masyarakat sekitar sebagai pendukung aksi konservasi nyata di lapangan. Setiap suku yang ada di dalam dan sekitar kawasan konservasi memiliki sistem nilai, norma, adat istiadat dan hukum adat yang berbeda sehingga penyeragaman dalam pengelolaan kawasan belum tentu sesuai. Pengelolaan sumber daya alam semestinya mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan budaya lokal masyarakatnya. Terjadinya penyeragaman bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang belum tentu sesuai dengan budaya masyarakat dapat menyebabkan ditolaknya program konservasi tersebut.

Hubungan manusia dengan hutan sudah terjalin sejak lama. Hubungan ini terbentuk sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta mempertahankan eksistensinya melalui eksploitasi sumberdaya hutan (Rambo 1983; Rachman 2006; Pei et al. 2009). Untuk mengurangi dampak perluasan kawasan yang berpengaruh secara ekologis dan sosial maka konservasi merupakan suatu keharusan yaitu dengan mengkombinasikan antara pengembangan konservasi dengan kebutuhan masyarakat dan investasi masa depan (sustainable ecosystem) (Eken et al. 2004).

(24)

Keberhasilan kegiatan konservasi ini sangat tergantung pada tingkat dukungan dan penghargaan masyarakat sekitar terhadap kawasan konservasi di sekitar mereka. Bila program konservasi dipandang sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan program tersebut. Sebaliknya bila konservasi dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan melindungi kawasan itu dari perlakuan yang membahayakan dan merusak kawasan (Quansah 2004). Berbagai kajian menunjukkan bahwa masyarakat sekitar hutan telah melakukan berbagai praktik konservasi dalam menjaga dan memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Praktik konservasi tradisional tentu saja tidak lepas dari sistem pengetahuan asli (indigenous knowledge) masyarakat tradisional karena berdasarkan pengetahuan asli itulah masyarakat mempraktikan kaidah-kaidah konservasi yang khas di daerahnya. Konservasi tradisional pada dasarnya merupakan suatu sistem pengetahuan setempat yang diperoleh dari interaksi manusia dengan lingkungan serta seluruh aspek kebudayaannya sehingga menjadi sangat operasional di masyarakatnya (Soedjito et al.2009). Sistem ini merupakan rangkaian pengalaman manusia yang menjadi basis untuk pengambilan keputusan dan menjadi substansi pendidikan pada masyarakat tradisional. Sistem ini bersifat dinamis karena selalu berkembang akibat adanya interaksi dengan sistem-sistem pengetahuan dari luar dan kemudian membentuk sebuah keseimbangan baru yang diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya (Wiratno et al. 2004).

Untuk mengungkap hubungan antara manusia dengan sumber daya alam dan lingkungannya digunakan studi etnobiologi. Studi etnobiologi merupakan disiplin ilmu yang mampu menjelaskan praktik konservasi tradisional masyarakat lokal dan dinamikanya. Etnobiologi adalah merupakan studi interdisiplin ilmu yang mengacu pada pendekatan metode sosial dan biologi. Secara definitif, etnobiologi adalah studi hubungan timbal balik antara budaya manusia dan alam lingkungannya. Hubungan timbal balik yang mengacu pada persepsi manusia tentang lingkungan biologisnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku manusia, sedangkan perilaku manusia pada gilirannya akan mempengaruhi dan membentuk lingkungan biologisnya (Pieroni et al. 2007). Etnobiologi sebagai suatu studi ilmiah terhadap dinamika hubungan diantara masyarakat, biota dan lingkungan alamiahnya, yang telah ada sejak dulu hingga sekarang ini bersifat lokal spesifik, kompak, unik, berkelanjutan dan turun temurun (Anderson et al. 2011).

Berbagai kajian etnobiologi, menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa pengetahuan dan praktik budaya memiliki substansi nilai dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati, pengelolaan lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati. Terjadinya peningkatan kesadaran bahwa adat dan pengetahuan lokal harus dipahami dan dimanfaatkan dalam upaya peningkatan kesejahteraan manusia. Etnobiologi menjadi penting karena isu kesejahteraan manusia tidak dapat dipisahkan dengan kelestarian sumberdaya di sekitar mereka tinggal. Selain itu adanya kebijakan yang bersifat

back to biodiversity for life and for the future juga menjadi pemicu berbagai kajian etnobiologi di dunia (MAB 2011).

(25)

tradisional telah memiliki pengetahuan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya yang dapat mengurangi dampak kerusakan dan mempertahankan kelestariannya. Pengetahuan lokal suatu masyarakat tradisional di sekitar daerah yang dilindungi memiliki peran dalam mendukung pemanfaatan hutan berkelanjutan (Junior dan Sato 2005; Pei et al. 2009; Pei 2013). Pengetahuan lokal ini diperoleh dari hasil interaksi antara manusia dan lingkungannya yang dicirikan oleh seluruh aspek kebudayaan (Wiratno et al. 2004). Konsep ini telah diterima dan diakui sebagai salah satu pendekatan potensial dalam mencapai kelestarian hutan (Telfer dan Garde 2006). Pengetahuan lokal tentang konservasi hutan dan pemanfaatan berkelanjutan telah menarik perhatian dari pembuat kebijakan dan para peneliti (Golar 2007).

Masyarakat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam didasari oleh pengetahuan yang berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi. Purwanto (2007) dan Waluyo (2009) menyatakan bahwa pengetahuan ini bervariasi dari satu kelompok suku ke kelompok suku lain, bergantung pada tipe ekosistem tempat mereka tinggal, iklim terutama curah hujan, adat, tatacara, perilaku, pola hidup kelompok atau singkatnya pada tingkat kebudayaan masing-masing kelompok. Tingkat pengetahuan yang dicapai oleh masing-masing-masing-masing kelompok masyarakat berasal dari akumulasi dalam berinteraksi dengan alam lingkungannya. Interaksi yang terjadi telah berjalan sejak lama dan disepakati serta dilaksanakan bersama dalam menjaga keseimbangan alam lingkungan sekitarnya. Tingkat pengetahuan dan teknologi yang dimiliki masyarakat lokal ini merupakan faktor penting yang mempengaruhi masyarakat dalam menentukan tindakan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.

Namun seiring dengan berkurangnya luasan kawasan hutan, pengetahuan tradisional masyarakat ini dengan cepat pula menghilang dan banyak yang belum sempat didokumentasikan. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan masyarakat melakukan proses adaptasi dalam merespon perubahan akibat pengaruh lingkungan luar, intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik. Faktor-faktor yang mencirikan efektifitas respon yang dimiliki masyarakat adalah kemampuan dalam mempertahankan resiliensi ekologi dan sosial serta kemampuan menghadapi perubahan yang terjadi dalam suatu sistem yang kompleks (Suharjito 2002).

Salah satu kelompok masyarakat di wilayah geografis Sumatera adalah masyarakat suku Kerinci yang merupakan penduduk asli keturunan ras Melayu Tua atau Proto Melayu (Zakaria et al. 2012). Mereka telah memiliki hubungan yang erat dengan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Aumeeruddy dan Bakels (1994) menyebutkan bahwa masyarakat Kerinci telah mampu mengelompokkan tumbuhan dengan sistem klasifikasi yang merupakan representasi simbolik dari lingkungan yaitu tumbuhan panas dan tumbuhan dingin

Kesuburan tanah yang ada di lembah Kerinci menyebabkan nenek moyang masyarakat Kerinci mengembangkan peradaban mereka, terutama dalam budaya bertani dan mengelola sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya yang mereka lakukan telah terjadi dari generasi ke generasi.

(26)

masyarakat Kerinci. Terjadinya perubahan demografis, penggabungan ekonomi regional ke internasional, ekonomi pasar, pendidikan formal masyarakat Kerinci, pengaruh gerakan keagamaan dan inovasi pertanian telah membawa perubahan pada masyarakat dalam memperlakukan sumberdaya alamnya.

Perubahan lainnya adalah terjadinya perubahan status kawasan hutan sekitar menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Penetapan kawasan konservasi TNKS menyebabkan lebih dari sebagian wilayah Kabupaten Kerinci (51,2%) berada di dalam kawasan taman nasional, menjadi zona ekslusif TNKS. Hal ini menyebabkan sebanyak 24 desa dari 209 desa di Kabupaten Kerinci termasuk di dalam kawasan TNKS yang konsekuensinya berkurang atau terbatasnya akses masyarakat terhadap hutan karena perubahan status kawasan. Sisa dari luas Kabupaten Kerinci (48,8%) merupakan kawasan budidaya kehidupan sosial dan pemukiman masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan kepada uraian latar belakang tersebut di atas terjadinya berbagai perubahan akibat deforestasi dan degradasi hutan, penurunan kualitas habitat serta perubahan status kawasan menjadi taman nasional diduga telah mempengaruhi pengetahuan lokal masyarakat Kerinci terhadap penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Belum adanya titik temu pengelolaan bersama antara masyarakat dengan pihak pengelola taman nasional telah menyebabkan upaya konservasi yang dilakukan menghadapi tantangan dari masyarakat sekitar.

Hal ini mendasari dilakukannya penelitian ini guna melihat praktek etnobiologi masyarakat Kerinci dalam mendukung integrasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar sekaligus melestarikan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pengetahuan tradisional masyarakat Kerinci penting dan dapat mendukung konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang sekaligus merupakan bagian terintegral dari sistem pengelolaan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.

Kajian etnobiologi masyarakat Kerinci belum banyak tergali dan sangat sedikit publikasi yang berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat ini sehingga perlu dilakukan kajian yang lebih komprehensif tentang pengetahuan masyarakat Kerinci dalam mengelola SDAH dan ekosistemnya. Rachman (2009; 2013) menyatakan bahwa pembangunan bangsa Indonesia yang secara utuh dan menyeluruh (society as a whole) sepatutnya berakar kepada pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang berkembang di dalam masyarakat liyan

sebagai inti (core). Penelitian ini menjadi penting karena dapat menyambungkan dan mengembangkan pengetahuan lokal menjadi pengetahuan modern.

Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(27)

2. Bagaimana etnobotani masyarakat Kerinci dapat mendukung konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat?

3. Bagaimana etnoekologi masyarakat Kerinci dapat mendukung konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat?

4. Bagaimana etnozoologi masyarakat Kerinci dapat mendukung konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat?

5. Bagaimana konsep pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistem masyarakat Kerinci yang mendukung integrasi konservasi di Kerinci Seblat?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan untuk menguraikan dan menganalisis etnobiologi masyarakat Kerinci untuk mendukung integrasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat. Penelitian ini dilakukan dan didekati melalui perumusan tujuan sebagai berikut :

1. Mengungkapkan etnografi masyarakat Kerinci meliputi kondisi umum lokasi penelitian (aspek biofisik, aspek sosial), sosio-budaya masyarakat (sejarah dan asal-usul, bahasa, kependudukan, pendidikan, agama, kesenian dan upacara tradisional, sistem kepemimpinan serta sistem sosial).

2. Mengungkapkan pengetahuan etnobotani masyarakat Kerinci meliputi persepsi masyarakat terhadap sumberdaya tumbuhan, identifikasi keanekaragaman hayati tumbuhan, tingkat pengetahuan etnobotani, retensi etnobotani dan valuasi tumbuhan berdasarkan kategori pemanfaatannya. 3. Mengungkapkan pengetahuan etnoekologi masyarakat Kerinci meliputi

pandangan masyarakat terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya serta pengetahuan satuan lingkungan dan pemanfaatannya.

4. Mengungkapkan pengetahuan etnozoologi masyarakat Kerinci meliputi identifikasi dan kategori pemanfaatan sumberdaya alam hayati satwa

5. Merumuskan dan mensintesis etnobiologi masyarakat Kerinci berdasarkan tujuan 1- 4 untuk mendukung integrasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan etnobiologi sebagai multidisiplin ilmu dalam menganalisis hubungan saling ketergantungan antara masyarakat lokal dengan sumber daya alam hayati dan ekosistem

2. Secara implikasi praktis, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya pengembangan pengetahuan lokal masyarakat Kerinci dalam mengelola sumberdaya alam hayati dan ekosistem guna pemanfaatannya secara lestari.

(28)

sebagai subyek pengelola, sehingga dapat memberikan manfaat yang nyata terhadap kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistem sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa sub kajian yaitu :

1. Etnografi masyarakat Kerinci meliputi keadaan umum lokasi penelitian, aspek geomorfologi, biofisik dan sosio-budaya masyarakat Kerinci

2. Etnobotani masyarakat Kerinci meliputi pengetahuan masyarakat terhadap sumberdaya tumbuhan, identifikasi dan kategori kegunaan keanekaragaman jenis, Nilai Penting Budaya Tumbuhan, valuasi ekonomi tumbuhan, tingkat pengetahuan dan retensi pengetahuan etnobotani.

3. Etnoekologi masyarakat Kerinci meliputi pandangan masyarakat mengenai lingkungan dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya, bentuk-bentuk satuan lingkungan dan praktik konservasi dalam pengelolaannya.

4. Etnozoologi masyarakat Kerinci meliputi identifikasi, pemanfaatan, pengelolaan dan praktik konservasi sumberdaya satwa.

5. Integrasi etnobiologi masyarakat Kerinci dalam mendukung konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

1.6 Kebaruan Penelitian (Novalty)

Kebaruan dari penelitian ini terletak pada informasi yang dihasilkan dan pendekatan etnobiologi untuk mendukung integrasi konservasi di kawasan konservasi Kerinci Seblat.

1. Kebaruan informasi adalah diperolehnya kuantifikasi tingkat pengetahuan dan retensi atau kemampuan untuk menyimpan pengetahuan etnobotani sehingga dapat memprediksi proses pewarisan pengetahuan di masa mendatang. Tingkat pengetahuan etnobotani dan tingkat retensi ini menjadi penting diketahui sebagai salah satu cara pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di masa datang.

2. Kebaruan pendekatan etnobiologi untuk mendukung integrasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di kawasan konservasi dengan menggunakan data ekologi (etnobotani, etnoekologi, etnozoologi).

(29)

Tabel 1.1 Relevansi penelitian masyarakat Kerinci

Nama Peneliti Judul Penelitian Topik Penelitian Hasil Penelitian Aumeeruddy

Y. 1992 Jurnal

Agroforestry in The Kerinci Valley: A support to Buffer Zone

Shifting from Simple to Complex Agroforestry Systems: An Example for Buffer Zone Management Forest in the Kerinci Valley Central Sumatra : An Example of Conservation of Biological Diversity and Its Cultural Basis in order to secure water for

ricefields and local belief in an ancestral tiger are Kerinci Dalam Sastra Lisan

Budaya lisan

(30)

1.7 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori etnografi (Koentjaraningrat 2009; Rachman 2013), etnobiologi (Anderson et al. 2011) dan ekologi manusia (Rambo 1983; Marten 2001).

1.7.1 Etnografi

Menurut etimologi bahasa, etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphi yang berarti tulisan, jadi etnografi berarti tulisan tentang bangsa-bangsa. Secara terminologi etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (fieldwork) selama sekian bulan atau sekian tahun. Sedangkan secara definitif beberapa ahli memberikan batasan etnografi sebagai suatu kegiatan menguraikan dan menjelaskan suatu kebudayaan masyarakat baik kondisi masa lampau ataupun masa sekarang (Spradley 1997; Genzuk 2003).

Sedangkan menurut Mulyana (2001) etnografi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Etnografi menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya baik yang bersifat material, (seperti artefak) dan yang bersifat abstrak (seperti pengalaman, kepercayaan norma dan sistem nilai) dari kelompok yang diteliti. Etnografi berguna untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik alamiah. Uraian tebal (thick description) berdasarkan pengamatan yang terlibat (observatory participant) merupakan ciri utama etnografi. Pengamatan yang terlibat menekankan logika penemuan (logic of discovery), suatu proses yang bertujuan menyarankan konsep-konsep atau membangun teori berdasarkan realitas nyata manusia.

Kajian etnografi pada awalnya dilakukan untuk membangun tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mulai muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Namun pada perkembangan selanjutnya etnografi lebih fokus kepada kehidupan masa kini, yaitu tentang the way of life

masyarakat tersebut. Tujuan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat (Kartodirdjo 1992).

Spradley (1997) menyatakan bahwa selain kajian budaya, etnografi juga merupakan proses pembelajaran yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling dan menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Etnografi bukan merupakan suatu metode untuk meneliti other culture (masyarakat liyan) yang terisolasi, namun juga masyarakat kita sendiri, masyarakat multicultural di seluruh dunia. Spradley menegaskan bahwa etnografi harus menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu sebagai pengetahuan yang diperoleh, digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.

(31)

perumahan, pola berkampung), ekosistem (lingkungan lokal, lingkungan sosial luar, pemerintahan), sosio-budaya suku bangsa (asal usul, struktur dan komposisi kependudukan, bahasa, silsilah, kepercayaan/agama, kepemimpinan kampung dan organisasi kerja).

1.7.2 Etnobiologi

Etnobiologi adalah merupakan studi interdisiplin ilmu yang mengacu pada pendekatan metode sosial dan biologi. Secara definitif, etnobiologi adalah studi hubungan timbal balik antara budaya manusia dan alam lingkungannya. Hubungan timbal balik yang mengacu pada persepsi manusia tentang lingkungan biologisnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku manusia, sedangkan perilaku manusia pada gilirannya akan mempengaruhi dan membentuk lingkungan biologisnya (Pieroni et al. 2007). Etnobiologi sebagai suatu studi ilmiah terhadap dinamika hubungan diantara masyarakat, biota dan lingkungan alamiahnya, yang telah ada sejak dulu hingga sekarang ini bersifat kecil, kompak, unik, berkelanjutan dan turun temurun (Anderson et al. 2011).

Berdasarkan kepada tujuan penelitian, para peneliti sepakat mengelompokan etnobiologi suatu kelompok masyarakat atas etnobotani, etnoekologi dan etnozoologi. Pembagian ini dilakukan untuk mempermudah sudut pandang modern terhadap pengetahuan lokal suatu masyarakat tentang hubungannya dengan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Martin 1995; Cotton 1996, Purwanto 2007; Anderson et al. 2011).

Etnobotani adalah keseluruhan pengetahuan tentang tumbuhan masyarakat yang menganalisis seluruh aspek pengetahuan lokal tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan meliputi identifikasi, pemanfaatan dan pengelolaan tumbuhan secara subsisten, budaya materi dan sebagai obat-obatan tradisional. Seorang peneliti etnobotani akan menggali informasi tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan tanaman tertentu untuk bahan pangan, bahan obat, bahan bangunan dan sebagainya (Cotton 1996; Martin 1997; Nolan dan Turner 2011).

Etnoekologi adalah pengetahuan ekologi masyarakat lokal, yang menganalisis semua aspek pengetahuan lokal lingkungannya meliputi persepsi dan konsepsi masyarakat mengenai lingkungan dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya. Etnoekologi mengkaji cara kelompok masyarakat dalam memahami ekosistem di sekitar tempat tinggalnya, bagaimana interaksi yang terjadi antara masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggalnya; pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian lingkungan (Johnson dan Hunt 2011).

Etnozoologi adalah keseluruhan pengetahuan lokal tentang sumberdaya hewan meliputi identifikasi, pemanfaatan, pengelolaan dan perkembang biakannya (budidaya/domestikasi). Etnozoologi mengkaji hubungan yang ada pada masa lampau dan hingga masa kini antara masyarakat dengan hewan yang ada di sekitarnya. Secara lebih spesifik etnozoologi dapat dibedakan lagi berdasarkan jenis hewannya seperti etnoentomologi studi ilmiah yang mengkaji interaksi yang terjadi pada serangga dengan masyarakat tertentu (etnis), etnoornitologi mengkaji interaksi masyarakat dengan burung, etnoherpetologi mengkaji interaksi masyarakat dengan ampibi (Hunn 2011).

(32)

hubungan timbal balik yang berkesinambungan antara manusia dan lingkungannya (Nugraha dan Murtijo 2005). Budaya masyarakat lokal sekitar hutan suatu lokasi tertentu adalah unik dan spesifik, beradaptasi dengan perubahan untuk ratusan tahun sehingga sesuai karakteristik hutan. Integrasi budaya lokal dan pengetahuan tradisional dapat melengkapi informasi dan mengidentifikasi arah manajemen pengelolaan kawasan konservasi (Rist et al. 2010). Oleh karena itu pengelolaan hutan harus mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan budaya. Aspek sosial dan budaya dapat meningkatkan efektivitas manajemen untuk mengakomodasi aspirasi dan partisipasi masyarakat lokal dalam managemen pengelolaan hutan (Aumeeruddy dan Bakels 1994; Byers

et al. 2001).

Soedjito dan Sukara (2006) juga menyatakan bahwa untuk dapat memahami suatu ekosistem alami, hendaknya harus dimengerti pula budaya manusia yang membentuknya. Keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hayati saling tergantung dan saling mempengaruhi. Inilah kunci untuk menjamin ketahanan sistem sosial dan ekologi. Untuk melihat budaya masyarakat lokal kajian etnografi menjadi penting dilakukan.

1.7.2 Ekologi Manusia

Istilah ekologi manusia muncul pertama kali pada tahun 1910 oleh E.L Richards seorang ahli ekonomi ( Adiwibowo 2007). Teori ini digunakan karena secara umum, konsep ini mendeskripsikan bagaimana interaksi manusia dengan lingkungannya. Konsep teori ini menyebutkan bahwa pada dasarnya setiap kelompok masyarakat selalu melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi yang terjalin membentuk suatu hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara sistem budaya (sistem sosial) dengan sistem biofisik (sistem ekologi). Hubungan timbal balik antara dua subsistem ini dapat berjalan dengan baik dan teratur karena adanya aliran energi, materi dan informasi yang saling mempengaruhi (Gambar 1.1).

Konsep ekologi manusia telah digunakan untuk mengkaji berbagai konsep dasar seperti proses adaptasi dan maladaptasi ekologis pada kelompok masyarakat lokal dalam bertahan hidup pada suatu kawasan untuk menjelaskan perkembangan sistem sosial masyarakat berdasarkan interaksinya dengan alam. Konsep ekologi manusia sebagai suatu sistem memiliki dua ciri penting yaitu (1) Sistem merupakan suatu entitas yang menyeluruh, terorganisir, koheren memiliki atau diasumsikan memiliki sifat-sifat unik. Setiap entitas kehidupan merupakan sistem yang otonom dan merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar; (2) Dalam sistem dikenal adanya jaring hubungan atau relasi antar subsistem yang terpola, sehingga perubahan dari subsistem menjadi keseluruhan juga dapat dipahami bahwa perubahan dari obyek menjadi hubungan.

(33)

Ideologi

Teknologi

Nutrisi Pengetahuan

Kesehatan

Nilai-nilai Organisasi

sosial Karakteristik

biofisik Pola eksploitasi

sumberdaya

Populasi Hukum

SISTEM SOSIAL SELEKSI &

ADAPTASI

Input dari ekosistem

lain

Output ke ekosistem

lain Input dari

sistem sosial lain

Output ke sistem sosial lain

Tanah

Iklim

Udara Air

Hewan

Tumbuhan E K O S I S T E M

energi Informasi

Arus energi

Materi

Informasi

(34)

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas, alur penelitian integrasi etnobiologi masyarakat Kerinci untuk mendukung konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat dinyatakan sebagaimana Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

Identifikasi Masalah :

Dinamika pengelolaan sumber daya alam :

(Degradasi sumberdaya alam, perubahan biofisik/geomorfologi, perubahan sistem produksi, perubahan pengetahuan, kesejahteraan masyarakat rendah dan belum adanya titik temu

pengelolaan bersama masyarakat tempatan)

Latar belakang

Etnografi Masyarakat Kerinci

Etnobiologi

Etnozoologi

Tujuan penelitian Etnoekologi Etnobotani

Tingkat pengetahuan Retensi pengetahuan

Valuasi nilai sumber daya tumbuhan

Hasil Konsep Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistem Masyarakat Kerinci

Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Sintesis & rekomendasi

(35)

2 ETNOGRAFI MASYARAKAT KERINCI

1

2.1 Pendahuluan

Masyarakat Kerinci adalah salah satu masyarakat tradisional yang berdiam di wilayah Kerinci Provinsi Jambi. Mereka telah hidup ratusan tahun secara turun temurun dan berinteraksi dengan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga membentuk suatu budaya. Menurut Purwanto (2004); Waluyo (2009); Soedjito et al. (2009) budaya terbentuk dari hubungan timbal balik yang berkesinambungan dengan lingkungan yang telah mengalami proses adaptasi dengan perubahan selama ratusan tahun sesuai kondisi lingkungan tersebut, sehingga bersifat unik dan spesifik. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem suatu masyarakat semestinya mempertimbangkan budaya masyarakat tradisional yang tergambar dari unsur-unsur etnografinya.

Unsur-unsur etnografi suatu masyarakat terdiri dari lokasi, lingkungan alam, demografi, asal mula dan sejarah asal-usul, bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian dan sistem religi (Koentjaraningrat 2009). Sedangkan menurut Rachman (2013) unsur-unsur etnografi terdiri dari keadaan umum kampung (letak kampung, keadaan perumahan, pola berkampung), ekosistem (lingkungan lokal, lingkungan sosial luar, pemerintahan), sosio-budaya suku bangsa (asal usul, struktur dan komposisi kependudukan, bahasa, silsilah, kepercayaan/agama, kepemimpinan kampung dan organisasi kerja).

Pembentukan dan penetapan kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat telah menyebabkan lebih dari sebagian wilayah Kerinci menjadi kawasan konservasi (51.2%). Menurut Junior dan Sato (2005) masyarakat tradisional yang terdapat di dalam dan sekitar suatu kawasan konservasi dapat berperan dalam mendukung pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki. Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam sejak turun temurun mempunyai peran dalam konservasi sumber daya hutan melalui pemanfaatan tradisional sehingga dapat menjaga kelestarian hutan (Pei et al. 2009; Pei 2013)

Bagi masyarakat tradisional, budaya yang dimiliki, mempunyai hubungan yang erat dengan bentuk praktik-praktik konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, seperti fungsi konservasi dengan cara mengkeramatkannya seperti berbagai bentuk hutan larangan di Jawa dan Sumatera, tanah ulen di Dayak Kalimantan serta sasi pada masyarakat Maluku. Sistem pengkeramatan ini menunjukkan keberhasilan dalam menjamin kelestarian sumber daya hayati dan budaya masyarakat setempat (Soedjito et al. 2009).

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dari kajian etnografi masyarakat Kerinci ini adalah mengungkapkan keadaan masyarakat Kerinci yang meliputi keadaan umum lokasi penelitian, aspek biofisik, aspek geomorfologi dan aspek sosio-budaya masyarakat Kerinci yang terdiri dari unsur-unsur sejarah, asal-usul,

1Artikel telah dipublikasikan pada Jurnal KomunitasInternational Journal of Indonesian Society

and Culture Vol 7 No 2 tahun 2015 Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Terakreditasi Dikti)

(36)

bahasa, kependudukan, tingkat pendidikan, sistem kekerabatan, agama, kesenian/ upacara tradisional, sistem kepemimpinan dan sistem sosial.

2.2 Metode

2.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2013 hingga Desember 2014 pada masyarakat Kerinci di empat lokasi yaitu Dusun Baru Lempur Kecamatan Gunung Raya, Dusun Ulu Jernih Kecamatan Gunung Tujuh, Dusun Keluru Kecamatan Keliling Danau dan Dusun Lama Tamiai Kecamatan Batang Merangin Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Lokasi penelitian

2.2.2 Jenis Data

Data etnografi yang dikumpulkan menggunakan unsur-unsur etnografi yang terdiri dari keadaan umum lokasi penelitian, aspek biofisik dan aspek sosio-budaya masyarakat. Keadaan umum lokasi meliputi Taman Nasional Kerinci Seblat, letak geografis dan administrasi, aspek biofisik (iklim, curah hujan, topografi, kelerengan, geologis dan jenis tanah), sedangkan aspek sosio budaya terdiri dari sejarah dan asal usul, bahasa, pendidikan, komposisi kependudukan, sistem dan struktur kekerabatan, kepercayaan/agama, upacara adat/tradisional dan sistem kepemimpinan

2.2.3Teknik Pengumpulan Data

Penelitian etnografi masyarakat Kerinci ini bersifat kualitatif deskriptif dengan metode pendekatan desk study (studi dokumentasi) sejarah dan observasi

Ulu Jernih

Lama Tamiai Keluru

(37)

partisipatif. Teknik pengumpulan data yang bersifat partisipatif terdiri dari wawancara bebas (open ended), wawancara berfokus, wawancara mendalam (depth interview), wawancara tak terstruktur yang mengikut sertakan interpretasi penelitinya dan Focus Group Discuss (FGD). Wawancara dilakukan pada informan kunci (key informan) yaitu tokoh masyarakat yang terdiri dari ketua adat, kepala kampung dan kepala desa serta anggota masyarakat yang dianggap mampu memberikan informasi yang akurat dengan kriteria tokoh masyarakat. Untuk mendapatkan informan kunci yang tepat didasarkan atas rekomendasi dari tokoh adat/tokoh masyarakat setempat (snowbolling) yaitu teknik penentuan informan berdasarkan petunjuk atau penentuan informan awal terhadap seseorang yang dianggap lebih mampu memberikan informasi sesuai kebutuhan penelitian (Neuman 2006; Irawan 2006; Creswell 2009).

Informan kunci dalam penelitian ini terdiri dari satu orang tokoh budaya Kerinci yang bermukim di Kota Sungai Penuh, satu orang ketua adat pada masing-masing lokasi yaitu depati Muara Langkap Tamiai, rio Dusun Baru Lempur dan ninik mamak Dusun Ulu Jernih, , satu orang kepala desa pada masing-masing lokasi yaitu Kepala Desa Dusun Baru Lempur, Kepala Desa Keluru, Kepala Desa Dusun Lama Tamiai dan Kepala Desa Dusun Ulu Jernih, satu orang sekretaris desa pada masing-masing lokasi. Terhadap informan kunci ini dilakukan wawancara mendalam sehingga diperoleh informasi yang akurat. Untuk wawancara bebas dan wawancara berfokus dilakukan terhadap informan yang disarankan oleh informan kunci sehingga didapatkan fakta yang nyata di lapangan.

2.2.4 Analisis Data

Data etnografi yang diperoleh melalui studi dokumentasi dan wawancara dengan para informan dianalisis secara kualitatif melalui tahapan pengumpulan data, transkrip data, kategorisasi data, penyimpulan sementara, triangulasi dan penyimpulan akhir yang kemudian disajikan dalam bentuk naratif deskriptif. Analisis data dilakukan di lapangan sesuai dengan konteks atau situasi yang terjadi pada saat data dikumpulkan (Neuman 2006; Irawan 2006; Creswell 2009).

2.3 Hasil dan Pembahasan

2.3.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

(1) Taman Nasional Kerinci Seblat

(38)

Taman Nasional Kerinci Seblat ditunjuk menjadi calon kawasan taman nasional berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 736/Mentan/X/1982 tanggal 10 Oktober 1982. Nama Taman Nasional Kerinci Seblat berasal dari dua buah nama gunung yaitu Gunung Kerinci di Provinsi Jambi dan Gunung Seblat di Provinsi Bengkulu. TNKS dinyatakan secara resmi sebagai taman nasional pada tahun 1996 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1 049/Kpts-II/1992 tanggal 12 November 1992. Kemudian SK Menhut No 192/Kpts-II/1996 menetapkan luas kawasan TNKS lebih kurang 1 368 000 Ha. Setelah diadakan penataan batas, TNKS secara resmi ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan SK Nomor 901/Kpts-II/1999 dengan luas 1 375 349.86 Ha.

Penetapan TNKS sebagai kawasan pelestarian alam terutama didasarkan atas tingginya keragaman ekosistem serta flora dan fauna yang terkandung di dalamnya. Secara ekologis bentang alam TNKS merupakan kawasan ekosistem asli yang cukup lengkap, mulai dari dataran rendah sampai pegunungan. Penelitian Loumonier (1994) mengklasifikasikan hutan TNKS menjadi beberapa bagian: hutan dataran rendah (lowland forest), hutan bukit (hill forest), hutan sub-montana (sub-montane forest), hutan montane rendah (lower montane forest), hutan montane sedang (mid-montane forest), hutan montane tinggi (upper montane forest), dan padang rumput sub-alpine (subalpine thicket).

Pada saat diusulkan menjadi Taman Nasional tahun 1982, TNKS memiliki luas 1.48 juta hektar dengan sekitar 300 000 ha merupakan gabungan 17 kawasan konservasi berupa cagar alam (299 970 ha), suaka margasatwa (368 185 ha) yang ditetapkan pada kurun waktu 1978 – 1981; hutan lindung (657 629 ha) hasil register tahun 1921 – 1926, serta hutan produksi dan hutan peruntukkan lain (165 866 ha) yang sudah dikukuhkan maupun yang masih dalam proses usulan. Kawasan konservasi ini kemudian disatukan agar tidak terputus-putus, yang secara ekologis akan lebih utuh dan mendukung kehidupan satwa-satwa besar (WARSI 2001).

Kondisi fisiografis kawasan TNKS secara umum terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, perbukitan bergelombang dan pegunungan dengan puncak mencapai ketinggian lebih dari 2 400 m dpl, didominasi oleh pegunungan Bukit Barisan Selatan yang bersifat vulkan kuarter. Pada kawasan TNKS juga terdapat patahan dan sesar (fault) yang merupakan daerah rawan bencana geologis. Tipe hutan di kawasan TNKS berdasarkan ketinggiannya berkisar antara 200 hingga lebih 3 000 m dpl terdiri dari beberapa tipe hutan yaitu hutan dataran rendah (200 hingga 800 m dpl); hutan dataran tinggi (800 hingga 1 400 m dpl), hutan pegunungan bawah (1 400 hingga 1 900 m dpl), hutan pegunungan tengah (1 900 hingga 2 400 m dpl), hutan pegunungan atas (2 400 hingga 2 900 m dpl) dan sub alpin diatas 2 900 m dpl (BBTNKS 2010).

(2) Letak Geografis dan Administrasi

(39)

Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu, sebelah timur dengan Kabupaten Bungo Tebo Provinsi Jambi dan sebelah barat dengan Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.

Kabupaten Kerinci yang beribukota Sungai Penuh, terdiri dari 16 kecamatan 285 desa dan 2 kelurahan dengan jumlah penduduk 244 018 jiwa dengan tingkat kepadatan 73 jiwa per km2 (BPSKerinci 2012). Lokasi penelitian terdapat pada empat kecamatan yang berbeda yaitu :

1. Dusun Baru Lempur

Dusun Baru Lempur Kecamatan Gunung Raya, secara geografis terletak pada posisi 101o30’ – 101o40’ Bujur Timur, berjarak kurang lebih 40 km sebelah timur dari kota Sungai Penuh, ibukota Kabupaten Kerinci. Secara administrasi pemerintahan Dusun Baru Lempur adalah pemekaran dari Desa Lempur yang terkenal dengan sebutan Lekuk Lima Puluh Tumbi. Daerah Lekuk 50 Tumbi dikelilingi perbukitan dan diapit dua pegunungan yaitu Gunung Batuah dan Gunung Kunyit. Terdapat banyak danau sebagai sumber mata air yaitu Danau Kaco, Danau Duo, Danau Lingkat, Danau Nyalo dan Danau Kecik. Terletak pada ketinggian 750 m dpl.

2. Dusun Ulu Jernih

Dusun Ulu Jernih Kecamatan Gunung Tujuh, secara geografis terletak pada posisi 1º05’-3º44’Lintang Selatan dan 101º36’- 101º48’Bujur Timur, berjarak kurang lebih 60 km sebelah barat dari kota Sungai Penuh. Secara administrasi pemerintahan, Dusun Ulu Jernih merupakan pemekaran dari Desa Pelompek. Dusun Ulu Jernih memiliki geomorfologi berupa perbukitan dan pegunungan yaitu Gunung Tujuh dimana disana terdapat danau Gunung Tujuh yang merupakan danau tertinggi di Pulau Sumatera. Terletak pada ketinggian tempat lebih dari 1 000 m dpl.

3. Dusun Lama Tamiai

Dusun Lama Tamiai Kecamatan Batang Merangin, secara geografis terletak pada posisi 2o10’ – 2o20’ Lintang Selatan dan 101o40’ – 101o50’ Bujur Timur, berjarak kurang lebih 50 km ke arah utara dari Kota Sungai Penuh. Secara administrasi pemerintahan Dusun Lama Tamiai merupakan pemekaran dari Dusun Pasar Tamiai. Karakteristik wilayah berupa perbukitan dengan lantai lembah yang datar dan landai, merupakan bagian tengah lembah Kerinci. Terletak pada ketinggian 500 – 1 000 m dpl.

4. Dusun Keluru

Dusun Keluru Kecamatan Keliling Danau, secara geografis terletak pada posisi 2o10’ – 2o20’ Lintang Selatan dan 101o20’ – 101o30’ Bujur Timur, berjarak kurang lebih 25 km ke arah timur dari Kota Sungai Penuh. Secara administrasi pemerintahan Dusun Keluru merupakan pemekaran Desa Jujun yang berjarak sekitar 2 km. Keluru berada di pinggir Danau Kerinci yang merupakan danau terbesar di Kabupaten Kerinci memiliki geomorfologi berupa dataran rendah dan perbukitan. Terletak pada ketinggian di bawah 500 m dpl.

Keempat lokasi penelitian dipilih secara purposive karena merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat yang memiliki perbedaan dari tingkat aksesibilitas dan masyarakatnya2 (Tabel 2.1)

2 Berdasarkan rekomendasi dari orang asli Kerinci, Kepala Seksi I TNKS Kabupaten Kerinci

Gambar

Gambar 1.1  Kerangka Teori Penelitian (Teori Ekologi Manusia : Rambo 1983; Marten 2001)
Gambar 1.2 Integrasi Etnobiologi  Masyarakat Kerinci dalam konservasi
Gambar 2.1  Lokasi penelitian
Tabel 2.1 menunjukkan perbedaan aksesibilitas keempat dusun berbeda,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hambatan yang ditemui dalam memberikan perlindungan hukum Di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merapi pelanggaran yang sering terjadi adalah kegiatan merumput yang

Perkara tindak pidana di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya berupa pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam kawasan konservasi dan

bahwa dalam rangka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perlu menetapkan

Pengertian yang lebih luas diberikan oleh Munir Fuady yang menyebutkan bahwa hukum perbankan adalah seperangkat kaedah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan,

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat (7) menyebutkan bahwa Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian yang menggunakan fakta-fakta yang didapat di lapangan

Temuan yang ada menyebutkan bahwa peraturan perUndang-Undangan yang ada telah memberikan peluang kesetaraan bagi kaum disabilitas memasuki dunia kerja, akan tetapi

Bahan hukum primer yaitu : bahan yang telah ada dan yang berhubungan dengan skripsi terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dalam skripsi ini antara lain