• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Organ Mandibular Dan Pemanfaatannya Sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla Olivacea

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Organ Mandibular Dan Pemanfaatannya Sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla Olivacea"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ORGAN MANDIBULAR DAN PEMANFAATANNYA

SEBAGAI STIMULAN MOLTING KEPITING BAKAU

Scylla olivacea

AKBAR MARZUKI TAHYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Organ Mandibular dan Pemanfaatannya sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla olivacea adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari disertasi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2016

Akbar Marzuki Tahya

(4)

RINGKASAN

AKBAR MARZUKI TAHYA. Kajian Organ Mandibular dan Pemanfaatannya sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla olivacea. Dibimbing oleh MUHAMMAD ZAIRIN JR, ARIEF BOEDIONO, I MADE ARTIKA dan MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI.

Organ Mandibular (OM) pada krustasea memiliki peranan penting dalam proses fisiologi, salah satunya adalah molting. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi OM dari kepiting bakau, mempelajari perkembangan fisiologinya, membuktikan keberadaan enzim melalui pendekatan RNA, membuktikan peranan OM, dan mengklarifikasi dosis terbaik dalam menstimulasi molting. Terdapat empat tahapan penelitian yang didesain untuk mengkaji OM dan peranannya dalam molting kepiting bakau jenis Scylla olivacea.

Pertama, untuk mengidentifikasi OM kepiting bakau dan mempelajari struktur morfologinya. Identifikasi dilakukan melalui pembedahan terhadap kepiting bakau sehat, koleksi organ, pengukuran, dokumentasi dan bantuan korespondensi peneliti yang kompeten dalam organ mandibular. Struktur morfologi organ diamati melalui Scanning Electron Microscope (SEM) menggunakan prosedur preparasi spesimen padat. Penelitian tahap pertama berhasil menemukan OM pada kepiting bakau, yakni berbentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat, berpasangan, diameter berkisar 1-3 mm. Pengamatan dengan SEM memperlihatkan struktur organ yang halus dengan selubung jaringan pengikat. Ukuran OM pada kepiting jantan lebih besar dibandingkan kepiting betina, demikian pula kepiting dalam fase premolt memiliki OM yang lebih besar dibandingkan intermolt. Keberhasilan tahap pertama menjadi acuan awal untuk menggunakan kepiting jantan fase premolt sebagai donor OM.

Kedua, menentukan keterkaitan bobot OM dengan bobot tubuh (BT), dan bobot organ Y (OY), pada kepiting jantan dan betina yang berada dalam fase

intermolt dan premolt. Kepiting uji yang digunakan memiliki kisaran BT 120-130 g/individu, sebanyak 200 individu. Koleksi organ dilakukan dengan cara kepiting dianastesi pada air bersuhu dingin. Pembedahan dilakukan dengan hati-hati agar organ tetap berada pada posisi semula, selanjutnya organ dipisahkan dan dilakukan penimbangan. Hasil perhitungan indeks organ disajikan dalam persamaan regresi linier sederhana untuk menentukan keterkaitan hubungan bobot OM, dengan BT, dan OY. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bobot OM pada kepiting jantan dan betina mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan BT dan OY, di mana dalam fase premolt lebih besar dibandingkan

intermolt. Hasil penelitian juga menunjukkan bobot OM pada kepiting jantan lebih berat dibandingkan kepiting betina.

Ketiga, menentukan keberadaan Farnesoate Acid Methyl Transferase

(5)

β-aktinR 5′-GGAAGGAAGGCTGGAAGAGAG-3′. Pada penelitian ini penemuan amplikon gen β-aktin kepiting bakau yakni 202 bp, menunjukkan keberhasilan ekstraksi RNA dari OM. Ekspresi mRNA penyandi FAMeT dari OM mengindikasikan peranan enzim tersebut sebagai konverter asam farnesoat (AF) menjadi metil farnesoat (MF). Hasil pengukuran konsentrasi total RNA penyandi FAMeT yang mengalami peningkatan dari intermolt ke premolt mengindikasikan peningkatan MF dalam OM kepiting bakau; sehingga pada penelitian tahap ketiga dijadikan acuan pemilihan kepiting donor dari fase premolt.

Keempat, membuktikan peranan ekstrak OM terhadap molting, pertumbuhan, keserentakan molting, dan kelangsungan hidup. Ekstrak OM diperoleh dari kepiting bakau jenis S. olivacea jantan yang berada pada fase

premolt dengan kondisi tubuh yang sehat. Kepiting uji disuntik dosis tunggal ekuivalen melalui membran pada pangkal kaki renang, menggunakan syringe 1 ml dengan jarum suntik 27 gauge. Penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT berhasil membuktikan peranan ekstrak OM dalam meningkatkan persentase molting, masa laten, keserentakan molting, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Respons pertumbuhan mutlak kepiting bakau tidak menunjukkan perbedaan antara kontrol dan perlakuan injeksi. Klarifikasi dosis ekuivalen terbaik dilakukan dengan mengamati kemajuan molting, meliputi masa laten retraksi, retraksi epipodit, histologi, dan kuantifikasi ekdisteroid dalam hemolimfa. Hasil klarifikasi mendukung perlakuan penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT sebagai dosis terbaik. Hasil-hasil yang diperoleh dalam kajian ini menyarankan untuk menggunakan dosis ekuivalen 0.016 mg/g BT sebagai dosis optimal dalam budidaya kepiting lunak.

(6)

SUMMARY

AKBAR MARZUKI TAHYA. Mandibular Organ Study and Its Utilization as Molting Stimulant of Mud Crab Scylla olivacea. Supervised by MUHAMMAD ZAIRIN JR, ARIEF BOEDIONO, I MADE ARTIKA and MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI.

Mandibular Organ (MO) of crustaceans is an organ that has an important role in physiological processes, one of which is molting. The purpose of this study was to identify MO of mud crab, studying the development of physiology, proving the existence of the enzyme via RNA approach, proving the role of MO, and clarify the optimum dose in stimulating molting. There were four stages of studies designed to assess the MO and its role in molting of mud crab Scylla olivacea.

The first, to identify MO of mud crab and studying their morphological structure. Identification was done through surgery on healthy mud crabs, organ collection, measurement, documentation and correspondence with competent researchers in the MO. Morphology of MO was observed through a Scanning Electron Microscope (SEM) using a solid specimen preparation procedures. The research has found MO on mud crab, which was oval-shaped, pale yellow, in pairs, diameters ranging from 1-3 mm. Observation by SEM showed that subtle organ structure with a sheath of connective tissue. Size of MO on male crabs larger than the female crabs, as well as the crabs in premolt phase have greater MO than intermolt phase. The success of the first phase of the research to be a reference for further.

The second, to determine the correlation of MO weight with body weight (BW), and weight of Y organ (YO), on the male and female crabs which were in premolt and intermolt phases. Crab samples used have a BW range of 120-130 g/crab, total 200 crabs. Organ collection was done by crab anaesthetized at cold water. Surgery was done carefully so that the organ remains in its position, then the organs were separated, and then weighed. Organ index calculation results were analyzed by simple linear regression to determine the inter-relationship of MO weights, BW, and YO weights. The results showed that the weight of the MO in the male and female crabs in line with the increase of BW and YO, wherein premolt greater than intermolt. The results also showed the weight of MO in male crabs were heavier than female.

The third, to determine the presence of Farnesoate Acid Methyl Transferase (FAMeT) in MO of mud crab. Total RNA was obtained using RNeasy mini kit (Qiagen), 70% ethanol, and RNase-free water. RNA encoding FAMeT amplification used superscript III OneStep RT-PCR with Platinum Taq Polymerase (Invitrogen) for RNA synthesis. Primers used were 5'-GGCACGGACGAGAACAA FAMeTQ1-3' and 5'-GCGACGCTGAAGGAGAT FAMeTQ2-3'. While primers used for the detection of β-actin were β-actinF

5'-GAGCGAGAAATCGTTCGTGAC-3' and 5'-β-actinR

(7)

RNA encoding FAMeT concentration were increased from intermolt to premolt indicate an increased of MF in MO. So the third phase of the research suggested crab in premolt phase as organ donor.

The fourth, the role of the MO extract proved to molting, growth, simultaneity of molting and survival. The MO extract obtained from premolt phase of males mud crab S. olivacea with a healthy condition. Crabs were injected with a single equivalent dose through the membrane at the base of the swimming leg, using a 1 ml syringe with a 27-gauge hypodermic needle. Treatment of dose 0.016 mg/g BW managed to prove the role of MO in increasing the percentage of molting, latency period, molting simultaneity, and improved survival. While the response of the absolute growth of mud crabs showed no difference between the control and treatment of injection. Clarification of optimum equivalent dose done by observing the progress of molting, covering a latency period of retraction, epipodite retraction, histology, and quantification of ecdysteroid in hemolimph. Results of clarification confirmed that the dose of 0.016 mg/g BW as the optimum dose. The results obtained in this study suggests to use a 0.016 mg/g BW as the optimal dose in soft shell crab cultivation.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

KAJIAN ORGAN MANDIBULAR DAN PEMANFAATANNYA

SEBAGAI STIMULAN MOLTING KEPITING BAKAU

Scylla olivacea

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup:

1. Prof Dr Ir Yushinta Fujaya, MSi

Penemu ekstrak bayam (vitomolt) untuk stimulan molting kepiting, dan Dosen BDP FIKP Universitas Hasanuddin Makassar

2. Dr Alimuddin, SPi MSc

Dosen Ilmu Akuakultur IPB Bogor. Penguji pada Promosi Doktor:

1. Prof Dr Ir Yushinta Fujaya, MSi

Penemu ekstrak bayam (vitomolt) untuk stimulan molting kepiting, dan Dosen BDP FIKP Universitas Hasanuddin Makassar

2. Dr Alimuddin, SPi MSc

(11)

Judul Disertasi : Kajian Organ Mandibular dan Pemanfaatannya sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla olivacea

Nama : Akbar Marzuki Tahya

NIM : C161120031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Muhammad Zairin Jr, MSc Ketua

Dr Ir I Made Artika, MAppSc Anggota

Prof Drh Arief Boediono, PhD PAVet(K) Anggota

Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dr Ir Widanarni, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian Tertutup : 25 Oktober 2016

Tanggal Promosi Doktor : 24 November 2016

(12)

PRAKATA

Alhamdulillah Syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala anugerah-Nya sehingga penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dipilih oleh karena dorongan motivasi yang kuat untuk berinovasi bagi bangsa, melalui bidang fisiologi krustasea.

Terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada Bapak Prof Dr Ir Muhammad Zairin Jr, MSc., Bapak Prof Drh Arief Boediono, PhD PAVet (K)., Bapak Dr Ir I Made Artika, MAppSc., dan Bapak Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi, MSi., selaku pembimbing yang telah mengarahkan dan mempertajam ide penelitian. Terima kasih kepada Ibu Prof Dr Ir Yushinta Fujaya, MSi., dan Bapak Dr Alimuddin, SPi MSc., selaku penguji yang telah memberikan masukan berharga dalam penulisan disertasi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf dan laboran di Biofarmaka IPB, Laboratorium Layanan Terpadu FKH IPB, Laboratorium Embriologi FKH IPB, dan Instalasi Tambak Pendidikan Universitas Hasanuddin dan ADY Crab di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan yang telah memfasilitasi penelitian. Terima kasih kepada Universitas Hasanuddin Makassar yang telah memberikan rekomendasi lanjut studi, dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan dana melalui beasiswa unggulan calon dosen Tahun 2012-2015. Terima kasih pula kepada teman-teman seperjuangan Ilmu Akuakultur angkatan 2012, dan teman-teman Icarus.st yang telah banyak berbagi selama penulis menjadi pembelajar di IPB. Ungkapan terima kasih dan penuh apresiasi kepada orang tua penulis Bapak Marzuki Tahya dan Mama Nurbani, beserta keluarga besar di Labuan Bajo NTT. Demikian pula rasa terima kasih kepada mertua Bapak Yusuf Dg Ngempo dan Mama Hj Tahira Dg Tanang, beserta keluarga di Sulawesi Selatan. Rasa syukur dan kebahagian ini tidak lepas dari pengorbanan Istri Sunarti Dg Jinne MSi., dan Putra kami Imalabbiri Al Rashid Tahya Dg Tona, yang telah ikhlas menemani penulis dalam menuntut ilmu di Bogor. Semoga apa yang dikerjakan dapat bernilai ibadah dan mendapat pahala berlimpah dari Nya.

Semoga teknologi inovatif dapat terus lahir dan berkembang untuk kemajuan bangsa. Amin.

Bogor, Desember 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Kegunaan Penelitian 5

Kebaharuan Penelitian 5

2 STRUKTUR MORFOLOGI ORGAN MANDIBULAR KEPITING BAKAU

Scylla olivacea 6

Abstrak 6

Pendahuluan 6

Metode Penelitian 7

Hasil 9

Pembahasan 10

Simpulan 12

3 HUBUNGAN ANTARA BOBOT ORGAN MANDIBULAR DENGAN

BOBOT TUBUH, BOBOT ORGAN Y, JENIS KELAMIN, FASE

INTERMOLT DAN FASE PREMOLT KEPITING BAKAU Scylla olivacea 13

Abstrak 13

Pendahuluan 13

Metode Penelitian 15

Hasil 18

Pembahasan 22

Simpulan 25

4 EKSPRESI mRNA PENYANDI FAMeT DALAM ORGAN MANDIBULAR KEPITING BAKAU Scylla olivacea PADA FASE INTERMOLT DAN FASE

PREMOLT 26

Abstrak 26

Pendahuluan 26

Metode Penelitian 27

Hasil 29

Pembahasan 30

Simpulan 33

5 RESPONS KEPITING BAKAU Scylla olivacea DALAM PEMELIHARAAN

IN VIVO TERHADAP PENYUNTIKAN BERBAGAI DOSIS EKSTRAK

(14)

Abstrak 34

Pendahuluan 34

Metode Penelitian 36

Hasil 41

Pembahasan 48

Simpulan 55

6 PEMBAHASAN UMUM 56

7 SIMPULAN DAN SARAN 62

Simpulan 62

Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 63

LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan organ mandibular kepiting bakau jantan dan betina 9 2 Bobot tubuh, organ mandibular, organ Y, dan indeks organ 22 3 Pertumbuhan mutlak kepiting bakau sesaat setelah molting dan tanpa

molting 43

4 Kelangsungan hidup kepiting bakau setelah penyuntikan ekstrak organ

mandibular 45

5 Perbandingan ekdisteroid dalam hemolimfa kepiting bakau jantan dan

betina dari fase intermolt dan premolt 48

6 Kandungan ekdisteroid dalam hemolimfa kepiting bakau uji 48

DAFTAR GAMBAR

1 Skema konseptual penelitian 4

2 Diagram prosedur koleksi organ mandibular untuk pengukuran

diameter dan preparasi spesimen padat 8

3 Gambaran makroskopis organ mandibular 8

4 Scanning electron microscope organ mandibular pada tendon mandibular kitin, dan jaringan pengikat membungkus organ

mandibular tendon kitin. 10

5 Histologi yang menunjukkan sel organ mandibular dikelilingi

hemolymph channel pada fase intermolt dan premolt 10 6 Diagram prosedur koleksi organ mandibular dan organ Y kepiting

bakau 16

7 Organ Y kepiting bakau melekat pada branchial chamber 17 8 Hubungan antara bobot organ mandibular dengan bobot tubuh

15 Penyuntikan pada pangkal kaki renang kepiting 37 16 Penempatan dan pengontrolan, dan kepiting molting. 37 17 Pengamatan kemajuan molting melalui kaki renang, dan epipodit. 40 18 Masa laten dan persentase molting kepiting bakau setelah penyuntikan

ekstrak organ mandibular 41

19 Keserentakan molting, dan komposisi perlakuan dominan 0.016 mg/g

(16)

20 Masa laten melalui retraksi kaki renang kepiting 45 21 Histologi kaki renang kepiting bakau uji, menggunakan pembesaran

10x. 47

DAFTAR LAMPIRAN

1 Regresi linier BT dan bobot OM kepiting jantan fase intermolt 69 2 Regresi linier BT dan bobot OM kepiting jantan fase premolt 69 3 Regresi linier BT dan bobot OM kepiting betina fase intermolt 70 4 Regresi linier BT dan bobot OM kepiting betina fase premolt 70 5 Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase intermolt 71 6 Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase premolt 71 7 Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase intermolt 72 8 Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase premolt 72 9 Konsentrasi dan tingkat kemurnian RNA hasil ekstraksi 73 10 Konsentrasi produk PCR RNA FAMeT fase intermolt dan premolt 73 11 Analisis ragam data respons molting kepiting bakau 73 12 Analisis ragam data pertumbuhan kepiting bakau postmolt 74 13 Analisis ragam data pertumbuhan kepiting bakau tanpa molting 74 14 Analisis ragam data kelangsungan hidup kepiting bakau 74 15 Analsis ragam data retraksi kaki renang kepiting bakau 75

16 Analisis ragam data ekdisteroid 75

DAFTAR SINGKATAN

AF Asam Farnesoat

BT Bobot Tubuh

CA Corpora Allata

FAMeT Farnesoate Acid Methyl Transferase

HC Hemolymph Channel

JH Juvenile Hormone

LK Lebar Karapaks

MC Mandibular Cell

MF Metil Farnesoat

MIH Molting Inhibiting Hormone

MO-IH Mandibular Organ-Inhibiting Hormone

OM Organ Mandibular

OX Organ X

OY Organ Y

SEM Scanning Electron Microscope

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepiting merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai komersial penting. Krustasea tersebut memiliki prospek pengembangan karna sebarannya hampir terdapat di sepanjang pantai nusantara, selain itu kegemaran masyarakat dunia untuk mengkonsumsi semakin meningkat yakni mencapai 1,4 juta ton (FAO 2008), menuntut inovasi dalam teknologi produksi. Sejauh ini kepiting masih banyak dipasarkan dalam bentuk kepiting hasil penggemukan atau secara langsung dari hasil tangkapan nelayan yang dijual di pasar-pasar tradisional, sementara diversifikasi produk olahan untuk ekspor masih sangat minim. Di sisi lain, suplai kepiting Indonesia dihadapkan pada kendala ketersediaan yang masih fluktuatif karena mengandalkan hasil tangkapan nelayan di alam.

Budidaya kepiting cangkang lunak menjadi salah satu solusi untuk mengembangkan produk hasil perikanan. Prospek pengembangan kepiting cangkang lunak sangat menjanjikan, karena memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan kepiting bercangkang keras. Selain itu, kegiatan budidaya kepiting lunak diharapkan terciptanya multiplier effect tumbuhnya panti pembenihan dan pembesaran kepiting yang berkelanjutan. Sehingga integrasi sistem budidaya kepiting dapat menjadi penyokong kegiatan budidaya yang baru bagi perikanan di Indonesia. Namun kegiatan budidaya kepiting lunak memiliki beberapa kendala, misalnya lama masa pemeliharaan dan kurangnya persentase molting yang serentak masih menjadi permasalahan dalam produksi kepiting cangkang lunak (Fujaya et al. 2011)

Ekdisis dikenal dengan ganti kulit atau molting, merupakan fenomena biologi yang menjadikan krustasea berganti cangkang. Cangkang lama akan digantikan oleh cangkang baru dengan ukuran yang lebih besar. Fenomena molting tersebut berlangsung karena beberapa faktor, diantaranya kebutuhan untuk bertumbuh, regenerasi, reproduksi dan stres.

Berkembangnya pengetahuan mengenai molting, mengakibatkan teknologi stimulasi semakin maju. Dalam budidaya kepiting, fenomena molting dimanfaatkan untuk menghasilkan kepiting cangkang lunak. Induksi autotomi seperti kaki jalan merupakan salah satu pendekatan untuk menginduksi kepiting dan kerabatnya melakukan pergantian cangkang. Penghilangan kaki jalan berhasil menginduksi kepiting untuk melakukan pergantian cangkang (Chang dan Mykles 2011; Karim 2007). Pada red king crab (Paralithodes camtschaticus) penghilangan duri dapat mempersingkat masa intermolt sehingga premolt mejadi lebih awal (Dvoretsky dan Dvoretsky 2012). Demikian juga dengan ablasi sepasang tangkai mata pada Oziotelphusa senex senex (Sainath dan Reddy 2010). Belakangan pendekatan tersebut dinilai tidak ramah terhadap organisme (animal welfare) dan memiliki kecenderungan mortalitas yang tinggi. Selain itu induksi autotomi kaki jalan mengakibatkan bentuk dan ukuran kaki jalan setelah molting mengalami perkembangan yang tidak proporsional.

(18)

2

perubahan pencahayaan secara periodik dari 6000 lux menjadi 60 lux berpengaruh terhadap rendahnya MF pada Litopenaeus vannamei (Guo 2013). Temperatur (Chen et al. 1995), pH (Chen dan Chen 2003) juga berkontribusi terhadap molting.

Beberapa tahun terakhir, pemahaman mengenai pengaturan hormon terhadap molting dan aplikasi dalam kegiatan akuakultur banyak mengalami kemajuan. Seperti aplikasi penyuntikan ekstrak organ (Yudin et al. 1980), dan fitoekdisteroid (Fujaya et al. 2011; Aslamyah dan Fujaya 2010) yang berhasil menginduksi molting lebih cepat.

Berdasarkan karakteristik yang dimilikinya, MF diusulkan sebagai hormon asli yang berasal dari krustasea (Nagaraju 2007). Selama ini MF dikenal berperan dalam mengatur reproduksi krustasea betina (Hinsch 1980; Jo et al. 1999; Nagaraju et al. 2003; Mak et al. 2005) dan Jantan (Sagi et al. 1994; Reddy et al.

2004), sekresinya dihambat oleh mandibular organ-inhibiting hormone (MO-IH) dan memiliki binding protein yang spesifik (Nagaraju 2007). Kajian seskuiterpenoid MF terhadap molting kepiting masih sangat terbatas, sementara peranannya dalam menstimulasi ekdisteroidogenesis pada Cancer magister telah diamati secara in vitro oleh (Tamone dan Chang 1993). Hasil tersebut memperkuat asumsi bahwa MF yang disekresikan oleh organ mandibular (OM) berperan terhadap molting.

Le Roux (1968) adalah yang pertama kali mengemukakan tentang OM pada krustasea. Awalnya faktor kedekatan secara anatomis dan kemiripan histologi antara OM dan organ Y (OY) menyulitkan identifikasi, namun saat ini kedua organ tersebut sudah dapat dibedakan dengan baik, di mana OM mensintesis dan mensekresi metil MF sedangkan OY menghasilkan ekdisteroid (Nagaraju et al.

2004). Secara histologi kedua organ tersebut berkorelasi dengan siklus molting pada krustasea (Aoto et al. 1974).

Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap hak hidup layak bagi hewan merupakan salah satu alasan dilakukannya terobosan-terobosan dalam pengembangan budidaya yang baik. Kegiatan budidaya yang bertanggung jawab perlu memperhatikan kelayakan kultivan dalam media pemeliharaan, sehingga proses produksi diupayakan untuk meminimalisir pemaksaan terhadap kultivan. Pemaksaan molting yang dilakukan melalui induksi autotomi dinilai tidak layak untuk diaplikasikan, oleh karena proses produksi tersebut telah merampas kelayakan hidup bagi organisme.

Kajian OM menjadi salah satu penelitian yang dapat memberikan kontribusi pengetahuan bagi masyarakat budidaya dan pengembangan teknologi inovatif bangsa. Keberhasilan stimulasi dengan menggunakan hormon eksogen dan ekstrak tanaman pada kepiting dan krustasea lainnya menginspirasi pencarian potensi-potensi alami lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai stimulan.

(19)

3 Rumusan Masalah

Budidaya kepiting bakau di Indonesia dapat dilakukan terhadap empat spesies, yakni: Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain, dan S. olivacea., yang dikenal hidup berasosiasi dengan hutan mangrove. Kepiting bakau tersebut memiliki nilai ekonomis penting bagi perikanan, sehingga pengembangan komoditi ini perlu dilakukan. Salah satu pengembangan budidaya yang prospek untuk dikerjakan adalah produksi kepiting cangkang lunak, dengan memanfaatkan fenomena molting. Dalam kajian ini dikembangkan stimulan molting melalui pendekatan fisiologi, yakni memanfaatkan OM (Sesuai skema konseptual pada Gambar 1).

Proses molting pada krustasea, termasuk kepiting diatur oleh hormon steroid yang dikenal dengan ekdisteroid (Chang 1993) dan Seskuiterpenoid MF (Reddy et al. 2004; Laufer et al.1998). Ekdisteroid diketahui sebagai hormon molting yang disintesis dan disekresikan dari OY. Sintesis dan sekresi ekdisteroid dikontrol secara negatif oleh molting inhibiting hormone (MIH) sehingga dikatakan sebagai koordinator molting dan reproduksi pada krustasea (Nagaraju 2011). Sementara MF atau asam farnesoat (AF) disintesis dalam OM dan dilepaskan ke hemolimfa menuju jaringan target, proses tersebut dikontrol secara negatif oleh MO-IH (Nagaraju 2011; Reddy et al. 2004).

Selama ini MF dikenal sebagai hormon reproduksi pada krustasea, namun belakangan diketahui berperan dalam ekdisteroidogenesis. MF yang dilepaskan ke OY akan menstimulasi ekdisteroidogenesis yang berguna untuk reproduksi dan molting. Produksi ekdisteroid pada OY akan meningkat pada fase premolt, demikian pula MF yang dihasilkan oleh OM. Beberapa peneliti telah berhasil mengkaji MF dan OM pada spesies-spesies krustasea seperti O. senex senex

(Reddy et al. 2004; Nagaraju et al. 2004), C. magister (Tamone dan Chang 1993),

Libinia emarginata (Laufer et al. 2002), Homarus americanus (Li et al. 2010),

Procambarus clarkii (Kwok et al. 2005).

Potensi pengembangan budidaya kepiting di Indonesia sangat terbuka, namun kajian terhadap fisologi spesies tersebut masih sangat terbatas. Tahya (2011) melakukan induksi molting rajungan dan berhasil diaplikasikan dalam skala kecil dengan menggunakan fitoekdisteroid. Hasil penelitian tersebut menjadi salah satu acuan untuk pengembangan teknologi molting bagi kepiting dan kerabatnya. Saat ini produksi kepiting lunak belum banyak diminati, perihal tersebut tentunya beralasan karena suplai bahan baku yang masih sangat terbatas dan fluktuatif bergantung hasil tangkapan nelayan. Minimnya kajian fisiologi dari spesies tersebut merupakan salah satu faktor yang membatasi pengembangan budidaya.

Pendekatan fisiologi hormonal merupakan salah satu terobosan yang dapat dilakukan dalam akuakultur. Beberapa pendekatan teknologi stimulan molting pada kepiting bakau telah banyak dilakukan, namun seiring dengan kemajuannya teknologi tersebut dianggap tidak ramah terhadap organisme. Oleh karenanya kajian OM menjadi salah satu terobosan untuk menciptakan pemecahan atas masalah minimnya pengetahuan.

(20)

4

korespondensi dengan beberapa peneliti juga dibutuhkan untuk meyakinkan peneliti dalam mendefinisikan OM pada kepiting bakau. Penelitian tahap 1 dilakukan sebagai acuan awal dalam mengkaji organ tersebut.

Dalam rangka menemukan kepiting donor, maka penelitian tahap 2 dilakukan sehingga rekomendasi sumber donor terbaik berdasarkan bobot tubuh (BT), dan aspek korelatif lainnya dapat diperoleh. Hasil yang diperoleh pada penelitian tahap ini digunakan dalam penentuan sumber ekstrak OM sebagai stimulan.

Kesuksesan tahapan penelitian sebelumnya divalidasi dengan melakukan pembuktian terhadap potensi keberadaan MF dalam ekstrak OM. Pendekatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah mengamati keberadaan FAMeT dan menentukan ekspresi mRNA dalam OM kepiting bakau sebelum aplikasi terhadap kepiting bakau.

Tahap akhir dari penelitian ini adalah aplikasi ekstrak OM yang diperoleh berdasarkan rekomendasi dari tahap-tahap dalam penelitian sebelumnya. Aplikasi ekstrak OM dilakukan sebagai tahapan pembuktian peranan OM terhadap fisiologi molting kepiting bakau. Dalam tahapan ini, upaya penentuan dosis dilakukan berdasarkan rata-rata bobot OM dari banyak sampel yang homogen. Serangkaian peubah digunakan untuk mengklarifikasi perkembangan molting, sehingga penentuan dosis terbaik dalam menstimulasi molting pada kepiting bakau jenis

Scylla olivacea dapat dilakukan.

(21)

5 Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi dan mempelajari struktur morfologi OM kepiting bakau. 2. Mempelajari hubungan bobot OM, dengan BT, bobot OY, pada kepiting

jantan dan betina dalam fase molting berbeda.

3. Membuktikan keberadaan enzim FAMeT melalui ekspresi mRNA dalam OM kepiting bakau.

4. Membuktikan peranan OM terhadap molting, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup kepiting bakau.

Kegunaan Penelitian

1. Menemukan teknologi inovatif dalam budidaya kepiting dan kerabatnya. 2. Mengetahui potensi OM dalam menstimulasi molting pada kepiting dan

kerabatnya.

3. Menambah ilmu dan pengetahuan dalam bidang fisiologi kepiting dan kerabatnya.

Kebaharuan Penelitian

1. Untuk pertama kali struktur morfologi OM kepiting bakau didefinisikan. 2. Ditemukan hubungan positif antara bobot OM dengan BT, bobot OY, pada

kepiting bakau jantan dan betina dalam fase molting.

3. Ditemukan kemajuan proses molting melalui ekspresi mRNA FAMeT dalam OM kepiting bakau.

4. Ditemukan teknologi inovatif ekstrak OM sebagai stimulan molting. 5. Ditemukan peranan MF like substance secara fisiologis mempengaruhi

(22)

6

2

STRUKTUR MORFOLOGI ORGAN MANDIBULAR

KEPITING BAKAU Scylla olivacea

Abstrak

Desain morfologi OM, letak, dan tempatnya menempel menjadi kajian yang menarik untuk dipelajari. Beberapa peneliti telah mencoba menggambarkan OM dari spesies-spesies krustasea yang beragam, namun pada kepiting bakau kajian ini belum pernah dilakukan sehingga pengetahuan mengenai OM sangat terbatas. Penelitian struktur morfologi OM pada kepiting bakau Scylla olivacea merupakan terobosan awal untuk mempelajari organ tersebut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mempelajari struktur morfologi OM kepiting bakau, sehingga berguna bagi penelitian selanjutnya. Hasil penelitian tahap ini menemukan OM pada S. olivacea yang berpasangan, berdiameter 1.43 sampai 2.68 mm, berbentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat. Letak OM berada pada ujung tendon mandibular di belakang mandibula. Letak, bentuk dan warna OM antara kepiting jantan dan betina, demikian pula antara fase intermolt dan premolt

adalah sama. Berdasarkan pengamatan ukuran, kepiting bakau jantan memiliki diameter yang lebih besar dibandingkan pada betina, demikian pula antara fase molting di mana diameter organ ditemukan lebih besar pada fase premolt jika dibandingkan intermolt. Struktur permukaan OM kepiting bakau adalah halus dan bergelombang, serta memiliki jaringan pengikat yang kuat.

Kata kunci: kepiting, letak, morfologi, organ mandibular, tendon. Pendahuluan

Perbedaan bentuk suatu organ, warna, dan letaknya menarik minat para peneliti untuk mencari tahu lebih rinci mengenai peranan suatu organ. Beragam bentuk organ, warna, dan letaknya menempel menjadi ciri khas, sehingga dapat berperan sesuai fungsinya. Eksplorasi terhadap OM sedikit demi sedikit mulai terungkap dan memberi pemahaman baru mengenai fungsi dan kandungan organ tersebut. Gambaran OM oleh Le Roux (1968) menjadi pembuka tahap identifikasi, sehingga dapat dirinci secara baik. Pada krustasea OM merupakan organ berpasangan, tidak memiliki pembuluh (ductless), berasal dari ektodermal, dan terletak pada pangkal tendon mandibular (Nagaraju et al. 2004). Pada kepiting

Callinectes sapidus memiliki warna kuning pucat (Yudin et al. 1980). OM krustasea dianggap sepadan dengan corpora allata (CA) pada serangga (Le Roux 1968; Yudin et al. 1980), demikian pula produk seskuisterpenoid yang dihasilkan menggunakan jalur biosintetik farnesil difosfat/isopentenoid (Tobe dan Bendena 1999). Pada krustasea produk akhir dari jalur tersebut menghasilkan MF, yang pada CA merupakan prekursor langsung juvenile hormone III (JH III) (Schooley dan Baker 1985).

(23)

7 MF eksogen (Reddy dan Ramamurthi 1998). Sementara ketika mendekati molting ditemukan peningkatan bobot OM pada kepiting O. senex senex (Nagaraju et al.

2004). Pada lobster air tawar capit merah Cherax quadricarinatus pemberian MF mengakibatkan percepatan molting (Abdu et al. 2001).

Beberapa peneliti telah melaporkan ukuran OM pada krustasea lainnya dan menemukan bahwa ukuran organ pada jantan lebih besar dibandingkan betina (Sagi et al. 1991; Nagaraju et al. 2004). Alasan perbedaan ukuran OM pada jantan dan betina secara spesifik belum diketahui, namun ukuran yang lebih besar pada jantan kemungkinan terkait dengan tingkah laku spesifik (Nagaraju et al. 2004).

Identifikasi dan definisi OM belum pernah dilakukan pada kepiting bakau di Indonesia. Belum adanya kajian OM mengakibatkan pengetahuan mengenai peranan organ tersebut sangat minim, sehingga peluang pemanfaatannya sangat rendah. Sementara pengetahuan tersebut sangat dibutuhkan untuk pengembangan invensi teknologi inovatif dalam budidaya kepiting bakau yang lebih ramah terhadap hewan dan lingkungan.

Kajian OM pada kepiting bakau perlu mendapat perhatian, oleh karena peluang pengembangannya sangat potensial sebagai salah satu teknologi inovatif dalam budidaya kepiting. Tahapan penelitian struktur morfologi OM pada kepiting bakau merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang wajib diperlukan dalam rangka pengembangan paket teknologi budidaya kepiting cangkang lunak. Pengetahuan tersebut memfasilitasi pendefinisian OM sehingga peneliti dapat mengidentifikasi dengan baik. Penelitian tahap ini bertujuan untuk: 1). Mengidentifikasi OM kepiting bakau; dan 2). Mempelajari struktur morfologi OM kepiting bakau. Penelitian tahap 1 dijadikan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

Metode Penelitian

Hewan Uji

Hewan uji adalah kepiting bakau jenis S. olivacea yang diperoleh dari hasil tangkapan di perairan Kabupaten Wajo, dan telah disortir di Unit Budidaya Kepiting, Tambak Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk menyeragamkan kepiting uji, maka dipilih kepiting dengan ukuran sekitar 100 gram yang berada dalam fase intermolt dan premolt. Identifikasi Organ Mandibular

(24)

8

Koleksi Organ Mandibular

Dilakukan dengan menyisihkan OM dari organ lainnya. Dari pengukuran diperoleh data diameter organ berdasarkan jenis kelamin, dan fase molting. Sementara untuk keperluan pengamatan morfologi dilanjutkan dengan preparasi spesimen. Prosedur koleksi diilustrasikan dalam bentuk diagram pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram prosedur koleksi organ mandibular untuk pengukuran diameter dan preparasi spesimen padat.

Morfologi Organ Mandibular

Pengamatan morfologi OM kepiting bakau dilakukan di Pusat Penelitian Biologi, Bidang Zoologi-LIPI Cibinong, dengan menggunakan fasilitas Scanning Electron Microscope (SEM). Prosedur preparasi spesimen padat mengikuti Goldstein et al. (1992), dengan sedikit penyesuaian. Preparasi OM diproses pada suhu 4°C yang meliputi: 1). Proses pembersihan, dilakukan dengan merendam sampel dalam bufer caccodylate selama 2 jam, kemudian agitasi dalam ultrasonic cleaner selama 5 menit; 2). Prefiksasi, dengan memasukkan sampel ke dalam larutan glutaraldehida 2.5 % selama 2 kali 24 jam; 3). Fiksasi, dengan menggunakan tannic acid 2 % selama 6 jam, kemudian mencuci kembali dengan bufer caccodilate selama 15 menit sebanyak 4 kali, dan dengan akuades 15 menit sebanyak 1 kali; 4). Dehidrasi, dilakukan dalam suhu ruang menggunakan alkohol bertingkat yakni 50 % selama 5 menit dan sebanyak 4 kali, 70 % selama 20 menit, 85 % selama 20 menit, 95 % selama 20 menit, masing-masing 1 kali; dan 5). Pengeringan organ, dilakukan dengan merendam OM dalam tertiary butanol selama 10 menit sebanyak 2 kali, kemudian dibekukan dalam freezer hingga beku, dan di freeze-dry hingga kering. Sebelum diamati di bawah mikroskop, dibutuhkan proses coating dengan menempelkan spesimen OM kering di atas stub

kemudian dilapisi Au dalam ion coater.

(25)

9 Hasil

Kepiting bakau jenis S. olivacea memiliki OM berpasangan, terletak pada ujung tangkai yang berasal dari posterior atau karapaks dorsal bagian dalam menuju bagian anterior. Organ tersebut melekat di dasar tendon yang berada dekat dengan mandibula. Perlekatan organ sangat baik dan kuat oleh karena adanya jaringan ikat atau semacam lapisan penghubung halus yang mengelilingi. Sementara tendon yang terhubung dengan karapaks dorsal diperantarai oleh otot aduktor dengan kemampuan elastisitas yang baik, sehingga tendon tidak terlepas dan OM tetap berada pada posisinya. Posisi organ kiri dan kanan saling bersebelahan dengan tidak memiliki perbedaan dalam letak penempelan.

Morfologi OM kepiting bakau berhasil dilakukan dengan mengamati bentuk, warna dan ukuran. Pada kepiting bakau jenis S. olivacea OM terlihat padat, memiliki bentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat, dan memiliki ukuran diameter berkisar antara 1-3 mm. Hasil pengamatan terhadap OM kepiting bakau jantan dan betina per-fase disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan organ mandibular kepiting bakau jantan dan betina

Intermolt Premolt

Diameter

(mm) ♂ 1.84±0.57 2.68±0.43

♀ 1.43±0.37 2.35±0.50

Bentuk Bulat lonjong Bulat lonjong

Warna Kuning pucat Kuning pucat

Nilai yang ditampilkan adalah rata-rata±SD, n=40.

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 1) menunjukkan bahwa secara umum diameter OM kepiting bakau jantan lebih panjang dibandingkan betina. Demikian pula antara fase molting menunjukkan pada saat premolt memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan intermolt. Pengamatan terhadap bentuk dan warna OM kepiting bakau tidak ditemukan perbedaan, baik dari kedua jenis kelamin maupun fase molting.

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi struktur OM menunjukkan morfologi OM yang masih melekat pada tendon berbahan kitin keras. Permukaan OM kepiting bakau tidak rata, namun menunjukkan tekstur tampak halus. Tekstur halus bergelombang yang dimiliki oleh OM tersebut rupanya terlindungi oleh keberadaan jaringan pengikat seperti yang tampak pada Gambar 4. Jaringan pengikat membungkus OM sehingga membentuk lapisan luar menutupi seluruh permukaan organ bersamaan dengan tendon. Jaringan pengikat dengan permukaan yang terlihat rumit membentuk suatu kesatuan yang kokoh, sehingga tendon keras berbahan kitin menjadi satu dengan organ yang lunak.

Hasil histologi OM menampilkan sel-sel yang dilingkupi oleh keberadaan

(26)

10

Gambar 4 Scanning Electron Microscope Organ mandibular (OM) pada tendon mandibular (T) kitin (Gambar A), dan Jaringan pengikat (IK)

membungkus OM pada tendon (T) kitin (Gambar B).

Gambar 5 Histologi yang menunjukkan sel Organ Mandibular (MC) dikelilingi

hemolymph channel (HC) pada fase intermolt (Gambar A) dan

premolt (Gambar B).

Pembahasan

Keberhasilan identifikasi OM pada kepiting bakau S. olivacea,memberikan peluang pengembangan pengetahuan dan aplikasi ekstrak OM. Kajian OM sebenarnya telah dimulai sejak lama, berawal dari deskripsi yang dilaporkan oleh Le Roux (1968) dan berlanjut hingga saat ini. Kemajuan teknologi dalam pengamatan tentunya berkontribusi sangat besar bagi pengungkapan dugaan-dugaan dalam ilmu pengetahuan. Jika dahulu peneliti masih kesulitan dalam membedakan antara OM dan OY, saat ini telah dapat dilakukan dengan mengamati bentuk maupun produk sekresi yang dihasilkannya.

Berdasarkan hasil penelitian ini, OM kepiting bakau jenis S. olivacea

(27)

11 tidak dapat dibedakan dengan jaringan yang berada disekitarnya. Pada udang dalam famili Pandalidae dan genus Pandalus memiliki letak organ yang sesuai dengan udang Palaemon, yakni berasal dari epidermis menjorok ke arah dalam pada bagian sendi mandibular dan segmen maksila (Aoto et al. 1974).

Bentuk OM kepiting bakau terlihat bulat dan padat dengan diameter rata-rata berkisar antara 1.43±0.37 sampai 2.68±0.43 mm. Pada udang Palaemon

berukuran 0.8 sampai 1.0 mm (Aoto et al. 1974). Perbedaan diameter organ antara jantan dan betina diduga terkait erat dengan kandungan MF yang dimilikinya. Pada kepiting bakau jantan ditemukan OM yang lebih besar dibandingkan pada betina. Perbedaan ini juga telah dilaporkan oleh Sagi et al. (1991) pada udang

Macrobrachium rosenbergii. Aktivitas fisiologi spesifik yang terjadi akibat perbedaan ukuran tersebut belum dikaji secara khusus, namun Nagaraju et al.

(2004) menduga adanya perilaku spesifik berbeda sesuai perbedaan ukuran yang ada.

Perbedaan diameter OM juga diamati pada tiap fase molting. Kepiting bakau yang berada dalam fase premolt menunjukkan diameter yang lebih besar dibandingkan intermolt. Perubahan ukuran diameter diduga terkait erat dengan peningkatan kandungan MF dari OM yang telah mempersiapkan pergantian cangkang. Sebagaimana peningkatan yang terjadi pada bobot OM (Nagaraju et al.

2004), perubahan ukuran diameter OM mengindikasikan pergerakan fase yang lebih dekat ke arah pergantian cangkang. Kemajuan molting tersebut mengisyaratkan adanya peranan MF yang terlibat dalam molting. Oleh karenanya penelitian terkait stimulasi (Hinsch 1980; Reddy dan Ramamurthi 1998; Abdu et al. 2001) mempertegas peranan MF sebagai kandungan OM yang terlibat aktif dalam kemajuan molting krustasea, termasuk kepiting bakau. Pengamatan bentuk dan warna dari 40 OM, tidak menunjukkan perbedaan antara kepiting bakau jenis

S. olivacea baik pada jantan maupun betina dalam fase yang berbeda.

Pengamatan morfologi organ dengan menggunakan SEM pada pembesaran 50x berhasil menampilkan bentuk OM kepiting bakau. Gambar yang ditampilkan menunjukkan organ berada tepat di ujung sebuah tangkai, yang berhasil diklarifikasi menggunakan deskripsi acuan bahwa tangkai tersebut merupakan tendon mandibular (Nagaraju et al. 2004). Sementara pembesaran 1500x berhasil menampilkan struktur permukaan OM. OM kepiting bakau memiliki permukaan yang terlihat halus dan bergelombang. Berbeda dengan permukaan jaringan ikat yang tampak lebih rumit, dan terlilit menutupi organ dan tendon.

Pengamatan jaringan pengikat berhasil dilakukan pada pembesaran 50x. Dengan membalik spesimen organ yang berada pada tendon, jaringan ikat yang terbuka terlihat jelas menyelimuti sebuah tangkai tendon. Sementara pembesaran 1500x berhasil mengamati struktur pemukaan jaringan pengikat yang terlihat lebih rumit jika dibandingkan permukaan OM. Keberadaan jaringan pengikat pada tendon mandibular tampak memperkuat posisi OM yang berada pada ujung tendon. Jaringan pengikat yang sama pernah dilaporkan pada kepiting air tawar jenis Parathelpusa sp., dengan keberadaannya menyelimuti organ dan tendon sehingga semakin memperkokoh posisi OM (Sarika et al. 2014). Sementara, pengamatan pada udang palaemonidae menemukan adanya beberapa otot-otot yang berada di sekitar OM (Aoto et al. 1974).

(28)

12

menemukan peningkatan kepadatan sel OM (MC) dalam fase menjelang molting. Peningkatan kepadatan sel dalam OM mengakibatkan ruangan HC semakin menyempit sehingga pada fase premolt akan terlihat sel-sel yang mengisi ruangan kosong dalam OM kepiting bakau tersebut.

Simpulan

(29)

13

3

HUBUNGAN ANTARA BOBOT ORGAN MANDIBULAR

DENGAN BOBOT TUBUH, BOBOT ORGAN Y, JENIS

KELAMIN, FASE INTERMOLT DAN FASE PREMOLT

KEPITING BAKAU Scylla olivacea

Abstrak

Siklus molting pada kepiting dan kerabatnya dapat terinisiasi oleh berbagai faktor. Molting merupakan siklus perkembangan sehingga dikenal beberapa fase yakni intermolt, premolt, ekdisis atau molting, dan postmolt. Dalam perkembangannya, fase molting banyak melibatkan proses fisiologis yang kompleks dan silih berganti. Salah satu zat yang memiliki peranan cukup besar dalam pengaturan tersebut adalah hormon. Hormon yang telah dikenal luas dan memiliki peranan sebagai hormon molting adalah ekdisteroid, sementara MF masih sedikit dikaji. Perbedaan bobot tubuh (BT), jenis kelamin diduga dapat mempengaruhi proses fisiologi sehingga berdampak pada fluktuasi hormon yang terlibat dalam proses molting. Data hubungan BT, bobot OM, dan bobot OY pada kepiting bakau jantan dan betina dalam fase molting berbeda belum dipelajari. Sementara OM memiliki kandungan MF, dan OY mengandung ekdisteroid, sehingga pertambahan bobot organ-organ tersebut dapat dijadikan representasi peningkatan kandungannya. Hasil penelitian menunjukkan bobot OM mengalami pertambahan ukuran seiring pertambahan BT, sementara bobot OM bertindak sebagai determinan bagi bobot OY. Pertambahan bobot OM dan OY menunjukkan peningkatan ukuran sejalan dengan kemajuan molting, sehingga pada fase premolt ukuran kedua organ tersebut mengalami peningkatan yang cukup pesat. Jika dibandingkan antara kedua jenis kelamin kepiting tersebut, maka bobot OM dan OY lebih besar pada kepiting jantan dibandingkan kepiting betina.

Kata kunci: bobot tubuh, intermolt, kepiting, mandibular, organ Y, premolt.

Pendahuluan

Antara OM dan OY pada beberapa spesies krustasea memiliki kesamaan dalam ukurannya (Yudin et al. 1980), namun pada kepiting bakau belum diketahui. Demikian pula faktor penting lainnya seperti pertambahan BT, jenis kelamin, dan fase molting, belum ada laporan terkait hubungannya dengan OM. Sementara itu, perkembangan siklus molting pada kepiting dan kerabatnya dapat diindikasikan oleh perubahan-perubahan fisik. Misalnya pada perubahan morfologi dan perubahan jaringan integumen yang dapat diamati sebagai indikator perkembangan molting (Skinner 1985). Sehingga molting sebagai proses perkembangan di dalamnya dikenal beberapa fase meliputi intermolt, premolt, ekdisis atau molting, dan postmolt.

(30)

14

disintesis (autokrin) atau ditransportasikan oleh sistem sirkulasi untuk bekerja pada sel-sel lain (parakrin). Hormon pada kepiting memiliki fluktuasi pada masing-masing perkembangan fase molting, hal tersebut terkait dengan waktu sintesis dan ekskresi oleh organ penghasil atau stimulasi on dan off terhadap molting (Skinner 1985).

Organ-organ yang berperan dalam fisiologi banyak memiliki kemampuan untuk mensintesis hormon. Misalnya OY yang menghasilkan hormon molting (Skinner 1985; Nagaraju et al. 2004). Hormon yang telah dikenal luas dan memiliki peranan sebagai hormon molting tersebut adalah 20-hidroksiekdison (20-HE). Ekdison disintesis dan disekresikan oleh OY, selanjutnya berperan sebagai prekursor bagi 20-HE. Hormon molting bekerja parakrin untuk sel-sel reproduksi dan pertumbuhan. Tangkai mata, gonad dan hepatopankreas merupakan organ target eksdisteroid untuk bekerja menstimulasi perkembangan gonad dan pertumbuhan (Nagaraju 2011). Hormon molting ini mengalami peningkatan hingga menjelang molting, sebagaimana pada kepiting laba-laba L. emarginata (Laufer et al. 2002), M. rosenbergii (Wilder et al. 1995). Peranan OY dalam mensintesis dan mensekresikan ekdisteroid diduga terkait peningkatan bobot OM, BT, jenis kelamin, dan fase molting.

Selain OY, OM yang terletak pada tangkai tendon mandibular juga mengandung MF. Namun, fungsi fisiologis MF pada krustasea masih kurang mendapat perhatian untuk dikaji lebih detail. Beberapa peneliti telah melaporkan peranan MF untuk reproduksi (Laufer et al. 1993) dan pertumbuhan (Yudin et al.

1980; Abdu et al. 2001). Sintesis MF pada OM diatur oleh suatu neuropeptida pada kelenjar sinus tangkai mata yang dikenal sebagai MO-IH, hormon tersebut berperan negatif terhadap biosisntesis MF (Laufer et al. 1993). Penyuntikan ekstrak kelejar sinus secara in vivo oleh Tsukimura dan Borst (1992), menunjukkan penurunan level MF pada hemolimfa H. americanus dengan cepat. Demikian pula pembuktian secara in vitro inkubasi OM dengan ekstrak kelenjar sinus pada Cancer pagurus juga menghambat kerja sintesis oleh OM (Wainwright et al. 1996).

Hasil histologi oleh Le Roux (1968) memperlihatkan tampilan OM yang aktif selama premolt. Hasil histologi tersebut menimbulkan perbincangan terkait peran OM terhadap molting, bahkan menduga OM sebagai penghasil hormon molting (Nagaraju 2007). Sejalan dengan penelitian pada C. sapidus, Penaeus setiferus (Yudin et al. 1980), C. magister (Tamone dan Chang 1993) mengungkap bahwa MF yang dihasilkan OM berperan menstimulasi OY. Dipertegas pula dengan peningkatan level MF hemolimfa selama premolt dan penurunan segera setelah molting (Laufer et al. 2005).

Fluktuasi hormon molting dan MF terkait dengan fase-fase molting (Laufer

et al. 2005). Perbedaan bobot, jenis kelamin diduga dapat mempengaruhi proses fisiologis yang berdampak pada fluktuasi hormon molting. Fluktuasi kandungan masing-masing organ penghasil hormon, maupun kandungan hemolimfa pada fase tertentu diasumsikan berkorelasi dengan pengaturan fisiologi krustasea. Kandungan MF dalam OM pada kepiting bakau boleh jadi terkait dengan 20-HE yang berfluktuasi pada OY dan dalam aliran hemolimfa.

(31)

15 penentuan pola peningkatan bobot OM dari kepiting calon donor. Pertambahan massa organ mengindikasikan peningkatan kandungan di dalamnya, yang menyebabkan ukuran mengalami peningkatan. Pengaruh yang mengakibatkan pertambahan massa tersebut penting untuk dikaji, dengan mengetahui besaran determinasi sebagai parameter dalam menilai pengaruh dari suatu faktor. Pengaruh faktor determinasi BT, OY, jenis kelamin, dan fase molting, perlu untuk diketahui dalam rangka menemukan calon kepiting donor terbaik sehingga penentuan donor OM dapat dilakukan. Tahapan penelitian ini memfasilitasi pengambilan keputusan penggunaan donor OM terbaik yang dijadikan stimulan molting, oleh karena itu tahapan penelitian ini merupakan kebutuhan mendesak.

Penelitian tahap ini bertujuan: 1). Menentukan hubungan bobot OM dengan BT kepiting jantan dan betina, 2). Menentukan hubungan bobot OM dengan bobot OY pada kepiting jantan dan betina, 3). Menentukan pola peningkatan bobot OM dan OY pada kepiting jantan dan betina yang berada dalam fase intermolt dan

premolt.

Metode Penelitian

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian tahap ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Penelitian dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2015. Meliputi pengumpulan sampel kepiting, seleksi, koleksi organ, dan korespondensi.

Kepiting Uji

Kepiting uji adalah kepiting bakau spesies S. olivacea jantan dan betina dengan BT rata-rata berkisar antara 120-130 g/individu, yang terbagi dalam fase

intermolt dan premolt. Jumlah kepiting yang digunakan adalah 200 individu, terdiri atas 50 individu jantan fase intermolt, 50 individu jantan fase premolt, 50 individu betina fase intermolt, dan 50 individu betina fase premolt.

Kepiting diperoleh dari hasil tangkapan oleh nelayan di Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Kepiting disortir berdasarkan jenis kelamin dan fase molting di Instalasi Tambak Pendidikan Universitas Hasanuddin, Desa Bojo, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Kepiting yang berhasil disortir diadaptasikan beberapa hari untuk kemudian diseleksi kembali. Kepiting yang dijadikan hewan uji hanya kepiting bakau yang memiliki kondisi sehat dengan ciri-ciri anggota tubuh lengkap, tidak adanya biofouling, dan memiliki respons aktif terhadap gangguan luar.

Koleksi Organ

(32)

16

Gambar 6 Diagram prosedur koleksi organ mandibular dan organ Y kepiting bakau

Indeks Organ Mandibular dan Organ Y

Indeks organ adalah perbandingan antara bobot organ dan BT individu. Penentuan indeks OM dan OY dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus (Nagaraju et al. 2004), yaitu:

( )

( )

Analisa Data

Hubungan bobot OM dengan BT dan bobot OY kepiting bakau S. olivacea

(33)

17

(34)

18

Hasil

Hubungan Bobot Organ Mandibular dengan Bobot Tubuh Kepiting Jantan

Hubungan antara bobot OM dengan BT jantan pada fase intermolt dan

premolt disajikan dalam Gambar 8. Sebagaimana ditampilkan, Bobot OM mengalami peningkatan seiring peningkatan BT baik pada kepiting intermolt

maupun kepiting premolt. Hasil pengamatan menemukan model regresi yang menunjukkan adanya peningkatan bobot OM sebesar 0.1969 mg/g BT kepiting

intermolt dan 0.1486 mg/g BT kepiting premolt.

Analisis regresi BT dan bobot OM kepiting jantan fase intermolt (Lampiran 1), menghasilkan nilai korelasi sebesar 0.921 dengan koefisien determinasi sebesar 0.849, yang berarti bahwa pengaruh variabel bebas BT terhadap variabel terikat bobot OM adalah sebesar 84.9%. Berdasarkan analisis ragam, nilai F hitung (269.812) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, berarti bahwa model linier antara variabel bebas BT dengan variabel terikat bobot OM adalah signifikan.

Sementara hasil analisis regresi BT dan bobot OM pada fase premolt

(Lampiran 2), menghasilkan nilai korelasi 0.975 dengan koefisien determinasi 0.950. Dengan demikian berarti bahwa variabel bebas BT memberikan pengaruh sebesar 95% terhadap variabel terikat bobot OM.. Hasil analisis ragam, menunjukkan F hitung (914.708) > Ftabel (0.05; 1; 48) = 4.04, yang berarti bahwa Gambar 8 Hubungan antara bobot organ mandibular (OM) dengan bobot tubuh

(BT) kepiting jantan

n= 50

(35)

19 model linier antara variabel bebas BT dengan variabel terikat bobot OM adalah signifikan.

Hubungan Bobot Organ Mandibular dengan Bobot Tubuh Kepiting Betina

Gambar 9 menyajikan hubungan antara bobot OM dengan BT kepiting betina pada fase intermolt dan premolt. Sebagaimana ditampilkan, bobot OM mengalami peningkatan seiring peningkatan BT baik pada kepiting intermolt

maupun kepiting premolt. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan model regresi yang mengindikasikan peningkatan bobot OM sebesar 0.0603 mg/g BT kepiting betina intermolt dan pada fase premolt sebesar 0.0698 mg/g BT kepiting.

Hasil analisis regresi BT dan bobot OM kepiting betina pada fase intermolt

(Lampiran 3), menghasilkan nilai korelasi 0.712 dengan koefisien determinasi 0.507. Dengan demikian berarti bahwa variabel bebas BT kepiting betina memberikan pengaruh sebesar 50.7% terhadap variabel terikat bobot OM. Dari hasil analisis ragam, menunjukkan F hitung (49.413) > Ftabel (0.05; 1; 48) = 4.04, sehingga dikatakan bahwa model linier antara variabel bebas BT dengan variabel terikat bobot OM adalah signifikan.

Gambar 9 Hubungan antara bobot organ mandibular (OM) dengan bobot tubuh (BT) kepiting betina

n= 50

(36)

20

Analisis regresi BT dan bobot OM kepiting betina fase premolt (Lampiran 4), menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.889 dengan koefisien determinasi sebesar 0.790, berarti bahwa pengaruh variabel bebas BT kepiting terhadap variabel terikat bobot OM adalah sebesar 79.0%. Hasil analisis ragam menujukkan nilai F hitung (180.469) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, berarti bahwa model linier antara variabel bebas BT dengan variabel terikat bobot OM adalah signifikan.

Hubungan Bobot Organ Mandibular dengan Bobot Organ Y Kepiting Jantan

Hubungan antara bobot OM dengan bobot OY kepiting jantan yang berada pada fase intermolt dan premolt disajikan dalam Gambar 10. Dalam gambar ditampilkan bobot OY mengalami peningkatan seiring pertambahan bobot OM baik pada kepiting dalam fase intermolt maupun kepiting premolt. Model regresi mengindikasikan peningkatan bobot OY sebesar 0.6153 mg/mg bobot OM kepiting jantan intermolt dan 0.6828 mg/mg bobot OM pada kepiting jantan

premolt.

Analisis regresi bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase intermolt

(Lampiran 5), menghasilkan nilai korelasi 0.853 dengan koefisien determinasi 0.727. Berarti bahwa variabel bebas bobot OM memberikan pengaruh sebesar 72.7% terhadap variabel terikat bobot OY kepiting jantan fase intermolt. Hasil analisis ragam menunjukkan F hitung (127.890) > Ftabel (0.05; 1; 48) = 4.04, Gambar 10 Hubungan antara bobot organ mendibular (OM) dengan bobot

organ Y (OY) kepiting jantan

n= 50

(37)

21 berarti bahwa model linier antara variabel bebas bobot OM dengan variabel terikat bobot OY adalah signifikan.

Sementara analisis regresi bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase

premolt (Lampiran 6), menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.886 dengan koefisien determinasi sebesar 0.784, berarti bahwa pengaruh variabel bebas OM kepiting terhadap variabel terikat bobot OY adalah sebesar 78.4%. Hasil analisis ragam menujukkan nilai F hitung (174.566) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, dengan demikian model linier tersebut adalah signifikan.

Hubungan Bobot Organ Mandibular dengan Bobot Organ Y Kepiting Betina

Hubungan antara bobot OM dengan bobot OY kepiting betina yang berada pada fase intermolt dan premolt disajikan dalam Gambar 11. Terdapat indikasi peningkatan bobot OY seiring pertambahan bobot OM baik pada kepiting betina dalam fase intermolt maupun premolt. Berdasarkan model regresi menunjukkan peningkatan bobot OY sebesar 1.0841 mg/mg bobot OM kepiting intermolt dan 1.6047 mg/mg bobot OM pada kepiting premolt.

Hasil analisis regresi bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase intermolt

(Lampiran 7), menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.784 dengan koefisien determinasi sebesar 0.560, berarti bahwa pengaruh variabel bebas bobot OM kepiting betina terhadap variabel terikat bobot OY adalah sebesar 56.0%. Hasil ANOVA menujukkan nilai F hitung (61.022) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, dengan demikian model linier tersebut dikatakan signifikan.

Gambar 11 Hubungan antara bobot organ mandibular (OM) dengan bobot organ Y (OY) kepiting betina

n= 50

(38)

22

Analisis regresi bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase premolt

(Lampiran 8), menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.862 dengan koefisien determinasi sebesar 0.744, dengan demikian pengaruh variabel bebas bobot OM kepiting betina terhadap variabel terikat bobot OY adalah sebesar 74.4%. Berdasarkan hasil analisis ragam, menujukkan nilai F hitung (139.371) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, yang berarti bahwa model linier antara bobot OM dan bobot OY adalah signifikan.

Peningkatan Bobot Organ Mandibular dan Organ Y Kepiting Fase Intermolt dan Premolt

Hasil penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 2, bobot OM dan OY kepiting mengalami peningkatan seiring fase-fase molting. Jika dibandingkan antara jantan dan betina, bobot OM pada jantan lebih besar baik pada fase dengan BT, jenis kelamin dari kepiting bakau S. olivacea yang berada dalam fase-fase krusial. Fase intermolt dan premolt merupakan fase yang kontras, karena kemajuan fisiologi sangat jelas terlihat dalam fase-fase tersebut. Misalnya pada fase intermolt yang durasinya lama, mengakibatkan kepiting aktif mengumpulkan cadangan energi. Sementara fase premolt terjadi dalam waktu yang singkat sebagai persiapan menjelang ekdisis. OM menjadi bahan yang menarik untuk dipelajari sejak adanya laporan terkait peranannya dalam fisiologi krustasea. Kandungan MF dalam OM dilaporkan berperan dalam kemajuan morfogenesis (Sagi et al. 1993; Abdu et al. 1998, Rottlant et al. 2000), pengaturan molting (Chang et al. 1993; Wilder et al. 1995; Tamone et al. 1997, Reddy et al. 2004), dan pengaturan reproduksi (Sagi et al.1993; Laufer 1998; Reddy dan Ramamurthi 1998; Reddy et al. 2004).

Hasil pengamatan terhadap kepiting bakau S. olivacea menunjukkan peningkatan bobot OM seiring pertambahan BT kepiting. Nagaraju et al. (2004) telah melaporkan perihal yang sama terkait peningkatan bobot OM pada kepiting air tawar spesies O. senex senex. Hasil pengamatan terhadap kepiting bakau jenis Tabel 2 Bobot tubuh, organ mandibular, organ Y dan indeks organ.

Jenis kelamin Jantan Betina

Fase Intermolt Premolt Intermolt Premolt

(39)

23

S. olivacea baik pada jantan maupun betina menunjukkan peningkatan dengan selisih antara intermolt dan premolt masing-masing sebesar 0.1289 mg/g BT kepiting jantan dan 0.0095 mg/g BT kepiting betina. Selain itu pengaruh determinasi BT terhadap pertambahan bobot OM kepiting jantan pada fase

premolt lebih besar yakni 95% dibandingkan fase intermolt yang hanya 84.9%. Pada kepiting betina, determinasi BT terhadap bobot OM pada fase premolt

79.0% lebih besar dibandingkan intermolt yang hanya 50.7%. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan pola yang sama, yakni terjadi peningkatan bobot OM mengarah pada fase premolt. Peningkatan tersebut juga diamati pada O. senex senex betina yang menunjukkan peningkatan bobot OM hingga mengalami ekdisis, dan ketika masuk dalam fase berikutnya yakni postmolt kepiting akan memiliki OM dengan bobot yang sangat ringan (Nagaraju et al. 2004). Peningkatan BT kepiting bakau yang memberikan pengaruh sebesar 95% (jantan) dan 79% (betina) terhadap peningkatan bobot OM diduga terjadi karena adanya persiapan molting, sehingga OM mengalami pertambahan bobot. Bobot OM yang meningkat mengindikasikan peningkatan kandungan MF. Perbedaan pengaruh determinasi antara kepiting bakau jantan dan betina menandakan bahwa jenis kelamin ikut mempengaruhi perkembangan fisiologi, termasuk persiapan molting. Pengamatan terhadap bobot OY menunjukkan peningkatan yang seiring dengan pertambahan bobot OM. Peningkatan tersebut terjadi pada kepiting jantan dan betina dalam fase intermolt dan premolt. Kepiting jantan yang berada dalam fase intermolt dan premolt menunjukkan selisih sebesar 0.0675 mg/mg bobot OM, di mana kepiting jantan dalam fase premolt menghasilkan bobot OY yang lebih besar dibandingkan fase intermolt. Hasil analisis regresi menunjukkan nilai determinasi pada kepiting jantan fase premolt lebih besar yaitu 78.4% dibandingkan fase intermolt 72.7%. Pola yang sama juga ditemukan pada kepiting betina, hasil penelitian menunjukkan peningkatan bobot OM sejalan dengan peningkatan bobot OY. Dalam pengamatan yang dilakukan pada kepiting betina ditemukan pula bobot OY yang lebih besar pada fase premolt dibandingkan fase

intermolt, dengan selisih 0.5206 mg/mg bobot OM. Hasil analisis regresi menunjukkan determinasi bobot OM terhadap bobot OY kepiting betina sebesar 56.0% pada fase intermolt dan 74.4% pada fase premolt. Korelasi antara OM dan OY diduga berkaitan dengan kapabilitas OM dalam sintesis dan sekresi MF, sehingga mempengaruhi sintesis ekdisteroid dalam OY. Pertambahan bobot OY mengindikasikan kandungan ekdisteroid yang meningkat, sebagai persiapan bagi kepiting bakau untuk menjelang proses ganti cangkang.

(40)

24

pagurus sekitar 220 ng (Wainwright et al. 1996), H. americanus berkisar antara 3.2 - 196.8 ng (Borst et al. 1994).

Kemajuan molting dan pertambahan bobot OM dan OY yang saling berkorelasi diduga terkait dengan peranan organ dalam proses molting. Pertambahan bobot organ menandakan adanya peningkatan volume dari organ tersebut, sehingga kapasitas ruang membesar dan bobot meningkat. Peningkatan bobot dari masing-masing organ tersebut mengindikasikan sintesis kandungan dalam organ sedang berlangsung. Keberhasilan sintesis yang terjadi dalam organ diduga menjadi penyebab pertambahan bobot yang meningkat. Kesuksesan OM menghasilkan MF dan OY dengan ekdisteroidnya menjadi syarat molting yang sukses. Oleh karena keterlibatan MF dan ekdisteroid sangat penting dalam menginisiasi molting dan reproduksi. Penyuntikan MF pada kepiting air tawar spesies O. senex senex menghasilkan percepatan molting hingga 80% pada betina dan 100% pada jantan (Reddy et al. 2004). Selanjutnya dalam penelitian yang sama Reddy et al. (2004) menemukan respons reproduksi berupa peningkatan diameter oosit pada betina sebesar 236.37% dan diameter folikel testikular pada kepiting jantan yakni sebesar 25.72%. Pada udang windu Penaeus monodon

penyuntikan MF juga menghasilkan respons molting dan reproduksi yang baik (Suneetha et al. 2010).

Ekdisteroid yang terkandung dalam OY memiliki peranan langsung dalam proses molting dan reproduksi. Peranan OY adalah melakukan sintesis dan sekresi ekdison, kemudian ekdison bertindak sebagai prekursor bagi 20-HE. Dalam proses reproduksi dan tumbuh kembang krustasea, ekdisteroid akan dilepaskan dengan bekerja parakrin menuju sel-sel reproduksi dan pertumbuhan. Beberapa organ yang menjadi target ekdisteroid misalnya gonad, hepatopankreas, dan tangkai mata (Nagaraju 2011). Peningkatan bobot OY yang seiring dengan kemajuan molting memiliki keterkaitan dengan peningkatan ekdisteroid. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya, misalnya peningkatan ekdisteroid menjelang molting telah diamati pada kepiting laba-laba L. emarginata (Laufer et al. 2002), udang galah M. rosenbergii (Wilder et al. 1995).

Hasil yang diperoleh dari pengamatan menunjukkan ukuran OM dan OY kepiting S. olivacea jantan lebih besar jika dibandingkan pada betina. Demikian pula yang dilaporkan pada kepiting air tawar O. senex senex (Nagaraju et al.

2004), udang galah M. rosenbergii (Sagi et al. 1991). Perbedaan ukuran antara jantan dan betina diduga berhubungan dengan aktivitas fisiologi dari kepiting yang memang mengalami beberapa keunikan berupa tingkah laku spesifik berdasarkan jenis kelamin. Misalnya aktivitas reproduksi kepiting bakau dan masa laten molting yang terkait dengan perbedaan ukuran tersebut, pada kepiting betina mengalami fase inkubasi telur dan menjadikannya berbeda dengan kepiting jantan. Perihal sama juga berlaku pada masa laten molting kepiting jantan yang berlangsung relatif singkat dibandingkan betina. Namun penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menjawab dugaan tersebut.

(41)

25 Simpulan

Hasil penelitian ini menemukan 1). Bobot OM pada kepiting jantan dan betina mengalami peningkatan sejalan dengan adanya peningkatan BT, di mana peningkatan yang lebih besar terjadi pada fase premolt dibandingkan intermolt, 2). Peningkatan bobot OM yang terjadi pada kepiting jantan dan betina seiring dengan peningkatan bobot OY, di mana dalam fase premolt bobot kedua organ tersebut memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan fase intermolt, 3). Bobot OM dan OY kepiting bakau spesies S. olivacea mengalami peningkatan berdasarkan fase molting, pola peningkatan lebih besar terjadi dalam fase premolt

Gambar

Gambar 1 Skema konseptual penelitian
Gambar 3 Gambaran makroskopis organ mandibular (→)
Gambar 4 Scanning Electron Microscope Organ mandibular (OM) pada tendon
Gambar 6 Diagram prosedur koleksi organ mandibular dan organ Y kepiting
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti juga mengajak anak untuk melakukan pembelajaran bermain alat musik perkusi secara bersama-sama, karena kecerdasan interpersonal dapat ditumbuhkan hanya

dengan menggunakan analisis Metode Economic Order Quantity,Periods Order Quantity dan Silver Meal sebagai pilihan penerapan metode perhitungan, sehingga perusahaan dapat

melalui percobaan langsung.Sejalan dengan pendapat Abdullah (2013) yang mengatakan model induktif adalah model pembelajaran yang bersifat langsung tapi efektif

3). Salah satu pihak diluar yuridiksi 4). Perkara dicabut sebelum ada PMH/PHS Drs. Perkara dicabut setelah PHS NIP. Perkara dicoret dari pendaftaran 9). Perkara ditolak. 10).

Pengawasan merupakan pengendalian yang diterapkan pada organisasi yang dilakukan guna memastikan bahwa pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan prosedurnya (Karyoto,

Dalam penelitian ini kami menganalisis tata ruang Kawasan Pendidikan Pesantren Madani Alauddin Pao-Pao baik secara tata massa bangunan maupun dari segi kondisi suasana

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan tersebut, maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan