• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi produksi kepiting cangkang lunak berawal dari teknologi yang sederhana. Pembudidaya kepiting dengan pengetahuan terbatas, melakukan produksi kepiting lunak melalui induksi autotomi pada beberapa bagian tubuh sehingga memaksa kepiting untuk beregenerasi dan molting. Teknologi tersebut berhasil memicu pergantian cangkang lebih singkat dibandingkan waktu normal, sehingga secara massal diterapkan dalam budidaya kepiting cangkang lunak. Seiring perkembangannya ditemukan beberapa kelemahan seperti tingkat kematian yang tinggi, bobot produksi yang kurang, dan bentuk tubuh tidak proporsional. Inovasi teknologi produksi kepiting cangkang lunak selanjutnya berkembang dengan memanfaatkan hormon sebagai stimulan. Salah satu organ penting yang dimiliki oleh krustasea adalah OM. Organ kecil berpasangan tersebut berpeluang dimanfaatkan sebagai stimulan molting pada kepiting dan kerabatnya. Kandungan MF yang dimiliki dan beberapa hasil penelitian pada krustasea lainnya menunjukkan kapabilitas OM sebagai stimulan. Perkembangan molting kepiting dan kerabatnya dapat dijadikan indikator perkembangan tubuh, seperti retraksi. Retraksi epipodit merupakan pemisahan antara kutikula lama dan kutikula yang baru terbentuk. Retraksi yang terjadi pada kaki renang dapat diamati secara langsung, sementara pemisahan kutikula pada epipodit diamati dengan menggunakan bantuan mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan penyuntikan ekstrak OM berhasil memberikan respons molting yang lebih tinggi, masa laten lebih cepat, dan keserentakan seragam, namun tidak mengakibatkan pertumbuhan yang berbeda antara perlakuan. Kepiting bakau yang mendapatkan penyuntikan ekstrak OM memiliki kelangsungan hidup lebih baik dibandingkan kontrol. Hasil klarifikasi terhadap dosis ekuivalen menunjukkan aplikasi penyuntikan dosis tunggal 0.016 mg sebagai dosis optimum yang berhasil menstimulasi munculnya premolt lebih awal pada kepiting bakau jenis S. olivacea. Kata kunci: dosis, kelangsungan hidup, molting, pertumbuhan, organ mandibular.

Pendahuluan

Budidaya kepiting bakau yang berkembang menuntut inovasi teknologi untuk menghasilkan nilai tambah menjadi lebih baik. Teknologi budidaya kepiting yang dilakukan masyarakat sejak lama hanya mengandalkan tradisi turun temurun, misalnya budidaya untuk penggemukan dalam kurungan dasar, dan budidaya kepiting lunak melalui induksi autotomi. Teknologi konvensional tersebut tidak dapat diandalkan lagi untuk memenuhi kebutuhan pasar, sehingga potensi kompetitifnya sangat rendah. Teknologi inovatif merupakan solusi yang harus ditempuh dan ditawarkan ke masyarakat pembudidaya, sehingga nilai tambah yang diharapkan dapat terealisasi, dan menghidupkan kembali tambak-tambak

35 non-produktif. Selain itu, dengan berkembangnya budidaya kepiting di tambak akan menghidupkan panti-panti perbenihan kepiting.

Keinginan manusia untuk menghasilkan produk yang lebih bernilai menjadikan kepiting saat ini tidak hanya dikenal sebagai makanan dari air yang bercangkang, namun lebih dari itu kepiting dapat dijumpai dalam bentuk lunak atau dikenal softshell crab. Teknologi untuk menghasilkan kepiting cangkang lunak dimulai dari teknologi yang sederhana yakni dengan jalan autotomi anggota tubuh sehingga memaksa kepiting untuk beregenerasi dan terjadilah molting. Teknologi tersebut berhasil memicu pergantian cangkang lebih singkat dibandingkan waktu normal, sehingga secara massal diterapkan dalam budidaya untuk menghasilkan kepiting cangkang lunak. Seiring perkembangannya, ditemukan beberapa kelemahan seperti tingkat kematian yang tinggi, bobot produksi yang kurang, dan bentuk tubuh tidak proporsional.

Krustasea termasuk kepiting bakau melalui beberapa fase untuk menjadi lunak. Berdasarkan hasil penelitian Tahya (2011) rajungan dalam fase intermolt

energi tubuhnya mulai banyak dicadangkan, aktivitas makan berlangsung dengan giat dan fase tersebut merupakan yang paling lama dibandingkan fase-fase lainnya. Kemudian fase premolt di mana rajungan lebih tenang dan merupakan fase persiapan menjelang molting, cadangan energi tubuh semakin tinggi namun semakin mendekati molting aktivitas makan dikurangi, selanjutnya mengalami molting yang merupakan puncak energi tertinggi, oleh karenanya energi setelah itu yakni postmolt akan sangat rendah (Tahya 2011).

Inovasi teknologi produksi kepiting cangkang lunak berkembang dengan adanya pemanfaatan hormon molting. Kajian yang dilakukan Fujaya dan Trijuno (2007) memulai gagasan untuk mempelajari ekdisteroid kepiting bakau, sehingga pada tahap-tahap selanjutnya Fujaya et al. (2011) sukses mengembangkan ekstrak yang diberi nama Vitomolt untuk suplementasi kepiting berganti cangkang menjadi lunak. Keberhasilan dalam memanfaatkan hormon molting tersebut menjadi inspirasi pencarian hormon-hormon terkait untuk menghasilkan teknologi baru dan efektif untuk menstimulasi molting pada kepiting dan kerabatnya.

Organ kecil yang melekat pada tendon mandibular berpeluang dimanfaatkan sebagai stimulan molting pada kepiting dan kerabatnya. Berdasarkan kandungan MF yang dimiliki dan hasil penelitian terdahulu pada krustasea lainnya menunjukkan kapabilitas MF untuk mempercepat masuknya fase premolt. Uji coba in vivo pernah dilakukan pada beberapa krustasea, misalnya C. quadricarinatus (Abdu et al. 2001), L. emarginata (Laufer et al. 2002), O. senex senex (Reddy et al. 2004).

Mengacu pada keberhasilan krustasea lainnya dan rekomendasi mengenai kepiting donor OM dari tahap-tahap penelitian sebelumnya, maka aplikasi ekstrak OM terhadap kepiting bakau perlu dibuktikan kapabilitasnya dalam menstimulasi molting. Oleh karena itu penelitian tahap ini penting untuk dikerjakan.

Penelitian ini bertujuan 1). Membuktikan peranan ekstrak OM dalam menstimulasi molting, masa laten, dan keserentakan molting pada kepiting bakau, 2). Membuktikan peranan ekstrak OM terhadap respons pertumbuhan kepiting bakau, 3). Membuktikan peranan ekstrak OM dalam menekan mortalitas kepiting bakau, 4). Mengklarifikasi dosis terbaik berdasarkan respons kemajuan molting kepiting bakau.

36

Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian respons molting, pertumbuhan, mortalitas dan klarifikasi dosis optimum dilaksanakan di Instalasi Tambak Pendidikan Universitas Hasanuddin, Desa Bojo, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengamatan respons berlangsung pada bulan Oktober hingga Desember 2015. Sementara pengamatan terhadap kemajuan molting untuk dosis optimum dilakukan pada bulan November hingga Desember 2015.

Kepiting Uji

Kepiting uji adalah kepiting bakau jantan S. olivacea dengan BT sekitar 100 g/individu, diperoleh dan disortir dari hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Kepiting diadaptasikan dalam tambak pemeliharaan selama 4 hari, kemudian disortir untuk mendapatkan kepiting uji yang tepat. Karakteristik kepiting uji yang tepat didefinisikan berada dalam fase intermolt, anggota tubuh lengkap, tidak terdapat cacat, tidak ada biofouling, dan merespons gangguan dari luar. Kepiting yang digunakan dalam pengamatan respons molting, pertumbuhan, keserentakan molting, dan kelangsungan hidup berjumlah 30 individu dalam tiap perlakuan. Sementara itu, jumlah kepiting yang digunakan dalam pengamatan kemajuan molting adalah 25 individu tiap perlakuan, terbagi menjadi 15 individu untuk pengamatan kemajuan molting selama 30 hari dan 10 individu dipersiapkan untuk pengambilan sampel retraksi.

Persiapan Ekstrak Organ Mandibular

Kepiting bakau yang digunakan sebagai donor OM berdasarkan rekomendasi penelitian sebelumnya adalah kepiting jantan yang berada dalam fase

premolt dengan kondisi tubuh yang sehat. Kepiting donor memiliki BT sekitar 100 g/individu. Kepiting donor OM ditenangkan menggunakan air media pemeliharaan yang suhunya diturunkan hingga 15°C dan dibiarkan sekitar 30 menit sebelum dibedah. Kepiting donor yang telah pingsan, dibedah dengan cara hati-hati untuk memisahkan OM dengan organ tubuh lainnya. OM yang berhasil diperoleh, dibilas menggunakan NaCl fisiologis, dan dibekukan segera sebelum siap untuk diekstraksi.

Ekstraksi OM mengikuti prosedur yang dilakukan Allayie et al. (2010) dengan sedikit penyesuaian, yakni 100 OM kepiting donor dihomogenkan dengan 0.75 ml crab saline kemudian disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit pada suhu 2°C. Supernatan yang berhasil terbentuk dimasukkan ke dalam tabung sentrifugal, kemudian diekstraksi kembali seperti prosedur semula. Supernatan yang terbentuk dari hasil ekstraksi dipindahkan ke dalam tabung sentrifugal baru yang telah didinginkan sebelumnya. Hasil ekstraksi akhir berupa ekstrak OM siap pakai dimasukkan ke dalam media penyimpanan bersuhu -20°C, hingga siap untuk digunakan.

37 Penyuntikan Ekstrak

Penyuntikan dilakukan setelah kepiting diadaptasikan dalam tambak pemeliharaan. Ekstrak OM diencerkan menggunakan NaCl fisiologis mengikuti kebutuhan dosis yang diaplikasikan. Kepiting disuntik melalui membran pada pangkal kaki renang, menggunakan syringe 1 ml dengan jarum suntik berukuran 27 gauge. Penyuntikan hanya dilakukan 1 kali selama masa pemeliharaan (dosis tunggal). Kepiting uji yang telah mendapatkan perlakuan, dikembalikan ke dalam wadah pemeliharaan dan kegiatan pengamatan mulai dilakukan sebagai hari ke-0.

Pemeliharan

Pemeliharaan kepiting uji dilakukan dengan menempatkannya ke dalam kotak khusus (crab boxes) per individu untuk menghindari pemangsaan oleh sesamanya. Crab boxes disusun acak di atas rakit terapung sehingga memudahkan pengamatan. Pemeliharaan kepiting uji untuk pengamatan respons dilakukan selama 45 hari, dan 30 hari untuk pengamatan kemajuan molting. Dalam kegiatan pemeliharaan, kepiting diberi makan ikan mujair segar sebanyak 2% dari BT yang diberikan setiap 2 hari sekali.

Gambar 15 Penyuntikan pada pangkal kaki renang kepiting

Gambar 16 Penempatan dan pengontrolan (Gambar A), dan kepiting molting (Gambar B).

38

Pengamatan

Pengamatan terhadap kepiting uji dilakukan pada pagi (sekitar pukul 06.00) dan sore (sekitar pukul 17.00). Pengamatan dilakukan agar memberikan gambaran kemajuan aplikasi penyuntikan ekstrak OM melalui pemantauan aktivitas, pakan dalam crab boxes, kondisi fisik kepiting dan pengontrolan kualitas air. Kepiting uji yang mengalami molting dipanen kemudian data BT, dan LK diambil sebelum dibekukan ke dalam freezer. Pengamatan kemajuan molting dapat diindikasikan oleh perubahan warna karapaks menjadi lebih pucat, dan aktivitas makan berkurang. Pengamatan retraksi dilakukan hanya jika indikasi kemajuan telah terlihat serentak (hari ke-16) pada salah satu perlakuan, selanjutnya kepiting dikeluarkan dari wadah pemeliharaan, ditenangkan pada suhu dingin, dan retraksi diamati menggunakan mikroskop.

Rancangan dan Perlakuan

Desain penelitian adalah rancangan acak lengkap. Untuk pengamatan respons molting, pertumbuhan, masa laten molting, keserentakan molting, dan kelangsungan hidup, terdiri atas 13 perlakuan, setiap perlakuan terdiri atas 30 individu, sehingga pengamatan membutuhkan 390 individu kepiting. Perlakuan yang diujikan dalam penelitian ini menggunakan dosis ekuivalen, yaitu dosis yang disetarakan dengan rata-rata bobot OM kepiting bakau jantan dalam fase premolt. Di antaranya: perlakuan tanpa ekstrak OM (kontrol); perlakuan dosis ekuivalen 1 pasang organ dibagi 1 individu (0.229 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 1 individu (0.114 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 2 individu (0.057 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 3 individu (0.038 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 4 individu (0.029 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 5 individu (0.023 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 6 individu (0.019 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 7 individu (0.016 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 8 individu (0.014 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 9 individu (0.013 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 10 individu (0.011 mg/g BT); dan dosis ekuivalen 1 organ dibagi 11 individu (0.010 mg/g BT).

Untuk pengamatan kemajuan molting terdiri atas 5 perlakuan, setiap perlakuan terdiri atas 15 individu. Dengan demikian penelitian ini membutuhkan 75 individu percobaan. Sementara kepiting uji yang dipersiapkan untuk pengamatan retraksi epipodit adalah sebanyak 50 individu. Perlakuan yang diujikan dalam pengamatan kemajuan molting dan retraksi epipodit adalah: tanpa ekstrak OM (kontrol); dosis ekuivalen 1 pasang organ dibagi 1 individu (0.229 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 1 individu (0.114 mg/g BT); dosis ekuivalen 1 organ dibagi 7 individu (0.016 mg/g BT); dan dosis ekuivalen 1 organ dibagi 8 individu (0.014 mg/g BT).

Peubah Respons Kepiting Bakau

Dalam mengevaluasi respons kepiting bakau secara in vivo terhadap penyuntikan ekstrak OM, maka dibutuhkan beberapa peubah yang dapat dijadikan indikator keberhasilan perlakuan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

39 A. Persentase molting

Di mana:

Molt. = persentase molting (%)

ΣMolt. = jumlah kepiting yang molting setelah perlakuan (individu) Σ0 = jumlah awal kepiting yang diberi perlakuan (individu) B. Pertumbuhan

Pertumbuhan mutlak yang menjadi peubah terukur pada penelitian ini adalah pertambahan bobot tubuh (BT) dan lebar karapaks (LK) kepiting sesaat setelah molting (postmolt), dan tanpa molting.

Di mana:

PM = pertumbuhan mutlak (g) WMolt. = berat setelah molting (g) W0 = berat awal kepiting (g) C. Keserentakan Molting

Peubah keserentakan molting digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan akibat penyuntikan suatu perlakuan yang menghasilkan kepiting bakau molting pada waktu yang sama atau berdekatan. Data keserentakan molting diplotkan dan disajikan secara deskriptif berdasarkan waktu molting dalam satu kelompok perlakuan yang sama.

D. Kelangsungan Hidup

Di mana:

KH = kelangsungan hidup (%)

∑Hidup = jumlah kepiting yang hidup di akhir pengamatan (individu) ∑0 = jumlah awal kepiting yang diberi perlakuan (individu)

40

Peubah Kemajuan Molting A. Histologi Kaki Renang

Kaki renang kepiting difiksasi terlebih dahulu, kemudian didehidrasi menggunakan alkohol bertingkat dari 70% hingga 100% masing-masing selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan penjernihan dengan xylol tiga kali masing-masing selama 1 jam. Infiltrasi parafin dilakukan sebanyak 3 kali masing-masing selama 1 jam sebelum dibenamkan dalam parafin (56-58°C). Setelah pembenaman, jaringan dipotong dengan ketebalan 5 µm dan diwarnai dengan hematoksilin-eosin (modifikasi Kiernan 1990).

B. Koleksi dan Kuantifikasi Ekdisteroid

Pengambilan hemolimfa dilakukan dengan menggunakan syringe 1 ml dari pangkal kaki renang kepiting bakau uji. Penambahan 3 ml dietil eter ke dalam 1 ml dilakukan sebelum homogenisasi cairan menggunakan vorteks selama 30 detik. Cairan dalam tabung hasil homogenisasi didiamkan selama 2 menit, hingga menghasilkan lapisan supernatan yang mengandung steroid (Fujaya dan Trijuno 2007.

Kuantifikasi ekdisteroid dilakukan dengan mengikuti prosedur high performance liquid chromatography (HPLC) berdasarkan metode yang dilakukan Bathori dan Pongracz (2005), yaitu Separasi ekdisteroid menggunakan selective reversed-phase column (C18), dengan standar yang digunakan adalah 20-hydroxyecdyson (sigma).

Analisis Data

Data respons molting, pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan masa laten retraksi kepiting bakau dianalisis dengan analisis ragam (One Way ANOVA) dan diuji lanjut menggunakan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) dengan bantuan

software IBM SPSS statistics 20. Sementara hasil pengamatan retraksi epipodit kepiting bakau disajikan dalam bentuk gambar.

Gambar 17 Pengamatan kemajuan molting melalui kaki renang (Gambar A), dan epipodit secara in vivo (Gambar B).

41 Hasil

Respons Molting terhadap Penyuntikan Ekstrak Organ Mandibular

Lama waktu yang dibutuhkan kepiting bakau untuk molting dan persentase yang berhasil dicapai setelah penyuntikan ekstrak OM disajikan pada Gambar 18. Hasil analisis ragam (Lampiran 11), menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap respons molting kepiting bakau.

Gambar 18 Masa laten dan persentase molting kepiting bakau setelah penyuntikan ekstrak organ mandibular

Kepiting bakau yang dipelihara menunjukkan waktu molting berkisar antara 16 hingga 45 hari. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan masa laten tercepat yakni pada kisaran 16-20 hari (kontrol, dosis 0.114, 0.057, dan 0.038 mg/g BT), dan terlama yakni pada kisaran 41-45 hari (kontrol, dosis 0.114, 0.029, 0.014, dan 0.013 mg/g BT). Kepiting bakau dalam kelompok perlakuan kontrol menempati semua kisaran waktu yang telah diplotkan dibandingkan mayoritas kepiting dalam kelompok perlakuan penyuntikan ekstrak OM. Distribusi masa laten yang cukup luas pada kepiting bakau kelompok perlakuan kontrol menjadi indikator bahwa proses molting kepiting bakau terjadi secara tidak simultan.

42

Penyuntikan ekstrak OM dengan menggunakan dosis tunggal ekuivalen menghasilkan persentase molting yang beragam. Persentase molting tertinggi dihasilkan oleh kepiting dalam kelompok perlakuan dosis 0.016 mg/g BT, yakni sebesar 86.67%. Sementara kepiting dalam kelompok perlakuan kontrol sebesar 26.67%. Persentase molting perlakuan 0.016 mg/g BT yang jauh lebih tinggi mengindikasikan peranan OM sebagai stimulan bagi hormon molting. Menarik untuk dicermati bahwa pada beberapa perlakuan memiliki pengaruh yang sama berdasarkan hasil uji lanjut BNT, sedangkan penyuntikan yang digunakan adalah dosis ekuivalen yang berbeda. Dari hasil penelitian, menemukan hampir semua kepiting yang menerima perlakuan penyuntikan ekstrak OM selain perlakuan 0.016 mg/g BT menghasilkan respons molting yang tidak berbeda dengan kontrol. Pemberian dosis penyuntikan dengan konsentrasi tinggi tidak berhasil untuk meningkatkan persentase molting, demikian pula pada konsentrasi yang lebih rendah.

Kisaran hari

Gambar 19 Keserentakan molting (Gambar atas), dan komposisi perlakuan dominan 0.016 mg/g BT pada kisaran 26-35 hari (Gambar bawah).

43 Dengan adanya penelitian ini ditemukan dosis optimal yakni pada dosis ekuivalen 0.016 mg/g BT. Namun hasil penelitian tahap ini masih membutuhkan klarifikasi terkait kemajuan molting yang berhasil dicapai dengan dosis ekuivalen yang sama.

Penelitian ini berhasil memperoleh data keserentakan molting kepiting bakau. Data keserentakan molting tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu indikator respons terhadap penyuntikan ekstrak OM. Keserentakan molting kepiting memiliki keterkaitan yang erat dengan masa laten. Potensi hormon molting yang dimiliki oleh kepiting akan mempengaruhi lama waktu untuk molting, sementara keserentakan molting akan terjadi jika potensi hormon molting yang dimiliki individu relatif sama dengan jumlahnya yang stabil.

Keserentakan molting terjadi pada kisaran 16-25, 26-35 dan 36-45 hari. Kisaran hari yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah 26-35 hari dengan jumlah 55 individu, disusul kisaran 36-45 dan 16-25 masing-masing 26 dan 15 individu. Dari data keserentakan molting tertinggi pada kisaran 26-35 hari, perlakuan dosis 0.016 mg/g BT memberikan kontribusi terbesar yaitu 26 individu. Keserentakan molting yang terjadi kembali mempertegas peranan ekstrak OM sebagai stimulan.

Respons Pertumbuhan terhadap Penyuntikan Ekstrak Organ Mandibular Pertumbuhan pada kepiting dan kerabatnya memiliki tahapan-tahapan yang menjadi ciri khas sehingga berbeda dengan hewan lainnya. Beberapa tahapan perkembangan tersebut menjadikan BT dan LK bertambah. Pertambahan BT dan LK kepiting bakau selama pemeliharaan disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Pertumbuhan mutlak kepiting bakau postmolt dan tanpa molting

Dosis (mg/g BT)

Postmolt Tanpa Molting Bobot Tubuh (g) Lebar Karapaks (mm) Bobot Tubuh (g) Lebar Karapaks (mm) Kontrol 27.70±6.67a 11.42±0.41a 7.73±0.07a 3.60±0.79a 0.229 26.33±4.62a 11.13±2.05a 7.74±0.91a 3.83±0.17a 0.114 28.56±4.82a 11.08±0.90a 7.92±1.08a 3.84±0.32a 0.057 30.50±3.27a 12.27±2.15a 7.58±0.63a 3.53±0.11a 0.038 28.00±5.57a 11.30±2.75a 7.15±0.55a 3.47±0.25a 0.029 26.83±1.61a 12.08±1.78a 7.25±0.25a 3.95±0.56a 0.023 29.00±1.73a 11.57±0.90a 7.76±0.33a 3.56±0.15a 0.019 31.11±1.17a 12.02±0.75a 7.83±0.29a 3.89±0.21a 0.016 31.67±0.73a 12.14±0.30a 9.83±0.29b 3.68±0.27a 0.014 29.33±2.89a 12.59±1.50a 7.98±0.81a 3.72±0.05a 0.013 27.81±2.87a 11.02±0.65a 8.06±0.83a 3.60±0.21a 0.011 29.42±1.50a 11.78±0.88a 7.97±0.82a 3.57±0.23a 0.010 30.33±1.53a 12.00±1.50a 8.04±0.19a 3.51±0.19a Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda (P<0.05), n=30.

44

Hasil analisis ragam (Lampiran 12), menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM pada kepiting bakau tidak memberikan pengaruh berbeda (P>0.05) terhadap pertambahan BT dan LK sesaat setelah molting. Rata-rata pertambahan BT kepiting bakau yang berhasil dicapai setelah molting adalah 28.97±3.30 g, dengan LK 11.72±1.30 mm. Pertambahan BT tertinggi dapat dicapai oleh kepiting bakau dalam kelompok perlakuan dosis 0.016 mg/g BT yakni seberat 31.67±0.73 g, dengan ukuran LK 12.14±0.30 mm. Pertambahan BT terendah ditemukan pada kepiting bakau dalam kelompok perlakuan dosis 0.229 mg/g BT yakni 26.33±4.62 g dengan ukuran LK 11.13±2.05 mm.

Sementara hasil analisis ragam terhadap data pertumbuhan kepiting bakau tanpa molting (Lampiran 13) menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM memberikan pengaruh berbeda (P<0.05) terhadap pertambahan BT, namun tidak berpengaruh terhadap pertambahan LK kepiting bakau. Beberapa individu kepiting bakau yang tidak mengalami molting hingga akhir pengamatan mengalami pertambahan BT dan LK, meskipun pertambahan tidak sebesar pada saat postmolt. Rata-rata pertambahan BT kepiting bakau tanpa molting yang berhasil dicapai adalah seberat 7.91±0.79 g, dengan LK sepanjang 3.67±0.31 mm. Dari hasil uji lanjut, pertambahan BT kepiting bakau dalam kelompok perlakuan 0.016 mg/g BT menunjukkan respons berbeda dibandingkan perlakuan lainnya. Kepiting bakau dalam kelompok tersebut menujukkan pertambahan BT seberat 9.83±0.29 g, jauh lebih besar dibandingkan kontrol yang hanya mencapai 7.73±0.07 g. Sementara hasil pengukuran LK pada kepiting bakau dalam kelompok perlakuan 0.016 mg/g BT dan perlakuan lainnya ditemukan data yang relatif sama.

Data yang diperoleh tersebut menjadi menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, oleh karena respons yang dihasilkan dari penyuntikan menunjukkan perbedaan pertumbuhan dari aspek BT yang hanya terjadi pada kepiting bakau sebelum berhasil molting. Sementara respons yang ditunjukkan oleh kepiting bakau yang berhasil molting adalah sama, baik dari pertambahan BT maupun LK.

Kelangsungan hidup kepiting bakau setelah penyuntikan ekstrak Organ Mandibular

Hasil analis ragam terhadap data kelangsungan hidup kepiting bakau (Lampiran 14) menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM memberi pengaruh berbeda (P<0.05) terhadap kelangsungan hidup hingga akhir pengamatan. Rata-rata kelangsungan hidup kepiting bakau setelah penyuntikan ekstrak OM disajikan dalam Tabel 4.

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari kepiting bakau dalam kelompok perlakuan kontrol memberikan respons berbeda dengan kelompok perlakuan lainnya. Kepiting bakau dalam kelompok perlakuan dosis 0.038, 0.029, 0.019, 0.016, 0.014, 0.013, dan 1.13 mg/g BT menghasilkan respons kelangsungan hidup tertinggi, yakni 100%.

Parameter kualitas air pada akhir tahun yang dikuatirkan berakibat buruk terhadap pemeliharaan kepiting bakau dapat ditepis dengan adanya data mortalitas rendah. Kepiting bakau yang telah disuntik ekstrak OM dan dipelihara dalam media pemeliharaan dalam kisaran salinitas 32±1.44 - 33±2.14 ppt mampu bertahan hidup dengan baik. Selain itu kisaran suhu air yang tinggi, yakni

45 30.5±1.35 - 34.1±1.54°C ikut mempertegas bahwa kondisi kepiting setelah penyuntikan relatif adaptif sehingga tidak mengalami mortalitas yang tinggi pada kondisi lingkungan tersebut.

Tabel 4 Kelangsungan hidup kepiting bakau setelah penyuntikan ekstrak organ mandibular

Dosis (mg/g BT) Kelangsungan hidup (%)

Kontrol 76.67c 0.229 93.33b 0.114 96.67abd 0.057 96.67abd 0.038 100a 0.029 100a 0.023 93.33bd 0.019 100a 0.016 100a 0.014 100a 0.013 100a 0.011 96.67abd 0.010 100a

Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda (P<0.05), n=30. Masa Laten Retraksi

Masa laten retraksi merupakan waktu yang dibutuhkan oleh kepiting bakau untuk mencapai kemajuan molting yang diindikasikan adanya retraksi pada kutikula. Masa laten yang diperoleh dari hasil penelitian ini disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20 Masa laten melalui retraksi kaki renang kepiting bakau, (*) berbeda nyata P<0.05 terhadap perlakuan lainnya

46

Perlakuan penyuntikan ekstrak OM menghasilkan respons yang berarti (P<0.005) berupa retraksi pada kaki renang dan epipodit kepiting (Lampiran 15). Dari hasil uji lanjut, diperoleh bahwa perlakuan 0.016 mg/g BT memiliki rata-rata masa laten tercepat yang signifikan berbeda dibandingkan perlakuan lainnya. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh kepiting yang menerima perlakuan 0.016 mg/g BT adalah 15.73 hari, sementara perlakuan kontrol, dosis 0.229, 0.114, dan 0.014 mg/g BT masing-masing 25.93, 26.07, 27.13, dan 25.87 hari hingga menunjukkan respons terhadap penyuntikan ekstrak OM. Hasil ini sekaligus mengkonfirmasi dosis penyuntikan pada tahapan penelitian sebelumnya.

Retraksi epipodit dan histologi kaki renang

Indikasi kemajuan molting mulai terlihat pada kepiting bakau di hari ke-14 melalui pengamatan visual pada kaki renang, namun indikasi tersebut masih sangat sedikit dan belum terlihat serentak. Pada hari ke-16 setelah penyuntikan ekstrak OM, perlakuan 0.016 mg/g BT menunjukkan kemajuan yang lebih serentak sehingga pengamatan retraksi dilakukan terhadap kepiting uji.

Pengamatan retraksi epipodit kepiting bakau menunjukkan bahwa perlakuan kontrol, 0.229, 0.114, dan 0.014 mg/g BT belum menunjukkan retraksi epipodit pada hari ke 16, sehingga respons kemajuan molting terhadap penyuntikan ekstrak OM belum dapat diamati pada kepiting-kepiting uji. Sementara pada kepiting yang mendapatkan perlakuan penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT menunjukkan respons berupa retraksi epipodit. Hasil pengamatan retraksi epipodit pada hari ke-16, sekaligus mempertegas pengamatan visual terhadap kaki renang.

Dokumen terkait