• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANDIBULAR KEPITING BAKAU Scylla olivacea PADA FASE INTERMOLT DAN FASE PREMOLT

Abstrak

Farnesoate Acid Methyl Transferase (FAMeT) merupakan enzim yang berperan dalam mengubah AF menjadi MF, sehingga berperan dalam stimulasi reproduksi dan pergantian cangkang krustasea. Kajian ini dilakukan pada kepiting bakau jenis S. olivacea yang berada pada fase intermolt dan premolt. Tahapan penelitian ini bertujuan melakukan validasi keberadaan MF dalam OM melalui FAMeT, dan menentukan donor OM terbaik untuk dijadikan ekstrak stimulan bagi molting kepiting bakau. Dalam kajian ini proses ganti cangkang dapat diamati melalui ekspresi mRNA penyandi FAMeT dari OM. Ekspresi mRNA penyandi FAMeT memperlihatkan perbedaan tiap fase yang diamati. Konsentrasi total RNA hasil ekstraksi terendah pada sampel intermolt dan tertinggi saat

premolt. Hasil visualisasi produk PCR memperlihatkan amplikon RNA sepanjang 450 bp. Demikian juga, pengukuran konsentrasi total RNA penyandi FAMeT menunjukkan peningkatan dari fase intermolt menuju premolt. Hasil yang diperoleh menyarankan penggunaan donor OM dalam fase premolt.

Kata kunci: Ekspresi mRNA, FAMeT, Intermolt, Kepiting, Premolt

Pendahuluan

Perkembangan siklus molting pada kepiting dan kerabatnya dapat terinisiasi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mengakibatkan munculnya premolt

lebih awal adalah kehadiran stimulasi secara internal, sehingga berlanjut ke proses pergantian cangkang atau dikenal dengan molting. Kehadiran hormon molting dan pemicu sekresinya, seperti MF merupakan stimulasi internal yang mengakibatkan kemajuan molting berlangsung. Dalam perkembangan kajiannya, molting dikenal sebagai siklus yang berlangsung lama dalam hidup sehingga prosesnya terbagi ke dalam beberapa fase yakni intermolt, premolt, ekdisis, dan postmolt.

Proses molting merupakan aktivitas fisiologis yang kompleks dan silih berganti. Hormon merupakan salah satu agen yang berperan dalam aktivitas tersebut, merupakan suatu zat yang disintesis dalam suatu organ untuk bekerja pada sel yang sama tempatnya disintesis (autokrin) atau ditransportasikan oleh sistem sirkulasi dan selanjutnya bekerja pada sel-sel lain (parakrin). Pada proses molting, hormon mengalami fluktuasi dalam tiap fase molting yakni berhubungan dengan waktu sintesis dan sekresi oleh organ penghasil.

Hormon yang telah dikenal luas dan memiliki peranan sebagai hormon molting adalah 20-HE. Ekdison disintesis dan disekresikan oleh organ Y dan menjadi prekursor bagi 20-HE. Hormon molting bekerja parakrin untuk sel-sel reproduksi dan pertumbuhan. Tangkai mata, gonad dan hepatopankreas merupakan organ target eksdisteroid untuk bekerja menstimulasi perkembangan gonad dan pertumbuhan (Nagaraju 2011). Hormon molting ini mengalami peningkatan hingga menjelang ekdisis, sebagaimana pada kepiting laba-laba L. emarginata (Laufer et al. 2002), udang galah M. rosenbergii (Wilder et al. 1995).

27 FAMeT merupakan enzim yang berperan penting dalam mengubah AF menjadi MF. Distribusi RNA FAMeT pada udang batu Metapenaeus ensis telah dilaporkan oleh Gunawardene (2002) yang mengindikasikan bahwa enzim tersebut memiliki keterlibatan secara fisiologi terhadap proses yang sedang berlangsung. Sementara MF dikenal sebagai seskuiterpenoid yang berperan dalam reproduksi dan molting. Peranan FAMeT menjadi penting, oleh karena peranannya sebagai konverter bagi AF. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi keberadaan MF dalam OM adalah dengan mengevaluasi ekspresi mRNA penyandi FAMeT. Data terkait ekspresi mRNA penyandi FAMeT tersebut belum tersedia, sedangkan informasinya sangat berguna dalam menentukan fase molting terbaik untuk dijadikan calon donor OM. Kajian ekspresi mRNA penyandi FAMeT dalam OM kepiting bakau penting untuk dilakukan, sehingga menjadi tahap validasi keberadaan MF dalam ekstrak OM sebelum diaplikasikan. Tahapan penelitian ini diperlukan untuk menunjang hasil yang diperoleh terkait korelasi faktor-faktor dependen terhadap OM. Penelitian tahap ini bertujuan mengamati ekspresi mRNA penyandi FAMeT dari OM kepiting bakau jenis S. olivacea dalam fase intermolt dan premolt, dan menentukan pola peningkatannya menjelang molting. Sehingga hasil yang diperoleh berguna dalam mempertegas pengambilan keputusan dalam menentukan donor OM bagi kepiting bakau yang dipelihara di tambak.

Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian tahap ini dilakukan di Laboratorium Pendidikan dan Layanan, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Penelitian berlangsung pada bulan Juni hingga November 2015.

Kepiting Uji

Kepiting uji adalah kepiting bakau jenis S. olivacea dalam kondisi sehat, yang ditunjukkan dengan ciri-ciri anggota tubuh lengkap, tidak adanya biofouling, dan respons agresif terhadap gangguan. Kepiting diperoleh dan disortir dari hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk menyeragamkan sampel maka kepiting yang dipilih berukuran sekitar 100 g/individu.

Ekstraksi RNA

Ekstraksi RNA dilakukan untuk memperoleh total RNA dari OM kepiting bakau S.olivacea dengan menggunakan RNeasy Mini Kit Qiagen sesuai instruksi perusahaan, yakni 30 mg OM dihaluskan menggunakan mortar dingin, kemudian ditambahkan 600 µl bufer RLT. Larutan dimasukkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml bebas RNase kemudian dihomogenisasi dengan syringe dan needle 20 gauge

sebanyak 5 kali dan disentrifugasi pada kecepatan 14000 rpm durasi 3 menit dalam suhu 20°C. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml yang baru kemudian ditambahkan 1 kali volume etanol 70% untuk dihomogenkan. Pemindahan 700 µl sampel ke dalam spin column volume 2 ml bebas RNase

28

untuk disentrifugasi dengan durasi 15 detik pada kecepatan 14000 rpm. Proses pencucian dilakukan dengan 700 µl bufer RW 1 dan disentrifugasi durasi 15 detik pada kecepatan 14000 rpm. Larutan pencuci pada tabung dibuang dan ditambahkan 500 µl bufer RPE ke dalam spin column kemudian disentrifugasi dengan durasi 15 detik pada kecepatan 14000 rpm. Pencucian dengan bufer RPE dilakukan sebanyak 2 kali dan selanjutnya spin column disentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan 14000 rpm untuk meyakinkan bahwa dalam spin column

tidak terdapat bufer RPE yang tersisa. Selanjutnya Spin column RNeasy ditransfer ke dalam tabung mikro bebas RNase volume 1.5 µl, ditambahkan 50 µl air bebas RNase ke dalam spin column untuk disentrifugasi durasi 1 menit dalam kecepatan 14000 rpm. Larutan yang berada dalam tabung mikro merupakan total RNA hasil ekstraksi yang diinginkan.

Uji Kualitas Total RNA Hasil Ekstraksi

Pengujian kualitas total RNA hasil ekstraksi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengujian secara kualitatif dilakukan dengan PCR menggunakan primer ß-aktin. Kondisi PCR β-aktinF dan β-aktinR dengan panjang 202 bp (mengikuti Zeng et al. 2013), yaitu sintesis cDNA 45°C selama 30 menit, pre-denaturasi 95°C selama 30 detik, 50× (95°C selama 10 detik, 60°C selama 30 detik, 72°C selama 20 detik), dan 72°C selama 10 menit. Visualisasi hasil RT-PCR untuk β-aktin menggunakan gel agarose 2% dalam bufer TAE 1× dengan menggunakan pewarna etidium bromida 0.5 µg/ml (Sunarti 2016).

Pengujian kuantitas dilakukan untuk mengetahui konsentrasi total RNA dan tingkat kemurniannya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 dan 280 nm (Sunarti 2016).

Sintesis dan Amplifikasi cDNA

RNA penyandi FAMeT diamplifikasi menggunakan kit SuperScript III OneStep RT-PCR with Platinum Taq Polimerase Invitrogen, sesuai instruksi perusahaan. FAMeTQ1 5′-GGCACGGACGAGAACAA-3′ dan FAMeTQ2 5′ -GCGACGCTGAAGGAGAT-3′ dengan panjang 450 bp, merupakan primer spesifik yang digunakan dalam amplifikasi. Kondisi PCR untuk primer FAMeTQ1 dan FAMeTQ2 yaitu sintesis cDNA 45°C selama 30 menit, pre-denaturasi 94°C selama 2 menit, 35× (94°C selama 30 detik, 50°C selama 1 menit, 72°C selama 30 detik), dan 72°C selama 10 menit (modifikasi Yang et al. 2012). Visualisasi hasil RT-PCR untuk FAMeT dilakukan menggunakan gel agarose 1.5% dan dalam bufer TAE 1× dengan menggunakan pewarna etidium bromida 0.5 µg/ml (Sunarti 2016).

Ekspresi mRNA Penyandi FAMeT

Ekspresi mRNA penyandi FAMeT dari OM kepiting bakau S. olivacea

ditentukan melalui hasil spektrofotometer, yakni pada panjang gelombang 260 dan 280 nm (Sunarti 2016).

29

Hasil Konfirmasi RNA hasil ekstraksi

Hasil amplifikasi dengan primer β-aktin menggunakan PCR, diperoleh amplikon gen β-aktin kepiting berukuran 202 bp yang jelas terlihat pada semua sampel baik pada sampel kepiting fase intermolt maupun premolt (Gambar 12). Selain uji kualitatif dengan β-aktin, hasil ekstraksi juga diuji secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Kemurnian RNA ditentukan melalui perbandingan nilai absorbansi 260 nm dengan 280 nm (Sunarti 2016).

Gambar 12 Amplifikasi PCR β-aktin mRNA dari organ mandibular kepiting bakau S. olivacea. M: marker 100 bp, I.1–I.3: Fase intermolt, P.1–P.3: Fase premolt, KM: kontrol mix tanpa templat, M: marker 100 bp. Analisis semi kuantitatif RT-PCR menunjukkan hasil yang cukup bervariasi pada masing-masing sampel. Rata-rata konsentrasi total RNA hasil ekstraksi tertinggi terlihat pada sampel fase premolt sebesar 117.4 ng/µl dan terendah pada sampel fase intermolt sebesar 93.5 ng/µl dengan tingkat kemurnian 260/280 yang dikategorikan sangat baik yakni berada pada kisaran nilai 2.11 hingga 2.13 dari semua sampel (Lampiran 9).

Ekspresi mRNA Penyandi FAMeT

Visualisasi produk PCR mRNA penyandi FAMeT S. olivacea

memperlihatkan amplikon sepanjang 450 bp sesuai target (Gambar 13 dan 14). Pengukuran dengan semi-kuantitatif PCR menunjukkan konsentrasi produk PCR yang berbeda antara kepiting bakau dalam fase intermolt dengan premolt. Konsentrasi ekspresi mRNA penyandi FAMeT yang diperoleh dalam fase

100 200 300 1000 1517

30

intermolt adalah 752.8, 759.6, dan 764.1 ng/µl, sementara dalam fase premolt

adalah 807.2, 791.8, dan 800.2 ng/µl. Nilai tersebut mengindikasikan terjadinya peningkatan ekspresi mengarah ke fase premolt, yakni fase akhir sebelum ekdisis (Lampiran 10).

Gambar 13 Amplifikasi PCR mRNA penyandi FAMeT dari kepiting bakau S. olivacea fase intermolt

menggunakan primer FAMeTQ1 dan FAMeTQ2. KM: kontrol mix tanpa templat, M: marker 100 bp, I.1–I.3: Fase intermolt.

Gambar 14 Amplifikasi PCR mRNA penyandi FAMeT dari kepiting bakau S. olivacea fase premolt

menggunakan primer FAMeTQ1 dan FAMeTQ2. KM: kontrol mix tanpa templat, M: marker 100 bp, P.1–P.3: Fase premolt.

Pembahasan

Keberhasilan deteksi mRNA penyandi FAMeT dalam OM merupakan pembuka tahapan penelitian selanjutnya. Keberhasilan deteksi tersebut memberikan harapan bagi aplikasi ekstrak OM pada kepiting bakau, karena di dalamnya ditemukan keberadaan FAMeT. Aplikasi ekstrak OM kepiting bakau S. olivacea masih membutuhkan banyak kajian pendahuluan. Beberapa penelitian pada krustasea telah membuktikan peranan OM dalam proses fisiologi, misalnya dalam reproduksi dan molting (Gunawardene 2002), beberapa spesies seperti lobster air tawar capit merah C. quadricarinatus (Abdu et al. 2001), kepiting laba-laba L. emarginata (Laufer et al. 2002), kepiting air tawar O. senex senex (Reddy

et al. 2004).

Hasil penelitian menemukan amplikon gen β-aktin kepiting bakau berukuran 202 bp. Keberhasilan deteksi menggunakan gen β-aktin pada semua kepiting uji mengindikasikan validitas keberadaan mRNA FAMeT dalam OM hasil ekstraksi. Keberadaan mRNA FAMeT tersebut tidak hanya pada kepiting

bp KM I.1 I.2 I.3

900 500 300 M bp M P.1 P.2 P.3 900 500 300 KM

31 bakau dalam fase intermolt melainkan juga dalam fase premolt. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer β-aktin menjadi tahapan awal yang menentukan keberhasilan deteksi ekspresi mRNA selanjutnya.

Selain uji kualitatif dengan gen β-aktin, hasil ekstraksi juga diuji secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 dan 280 nm. Panjang gelombang 260 nm merupakan serapan maksimum untuk asam nukleat, sedangkan panjang gelombang 280 nm merupakan serapan maksimum untuk protein (Sambrook et al. 1989). Kemurnian RNA ditentukan melalui perbandingan nilai absorbansi 260 nm dengan 280 nm, yang menghasilkan kisaran dalam kategori baik. Hasil yang diperoleh memberikan gambaran proses fisiologi pada kepiting bakau yang berada pada fase intermolt dan premolt.

Dalam fase intermolt dan premolt, kepiting bakau mengalami perubahan fisiologi yang terjadi secara berangsur-angsur hingga memasuki proses ganti cangkang. Pencadangan energi yang berlangsung cukup lama terjadi pada masa

intermolt, selanjutnya tubuh mempersiapkan diri untuk berganti ke fase persiapan molting. Di lapangan, pendekatan morfologis seringkali digunakan untuk mengamati fase molting, dan keterampilan tersebut sangat berguna untuk membedakan fase perkembangannya. Dalam kajian ini, kesiapan secara fisiologi untuk memasuki proses ganti cangkang dapat diamati melalui ekspresi mRNA penyandi FAMeT yang diperoleh dari OM sebagai penghasil MF.

Visualisasi terhadap produk PCR RNA penyandi FAMeT berhasil mendapatkan amplikon RNA sesuai target yakni 450 bp, sementara hasil spektrofotometer ikut mempertegas peningkatan ekspresi menuju fase akhir sebelum ekdisis. Peningkatan tersebut menandakan kepiting bakau mengalami kemajuan molting yang sedang berlangsung aktif. Perubahan ekspresi mRNA penyandi FAMeT yang terjadi pada fase intermolt dan premolt mengindikasikan keberadaan aktivitas enzim terkait persiapan molting pada kepiting bakau. Menurut Liu et al. (2010) FAMeT merupakan enzim yang memiliki peranan penting sebagai katalisator AF sehingga menjadi MF, menjadikan S-adenosyl methionine sebagai kofaktor di akhir sintesis.

Ekspresi mRNA FAMeT memberi gambaran sintesis MF yang berlangsung dalam OM seiring fase-fase molting. Peningkatan ekspresi FAMeT yang diamati dalam penelitian ini juga mempertegas peranan FAMeT sebagai konverter AF, menjadi MF pada masing-masing fase molting kepiting bakau. Peningkatan ekspresi FAMeT dalam OM pada fase premolt diduga terkait erat dengan kehadiran sejumlah enzim yang bekerja mengkonversi AF menjadi produk seskuiterpenoid. Kerja enzim tersebut menghasilkan produk yang dikenal dengan MF. Keterkaitan antara keberadaan ekspresi mRNA, peranan FAMeT dalam fase-fase molting, dan produk MF yang dihasilkan semakin jelas tergambarkan melalui hasil penelitian ini yang mempertegas produk spesifik MF sebagai kandungan OM. Sebagaimana Laufer et al. (1987) melaporkan bahwa MF merupakan produk spesifik yang hanya dihasilkan dalam OM.

Lebih lanjut produk spesifik dari OM yakni MF tersebut akan berperan dalam fisiologi kepiting bakau. Seskuiterpenoid MF dalam OM akan disintesis dan disekresikan ke hemolimfa menuju organ target. MF yang dihasilkan akan dilepaskan keluar organ dengan bantuan MF binding protein sebagai transporter dalam hemolimfa menuju organ target. Salah satu organ target MF yakni OY, yang akan meregulasi reproduksi dan molting melalui produksi ekdisteroid.

32

Pelepasan MF menuju OY akan menstimulasi sintesis ekdisteroid, sehingga kepiting dan kerabatnya memasuki fase premolt. Peningkatan level ekdisteroid terkait erat dengan kemajuan fase molting, misalnya pada kepiting laba-laba spesies L. emarginata (Laufer et al. 2002).

Hasil spektrofotometer terhadap produk PCR menunjukkan perbedaan konsentrasi ekspresi mRNA penyandi FAMeT antara fase yang diamati. Ekspresi mRNA pada fase premolt ditemukan lebih tinggi dibandingkan fase intermolt. Konsentrasi ekspresi mengindikasikan kemajuan proses molting kepiting bakau, di mana peningkatan konsentrasi tersebut mengalami peningkatan pada fase akhir sebelum ekdisis. Berlangsungnya peningkatan ekspresi mRNA dalam fase

premolt didukung oleh data peningkatan bobot OM pada penelitian sebelumnya, sehingga data peningkatan ekspresi mempertegas peranan FAMeT dalam mengkonversi AF menjadi MF. Gunawardene (2002) melaporkan bahwa MF terdapat pada fase reproduksi dan molting krustasea. Dengan ditemukannya ekspresi mRNA FAMeT pada OM kepiting bakau, penelitian ini ikut membuktikan bahwa MF terdapat dalam fase-fase molting. Sementara konsentrasi ekspresi mRNA penyandi FAMeT antara fase intermolt dan premolt yang tidak jauh berbeda diasumsikan sebagai nilai konsentrasi yang normal pada kepiting bakau, oleh karena belum ada nilai standar konsentrasi yang dapat dijadikan rujukan. Pada udang, ekspresi FAMeT dalam OM memperlihatkan tingkat ekspresi yang rendah jika dibandingkan dengan organ lainnya (Gunawardene 2002). Sehingga peneliti mengasumsikan bahwa ada kemungkinan biosintesis akhir MF dikatalisis oleh enzim FAMeT yang berada di beberapa jaringan. Fenomena tersebut di atas membuka peluang kajian MF terbaru yang berasal dari selain OM.

Hasil spektrofotometer belum dapat dijadikan tolak ukur bagi keberhasilan OM dalam mensintesis dan mensekresi MF. Namun hasil yang dicapai dalam penelitian ini berhasil menggambarkan peningkatan peranan MF melalui RNA FAMeT yang berasal dari OM kepiting bakau. Selain pada kepiting bakau, pengamatan ekspresi mRNA FAMeT sebelumnya telah dilaporkan pada spesies arthropoda lainnya, misalnya udang batu spesies M. ensis (Gunawardene 2002), kepiting spesies C. pagurus (Ruddell et al. 2003), dan wereng coklat spesies

Nilaparvata lugens (Liu et al. 2010).

Ekspresi mRNA FAMeT tidak hanya ditemukan pada OM, namun beberapa organ juga menunjukkan ekspresi enzim tersebut (Gunawardene 2002; Ruddell et al. 2003; Liu et al. 2010; Yang et al. 2012). Meskipun fungsi dari keberadaan enzim FAMeT dalam organ selain OM masih belum dapat dibuktikan peranannya. Karena itu, Yang et al. (2012) mencurigai bahwa FAMeT juga terlibat dalam proses metilasi pada beberapa molekul bioaktif dan tidak hanya mengkatalisis biosintesis MF selama perkembangan dan reproduksi krustasea. Keberadaan beragam bentuk FAMeT kemungkinan terkait mekanisme kontrol untuk mengatur sintesis MF melalui pengaturan ekspresi pengaktifan bentuk enzim yang mengkatalisis tahap akhir konversi AF menjadi MF (Kuballa et al. 2007).

Penelitian ini masih terbatas pada OM dan belum dapat mengungkap lebih dalam interaksi pengaturan FAMeT antara OM dan organ atau jaringan lainnya yang kemungkinan menghasilkan peran berbeda. Oleh karenanya masih sangat terbuka peluang untuk mendalami keberadaan dan peran enzim tersebut.

33

Simpulan

Kepiting bakau yang berada dalam fase intermolt dan premolt menunjukkan ekspresi mRNA penyandi FAMeT yang berbeda. FAMeT yang berperan penting sebagai enzim dalam mengubah AF menjadi MF, memiliki konsentrasi total mRNA terendah pada fase intermolt dan menunjukkan konsentrasi paling tinggi dalam fase premolt. Hasil visualisasi RNA penyandi FAMeT memperlihatkan amplikon sepanjang 450 bp. Indikasi perubahan molekuler kemajuan molting dapat diamati dari hasil pengukuran konsentrasi total mRNA penyandi FAMeT.

34

5 RESPONS KEPITING BAKAU Scylla olivacea DALAM

Dokumen terkait