• Tidak ada hasil yang ditemukan

DENGAN BOBOT TUBUH, BOBOT ORGAN Y, JENIS KELAMIN, FASE INTERMOLT DAN FASE PREMOLT

KEPITING BAKAU Scylla olivacea

Abstrak

Siklus molting pada kepiting dan kerabatnya dapat terinisiasi oleh berbagai faktor. Molting merupakan siklus perkembangan sehingga dikenal beberapa fase yakni intermolt, premolt, ekdisis atau molting, dan postmolt. Dalam perkembangannya, fase molting banyak melibatkan proses fisiologis yang kompleks dan silih berganti. Salah satu zat yang memiliki peranan cukup besar dalam pengaturan tersebut adalah hormon. Hormon yang telah dikenal luas dan memiliki peranan sebagai hormon molting adalah ekdisteroid, sementara MF masih sedikit dikaji. Perbedaan bobot tubuh (BT), jenis kelamin diduga dapat mempengaruhi proses fisiologi sehingga berdampak pada fluktuasi hormon yang terlibat dalam proses molting. Data hubungan BT, bobot OM, dan bobot OY pada kepiting bakau jantan dan betina dalam fase molting berbeda belum dipelajari. Sementara OM memiliki kandungan MF, dan OY mengandung ekdisteroid, sehingga pertambahan bobot organ-organ tersebut dapat dijadikan representasi peningkatan kandungannya. Hasil penelitian menunjukkan bobot OM mengalami pertambahan ukuran seiring pertambahan BT, sementara bobot OM bertindak sebagai determinan bagi bobot OY. Pertambahan bobot OM dan OY menunjukkan peningkatan ukuran sejalan dengan kemajuan molting, sehingga pada fase premolt ukuran kedua organ tersebut mengalami peningkatan yang cukup pesat. Jika dibandingkan antara kedua jenis kelamin kepiting tersebut, maka bobot OM dan OY lebih besar pada kepiting jantan dibandingkan kepiting betina.

Kata kunci: bobot tubuh, intermolt, kepiting, mandibular, organ Y, premolt. Pendahuluan

Antara OM dan OY pada beberapa spesies krustasea memiliki kesamaan dalam ukurannya (Yudin et al. 1980), namun pada kepiting bakau belum diketahui. Demikian pula faktor penting lainnya seperti pertambahan BT, jenis kelamin, dan fase molting, belum ada laporan terkait hubungannya dengan OM. Sementara itu, perkembangan siklus molting pada kepiting dan kerabatnya dapat diindikasikan oleh perubahan-perubahan fisik. Misalnya pada perubahan morfologi dan perubahan jaringan integumen yang dapat diamati sebagai indikator perkembangan molting (Skinner 1985). Sehingga molting sebagai proses perkembangan di dalamnya dikenal beberapa fase meliputi intermolt, premolt, ekdisis atau molting, dan postmolt.

Dalam perkembangannya fase molting banyak melibatkan proses fisiologis yang kompleks dan silih berganti. Salah satu zat yang memiliki peranan cukup besar dalam pengaturan tersebut adalah hormon. Hormon merupakan suatu zat yang disintesis dalam suatu organ untuk bekerja pada sel yang sama tempatnya

14

disintesis (autokrin) atau ditransportasikan oleh sistem sirkulasi untuk bekerja pada sel-sel lain (parakrin). Hormon pada kepiting memiliki fluktuasi pada masing-masing perkembangan fase molting, hal tersebut terkait dengan waktu sintesis dan ekskresi oleh organ penghasil atau stimulasi on dan off terhadap molting (Skinner 1985).

Organ-organ yang berperan dalam fisiologi banyak memiliki kemampuan untuk mensintesis hormon. Misalnya OY yang menghasilkan hormon molting (Skinner 1985; Nagaraju et al. 2004). Hormon yang telah dikenal luas dan memiliki peranan sebagai hormon molting tersebut adalah 20-hidroksiekdison (20-HE). Ekdison disintesis dan disekresikan oleh OY, selanjutnya berperan sebagai prekursor bagi 20-HE. Hormon molting bekerja parakrin untuk sel-sel reproduksi dan pertumbuhan. Tangkai mata, gonad dan hepatopankreas merupakan organ target eksdisteroid untuk bekerja menstimulasi perkembangan gonad dan pertumbuhan (Nagaraju 2011). Hormon molting ini mengalami peningkatan hingga menjelang molting, sebagaimana pada kepiting laba-laba L. emarginata (Laufer et al. 2002), M. rosenbergii (Wilder et al. 1995). Peranan OY dalam mensintesis dan mensekresikan ekdisteroid diduga terkait peningkatan bobot OM, BT, jenis kelamin, dan fase molting.

Selain OY, OM yang terletak pada tangkai tendon mandibular juga mengandung MF. Namun, fungsi fisiologis MF pada krustasea masih kurang mendapat perhatian untuk dikaji lebih detail. Beberapa peneliti telah melaporkan peranan MF untuk reproduksi (Laufer et al. 1993) dan pertumbuhan (Yudin et al.

1980; Abdu et al. 2001). Sintesis MF pada OM diatur oleh suatu neuropeptida pada kelenjar sinus tangkai mata yang dikenal sebagai MO-IH, hormon tersebut berperan negatif terhadap biosisntesis MF (Laufer et al. 1993). Penyuntikan ekstrak kelejar sinus secara in vivo oleh Tsukimura dan Borst (1992), menunjukkan penurunan level MF pada hemolimfa H. americanus dengan cepat. Demikian pula pembuktian secara in vitro inkubasi OM dengan ekstrak kelenjar sinus pada Cancer pagurus juga menghambat kerja sintesis oleh OM (Wainwright et al. 1996).

Hasil histologi oleh Le Roux (1968) memperlihatkan tampilan OM yang aktif selama premolt. Hasil histologi tersebut menimbulkan perbincangan terkait peran OM terhadap molting, bahkan menduga OM sebagai penghasil hormon molting (Nagaraju 2007). Sejalan dengan penelitian pada C. sapidus, Penaeus setiferus (Yudin et al. 1980), C. magister (Tamone dan Chang 1993) mengungkap bahwa MF yang dihasilkan OM berperan menstimulasi OY. Dipertegas pula dengan peningkatan level MF hemolimfa selama premolt dan penurunan segera setelah molting (Laufer et al. 2005).

Fluktuasi hormon molting dan MF terkait dengan fase-fase molting (Laufer

et al. 2005). Perbedaan bobot, jenis kelamin diduga dapat mempengaruhi proses fisiologis yang berdampak pada fluktuasi hormon molting. Fluktuasi kandungan masing-masing organ penghasil hormon, maupun kandungan hemolimfa pada fase tertentu diasumsikan berkorelasi dengan pengaturan fisiologi krustasea. Kandungan MF dalam OM pada kepiting bakau boleh jadi terkait dengan 20-HE yang berfluktuasi pada OY dan dalam aliran hemolimfa.

Hubungan bobot OM dengan BT, bobot OY, berdasarkan jenis kelamin dan fase molting kepiting bakau, perlu diketahui sebagai acuan bagi pengembangan ekstrak OM. Keberadaan data korelasi sangat penting untuk dijadikan dasar

15 penentuan pola peningkatan bobot OM dari kepiting calon donor. Pertambahan massa organ mengindikasikan peningkatan kandungan di dalamnya, yang menyebabkan ukuran mengalami peningkatan. Pengaruh yang mengakibatkan pertambahan massa tersebut penting untuk dikaji, dengan mengetahui besaran determinasi sebagai parameter dalam menilai pengaruh dari suatu faktor. Pengaruh faktor determinasi BT, OY, jenis kelamin, dan fase molting, perlu untuk diketahui dalam rangka menemukan calon kepiting donor terbaik sehingga penentuan donor OM dapat dilakukan. Tahapan penelitian ini memfasilitasi pengambilan keputusan penggunaan donor OM terbaik yang dijadikan stimulan molting, oleh karena itu tahapan penelitian ini merupakan kebutuhan mendesak.

Penelitian tahap ini bertujuan: 1). Menentukan hubungan bobot OM dengan BT kepiting jantan dan betina, 2). Menentukan hubungan bobot OM dengan bobot OY pada kepiting jantan dan betina, 3). Menentukan pola peningkatan bobot OM dan OY pada kepiting jantan dan betina yang berada dalam fase intermolt dan

premolt.

Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian tahap ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Penelitian dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2015. Meliputi pengumpulan sampel kepiting, seleksi, koleksi organ, dan korespondensi.

Kepiting Uji

Kepiting uji adalah kepiting bakau spesies S. olivacea jantan dan betina dengan BT rata-rata berkisar antara 120-130 g/individu, yang terbagi dalam fase

intermolt dan premolt. Jumlah kepiting yang digunakan adalah 200 individu, terdiri atas 50 individu jantan fase intermolt, 50 individu jantan fase premolt, 50 individu betina fase intermolt, dan 50 individu betina fase premolt.

Kepiting diperoleh dari hasil tangkapan oleh nelayan di Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Kepiting disortir berdasarkan jenis kelamin dan fase molting di Instalasi Tambak Pendidikan Universitas Hasanuddin, Desa Bojo, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Kepiting yang berhasil disortir diadaptasikan beberapa hari untuk kemudian diseleksi kembali. Kepiting yang dijadikan hewan uji hanya kepiting bakau yang memiliki kondisi sehat dengan ciri-ciri anggota tubuh lengkap, tidak adanya biofouling, dan memiliki respons aktif terhadap gangguan luar.

Koleksi Organ

Koleksi OM dan OY pada kepiting bakau dilakukan untuk menyisihkan organ dari dalam tubuh kepiting dan menghindari terikutnya jaringan sekitar. Prosedur koleksi organ digambarkan dalam diagram pada Gambar 6.

16

Gambar 6 Diagram prosedur koleksi organ mandibular dan organ Y kepiting bakau

Indeks Organ Mandibular dan Organ Y

Indeks organ adalah perbandingan antara bobot organ dan BT individu. Penentuan indeks OM dan OY dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus (Nagaraju et al. 2004), yaitu:

( )

( ) Analisa Data

Hubungan bobot OM dengan BT dan bobot OY kepiting bakau S. olivacea

dianalisis dengan regresi linier sederhana menggunakan software IBM SPSS statistics 20 dan disajikan dalam grafik regresi linier sederhana. Data rata-rata BT, bobot OM, OY, dan indeks organ disajikan dalam tabel.

17

18

Hasil

Hubungan Bobot Organ Mandibular dengan Bobot Tubuh Kepiting Jantan Hubungan antara bobot OM dengan BT jantan pada fase intermolt dan

premolt disajikan dalam Gambar 8. Sebagaimana ditampilkan, Bobot OM mengalami peningkatan seiring peningkatan BT baik pada kepiting intermolt

maupun kepiting premolt. Hasil pengamatan menemukan model regresi yang menunjukkan adanya peningkatan bobot OM sebesar 0.1969 mg/g BT kepiting

intermolt dan 0.1486 mg/g BT kepiting premolt.

Analisis regresi BT dan bobot OM kepiting jantan fase intermolt (Lampiran 1), menghasilkan nilai korelasi sebesar 0.921 dengan koefisien determinasi sebesar 0.849, yang berarti bahwa pengaruh variabel bebas BT terhadap variabel terikat bobot OM adalah sebesar 84.9%. Berdasarkan analisis ragam, nilai F hitung (269.812) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, berarti bahwa model linier antara variabel bebas BT dengan variabel terikat bobot OM adalah signifikan.

Sementara hasil analisis regresi BT dan bobot OM pada fase premolt

(Lampiran 2), menghasilkan nilai korelasi 0.975 dengan koefisien determinasi 0.950. Dengan demikian berarti bahwa variabel bebas BT memberikan pengaruh sebesar 95% terhadap variabel terikat bobot OM.. Hasil analisis ragam, menunjukkan F hitung (914.708) > Ftabel (0.05; 1; 48) = 4.04, yang berarti bahwa Gambar 8 Hubungan antara bobot organ mandibular (OM) dengan bobot tubuh

(BT) kepiting jantan

n= 50

19 model linier antara variabel bebas BT dengan variabel terikat bobot OM adalah signifikan.

Hubungan Bobot Organ Mandibular dengan Bobot Tubuh Kepiting Betina Gambar 9 menyajikan hubungan antara bobot OM dengan BT kepiting betina pada fase intermolt dan premolt. Sebagaimana ditampilkan, bobot OM mengalami peningkatan seiring peningkatan BT baik pada kepiting intermolt

maupun kepiting premolt. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan model regresi yang mengindikasikan peningkatan bobot OM sebesar 0.0603 mg/g BT kepiting betina intermolt dan pada fase premolt sebesar 0.0698 mg/g BT kepiting.

Hasil analisis regresi BT dan bobot OM kepiting betina pada fase intermolt

(Lampiran 3), menghasilkan nilai korelasi 0.712 dengan koefisien determinasi 0.507. Dengan demikian berarti bahwa variabel bebas BT kepiting betina memberikan pengaruh sebesar 50.7% terhadap variabel terikat bobot OM. Dari hasil analisis ragam, menunjukkan F hitung (49.413) > Ftabel (0.05; 1; 48) = 4.04, sehingga dikatakan bahwa model linier antara variabel bebas BT dengan variabel terikat bobot OM adalah signifikan.

Gambar 9 Hubungan antara bobot organ mandibular (OM) dengan bobot tubuh (BT) kepiting betina

n= 50

20

Analisis regresi BT dan bobot OM kepiting betina fase premolt (Lampiran 4), menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.889 dengan koefisien determinasi sebesar 0.790, berarti bahwa pengaruh variabel bebas BT kepiting terhadap variabel terikat bobot OM adalah sebesar 79.0%. Hasil analisis ragam menujukkan nilai F hitung (180.469) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, berarti bahwa model linier antara variabel bebas BT dengan variabel terikat bobot OM adalah signifikan.

Hubungan Bobot Organ Mandibular dengan Bobot Organ Y Kepiting Jantan

Hubungan antara bobot OM dengan bobot OY kepiting jantan yang berada pada fase intermolt dan premolt disajikan dalam Gambar 10. Dalam gambar ditampilkan bobot OY mengalami peningkatan seiring pertambahan bobot OM baik pada kepiting dalam fase intermolt maupun kepiting premolt. Model regresi mengindikasikan peningkatan bobot OY sebesar 0.6153 mg/mg bobot OM kepiting jantan intermolt dan 0.6828 mg/mg bobot OM pada kepiting jantan

premolt.

Analisis regresi bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase intermolt

(Lampiran 5), menghasilkan nilai korelasi 0.853 dengan koefisien determinasi 0.727. Berarti bahwa variabel bebas bobot OM memberikan pengaruh sebesar 72.7% terhadap variabel terikat bobot OY kepiting jantan fase intermolt. Hasil analisis ragam menunjukkan F hitung (127.890) > Ftabel (0.05; 1; 48) = 4.04, Gambar 10 Hubungan antara bobot organ mendibular (OM) dengan bobot

organ Y (OY) kepiting jantan

n= 50

21 berarti bahwa model linier antara variabel bebas bobot OM dengan variabel terikat bobot OY adalah signifikan.

Sementara analisis regresi bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase

premolt (Lampiran 6), menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.886 dengan koefisien determinasi sebesar 0.784, berarti bahwa pengaruh variabel bebas OM kepiting terhadap variabel terikat bobot OY adalah sebesar 78.4%. Hasil analisis ragam menujukkan nilai F hitung (174.566) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, dengan demikian model linier tersebut adalah signifikan.

Hubungan Bobot Organ Mandibular dengan Bobot Organ Y Kepiting Betina Hubungan antara bobot OM dengan bobot OY kepiting betina yang berada pada fase intermolt dan premolt disajikan dalam Gambar 11. Terdapat indikasi peningkatan bobot OY seiring pertambahan bobot OM baik pada kepiting betina dalam fase intermolt maupun premolt. Berdasarkan model regresi menunjukkan peningkatan bobot OY sebesar 1.0841 mg/mg bobot OM kepiting intermolt dan 1.6047 mg/mg bobot OM pada kepiting premolt.

Hasil analisis regresi bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase intermolt

(Lampiran 7), menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.784 dengan koefisien determinasi sebesar 0.560, berarti bahwa pengaruh variabel bebas bobot OM kepiting betina terhadap variabel terikat bobot OY adalah sebesar 56.0%. Hasil ANOVA menujukkan nilai F hitung (61.022) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, dengan demikian model linier tersebut dikatakan signifikan.

Gambar 11 Hubungan antara bobot organ mandibular (OM) dengan bobot organ Y (OY) kepiting betina

n= 50

22

Analisis regresi bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase premolt

(Lampiran 8), menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.862 dengan koefisien determinasi sebesar 0.744, dengan demikian pengaruh variabel bebas bobot OM kepiting betina terhadap variabel terikat bobot OY adalah sebesar 74.4%. Berdasarkan hasil analisis ragam, menujukkan nilai F hitung (139.371) > F tabel (0.05; 1; 48) = 4.04, yang berarti bahwa model linier antara bobot OM dan bobot OY adalah signifikan.

Peningkatan Bobot Organ Mandibular dan Organ Y Kepiting Fase Intermolt dan Premolt

Hasil penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 2, bobot OM dan OY kepiting mengalami peningkatan seiring fase-fase molting. Jika dibandingkan antara jantan dan betina, bobot OM pada jantan lebih besar baik pada fase

intermolt maupun premolt. Demikian pula terjadi pada OY pada fase intermolt

dan premolt, memperlihatkan bobot yang lebih besar pada kepiting jantan dibandingkan betina.

Pembahasan

Penelitian ini berhasil mengamati hubungan antara bobot OM dan OY, dengan BT, jenis kelamin dari kepiting bakau S. olivacea yang berada dalam fase-fase krusial. Fase intermolt dan premolt merupakan fase yang kontras, karena kemajuan fisiologi sangat jelas terlihat dalam fase-fase tersebut. Misalnya pada fase intermolt yang durasinya lama, mengakibatkan kepiting aktif mengumpulkan cadangan energi. Sementara fase premolt terjadi dalam waktu yang singkat sebagai persiapan menjelang ekdisis. OM menjadi bahan yang menarik untuk dipelajari sejak adanya laporan terkait peranannya dalam fisiologi krustasea. Kandungan MF dalam OM dilaporkan berperan dalam kemajuan morfogenesis (Sagi et al. 1993; Abdu et al. 1998, Rottlant et al. 2000), pengaturan molting (Chang et al. 1993; Wilder et al. 1995; Tamone et al. 1997, Reddy et al. 2004), dan pengaturan reproduksi (Sagi et al.1993; Laufer 1998; Reddy dan Ramamurthi 1998; Reddy et al. 2004).

Hasil pengamatan terhadap kepiting bakau S. olivacea menunjukkan peningkatan bobot OM seiring pertambahan BT kepiting. Nagaraju et al. (2004) telah melaporkan perihal yang sama terkait peningkatan bobot OM pada kepiting air tawar spesies O. senex senex. Hasil pengamatan terhadap kepiting bakau jenis Tabel 2 Bobot tubuh, organ mandibular, organ Y dan indeks organ.

Jenis kelamin Jantan Betina

Fase Intermolt Premolt Intermolt Premolt

Bobot Tubuh (g) 131.62±8.79 129.99±14.49 128.65±11.57 125.76±15.11 Bobot OM (mg) 11.19±1.88 14.23±2.21 6.55±0.98 7.67±1.19 Bobot OY (mg) 11.30±1.36 12.60±1.70 9.52±1.42 9.98±2.21 Indeks OM 0.009±0.001 0.011±0.001 0.005±0.001 0.006±0.001 Indeks OY 0.009±0.001 0.010±0.001 0.007±0.001 0.008±0.001 Nilai yang ditampilkan adalah rata-rata±SD, n=50.

23

S. olivacea baik pada jantan maupun betina menunjukkan peningkatan dengan selisih antara intermolt dan premolt masing-masing sebesar 0.1289 mg/g BT kepiting jantan dan 0.0095 mg/g BT kepiting betina. Selain itu pengaruh determinasi BT terhadap pertambahan bobot OM kepiting jantan pada fase

premolt lebih besar yakni 95% dibandingkan fase intermolt yang hanya 84.9%. Pada kepiting betina, determinasi BT terhadap bobot OM pada fase premolt

79.0% lebih besar dibandingkan intermolt yang hanya 50.7%. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan pola yang sama, yakni terjadi peningkatan bobot OM mengarah pada fase premolt. Peningkatan tersebut juga diamati pada O. senex senex betina yang menunjukkan peningkatan bobot OM hingga mengalami ekdisis, dan ketika masuk dalam fase berikutnya yakni postmolt kepiting akan memiliki OM dengan bobot yang sangat ringan (Nagaraju et al. 2004). Peningkatan BT kepiting bakau yang memberikan pengaruh sebesar 95% (jantan) dan 79% (betina) terhadap peningkatan bobot OM diduga terjadi karena adanya persiapan molting, sehingga OM mengalami pertambahan bobot. Bobot OM yang meningkat mengindikasikan peningkatan kandungan MF. Perbedaan pengaruh determinasi antara kepiting bakau jantan dan betina menandakan bahwa jenis kelamin ikut mempengaruhi perkembangan fisiologi, termasuk persiapan molting. Pengamatan terhadap bobot OY menunjukkan peningkatan yang seiring dengan pertambahan bobot OM. Peningkatan tersebut terjadi pada kepiting jantan dan betina dalam fase intermolt dan premolt. Kepiting jantan yang berada dalam fase intermolt dan premolt menunjukkan selisih sebesar 0.0675 mg/mg bobot OM, di mana kepiting jantan dalam fase premolt menghasilkan bobot OY yang lebih besar dibandingkan fase intermolt. Hasil analisis regresi menunjukkan nilai determinasi pada kepiting jantan fase premolt lebih besar yaitu 78.4% dibandingkan fase intermolt 72.7%. Pola yang sama juga ditemukan pada kepiting betina, hasil penelitian menunjukkan peningkatan bobot OM sejalan dengan peningkatan bobot OY. Dalam pengamatan yang dilakukan pada kepiting betina ditemukan pula bobot OY yang lebih besar pada fase premolt dibandingkan fase

intermolt, dengan selisih 0.5206 mg/mg bobot OM. Hasil analisis regresi menunjukkan determinasi bobot OM terhadap bobot OY kepiting betina sebesar 56.0% pada fase intermolt dan 74.4% pada fase premolt. Korelasi antara OM dan OY diduga berkaitan dengan kapabilitas OM dalam sintesis dan sekresi MF, sehingga mempengaruhi sintesis ekdisteroid dalam OY. Pertambahan bobot OY mengindikasikan kandungan ekdisteroid yang meningkat, sebagai persiapan bagi kepiting bakau untuk menjelang proses ganti cangkang.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini menggambarkan pola peningkatan yang sejalan dengan perkembangan molting. Pola pertambahan BT, bobot OM dan OY memiliki pola yang seiring. Peningkatan BT akan diikuti oleh pertambahan bobot OM dan OY dari kepiting bakau. Selain itu, pertambahan bobot akan mengalami peningkatan yang sejalan dengan kemajuan fase molting baik itu terjadi pada kepiting jantan maupun kepiting betina. Pertambahan bobot OM erat kaitannya dengan kandungan MF di dalamnya, misalnya pada kepiting betina intermolt dengan bobot OM tunggal yaitu 8, 12, dan 16 mg masing-masing memiliki kandungan MF sebanyak 220, 280, dan 320 ng (Nagaraju et al. 2004). Beberapa peneliti juga telah melaporkan kandungan MF dalam OM pada spesies krustasea lainnya, meskipun jumlah MF yang terdeteksi masih beragam tergantung spesiesnya. Misalnya kandungan MF dalam tiap OM pada spesies C.

24

pagurus sekitar 220 ng (Wainwright et al. 1996), H. americanus berkisar antara 3.2 - 196.8 ng (Borst et al. 1994).

Kemajuan molting dan pertambahan bobot OM dan OY yang saling berkorelasi diduga terkait dengan peranan organ dalam proses molting. Pertambahan bobot organ menandakan adanya peningkatan volume dari organ tersebut, sehingga kapasitas ruang membesar dan bobot meningkat. Peningkatan bobot dari masing-masing organ tersebut mengindikasikan sintesis kandungan dalam organ sedang berlangsung. Keberhasilan sintesis yang terjadi dalam organ diduga menjadi penyebab pertambahan bobot yang meningkat. Kesuksesan OM menghasilkan MF dan OY dengan ekdisteroidnya menjadi syarat molting yang sukses. Oleh karena keterlibatan MF dan ekdisteroid sangat penting dalam menginisiasi molting dan reproduksi. Penyuntikan MF pada kepiting air tawar spesies O. senex senex menghasilkan percepatan molting hingga 80% pada betina dan 100% pada jantan (Reddy et al. 2004). Selanjutnya dalam penelitian yang sama Reddy et al. (2004) menemukan respons reproduksi berupa peningkatan diameter oosit pada betina sebesar 236.37% dan diameter folikel testikular pada kepiting jantan yakni sebesar 25.72%. Pada udang windu Penaeus monodon

penyuntikan MF juga menghasilkan respons molting dan reproduksi yang baik (Suneetha et al. 2010).

Ekdisteroid yang terkandung dalam OY memiliki peranan langsung dalam proses molting dan reproduksi. Peranan OY adalah melakukan sintesis dan sekresi ekdison, kemudian ekdison bertindak sebagai prekursor bagi 20-HE. Dalam proses reproduksi dan tumbuh kembang krustasea, ekdisteroid akan dilepaskan dengan bekerja parakrin menuju sel-sel reproduksi dan pertumbuhan. Beberapa organ yang menjadi target ekdisteroid misalnya gonad, hepatopankreas, dan tangkai mata (Nagaraju 2011). Peningkatan bobot OY yang seiring dengan kemajuan molting memiliki keterkaitan dengan peningkatan ekdisteroid. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya, misalnya peningkatan ekdisteroid menjelang molting telah diamati pada kepiting laba-laba L. emarginata (Laufer et al. 2002), udang galah M. rosenbergii (Wilder et al. 1995).

Hasil yang diperoleh dari pengamatan menunjukkan ukuran OM dan OY kepiting S. olivacea jantan lebih besar jika dibandingkan pada betina. Demikian pula yang dilaporkan pada kepiting air tawar O. senex senex (Nagaraju et al.

2004), udang galah M. rosenbergii (Sagi et al. 1991). Perbedaan ukuran antara jantan dan betina diduga berhubungan dengan aktivitas fisiologi dari kepiting yang memang mengalami beberapa keunikan berupa tingkah laku spesifik berdasarkan jenis kelamin. Misalnya aktivitas reproduksi kepiting bakau dan masa laten molting yang terkait dengan perbedaan ukuran tersebut, pada kepiting betina mengalami fase inkubasi telur dan menjadikannya berbeda dengan kepiting jantan. Perihal sama juga berlaku pada masa laten molting kepiting jantan yang berlangsung relatif singkat dibandingkan betina. Namun penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menjawab dugaan tersebut.

25 Simpulan

Hasil penelitian ini menemukan 1). Bobot OM pada kepiting jantan dan betina mengalami peningkatan sejalan dengan adanya peningkatan BT, di mana peningkatan yang lebih besar terjadi pada fase premolt dibandingkan intermolt, 2).

Dokumen terkait