PENGARUH WAKTU, SUHU PERMUKAAN LAUT
DAN KECERAHAN PERAIRAN
TERHADAP HASIL TANGKAPAN
POLE AND LINE
DI PERAIRAN LAUT SAWU
7NUSA TENGGARA TIMUR
OLEH :
S R I A W A N
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
SRIAWAN. Pengaruh Waktu, Suhu Permukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu - Nusa Tenggara Timilr. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan ANWAR BEY PANE.
Perikanan pole and line adalah penangkapan ikan dengan menggunakan umpan hidup. Tujuan penangkapan dengan menggunakan alat ini adalah ikan Cakidang ( K a t m o m s pelamis) yang termasuk ikan pelagis dan aktif mencari makanan pada siang hari.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu, suhu perrnukaan laut dan kecerahan perairan terhadap has3 tangkapan yang diarnati pada. tiga lokasi yang ditentukan secara acak. Dari ketiga perlakuan tersebut dilihat pengaruhnya masing-masing perlakuan terhadap hasil tangkapan. Untuk suhu pemlukaan laut (SPL), selain dilakukan pengukuran di lapangan juga dilakukan pendleteksian citra satelit NOAAIAVHRR.
Penelitian dilakukan selama 6 bulan, yakni pada bulan Juli
-
Desember 2000. Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan yakni pada 15 Juli hingga 15 September 2000 di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Data citra SPL diperoleh dari LAPAN pada pendeteksian bulan Oktober-
Desember 2000.Pengamatan di lapangan dilakukan dengan mengikuti operasi penangkapan selarna 30 trip. Setiap trip penangkapan selama satu hari (one +fishing) mulai dari pagi sampai siang hari dan pengamatan dilakukan setiap dua hari sekali. Untuk mengetahui pengaruh waktu, dalam satu hari operasi penangkapan dikelompokkan menjadi 3 periode yakni waktu 1 (06.00-08.00), waktu 2 (08.00-10.00) dan waktu 3 (10.00-12.00). Untuk mengetahui suhu permukaan laut dan kecerahan perairan dilakukan pengukuran pada saat kapal melakukan operasi pemancingan.
Berdasarkan perhitungan Anava pada General Linear Model dari Program Minitab versi 13.20 menunjukkan bahwa waktu penangkapan mempunyai pengaruh yang nyata (signzficant) terhadap hasil tangkapan, sedangkan kecerahan dan suhu pem~ukaan laut tidak mempunyai pengaruh yang nyata (non signz~cant) terhadap hasil tangkapan. Selanjutnya untuk mengetahui waktu penangkapan yang paling baik dilakukan uji Tuky Test. Dari hasil uji menunjukkan bahwa waktu 2 memberikan hasil tangkapan yang lebih baik dibanding waktu 1 dan waktu 3, sedangkan hasil tanglcapan pada waktu 1 dan waktu 3 tidak berbeda nyata.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul : "Pengaruh Waktu, Suhu
Perniukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di
Perairan Laut Sawu - Nusa Tengggara Timur7' adalah benar merupakan hasil karya
saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2002
PENGARUH WAKTU, SUHU PERMUKAAN LAUT
DAN KECERAHAN PERAIRAN
TERHADAP HASIL TANGKAPAN
POLE AND LINE
DI PERAIRAN LAUT SAWU
-
NUSA TENGGARA TIMUR
S R I A W A N
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Kelautan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis :Pengaruh Waktu, Suhu Pennukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu - Nusa Tenggara Timur
Nam~a : S r i a w a n
NRP' : 98391
Progmrn Studi : Teknologi Kelautan
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
M r . Vincentius P. Sirecar. DEA Ketua
~ r . k . Anwar Bey Pane. DEA Anggota
Mengetahui,
r Program Pascasarjana
. Svafrida Manuwoto. MSc.
---.
-vr . " - - 2 9
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 18 Januari 1954
sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Karep dan Ibu Pademi. Pendidikan sarjana
diternpuh di Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan UNDIP, lulus pada tahun 1986.
Pada tahun 1998, penulis diterima di Program Studi Teknologi Kelautan pada
Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2002. Beasiswa
pendidikan Pascasarjana diperoleh dari ADB-LOAN.
Penulis bekerja sebagai Dosen tetap di Universitas Muhamrnadiyah Kupang
(UMK) sejak tahun 1993, dan sebelumnya bekerja di beberapa perusahaan perikanan
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehitigga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dipilih ialah
"Pengaruh Waktu, Suhu Permukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil
Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu
-
Nusa Tenggara Timur"Dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilrniah ini penulis
mentlapat bantuan dari berbagai pihak, maka dengan perasaan tulus ikhlas penulis
sampaikan ucapan terima kasih kepada :
-
Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar DEA dan Bapak Dr. Ir. Anwar Bey PaneDEA selaku Dosen Pembimbing;
-
Bapak Ketua Program Studi Teknologi Kelautan dan seluruh Staf pengajaryang telah memberikan bekal ilmu;
-
Bapak Rektor UMK dan Bapak Kepala ADB-LOAN yang telah memberikandana pendidikan;
-
Bapak Kepala Pelabuhan Perikanan Kupang dan Bapak Direktur PT. TimorSarana yang telah menyediakan tempat penelitian;
- Bapak Kepala Matra Laut Pusfatja Lapan Jakarta beserta staf yang telah
membantu pembuatan citra;
-
Kakanda Capt. Sri Untung dan ananda Krisna Husada yang telah banyakmembantu penulisan.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari pada sempurna,
kareria itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2002
DAFTAR
IS1
Halaman
...
PRPKATA ... 111DAITTAR TABEL ... v
DAI7TAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... ... vii
1 . 1 . Latar Belakang Penelitian ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan Penelitian ... 4 1.4. Manfaat Penelitian ... 5 1.5. Hipotesis ... 5
2 . TINJAUAN PUSTAKA ... 6 2.1. Perikanan Pole and line ...
2.1.1. Kapal Pole and line ...
2.1.2. Alat Tangkap Pole and line ... 2.1.3. Tenaga Kerja ... 2.2. Ikan Tujuan Penangkapan Pole and line ...
2.3. Daerah Penyebaran Ikan Cakalang ...
2.4. Pengaruh Beberapa Faktor Oseanografi ... 2.5. Umpan Hidup ... 2.6. Teknologi Penginderaan Jauh ...
3
.
METODOLOGI PENELITIAN ...3.1. Waktu dan Tempat ... 3.2. Unit Percobaan ...
3.2.1. Kapd Pole and line ...
3.2.2. Alat Tangkap Pole and line ... 3.2.3. Alat-alat Bantu dalam Pemancingan Pole and line ... 3.2.4. Tenaga Kerja ... 3 2 . 5 . Alat-alat Pengukur dalam Penelitian ... 3.3. Metode Penelitian ...
... .
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
... 4.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian
... 4.1.1. Letak Geografis
4.1.2. Kondisi Laut ...
... 4.1.3. Klimatologi
... 4.1.4. Keadaan Perikanan
... 4.2. Operasi Penangkapan Pole and line
4.2.1. Persiapan Sebelum Kapal Berangkat ...
...
4.2.2. Pencarian Umpan
4.2.3. Cara Penangkapan ...
... 4.2.4. Penanganan Hasil Tangkapan
... 4.3. Pengaruh Waktu Penangkapan Terhadap Hasil Tangkapan
4.4. Pengaruh Suhu Perairan Terhadap Hasil Tangkapan ... 4.5. Pengaruh Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan ...
... 4.6. Interpretasi Citra Suhu Permukaan Laut Satelit NOMAVHRR
.... 4.7. Pembahasan Citra Suhu Permukaan Laut Satelit NOAA/AVHRR
5 . KESIMPULAN DAN SARAN ...
5.1. Kesirnpulan ...
5.2. Saran ...
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kisaran Suhu Optimum dan Lapisan Renang Beberapa Ikan
Pelagis ... 19
2. Alat-alat Pengukur yang Digunakan untuk Mendapatkan
Data Utama ... 3 9
3. Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan di Teluk
Kupang Tahun 1999. ... 5 5 4. Rata-rata Suhu Udara, Kelembaban, Kecepatan Angin dan
...
Prosentase Penyinaran di Kota Kupang Tahun 1999.. 5 6
5. Perkembangan Keadaan Perikanan di Perairan Teluk
...
Kupang Tahun 1997 - 1999. 57
6. Perkembangan Produksi Perikanan di Perairan Teluk
Kupang Tahun 1997 - 1 999. ... 5 8
7. Perkembangan Jumlah Nelayan di Perairan Teluk
...
Kupang Tahun 1997 - 1999. 59
8. Produksi Ikan Tuna dan Cakalang di Pelabuhan Perikanan ...
Pantai Kupang Tahun 1997
-
1999.. 609. Hubungan Waktu Penangkapan dan Hasil Tangkapan
Pole and line di Perairan Laut Sawu-Nusa Tenggara Timur.. . 75
10. Hubungan Suhu Perairan dan Hasil Tangkapan
Pok and line di Perairan Laut Sawu-Nusa Tenggara Timur.. .. 78 1 1. Hubungan Kecerahan Perairan dan Hasil Tangkapan
Pole and line di Perairan Laut Sam-Nusa Tenggara Timur.. .. 8 1 12. Citra Suhu Permukaan Laut di Perairan Laut Sawu Bulan
...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
... 1 . Klasifikasi dari Family Scombridae
...
.
2 Ikan Cakalang (Katsuworms pelamis)
... 3 . Peta Penyebaran Ikan Cakalang di Perairan Indonesia
...
.
4 Konstruksi Kapal Pole and line
...
.
5 Sketsa Alat Tangkap Pole and line
...
.
6 Alat-alat Bantu Pemancingan Pole and line
7 . Posisi Anak Buah Kapal (ABK) Saat Pemancingan Pole and line .
.
... 8 . Peta Lokasi Penelitian
-
Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur... 9 . Jenis-jenis Ikan Umpan Pole and line
...
10 . Posisi Kapal Pole and line Terhadap Ikan, Arus dan Angin ...
.
1 1 Kegiatan Operasi Penangkapan Pole and lzne
... .
12 Jenis-jenis Ikan Hasil Tangkapan Pole and line
13 . Gr&k Hubungan Waktu Penangkapan Dengan Hasil Tangkapan
... Pole a d line di Perairan Laut Sawu-Nusa Tenggara Timur 14 . Grafik Hubungan Suhu Perairan Dengan Hasil Tangkapan
... Pole and line di Perairan Laut Saw-Nusa Tenggara Timur 15 . Grafik Hubungan Kecerahan Perairan Dengan Hasil Tangkapan
... Pole anul line di Perairan Laut Saw-Nusa Tmggara Timur
...
.
16 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 16 Juli 2000
...
.
17 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 17 Juli 2000
... 18 . Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 1 8 Juli 2000
... .
19 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 25 Juli 2000
...
.
20 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 4 Agustus 2000
...
.
21 Citra Swhu Permukaan Laut Tanggal 22 Agustus 2000
...
.
...
.
23 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 29 Agustus 2000 100 ...
.
24 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 4 September 2000 102 ...
.
25 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 5 September 2000 104 ...
.
26 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 9 September 2000 106 ...
.
DAFTAR LAMPIRAN
1 . Hasil Penelitian Lokasi. Waktu. Suhu. Kecerahan dan Hasil
Tangkapan ...
2 . Perhitungan Statistik I Pengaruh Waktu. Suhu dan Kecerahan
... Terhadap Hasil Tangkapan
3 . Perhitungan Statistik I1 Pengaruh Waktu. Suhu d m Kecerahan ... Terhadap Hasil Tangkapan
...
.
4 Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Juli 1997
...
.
5 Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1996 ... 6 . Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1997
... 7 . Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1998
...
.
8 Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1999
...
.
9 Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan September 1996
...
.
10 Suhu Perrnukaan Laut dari GMS. Bulan September 1997
...
.
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang PenelitianParameter oseanografi yang digunakan untuk menggambarkan sifat dan
proses yang terjadi di laut dapat diukur dengan dua cara. Cara pertama adalah
mengukur langsung parameter oseanografi di laut, sedangkan cara kedua adalah
menpkur secara tidak langsung melalui teledeteksi dengan menempatkan suatu
sensor pada platform yang dibawa oleh pesawat terbang atau satelit. Cara yang kedua
ini kurang akurat dibanding dengan cara pertama, namun cara kedua ini mempunyai
beberapa kelebihan yaitu dapat menjangkau wilayah yang lebih luas dalam waktu
yang sama. Hal ini sangat bermanfaat untuk melihat sifat dan proses yang terjadi di
suatu perairan dari waktu ke waktu.
Ikan Cakalang hidup bergerombol dalam jumlah besar sebagai ikan
pem~ukaan (pelagic). Ikan ini termasuk ikan karnivora yang serakah dan bergerak
mencari makan berdasarkan penglihatan. Oleh karena aktivitas makan berdasarkan
penglihatan, maka aktivitas makan ini akan menurun pada saat cahaya berkurang
sepeiti halnya pada waktu subuh dan senja hari (Inoue, 1961).
Gunarso (1978) mengatakan bahwa ikan Cakalang termasuk jenis ikan yang
aktif mencari makan pada siang hari (diurnal). Dalam mencari makanan ikan tersebut
mengalami pergerakan rnigrasi vertikal yakni muncul ke lapisan permukaan sesudah
lapisan air yang lebih dalam. Berdasarkan pergerakan rnigrasi vertikal dari pada ikan
tersebut, maka puncak aktivitas makan terjadi pada waktu subuh dan senja hari.
Oseanografi dapat dipakai untuk melihat sifat dan proses yang terjadi di suatu
perairan. Salah satu parameter adalah suhu permukaan laut yang dapat digunakan
untuk melihat proses-proses fisik air laut seperti : upwelling, divergen, konvergen,
oce~mic front dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut sangat penting untuk diketahui
lokasinya, karena tempat-tempat tersebut dapat memberi petunjuk tentang tingkat
kesu buran suatu perairan.
Kecerahan perairan mempunyai arti yang penting dalam penyebaran ikan tuna
dan Cakalang. Beberapa bukti menerangkan bahwa tuna dan Cakalang banyak
didapat pada perairan yang jernih. Hal ini erat kaitannya, antara lain karena di air
yang, jernih mangsanya dapat terlihat dengan jelas. Tuna dan Cakalang tidak efisien
dala~n menangkap mangsanya di perairan yang keruh, meskipun secara umum
peran-an yang jernih hanya sedikit mengandung makanan (Blackburn, 1965).
Gunarso (1988) mengatakan bahwa daerah penangkapan ikan Cakalang yang
optimum berada di sepanjang equator antara 10" L.U. sampai 10" L.S. Pada ha1
perairan Laut Sawu terletak di belahan bumi selatan katulistiwa yang berada pada
posiai 09" L.S. sampai 1 I" L.S. sebagai tempat penelitian, diharapkan dapat
memberikan hasil tangkapan yang memuaskan.
Pole and line sebagai alat tangkap ikan permukaan (pelugis) yang hidup
tangkap tersebut satu per satu sehingga alat tangkap tersebut termasuk alat tangkap
yang selektif, dengan demikian sumber daya alam dapat terjamin kelestariannya.
Pole and line dalam operasi penangkapan menggunakan umpan hidup, maka
peneingkapan ini sering disebut live bait fishing. Kekurangan umpan didalam
kebutuhan yang diperlukan akan dapat berakibat berkurangnya jumlah hari operasi
dan perluasan daerah penangkapan, maka agar penggunaan umpan dapat lebih efisien
perlu diketahui waktu, suhu permukaan laut dan kecerahan perairan yang tepat.
1.2. Perurnusan Masalah
Ikan Cakalang terrnasuk ikan pelagis bergerak mencari makan berdasarkan
penglihatan. Karena aktivitas makan berdasarkan penglihatan, maka aktivitas makan
ini kkan menurun pada saat cahaya berkurang. Disamping itu ikan Cakalang termasuk
ikan siang hari (diurnal), maka aktivitas makan ikan ini juga dipengaruhi oleh migrasi
vertikal dari ikan tersebut. Berdasarkan tingkah laku ikan tersebut di Indonesia
khususnya di Nusa Tenggara Timur belum diketahui waktu penangkapan ikan
Caktllang yang tepat dengan menggunakan alat tangkap pole and line.
Ikan Cakalang banyak didapat pada perairan yang jernih dimana mangsanya
dapat terlihat dengan jelas dan tidak efisien dalam menangkap mangsanya di perairan
yang keruh, meskipun perairan yang jernih tersebut hanya sedikit mengandung
makanan. Berdasarkan kebiasaan ini perlu diketahui kecerahan perairan yang sesuai,
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga
keberadaan organisme khususnya ikan di suatu perairan. Lokasi ikan dapat diprediksi
salah satunya dengan mengetahui suhu optimum ikan yang menjadi tujuan
penangkapan, maka agar penangkapan ikan dengan pole and line dapat berhasil perlu
diketahui suhu optimum daripada ikan Cakalang.
Untuk menentukan suhu permukaan laut, dapat dilakukan dua cara yakni
pertama metode pengukuran secara langsung (konvensional) dengan menggunakan
alat-idat pengukur temperatur di permukaan laut dan kedua dengan metode perkiraan
(estilnasi) yakni dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh.
Untuk mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan,
selaill dilakukan pengukuran langsung di lapangan juga akan dilakukan pendeteksian
ciitra satelit dan juga akan dibandingkan dengan hasil pemantauan satelit cuaca GMS
(Geostasioner Meteorology Satellite).
1.3. 'Cujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
-
Untuk mengetahui waktu penangkapan ikan Cakalang yang paling tepat dilokasi penelitian;
-
Untuk mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan;-
Untuk mengetahui kecerahan perairan yang paling sesuai terhadap hasil1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat :
-
Sebagai bahan informasi kepada nelayan, agar dapat memudahkan dalammenentukan fishing ground dengan mengetahui suhu dan kecerahan perairan
yang sesuai dari keberadaan ikan, sehingga penangkapan ikan Cakalang dapat
lebih efisien dengan mengetahui waktu penangkapan yang tepat;
-
Sebagai bahan informasi untuk menunjang kemajuan serta perkembanganilmu dalam bidang perikanan pole and line dengan memanfaatkan teknologi
penginderaan jauh.
-
Dengan membandingkan hasil tangkapan pada pagi (06.00-08.00), menjelangsiang (08.00- 10.00) dan siang hari (1 0.00- 12.00), diduga hasil tangkapan
menjelang siang hari akan lebih baik dari pada waktu pagi atau siang hari;
-
Dengan membandingkan hasil tangkapan pada suhu perairan yang berbeda,diduga hasil tangkapan pada suhu perairan tinggi akan lebih baik dari pada
suhu yang lebih rendah;
-
Dengan membandingkan hasil tangkapan pada kecerahan perairan yangberbeda, diduga hasil tangkapan pada kecerahan perairan tinggi akan lebih
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perikanan Pole and line
Takayarna (1962) mengatakan bahwa pada umumnya untuk menangkap ikan
Cakadang digunakan dua jenis alat tangkap yaitu pancing dan jaring. Pancing sendiri
dari cara penangkapan terdiri dari : pancing tonda (trolling), pancing rawai (long line)
dan 1)ancing huhate (pole and line).
Menurut Anderson (1953), pole and line Jishing adalah cara penangkapan
ikan dengan menggunakan umpan hidup. Oleh sebab itu maka penangkapan ini sering
disek~ut live bait fishing. Penangkapan ikan dengan pole and line ini digolongkan
kedalam surface Jishing dan paling banyak menangkap jenis ikan Cakalang
(Kat,~uwonuspelamis) dari pada spesies-species lainnya (Schaeffer, 1961).
Maelissa (1978) menyatakan bahwa faktor pembatas yang memerlukan
pemecahan lebih lanjut dalam usaha perikanan Cakalang dengan metode pole and
line imtara lain adanya sumber-sumber umpan yang mencukupi.
Menurut Cleaver and Shimada (1950), pole and line telah berkembang di
Jepang sejak tahun 1919 dan kemudian terus berkembang ke Amerika, Philipina,
India. dan Indonesia. Alat tangkap ini di Indonesia diperkenalkan oleh nelayan
Jepa~ig pada tahun 1939.
Unit penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan,
Berclasarkan hal ini maka unit penangkapan pole and line terdiri dari : kapal pole and
line, pancing pole and line dan tenaga kerja (crew) yang mengoperasikannya.
2.1.11. Kapal Pole and line
Muranto (1973) berpendapat bahwa dalarn perencanaan pembuatan kapal
penaflgkapan yang baik perlulah diperhatikan beberapa pertimbangan yakni : ukuran
dan kecepatannya sehingga seimbang antara besar kapal dan jenis alat-alat
tangkapnya, mempunyai ketahanan yang besar, mempunyai daya jelajah yang cukup
besar, konstruksinya cukup h a t serta adanya perlengkapan penangkapan dan alat-alat
navigasi yang cukup memadai.
Menurut Malangjoedo (1978), letak dan kayanya Jishing ground yang akan
dijadikan daerah operasi penangkapan akan menentukan pula jenis dan ukuran kapal
yang akan dipergunakan. Selanjutnya dikatakan bahwa ada tiga ukuran kapal pole
and line yakni :
-
Kapal ukuran kecil yakni 7 - 15 GT, jarak operasinya kurang dari 30 mil dantanpa pengawetan;
-
Kapal ukuran sedang yakni 15 - 30 GT, jarak operasinya 30 - 50 mil denganpengawetan es dan lama operasinya kurang dari 5 hari;
-
Kapal ukuran besar yakni 100 GT keatas, lama operasinya bisa sampai 40 hariatau lebih.
Simpson (1979), membagi perkembangan motorisasi perikanan pole and line
-
Kapal skala kecil merupakan milik pribadi yang berukuran 5-
20 GT, dimulaitahun 196211 963;
-
Perusahaan perikanan dengan ukuran kapal 15 - 30 GT, dimulai pada tahun1951;
-
Joint venture dengan menggunakan kapal berukuran 85 - 95 GT, dimulaisejak tahun 1973.
Ayodhyoa (2972) menyatakan bahwa bahan pembuat kapal penangkap ikan
dapat terbuat dari bahan kayu, baja atau fiberglas. Kapal tersebut dapat berbeda
dalmn ukuran, tenaga penggerak dan perlengkapannya. Bahan yang digunakan dalam
peml~uatannya harus disesuaikan dengan keadaan daerah dimana kapal tersebut
diopierasikan serta biaya yang tersedia. Selanjutnya dikatakan bahwa kapal baja bila
dibandingkan dengan kapal kayu terlihat bahwa kapal baja tersebut ketahanan
terpakainya akan lebih lama, namun demikian kapal kayu lebih murah dan apabila
perawatannya lebih baik maka sering umur kapal kayu tidak jauh berbeda dibanding
dengan umur kapal baja.
Bentuk kapal motor pole and line adalah bentuk kapal motor biasa dan
ditarnbah dengan beberapa konstruksi khusus, antara lain : tempat pemancingan
wiyj'ng deck), sayap (platform), pipa penyemprot air (water sprayer) dan adanya bak
umpan hidup (Monintja, 1968").
Ayodhyoa (1972) menyatakan bahwa kapal pole and line pada saat operasi
harut; mempunyai kecepatan yang tinggi karena ikan yang menjadi tujuan
penangkapan merupakan ikan perenang cepat.
2.1.2. Alat Tangkap Pole and line
Monintja (196Sa) mengatakan bahwa pada prinsipnya alat tangkap pole and
line ~erdiri dari tiga bagian yakni : tangkai pancing (pole), tali pancing (line) dan mata
panci ng (hookless).
Pole atau tangkai pancing dibuat dari bambu yang mas-ruasnya banyak
sehingga banyak buku-buku yang memperkuatnya atau dibuat dari fiberglass. Line
atau tali pancing yang dibuat dari nylon mztltifilament biasanya panjangnya 213 dari
pada panjang tangkai pancing. Hookless atau mata pancing terdiri dari timah
pemt~erat, pembungkus, bulu ayarn dan mata pancing yang tidak berkait balik.
2.1.3. Tenaga Kerja
Menurut Tagaki (1969), jumlah awak kapal yang dibutuhkan untuk
mengoperasikan unit pole and line di Jepang adalah kira-kira dua kali lipat dari awak
kapali yang dibutuhkan untuk mengoperasikan unit long line.
Muramatsu (1967) mengatakan bahwa karena terbatasnya saat pemancingan
makal pole a d line perlu mempunyai jumlah awak kapal yang banyak. Selanjutnya
dikatakan bahwa untuk kapal berukuran 20-50 GT mempunyai 30 orang awak kapal,
kapali berukuran 50-100 GT mempunyai 45 orang awak kapal dan kapal yang lebih
Ayodhyoa (1975) mengatakan bahwa umur awak kapal pole and line sampai
dengan 5 1 tahun masih dapat dipakai, karena saat-saat pemancingan dilakukan
sewaktu-waktu. Sedangkan umur awak kapal long line sebaiknya 80 persen terdiri
dari yang muda-muda antara 20 - 30 tahun.
2.2. I[kan Tujuan Penangkapan Pole and line
Malangjoedo (1978) mengatakan bahwa ikan yang menjadi tujuan
penaiigkapan dengan menggunakan alat tangkap pole and line adalah jenis ikan
Caka lang (Katswonus pelamis).
Menurut Uktolseja et a1 (1984), ikan Cakalang termasuk dalam golongan
tuna kecil. Tuna kecil mempunyai ukuran antara 20 - 80 centimeter dengan panjang
maximum 105 centimeter. Jenis-jenis ikan yang termasuk tuna besar diantaranya
adalah Madidihang (lic2unnus albacares), Albacore (lic2unnu.s alalunga) dan Tuna
Mata besar (Thunnus obesus). Ikan tuna besar ini mempunyai ukuran antara 40
-
180centimeter dengan panjang maximum 236 centimeter.
Matsumoto et al. (1984) mengatakan bahwa Katswonus lebih mirip atau
dekal, dengan Euthynnus dibandingkan dengan Thunnus. Sedangkan nama pelamis
ditetiipkan oleh Linnaeus pada tahun 1758, dan sekarang hampir semua peneliti
Klasifikasikan ikan Cakalang menurut Matsumoto et al. (1984) adalah
seba~zai berikut :
Phylum Subphylum Superclass Series Class Subclass Order Suborder Family Subfamili Tribe Genus Species Vertebrata Craniata Gnathostomata Pisces Teleostorni Actinopterygii Perciformes Scombroidei Scombridae Scombrinae Thunnini Katsuwonus pelamis
Matsumoto et al. (1984), mengatakan bahwa berdasarkan deskripsi morfologi
dan meristik ikan Cakalang dari berbagai Samudera, serta hasil studi biokimia dan
genetika menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies yang tersebar di seluruh dunia,
II
Subf amSy T r i b o CenueSumber : Ayodhyoa, 1998
Ciri-ciri khusus ikan Cakalang yang dikemukakan dalam FA0 (1974) yaitu tubuh berbentuk torpedo @siforrn) memanjang dan bulat, memiliki tapis insang (gill
rakers) 53
-
62 buah. Terdapat dua sirip punggung yang terpisah, pada sirip punggungpertama terdapat 14 - 16 jari-jari keras, pada sirip kedua diikuti oleh 7 - 8 finlet.
Terdapat rigi-rigi @lets) yang lebih kecil pada masing-masing sisi dorsal dan ventral
tubuh bagian belakang dan sirip ekor.
Warna tubuh pada saat ikan masih hidup adalah biru baja (steel blue), tingled
dengan lustrous violet di sepanjang permukaan punggungnya dan intensitasnya
menjvsut di sisi tubuh hingga ketinggian pada pangkal sirip dada. Sebagian dari
bada~mya, termasuk bagian abdomen berwarna putih hingga kuning muda. Garis-
garis vertikal evanescent muda tampak di bagian sisi tubuhnya pada saat baru saja
tertangkap. Warna abu-abu di sebelah bawah mandible bersatu dengan warna putih
bagian tubuh dibelakangnya di bagian bawah setengah tubuh. Di setiap sisi tubuh,
empa,t hingga enam garis melintang terlihat nyata di bawah lateral line di setiap sisi
tubuli (Matsumoto et al. 1984). (Gambar 2)
Menurut Gunarso (1988), ikan menerima berbagai informasi mengenai
keadizan sekelilingnya melalui beberapa inderanya, seperti indera penglihat,
pendl~ngar, pencium, linea lateralis dan sebagainya. Cakalang terrnasuk ikan yang
aktif mencari makan pada siang hari (diurnal) dan banyak dijumpai pada lapisan
pelag,is yang banyak menerima sinar matahari, maka alat indera yang utama adalah
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, 1993
2.3. :Daerah Penyebaran Ikan Cakalang
Menurut Maelissa (1978), perikanan Cakalang atau slnpjackfishing dikenal di
seluruh bagian tropis dan sub tropis. Penyebaran Cakalang ini dipengaruhi oleh
perbt:daan garis lintang (latitude) dan tidak dipengaruhi perbedaan garis bujur
(longitude) (Murphy and Shomura, 1958).
Menurut Forsberg (1964), daerah penyebaran ikan Cakalang terletak antara
40" L.U. sampai dengan 30" L.S., sedangkan daerah penangkapan yang optimum
beratla disepanjang equator antara 10" L.U. sampai dengan 10" L.S.
Gunarso (1988) mengatakan bahwa sebagian dari perairan Indonesia
merupakan lintasan ikan Cakalang yang bergerak menuju ke Kepulauan Philipina dan
Jepang. Di perairan Indonesia bagian barat, ikan Cakalang dapat ditangkap di
separljang pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Penyebaran
di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Laut Flores, Laut Arafhra,
Laut Halmahera, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Aru dan sebelah utara Irian Jaya.
(Garr~bar 3)
Matsumoto et al. (1984), menyatakan bahwa berdasarkan penelitian terhadap
hasil tangkapan long line, tuna tersebar menurut lapisan air, dengan Cakalang
(Katswonus pelamis) menempati lapisan teratas (permukaan) diikuti dengan Bluefin
tuna (Thunnus thynnus) di lapisan bawahnya, kemudian berturut-turut Yellowfin tuna
(Thu~mus albacares), Bigeye tuna (Thunnus obesus) dan Albacore tuna (Thunnus
Ikan Cakalang mempunyai tingkah laku (behaviour) sebagai ikan pelagis
yarg hidup bergerombol dalam jurnlah yang besar (schooling). Pengertian schooling
disini ialah pengelompokan ikan yang ter-polarismi ataupun ter-orientasi satu sama
lairlnya baik jarak maupun kecepatan renangnya (Gunarso, 1978).
Nakamura (1969) mengatakan bahwa tuna biasanya terdiri dari ikan yang
berukuran sama, walaupun terdapat dalarn suatu gerombolan campuran antara dua
species atau lebih. Hal ini mungkin disebabkan karena kecepatan berenangnya ikan
yang berukuran lebih kecil tidak dapat mengikuti ikan-ikan yang lebih besar.
Radakov (1969) ddam Gunarso (1988) mengatakan bahwa pengetahuan
meingenai kebiasaan ikan berkelompok erat hubungannya dengan peningkatan
kecnampuan penangkapan dari sesuatu jenis alat penangkap dan perkembangan
efisiensi dari sesuatu metode penangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa hal-hal
yang menyebabkan ilcan-ikan berada dalarn suatu gerombolan antara lain adalah :
sebagai perlindu~gan diri dari predator, mencari dan menangkap mangsanya,
pen~ijahan, pada waktu musim dingin, beruaya dan pergerakan serta adanya pengaruh
faktor sekeliling.
Ayodhyoa (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan gerombolan
Cd;alang ada beberapa petunjuk misalnya : adanya burung yang menukik dan
menyambar permukaan laut, adanya ikan-ikan yang meloncat ke atas permukaan air,
Gunarso (1978) mengatakan bahwa ikan dapat tertarik dan dapat dipikat
dengan menggunakan benda-benda terapung dimana mereka akan bergabung dan
berkt:lompok. Tertariknya terhadap benda terapung serta mengelompoknya ikan ini
diseblabkan oleh karena adanya respon ikan berdasarkan pada penglihatannya.
Menurut Soepanto dan Sujastani (1978), Cakalang akan berkumpul di
sekitar rakit-rakit yang diberi jangkar (payos). Benda-benda terapung bebas yang
terbawa hanyut arus laut mempunyai daya tarik yang lebih baik dari pada payos.
Apatlila ada benda terapung yang terbawa arus laut melewati payos, maka akan ada
tendensi ikan yang tadinya berkumpul di sekitar payos akan berpindah ke benda
terapung dan mengikutinya.
2.4. IPengaruh Beberapa Faktor Oceanografi
Penyebaran ikan Cakalang mempunyai hubungan erat dengan penyebaran
suhu, salinitas dan kecerahan perairan.
Matsumoto et al. (1984) mengatakan bahwa penyebaran ikan Cakalang
mempunyai hubungan dengan penyebaran suhu di dam. Batas dan kisaran suhu
dimaina ikan Cakalang tertangkap bervariasi di beberapa wilayah perairan. Cakalang
tertarigkap di perairan lepas pantai Jepang pada suhu berkisar antara 17.5' - 30' C, di
Samudera Pasifik antara 17'
-
30' C, di perairan lepas pantai India antara 27' - 30' C,di New Zealand antara 16' - 22' C dan di perairan Tasmania antara 14.7' - 20.8' C.
Deng,an demikian, secara keseluruhan suhu penyebaran Cakalang berkisar antara
Menurut hasil penelitian Darongke (1975), hasil tangkapan pole and line
yang paling besar di perairan Sulawesi Utara dicapai pada pemancingan dengan
temperatw 29' C, sedangkan di perairan Sorong penangkapan Cakalang dicapai pada
penlancingan dengail temperatur rata-rata 29,6' C (Surono, 1982).
Laevastu (1993) mengatakan bahwa pengaruh suhu terhadap ikan adalah
dalsun proses metabolisme seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas
tubilh seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf.
Menurut Hela and Laevastu (1970), let& kedalaman kelompok ikan pelagis
banyak ditentukan oleh distribusi suhu secara vertikal. Hal ini berarti bahwa ikan
pelslgis &an berenang menghindari .suhu yang lebih tinggi dan menuju ke sebelah
dalsun pada waktu suhu permukaan lebih tinggi dari biasanya.
Tabel 1 : Kisaran Suhu Optimum dan Lapisan Renang Beberapa Ikan Pelagis
Jenis Tuna
Bl!~efin tuna
Bigeye tuna
Yellowfin tuna
Aldbacore tuna
Skipjack tuna
Suhu Optimum
(OC)
14
-
2117-23
20 - 28
14 - 22
20 - 24
Lapisan Renang (meter)
50 -300
50 - 400
0 - 200
20
-
3000 - 4 0
Menurut Soegiarto dan Birowo (1975), pelapisan suhu secara menegak di
perairan tropis dapat dibagi menjadi tiga lapisan, yakni lapisan panas (homogen),
lapisim termoklin dan lapisan dingin (dalam). Secara umum lapisan panas ditandai
oleh penyebaran vertikal parameter hidrologis yang homogen, yang disebabkan
proscs pengadukan oleh angin, arus dan pasang surut. Ketebalan lapisan ini di
perairan dalam berkisar antara 50 meter sampai dengan 100 meter, tergantung dengan
perkisaran musim dan suhunya berkisar antara 26'
-
30' C.Salinitas juga merupakan faktor penting yang dapat digunakan untuk meramal
adanya Cakalang di suatu perairan.
Menurut Blackburn (1965), pengukuran salinitas adalah penting dalam
mene:ntukan dan mengenali ciri-ciri perairan yang berhubungan dengan keberadaan
ikan tuna, tetapi salinitas itu sendiri tidak diketahui mempunyai pengaruh langsung
terhadap penyebaran ikan tuna.
Cleaver and Shimada (1950) mengatakan bahwa Cakalang hidup pada
perairan dengan kadar salinitas antara 33 - 35 permil. Hal ini mengakibatkan
Cakalang di Indonesia banyak terdapat pada perairan yang berhubungan dengan
Lautim Pasifik seperti Indonesia Bagian Timur yang mempunyai salinitas 33 - 35 per
mil (,Jones and Silaas, 1962).
Menurut hasil penelitian Surono (1982), penyebaran salinitas permukaan laut
dalani hubungannya dengan hasil tangkapan Cakalang dengan pole and line di
Blackburn (1965) mengatakan bahwa kecerahan mempunyai arti yang
penting dalam penyebaran Cakalang. Beberapa bukti menerangkan bahwa Cakalang
banyak didapat pada perairan yang jernih, ha1 ini erat kaitannya karena di air yang
jernili mangsanya dapat terlihat dengan jelas. Cakalang tidak efisien dalam
menzmngkap mangsanya di perairan yang keruh, meskipun secara umum perairan yang
jernili hanya sedikit mengandung makanan. Selanjutnya dikatakan bahwa
pen~ngkapan Cakalang sangat baik dilakukan pada perairan dengan kecerahan antara
15 - 35 meter.
Menurut Soegiarto dan Birowo (1965), perairan di Indonesia Bagian Timur
mempunyai kecerahan perairan antara 10
-
30 meter. Hal ini mengakibatkan diperairan Indonesia Timur sangat baik dilakukan penangkapan Cakalang.
Matsumoto et al. (1984) mengatakan bahwa ikan Cakalang mempunyai
kebiasaan makan yang cukup teratur atau memiliki pola makan. Penelitian terhadap
isi lambung dapat menentukan bahwa kegiatan makan Cakalang memuncak pada
awal pagi mulai kira-kira pukul 08.00-12.00, dan berkurang antara pukul 13.00-
16.00, kemudian akan memuncak lagi akhir sore hari mulai pukul 16.00 hingga
matal hari terbenam.
Makanan utama ikan Cakalang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
2.5. Umpan Hidup
Umpan hidup merupakm kebutuhan mutlak yang liarus ada dalam setiap
operasi penangkapan dengan menggunakan pole and line, disamping penyediaannya
hartis cukup dan jenisnya tetap. Kekurangan didalam kebutuhan umpan yang
diperlukan akan dapat berakibat terbatasnya jumlah
hari
operasi dan perluasan daerahpenmgkapan (Maelissa, 1978).
Soepanto ilan Sujastani (1978) mengatakan bahwa kendala utama dalam pengembangan perikanan pole and line ialah kelimpahan ikan umpan hidup. Agar
opelrasi penangkapan dapat berlangsung dengan baik, maka persediaan umpan hams
c u b ~ p dan terjamin kelangsungannya.
Operasi penangkapan dengan pole and line tergantung sekali pada kondisi dan
berapa lama ikan umpan hidup tersebut dapat disimpan dan bertahan hidup di dalam
bak umpan. Menurut Brock and Uchida (1968), angka kematian atau tingkat
mortalitas umpan hidup rata-rata sekitar 25 % setiap hari setelah ditangkap. Hal ini
men~pakan kendala untuk mempertahankan agar sejumlah besar umpan untuk tetap
hidup atau untuk berhasilnya penangkapan selama lebih tiga hari.
Monintja (19683 menyatakan bahwa
ikan
umpan hidup yang baik hams menliliki syarat-syarat sebagai berikut :-! Disukai Cakalang
dan
sejenisnya;-. Bila dilemparkan tetap di permukaan dan mendekati kapal;