• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Waktu, Suhu Permukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu - Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Waktu, Suhu Permukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu - Nusa Tenggara Timur"

Copied!
320
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)
(152)
(153)
(154)
(155)
(156)
(157)
(158)
(159)
(160)
(161)
(162)
(163)
(164)
(165)
(166)

PENGARUH WAKTU, SUHU PERMUKAAN LAUT

DAN KECERAHAN PERAIRAN

TERHADAP HASIL TANGKAPAN

POLE AND LINE

DI PERAIRAN LAUT SAWU

7

NUSA TENGGARA TIMUR

OLEH :

S R I A W A N

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(167)

ABSTRAK

SRIAWAN. Pengaruh Waktu, Suhu Permukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu - Nusa Tenggara Timilr. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan ANWAR BEY PANE.

Perikanan pole and line adalah penangkapan ikan dengan menggunakan umpan hidup. Tujuan penangkapan dengan menggunakan alat ini adalah ikan Cakidang ( K a t m o m s pelamis) yang termasuk ikan pelagis dan aktif mencari makanan pada siang hari.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu, suhu perrnukaan laut dan kecerahan perairan terhadap has3 tangkapan yang diarnati pada. tiga lokasi yang ditentukan secara acak. Dari ketiga perlakuan tersebut dilihat pengaruhnya masing-masing perlakuan terhadap hasil tangkapan. Untuk suhu pemlukaan laut (SPL), selain dilakukan pengukuran di lapangan juga dilakukan pendleteksian citra satelit NOAAIAVHRR.

Penelitian dilakukan selama 6 bulan, yakni pada bulan Juli

-

Desember 2000. Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan yakni pada 15 Juli hingga 15 September 2000 di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Data citra SPL diperoleh dari LAPAN pada pendeteksian bulan Oktober

-

Desember 2000.

Pengamatan di lapangan dilakukan dengan mengikuti operasi penangkapan selarna 30 trip. Setiap trip penangkapan selama satu hari (one +fishing) mulai dari pagi sampai siang hari dan pengamatan dilakukan setiap dua hari sekali. Untuk mengetahui pengaruh waktu, dalam satu hari operasi penangkapan dikelompokkan menjadi 3 periode yakni waktu 1 (06.00-08.00), waktu 2 (08.00-10.00) dan waktu 3 (10.00-12.00). Untuk mengetahui suhu permukaan laut dan kecerahan perairan dilakukan pengukuran pada saat kapal melakukan operasi pemancingan.

Berdasarkan perhitungan Anava pada General Linear Model dari Program Minitab versi 13.20 menunjukkan bahwa waktu penangkapan mempunyai pengaruh yang nyata (signzficant) terhadap hasil tangkapan, sedangkan kecerahan dan suhu pem~ukaan laut tidak mempunyai pengaruh yang nyata (non signz~cant) terhadap hasil tangkapan. Selanjutnya untuk mengetahui waktu penangkapan yang paling baik dilakukan uji Tuky Test. Dari hasil uji menunjukkan bahwa waktu 2 memberikan hasil tangkapan yang lebih baik dibanding waktu 1 dan waktu 3, sedangkan hasil tanglcapan pada waktu 1 dan waktu 3 tidak berbeda nyata.

(168)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul : "Pengaruh Waktu, Suhu

Perniukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di

Perairan Laut Sawu - Nusa Tengggara Timur7' adalah benar merupakan hasil karya

saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan

dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2002

(169)

PENGARUH WAKTU, SUHU PERMUKAAN LAUT

DAN KECERAHAN PERAIRAN

TERHADAP HASIL TANGKAPAN

POLE AND LINE

DI PERAIRAN LAUT SAWU

-

NUSA TENGGARA TIMUR

S R I A W A N

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Kelautan

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(170)

Judul Tesis :Pengaruh Waktu, Suhu Pennukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu - Nusa Tenggara Timur

Nam~a : S r i a w a n

NRP' : 98391

Progmrn Studi : Teknologi Kelautan

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

M r . Vincentius P. Sirecar. DEA Ketua

~ r . k . Anwar Bey Pane. DEA Anggota

Mengetahui,

r Program Pascasarjana

. Svafrida Manuwoto. MSc.

---.

-vr . " - - 2 9

(171)

RIWAYAT

HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 18 Januari 1954

sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Karep dan Ibu Pademi. Pendidikan sarjana

diternpuh di Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan UNDIP, lulus pada tahun 1986.

Pada tahun 1998, penulis diterima di Program Studi Teknologi Kelautan pada

Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2002. Beasiswa

pendidikan Pascasarjana diperoleh dari ADB-LOAN.

Penulis bekerja sebagai Dosen tetap di Universitas Muhamrnadiyah Kupang

(UMK) sejak tahun 1993, dan sebelumnya bekerja di beberapa perusahaan perikanan

(172)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehitigga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dipilih ialah

"Pengaruh Waktu, Suhu Permukaan Laut dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil

Tangkapan Pole and line di Perairan Laut Sawu

-

Nusa Tenggara Timur"

Dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilrniah ini penulis

mentlapat bantuan dari berbagai pihak, maka dengan perasaan tulus ikhlas penulis

sampaikan ucapan terima kasih kepada :

-

Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar DEA dan Bapak Dr. Ir. Anwar Bey Pane

DEA selaku Dosen Pembimbing;

-

Bapak Ketua Program Studi Teknologi Kelautan dan seluruh Staf pengajar

yang telah memberikan bekal ilmu;

-

Bapak Rektor UMK dan Bapak Kepala ADB-LOAN yang telah memberikan

dana pendidikan;

-

Bapak Kepala Pelabuhan Perikanan Kupang dan Bapak Direktur PT. Timor

Sarana yang telah menyediakan tempat penelitian;

- Bapak Kepala Matra Laut Pusfatja Lapan Jakarta beserta staf yang telah

membantu pembuatan citra;

-

Kakanda Capt. Sri Untung dan ananda Krisna Husada yang telah banyak

membantu penulisan.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari pada sempurna,

kareria itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2002

(173)

DAFTAR

IS1

Halaman

...

PRPKATA ... 111

DAITTAR TABEL ... v

DAI7TAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... ... vii

1 . 1 . Latar Belakang Penelitian ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan Penelitian ... 4 1.4. Manfaat Penelitian ... 5 1.5. Hipotesis ... 5

2 . TINJAUAN PUSTAKA ... 6 2.1. Perikanan Pole and line ...

2.1.1. Kapal Pole and line ...

2.1.2. Alat Tangkap Pole and line ... 2.1.3. Tenaga Kerja ... 2.2. Ikan Tujuan Penangkapan Pole and line ...

2.3. Daerah Penyebaran Ikan Cakalang ...

2.4. Pengaruh Beberapa Faktor Oseanografi ... 2.5. Umpan Hidup ... 2.6. Teknologi Penginderaan Jauh ...

3

.

METODOLOGI PENELITIAN ...

3.1. Waktu dan Tempat ... 3.2. Unit Percobaan ...

3.2.1. Kapd Pole and line ...

3.2.2. Alat Tangkap Pole and line ... 3.2.3. Alat-alat Bantu dalam Pemancingan Pole and line ... 3.2.4. Tenaga Kerja ... 3 2 . 5 . Alat-alat Pengukur dalam Penelitian ... 3.3. Metode Penelitian ...

(174)

... .

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

... 4.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian

... 4.1.1. Letak Geografis

4.1.2. Kondisi Laut ...

... 4.1.3. Klimatologi

... 4.1.4. Keadaan Perikanan

... 4.2. Operasi Penangkapan Pole and line

4.2.1. Persiapan Sebelum Kapal Berangkat ...

...

4.2.2. Pencarian Umpan

4.2.3. Cara Penangkapan ...

... 4.2.4. Penanganan Hasil Tangkapan

... 4.3. Pengaruh Waktu Penangkapan Terhadap Hasil Tangkapan

4.4. Pengaruh Suhu Perairan Terhadap Hasil Tangkapan ... 4.5. Pengaruh Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan ...

... 4.6. Interpretasi Citra Suhu Permukaan Laut Satelit NOMAVHRR

.... 4.7. Pembahasan Citra Suhu Permukaan Laut Satelit NOAA/AVHRR

5 . KESIMPULAN DAN SARAN ...

5.1. Kesirnpulan ...

5.2. Saran ...

(175)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kisaran Suhu Optimum dan Lapisan Renang Beberapa Ikan

Pelagis ... 19

2. Alat-alat Pengukur yang Digunakan untuk Mendapatkan

Data Utama ... 3 9

3. Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan di Teluk

Kupang Tahun 1999. ... 5 5 4. Rata-rata Suhu Udara, Kelembaban, Kecepatan Angin dan

...

Prosentase Penyinaran di Kota Kupang Tahun 1999.. 5 6

5. Perkembangan Keadaan Perikanan di Perairan Teluk

...

Kupang Tahun 1997 - 1999. 57

6. Perkembangan Produksi Perikanan di Perairan Teluk

Kupang Tahun 1997 - 1 999. ... 5 8

7. Perkembangan Jumlah Nelayan di Perairan Teluk

...

Kupang Tahun 1997 - 1999. 59

8. Produksi Ikan Tuna dan Cakalang di Pelabuhan Perikanan ...

Pantai Kupang Tahun 1997

-

1999.. 60

9. Hubungan Waktu Penangkapan dan Hasil Tangkapan

Pole and line di Perairan Laut Sawu-Nusa Tenggara Timur.. . 75

10. Hubungan Suhu Perairan dan Hasil Tangkapan

Pok and line di Perairan Laut Sawu-Nusa Tenggara Timur.. .. 78 1 1. Hubungan Kecerahan Perairan dan Hasil Tangkapan

Pole and line di Perairan Laut Sam-Nusa Tenggara Timur.. .. 8 1 12. Citra Suhu Permukaan Laut di Perairan Laut Sawu Bulan

...

(176)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

... 1 . Klasifikasi dari Family Scombridae

...

.

2 Ikan Cakalang (Katsuworms pelamis)

... 3 . Peta Penyebaran Ikan Cakalang di Perairan Indonesia

...

.

4 Konstruksi Kapal Pole and line

...

.

5 Sketsa Alat Tangkap Pole and line

...

.

6 Alat-alat Bantu Pemancingan Pole and line

7 . Posisi Anak Buah Kapal (ABK) Saat Pemancingan Pole and line .

.

... 8 . Peta Lokasi Penelitian

-

Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur

... 9 . Jenis-jenis Ikan Umpan Pole and line

...

10 . Posisi Kapal Pole and line Terhadap Ikan, Arus dan Angin ...

.

1 1 Kegiatan Operasi Penangkapan Pole and lzne

... .

12 Jenis-jenis Ikan Hasil Tangkapan Pole and line

13 . Gr&k Hubungan Waktu Penangkapan Dengan Hasil Tangkapan

... Pole a d line di Perairan Laut Sawu-Nusa Tenggara Timur 14 . Grafik Hubungan Suhu Perairan Dengan Hasil Tangkapan

... Pole and line di Perairan Laut Saw-Nusa Tenggara Timur 15 . Grafik Hubungan Kecerahan Perairan Dengan Hasil Tangkapan

... Pole anul line di Perairan Laut Saw-Nusa Tmggara Timur

...

.

16 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 16 Juli 2000

...

.

17 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 17 Juli 2000

... 18 . Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 1 8 Juli 2000

... .

19 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 25 Juli 2000

...

.

20 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 4 Agustus 2000

...

.

21 Citra Swhu Permukaan Laut Tanggal 22 Agustus 2000

...

.

(177)

...

.

23 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 29 Agustus 2000 100 ...

.

24 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 4 September 2000 102 ...

.

25 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 5 September 2000 104 ...

.

26 Citra Suhu Permukaan Laut Tanggal 9 September 2000 106 ...

.

(178)

DAFTAR LAMPIRAN

1 . Hasil Penelitian Lokasi. Waktu. Suhu. Kecerahan dan Hasil

Tangkapan ...

2 . Perhitungan Statistik I Pengaruh Waktu. Suhu dan Kecerahan

... Terhadap Hasil Tangkapan

3 . Perhitungan Statistik I1 Pengaruh Waktu. Suhu d m Kecerahan ... Terhadap Hasil Tangkapan

...

.

4 Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Juli 1997

...

.

5 Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1996 ... 6 . Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1997

... 7 . Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1998

...

.

8 Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan Agustus 1999

...

.

9 Suhu Permukaan Laut dari GMS. Bulan September 1996

...

.

10 Suhu Perrnukaan Laut dari GMS. Bulan September 1997

...

.

(179)

1.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Penelitian

Parameter oseanografi yang digunakan untuk menggambarkan sifat dan

proses yang terjadi di laut dapat diukur dengan dua cara. Cara pertama adalah

mengukur langsung parameter oseanografi di laut, sedangkan cara kedua adalah

menpkur secara tidak langsung melalui teledeteksi dengan menempatkan suatu

sensor pada platform yang dibawa oleh pesawat terbang atau satelit. Cara yang kedua

ini kurang akurat dibanding dengan cara pertama, namun cara kedua ini mempunyai

beberapa kelebihan yaitu dapat menjangkau wilayah yang lebih luas dalam waktu

yang sama. Hal ini sangat bermanfaat untuk melihat sifat dan proses yang terjadi di

suatu perairan dari waktu ke waktu.

Ikan Cakalang hidup bergerombol dalam jumlah besar sebagai ikan

pem~ukaan (pelagic). Ikan ini termasuk ikan karnivora yang serakah dan bergerak

mencari makan berdasarkan penglihatan. Oleh karena aktivitas makan berdasarkan

penglihatan, maka aktivitas makan ini akan menurun pada saat cahaya berkurang

sepeiti halnya pada waktu subuh dan senja hari (Inoue, 1961).

Gunarso (1978) mengatakan bahwa ikan Cakalang termasuk jenis ikan yang

aktif mencari makan pada siang hari (diurnal). Dalam mencari makanan ikan tersebut

mengalami pergerakan rnigrasi vertikal yakni muncul ke lapisan permukaan sesudah

(180)

lapisan air yang lebih dalam. Berdasarkan pergerakan rnigrasi vertikal dari pada ikan

tersebut, maka puncak aktivitas makan terjadi pada waktu subuh dan senja hari.

Oseanografi dapat dipakai untuk melihat sifat dan proses yang terjadi di suatu

perairan. Salah satu parameter adalah suhu permukaan laut yang dapat digunakan

untuk melihat proses-proses fisik air laut seperti : upwelling, divergen, konvergen,

oce~mic front dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut sangat penting untuk diketahui

lokasinya, karena tempat-tempat tersebut dapat memberi petunjuk tentang tingkat

kesu buran suatu perairan.

Kecerahan perairan mempunyai arti yang penting dalam penyebaran ikan tuna

dan Cakalang. Beberapa bukti menerangkan bahwa tuna dan Cakalang banyak

didapat pada perairan yang jernih. Hal ini erat kaitannya, antara lain karena di air

yang, jernih mangsanya dapat terlihat dengan jelas. Tuna dan Cakalang tidak efisien

dala~n menangkap mangsanya di perairan yang keruh, meskipun secara umum

peran-an yang jernih hanya sedikit mengandung makanan (Blackburn, 1965).

Gunarso (1988) mengatakan bahwa daerah penangkapan ikan Cakalang yang

optimum berada di sepanjang equator antara 10" L.U. sampai 10" L.S. Pada ha1

perairan Laut Sawu terletak di belahan bumi selatan katulistiwa yang berada pada

posiai 09" L.S. sampai 1 I" L.S. sebagai tempat penelitian, diharapkan dapat

memberikan hasil tangkapan yang memuaskan.

Pole and line sebagai alat tangkap ikan permukaan (pelugis) yang hidup

(181)

tangkap tersebut satu per satu sehingga alat tangkap tersebut termasuk alat tangkap

yang selektif, dengan demikian sumber daya alam dapat terjamin kelestariannya.

Pole and line dalam operasi penangkapan menggunakan umpan hidup, maka

peneingkapan ini sering disebut live bait fishing. Kekurangan umpan didalam

kebutuhan yang diperlukan akan dapat berakibat berkurangnya jumlah hari operasi

dan perluasan daerah penangkapan, maka agar penggunaan umpan dapat lebih efisien

perlu diketahui waktu, suhu permukaan laut dan kecerahan perairan yang tepat.

1.2. Perurnusan Masalah

Ikan Cakalang terrnasuk ikan pelagis bergerak mencari makan berdasarkan

penglihatan. Karena aktivitas makan berdasarkan penglihatan, maka aktivitas makan

ini kkan menurun pada saat cahaya berkurang. Disamping itu ikan Cakalang termasuk

ikan siang hari (diurnal), maka aktivitas makan ikan ini juga dipengaruhi oleh migrasi

vertikal dari ikan tersebut. Berdasarkan tingkah laku ikan tersebut di Indonesia

khususnya di Nusa Tenggara Timur belum diketahui waktu penangkapan ikan

Caktllang yang tepat dengan menggunakan alat tangkap pole and line.

Ikan Cakalang banyak didapat pada perairan yang jernih dimana mangsanya

dapat terlihat dengan jelas dan tidak efisien dalam menangkap mangsanya di perairan

yang keruh, meskipun perairan yang jernih tersebut hanya sedikit mengandung

makanan. Berdasarkan kebiasaan ini perlu diketahui kecerahan perairan yang sesuai,

(182)

Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga

keberadaan organisme khususnya ikan di suatu perairan. Lokasi ikan dapat diprediksi

salah satunya dengan mengetahui suhu optimum ikan yang menjadi tujuan

penangkapan, maka agar penangkapan ikan dengan pole and line dapat berhasil perlu

diketahui suhu optimum daripada ikan Cakalang.

Untuk menentukan suhu permukaan laut, dapat dilakukan dua cara yakni

pertama metode pengukuran secara langsung (konvensional) dengan menggunakan

alat-idat pengukur temperatur di permukaan laut dan kedua dengan metode perkiraan

(estilnasi) yakni dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh.

Untuk mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan,

selaill dilakukan pengukuran langsung di lapangan juga akan dilakukan pendeteksian

ciitra satelit dan juga akan dibandingkan dengan hasil pemantauan satelit cuaca GMS

(Geostasioner Meteorology Satellite).

1.3. 'Cujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

-

Untuk mengetahui waktu penangkapan ikan Cakalang yang paling tepat di

lokasi penelitian;

-

Untuk mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan;

-

Untuk mengetahui kecerahan perairan yang paling sesuai terhadap hasil
(183)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat :

-

Sebagai bahan informasi kepada nelayan, agar dapat memudahkan dalam

menentukan fishing ground dengan mengetahui suhu dan kecerahan perairan

yang sesuai dari keberadaan ikan, sehingga penangkapan ikan Cakalang dapat

lebih efisien dengan mengetahui waktu penangkapan yang tepat;

-

Sebagai bahan informasi untuk menunjang kemajuan serta perkembangan

ilmu dalam bidang perikanan pole and line dengan memanfaatkan teknologi

penginderaan jauh.

-

Dengan membandingkan hasil tangkapan pada pagi (06.00-08.00), menjelang

siang (08.00- 10.00) dan siang hari (1 0.00- 12.00), diduga hasil tangkapan

menjelang siang hari akan lebih baik dari pada waktu pagi atau siang hari;

-

Dengan membandingkan hasil tangkapan pada suhu perairan yang berbeda,

diduga hasil tangkapan pada suhu perairan tinggi akan lebih baik dari pada

suhu yang lebih rendah;

-

Dengan membandingkan hasil tangkapan pada kecerahan perairan yang

berbeda, diduga hasil tangkapan pada kecerahan perairan tinggi akan lebih

(184)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perikanan Pole and line

Takayarna (1962) mengatakan bahwa pada umumnya untuk menangkap ikan

Cakadang digunakan dua jenis alat tangkap yaitu pancing dan jaring. Pancing sendiri

dari cara penangkapan terdiri dari : pancing tonda (trolling), pancing rawai (long line)

dan 1)ancing huhate (pole and line).

Menurut Anderson (1953), pole and line Jishing adalah cara penangkapan

ikan dengan menggunakan umpan hidup. Oleh sebab itu maka penangkapan ini sering

disek~ut live bait fishing. Penangkapan ikan dengan pole and line ini digolongkan

kedalam surface Jishing dan paling banyak menangkap jenis ikan Cakalang

(Kat,~uwonuspelamis) dari pada spesies-species lainnya (Schaeffer, 1961).

Maelissa (1978) menyatakan bahwa faktor pembatas yang memerlukan

pemecahan lebih lanjut dalam usaha perikanan Cakalang dengan metode pole and

line imtara lain adanya sumber-sumber umpan yang mencukupi.

Menurut Cleaver and Shimada (1950), pole and line telah berkembang di

Jepang sejak tahun 1919 dan kemudian terus berkembang ke Amerika, Philipina,

India. dan Indonesia. Alat tangkap ini di Indonesia diperkenalkan oleh nelayan

Jepa~ig pada tahun 1939.

Unit penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan,

(185)

Berclasarkan hal ini maka unit penangkapan pole and line terdiri dari : kapal pole and

line, pancing pole and line dan tenaga kerja (crew) yang mengoperasikannya.

2.1.11. Kapal Pole and line

Muranto (1973) berpendapat bahwa dalarn perencanaan pembuatan kapal

penaflgkapan yang baik perlulah diperhatikan beberapa pertimbangan yakni : ukuran

dan kecepatannya sehingga seimbang antara besar kapal dan jenis alat-alat

tangkapnya, mempunyai ketahanan yang besar, mempunyai daya jelajah yang cukup

besar, konstruksinya cukup h a t serta adanya perlengkapan penangkapan dan alat-alat

navigasi yang cukup memadai.

Menurut Malangjoedo (1978), letak dan kayanya Jishing ground yang akan

dijadikan daerah operasi penangkapan akan menentukan pula jenis dan ukuran kapal

yang akan dipergunakan. Selanjutnya dikatakan bahwa ada tiga ukuran kapal pole

and line yakni :

-

Kapal ukuran kecil yakni 7 - 15 GT, jarak operasinya kurang dari 30 mil dan

tanpa pengawetan;

-

Kapal ukuran sedang yakni 15 - 30 GT, jarak operasinya 30 - 50 mil dengan

pengawetan es dan lama operasinya kurang dari 5 hari;

-

Kapal ukuran besar yakni 100 GT keatas, lama operasinya bisa sampai 40 hari

atau lebih.

Simpson (1979), membagi perkembangan motorisasi perikanan pole and line

(186)

-

Kapal skala kecil merupakan milik pribadi yang berukuran 5

-

20 GT, dimulai

tahun 196211 963;

-

Perusahaan perikanan dengan ukuran kapal 15 - 30 GT, dimulai pada tahun

1951;

-

Joint venture dengan menggunakan kapal berukuran 85 - 95 GT, dimulai

sejak tahun 1973.

Ayodhyoa (2972) menyatakan bahwa bahan pembuat kapal penangkap ikan

dapat terbuat dari bahan kayu, baja atau fiberglas. Kapal tersebut dapat berbeda

dalmn ukuran, tenaga penggerak dan perlengkapannya. Bahan yang digunakan dalam

peml~uatannya harus disesuaikan dengan keadaan daerah dimana kapal tersebut

diopierasikan serta biaya yang tersedia. Selanjutnya dikatakan bahwa kapal baja bila

dibandingkan dengan kapal kayu terlihat bahwa kapal baja tersebut ketahanan

terpakainya akan lebih lama, namun demikian kapal kayu lebih murah dan apabila

perawatannya lebih baik maka sering umur kapal kayu tidak jauh berbeda dibanding

dengan umur kapal baja.

Bentuk kapal motor pole and line adalah bentuk kapal motor biasa dan

ditarnbah dengan beberapa konstruksi khusus, antara lain : tempat pemancingan

wiyj'ng deck), sayap (platform), pipa penyemprot air (water sprayer) dan adanya bak

umpan hidup (Monintja, 1968").

Ayodhyoa (1972) menyatakan bahwa kapal pole and line pada saat operasi

(187)

harut; mempunyai kecepatan yang tinggi karena ikan yang menjadi tujuan

penangkapan merupakan ikan perenang cepat.

2.1.2. Alat Tangkap Pole and line

Monintja (196Sa) mengatakan bahwa pada prinsipnya alat tangkap pole and

line ~erdiri dari tiga bagian yakni : tangkai pancing (pole), tali pancing (line) dan mata

panci ng (hookless).

Pole atau tangkai pancing dibuat dari bambu yang mas-ruasnya banyak

sehingga banyak buku-buku yang memperkuatnya atau dibuat dari fiberglass. Line

atau tali pancing yang dibuat dari nylon mztltifilament biasanya panjangnya 213 dari

pada panjang tangkai pancing. Hookless atau mata pancing terdiri dari timah

pemt~erat, pembungkus, bulu ayarn dan mata pancing yang tidak berkait balik.

2.1.3. Tenaga Kerja

Menurut Tagaki (1969), jumlah awak kapal yang dibutuhkan untuk

mengoperasikan unit pole and line di Jepang adalah kira-kira dua kali lipat dari awak

kapali yang dibutuhkan untuk mengoperasikan unit long line.

Muramatsu (1967) mengatakan bahwa karena terbatasnya saat pemancingan

makal pole a d line perlu mempunyai jumlah awak kapal yang banyak. Selanjutnya

dikatakan bahwa untuk kapal berukuran 20-50 GT mempunyai 30 orang awak kapal,

kapali berukuran 50-100 GT mempunyai 45 orang awak kapal dan kapal yang lebih

(188)

Ayodhyoa (1975) mengatakan bahwa umur awak kapal pole and line sampai

dengan 5 1 tahun masih dapat dipakai, karena saat-saat pemancingan dilakukan

sewaktu-waktu. Sedangkan umur awak kapal long line sebaiknya 80 persen terdiri

dari yang muda-muda antara 20 - 30 tahun.

2.2. I[kan Tujuan Penangkapan Pole and line

Malangjoedo (1978) mengatakan bahwa ikan yang menjadi tujuan

penaiigkapan dengan menggunakan alat tangkap pole and line adalah jenis ikan

Caka lang (Katswonus pelamis).

Menurut Uktolseja et a1 (1984), ikan Cakalang termasuk dalam golongan

tuna kecil. Tuna kecil mempunyai ukuran antara 20 - 80 centimeter dengan panjang

maximum 105 centimeter. Jenis-jenis ikan yang termasuk tuna besar diantaranya

adalah Madidihang (lic2unnus albacares), Albacore (lic2unnu.s alalunga) dan Tuna

Mata besar (Thunnus obesus). Ikan tuna besar ini mempunyai ukuran antara 40

-

180

centimeter dengan panjang maximum 236 centimeter.

Matsumoto et al. (1984) mengatakan bahwa Katswonus lebih mirip atau

dekal, dengan Euthynnus dibandingkan dengan Thunnus. Sedangkan nama pelamis

ditetiipkan oleh Linnaeus pada tahun 1758, dan sekarang hampir semua peneliti

(189)

Klasifikasikan ikan Cakalang menurut Matsumoto et al. (1984) adalah

seba~zai berikut :

Phylum Subphylum Superclass Series Class Subclass Order Suborder Family Subfamili Tribe Genus Species Vertebrata Craniata Gnathostomata Pisces Teleostorni Actinopterygii Perciformes Scombroidei Scombridae Scombrinae Thunnini Katsuwonus pelamis

Matsumoto et al. (1984), mengatakan bahwa berdasarkan deskripsi morfologi

dan meristik ikan Cakalang dari berbagai Samudera, serta hasil studi biokimia dan

genetika menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies yang tersebar di seluruh dunia,

(190)

II

Subf amSy T r i b o Cenue

Sumber : Ayodhyoa, 1998

(191)

Ciri-ciri khusus ikan Cakalang yang dikemukakan dalam FA0 (1974) yaitu tubuh berbentuk torpedo @siforrn) memanjang dan bulat, memiliki tapis insang (gill

rakers) 53

-

62 buah. Terdapat dua sirip punggung yang terpisah, pada sirip punggung

pertama terdapat 14 - 16 jari-jari keras, pada sirip kedua diikuti oleh 7 - 8 finlet.

Terdapat rigi-rigi @lets) yang lebih kecil pada masing-masing sisi dorsal dan ventral

tubuh bagian belakang dan sirip ekor.

Warna tubuh pada saat ikan masih hidup adalah biru baja (steel blue), tingled

dengan lustrous violet di sepanjang permukaan punggungnya dan intensitasnya

menjvsut di sisi tubuh hingga ketinggian pada pangkal sirip dada. Sebagian dari

bada~mya, termasuk bagian abdomen berwarna putih hingga kuning muda. Garis-

garis vertikal evanescent muda tampak di bagian sisi tubuhnya pada saat baru saja

tertangkap. Warna abu-abu di sebelah bawah mandible bersatu dengan warna putih

bagian tubuh dibelakangnya di bagian bawah setengah tubuh. Di setiap sisi tubuh,

empa,t hingga enam garis melintang terlihat nyata di bawah lateral line di setiap sisi

tubuli (Matsumoto et al. 1984). (Gambar 2)

Menurut Gunarso (1988), ikan menerima berbagai informasi mengenai

keadizan sekelilingnya melalui beberapa inderanya, seperti indera penglihat,

pendl~ngar, pencium, linea lateralis dan sebagainya. Cakalang terrnasuk ikan yang

aktif mencari makan pada siang hari (diurnal) dan banyak dijumpai pada lapisan

pelag,is yang banyak menerima sinar matahari, maka alat indera yang utama adalah

(192)
[image:192.787.57.697.103.518.2]

Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, 1993

(193)

2.3. :Daerah Penyebaran Ikan Cakalang

Menurut Maelissa (1978), perikanan Cakalang atau slnpjackfishing dikenal di

seluruh bagian tropis dan sub tropis. Penyebaran Cakalang ini dipengaruhi oleh

perbt:daan garis lintang (latitude) dan tidak dipengaruhi perbedaan garis bujur

(longitude) (Murphy and Shomura, 1958).

Menurut Forsberg (1964), daerah penyebaran ikan Cakalang terletak antara

40" L.U. sampai dengan 30" L.S., sedangkan daerah penangkapan yang optimum

beratla disepanjang equator antara 10" L.U. sampai dengan 10" L.S.

Gunarso (1988) mengatakan bahwa sebagian dari perairan Indonesia

merupakan lintasan ikan Cakalang yang bergerak menuju ke Kepulauan Philipina dan

Jepang. Di perairan Indonesia bagian barat, ikan Cakalang dapat ditangkap di

separljang pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Penyebaran

di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Laut Flores, Laut Arafhra,

Laut Halmahera, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Aru dan sebelah utara Irian Jaya.

(Garr~bar 3)

Matsumoto et al. (1984), menyatakan bahwa berdasarkan penelitian terhadap

hasil tangkapan long line, tuna tersebar menurut lapisan air, dengan Cakalang

(Katswonus pelamis) menempati lapisan teratas (permukaan) diikuti dengan Bluefin

tuna (Thunnus thynnus) di lapisan bawahnya, kemudian berturut-turut Yellowfin tuna

(Thu~mus albacares), Bigeye tuna (Thunnus obesus) dan Albacore tuna (Thunnus

(194)
(195)

Ikan Cakalang mempunyai tingkah laku (behaviour) sebagai ikan pelagis

yarg hidup bergerombol dalam jurnlah yang besar (schooling). Pengertian schooling

disini ialah pengelompokan ikan yang ter-polarismi ataupun ter-orientasi satu sama

lairlnya baik jarak maupun kecepatan renangnya (Gunarso, 1978).

Nakamura (1969) mengatakan bahwa tuna biasanya terdiri dari ikan yang

berukuran sama, walaupun terdapat dalarn suatu gerombolan campuran antara dua

species atau lebih. Hal ini mungkin disebabkan karena kecepatan berenangnya ikan

yang berukuran lebih kecil tidak dapat mengikuti ikan-ikan yang lebih besar.

Radakov (1969) ddam Gunarso (1988) mengatakan bahwa pengetahuan

meingenai kebiasaan ikan berkelompok erat hubungannya dengan peningkatan

kecnampuan penangkapan dari sesuatu jenis alat penangkap dan perkembangan

efisiensi dari sesuatu metode penangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa hal-hal

yang menyebabkan ilcan-ikan berada dalarn suatu gerombolan antara lain adalah :

sebagai perlindu~gan diri dari predator, mencari dan menangkap mangsanya,

pen~ijahan, pada waktu musim dingin, beruaya dan pergerakan serta adanya pengaruh

faktor sekeliling.

Ayodhyoa (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan gerombolan

Cd;alang ada beberapa petunjuk misalnya : adanya burung yang menukik dan

menyambar permukaan laut, adanya ikan-ikan yang meloncat ke atas permukaan air,

(196)

Gunarso (1978) mengatakan bahwa ikan dapat tertarik dan dapat dipikat

dengan menggunakan benda-benda terapung dimana mereka akan bergabung dan

berkt:lompok. Tertariknya terhadap benda terapung serta mengelompoknya ikan ini

diseblabkan oleh karena adanya respon ikan berdasarkan pada penglihatannya.

Menurut Soepanto dan Sujastani (1978), Cakalang akan berkumpul di

sekitar rakit-rakit yang diberi jangkar (payos). Benda-benda terapung bebas yang

terbawa hanyut arus laut mempunyai daya tarik yang lebih baik dari pada payos.

Apatlila ada benda terapung yang terbawa arus laut melewati payos, maka akan ada

tendensi ikan yang tadinya berkumpul di sekitar payos akan berpindah ke benda

terapung dan mengikutinya.

2.4. IPengaruh Beberapa Faktor Oceanografi

Penyebaran ikan Cakalang mempunyai hubungan erat dengan penyebaran

suhu, salinitas dan kecerahan perairan.

Matsumoto et al. (1984) mengatakan bahwa penyebaran ikan Cakalang

mempunyai hubungan dengan penyebaran suhu di dam. Batas dan kisaran suhu

dimaina ikan Cakalang tertangkap bervariasi di beberapa wilayah perairan. Cakalang

tertarigkap di perairan lepas pantai Jepang pada suhu berkisar antara 17.5' - 30' C, di

Samudera Pasifik antara 17'

-

30' C, di perairan lepas pantai India antara 27' - 30' C,

di New Zealand antara 16' - 22' C dan di perairan Tasmania antara 14.7' - 20.8' C.

Deng,an demikian, secara keseluruhan suhu penyebaran Cakalang berkisar antara

(197)

Menurut hasil penelitian Darongke (1975), hasil tangkapan pole and line

yang paling besar di perairan Sulawesi Utara dicapai pada pemancingan dengan

temperatw 29' C, sedangkan di perairan Sorong penangkapan Cakalang dicapai pada

penlancingan dengail temperatur rata-rata 29,6' C (Surono, 1982).

Laevastu (1993) mengatakan bahwa pengaruh suhu terhadap ikan adalah

dalsun proses metabolisme seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas

tubilh seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf.

Menurut Hela and Laevastu (1970), let& kedalaman kelompok ikan pelagis

banyak ditentukan oleh distribusi suhu secara vertikal. Hal ini berarti bahwa ikan

pelslgis &an berenang menghindari .suhu yang lebih tinggi dan menuju ke sebelah

dalsun pada waktu suhu permukaan lebih tinggi dari biasanya.

Tabel 1 : Kisaran Suhu Optimum dan Lapisan Renang Beberapa Ikan Pelagis

Jenis Tuna

Bl!~efin tuna

Bigeye tuna

Yellowfin tuna

Aldbacore tuna

Skipjack tuna

Suhu Optimum

(OC)

14

-

21

17-23

20 - 28

14 - 22

20 - 24

Lapisan Renang (meter)

50 -300

50 - 400

0 - 200

20

-

300

0 - 4 0

(198)

Menurut Soegiarto dan Birowo (1975), pelapisan suhu secara menegak di

perairan tropis dapat dibagi menjadi tiga lapisan, yakni lapisan panas (homogen),

lapisim termoklin dan lapisan dingin (dalam). Secara umum lapisan panas ditandai

oleh penyebaran vertikal parameter hidrologis yang homogen, yang disebabkan

proscs pengadukan oleh angin, arus dan pasang surut. Ketebalan lapisan ini di

perairan dalam berkisar antara 50 meter sampai dengan 100 meter, tergantung dengan

perkisaran musim dan suhunya berkisar antara 26'

-

30' C.

Salinitas juga merupakan faktor penting yang dapat digunakan untuk meramal

adanya Cakalang di suatu perairan.

Menurut Blackburn (1965), pengukuran salinitas adalah penting dalam

mene:ntukan dan mengenali ciri-ciri perairan yang berhubungan dengan keberadaan

ikan tuna, tetapi salinitas itu sendiri tidak diketahui mempunyai pengaruh langsung

terhadap penyebaran ikan tuna.

Cleaver and Shimada (1950) mengatakan bahwa Cakalang hidup pada

perairan dengan kadar salinitas antara 33 - 35 permil. Hal ini mengakibatkan

Cakalang di Indonesia banyak terdapat pada perairan yang berhubungan dengan

Lautim Pasifik seperti Indonesia Bagian Timur yang mempunyai salinitas 33 - 35 per

mil (,Jones and Silaas, 1962).

Menurut hasil penelitian Surono (1982), penyebaran salinitas permukaan laut

dalani hubungannya dengan hasil tangkapan Cakalang dengan pole and line di

(199)

Blackburn (1965) mengatakan bahwa kecerahan mempunyai arti yang

penting dalam penyebaran Cakalang. Beberapa bukti menerangkan bahwa Cakalang

banyak didapat pada perairan yang jernih, ha1 ini erat kaitannya karena di air yang

jernili mangsanya dapat terlihat dengan jelas. Cakalang tidak efisien dalam

menzmngkap mangsanya di perairan yang keruh, meskipun secara umum perairan yang

jernili hanya sedikit mengandung makanan. Selanjutnya dikatakan bahwa

pen~ngkapan Cakalang sangat baik dilakukan pada perairan dengan kecerahan antara

15 - 35 meter.

Menurut Soegiarto dan Birowo (1965), perairan di Indonesia Bagian Timur

mempunyai kecerahan perairan antara 10

-

30 meter. Hal ini mengakibatkan di

perairan Indonesia Timur sangat baik dilakukan penangkapan Cakalang.

Matsumoto et al. (1984) mengatakan bahwa ikan Cakalang mempunyai

kebiasaan makan yang cukup teratur atau memiliki pola makan. Penelitian terhadap

isi lambung dapat menentukan bahwa kegiatan makan Cakalang memuncak pada

awal pagi mulai kira-kira pukul 08.00-12.00, dan berkurang antara pukul 13.00-

16.00, kemudian akan memuncak lagi akhir sore hari mulai pukul 16.00 hingga

matal hari terbenam.

Makanan utama ikan Cakalang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori

(200)

2.5. Umpan Hidup

Umpan hidup merupakm kebutuhan mutlak yang liarus ada dalam setiap

operasi penangkapan dengan menggunakan pole and line, disamping penyediaannya

hartis cukup dan jenisnya tetap. Kekurangan didalam kebutuhan umpan yang

diperlukan akan dapat berakibat terbatasnya jumlah

hari

operasi dan perluasan daerah

penmgkapan (Maelissa, 1978).

Soepanto ilan Sujastani (1978) mengatakan bahwa kendala utama dalam pengembangan perikanan pole and line ialah kelimpahan ikan umpan hidup. Agar

opelrasi penangkapan dapat berlangsung dengan baik, maka persediaan umpan hams

c u b ~ p dan terjamin kelangsungannya.

Operasi penangkapan dengan pole and line tergantung sekali pada kondisi dan

berapa lama ikan umpan hidup tersebut dapat disimpan dan bertahan hidup di dalam

bak umpan. Menurut Brock and Uchida (1968), angka kematian atau tingkat

mortalitas umpan hidup rata-rata sekitar 25 % setiap hari setelah ditangkap. Hal ini

men~pakan kendala untuk mempertahankan agar sejumlah besar umpan untuk tetap

hidup atau untuk berhasilnya penangkapan selama lebih tiga hari.

Monintja (19683 menyatakan bahwa

ikan

umpan hidup yang baik hams menliliki syarat-syarat sebagai berikut :

-! Disukai Cakalang

dan

sejenisnya;

-. Bila dilemparkan tetap di permukaan dan mendekati kapal;

Gambar

Gambar 2. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Gambar 4. Konstruksi Kapal Pole and line
Gambar 5. Sketsa Alat Tangkap Pole and line
Gambar 6. Alat-alat Bantu Pemancingan Pole and line
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasyim Asy’ari dalam penyebaran Islam di Jawa tahun 1899-1947 ini, menggunakan metode penulisan yaitu menggunakan metode studi literatur yang meliputi

Target Pengabdian masyarakat adalah peningkatan kompetensi SDM petugas Puskesmas yang telah bekerja sebagai petugas laboratorium satelit mikroskopis TB sejumlah total 11

Untuk mencegah kebocoran gas, terdapat seal (perapat) antara elektroda tengah dengan isolator dan antara isolator dengan bodi busi. Bodi busi dibuat dari baja berlapis nikel

Selain menyediakan modal (kredit) koperasi ini juga menyediakan peralatan untuk anggota nelayan yang memerlukannya (Tabel 1). Peralatan yang dimaksud disini adalah mesin perahu

Minyak atsiri merupakan senyawa, yang pada umumnya berwujud cairan, yang diperoleh dari bagian tanaman, akar, kulit, batang, buah, daun, biji maupun bunga dengan cara

Berdasarkan hasil penelitian tingkat partisipasi terhadap Program Desa Mandiri Pangan (DMP) di Kelurahan Padang Serai Kecamatan Kampung Melayu Kota Bengkulu

Untuk semua anggota tata usaha Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang, yang telah banyak membantu untuk kebutuhan

Sekolah dapat (1) membeli buku-buku yang sesuai dengan minat, usia, dan jenjang kemampuan membaca siswa untuk memperkaya koleksi perpustakaan sekolah dan pojok baca kelas;