• Tidak ada hasil yang ditemukan

Development of zone cooling system for aeroponically grown potato seed production in humid tropical lowland

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Development of zone cooling system for aeroponically grown potato seed production in humid tropical lowland"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN

ZONE COOLING

SYSTEM

UNTUK

PRODUKSI BENIH KENTANG SECARA AEROPONIK

DI DATARAN RENDAH TROPIKA BASAH

ENI SUMARNI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih Kentang Secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Eni Sumarni

(4)

RINGKASAN

ENI SUMARNI. Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih Kentang Secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah. Dibimbing oleh HERRY SUHARDIYANTO, KUDANG BORO SEMINAR dan SATYANTO KRIDO SAPTOMO.

Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung. Kandungan karbohidrat kentang sangat tinggi sehingga dapat menjadi subtitusi beras, terigu, dan jagung. Sebagai salah satu komoditas unggulan, kentang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif serta memiliki potensi pasar domestik dan ekspor yang cukup baik. Namun di Indonesia, produksi kentang masih lebih rendah daripada kebutuhan akan kentang. Karena itu, Indonesia masih mengimpor kentang dari negara lain. Permasalahan utama dalam peningkatan produksi kentang di Indonesia adalah kesulitan mendapatkan benih kentang bermutu dalam jumlah cukup, tepat waktu dan tepat varitas. Penggunaan benih yang tidak bermutu oleh menyebabkan rendahnya produktivitas kentang. Selain itu, peningkatan produksi kentang menghadapi masalah berkurangnya luas areal tanaman kentang di dataran tinggi dan adanya serangan hama dan penyakit.

Di Indonesia, tanaman kentang pada umumnya dibudidayakan di dataran tinggi. Hal ini sering kali diikuti dengan tingginya laju erosi tanah dari lahan budidaya tanaman kentang. Penggeseran orientasi lokasi penanaman kentang ke dataran rendah merupakan salah satu alternatif yang prospektif untuk membantu peningkatan produksi kentang sekaligus mengatasi masalah erosi tanah. Tetapi, budidaya tanaman kentang di dataran rendah tropika basah menghadapi kendala tingginya suhu dan kelembaban udara. Kendala tersebut dapat diatasi dengan zone cooling untuk daerah perakaran pada budidaya tanaman kentang secara aeroponik.

Zone cooling system dapat mendinginkan daerah tertentu tanpa menyebabkan kenaikan kelembaban udara.

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah mengembangkan teknologi produksi benih kentang secara aeroponik di dataran rendah tropika basah dengan pendinginan terbatas (zone cooling) daerah perakaran. Tujuan tersebut dicapai melalui tiga tahap penelitian yaitu : (1) mengaplikasikan zone cooling pada sistem aeroponik untuk produksi benih kentang di dataran rendah tropika basah, (2) memprediksi sebaran suhu di dalam aeroponicbox pada sistem aeroponik dengan aplikasi zone cooling, (3) menghitung beban panas pada masing-masing

aeroponicbox dengan aplikasi zone cooling.

Penelitian tentang aplikasi zone cooling dilaksanakan pada bulan April-Juli 2012 di greenhouse Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB di ketinggian 250 m dpl. Aeroponic chamber yang digunakan berukuran 1.5 m x 1 m x 1 m. Bahan chamber terluar adalah kayu

(5)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman dan jumlah daun kentang yang dibudidayakan dalam sistem aeroponik dengan zone cooling

lebih tinggi dibandingkan tanpa pendinginan. Produksi umbi terbaik diperoleh pada sistem aeroponik dengan zone cooling 10 °C yaitu meliputi produktifitas rata-rata (579 umbi/m2), jumlah umbi rata-rata (14.85 umbi/tanaman), dan bobot umbi rata-rata (409.15 mg/umbi). Zone cooling dengan suhu 15 oC menghasilkan 55 umbi/m2 dengan rata-rata jumlah umbi 1.67 umbi/tanaman, bobot umbi 205.44 mg/umbi. Jumlah umbi/tanaman pada zone cooling 20 °C tidak berbeda nyata dengan zone cooling 15 oC. Tanaman kentang pada suhu tanpa pendinginan (30.3-32.6 oC) tidak menghasilkan umbi.

Untuk memperoleh informasi dasar perancangan maka dilakukan simulasi distribusi suhu udara aeroponic chamber. Simulasi distribusi suhu udara tersebut dilakukan dengan Computational Fluid Dynamic (CFD) menggunakan software

Solidwork ® Premium 2011. Analisis yang dilakukan adalah analisis tiga dimensi terhadap aliran fluida dan termal. Komputer dengan spesifikasi CPU Intel ® Core TM

i7, RAM 8GB, dan sistem operasi 64bit digunakan dalam simulasi tersebut. Pada simulasi CFD pemecahan aliran fluida digambarkan secara kuantitatif dalam besaran suhu dan kecepatan dengan bentuk persamaan diferensial yang didasarkan pada analisis numerik dengan finite volume method khususnya persamaan Navier-Stokes.

Error maksimum hasil simulasi CFD tercatat sebesar 5.89%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendefinisian material untuk masukan CFD sudah baik dan dapat menggambarkan kondisi di dalam aeroponic chamber. Error dapat diperkecil dengan memasukkan sifat fisik dan kimia larutan nutrisi yang digunakan untuk simulasi. Perbandingan suhu udara di dalam aeroponic chamber

yang diperoleh dari simulasi CFD dengan hasil pengukuran menghasilkan kesimpulan bahwa CFD sangat berguna dalam memprediksi distribusi suhu

aeroponic chamber. Hal ini telah ditunjukkan oleh persamaan regresi untuk hasil simulasi dan hasil pengukuran suhu udara yang mempunyai gradien 0.982 yang sangat dekat dengan 1 dan intersep 0.189 yang sangat dekat dengan 0.

Dalam sistem aeroponik dengan zone cooling, konsumsi energi menjadi persoalan penting yang harus dapat dipecahkan. Karena itu, besarnya energi listrik yang diperlukan dalam zone cooling untuk produksi benih kentang secara aeroponik di dataran rendah tropika basah dihitung secara akurat untuk menjadi informasi dasar dalam perancangan sistem. Besarnya energi listrik untuk zone cooling dihitung berdasarkan prinsip-prinsip perpindahan panas. Pindah panas terjadi secara radiasi, konduksi, dan konveksi.

Perhitungan kebutuhan energi listrik sistem aeroponik dengan zone cooling untuk produksi benih kentang di dataran rendah dengan suhu 10 °C menghasilkan angka sebesar 0.917 kWh/m2. Besarnya kebutuhan energi listrik rata-rata harian pada aeroponicchamber dengan zonecooling 15 °C, zone cooling 20 °C, dan tanpa pendinginan, masing-masing adalah sebesar 0.590 kWh/m2, 0.439 kWh/m2, 0.132 kWh/m2.

(6)

SUMMARY

ENI SUMARNI. Development of Zone Cooling System for Aeroponically Grown Potato Seed Production in Humid Tropical Lowland. Supervised by HERRY SUHARDIYANTO, KUDANG BORO SEMINAR and SATYANTO KRIDO SAPTOMO

Potato plant (Solanum tuberosum L) is one of the major food crops in the world after paddy, wheat, and corn. Carbohydrate content of potato is very high; therefore, it can be used to substitute rice, wheat flour, and maize. As one of the most important commodities, potato has comparative and competitive advantages, as well as good domestic and export market. However in Indonesia, the volume of potato production is lower than the volume of potato consumption. Therefore, Indonesia is importing potato from other countries. To increase potato production, Indonesia is facing difficulties in fulfilling the required potato seeds with high quality, right time and right variety. Using low quality potato seeds causes low productivity. In addition, increasing potato production is also facing problems related to the decrease in area for potato plant in highland, pest and plant diseases.

In Indonesia, potato plant is generally cultivated on highland. This is very often accompanied by high rate in soil erosion. Shifting the orientation for potato cultivation to lowland is one of the most prospective solutions to increase potato production while solving the problems related to soil erosion. However, potato cultivation in humid tropical lowland is facing problems related to high air temperature and humidity. To overcome these problems, root zone cooling for aeroponically grown potato cultivation could be used. Zone cooling system could decrease temperature of certain zone but it also prevents the increase in air humidity.

The objective of this research in general was to develop technology for aeroponically grown potato seed production in humid tropical lowland by using root zone cooling. To achieve the objective, three stages of research were conducted: (1) to apply zone cooling in aeroponic system for potato seed production in humid tropical lowland, (2) to predict temperature distribution in the growth chamber of aeroponic system with root zone cooling, (3) to calculate the heat load in the growth chamber of aeroponic system with root zone cooling.

The research on zone cooling application was conducted in a greenhouse at the Department of Mechanical & Bio-system Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, at 250 m above the sea level, from April to July, 2012. The size of the aeroponic chamber used was 1.5 m x 1 m x 1 m. The material used for the outer wall of the chamber was wooden multiplex board and the inner side was insulated with styrofoam board. Plant bedding was made of styrofoam board. Plant spacing was 15 cm x 15 cm. Therefore, one chamber consisted of 45 plants. The variety of potato seedling was Granola, produced by tissue culture laboratory, Vegetable Research Institute, Indonesian Ministry of Agriculture, after acclimatization.

(7)

aeroponic system with 10 °C zone cooling, i.e., average productivity (579 tubers/m2), average number of tuber (14.85 tubers/plant), and average tuber weight (409.15 mg/tuber). The 15 °C zone cooling resulted in 55 tubers/m2 with average number of tuber of 1.67 tubers/plant and average tuber weight of 205.44 mg/tuber, which was not significantly different from that of the 20 °C zone cooling. The potato plant cultivated at 30.3-32.6 °Cdid not resulted any tuber.

To obtain basic information for aeroponic chamber design, a series of simulation was conducted for temperature distribution inside the chamber. Simulation on the distribution of air temperature was done by using computer software of Solidwork ® Premium 2011. Three dimensions analysis was used for predicting fluids and thermal flows. A PC with the specification of CPU Intel ® Core TM i7, 8GB RAM, and 64bit operation system was used in the simulation process. In CFD simulation, the solution for flow of fluids was described quantitatively in terms of temperature and velocity in form of differential equation based on finite volume method numerical analysis particularly using Navier-Stokes equation.

Maximum error of the results of CFD simulation was 5.89%. This shown that the defining of the materials for CFD inputs was good enough and could illustrate the condition of aeroponic chamber. The error could be reduced by including physical and chemical properties of the nutrition solution for the simulation. Comparison between air temperatures in aeroponic chamber obtained from CFD simulation to that of the measured values resulted in conclusion that CFD was very useful in predicting temperature distribution in the aeroponic chamber. This was demonstrated by regression equation for simulated and measured air temperature in the aeroponic chamber with gradient of 0.982 which was very close to 1 and intercept of 0.189 which was very close to 0.

In aeroponic system with zone cooling, energy consumption is the most important problem to be solved. Therefore, heat load of zone cooling in the aeroponic system for potato seed production on humid tropical lowland it the subject was calculated using the principles of heat transfer. Heat transfer can take place through radiation, conduction, and convection. Calculation of electrical energy required for aeroponic system with zone cooling for seed potato production in the lowlands found that for 10 °C zone cooling was 0.917 kWh/m2. The averages of daily electrical energy use in the aeroponic system with 15 °C zone cooling, 20 °C zone cooling, and without any cooling operation were 0.590 kWh/m2, 0.439 kWh/m2, and 0.0132 kWh/m2, respectively.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

PENGEMBANGAN

ZONE COOLING

SYSTEM

UNTUK

PRODUKSI BENIH KENTANG SECARA AEROPONIK

DI DATARAN RENDAH TROPIKA BASAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Agus Purwito, MScAgr Dr Ir Y. Aris Purwanto, MSc

(11)

NIM : F 1640840 11

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc Ketua

Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar, MSc Anggota

Dr Satyanto K Saptomo, STP MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

(12)

Judul Disertasi : Pengembangan Zone CoolingSystem untuk Produksi Benih Kentang Secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah Nama : Eni Sumarni

NIM : F164084011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc Ketua

Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar, MSc Anggota

Dr Satyanto K Saptomo, STP MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

Dr Ir Wawan Hermawan, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi dengan judul Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih Kentang secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah telah berhasil diselesaikan.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc, Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar, MSc dan Dr Satyanto K Saptomo, STP, MSi sebagai komisi pembimbing atas segala motivasi, ilmu, dan kesabaran dalam memberikan bimbingan selama penelitian sampai penulisan disertasi ini, kepada Dr Ir Agus Purwito, MScAgr dan Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc sebagai dosen penguji pada ujian tertutup doktor, kepada Dr Leopold O Nelwan, STP, MSi dan Ir Agus Margiwiyatno, MS, PhD sebagai penguji pada ujian terbuka doktor atas koreksi dan saran yang diberikan untuk perbaikan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Jenderal Soedirman dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman atas ijin yang diberikan untuk menempuh S3 di IPB, kepada Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi Universitas Jenderal Soedirman (PHKI Unsoed) atas beasiswa S3 yang diberikan, Kepala Laboratorium Teknik Lingkungan Biosistem Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB atas segala kemudahan dalam penggunaan alat penelitian sehingga disertasi ini dapat selesai. Kepala Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran (Balitsa) atas segala kemudahan dalam mendapatkan bibit kentang hasil kultur jaringan, Bapak Soedibyo Karsono, Bapak Soedarmodjo atas ilmu dan pengalaman di lapangan tentang hidroponik, Bapak Ahmad, Bapak Darma, Bapak Wana atas segala bantuan dalam pelaksanan penelitian di greenhouse, Bapak Dr Ir Gardjito (alm), rekan-rekan di Jurusan Teknik Pertanian Unsoed, rekan-rekan seperjuangan S3 di IPB (Dr Ir Mohammad Solahudin, MSi, Ir Ahmad Yani, MSi, Dr Ir Dwi Rustam Kendarto, MP, Dr Ir Lovely Lady, MT, Ir Lady Lengkey, MSi, Bayu Rudiyanto, Kiman Siregar, STP MSi, Dr Jajang Juansyah, SSi MSi, Dr Siti Nikmatin, SSi MSi), Agus Niam, STP MSi dan Pandu Gunawan, STP MSi.

Ucapan terima kasih dengan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis persembahkan untuk suami dan anak penulis, kepada kedua orang tua atas dukungan semangat, nasihat dan doa. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu, doa yang tulus semoga Allah SWT membalas amal baik yang telah diberikan dan semoga senantiasa selalu dalam rahmat, karunia dan lindungan-Nya. Semoga karya ini bermanfaat dan dapat dikembangkan serta diaplikasikan. Amin.

Bogor, Oktober 2013

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 7

Nilai Kebaruan Penelitian 7 Ruang Lingkup Penelitian 10 2APLIKASI PENDINGINAN ZONA PERAKARAN (ROOT ZONE

COOLING) PADA PRODUKSI BENIH KENTANG MENGGUNAKAN SISTEM AEROPONIK

Pendahuluan 12

Bahan dan Metode 17

Hasil dan Pembahasan 19

Simpulan 28

3DISTRIBUSI SUHU PADA SISTEM AEROPONIK DENGAN

PENDINGINAN DAERAH PERAKARAN (ZONE COOLING) UNTUK PRODUKSI BENIH KENTANG DATARAN RENDAH TROPIKA BASAH

Pendahuluan 29

Bahan dan Metode 30

Hasil dan Pembahasan 45

Simpulan 59

4PERPINDAHAN PANAS PADA AEROPONIK CHAMBER DENGAN APLIKASI ZONE COOLING

Pendahuluam 60

Bahan dan Metode 61

Hasil dan Pembahasan 66

Simpulan 68

5 PEMBAHASAN UMUM 69

6 SIMPULAN DAN SARAN 73

DAFTAR PUSTAKA 74

LAMPIRAN 85

(15)

DAFTAR TABEL

1.1 Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2009-2012 (Ton) 1 1.2 Luas panen, produksi dan produktivitas kentang nasional

tahun 2008-2011 3

2.1 Rata-rata suhu udara dan kelembaban udara di dalam greenhouse

1 sampai 90 HST 20

2.2 Pengaruh perlakuan pendinginan zona perakaran terhadap

tinggi rata-rata tanaman kentang 23

2.3 Pengaruh perlakuan pendinginan zona perakaran terhadap rata-rata

jumlah daun tanaman kentang 24

2.4 Perbandingan respon tanaman pada masing-mamsing perlakuan zone

cooling 25

2.5 Pengaruh perlakuan pendinginan zona perakaran terhadap rata-rata

jumlah dan bobot umbi 25

3.1 Sifat fisik material aeroponicchamber 38

3.2 Daerah perhitungan simulasi CFD 42

3.3 Input kondisi awal dan kondisi batas 43

3.4 Konduktivitas panas beberapa jenis bahan 51

3.5 Perbandingan hasil pengukuran suhu udara di dalam aeroponic

chamber dengan simulasi CFD 57

4.1 Pindah panas total dan energi listrik dari masing-masing aplikasi zone

cooling 66

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kontribusi sentra produksi kentang terhadap total produksi

kentang Indonesia 2

1.2 Identifikasi permasalahan peningkatan produksi kentang 3 1.3 Permasalahan dan upaya peningkatan produksi benih kentang

di dataran rendah tropika basah 6

1.4 Ruang lingkup penelitian 11

2.1 Morfologi tanaman kentang (Sumber : FAO 2008) 13 2.2 Fase pertumbuhan tanaman kentang (International of The Potato 2013) 15 2.3 Sistem aeroponik benih kentang yang dikembangkan di Peru

(Otazu 2010) 17

2.4 Sistem aeroponik benih kentang dengan zone cooling daerah perakaran

(A), nozzel di dalam box (B), tanaman kentang pada box aeroponik (C) 18 2.5 Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone cooling

(ukuran dalam m) 19

2.6 Radiasi matahari yang diterima lantai di dalam greenhouse selama

pengukuran 21

2.7 Perubahan suhu udara di dalam aeroponicchamber pada empat

(16)

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

2.8 Penampilan tanaman kentang suhu zone cooling 10 °C (A), 15 °C (B),

20 °C (C) dan kontrol (D) 24

2.9 Penampilan umbi kentang pada saat pertumbuhan pada saat 50 HST

zone cooling 10 °C (A), 15 °C (B), 20 °C (C), dan kontrol (D) 26 2.10 Umbi kentang dari perlakuan zone cooling 10 °C (A), 15 °C (B),

20 °C (C) 27

3.1 Sistem aeroponik dengan pendinginan daerah perakaran (A) dan

kontrol (tanpa pendinginan) (B) 31

3.2 Posisi nozzle di dalam aeroponic chamber (mm) 31 3.3 Nozzel yang digunakan di dalam penelitian 31 3.4 Weather station merk Davis tipe 6163 dan Wireless Vantage Pro 2

beserta komputer yang digunakan 32

3.5 Letak titik pengukuran iklim mikro di dalam aeroponicchamber

tampak depan, ( ) titik pengukuran 33

3.6 Portable paperless recorder untuk menampilkan suhu yang terukur oleh

termokopel, (A) MV Advance 48 Chanel, (B) MV Advance 24 Chanel 33 3.7 Geometri aeroponic chamber dan daerah perhitungan CFD 36

3.8 Tahapan simulasi dengan CFD 37

3.9 Fasilitas dalam Solid Works untuk melakukan konfigurasi project 39 3.10 Fasilitas dalam Solid Works untuk penentuan satuan yang digunakan 39 3.11 Fasilitas di dalam SolidWorks untuk menentukan tipe analisis yang

digunakan pada proses prediksi 40

3.12 Fasilitas Solid Works untuk memilih jenis fluida yang digunakan 40 3.13 Bagian Solid Works untuk mendefinisikan kondisi

dinding chamber 41

3.14 Bagian Solid Works untuk mendefinisikan initial and ambient

conditions 41

3.15 Bagian Solid Works untuk menentukan resolusi geometri yang akan

diprediksi 42`

3.16Distribusi suhu udara pada aeroponic chamber tampak depan zone

cooling 10 °C pada iterasi ke 0 (A), iterasi ke 28 (B),

dan iterasi ke 1747 (C) 45 3.17 Distribusi suhu udara pada aeroponicchamber tampak depan zone

cooling 15 °C pada iterasi ke 0 (A), iterasi ke 28 (B) 46 3.18 Distribusi suhu udara pada aeroponicchamber tampak depan

zone cooling 15 °C pada iterasi ke 1738 47 3.19 Distribusi suhu udara pada aeroponic chamber tampak depan

zone cooling 20 °C pada iterasi ke 0 47

3.20 Distribusi semprotan nutrisi di dalam chamber tampak depan zone

cooling 20 °C pada iterasi ke 36 (A) , iterasi ke 1816 (B) 48 3.21 Distribusi suhu udara pada aeroponicchamber kontroltampak depan

iterasi ke 0 (A), iterasi ke 70 (B), dan iterasi ke 1800 (C) 49 3.22 Distribusi kecepatan di dalam chamber pada suhu 10 °C,

(A) tampak depan, (B) tampak atas 51

3.23 Distribusi kecepatan di dalam chamber pada suhu 15 °C,

(17)

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

3.24 Distribusi semprotan nutrisi di dalam chamber pada suhu 20 °C,

(A) tampak depan, (B) tampak atas 53

3.25 Distribusi kecepatan di dalam chamber pada suhu kontrol,

(A) tampak depan, (B) tampak atas 54

3.26 Vektor kecepatan dan aliran udara pada zone cooling 10 °C 55 3.27 Vektor kecepatan dan aliran udara pada zone cooling 15 °C 55 3.28 Vektor kecepatan dan aliran udara pada zone cooling 20 °C 56 3.29 Vektor kecepatan dan aliran udara pada aeroponic kontrol 56 3.30 Hubungan rata-rata suhu udara di dalam aeroponicchamber

hasil pengukuran dan CFD 58

4.1 Aeroponicchamber tampak atas, depan dan samping yang digunakan

di dalam penelitian 61

4.2 Proses pindah panas pada aeroponic chamber (A) arah vertikal,

(B) arah horizontal 64

4.3 Konsumsi energi listrik dari masing-masing suhu zone cooling

tanaman kentang 67

5.1 Root zone cooling system untuk aeroponik di dataran rendah

(250 m dpl) umur 30 HST 70

DAFTAR LAMPIRAN

1 Gambar teknik aeroponicchamber 87

2 Titik-titik pengukuran pada aeroponicchamber 88

3 Sifat fisik udara dan air 89

(18)
(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena 2000). Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) memiliki kandungan karbohidrat yang bermanfaat bagi tubuh. Kandungan karbohidrat pada kentang dapat menjadi subtitusi sumber karbohidrat beras, jagung dan gandum (FAO 2008; Pitojo 2004). Kentang memiliki kandungan protein, zat lemak, zat besi, kalium, fosfor, kalori dan karbohidrat, vitamin B, vitamin C dan vitamin A (Smith 1968). Zat-zat gizi kentang yang terkandung dalam 100 gram bahan adalah energi sebesar 83.0 kal, protein sebesar 2 gram, lemak 0.1 gram, karbohidrat 19.1 gram, kalsium (Ca) 11.0 mg, fosfor (P) 56 mg, besi (Fe) 0.7 mg, vitamin B1 sebesar 0.09 mg, vitamin B2 sebesar 0.03 mg, vitamin C sebesar 16.0 mg, niasin sebesar 1.40 mg dan serat 0.30 g (Departemen Kesehatan RI 1997).

Tanaman kentang juga menjadi salah satu tanaman penunjang program diversifikasi pangan (Nurmayulis 2005). Peningkatan permintaan kentang dari tahun ke tahun dipicu oleh peningkatan industri makanan berbahan baku kentang dan adanya perubahan pola menu makanan masyarakat yang cenderung mengkonsumsi kentang sebagai makanan pokok (Wattimena 2000). Hasil analisis menunjukkan bahwa komoditas kentang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif (Dewi 2002; Novianto 2012). Keunggulan komparatif adalah suatu ukuran relatif yang menunjukkan potensi keunggulan komoditas tersebut dalam perdagangan di pasar bebas (bersaing sempurna). Konsep keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku atau berdasarkan analisis finansial.

Kentang menjadi salah satu komoditas unggulan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 81/Kpts/SR.120/3/2005 (Varietas Granola). Produksi rata-rata komoditi kentang relatif besar dibandingkan dengan sayuran lain, seperti bawang merah dan cabe rawit. Hal ini ditunjukkan dengan data produksi kentang Indonesia pada tahun 2009-2012 (Tabel 1.1) (BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2013). Produksi kentang dari Tabel 1.1 dapat diketahui bahwa tiap tahunnya masih berfluktuatif. Produksi kentang tahun 2009 sebesar 1 176 304 ton.

Tabel 1.1 Produksi sayuran di Indonesia Tahun 2009-2012 (Ton)

Sumber : BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2013 *)

Angka sementara

Tahun Kentang Kubis Bawang

Merah

Cabe Rawit

2009 1 176 304 1 358 113 965 164 591 294

2010 1 060 805 1 385 044 1 048 934 521 704

2011 955 488 1 363 741 893 124 594 227

(20)

Produksi kentang mengalami penurunan pada tahun 2010 hingga tahun 2011. Penurunan produksi kentang tahun 2011 sebesar 18.77% dibandingkan tahun 2009. Namun produksi kentang di Indonesia pada tahun 2012 meningkat menjadi 1 068 800 ton. Menurut data FAO (2007) rata-rata produksi tanaman kentang di Australia mencapai 35.9 ton per hektar, sedangkan produksi kentang di Indonesia lebih rendah yaitu 16.9 ton per hektar.

Sentra produksi kentang di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. Sentra produksi kentang Jawa Barat memberikan kontribusi 24.51% dari total produksi kentang Indonesia, Jawa Tengah sebesar 23.63%, Jawa Timur sebesar 15.14%, Sumatera Utara sebesar 12.07% dan Sulawesi Utara sebesar 8.54% (Gambar 1.1) (BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2013).

Gambar 1.1 Kontribusi sentra produksi kentang terhadap total produksi kentang Indonesia

(21)

Tabel 1.2 Luas panen, produksi dan produktivitas kentang nasional tahun 2008-2011

Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)

2008 64 151 1 071 543 16.70

2009 71 238 1 176 304 16.51

2010 66 508 1 060 579 15.95

2011 59 882 955 488 15.96

Sumber : BPS (2012)

Permasalahan utama peningkatan produksi kentang di Indonesia yaitu masalah pembibitan. Usaha penyediaan benih benih kentang perlu dilandasi sistem perbenihan yang mapan, yaitu bagaimana mendapatkan bibit kentang bermutu dalam jumlah cukup, tepat waktu dan tepat kultivar (Wattimena 2000). Penurunanan produksi kentang disebabkan antara lain: (1) rendahnya kualitas dan kuantitas benih kentang, (2) faktor topografi, dimana daerah dengan ketinggian tempat dan suhu yang sesuai untuk pertanaman kentang di Indonesia sangat terbatas, (3) daerah tropis Indonesia merupakan tempat yang optimum untuk hama dan penyakit tanaman kentang (Kuntjoro 2000). Rendahnya produktivitas kentang di Indonesia disebabkan juga dari penggunaan benih secara terus menerus dari generasi sebelumnya oleh petani, serta adanya serangan hama dan penyakit. Selain itu lahan pertanian yang semakin tidak subur dan penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan pencemaran tanah. Penurunan (degenerasi) produksi yang terjadi pada setiap generasi benih kentang yang diperbanyak/ditanam secara terus menerus disebabkan oleh infestasi penyakit yang terakumulasi pada setiap generasi dan terus terbawa pada regenerasi benih. Penyakit yang timbul dalam degenerasi produksi ini adalah virus. Semakin panjang generasi benih maka semakin besar tingkat infestasi virus pada generasi benih tersebut, sehingga produksinya semakin rendah. Oleh karena itu benih yang sehat memiliki potensi produksi yang baik. Identifikasi permasalahan peningkatan produksi benih kentang disajikan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Identifikasi permasalahan peningkatan produksi kentang

KENTANG

PRODUKTIVITAS RENDAH

PRODUKSI RENDAH

KEBUTUHAN TINGGI

BUDIDAYA KONVENSIONAL

PROD. BENIH rendah; sering terjadi infeksi penyakit benih

(22)

Prediksi kebutuhan kentang di dalam negeri sekitar 8.9 juta ton/tahun. Selama ini produksi kentang nasional masih ± 1.1 juta ton/tahun. Potensi ini masih perlu dikembangkan, karena lahan di Indonesia masih sangat luas (Wattimena 2006). Selama ini benih diperoleh dari hasil yang turun temurun, ketersediaan benih kentang bermutu di Indonesia hanya mencapai 7.4 % jauh dari kebutuhan 140.000 ton per tahun (Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi 2007). Rendahnya ketersediaan benih menyebabkan mahalnya harga benih (Rp. 20.000/kg benih dengan kebutuhan 1.5 ton/ha atau Rp. 30jt/ha atau 60 % dari biaya produksi) (Baharudin et al. 2012).

Benih kentang impor juga terbatas dan mahal (Armini et al. 1992). Volume impor benih kentang dari tahun 2011-2012 terus meningkat. Impor bibit kentang tahun 2011 mencapai 2 382 000 kg (3 575 000 US$), dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 2 574 000 kg (3 346 200 US$). Volume impor kentang lebih tinggi dibandingkan dengan ekspornya yang hanya sebesar 50 000 kg pada tahun 2011 (Dirjen Hortikultura 2013). Oleh karena itu penanaman benih bermutu merupakan salah satu penentu keberhasilan produksi kentang (Wattimena 2000).

Perbanyakan benih kentang bebas penyakit telah dilakukan di Jawa Barat sejak tahun 1991 melalui program kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dan Jepang melalui Japan Internasional Corporation Agency (JICA). Kerjasama ini telah menghasilkan: standar minimum virus dan sistem perbanyakan benih secara bertahap mulai dari plantlet/hasil kultur jaringan, G-0, G-1, G-2, G-3, dan G-4. Penangkaran benih kentang dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hukum, lembaga swasta maupun pemerintah yang telah memenuhi persyaratan, antara lain mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam perbenihan, mempunyai benih sumber yang jelas kualitasnya serta memiliki atau menguasai lahan dan gudang yang memenuhi persyaratan untuk sertifikasi (Wattimena 2000).

Di Indonesia kentang pada umumnya dibudidayakan di dataran tinggi, hal ini menjadi permasalahan dalam menjaga kelestarian alam. Pengusahaan kentang di dataran tinggi terus-menerus dapat merusak lingkungan, terutama penurunan produktivitas tanah (Baharudin 2005). Hasil penelitian pada beberapa sentra produksi kentang di dataran tinggi menunjukkan bahwa penanaman kentang belum memperhatikan konservasi lahan, sehingga meningkatkan laju erosi dan kehilangan hara pada tanaman kentang (Henny et al. 2011). Dampak dari kegiatan tersebut adalah penurunan produksi kentang. Kekurangan benih bermutu di negara berkembang, seperti Indonesia umumnya karena kelemahan dalam hal penyediaan varietas unggul, teknologi dan produksi benih. Pada umumnya petani menggunakan benih yang dihasilkan sendiri karena benih komersial tidak tersedia atau bukan varietas yang tepat sesuai kebutuhan (Sayaka dan Hestina 2011).

(23)

Konsep pendinginan terbatas (zone cooling) adalah mendinginkan zona terbatas daerah pertumbuhan tanaman (akar tanaman), metode pendinginan ini tidak ditujukan untuk mendinginkan seluruh volume udara di dalam rumah tanaman (Suhardiyanto 2009). Teknologi aeroponik pada produksi benih kentang merupakan terobosan peningkatan benih dari hasil kultur jaringan. Aeroponik memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan sistem konvensional (media tanah). Teknologi tersebut dapat meningkatkan kualitas benih kentang yang menggunakan bibit dari hasil kultur jaringan (plantlet) sehingga benih kentang yang dihasilkan baik dan sehat (Gunawan 2009). Di Indonesia teknologi aeroponik sudah mulai dikembangkan. Penelitian lebih lanjut dan pengembangan dari teknologi aeroponik ini masih diperlukan (Gunawan dan Afrizal 2009). Teknologi aeroponik dapat menghasilkan umbi kentang yang tinggi dibandingkan media tanah dan pupuk kandang (Baharudin 2005). Keuntungan sistem produksi benih dengan sistem aeroponik untuk luasan 100 m2 diperoleh keuntungan mencapai 33%/m2, dan dengan modifikasi instalasi menggunakan bahan yang lebih sederhana diperoleh keuntungan mencapai 67%/m2 (Gunawan dan Afrizal 2009). Produksi benih kentang untuk komersial di negara subtropik dengan sistem aeroponik telah dikembangkan. Produksi umbi dari sistem tersebut mencapai 100 umbi/tanaman (Otazu 2010).

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi desain sistem zone cooling. Faktor iklim tersebut diantaranya adalah suhu udara. Bagaimana pengaruh suhu udara terhadap sistem zone cooling perlu diteliti untuk mendapatkan kondisi lingkungan di dalam aeroponic chamber yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang. Salah satu metode untuk mensimulasikan pola aliran udara, suhu dan tekanan dalam suatu ruang adalah dengan analisis CFD (Computational Fluid Dynamics). CFD adalah suatu analisis sistem yang meliputi aliran fluida, pindah panas dan fenomena lainnya seperti reaksi kimia yang menggunakan simulasi berbasis Komputer (Versteeg dan Malalasekera 1995). Computational Fluid Dynamic (CFD) mencakup berbagai disiplin ilmu termasuk matematika, ilmu komputer, fisika dan teknik. Analisis menggunakan CFD memungkinkan dapat diperolehnya informasi secara detail pola dinamika fluida. CFD telah banyak digunakan untuk menganalisis iklim mikro rumah tanaman (Bartzanas et al. 2002) dan tanaman (Dupont et al. 2006). Dari hal-hal tersebut penelitian ini perlu dilakukan dalam rangka memperoleh teknologi peningkatan produksi benih kentang secara aeroponik dengan penanaman secara zone cooling di dataran rendah tropika. Permasalahan dan upaya peningkatan produksi benih kentang di dataran rendah tropika basah disajikan pada Gambar 1.3

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengembangkan teknologi peningkatan produksi benih kentang secara aeroponik dengan penanaman secara zone cooling di dataran rendah tropika basah. Tujuan tersebut dilakukan dalam beberapa tahap penelitian yang memiliki tujuan khusus sebagai berikut:

(24)

2. Memprediksi sebaran suhu di aeroponic chamber pada sistem aeroponik dengan aplikasi zone cooling.

3. Menghitung beban panas pada masing-masing aeroponic chamber dengan aplikasi

zone cooling.

Gambar 1.3 Permasalahan dan upaya peningkatan produksi benih di dataran rendah tropika basah

Kajian penelitian

EKSTENSIFIKASI

DATARAN TINGGI

DATARAN RENDAH

SUHU TINGGI

POLA TANAM

MODIFIKASI IKLIM MIKRO

AEROPONIK KELESTARIAN

EROSI, KERUSAKAN TERBATAS

Root zone Cooling UPAYA

PENINGKATAN PRODUKSI BENIH KENTANG

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KENTANG DATARAN RENDAH

(25)

Manfaat Penelitian

Kajian pengembangan zone cooling system untuk produksi benih kentang secara aeroponik di dataran rendah tropika basah diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Negara beriklim tropika basah seperti Indonesia memiliki iklim yang berbeda dengan negara beriklim subtropika. Indonesia merupakan salah satu Negara tropika basah dengan radiasi matahari dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Penelitian ini dapat membantu petani mengatasi pengaruh cuaca yang kurang menguntungkan, serta hama dan penyakit pada produksi benih kentang. 2. Sistem aeroponik di dalam greenhouse dengan aplikasi zone cooling ini dapat

diarahkan menjadi pertanian masa depan (modern) dengan mengurangi pestisida ataupun insektisida bagi tanaman, sehingga diperoleh bibit kentang dengan hasil dan kualitas yang lebih baik, sehat, serta dapat berproduksi secara kontinyu.

3. Pengembangan dataran rendah untuk produksi benih kentang, sebagai upaya menjaga kelestarian alam dan mengurangi erosi lahan pada dataran tinggi. Selanjutnya dapat diterapkan aplikasi-aplikasi di bidang teknologi kontrol otomatik, komputer dan lain sebagainya untuk pengendalian proses metabolisme tanaman sehingga tercipta industri tanaman (plant factory).

Nilai Kebaruan Penelitian

Pengembangan zone cooling system untuk produksi benih kentang secara aeroponik di dataran rendah tropika basah perlu untuk dieksplorasi dalam riset doktoral ini, dapat dijelaskan melalui penelusuran ilmiah yang sudah dilakukan sebagai berikut :

Aeroponik pertama kali digunakan untuk produksi sayuran. Teknik aeroponik untuk produksi benih kentang adalah relatif baru. Aeroponik memiliki potensi untuk peningkatan produksi benih kentang dan mengurangi biaya dibandingkan metode konvensional atau metode hidroponik. Aeroponik efektif memanfaatkan ruang dalam greenhouse dan kelembaban untuk mengoptimalkan perkembangan akar, umbi-umbian, dan dedaunan. Produksi komersial benih kentang menggunakan aeroponik telah dikembangkan di Korea dan Cina. Di Amerika Selatan, teknologi ini telah digunakan dengan sukses sejak tahun 2006 (Otazu 2010). Sistem aeroponik di International Potato Center (CIP) Peru, menghasilkan lebih dari 100 umbi mini per tanaman dengan menggunakan bahan instalasi yang sederhana. Produksi umbi kentang dengan aeroponik mencapai 1340 umbi dari 100 tanaman/m2 (Farran et al. 2008).

(26)

pada tanaman tomat (Ren et al. 2010), pendinginan akar melalui pemberian air dengan drip irigasi pada tanaman anggur (Du et al. 2008), pengaruh suhu akar terhadap pembibitan kacang (Vicia faba L. minor) (Filek dan Koscielnikab 1997), pendinginan suhu daerah perakaran tanaman tomat yang dibudidayakan secara hidroponik sistem Nutrient Film Technique (NFT) (Matsuoka et al. 1992), pendinginan dengan mengalirkan suhu udara dingin melalui pipa distribusi ke zona tanaman bayam dengan spot cooler (Suhardiyanto dan Matsuoka 1992).

Kentang merupakan tanaman dataran tinggi dengan suhu rendah (dingin). Oleh karena itu permasalahan yang muncul bila ditanam di dataran rendah sampai medium adalah suhu udara yang panas. Suhu udara yang panas mempengaruhi suhu media tanam dan selanjutnya menghambat peningkatan produksi.

Beberapa kajian budidaya kentang di dataran medium adalah sebagai berikut :

1. Studi karakteristik biologi/agronomi tanaman kentang dalam sistem tumpangsari kentang dan jagung dengan berbagai waktu tanam di dataran medium (Syarif 2005).

2. Efek Mulsa terhadap penampilan fenotipik dan parameter genetik pada 13 Genotip Kentang di Lahan Sawah Dataran Medium Jatinangor (Ruchjaniningsih 2006).

3. Modifikasi iklim mikro tanaman kentang pada penanaman di dataran rendah (ketinggian 400 m dpl di daerah Bogor) dan dataran tinggi pacet (ketinggian 1100 m dpl) (Sutater 1986). Hasil modifikasi iklim mikro pada penanaman kentang di dataran rendah menunjukkan terdapat kolinieritas antara cuaca dan hasil tanaman, keragaman cuaca sebagian besar disebabkan oleh radiasi matahari dengan proporsi lebih dari 48 persen.

4. Pengujian sifat tumbuh dan hasil biji botanis dari beberapa nomor pemuliaan kentang di dataran rendah dan dataran tinggi. Dari kajian tersebut diperoleh hasil bahwa kultivar Granola yang ditanam di dataran rendah tidak menghasilkan umbi (Dermawan 1985).

Zone cooling di daerah tropika basah seperti di Indonesia belum banyak menjadi bahan kajian dalam pengendalian suhu tanaman. Beberapa kajian tentang

zone cooling di daerah tropika basah, yaitu pendinginan larutan nutrisi sebelum dialirkan ke daerah perakaran tanaman (Suhardiyanto et al. 2007) dan pendinginan larutan nutrisi pada selada sistem NFT ( Chadirin 1991; Randiniaty 2007).

Dari penelurusan pustaka hasil penelitian diatas maka dapat disampaikan bahwa kajian Pengembangan Zone CoolingSystem untuk Produksi Benih Kentang secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah mengandung unsur kebaruan (novelty), hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

(27)

sampai mendekati jenuh sekalipun hanya menurunkan suhu sangat kecil (Suhardiyanto 2009). Pendinginan evaporative cooling kurang efektif diterapkan di daerah tropika basah. Zone cooling dipilih sebagai alternatif untuk menjaga suhu pada perakaran tanaman kentang.

2. Berdasarkan penelusuran ilmiah diperoleh informasi bahwa zone cooling lebih banyak diaplikasikan untuk pengendalian lingkungan tanaman pada sayuran daun dan buah (hasil tanaman berada di atas media tanam), sedangkan bagaimana pengaruh pengendalian zone cooling pada sayuran umbi (hasil tanaman berada di dalam media tanam) di daerah tropika basah belum diperoleh informasi.

3. Penggunaan zone cooling lebih banyak diterapkan pada sistem budidaya hidroponik model NFT (Nutrient Film Technique) untuk sayuran daun ataupun buah (tomat), dimana akar tanaman terendam dalam larutan nutrisi dengan ketebalan tipis yang mengalir. Pada sistem NFT kondisi akar sudah berada dilingkungan yang terus menerus dapat dipertahankan dingin (di dalam air) dari lingkungan sekitar (mendinginkan air lebih cepat dibandingkan mendinginkan udara). Penelitian ini adalah penggunaan zone cooling pada sistem aeroponik (dimana akar menggantung di udara), ketika tidak ada penyiraman nutrisi secara zone cooling maka kondisi akar ini akan mudah terpengaruh dengan kondisi luar yang panas.

4. Publikasi zone cooling pada sistem aeroponik untuk produksi benih kentang di dataran rendah tropika basah juga belum diperoleh dari penelusuran pustaka di atas. Varietas kentang yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang sesuai ditanam untuk daerah tropika basah, sehingga ada perbedaan genetik antara yang digunakan dengan di daerah subtropika.

Dari uraian tersebut di atas maka dapat disampaikan bahwa penelitian disertasi Pengembangan Zone Cooling System untuk Produksi Benih Kentang secara Aeroponik di Dataran Rendah Tropika Basah merupakan novelty

(kebaruan). Dari penelitian ini diharapkan diperoleh suhu pendinginan daerah perakaran yang sesuai untuk teknik budidaya aeroponik di dataran rendah beriklim tropika basah, sehingga dapat menjadi bahan informasi untuk solusi peningkatan produksi kentang di Indonesia, dimana luas dataran tinggi sebagai sentra produksi kentang semakin menurun.

Kebaruan ini tertuang dalam eksperimen, hasil dan pembahasan. Paper tentang aplikasi pendinginan zona perakaran (root zone cooling) pada produksi benih kentang menggunakan sistem aeroponik telah di-accepted di Jurnal Agronomi Indonesia terakreditasi A dengan SK Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional No 56/DIKTI/Kep/2012. Paper tersebut akan diterbitkan pada Vol. XLI, No. 2, Agustus tahun 2013. Publikasi internasional dengan judul temperature distribution in aeroponics system with root zone cooling for the production of potato seed in tropical lowland telah di-accepted di International Journal of Scientific & Engineering Research (IJSER),

(28)

Ruang Lingkup Penelitian

Percobaan penananaman benih kentang secara aeroponik dengan zone cooling dilakukan di dalam greenhouse. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama mempersiapkan sistem aeroponik dengan zone cooling, kemudian melakukan penanaman benih kentang. Data Pertumbuhan dan hasil yang meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah umbi dan ukuran umbi digunakan untuk analisis aplikasi sistem aeroponik dengan zone cooling pada produksi benih kentang di dataran rendah beriklim tropika basah terhadap pertumbuhan dan hasil umbi kentang. Pengendalian suhu tidak diberikan pada bagian luar aeroponic chamber (mengikuti suhu udara di dalam greenhouse) melainkan hanya di dalam

aeroponicchamber.

Data iklim mikro di dalam dan di luar greenhouse dicatat selama penelitian berlangsung. Suhu udara di dalam dan di luar aeroponic chamber di rekam selama penelitian berlangsung. Data pengukuran suhu udara di aeroponic chamber digunakan untuk validasi suhu udara hasil prediksi menggunakan CFD (Computational Fluid Dynamic). Tahap ke dua dilakukan prediksi distribusi suhu udara di dalam aeroponic chamber menggunakan software CFD. Simulasi CFD ini dibatasi pada aeroponic chamber dengan asumsi tidak ada pengaruh radiasi permukaan atau pola aliran udara akibat adanya bangunan disekitar chamber dan peralatan lainya di dalam greenhouse. Geometri yang disimulasikan diasumsikan sebagai geometri tunggal tanpa adanya geometri lain yang dapat mempengaruhi variabel fisik aeroponic chamber. Tahap ke tiga dilakukan perhitungan beban panas dan energi dari masing-masing sistem aeroponik dengan aplikasi suhu zone cooling pada produksi benih kentang di dataran rendah beriklim tropika basah.

Oleh karena itu di dalam disertasi ini, sistematika penulisan dibagi dalam beberapa sub judul. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan keterkaitan antara bagian satu dengan bagian lainnya. Bab 1 memberikan pendahuluan, latar belakang penelitian ini dan menjelaskan tujuan, manfaat, kebaharuan (novelty)

(29)

Gambar 1.4 Ruang lingkup penelitian PRODUKSI BENIH KENTANG DATARAN

RENDAH

STRESS SUHU TINGGI

GREENHOUSE +AEROPONIK +

ZONE COOLING

PERTUMBUHAN TANAMAN DAN PRODUKSI UMBI

TEKNOLOGI PRODUKSI

BIBIT KENTANG DATARAN RENDAH

DISTRIBUSI SUHU DI AEROPONIK

CHAMBER

BEBAN PANAS DAN ENERGI

AEROPONIK

(30)

2 APLIKASI PENDINGINAN ZONA PERAKARAN (

ROOT ZONE

COOLING

) PADA PRODUKSI BENIH KENTANG

MENGGUNAKAN SISTEM AEROPONIK

Pendahuluan

Tanaman kentang dapat dibudidayakan di negara beriklim sedang, tropis dan subtropis (Otroshy 2006). Menurut Williams et al. (1993) kentang merupakan tanaman di daerah beriklim sedang (subtropis) dan dataran tinggi (1000-3000 m). Pusat konservasi keanekaragaman hayati kentang berada di dataran tinggi Andes, Amerika Selatan (Smith 1968; CIP 2010). Wilayah tersebut berada pada ketinggian antara 1500-4000 m. Budidaya kentang di Indonesia umumnya dilakukan di dataran tinggi pada ketinggian 800-1800 m (FAO 2008). Petani di dataran tinggi Indonesia menanam kentang sebagai sayuran utama.

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman pangan penting ketiga di dunia setelah beras dan gandum untuk konsumsi manusia (CIP 2010). Penggunaan kentang di seluruh dunia untuk konsumsi segar mencapai 50% dan sisanya dijadikan produk olahan, pakan ternak, serta digunakan kembali sebagai benih (FAO 2008). Kandungan karbohidrat yang tinggi pada kentang dapat menggantikan bahan pangan karbohidrat lainnya seperti padi, jagung dan gandum (Pitojo 2004).

Kentang merupakan salah satu tanaman dikotil yang bersifat semusim dan berbentuk semak/herba. Susunan tubuh utama kentang terdiri dari batang, daun, umbi, akar, bunga, buah, dan biji. Batang kentang berada di atas permukaan tanah. Panjang batang sekitar 30-100 cm diatas permukaan tanah (Otroshy 2006). Daun kentang berupa daun majemuk. Umbi kentang merupakan perbesaran dari batang di dalam tanah (stolon) yang menyimpan hasil fotosintesis. Stolon mulai terlihat seminggu atau 10 hari setelah tanaman muncul ke permukaan (Smith 1968). Morfologi tanaman kentang disajikan pada Gambar 2.1

(31)
[image:31.595.146.401.129.443.2]

Kelembaban rata-rata untuk pertumbuhan tanaman kentang sekitar 80-90% (Sunarjono 2007).

Gambar 2.1 Morfologi tanaman kentang (Sumber : FAO 2008) Suhu tanah berhubungan dengan proses penyerapan unsur hara oleh akar, fotosintesis, dan respirasi. Menurut Burton (1981), untuk mendapatkan hasil yang maksimum tanaman kentang membutuhkan suhu optimum yang relatif rendah. Pertumbuhan umbi kentang membutuhkan suhu 15.6 sampai 17.8 oC dengan suhu rata-rata 15.5 oC. Peningkatan suhu 10 oC menyebabkan respirasi akan bertambah dua kali lipat. Laju pertumbuhan tanaman meningkat sampai mencapai maksimum jika suhu meningkat. Laju fotosintesis juga meningkat sampai mencapai maksimum, kemudian menurun. Pada waktu yang sama laju respirasi secara bertahap meningkat dengan meningkatnya suhu. Kehilangan melalui respirasi lebih besar pada kondisi suhu tinggi daripada penambahan yang dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis. Akibatnya, tidak ada peningkatan hasil netto dan bobot kering tanaman dan menyebabkan hasil umbi menurun.

(32)

dan daun. Suhu malam yang tinggi menyebabkan umbi yang dihasilkan sedikit. Keadaan sebaliknya terjadi jika suhu malam yang rendah. Cekaman suhu yang tinggi selama perkembangan umbi menghasilkan umbi yang dihasilkan berbentuk abnormal. Hal tersebut karena terjadi pertumbuhan baru dari umbi yang telah terbentuk sebelumnya yang disebut pertumbuhan sekunder (retakan-retakan pada umbi, pemanjangan bagian ujung umbi, dan kadang-kadang terjadinya rangkaian umbi) (Nonnecke 1989).

Cahaya matahari yang sampai ke bumi tidak semua dapat diserap oleh tanaman. Cahaya yang dapat diserap tanaman ialah cahaya PAR (Photosynthetically Active Radiation) dengan panjang gelombang 0.38-0.68 m (Handoko 1994; 1995). Radiasi surya merupakan faktor penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena berkaitan dengan proses fisiologi tanaman (Baharsjah dan Bey 1991; Boer 1994). Radiasi surya yang sampai ke tanaman mempengaruhi laju pertumbuhan, laju transpirasi, dan titik kritis pertumbuhan tanaman. Peningkatan radiasi surya mampu mempercepat pembungaan dan pembuahan tanaman (Sitompul 2002). Hal tersebut didukung juga oleh faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti ketersediaan unsur hara dan air di dalam tanah (Makarim 2009).

Suhu tinggi, keadaan berawan, dan kelembaban udara yang rendah akan menghambat pertumbuhan, pembentukan umbi, dan perkembangan bunga. Fluktuasi kelembaban yang sangat berbeda antara siang dengan malam akan mengurangi hasil. Jika malam hari kelembaban rendah, suhu udara menjadi tinggi, tanaman akan banyak melakukan respirasi. Suhu rendah dengan intensitas radiasi tinggi dan hari pendek mempercepat perkembangan tanaman kentang sehingga pemanjangan batang cepat terhenti, umbi cepat terbentuk, dan akhirnya tanaman cepat mengalami kematian.

Tanaman memerlukan intensitas cahaya yang tinggi yang diperlukan untuk mengaktifkan distribusi asimilat, memperpanjang cabang, dan meningkatkan luas serta bobot daun. Peningkatan penerimaan cahaya oleh tanaman akan mempercepat proses pembentukan umbi dan waktu pembungaan. Intensitas cahaya yang berlebihan dapat menurunkan hasil karena terjadi transpirasi yang tinggi tetapi tidak dapat diimbangi dengan penyerapan air dari dalam tanah. Oleh karena itu, sel akan kehilangan turgor, stomata menutup, dan absorbsi CO2 berkurang sehingga hasil fotosintesisnya berkurang (Bodlaender 1983). Radiasi surya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan tanaman terbakar. Radiasi surya berpengaruh terhadap pertumbuhan organ vegetatif tanaman, seperti batang, cabang, daun, serta organ generatif seperti bunga dan umbi (Pereira dan Shock 2006; Rubatzky dan Yamaguchi 1995). Radiasi surya yang diintersepsi selain digunakan untuk pemanasan udara juga digunakan untuk evapotranspirasi dan fotosintesis. Rendahnya radiasi intersepsi menyebabkan rendahnya fotosintesis (Sulistyono et al. 2006). Fase pertumbuhan tanaman kentang disajikan pada Gambar 2.2.

Berdasarkan pengamatan terhadap tinggi tanaman dan ketebalan batang utama diketahui bahwa klon-klon introduksi untuk dataran medium lebih vigor

(33)

ruas, dan jumlah daun (Morpugo dan Ortiz 1988; Amadi et al. 2008). Ukuran daun merupakan salah satu karakter yang dipengaruhi oleh perubahan suhu. Suhu yang lebih tinggi dari suhu optimal menyebabkan ukuran daun mengecil dan luas daun berkurang (Fleisher et al. 2006; Wheeler et al. 1986). Hal ini berhubungan dengan perubahan metabolisme tanaman pada peningkatan toleransi tanaman terhadap suhu tinggi melalui pengurangan kehilangan air dengan cara penurunan luas permukaan transpirasi.

Gambar 2.2 Fase pertumbuhan tanaman kentang (International of The Potato 2013)

Peningkatan produksi benih kentang melalui pemberian pupuk kalium belum dapat meningkatkan produksi umbi di dataran rendah (Herman 1986). Perlakuan pupuk daun super ACI konsentrasi 3 cc/l pada varietas Atlantik meningkatkan tinggi tanaman 39.9%, luas daun 77.2%, jumlah umbi 61%, dan diameter batang 8.9% dibandingkan tanpa pupuk daun (Merlyn 2006). Produksi umbi yang dihasilkan tersebut berkulit tipis, sehingga rentan terhadap busuk umbi. Variasi pertumbuhan dan hasil, serta kulit umbi kentang yang tipis diduga belum tercukupinya unsur nutrisi yang dibutuhkan. Produksi benih kentang dengan media steril (tanah plus pupuk kandang) pada seed bed di rumah-rumah kasa, hanya menghasilkan benih 1.5-3 umbi/tanaman (Gunawan dan Afrizal 2009).

Usaha memperoleh produk yang berkualitas, sehat, bebas pestisida, seragam, dan kontinyu telah banyak dilakukan, yaitu melalui penanaman secara hidroponik dan aeroponik di dalam greenhouse (rumah tanaman) (Tchamitchian

(34)

et al. 2000). Sistem aeroponik yang dikembangkan di Peru, Amerika Selatan disajikan pada Gambar 2.3.

Budidaya kentang di dataran rendah terkendala suhu yang tinggi, karena berakibat stress dan terjadi penghambatan inisiasi umbi (Jin Ahn et al. 2004; Kar dan Kumar 2007; Wang et al. 2009). Pengendalian lingkungan mikro greenhouse

di daerah tropika basah seperti Indonesia belum banyak dikembangkan. Hal ini disebabkan sulitnya menurunkan suhu udara di dalam greenhouse pada radiasi matahari yang tinggi (Suhardiyanto 2009). Hal tersebut dapat diatasi dengan teknik aeroponik dan pendinginan terbatas (zone cooling). Penggunaan evaporatif cooling untuk pendinginan udara di dalam greenhouse tidak efektif ketika kelembaban udara tinggi (Gonzalez-Real dan Baille 2006), karena terjadi peningkatan serangan penyakit (Max et al. 2009). Konsep zone cooling adalah mendinginkan terbatas daerah perakaran tanaman, sehingga tidak ditujukan untuk mendinginkan seluruh volume udara di dalam greenhouse. Suhu perakaran mempengaruhi proses fisiologi pada akar seperti penyerapan air, nutrisi dan mineral (Juan danPerez 2009; Chadirin et al. 2011a; 2011b).

Suhu udara pada malam hari yang lebih rendah dari 4 °C terlalu dingin untuk tanaman aeroponik. Suhu udara harian lebih besar dari 30 °C terlalu panas untuk tanaman aeroponik. Pada awal pembentukan umbi membutuhkan suhu udara malam 10-15 °C dengan suhu udara siang hari sekitar 20 °C (Otazu 2010). Pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman dapat dijelaskan dengan konsep akumulasi panas. Konsep ini menggunakan suhu udara rata-rata harian dan suhu dasar tanaman untuk menentukan tahapan perkembangan dan umur tanaman. Suhu udara di atas 25 °C dan di bawah 10 °C tanaman sulit untuk tumbuh. Penghitungan akumulasi panas digunakan suhu 10 °C, karena pada suhu tersebut konduktif untuk pertumbuhan vegetatif tanaman kentang (Sadik 1980). Faktor lain seperti panjang hari dianggap tidak berpengaruh. Nilai laju perkembangan tanaman berbanding lurus dengan suhu udara rata-rata harian di atas suhu dasar. Suhu udara yang tinggi pada saat penanaman mempercepat tanaman mencapai masa panen (Pahlevi 2006).

Tanaman aeroponik dapat tumbuh baik apabila memperoleh unsur hara yang diperlukan, cukup air dan oksigen. Hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan larutan dan sirkulasinya. Larutan nutrisi pada produksi tanaman secara aeroponik diberikan secara otomatis (Nugaliyadde et al. 2005). Zone cooling daerah perakaran telah digunakan untuk produksi sayuran dan mampu meningkatkan hasil pada tanaman mentimun (Ibarra-Jimenez et al. 2008), selada (He et al. 2001), stroberi (Iwasaki 2008), dan bayam (Matsuoka dan Suhardiyanto 1992).

(35)
[image:35.595.83.481.55.609.2]

Gambar 2.3 Sistem aeroponik benih kentang yang dikembangkan di Peru (Otazu 2010)

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Juli 2012 di greenhouse

Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB dengan ketinggian tempat 250 m dpl. Box aeroponik yang digunakan berukuran 1.5 m (P) x 1 m (L) x 1 m (T). Bahan box terluar dari kayu multiplex ketebalan 12 mm, bagian dalam diinsulasi dengan styrofoam setabal 2 cm. Styrofoam sebagai tempat tanaman menggunakan ketebalan 3 cm. Jarak tanam 15 cm x 15 cm, jadi dalam satu box terdapat 45 tanaman (terdapat 9 x 5 tanaman) (Gambar 2.4).

Ajir

nozzel

Filter

Box styrofoam

Filter untuk

Pompa

(36)
[image:36.595.82.480.99.727.2]

Alat yang digunakan meliputi Weather stationDavis 6162 dan 6163 untuk mengukur iklim mikro greenhouse. Pompa bertekanan tinggi untuk mengalirkan nutrisi melalui nozel sampai ke akar tanaman, termokopel Tipe T untuk mengukur suhu di dalam box aeroponik. Hybride recorder Tipe MV 2000 dengan 48 Chanel dan Tipe MV 1000 dengan 24 Chanel untuk merekam data suhu. Timer digunakan untuk mengontrol waktu penyemprotan nutrisi, chiller digunakan untuk mendinginkan nutrisi, dan pompa celup untuk mengalirkan nutrisi yang akan didinginkan ke dalam chiller. Chiller yang digunakan pada penelitian ini merupakan chiller tipe portabel, 1 Pk, memiliki daya 900 Watt. Nutrisi tanaman dari ember disemprotkan melalui nozzel sampai akar tanaman dengan pompa tekanan tinggi dan akan mengalir lagi ke dalam ember nutrisi (sirkulasi).

Gambar 2.4 Sistem aeroponik benih kentang dengan zone cooling daerah perakaran (A), nozzel di dalam box (B), tanaman kentang pada box aeroponik (C)

Cara kerja sistem aeroponik dengan aplikasi zone cooling adalah sebagai berikut : nutrisi ditampung di dalam ember sebanyak 50 liter (sesuai dengan kapasitas ember penampung). Nutrisi didinginkan melalui chiller (yang telah di setting suhunya sesuai dengan perlakuan suhu zone cooling di masing-masing

chamber). Nutrisi yang masuk ke dalam chiller dipompakan dengan pompa celup yang berada di dalam ember penampung nutrisi. Ember penampung nutrisi di- isolasi bagian luarnya dengan styrofoam sebagai upaya mempertahankan suhu nutrisi agar tetap dingin. Setelah tercapai suhu sesuai dengan setting yang diinginkan maka nutrisi tersebut akan bertahan cukup lama pada suhu rendah. Nutrisi yang telah mencapai suhu zone cooling disemprotkan ke dalam aeroponic chamber dengan pompa bertekanan tinggi. Nutrisi yang disemprotkan tersebut akan keluar melalui nozzel-nozzel yang berada di dalam aeroponic chamber

sehingga membasahi seluruh permukaan dalam chamber dan mencapai akar tanaman kentang.

Keterangan :

1. Chiller (pendingin nutrisi) 2. Ember penampung nutrisi 3. Pompa

4. Pompa celup (di dalam ember penampung nutrisi)

5. Box aeroponik 6. Filter

7. Nozzel

A

B

C

1

2

3

4

5

6

(37)

15 15 15 15 15 15 15 15 1

1.5

0.42

0.53

Bibit kentang yang digunakan adalah Granola hasil kultur jaringan dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Bandung yang telah diaklimatisasi dan berumur 20 hari. Bibit tersebut kemudian dilakukan pindah tanam ke dalam sistem aeroponik. Kentang varietas Granola banyak dibudidayakan di Indonesia. Kentang varietas Granola menjadi salah satu varietas unggul (SK MENTAN No 81 tahun 2005). Deskripsi umum kentang varietas Granola adalah sebagai berikut : umbi berbentuk oval, kulit daging umbi berwarna kuning. Umur Genjah (90-100 hari), dan tahan terhadap beberapa penyakit berbahaya. Potensi hasil tinggi, yaitu dapat mencapai 30 ton per hektar (Cahyono 1996).

Gambar 2.5 Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone cooling

(ukuran dalam m)

Nutrisi yang digunakan adalah ABMix. Electric conductivity (EC) larutan nutrisi pada fase vegetatif 1.8 dan pH 6, sedangkan pada fase generatif 2.5 dan pH 5.8. Lama penyiraman nutrisi 16 menit dan kondisi timer mati selama 2.5 menit. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan zone cooling (10 oC, 15 oC, 20 oC dan kontrol/tanpa pendinginan) dengan tiga kali ulangan. Analisis data menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak ganda Duncan (UJGD) pada taraf  = 5%.

Hasil dan Pembahasan

Iklim Mikro di dalam Greenhouse

Suhu udara maksimum rata-rata di dalam greenhouse percobaan mencapai 35.3 oC, suhu udara rata-rata siang hari 29.9 oC, suhu udara rata-rata malam hari 26.3 oC, kelembaban relatif 78% (Tabel 2.1). Iklim mikro di dalam greenhouse

tersebut menunjukkan kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkambangan tanaman kentang. Menurut Krauss dan Marschner (1984), suhu tanah yang lebih tinggi dari 24 °C menyebabkan aktivitas beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme pati tertekan. Kondisi tersebut menyebabkan

Nozzel

Ember nutrisi Chiller

Pompa

Filter

PVC Pipa PE

(38)

penurunan kadar pati pada umbi dan secara langsung menghambat perombakan gula menjadi pati.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi bahan kering dapat tertunda pada suhu tanah lebih dari 24 °C dan sangat terganggu pada suhu 33 °C. Suhu udara 33 °C menyebabkan sebagian besar karbohidrat digunakan untuk respirasi, sehingga karbohidrat yang digunakan untuk pertumbuhan berkurang. Peningkatan suhu di lingkungan tumbuh tanaman kentang akan mempengaruhi aktivasi energi pada reaksi kimia seperti penggunaan energi hasil proses fotosintesis untuk proses respirasi (Asandhi dan Gunadi 2006). Respirasi

tumbuhan akan meningkat dengan peningkatan suhu dan akan menurun saat suhu mencapai 40 oC, pada suhu tersebut penyusun enzim akan mulai mengalami kerusakan (Sutcliffe 1977).

Tabel 2.1 Rata-rata suhu udara dan kelembaban udara di dalam greenhouse 1 sampai 90 HST

Iklim mikro di dalam greenhouse Rata-rata

Suhu udara maksimum (oC) 35.3

Suhu udara minimum (oC) 24.2

Suhu udara siang (oC) 29.9

Suhu udara malam (oC) 26.3

Kelembaban relatif udara (%) 78.0

(39)

Gambar 2.6 Radiasi matahari yang diterima lantai di dalam greenhouse selama pengukuran

Di daerah beriklim tropis seperti Indonesia, intensitas radiasi matahari dipengaruhi oleh musim, letak geografis, dan ketinggian tempat. Penerimaan radiasi matahari pada musim hujan berkisar 47% dan pada musim kemarau dimana pembentukan awan relatif berkurang, penerimaan radiasi matahari mencapai 70% (Lawlor 1993). Faktor cahaya yang penting untuk pertumbuhan tanaman yaitu intensitas cahaya dan lama pencahayaan. Intensitas cahaya jenuh tanaman kentang sebesar 32.280 lux atau setara dengan 313.65 Wm-2 (Chang 1968).

Kentang merupakan tanaman hari pendek dan tanaman C3 yang memiliki tingkat kejenuhan cahaya yang rendah (Otroshy 2006). Dari hal tersebut dapat disampaikan bahwa radiasi matahari di lokasi penelitian ini telah mencapai batas jenuh untuk pertumbuhan tanaman kentang. Penerimaan intensitas radiasi matahari yang rendah mengakibatkan kandungan klorofil daun berkurang, selanjutnya menurunkan laju fotosintesis dan akumulasi fotosintat pada organ penyimpanan (Salisbury dan Ross 1992). Suhu yang tinggi dan radiasi matahari yang kurang akan menghasilkan pertumbuhan yang rendah dan tanaman yang panjang serta kecil (Hartman et al. 1981).

Suhu yang tinggi dengan intensitas cahaya yang kurang akan menghasilkan pertumbuhan yang rendah dan tanaman yang panjang serta kecil (Hartman et al. 1981). Hasil penelitian pencahayaan buatan dengan lampu

fluorescent (TL) dengan intensitas cahaya rata-rata 9 Wm-2 di dalam ruangan pertumbuhan, suhu udara 20-26.5 °C, kelembaban udara (RH) relatif rendah (48-53%) menjadi kendala pertumbuhan tanaman.

Perbedaan perlakuan lama pencahayaan (12 dan 24 jam) mempengaruhi respon pertumbuhan tanaman kentang. Kondisi bibit yang digunakan serta

varietas juga mempengaruhi respon pertumbuhan tanaman kentang (Ma‟rufatin

(40)

Suhu Udara di dalam AeroponicChamber

Suhu perakaran dengan pemberian zone cooling dan kontrol menunjukkan perbedaan. Penggunaan zone cooling mampu mempertahankan suhu perakaran tetap dingin dibandingkan tanpa pendinginan (Gambar 2.7). Interval pemberian larutan nutrisi dengan lama penyiraman 16 menit dan timer mati selama 2.5 menit.

Zone cooling 10 oC mampu menjaga suhu perakaran 10.1-10.8 oC, zone cooling

[image:40.595.83.475.119.568.2]

15 oC mampu mempertahankan suhu 15.2-15.3 oC, zone cooling suhu 20 oC dapat mempertahankan suhu 20.3-20.4 oC, sedangkan pada kontrol suhu perakaran berubah-ubah mengikuti suhu udara di dalam greenhouse, pada pukul 07.00-08.00 mencapai 23.8 oC, pukul 13.00-14.00 mencapai 32.6 oC dan pukul 16.00-17.00 mencapai suhu 30.3 oC.

Gambar 2.7 Perubahan suhu udara di dalam aeroponic chamber pada empat perlakuan percobaan yang dilakukan

Zone cooling mampu menurunkan suhu perakaran sampai 10 oC lebih rendah dibandingkan tanpa pendinginan. Penggunaan mulsa jerami untuk menurunkan suhu tanah di siang hari pada kedalaman 5 cm sebesar 6 oC lebih rendah dibandingkan tanpa mulsa, sedangkan pada mulsa plastik hitam perak sebesar 3 oC (Hamdani 2009).

Energi listrik untuk menjaga suhu udara 24 oC pada siang hari dan 15 oC pada malam hari di dalam greenhouse yang dilengkapi dengan shading materials

mencapai 31 MJm-2hari-1 (Yamano et al., 1991). Energi listrik pada pendinginan terbatas daerah perakaran sekitar 13.24 MJm-2hari-1 (Randiniaty 2007). Jadi zone cooling daerah perakaran dengan mendinginkan larutan nutrisi yang disemprotkan ke dalam aeroponic chamber lebih efektif dan efisien. Hal ini karena, larutan nutrisi memiliki panas jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan udara, sehingga sekali larutan nutrisi didinginkan, suhunya akan bertahan pada tingkat cukup rendah dalam waktu yang lama (Matsuoka dan Suhardiyanto 1992).

Tinggi Tanaman

Pendinginan daerah perakaran memberikan pengaruh yang berbeda pada rata-rata tinggi tanaman (Tabel 2.2). Pemberian zone cooling 20 oC memberikan rata-rata tinggi tanaman tertinggi dibandingkan perlakuan lain, dan terendah pada

10o

C

15oC

20o

C

(41)

Gambar

Gambar 2.1  Morfologi tanaman kentang (Sumber : FAO 2008)
Gambar 2.3  Sistem aeroponik benih kentang yang dikembangkan di Peru
Gambar 2.4 Sistem aeroponik benih kentang dengan zone cooling daerah
Gambar 2.7  Perubahan suhu udara di dalam aeroponic chamber pada empat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Ariani 2017 menunjukkan bahwa DPR berpengaruh secara signifikan terhadap return saham dikarenakan suatu perusahaan yang mempunyai nilai DPR tinggi,

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan ridho-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH

Multiple Channel Single Phase atau jalur ganda satu tahap pelayanan yaitu sistem yang hanya terdapat satu jalur antrian dengan dua atau lebih fasilitas pelayanan..

The first of the two columns shows the result for a support threshold of 1% and a confidence threshold of 50% (the values usually chosen in analysis of classification algorithms),

Jadi pada proses belajar mengajar, seorang guru tidak cukup hanya dengan menguasai materi dalam mengajar tetapi hendaknya mengetahui dan menggunakan metode-metode

Although from result of the interview and questionnaire, the writer found that the students’ problems in learning vocabulary as follows; (1) Difficulty in

Nilai korelasi fenotipik tertinggi terhadap hasil biji diperoleh dari peubah diameter tongkol (r = 0,86). Pengaruh DGU pada karakter hasil tidak nyata untuk semua genotipe, tetapi

Jadi sebenarnya dasar dan sumber dari Kepastian Keselamatan itu adalah Firman Tuhan saja. Tuhan sendiri yang memberi kepastian bahwa kita yang percaya kepadaNya, kita