• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dosis dan Lama Fermentasi Kulit Buah Markisa (Passiflora edulis var.edulis) oleh Phanerochaete chrysosporium Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Pakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dosis dan Lama Fermentasi Kulit Buah Markisa (Passiflora edulis var.edulis) oleh Phanerochaete chrysosporium Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Pakan"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA PAKAN

SKRIPSI

Oleh:

WAHYU CRISTINE APRILIASTA BR PINEM 110306018

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DOSIS DAN LAMA FERMENTASI KULIT BUAH MARKISA

(

Passiflora edulis var.edulis

) OLEH

Phanerochaete chrysosporium

TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA PAKAN

SKRIPSI

Oleh:

WAHYU CRISTINE APRILIASTA BR PINEM 110306018

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Fisik dan Kimia Pakan.

Nama : Wahyu Cristine Apriliasta Br Pinem

NIM : 110306018

Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si

Ketua Program Studi Peternakan.

(4)

ABSTRAK

WAHYU CRISTINE APRILIASTA BR PINEM, 2015. “Dosis dan Lama Fermentasi

Kulit Buah Markisa (Passiflora edulis var. edulis) Oleh Phanerochaete chrysosporium Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Pakan”. Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan TRI HESTI WAHYUNI.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh fermentasi tepung kulit buah markisa dengan Phanerochaete chrysosporium terhadap kualitas fisik dan kimia pakan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Reproduksi Ternak, pada bulan juni-juli 2015. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu dosis inokulen (104 CFU/g, 106 CFU/g) dan lama fermentasi (0,7,14 dan 21 hari). Parameter yang diteliti adalah kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, berat jenis, kandungan protein kasar dan kandungan serat kasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lama hari berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tupukan dan berat jenis. Dan faktor dosis dan lama hari masing-masing memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar. Sedangkan interaksi antara dosis dan lama fermentasi hanya terdapat pada kerapatan tumpukan dan kandungan protein kasar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dosis 106 CFU/g, lama fermentasi terbaik 14 hari dan interaksi terbaik adalah dosis 106 CFU/g dengan lama fermentasi 14 hari.

(5)

WAHYU CRISTINE APRILIASTA BR PINEM, 2015. “Dose and Duration

Fermentation Passiflora edulis var. edulis) by Phanerochaete chrysosporium on the

Physical and Chemical Feed Quality”. Under supervised by MA’RUF TAFSIN and TRI HESTI WAHYUNI.

The study aimed to examine the effect of passion fruit hulls flour fermented with Phanerochaete chrysosporium on the physical and chemical feed quality. Research conducted at the Laboratory of Animal Breeding and Reproduction, in June-July 2015. This research used a Completely Randomized Reproduction (CRD) factorial. The treatment consisted of 2 factors : dose inokulen (104 CFU/g, 106 CFU/g) and duration fermentation (0, 7, 14 dan 21 days). Parameters studied were bulk density, compacted bulk density, specific gravity, crude protein and crude fiber content.

The result showed that the factor of duration fermentation had significant (P< 0,05) on the bulk density and the compacted bulk density. And the factors dose and duration of each day gives highly significant effect (P< 0,01) on crude protein and crude fiber. While the interaction between dose and duration of fermentation is only found in a bulk density and crude protein content. The conclusion from this study is the best dose 106 CFU/g with duration 14 days.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Wahyu Cristine Apriliasta Br Pinem, lahir di Medan, Sumatera Utara tanggal

22 April 1993, merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara, anak dari bapak Drs.

Edison Pinem dan ibu Dra. Mahdalena Br Kaban.

Masuk SMA SW. SANTO THOMAS 1 Medan pada tahun 2008 dan lulus

pada tahun 2011 dan melanjutkan pendidikan di Program Studi Peternakan Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara pada tahun 2011 melalui jalur SNMPTN.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Koordinator bidang

Kerohanian Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan (IMAKRIP) periode 2013-2014,

sebagai anggota bidang kesenian Ikatan Mahasiswa Peternakan (IMAPET) periode

2013-2014 dan sebagai anggotan bidang Humas Ikatan Mahasiswa Peternakan

(IMAPET) periode 2014-2015, Koordinator Acara Perayaan Pekan Olahraga dan

Seni Peternakan 2014, Koordinator Acara Retreat IMAKRIP 2012 dan anggota

Panitian Pelaksana OSPEK 2014.

Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di BPTU-HPT Babi

dan Kerbau Siborong-borong Instalasi Silangit Kecamatan Siborong-borong

Kabupaten Tapanuli Utara pada juni-agustus 2014. Melaksanakan penelitian di

Laboratorium Pemuliaan dan Reproduksi Ternak program studi Peternakan

(7)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Dosis dan Lama Fermentasi Kulit Buah Markisa (Passiflora edulis

var. edulis) Oleh Phanerochaete chrysosporium terhadap Kualitas Fisik dan Kimia

Pakan”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua atas doa,

semangat dan pengorbanan material maupun moril yang telah diberikan selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si selaku

ketua komisi pembimbing dan Ir. Tri Hesti Wahyuni, M. Sc selaku anggota komisi

pembimbing yang telah memberi arahan dalam penulisan skiripsi ini. Disamping itu,

penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua civitas akademika di Program

Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, serta semua rekan

mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk

itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari

pembaca. Semoga skripsi ini dapat membantu memberikan informasi dan bermanfaat

(8)

DAFTAR ISI

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density) ... 10

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density) ... 14

Berat Jenis (Spesific Gravity)) ... 15

Uji Kualitas Kimia Kadar Serat Kasar ... 15

(9)

Pembuatan Suspensi dan Pengenceran ... 18 Pelaksanaan Fermentasi Kulit Buah Markisa ... 18 Analisis Data ... 19 HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Kualitas Fisik Pakan

Kerapatan Tumpukan (Bulk Density) ... 20 Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density) ... 23 Berat Jenis (Spesific Gravity)) ... 25 Uji Kualitas Kimia Pakan

Kadar Protein Kasar ... 28 Kadar Serat Kasar ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 34 Saran ... 34

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Kandungan nilai gizi kulit buah markisa tanpa fermentasi dan kulit buah Markisa dengan fermentasi Phanerochaete chrysosporium ... 5 2. Nilai Kerapatan Tumpukan tepung kulit buah markisa fermentasi

Phanerochaete chrysosporium ... 20 3. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan tepung kulit buah markisa

fermentasi Phanerochaete chrysosporium ... 23 4. Nilai Berat Jenis tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete

chrysosporium ... 26 5. Kandungan Protein Kasar tepung kulit buah markisa fermentasi

Phanerochaete chrysosporium ... 29 6. Kandungan Serat Kasar tepung kulit buah markisa fermentasi

Phanerochaete chrysosporium ... 31

(11)

No. Hal

1. Kurva Kerapatan Tumpukan ... 22

2. Kurva Kerapatan Pemadatan Tumpukan ... 24

3. Kurva Berat Jenis ... 27

4. Kurva Protein Kasar ... 30

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1. Pengolahan Tepung KBM fermentasi Phanerochaete chrysosporium ... 40 2. Hasil Analisis Proksimat Tepung Kulit Buah Markisa (KBM) non

fermentasi (P0) dan KBM fermentasi Phanerochaete chrysosporium

selama 7 hari (P1) ... 41

3. Hasil Analisis Proksimat Tepung Kulit Buah Markisa (KBM) fermentasi

Phanerochaete chrysosporium selama 14 hari (P2) ... 42

4. Hasil Analisis Proksimat Tepung Kulit Buah Markisa (KBM) fermentasi

Phanerochaete chrysosporium selama 21 hari (P3) ... 43

5. Analisis Keragaman Pengaruh Dosis dan Lama Fermentasi yang berbeda terhadap Berat Jenis tepung kulit buah markisa ... 44

6. Analisis Keragaman Pengaruh Dosis dan Lama Fermentasi yang berbeda terhadap Kerapatan Pemadatan Tumpukan tepung kulit buah markisa ... 45

7. Analisis Keragaman Pengaruh Dosis dan Lama Fermentasi yang berbeda terhadap Kerapatan Tumpukan tepung kulit buah markisa ... 47

8. Analisis Keragaman Pengaruh Dosis dan Lama Fermentasi yang berbeda terhadap Protein Kasar tepung kulit buah markisa ... 48

(13)

WAHYU CRISTINE APRILIASTA BR PINEM, 2015. “Dosis dan Lama Fermentasi

Kulit Buah Markisa (Passiflora edulis var. edulis) Oleh Phanerochaete chrysosporium Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Pakan”. Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan TRI HESTI WAHYUNI.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh fermentasi tepung kulit buah markisa dengan Phanerochaete chrysosporium terhadap kualitas fisik dan kimia pakan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Reproduksi Ternak, pada bulan juni-juli 2015. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu dosis inokulen (104 CFU/g, 106 CFU/g) dan lama fermentasi (0,7,14 dan 21 hari). Parameter yang diteliti adalah kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, berat jenis, kandungan protein kasar dan kandungan serat kasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lama hari berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tupukan dan berat jenis. Dan faktor dosis dan lama hari masing-masing memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar. Sedangkan interaksi antara dosis dan lama fermentasi hanya terdapat pada kerapatan tumpukan dan kandungan protein kasar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dosis 106 CFU/g, lama fermentasi terbaik 14 hari dan interaksi terbaik adalah dosis 106 CFU/g dengan lama fermentasi 14 hari.

(14)

ABSTRACT

WAHYU CRISTINE APRILIASTA BR PINEM, 2015. “Dose and Duration

Fermentation Passiflora edulis var. edulis) by Phanerochaete chrysosporium on the

Physical and Chemical Feed Quality”. Under supervised by MA’RUF TAFSIN and TRI HESTI WAHYUNI.

The study aimed to examine the effect of passion fruit hulls flour fermented with Phanerochaete chrysosporium on the physical and chemical feed quality. Research conducted at the Laboratory of Animal Breeding and Reproduction, in June-July 2015. This research used a Completely Randomized Reproduction (CRD) factorial. The treatment consisted of 2 factors : dose inokulen (104 CFU/g, 106 CFU/g) and duration fermentation (0, 7, 14 dan 21 days). Parameters studied were bulk density, compacted bulk density, specific gravity, crude protein and crude fiber content.

The result showed that the factor of duration fermentation had significant (P< 0,05) on the bulk density and the compacted bulk density. And the factors dose and duration of each day gives highly significant effect (P< 0,01) on crude protein and crude fiber. While the interaction between dose and duration of fermentation is only found in a bulk density and crude protein content. The conclusion from this study is the best dose 106 CFU/g with duration 14 days.

(15)

Latar belakang

Ketersediaan pakan sangat berpengaruh pada hewan ternak. Ketika pakan

terpenuhi dan tercukupi maka dapat dipastikan keberlangsungan dari kegiatan

berternak tersebut akan berjalan baik disamping faktor pendukung lainnya. Begitu

juga sebaliknya, ketika ketersediaan pakan atau stok pakan tidak ada atau bahkan

kurang maka dapat dipastikan ternak - ternak tersebut bobotnya rendah (kurus) dan

tidak produktif. Adapun ketersediaan sumber pakan ini bisa berasal dari

limbah-limbah perkebunan dan pertanian yang kemudian diracik menjadi konsentrat dan

hijauan untuk membantu pencernaan hewan ternak.

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan mempunyai daerah

dataran rendah dan dataran tinggi yang dapat menghasilkan hampir semua jenis

buah-buahan, termasuk markisa. Tangdinlintin et al. (1994), menyatakan bahwa

kulit buah markisa merupakan salah satu limbah pengolahan buah markisa menjadi

produk minuman (sari markisa) yang mempunyai potensi yang cukup besar bila

dilihat dari produksi maupun dari kandungan zat-zat makanan yang terdapat di

dalamnya. Secara nasional, sentra produksi markisa terletak di Sumatera Utara dan

Sulawesi Selatan. Di Sumatera Utara sendiri, industri pengolahan hortikultura

menjadi pangan cukup berkembang. Satu pabrik pengolahan buah markisa menjadi

produk minuman (sari markisa) mampu berproduksi 10-15 ton per hari dengan

limbah berupa biji dan kulit buah sebanyak 2-3 ton per hari. Limbah tersebut belum

(16)

Laboratorium Pengujian Mutu Pakan Loka Penelitian Kambing Potong

(2009) menyatakan bahwa Kandungan nutrisi kulit buah markisa adalah protein

kasar (PK) 12,37%, lemak kasar (%LK) 5,28%, serat kasar (%SK) 30,16% dan abu

9,26% sehingga kulit buah markisa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan

ternak. Namun kulit buah markisa juga mnegandung zat anti nutrisi yang dapat

menggangu penyerapan nutrisi oleh tubuh ternak itu sendiri. Adapun zat anti nutrisi

yang terkandung dalam kulit buah markisa antara lain tannin dan serat kasar yang

tinggi terutama kandungan lignin.

Pengolahan kulit buah segar menjadi bahan baku pakan dilakukan melalui

proses secara biologi dan kimia. Proses secara biologi antara lain pencucian kulit

markisa, pencacahan, pengeringan dan pembuatan tepung. Semua tahapan proses

biologis tersebut bertujuan untuk penanganan kandungan tannin dalam kulit buah

markisa. Proses kimia untuk penanganan serat kasar antara lain dengan melakukan

fermentasi menggunakan kapang Phanerocaete chrysosporium yang memiliki

kemampuan mendegradasi lignin dengan baik.

Tidak adanya gangguan penggunaan tepung kulit buah markisa terhadap

nafsu makan ternak menunjukkan bahwa bahan makanan ini cukup palatabel. Hal ini

mungkin disebabkan aroma tepung kulit buah markisa disukai oleh ternak, sehingga

pakan yang diberikan dapat dikonsumsi dalam jumlah besar. Sedangkan pakan yang

mempunyai palatabilitas rendah akan dikonsumsi hanya sebatas pemenuhan hidup

pokok ternak tersebut. Faktor penting berasal dari makanan yang mempengaruhi

konsumsi adalah aroma dari bahan makanan itu, ternak dapat saja menolak bahan

makanan yang diberikan tanpa merasakan terlebih dahulu, karena tidak menyukai

aromanya (Preston dan Leng, 1987).

(17)

Berdasarkan uraian diatas, penulis berkeinginan melakukan penelitian

terhadap pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi yang berbeda dengan

menggunakan Phanerochaete chrysosporium terhadap kualitas fisik dan kimia

tepung kulit buah markisa.

Tujuan Penelitian

Untuk menghasilkan tepung kulit buah markisa yang berkualitas dan

mengetahui pengaruh dosis dan lama fermentasi yang berbeda terhadap tepung kulit

buah markisa yang akan dijadikan sebagai pakan.

Hipotesis Penelitian

Penggunaan jamur Phanerochaete chrysosporium sebagai fermentor dengan

dosis dan lama fermentasi yang berbeda pada fermentasi tepung kulit buah markisa

berpengaruh positif terhadap penurunan kadar serat kasar, peningkatan kandungan

protein, berat jenis, kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan tepung

kulit buah markisa.

Kegunaan Penelitian

Sebagai bahan informasi bagi masyarakat peternak pada khususnya, instansi

pemerintah (Dinas Peternakan, Dinas Pertanian dan Dinas Perindustrian) serta

kalangan akademik (mahasiswa, dosen dan para peneliti) mengenai pemanfaatan

kulit buah markisa menjadi tepung buah markisa untuk pakan ternak. Kegunaan dari

penelitian ini juga sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat

untuk menempuh ujian sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Kulit Buah Markisa

Buah markisa yang digunakan dalam pembuatan sari buah adalah passiflora

edulis yang ada di Indonesia dikenal dengan nama sluh. Berbentuk agak lonjong

seperti telur ayam panjangnya 4-6 cm, kulitnya hijau muda bila sudah masak berubah

warna menjadi violet (purple), kulit buahnya tipis tahan benturan, buah mencapai

massa petik pada umur 60-80 hari setelah persarian berlangsung (Rismunandar,

1986).

Taksonomi tanaman markisa adalah sebagai berikut:

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Kelas : Dycotyledoneae

Ordo : Parictalcs

Family : Passifloraceae

Genus : Passiflora

Spesies : Passiflora edulis

(BPHL, 1983).

Kulit buah markisa merupakan salah satu limbah pengolahan buah markisa

(19)

bila dilihat dari produksi maupun dari kandungan zat-zat makanan yang terdapat di

dalamnya. Secara nasional, sentra produksi markisa terletak di Sumatera Utara dan

Sulawesi Selatan. Di Sumatera Utara sendiri, industri pengolahan hortikultura

menjadi pangan cukup berkembang. Satu pabrik pengolahan buah markisa menjadi

produk minuman (sari markisa) mampu berproduksi 10-15 ton per hari dengan

limbah berupa biji dan kulit buah sebanyak 2-3 ton per hari. Limbah tersebut belum

dimanfaatkan dan malah membutuhkan biaya untuk penanganannya (Tangdinlintin

et al., 1994).

Dewasa ini pemanfaatan buah markisa masih terbatas pada daging buahnya.

Kalau biji masih dapat digunakan sebagai benih, maka kulit buah markisa sama

sekali belum dimanfaatkan, bahkan membutuhkan biaya untuk penangannya. Dari

buah markisa sari buah sebanyak 40,69% berat buah selebihnya adalah kulit buah

sebanyak 44,53% dan biji sebnayak 14,78% (Palupi dan Tungadi, 1988).

Kulit buah markisa saat ini sudah diteliti untuk digunakan sebagai pakan

ternak. Hal ini disebabkan berdasarkan komposisi kimianya kulit buah markisa

cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Tabel 4. Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa tanpa dan fermentasi

Phanerochaete chrysosporium selama 15 hari

Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa Kulit Buah Markisa Fermentasi

ME (Kkal/kg) 3575 3615

BK (%) 88,9 89,10

PK (%) 8,53 18,56

SK (%) 39,56 34,96

LK (%) 0,6 1,39

(20)

Kandungan tannin yang terdapat pada kulit buah markisa diduga berperan

menurunkan retensi nitrogen, karena tannin dapat mengikat protein dan membentuk

senyawa tannin-protein yang tidak terdegradasi (Herrick, 1980).

Serat Kasar

Serat kasar suatu bahan pakan merupakan komponen kimia yang besar

pengaruhnya terhadap pencernaan (Tillman et al., 1989).

Menurut De Man (1997), serat kasar merupakan sisa makanan yang tinggal

setelah proses pencernaan asam dan basa. Serat kasar didefenisikan mencakup tiga

fraksi utama yaitu : 1) Polisakarida, berkaitan dengan dinding sel tumbuhan termasuk

selulosa, hemiselulosa dan pectin, 2) Nonpolisakarida struktur, terutama lignin, 3)

Polisakarida nonstruktur.

Lignin berasal dari bahasa latin ligmum yang artinya kayu. Lignin merupakan

senyawa komplek yang membentuk ikatan ether dengan selulosa dan hemiselulosa,

protein dan komponen lain dalam jaringan tanaman dan selalu terdapat dalam

senyawa kompleks dinding sel (Boominathan dan Reddy, 1992).

Semakin tinggi kandungan lignin pada campuran pakan maka kecernaan NDF

semakin rendah, karena diduga lignin mempunyai pengaruh langsung terhadap

kecernaan dinding sel dibandingkan dengan kecernaan bahan organik

(Van Soest, 1968).

Protein Kasar

Kadar protein pada analisa proksimat bahan pakan pada umunya mengacu

(21)

nitrogen (N) yang terkandung pada bahan tersebut dikali dengan 6,25. Definisi

tersebut berdasarkan asumsi bahwa rata-rata kandungan N dalam bahan pakan adalah

16 gram per 100 gram protein (NRC, 2001).

Tannin

Tannin adalah senyawa phenolic yang larut dalam air. Peranan tannin pada

tanaman yaitu untuk melindungi biji dari predator burung, melindungi

perkecambahan setelah panen dan melindungi dari jamur serta cuaca. , namun

kandungan anti nutrisi tannin (1,85%) yang menyebabkan rendahnya kecernaan zat

makanan (Astuti, 2008). Cara mengatasi pengaruh dari tannin dalam pakan yaitu

dengan mensuplementasi DL-metionin dan suplementasi agen pengikat tannin, yaitu

gelatin, polyvinylpyrrolidone (PVP) dan polyethyleneglycol yang mempunyai

kemampuan mengikat dan merusak tannin. Selain itu kandungan tannin pada bahan

pakan dapat diturunkan dengan berbagai cara seperti perendaman, perebusan,

fermentasi dan penyosohan kulit luar. (Buletin CP, 2007).

Fermentasi

Fermentasi merupakan aktivitas mikroorganisme baik aerob maupun anaerob

yang mampu mengubah senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa-senyawa

sederhana sehingga keberhasilan fermentasi tergantung pada aktivitas

mikroorganisme, sementara setiap mikroorganisme masing-masing memiliki syarat

hidup seperti pH tertentu, suhu tertentu dan sebagainya. Produk fermentasi selain

menghasilkan bio-massa dapat meningkatkan atau menurunkan komponen kimia

(22)

Fermentasi menggunakan kapang pada umumnya membutuhkan waktu antara

2-5 hari. Dalam aktivitasnya kapang menggunakan karbohidrat sebagai sumber

karbon. Pemecahan karbohidrat akan diikuti pembebasan energi, karbondioksida dan

air. Panas yang dibebaskan menyebabkan suhu substrat meningkat (Winarno, 1980).

Selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein hasil metabolisme kapang

sehingga teejadi peningkatan kadar protein kasar (Sudarmadji dkk., 1989).

Kulit limbah buah markisa (KBM) secara fisik relatif tebal, cukup keras

karena itu perlu diubah menjadi tepung dan jika diberikan secara tunggal umumnya

kurang disukai ternak. Teknik silase merupakan suatu proses fermentasi mikroba

merubah pakan menjadi meningkat kandungan nutrisinya (protein dan energi) dan

disukai ternak karena rasanya relatif manis. Namun demikian akumulasi terhadap

kandungan anti nutrisi tetap penting diamati terutama dalam jangka panjang yang

kemungkinan dapat mempengaruhi gangguan kesehatan dan produksi ternak

(Sutardi, 1997).

Phanerochaete chrysosporium

Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall, termasuk dalam kelompok

jamur pelapuk putih dan merupakan jamur kelas Basidiomycetes yang juga

menyerang holoselulosa, namun pilihan utamanya adalah lignin. Klasifikasi jamur ini

sebagai berikut, kelas Basidiomycetes, sub kelas Holobasidiomycetes, ordo

Aphylophorales, famili Certiciaceae, genus Phanerochaete dan spesies P.

chrysosporium Burdsall (Irawati, 2006).

Syarat tumbuh Phanerochaete chrysosporium adalah tumbuh pada suhu

(23)

berkisar antara 4- 4,5 (Messner et.al., 1988) dan memerlukan kandungan oksigen

tinggi (Eaton et. al., 1980).

Laconi (1998), menyebutkan bahwa fermentasi kulit buah kakao dengan

Phanerochaete chrysosporium mampu menurunkan kandungan serat kasar sebesar

18,36%. Melihat kemampuan Phanerochaete chrysosporium dalam menghasilkan

enzim lignolitik dan selulotik, kapang ini mampu menurunkan kandungan lignin

dengan meningkatkan pertumbuhan kapang dan aktivitas enzim ligninolitik.

Fermentasi Bungkil Inti Sawit (BIS) menggunakan kapang Phanerochaete

chrysosporium, hasil terbaik dari penelitian untuk fermentasi BIS adalah pada dosis

inokulum 5% dan waktu inkubasi 4 hari. Kandungan protein kasar meningkat dari

I5,14% menjadi 25,08%, kandungan lemak kasar menurun dari 1,25% menjadi

1,01%, kandungan energi bruto menurun dari 4.330 kkal/kg menjadi 4.178 kkal/kg,

kandungan serat kasar menurun dari 17,18% menjadi 13,64%, kandungan lignin

menurun dari 17,52% menjadi 12,64%, Kandungan selulosa menurun dari 21,39%

menjadi 19,84% dan kandungan hemiselulosa turun dari 50,37% menjadi 42,01%.

Kecernaan protein BIS tanpa fermentasi 46,53% meningkat menjadi 80,86%

(Sembiring, 2006).

Sifat Fisik Bahan Baku Pakan

Sifat fisik merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh suatu bahan (material)

sehingga dapat menetapkan mutu pakan dan keefisienan proses produksi. Sifat fisik

untuk pangan telah banyak diketahui, tetapi data untuk sifat fisik bahan pakan masih

(24)

permasalahan dan perancangan alat-alat yang dapat membantu proses produksi pakan

serta membantu industri pengolahan hasil pertanian (Handayani, 2010)

Berat Jenis (Spesific Gravity)

Berat jenis (BJ) juga disebut berat spesifik (specific gravity), merupakan

perbandingan antara berat bahan terhadap volumenya, satuannya adalah kg/m3. Berat

jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan

penyimpanan. Berat jenis diukur dengan menggunakan prinsip Hukum Archimedes,

yaitu suatu benda di dalam fluida, baik sebagian ataupun seluruhnya akan

memperoleh gaya archimedes sebesar fluida yang dipindahkan dan arahnya ke atas

(Khalil, 1999a).

Kerapatan tumpukan (Bulk Density)

Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume

ruang yang ditempatinya dan satuannya adalah kg/m3. Kerapatan tumpukan memiliki

pengaruh terhadap daya campur dan ketelitian penakaran secara otomatis seperti

halnya dengan berat jenis. Sifat fisik ini memegang peranan penting dalam

memperhitungkan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan dengan berat jenis

tertentu seperti pada pengisian alat pencampur, elevator dan silo. Nilai kerapatan

tumpukan menunjukkan porositas dari bahan, yaitu jumlah rongga udara yang

terdapat diantara partikel-partikel bahan (Khalil, 1999a).

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density)

Kerapatan Pemadatan Tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan

(25)

penggoyangan. Komposisi kimia bahan turut mempengaruhi sifat fisik, terutama

terhadap nilai kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis

(Khalil, 1999a).

Menurut Hoffman (1997), tingkat pemadatan serta densitas bahan sangat

menentukan kapasitas dan akurasi tempat penyimpanan seperti silo, kontainer dan

kemasan, dengan mengetahui nilai kerapatan pemadatan tumpukan bermanfaat pada

saat pengisian bahan ke dalam wadah yang diam tetapi bergetar.

Kerapatan pemadatan tumpukan dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran partikel

bahan pakan (Gautama, 1998).

Kerapatan pemadatan tumpukan yang tinggi berarti bahan memiliki

kamampuan memadat yang tinggi dibandingkan dengan bahan yang lain. Semakin

rendah kerapatan pemadatan tumpukan yang dihasilkan maka laju alir semakin

(26)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Reproduksi Ternak

Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian

ini dimulai bulan juni sampai dengan juli 2015.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan kulit buah markisa yang dikeringkan di bawah sinar

matahari dan digiling menjadi tepung, jamur Phanerochaete chrysosporium sebagai

fermentator. Potatoes Dextrose Agar (PDA) sebagai media pembiakan jamur.

Alat

Alat yang digunakan hot plate atau kompor, pemanas spiritus, labu

elemenyer, kapas steril, aluminium foil, ose, tabung reaksi, cawan petri, kertas

saring, plastik bening, timbangan elektronik, oven dan alat tulis.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah secara experimental dengan

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial, dengan dua faktor yaitu lama

waktu fermentasi dan dosis inokulum yang masing-masing faktor terdiri dari:

(27)

I. Faktor dosis inokulum dengan 2 taraf :

K1 = 104 CFU /gram Phanerochaete chrysosporium

K2 = 106 CFU/gram Phanerochaete chrysosporium

II. Faktor lama fermentasi dengan 4 taraf :

P0 = fermentasi 0 hari (Tanpa Fermentasi)

P1 = fermentasi 7 hari

P2 = fermentasi 14 hari

P3 = fermentasi 21 hari

Maka kombinasi unit perlakuan sebagai berikut :

P0K1 P3K1 P2K2 P1K1 P0K1 P0K2

P1K1 P1K2 P1K1 P1K2 P0K2 P2K1

P2K1 P0K1 P2K1 P2K2 P1K2 P2K2

P0K2 P3K2 P3K2 P3K1 P3K1 P3K2

Model rancangan yang digunakan :

Yij= µ + σi + ßj + (σ ß)ij + Ɛijk

Dimana :

Yij = Nilai hasil pengamatan

σi = Pengaruh lama fermentasi dalam dosis inokulum ke j

ßj = Pengaruh dosis inokulum terhadap substrat ke i

µ = Nilai tengah umum

(28)

fermentasi dan taraf ke-j faktor dosis inokulum

εijk = Pengaruh galat yang ditimbulkan oleh perlakuan taraf ke-i dan

taraf ke-j pada ulangan ke-k.

Peubah Penelitian

A. Uji kualitas fisik pakan

1. Kerapatan Tumpukan (Khalil, 1999a)

Kerapatan Tumpukan (kg/m3). Kerapatan tumpukan dihitung dengan

mencurahkan bahan sampai volume 100 ml ke dalam gelas ukur (500 ml). Metode

pemasukan bahan ke dalam gelas ukur sama setiap pengamatan, baik cara maupun

ketinggian pencurahan. Pencurahan ransum dibantu corong plastik, guna

meminimumkan penyusutan volume curah akibat daya berat itu sendiri saat

dicurahkan dan terjadi guncangan pada gelas ukur perlu dihindari. Kerapatan

tumpukan dihitung dengan rumus :

Kerapatan tumpukan = Berat Bahan (kg)

Volume Ruang (m3)

2. Kerapatan Pemadatan Tumpukan ( Khalil, 1999a).

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m3). Kerapatan pemadatan tumpukan

ditentukan dengan cara yang sama dengan penentuan kerapatan tumpukan, tetapi

volume bahan dibaca setelah dilakukan proses pemadatan dengan cara

mengoyang-goyangkan gelas ukur sampai volume tidak berubah lagi. Besarnya nilai kerapatan

tumpukan sangat tergantung pada intensitas proses pemadatan sedangkan volume

yang dibaca merupakan volume terkecil yang diperoleh selama penggetaran.

Sebaiknya penggetaran dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 10 menit. Kerapatan

pemadatan tumpukan dihitung dengan rumus:

(29)

Kerapatan pemadatan tumpukan = Berat bahan (kg)

Volume setelah pemadatan (m3)

3. Berat Jenis (Khalil,1999a)

Berat Jenis (kg/m3). Sampel sebanyak 100 gram dimasukkan ke dalam

gelas ukur yang berisi air 300 ml lalu dilakukan pengadukan untuk mempercepat

penghilangan ruang udara antar partikel. Pembacaan volume dilakukan setelah

volume air konstan . Berat jenis dihitung dengan rumus :

Berat Jenis = Berat Bahan (kg)

Perubahan Volume Aquades (m3)

B. Uji kimia pakan

1. Kadar serat kasar (AOAC 1995)

Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah

diperlakukan dengan asam dan alkali mendidih yang terdiri dari selulosa dengan

sedikit lignin dan pentosa. Sampel yang akan diukur dihaluskan terlebih dahulu

sehingga dapat melalui saringan diameter 1mm dan diaduk merata. Sebanyak 1 gram

sampel yang telah halus diekstraksi lemaknya dengan menggunakan metode soxhlet.

Sampel dipindahkan ke erlemenyer danditambah 150 ml H2SO4 1,25% mendidih dan

dididihkan selama 30 menit dan sekali-sekali digoyang-goyang. Suspensi yang

terbentuk disaring dengan penyaring Van Bosch vakum dan dicuci dengan air panas.

Residu dalam kertas saring dicuci sampai air cucian tidak bersifat asam lagi.

Residu dimasukan dalam erlemenyer dan ditambahkan 150 ml NaOH 1,25 %

(30)

menit kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya (A) .

Residu yang diperoleh dicuci dengan air mendidih 100 ml kemudian dicuci dengan

etanol 20 ml dan diethyl ether 20 ml. Kertas saring ditanur pada 1050C sampai berat

konstant. Distabilkan dalam desikator dan ditimbang (B), residu dipijarkan didalam

muffe firmance selama 4 jam, sisa pijaran ditimbang sebagai abu (C). Kadar serat

kasar dapat diperoleh sebagai berikut:

(B - ( A+ C))

Berat Sampel

Keterangan : A = Berat kertas saring (g)

B = Berat kertas saring + berat sampel (g)

C = Berat Abu (g)

2. Kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar

(crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein

terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

a. Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung

kjedahl dimasukkan kedalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung

yang berisi larutan tersebut dimasukkan kedalam alat pemanas dengan suhu 4100 C

ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.

b. Tahap distilasi

= % Serat Kasar

(31)

Isi labu dituangkan ke dalam labu distilasi, lalu ditambahkan dengan aquades

(50 ml). Air bilasa juga dimasukkan ke dalam alat distilasi dan ditambahkan larutan

NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam

erlemenyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan

brom cresol green) yang ada dibawah kondensor. Distilasi dilkukan sampai diperoleh

200 ml distilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlemenyer.

c. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan

erlemenyer berubah warna menjadi pink. Perhitungan kadar protein adalah sebagai

berikut :

Volume HCl x N HCl x 14,01x 6,25 x FP

mg sampel

Keterangan : FP = Faktor Pengenceran

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Perbanyakan Biakan Phanerochaete chrysosporium

Disiapkam media PDA ( Potatoes Dexstrose Agar) dalam bentuk pasta untuk

memperbanyak biakan Phanerochaete chrysosporium. Adapun prosedur yang

dilakukan sebagai berikut :

Siapkan Potatoes Dexstrose Agar sebanyak 39 gram ditambahkan 500 ml aquades

dan dipanaskan hingga mendidh hingga warna suspensi jernih.

Sterilkan PDA yang telah dimasakan dengan suhu 121o C selama 15 menit. % Protein =

(32)

Seterusnya tuangkan pasta agar ke sederetan tabung reaksi masing-masing

sebanyak 10 ml untuk pembuatan agar miring.

Biakan murni Phanerochaete chrysosporium ditanam dengan menggoreskan pada

agar miring dengan ose, kemudian tabung reaksi ditutup dengan kapas steril.

Tabung reaksi disimpan pada rak dan di inkubasi pada suhu kamar 280C hingga

terbentuk Miselium/hifa antara 2-5 hari.

Pembuatan Suspensi dan Pengenceran

- Biakan jamur Phanerochaete chrysosporium agar miring ditambah aquades steril

atau NaCl fisiologis sebanyak 10 ml kemudian dikocok hingga spora tersuspensi.

- Lakukan hingga mendapatkan 1 liter suspensi spora jamur yang menjadi inokulen

cair.

- Hitung populasi mikroba dalam inokulen cair untuk mendapatkan dosis yang

dibutuhkan.

Pelaksanaan Fermentasi Kulit Buah Markisa

Kulit buah markisa yang telah ditepungkan dikemas pada plastik bening

kemudian disterilkan pada suhu 1200C selama 20 menit lalu didinginkan, setelah

mencapai suhu ruang substrat diinkubasi dengan inokulum yang telah dibuat

sebelumnya sesuai dengan perlakuan 104 CFU/gram dan 106 CFU/gram diaduk

sampai rata dalam wadah kemudian wadah ditutup dengan cling wrap dan diberi

lubang kecil dipermukaannya dan dimasukkan kedalam laminar airflow. Kemudian

diinkubasikan pada suhu 280C selama 0, 7, 14 dan 21 hari. Masing-masing

kombinasi diulang 3 kali. Setelah masing-masing waktu inkubasi dicapai, Kulit buah

(33)

berat konstant. Selanjutnya dilakukan pengujian nilai nutrisi melalui analisis

proksimat serta uji fisik terhadap kulit buah markisa yang telah difermentasi.

Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam

(ANOVA). Apabila terdapat perbedaan yang nyata akan dilanjutkan dengan uji

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Uji Kualitas Fisik Pakan

Bahan penelitian memiliki sifat fisik yang berbeda dari setiap bahan, hal ini

dikarenakan bentuk dan teksturnya yang berbeda sehingga perlu diketahui nilai sifat

fisik dari bahan dasar penelitian dan pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap

perubahan nilai sisat fisik bahan tersebut. Nilai sifat fisik kulit buah markisa dan

pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap perubahan nilai sifat fisik tepung kulit

buah markisa adalah sebagai berikut :

1. Kerapatan Tumpukan (kg/m3)

Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan

volume ruang yang ditempatinya dan satuannya adalah kg/m3. Kerapatan tumpukan

memegang peranan penting dalam memperhitungkan volume ruang yang dibutuhkan

suatu bahan dengan berat jenis tertentu. Nilai kerapatan tumpukan tepung kulit buah

markisa yang difermentasi dengan Phanerocaete chrysosporium dan tanpa

fermentasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Ket : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)

(35)

Hasil analisis keragaman menunjukan bahwa faktor lama fermentasi

memberikan pengaruh sangat nyata (P < 0,01) sedangkan faktor dosis memberikan

pengaruh tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap nilai kerapatan tumpukan tepung

kulit markisa serta tidak terdapat interaksi antar faktor. Terjadi peningkatan nilai

kerapatan tumpukan pada hari ketujuh sebesar 25,6% dan turun secara berurut, pada

hari ke-14 nilai kerapatan tumpukan menunjukan peningkatan 18,7% dari hari ke-0

yang menyatakan adanya penurunan 6,9% dari nilai pada hari 7 dan pada hari

ke-21 nilai kerapatan tumpukan turun sebesar 2,52% dari nilai pada hari ke-0.

Meningkatnya nilai kerapatan tumpukan disebabkan karena semakin halus

atau semakin kecil ukuran partikel akibat dari hasil kerja kapang Phanerocaete

chrysosporium yang mendegradasi serat kasar seiring dengan lama fermentasi,

semakin rendah kandungan serat kasar maka tekstur substrat juga semakin halus. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Johnson (1994), yang menyatakan bahwa ukuran

partikel bahan mempengaruhi nilai kerapatan tumpukan. Semakin banyak jumlah

partikel halus dalam ransum, maka akan meningkatkan nilai kerapatan tumpukan.

Penurunan nilai kerapatan tumpukan juga dapat disebabkan karena

menurunnya kadar air substrat yang merupakan akibat dari pemecahan karbohidrat

substrat oleh mikroba yang menghasilkan zat sisa berupa CO2 dan H2O dan juga

dapat disebabkan oleh menumpuknya misellium kapang apabila waktu fermentasi

terlalu lama sehingga meningkatkan kadar serat kasar yang menyebabkan tekstur

substrat menjadi kasar akibat keberadaan misellium yang menumpuk. Al-Mahasneh

dan Rababah (2007), menyatakan bahwa ukuran partikel meningkat seiring dengan

(36)

disebabkan karena mengerasnya substrat yang disebabkan pertumbuhan kapang yang

lebat.

Nilai kerapatan pemadatan tumpukan yang semakin besar menunjukan

bahwa tempat yang dibutuhakan suatu sample semakin efisien. Khalil (1999a),

menyebutkan bahwa bahan yang mempunyai kerapatan tumpukan rendah

membutuhkan waktu mengalir dengan arah vertikal lebih lama sebaliknya dengan

bahan yang mempunyai kerapatan tumpukan yang lebih besar. Produsen lebih

memilih bahan dengan kerapatan tum pukan tinggi apabila melakukan pengiriman

jarak jauh karena dapat menghemat pengeluaran biaya pengemasan dan

penyimpanan bahan. Nilai kerapatan tumpukan tepung kulit buah markisa yang diuji

dengan polinomial orthogonal dapat dilihat pada Gambar 1 :

Gambar 1. Dosis 104cfu/g dan 106cfu/g P.chrysosporium Terhadap Kerapatan Tumpukan

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa pada dosis 104 CFU/g dan

10⁶ CFU/g membentuk pola kurva kuadratik secara bersama dengan persamaan

garis masing-masing y = - 0,765x2 + 14,88x + 340,8

(R² = 0,841) dan y = - 0,850x2 + 17,66x + 342 (R² = 0,994). Pada kurva di atas dapat

dilihat bahwa berkisar pada lama fermentasi hari ke-5 peningkatan mulai terjadi

hingga lama fermentasi hari ke-10 sedangkan pada lama fermentasi hari ke-11 kg/m3

104 cfu/g

106 cfu/g

(37)

hingga hari ke-15 kurva telah menunjukan penurunan. Dari hasil uji lanjut

(Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan menunjukan bahwa nilai kerapatan

tumpukan kulit buah markisa pada lama fermentasi 7 hari lebih tinggi di bandingkan

dengan lama fermentasi 0, 14 dan 21 hari.

2. Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m3)

Kerapatan Pemadatan Tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan

terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui proses pemadatan. Nilai

kerapatan pemadatan tumpukan tepung kulit buah markisa yang difermentasi dengan

Phanerocaete chrysosporium dan tanpa fermentasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan tepung kulit buah markisa fermentasi

Phanerocaete chrysosporium

Ket : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis keragaman menunjukan bahwa faktor dosis memberikan

pengaruh tidak berbeda nyata (P<0.05), sedangkan faktor lama hari fermentasi

memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap kerapatan pemadatan

tepung kulit buah markisa. Peningkatan nilai kerapatan pemadatan tumpukan

dimulai hari ke-7 sebesar 3,07% dan pada hari ke-14 nilai kerapatan pemadatan

tumpukan naik sebesar 7% dari hari ke-0 sedangkan pada hari ke-21 nilai kerapatan

(38)

Penurunan nilai kerapatan pemadatan tumpukan dapat dipengaruhi oleh

beberapa hal antara lain getaran saat proses pemadatan, intensitas dam lama proses

pemadatan. Hal ini didukung oleh pernyataan Retnani (2010), yang menyatakan

getaran yang diberikan dalam gaya yang berbeda saat memadatkan ransum dapat

menyebabkan ketidaktepatan pengukuran. Kerapatan pemadatan tumpukan

dipengaruhi oleh intensitas dan cara pemadatan, semakin lama proses pemadatan

yang dilakukan maka kerapatan pemadatan tumpukan cenderung menurun dan

sebaliknya.

Interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05)

terhadap peningkatan kerapatan pemadatan tepung kulit buah markisa. Dan interaksi

dengan nilai terbaik ditunjukan pada dosis 10⁶ CFU/ml dengan lama fermentasi 14

hari sebesar 501,96 kg/m3.

Nilai kerapatan pemadatan tumpukan yang semakin besar menunjukan bahwa

kemampuan memadat substrat semakin tinggi sebaliknya, apabila nilai kerapatan

pemadatan tumpukan semakin kecil maka kemapuan memadat substrat semakin

rendah sehingga mengurangi efisiensi tempat penyimpanan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Rikmawati (2005) yang menyatakan bahwa kerapatan pemadatan

tumpukan yang tinggi berarti bahan memiliki kemampuan memadat yang tinggi

dibandingkan dengan bahan yang lain. Semakin rendah kerapatan pemadatan

tumpukan yang dihasilkan maka laju alir semakin menurun.

Nilai kerapatan tumpukan tepung kulit buah markisa yang diuji dengan

polinomial orthogonal dapat dilihat pada Gambar 2 :

(39)

Gambar 2. Dosis 104cfu/g dan 106cfu/g P.chrysosporium Terhadap Kerapatan Tumpukan

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa pada dosis 10⁶ CFU/g

membentuk kurva kuadratik dengan persamaan y = -0,475x2 + 10,44x + 420,5 (R² =

0,555) yang berpotongan berkisar di titik hari ke-3 dengan kurva kuadratik dosis 104

CFU/g dengan persamaan y = -0,137x2 + 1,544x + 447,1

(R² = 0,811). Hal ini menunjukan bahwa pada dosis 10⁶ CFU/g dapat di

fermentasikan maksimal 14 hari, bila lebih dari 14 hari nilai kerapatan pemadatan

tumpukan cenderung turun dan pada dosis 104 CFU/g dapat difermentasikan

maksimal 7 hari.

Dari hasil uii lanjut (Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan juga

menunjukan bahwa nilai kerapatan pemadatan tumpukan kulit buah markisa untuk

dosis 10⁶ CFU/g ditunjukan pada lama fermentasi hari ke-14 namun pada dosis 104

CFU/g nilai kerapatan pemadatan tumpukan tertinggi ditunjukkan pada lama

fermentasi hari ke-7.

3. Berat Jenis (kg/m3)

Berat jenis juga disebut berat spesifik (specific gravity), merupakan

perbandingan antara berat bahan terhadap volumenya, satuannya adalah kg/m3.

kg/m3

104 cfu/g

106 cfu/g

(40)

Menurut Khalil (1999a), berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai

proses pengolahan, penanganan dan penyimpanan. Berat jenis diukur dengan

menggunakan prinsip Hukum Archimedes. Berat jenis tepung kulit buah markisa

yang difermentasi dengan Phanerocaete chrysosporium dan tanpa fermentasi dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Berat Jenis tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerocaete chrysosporium

Ket : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis keragaman menunjukan bahwa faktor lama fermentasi

memberikan pengaruh yang nyata (P < 0,05) sedangkan faktor dosis memberikan

pengaruh tidak berbeda nyata (P < 0,05) terhadap nilai berat jenis tepung kulit buah

markisa serta tidak ada interaksi dari kedua faktor.

Nilai berat jenis mulai meningkat pada fermentasi hari ke-7 sebesar 2,6%,

pada hari ke-14 meningkat sebesar 2,8% dari hari ke-0 namun pada hari 21 nilai

berat jenis turun sebesar 1,56% dari hari ke-0.

Peningkatan dan penurunan nilai berat jenis kemungkinan disebabkan oleh

perubahan kandungan kadar air serta ukuran partikel yang semakin halus dan

semakin kasar akibat dari lama fermentasi yang apabila terlalu lama akan

(41)

menghasilkan banyak misellium yang mempengaruhi tingkat kehalusan tekstur

substrat. Hal ini didukung oleh pernyataan Gautama (1998), yang menyatakan bahwa

berat jenis dipengaruhi oleh komposisi kimia pakan. Gautama (1998), juga

menyatakan bahwa menurunnya nilai berat jenis disebabkan ruang antar partikel

bahan sudah terisi oleh aquades dalam pengukuran sehingga nilai berat jenisnya

rendah. Apabila partikel semakin kasar maka ukuran partikel semakin besar dan

kerapatan semakin menurun sehingga air lebih mudah mengisi ruang antara partikel.

Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Khalil (1999a), yang

menyatakan bahwa pengecilan ukuran partikel dan kadar air tidak berpengaruh nyata

terhadap pengukuran berat jenis dari berbagai kelompok bahan pakan sumber energi,

sumber hijauan, sumber protein nabati dan hewani serta bahan pakan mineral.

Nilai berat jenis yang semakin tinggi menunjukan bahwa kemampuan

homogenitas substrat dalam pencampuran bahan pembuatan pellet semakin tinggi

serta mengisi ruang udara lebih rapat. Semakin tinggi nilai berat jenis maka kapasitas

ruang penyimpanan semakin besar serta proses pengangkutan semakin mudah. Hal

ini didukung oleh pernyataan Syarifudin (2001), yang menyatakan semakin tinggi

berat jenis maka akan semakin meningkatkan kapasitas ruang penyimpanan dan

memudahkan pengangkutan.

Nilai berat jenis tepung kulit buah markisa yang diuji dengan polinomial

(42)

Gambar 3. Dosis 104cfu/g dan 106cfu/g P.chrysosporium Terhadap Berat Jenis

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa pada dosis 10⁶ CFU/g dan

104 CFU/g membentuk pola kurva kuadratik secara bersama dengan persamaan garis

masing-masing y = - 0,135x2 + 2,522x + 235,0 (R² = 0,961) dan y = -0,032x2 +

0,701x + 235,0 (R² = 0,272) yang berpotongan berkisar pada titik hari fermentasi

ke-13. Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis 10⁶ CFU/g lama hari fermentasi

maksimal adalah antara 5–14 hari, titik tertinggi pada hari ke-10, bila lebih dari 14

hari cenderung menurun dengan cepat. Pada dosis 104 CFU/g menunjukan

peningkatan dan penurunan pada hari ke 5–18 namun peningkatan dan penurunan

tidak drastis. Dari hasil uji lanjut (Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan

juga menunjukan bahwa nilai berat jenis kulit buah markisa pada lama fermentasi 14

hari lebih tinggi di bandingkan dengan lama fermentasi 0, 7 dan 21 hari.

II. Uji Kimia Pakan

Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak baik

yang berupa bahan organik maupun anorganik yang sebagian atau semuanya dapat

dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak, sehingga bahan pakan yang di teliti

harus di analisis proksimat yaitu suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kg/m3

104 cfu/g

106 cfu/g

000,00

(43)

kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada bahan pakan.

Namun pada penelitian ini analisis proksimat yang dilakukan terkhusus untuk

kandungan protein dan serat.

1. Protein Kasar

Protein kasar memiliki pengertian banyaknya kandungan nitrogen (N) yang

terkandung pada suatu bahan dikali dengan 6,25. Nilai kandungan protein kasar

tepung kulit buah markisa yang difermentasi dengan Phanerocaete chrysosporium

dan tanpa fermentasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Ket : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)

Hasil analisis keragaman menunjukan bahwa faktor dosis, faktor lama

fermentasi serta interaksi antar kedua faktor masing-masing memberikan pengaruh

yang sangat berbeda nyata (P<0.01) terhadap kandungan protein kasar tepung kulit

buah markisa.

Kandungan protein kasar pada fermentasi hari ke-7 meningkat sebesar

46,47% dari hari ke-0, pada hari ke-14 meningkat sebesar 94% dari hari ke-0 dan

pada hari ke-21 meningkat sampai 100% dari hari ke-0 dengan persentase kadar

(44)

Pengaruh dosis yang terbaik terhadap kandungan protein kasar adalah 10⁶

CFU/g dengan dengan nilai rata-rata 14,37% dan pada dosis 10⁴ CFU/g. Sedangkan

interaksi terbaik ditunjukan oleh dosis 10⁶ CFU/g dengan lama fermentasi 21 hari

dengan nilai rata-rata sebesar 18,03%.

Salah satu penyebab kandungan protein meningkat disebabkan biokonversi

dari komponen anorganik menjadi bahan organik yaitu adanya kerja optimal kapang

Phanerocaete chrysosporium yang mengubah komponen anorganik menjadi bahan

organik, namun peningkatan kadar protein yang paling dominan selama proses

fermentasi berlangsung juga dikarenakan adanya penambahan protein yang

disumbangkan dari tubuh kapang fermentator itu sendiri atau juga disebut sebagai

protein sel tunggal (single cell protein). Hal ini sesuai dengan pernyataan Setiyarto

(2011) yang menyatakan bahwa protein sel tunggal adalah istilah yang digunakan

untuk protein kasar murni yang berasal dari mikroorganisme bersel satu atau banyak

, seperti bakteri, khamir, jamur, ganggang dan protozoa yang sederhana yang

merupakan salah satu jalan untuk memperkaya kadar protein bahan dengan cara

membudidayakan sel mikroba sebagai sumber protein (protein sel tunggal). Oleh

karena itu semakin lama proses fermentasi maka semakin banyak mikroba yang

dihasilkan dan akan menyebabkan peningkatan protein yang semakin tinggi pula. Hal

ini juga sesuai dengan pernyataan Wang et al. (1979), yang menyatakan bahwa

selama proses fermentasi berlangsung, kadar protein media mengalami peningkatan,

.karena adanya kenaikan jumlah massa mikroba.

Nelson dan Suparjo (2011) juga menyatakan bahwa peningkatan kandungan

(45)

protein sel tunggal. Sekresi enzim ektraseluler oleh P. chrysosporium turut berperan

dalam meningkatkan kandungan protein.

Kandungan protein kasar tepung kulit buah markisa yang diuji dengan

polinomial orthogonal dapat dilihat pada Gambar 4:

Gambar 4. Dosis 104cfu/g dan 106cfu/g P.chrysosporium Terhadap Protein Kasar

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa kedua garis yang menyatakan

dosis 10⁶ CFU/g dan dosis 104 CFU/g menbentuk kurva kuadratik dengan

persamaan secara berurutan y = -0,022x2 + 0,950x + 8,242 (R² = 0,978 ) dan y =

-0,010x2 + 0,608x + 8,413 (R² = 0,995). Pada kurva dosis 10⁶ CFU/g menunjukan

peningkatan kadar protein yang lebih tinggi dibanding kurva dosis 104 CFU/g. Dari

hasil uji lanjut (Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan menunjukan bahwa

kadar protein kasar yang tertinggi terdapat pada dosis 10⁶ CFU/g dengan lama

fermentasi 21 hari.

104 cfu/g

(46)

2. Serat Kasar

Serat kasar suatu bahan pakan merupakan komponen kimia yang besar

pengaruhnya terhadap pencernaan yang merupakan sisa makanan yang tinggal

setelah proses pencernaan asam dan basa. Nilai kandungan serat kasar tepung kulit

buah markisa yang difermentasi dengan Phanerocaete chrysosporium dan tanpa

fermentasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan serat kasar tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerocaete chrysosporium

Ket : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)

Hasil analisis keragaman menunjukan bahwa faktor dosis dan faktor lama

fermentasi masing-masing memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata

(P<0.01) terhadap kandungan serat kasar tepung kulit buah markisa. Namun tidak

ada pengaruh interaksi dari kedua faktor.

` Penurunan kadar serat kasar dimulai sejak fermentasi hari ke-7, dengan

persentase penurunan sebesar 4,24% dan pada lama fermentasi hari ke-14 persentase

penurunan kadar serat kasar sebesar 10,25% dari hari ke-0 tetapi pada lama

fermentasi hari ke-21 terjadi peningkatan kadar serta kasar sebesar 7% dari hari ke-0

atau meningkat sebesar 3,25% dari hari ke-14. Pengaruh dosis yang terbaik terhadap

kandungan serat kasar adalah 10⁶ CFU/g dengan nilai rata-rata 37,22%.

(47)

Penurunan kadar serat kasar diakibatkan hasil dari kerja mikroba fermentator

yang memanfaatkan substrat sebagai sumber makanannya yang digunakan untuk

berkembangbiak dan bertahan hidup. Dan pola penurunan serat kasar pada penelitian

ini secara konstant berkisar 7-14 hari. Pada rentang waktu ini menunjukan bahwa

semakin lama waktu fermentasi maka kandungan serat kasar akan semakin menurun.

Hal ini didukung oleh pernyataan Ginting (2006) dalam penelitiannya terhadap BIS

yang menyatakan bahwa lama inkubasi 9 atau 12 hari dapat dianggap sebagai

masa inkubasi optimal.

Sedangkan peningkatan kadar serat kasar dipengaruhi oleh lama fermentasi,

semakin lama waktu fermentasi maka akan semakin banyak pula kapang

Phanerocate chrysosporium yang sebagai fermentator dihasilkan yang

menyumbangkan banyak misellium yang menjadi sumber serat pada substrat dan

tidak seimbang dengan enzim pemecah yang dihasilkan oleh fermentator. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Uhi (2007) bahwa penurunan kadar serat kasar diakibatkan

karena adanya kerja dari mikroba dalam pemanfaatan media sebagai sumber

energinya yang digunakan selama proses fermentasi berlangsung dan untuk

kebutuhan hidup tubuh mikroba itu sendiri. Howard et al., (2003) juga menyatakan

penurunan kandungan serat kasar dapat terjadi karena proses dekomposisi komponen

serat oleh kapang Phanerocate chrysosporium. Serat kasar sebagian besar berasal

dari sel dinding tananam dan mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin.

Phanerocate chrysosporium mempunyai kemampuan dalam mendegradasi

komponen serat karena disamping menghasilkan enzim pendegradasi lignin, kapang

(48)

Selain itu peningkatan kadar serat kasar produk fermentasi dapat dipengaruhi

oleh lamanya waktu fermentasi. Semakin lama waktu fermentasi, akan menghasilkan

pertumbuhan miselium yang lebat tetapi tidak didukung dengan kemampuan kapang

untuk menghasilkan enzim pemecah serat. Peningkatan serat kasar juga diduga

akibat dari berkurangnya kandungan air pada substrat. Hal ini juga didukung oleh

pernyataan Ginting (2006) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa lama

inkubasi yang semakin panjang menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan

serat kasar pada substrat. Hal ini diduga disebabkan oleh menurunnya kadar air pada

substrat, sehingga serat kasar semakin terkonsentrasi. Disamping itu, perkembangan

kapang Phanerocate chrysosporium yang secara konsisten meningkat menurut masa

fermentasi dapat menyumbang serat kasar melalui dinding selnya. Oleh karena itu,

lama inkubasi 9 atau 12 hari dapat dianggap sebagai masa inkubasi optimal.

Kandungan serat kasar tepung kulit buah markisa yang diuji dengan

polinomial orthogonal dapat dilihat pada Gambar 5:

Gambar 5. Dosis 104cfu/g dan 106cfu/g P.chrysosporium TerhadaP Serat Kasar

Gambar 1. menunjukkan kedua garis yang menyatakan dosis 10⁶ CFU/g dan

dosis 104 CFU/g menbentuk kurva kuadratik dengan persamaan secara berurutan y = 104 cfu/g

106 cfu/g

00,00

(49)

0,015x2 - 0,495x + 39,76 (R² = 0,923) dan y = 0,008x2 - 0,307x + 39,79 (R² = 0,825).

Dari hasil uji lanjut (Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan menunjukan

bahwa kadar serat kasar terendah kulit buah markisa ditunjukan pada lama

(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa faktor

dosis inokulum kapang Phanerocate chrysosporium tidak memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap kualitas fisik, tetapi memberikan pengaruh yang sangat

signifikan terhadap kualitas kimia dengan meningkatkan kadar protein kasar dan

menurunkan kadar serat kasar tepung kulit buah markisa, sedangkan interaksi antara

kedua faktor memberikan faktor yang signifikan terhadap kualitas kimia tetapi secara

umum tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas fisik tepung

kulit buah markisa.

Saran

Pelaksanaa fermentasi menggunakan kapang Phanerocaete chrysosporium

pada penelitian selanjutnya disarankan menggunakan dosis inokulum 106 CFU/g dan

(51)

AL-Mahasneh, M. A. and T.M. Rababah. 2007. Effect Moisture of Content on Some Physical Properties of Green Wheat. J. Food Engineering, 79 (4): 1467-1473.

AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of the Assocation of Analytical Chemist, Washington D.C.

Astuti, T. 2008. Evaluasi Nilai Nutrisi Kulit Buah Markisa yang Difermentasi dengan Aspergillus niger dan Trichoderma harizanum sebagai Bahan Pakan Ternak secara In-Vitro. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Andalas. Padang.

Balai Penelitian Holtikultura Lembang. 1983. Morfologi dan Anatomi Tanaman Passiflora sp. Sub Balai Penelitian Holtikultura Lembang.

Boominathan, K. dan C.A Reddy. 1992. Fungal Degradation of Lignin : Biotechnological Aplications. Handbooks of Mycology. Volume 4: Fungal Biotechnology. Edited by Arora D.K., R.P Elander dan K.G. Mukerji. Marcel Dekker, Inc New York. Basel Hongkong.

Buletin CP. 2007. Mengenal Jenis Antinutrisi pada Bahan Pakan.

Cookson, J.T. 1995. Bioremediation Engineering ; Design and Application. Me Graw Hill, Inc.

DeMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. Ed. Kedua. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Jurusan Farmasi ITB. Penerbit ITB. Bandung.

Eaton, D., Chang, H.M, Kirk, T.K. 1980. Fugal Decoloritation of Kraft Bleach Plants Effluents, TAPPI Journal vol. 63, No. 10.

Gautama, P. 1998. Sifat Fisik Pakan Lokal Sumber Energi, Sumber Mineral serta Hijauan pada Kadar Air dan Ukuran Partikel yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Ginting, S.P. dan Rantan K. 2006. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pengaruh Fermentasi Menggunakan Beberapa Strain Trichoderma dan Masa Inkubasi Berbeda Terhadap Komposisi Kimiawi Bungkil Inti Sawit.

Herrick, F. W., 1980. Chemistry and Utilization of western Hemlock Bark Extractives. J. Agric. Food Chem. 28:879-888.

Hoffman, A. 1997. The Flow Properties of Industrial Powders. Email Information:

(52)

http://chte26.chem.rug.nl/subjects/disphase/flowprop.html.

Howard R.L., E. Abotsi, E.L.J. van Rensburg and S. Howard. 2003. Lignocellulose biotechnology: issues of bioconversion and enzyme production. Afr. J. Biotechnol. 2:602-619.

Irawati, D. 2006. Pemanfaatan Serbuk Kayu untuk Produksi Etanol [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Johnson, J.R. 1994. The realities of bulk solid propeerties testing. Bulk Solid handling, 14(!): 129-134.

Khalil.1999a. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan loka; kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis. Media Peternakan. 22(1):1-11

Laconi, A., 1998. Penggunaan Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bandung.

Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih., 2009. Galang.

Messner, K. Jacklin – Farcher, S., Ertler, G. Blaha, A., 1988. Decolorization and Dechlorination of Bleach Plant Effluents by Phanerocaete chrysosporium Immoblized on foam, dalam DECHEMA Biotechnology Conferences vol.2: Bioreactor, Down stream Processing, Process and Reactor Modelling, Bio Process, Vett Publisher.

National Research Council., 2001. Nutrient Requirment of Dairy Cattle. 7th Ed. National Academy of Science. National Academy Press, Washington, D.C.

Nelson dan Suuparjo. 2011. Penentuan Lama Fermentasi Kulit Buah kakao dengan Phanerocaete chrysosporium : Evaluasi Kualitas Nutrisis secara Kimia. AGRINAK Vol. 01. No. 1. September 2011 ; 1-10.

Palupi dan Tungadi. 1988. Isolasi Pektin dan Limbah Pengolahan Sari buah Markisa Laporan Penelitian Laboratorium Kimia dan Pangan. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB.

Preton, T.R. Dan R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with Available ReSumber keragamans in the Tropics and Sub Tropics.

Penambule Books. Armidale. Australia.

Retnani,Y.,N. Hasanah, Rahmayeni dan L. Herawati. 2010. Uji sifat fisik ransum ayam broiler bentuk pellet yang ditambahkan perekat onggok melalui prosespenyemprotan air. Agripet., 11(1); 13-18.

(53)

Rikmawati, W. 2005. Pengaruh substitusi tepung ikan impor dengan corn gluten meal terhadap laju alir pakan pelletbrooiler finisher pada system produksi continous. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rismunandar, 1986. Mengenal Tanaman Buah-buahan. Sinar Baru, Bandung.

Rosningsih,S., 2000. Pengaruh Lama Fermentasi dengan EM-4 terhadap Kandungan Ekskreta Layer. Buletin Pertanian dan Peternakan. Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta. 1(2): 62-69

Satiningrum Y., 2004. Kajian Awal Degradasi Lignin Pada Lindi Hitam Pulp Kraft oleh Pelet Misselium Phanerocaete chrysosporium buds Amobil. Tugas Jurusan Biologi ITB. Bandung.

Sembiring, P., 2004. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti Sawit dengan Phanerocaete chrysosporium dan implikasinya terhadap Ayam Broiler. Disertasi Doktor. Universitas Pasjajaran, Bandung.

Setiyarto. 2011. Peningkatan Kadar Protein Kasar Ampas Kulit Nanas melalui Fermentasi media Padat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Steel, R.G.D.& J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan : M.syah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sudarmadji, S.R., Kasmidjo, Sardjono, D. Wibowo,S. Margino dan S.R. eNDang, 1989. Mikrobiologi Pangan. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sutardi, T., 1997.Peluang dan Tantangan Pengenmbangan Ilmu-Ilmu Nutrisi Ternak.

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syarifuddin, U.H. 2001. Pengaruh penggunaan tepung gaplek sebagai perekat terhadapsifat fisik ransum broiler bentuk crumble. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tilman, A.D, H. Hartadi, S.Rekso Hadiprojo, S.Prawiro Kusumo dan S.Lebdosoekojo, 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Uhi, H.T. 2007. Jurnal Ilmu Ternak, vol.7 no. 1, 26-31 Peningkatan Nilai Nutrisi Ampas Sagu (Metroxylon sp) melalui Bio-Fermentasi. Manokwari.

Vansoest, P.J. and J.B. Robertson, 1968.System of Analisys for Evaluating Fibrous feeds in Standarisation of Analitical Methodology for Feed. Pigdem, W.J.CC Balch and M.Graham (eds) IDRC Canada..

(54)

Wang, D. I. C., C. L. Conney, A. M. Demain and M. D.Lilly. 1979. Fermentation and Enzymes Technology. New York

Winarmo, F.G., 1980. Microbial Convertion of Lignocellulise into Feed Straw and Other Fibrous by Product as Feed Elsevier, Amsterdam, Oxford, New York.

Gambar

Tabel 4. Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa tanpa dan fermentasi Phanerochaete chrysosporium selama 15 hari
Tabel 2. Nilai Kerapatan Tumpukan tepung kulit buah markisa fermentasi  Phanerocaete chrysosporium
Tabel 3. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerocaete chrysosporium
Gambar 2. Dosis 104cfu/g dan 106cfu/g P.chrysosporium Terhadap Kerapatan Tumpukan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis sidik ragam antar empat strain ikan nila pada sistem budi daya di kolam air tenang dan KJA terhadap parameter produksi yang meliputi tingkat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh strain ikan nila (nila larasati, gift, gesit) yang berbeda pada sistem budidaya minapadi terhadap pertumbuhan,

Penerimaan : jumlah produksi x harga Pendapatan : Penerimaan – Biaya Untuk memfomulasikan strategi pengembangan ikan nila yang bertempat di Kecamatan Singkil

Kesimpulan yang dapat diambil yaitu nila pandu (Oreochromis niloticus) memiliki ketahanan yang cukup tinggi hingga kepadatan 10 9 terhadap infeksi bakteri

perceived severity kanker serviks dalam hubungannya dengan pemilihan pembalut pada mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan di STIKes yang memiliki kurikulum

Dari 12 tumbuhan yang ada, serealia (jagung dan shorgum), umbi-umbian (ubi jalar, ubi kayu, talas, porang atau suweg), polong-polongan (kacang hijau dan kacang

Fungsi yang berlangsung dalam arus mundur ( backward flow) dari pelanggan ke perusahaan : o Pemesanan : komunikasi dari para anggota saluran pemasaran ke produsen mengenai

Hasil penilaian dari efikasi diri, penguasaan konsep, dan aktivitas sis- wa ini menunjukkan bahwa LKS berbasis multipel representasi dengan menggunakan model