DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abidin, Wikrama Iryans, Politik Hukum Pers Indonesia, Jakarta :Grasindo, 2006. Adang, Yasmin Anwar. Kriminoligi. Bandung: Refika Aditama, 2010.
Bachtiar,Da’i. “Kebebasan Pers Vs Delik Pers”, Dalam Dialog Pers dan Hukum, Dewan Pers & Unesco, Juni 2004.
Arief Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
__________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Ediwarman, Metode Penelitian Hukum, PT. Sofmedia, Medan, 2015.
Girsang, Juniver. Penyelesaian Sengketa PERS. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Hill, David T. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2011. Hadi, Wiryawan. Dasar-dasar hukum media. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007 Iman, Soedijat. Hukum Pers Yogyakarta, 1968.
Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik, Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005.
Marbun, Rocky. Cerdik dan Taktis Menghadapi Kasus Hukum, Jakarta :Visi Media, 2010.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: UNDIP, 1997.
Oetama, Jakoeb. Pers Indonesia (Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus), Kompas, 2001.
Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Cetakan III, UI-Press, 2006.
Susanto, Edy. dkk, Hukum Pers di Indonesia, Jakarta: Cetakan I, Rineka Cipta, 2010.
Surakhmad, Winarno. Paper, Skripsi, Thesis, Disertasi, Bandung: Tarsito, 1998. Thomas, Santosa, Teori-Teori Kekerasan..Surabaya: Ghalia Indonesia, 2002 B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2010.
Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor : 315/PID/B/2011/PN.PMS Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 226/PID/2012//PT/MDN
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1992 K/Pid/2012
C. Internet
http://www.dewanpers.org. (diakses tanggal 11 September 2015).
Hariansib.co/mobile/?open=content&id=31417 (diakses tanggal 21 Januari 2016) Tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ (diakses
tanggal 11 September 2015)
http://hafizansyari.blogspot.com/2008/11/pengertian-wartawan-berdasarkan-prinsip.html (diakses tanggal 1 September 2015)
http://ramsigadismisterius.blogspot.co.id/2011/11/bentuk-bentuk-pelanggaran-pada-etika.html (diakses tanggal 11 September 2015)
lham Hadi. 2013. Pemberitaan Pers. Dikutip pada laman website: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5152469d75905/pemberitaan-pers-dan-asas-praduga-tak-bersalah (Diakses pada 21 September 2015) Yogha Praditya. 2013. Fungsi Pers. Dikutip pada laman website:
M. Kholil. Peranan Pers, http://halil4.wordpress.com/2010/01/11/bab-3-peranan-pers/, (diakses pada tanggal 11 September2015)
http://kalbar-online.com/news/metropolitan/banyak-faktor-penyebab-kekerasan-terhadap-jurnalis (diakses tanggal 21 September 2015)
A. Faktor Internal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Wartawan Yang
Sedang Menjalankan Tugas Profesi
1. Lemahnya Regulasi
Indonesia merupakan Negara yang media massa dan pers nya berkembang begitu pesat. Kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat akan informasi yang tiada henti menjadi salah satu faktor tumbuh pesat nya media massa dan pers di Indonesia. Dalam sejarah media massa di Indonesia seperti yang dicantumkan dalam buku Pers di masa orde baru karangan.42 Media massa mencapai puncak kejayaannya dan menemukan kembali jati dirinya pada masa era reformasi, setelah melalui masa era orde baru yang telah membredeli media massa secara besar besaran, dimana pada saat itu kontrol media satu satunya dipegang oleh Departemen Penerangan dan PWI, namun masa itu telah lewat setelah masa reformasi pada tahun 1998 yang ditandai dengan diduduki nya gedung MPR RI oleh mahasiswa secara besar besaran pada saat itu.
Kebebasan pers pun mulai dikibar dan dikumandangkan oleh insan pers dan jurnalis di Indonesia pada masa reformasi. Kejayaan dan kemerdekaan pers ini tidak di lewati dan di sia sia kan begitu saja oleh insan pers di indonesia, dengan semangat berekspresi dan berkarya jurnalis dan wartawan di seluruh
indonesia menumpahkan seluruh semangat dan jiwa raga nya demi memenuhi kebutuhan masyarakat indonesia akan informasi. Tidak hanya sebagai penyedia dan pemberi informasi pers juga mulai memainkan peran nya sebagai pengontrol sosial kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Undang undang No. 11 Tahun 1996 tentang ketentuan ketentuan pokok pers Bab. II Fungsi, kewajiban dan hak pers pada Pasal 3 Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifatkorektif dan konstruktif. Hak ini pun dilakukan dengan selalu mengangkat isu isu yang berkembang untuk dinilai dan diamati dari berbagai aspek secara universal oleh seluruh masyarakat dan konsumen media di berbagai pelosok tanah air melalui media cetak dan elektronik di seluruh Indonesia.
Membicarakan masalah kekerasan bukanlah suatu hal mudah, sebab kekerasan pada dasarnya adalah merupakan tindakan agresif, yang dapat dilakukan oleh setiap orang, misalnya tindakan memukul, menusuk, menendang, menampar, meninju, menggigit, semua itu adalah bentuk-bentuk kekerasan. Selain itu juga, kadang-kadang kekerasan merupakan tindakan yang normal,namun tindakan yang sama pada suatu situasi yang berbeda akan disebut penyimpangan. Misalnya, Mike Tyson yang meninju Lennox Lewis dalam pertandingan tinju, namun tidak ada satu orang pun yang berani mengatakan itu adalah perbuatan kekerasan, bahkan seorang penegak hukum pun asyik menontonnya, akan tetapi jika Mike Tyson melakukannya terhadap istrinya, atau orang lain atau terhadap Lennox Lewis itu di luar ring, maka tindakan itu akan disebut tindakan kekerasan.43
Kekerasan (geweld) itu adalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang ditunjukkan pada orang yang mengakibatkan orang itu (fisiknya) tidak berdaya. Dalam hal ini bentuk pembuat penyuruh sendiri yang ditujukan pada fisik orang lain (manus manistra), sehingga orang menerima kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pembuat penyuruh.44
Pengertian luas, kekerasan kolektif dilakukan oleh segerombolan orang (mob) dan kumpulan orang banyak (crowd) dan dalam pengertian sempitnya dilakukan oleh kelompok. Bentuk kekerasan yang bersifat kolektif maupun individual, oleh Thomas Santoso dimisalkan seperti serangan dengan memukul (assault and battery), pembunuhan (homicide), dan pemerkosaan (rape), dan akhirnya tindak kekerasan individu, seperti bunuh diri (suiside). Namun kekerasan individu menimbulkan permasalahan riset yang agak serius, terutama dalam mengidentifikasi mereka yang melakukannya, karena aktifitas mereka sering kali tidak diketahui kecuali si korban.45
Selain ketidakpahaman pelaku kekerasan terhadap profesi jurnalis, jurnalis dan pemilik media pun berperan terhadap kekerasan yang terjadi. Faktor pertama pelaku kekerasan tidak memahami jurnalis merupakan profesi yang dilindungi dan bekerja menjalankan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. “Dalam arti, jurnalis bekerja mewakili publik dalam hal pencarian informasi dan menyiarkannya kepada masyarakat. Di sini ada kekurangpahaman pelaku. Di sisi
lain memang, entah itu pejabat atau pelaku sengaja mengabaikan keberadaan undang-undang,” 46
Kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dikatakan demikian sebab kekerasan terhadap wartawan merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers dalam menyampaian informasi secara universal telah diakui dalam Declaration of Human Rights, tepatnya diatur dalam Pasal 19 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan dan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun dengan tidak memandang batas-batas.
Tindakan premanisme yang berupa penganiayaan maupun tindak kekerasan lainnya terhadap media masa apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Sebab dalam menjalankan tugasnya seorang wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketentuan mengenai adanya perlindungan terhadap wartawan, secara jelas tercantum dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, yang selengkapnya berbunyi dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud adalah jaminan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ada banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan terhadap wartawan. Baik itu yang terjadi karena unsur kesengajaan maupun yang tidak disengaja. Tindak kekerasan yang terjadi karena unsur kesengajaan biasanya terkait dengan isi berita yang dibuat oleh wartawan. Misalnya saja dalam hal peliputan yang bersifat kontroversial yang menyangkut masalah isu korupsi, pada kondisi seperti ini wartawan akan banyak menghadapi tantangan dari pihak-pihak yang tidak menginginkan aibnya terbongkar. Selain itu tindakan anarkis yang menimpa wartawan juga disebabkan ketidakpuasan narasumber terhadap isi berita yang dibuat. Untuk menunjukkan ketidakpuasannya itu banyak dari mereka yang melampiaskan dengan melakukan kekerasan terhadap wartawan. Salah satunya dengan melakukan penyerbuan terhadap kantor media massa yang bersangkutan. Peristiwa penyerbuan dengan mengerahkan masa terhadap kantor media massa tampaknya menjadi kebiasaan baru bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan pers. Dalam aksinya, mereka tidak hanya sekedar memprotes pemberitaan dari media tersebut, tak jarang juga disertai dengan aksi pengrusakan dan penyerangan terhadap para wartawan. Padahal dalam buku Himpunan Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang ada kaitannya Dengan Media Massa, setiap orang yang merasa dirugikan dalam pemberitaan pers (Cetak, Elektronika) agar menggunakan hak jawab maupun jalur hukum bukan dengan melakukan tindakan “Main Hakim Sendiri”
2. Perubahan Undang-Undang Pers
antitesis atas hal ini adalah membuat ketentuan di dalam peraturan tersebut menjadi lebih efektif lagi implementatif. Salah satu cara adalah dengan memasukkan ketentuan tersebut ke dalam perubahan UU Pers, sebuah proses yang dalam sudut pandang hukum ketatanegaraan tak pelak akan melibatkan dua lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Jika aspirasi ini berhasil menjadi muatan perubahan UU Pers, maka perlindungan profesi wartawan akan lebih kokoh ditegakkan guna meminimalisir kekerasan dan kecelakaan yang menimpa wartawan. Serangkaian tindakan, pelatihan, dan pemberian fasilitas terhadap wartawan yang ditujukan untuk melindungi wartawan misalnya, nantinya tidak lagi digantungkan semata pada kebaikan hati maupun kesepakatan yang kerapkali bercorak ‘David dan Goliath’, akan tetapi lebih kepada topangan sanksi (pidana) oleh negara yang tak mengenakkan lagi menjerakan. Dukungan segenap insan jurnalistik dalam mendorong ke arah proses perubahan UU Pers yang lebih fasilitatif terhadap jurnalis ini menjadi hal yang harus ada, terlebih mengingat bahwa dalam perspektif hukum kritis, upaya ini sangat boleh jadi akan mengundang ‘perlawanan’ terutama dari para pemodal media.
3. Ketidakprofesionalan Wartawan
Terlepas dari persoalan di atas, tulisan ini pula meyakini bahwa kekerasan terhadap wartawan pula bisa jadi diakibatkan karena kejenuhan masyarakat atas buruknya kinerja jurnalistik selama ini. Pernyataan Dewan Pers Nomor 06/P-DP/IV/2011 Tentang Penyelesaian Masalah antara Global TV dan Ahmad Dhani seolah mengonfirmasi keterkaitan antara profesionalisme wartawan dan kekerasan terhadap jurnalis. Terungkap dalam pernyataan tersebut bahwa kedua pihak memiliki andil yang sama dalam terjadinya kekerasan terhadap wartawan Global. Secara spesifik, Dewan Pers menyoroti tidak ditaatinya kode etik jurnalistik oleh Global TV dalam pemberitaan mengenai Ahmad Dhani sebelumnya selain tindakan Ahmad Dhani yang dapat dikategorikan menghalang-halangi kinerja wartawan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Bahwa dalam hal terjadinya kekeliruan maupun kesalahan dalam pemberitaan, orang tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri. 47
Alih-alih demikian, mekanisme sebagaimana dikenal dalam dunia jurnalistik yang telah diakomodir dalam UU Pers berupa hak jawab dan hak koreksi haruslah ditempuh. Akan tetapi, dua mekanisme itu juga tak memiliki pembenarannya manakala digunakan sebagai tameng dilakukannya kinerja jurnalistik yang serampangan. Hak jawab dan hak koreksi berangkat dari asumsi dasar bahwa kinerja jurnalistik betapapun hati-hatinya dilakukan tetaplah memiliki kemungkinan terjadinya kesalahan. Namun, kesalahan dimaksud bukanlah sesuatu yang disengaja, apalagi dilakukan dengan sadar untuk mendayagunakan power atas informasi yang dimilikinya guna semata untuk
mengejar keuntungam bisnis maupun untuk dipertukarkan dengan power lain berupa jabatan maupun uang. Kerja jurnalistik sesungguhnya ialah resultante dari berbagai faktor yang teramat kompleks meliputi kecakapan dan skill jurnalistik seorang wartawan, kondisi perusahaan yang menaunginya, pula regulasi yang mengaturnya. Seorang wartawan yang tak memiliki tak memiliki bekal pengetahuan jurnalistik yang memadai akan lebih mudah melakukan pelanggaran kode etik. Sementara itu, seorang wartawan kendati memiliki pengetahuan jurnalistik namun bekerja dalam atmosfir perusahaan yang kapitalistik, mengejar pemberitaan tanpa mengindahkan etika jurnalistik, akan bekerja di luar koridor etika jurnalis yang pada akhirnya bermuara pada kekerasan wartawan.
4. Standar Kompetensi Wartawan terhadap perubahan UU Pers
meminimalisir kesalahan maupun kerusakan yang tak perlu yang diakibatkan oleh kerja jurnalistik. Dengan memenuhi kecakapan minimal sebagaimana telah dirumuskan dari dalam insan pers sendiri, maka hasil kerja jurnalis yang memiliki dampak publik amat tinggi itu dapat diandalkan keahlian maupun keterandalannya. SKW memungkinkan seorang jurnalis memiliki pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang relevan dengan tugasnya sebagai jurnalis.
B. Faktor Eksternal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Wartawan Yang
Sedang Menjalankan Tugas Profesi
1. Pelaku penganiayaan tidak memahami jurnalis adalah profesi yang dilindungi
hukum dan konstitusi.
Pasal 8 undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers mengungkapkan perlindungan hukum berupa jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Praktik impunitas bagi pembunuh dan pelaku kekerasan terhadap jurnalis membuat pelakunya, termasuk aparat hukum, tidak memahami bahwa profesi jurnalis di lindungi hukum dan konstitusi. Akibatnya kasus kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi.48
Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan langkah bagi
masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi. yakni hak untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan atas suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh wartawan, maka dari itu dalam memberitakan peristiwa dan opini harus menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta praduga tak bersalah, dan melayani hak jawab dan hak tolak sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 5 ayat (1),(2),(3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
2. Wartawan yang Tidak Bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999.
Wartawan memiliki etika profesinya sendiri, yaitu kode etik jurnalistik, secara sederhana kode etik jurnalistik ini mengisyaratkan tanggung jawab yang besar dikalangan wartawan, artinya wartawan yang bertanggung jawab adalah wartawan yang menggunakan kebebasan menyajikan berita untuk kepentingan masyarakat luas, tidak untuk kepentingan diri sendiri. Karena itu, cara yang dianggap konstruktif menggunakan kebebasan menyajikan berita adalah penggunaan kebebasan secara etis.49(Ana Nadhya Abrar, 1995:26) Kemerdekaan pers merupakan sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, untuk mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman masyarakat. Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak
masyarakat diperlukan suatu landasan moral/etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.
Menyandang gelar wartawan di masa depan diprioritaskan dedikasi dalam mengabdi mengemban tugas negara. Idealnya kaum jurnalis menjalankan fungsinya sepatutnya mengindahkan koridor-koridor elegan. “Wartawan itu sudah memiliki kebebasan pers, makanya harus dilengkapi rasa tanggung jawab, artinya kalau membuat berita harus berdasarkan fakta obyektivitas, lalu patuh pada standar dan etika jurnalistik.50 Tantangan dalam menjalankan jurnalistik kerap tersandung delik pers.
Sekalipun perkembangan di awal reformasi cukup pesat, namun kebebasan pers juga diwarnai oleh inflasi media cetak yang wartawanya banyak mengabaikan prinsip dan ketentuan hukum dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik. Karena inilah, tidak sedikit pula media-media yang kurang profesional dalam menjalankan mandat jurnalistiknya justru merugi dan ‘gulung tikar’ dengan sendirinya. Selain itu, akibat jurnalisme yang kurang memenuhi kaidah kode etik, menyebabkan pula sejumlah kekerasan yang menimpa wartawan. Dalam konteks demikian, media-media yang bertahan merupakan media yang menjunjung tinggi profesionalisme pers dan pula media yang kuat secara politik dan ekonomi, karena dukungan elit pemodal yang mengembangkan bisnis melalui media cetak maupun siar.
3. Perusahaan pers yang belum total dalam membela wartawan
Wartawan adalah orang yang bekerja mencari segala informasi dan berita atau segala bentuk kegiatan jurnalistik yang diberikan kepada perusahaan pers agar berita yang disiarkan atau diberitakan mempunyai nama penerbit yaitu perusahaan pers, maka dari itu hak wartawan untuk mendapatkan pembelaan dan jaminan perlindungan hukum pertama kali diberikan oleh perusahaan pers yang mempekerjakan wartawan tersebut. Pada kenyataannya perusahaan pers banyak yang kurang memperdulikan nasib pembelaan hak kebebasan pers dalam menjalankan tugas profesi wartawan itu sendiri, dari tindak pidana kekerasan yang sering mereka alami dalam menjalankan tugas profesi. 51
A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Memberikan Perlindungan Hukum
terhadap Wartawan Dalam Menjalankan Tugas Profesi
Beberapa dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa pidana, artinya tidak semua tindak pidana menurut undang-undang pidana dijatuhkan pidana, serentetan pendapat dan beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pemidanaan tidak memiliki kemanfaatan ataupun tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik. Karena itulah perlunya sarana non penal diintensifkan dan diefektifkan, disamping beberapa alasan tersebut, juga masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal
Offenders” ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan
sebab-sebab timbulnya kejahatan. 1. Upaya Penal
Pengkajian mengenai perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan dikemukakan oleh Muladi dengan alasan-alasan sebagai berikut : 52
a. Proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian umum dan
konkrit. Dalam arti umum, proses pemidanaan diartikan sebagai wewenang sesuai asas legalitas, yaitu poena dan crimen harus ditetapkan lebih dulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri pelaku tindak pidana. Dalam arti konkrit, proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pemidanaan melalui infrasruktur penitensier (hakim, petugas lembaga pemasyarakatan). Disini terkandung tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis di lain pihak dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat sebagai “system of institusional trust” / sistem kepercayaan yang melembaga dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut, sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah korban berfungsi sebagai sarana pengembalian terhadap sistem kepercayaan tersebut
b. Adanya argumen kontrak sosial yaitu negara memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi, sehingga bila terjadi kejahatan dan membawa korban, dalam hal ini negara harus bertanggungjawab memperhatikan kebutuhan korban. Argumen solidaritas sosial, dimana negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warga negara mengalami kesulitan, melalui kerjasama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. c. Perlindungan korban kejahatan dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan yaitu menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Hal ini juga diadopsi dalam Rancangan Konsep KUHP Nasional yang baru.
Korban kejahatan hadir dalam proses peradilan pidana dengan dua kapasitas yang berbeda. Pertama, korban hadir sebagai saksi. Dalam hal ini korban memberikan kesaksian mengenai peristiwa yang pernah ia alami dalam rangka mengungkapkan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban dalam hal ini adalah mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap pelaku tindak pidana yang telah menimbulkan kerugian atau penderitaan pada dirinya (korban). Upaya perlindungan korban melalui peradilan pidana selama ini belum terwujud atau terlaksana dengan baik. Masalah kejahatan selalu difokuskan pada apa yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana dan tidak memperhatikan apa yang dapat dilakukan untuk korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban adalah dengan menangkap pelaku tindak pidana dan seakan-akan pelaku tindak pidana adalah satu-satunya sumber penderitaan bagi korban.
Konsep modern social defence Marc Ancel diinterpretasikan sebagai “The prevention of crime and the treatment of offenders”. Dikemukakan oleh Marc
Ancel bahwa konsekuensi dari konsep modern social defence adalah tujuan dari politik hukum pidana adalah ‘systematic resocialization of offenders’. Konsep ini berusaha menjaga hak-hak sebagai manusia dari pelaku tindak pidana, meskipun ia harus membayar kejahatan dengan hukumannya.53
Terlihat dari pendapat MarcAncel di atas, bahwa konsep perlindungan masyarakat diasumsikan sebagai pencegahan kejahatan dan pembinaan pelaku
tindak pidana, hal ini mengindifikasikan bahwa korban kurang mendapat perhatian dari konsep ini. Perlindungan korban hanya diartikan secara tidak langsung dengan pencegahan terjadinya kejahatan, yang seolah sudah tercapai bila pelakunya telah dipidana. Padahal dengan dijatuhinya pelaku dengan pidana seberat apapun, korban tetap menderita kerugian atas kejahatan yang dilakukan pelaku. Perlindungan korban menjadi teranulir dan limitatif dalam konsep ini dan tidak memberikan wawasan bagi upaya pencarian ‘acces to justice fair treatment to the victim’, maupun pemikiran terhadap kompensasi, restitusi maupun bantuan
hukum Perspektif perlindungan korban sebagai unsur dalam kebijakan perlindungan masyarakat dicantumkan pula dalam hasil Konggres di Milan yang menyatakan bahwa korban tindak pidana berhak menjadi bagian integral dari sistem peradilan pidana. Oleh karena itu ditegaskan bahwa perhatian tehadap hak-hak korban harus dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan kebijakan kriminal. 54
Praktek penegakan hukum pidana, korban diposisikan sebagai saksi (saksi korban) yang seringkali mengabaikan posisi korban sebagai pencari keadilan. Dalam persidangan, kedudukan/posisi korban diwakili penegak hukum, dimana reaksi terhadap pelaku tindak pidana menjadi hak penuh negara untuk diselesaikan. Dalam hal ini pelanggaran atas suatu hak (kepentingan hukum) seorang warga ditindak oleh negara karena pertama, pelanggaran tersebut dianggap sebagai ‘serangan’ terhadap masyarakat, kedua, tindakan negara tersebut dianggap sebagai reaksi negara terhadap kejahatan untuk mengambil alih
kepentingan dan kebutuhan korban untuk memuaskan keinginan balas dendam. Tindakan negara ini seringkali tidak mengikut sertakan korban (dalam arti minta pendapat korban tentang pelanggaran haknya) untuk menentukan pengambilan keputusan badan penegak hukum.
Pasal 98 KUHAP memberi kesempatan kepada korban untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam proses peradilan pidana, dimana ganti kerugian ini dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian alam perkara pidana akan memudahkan korban atau keluarganya karena tidak perlu mengajukan gugatan tersendiri. Gugatan ganti rugi ini tetap bersifat keperdataan walaupun diberikan melalui proses pidana. Di samping itu KUHAP tidak mengatur bagaimana bila pelaku tidak mau atau tidak mampu membayar ganti rugi tersebut kepada korban. Proses penggabungan perkara ganti kerugian ini pun bersifat fakultatif, dimana dalam Pasal 99 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa hakim dapat menolak atau menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban atau keluarganya. Pasal 99 ayat (1) KUHAP mengadakan pembatasan, dimana ganti kerugian yang diajukan ganti kerugian terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan korban atau ganti kerugian yang bersifat materiil, sedang kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diterima. Kerugian immaterial tersebut harus diajukan dalam perkara perdata.
2. Upaya Non Penal
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers mengungkapkan perlindungan hukum berupa jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Eksistensi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 berlandaskan legal
formal kebebasan pers, belum seutuhnya menjamin perlindungan wartawan
dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya. Euforia politik & kebebasan,
malah menggiring institusi-institusi pers dan organisasi-organisasi wartawan
tak berfungsi optimal. Dalam situasi tidak kondusif setiap terjadi
permasalahan, larilah ke hukum. Tetapi apakah hukum mampu
memberikan perlindungan maksimal bagi insan jurnalis.
Sesuai dengan UU Pers, Pasal 18 menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Kalangan Pers hendaknya bersama-sama pro-aktif dalam memberikan informasi terkini tentang hal tersebut ke publik, agar aksi kekerasan yang menimpa insan pers tidak berulang terjadi. Menelisik faktor intern dalam menghindari delik pers, seyogyanya insan jurnalis pun harus kembali pada penegakan kode etik jurnalistik. Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya berusaha mentaati ketentuan kode etik, ketentuan hukum dan profesionalisme.
Ketidakjelasan mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada wartawan membuat wartawan sering menjadi sasaran tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh sumber berita maupun yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung wartawan pada saat menjalankan tugas jurnalistiknya di lapangan.
Organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Dewan Pers termasuk yang pro-aktif menyikapi tindakan kekerasan terhadap wartawan, sebagaimana pernyataan-pernyataan yang segera dirilis oleh lembaga tersebut apabila terjadi tindak kekerasan terhadap wartawan. Sebaliknya organisasi perusahaan pers tempat wartawan bekerja ternyata kurang peduli atau terkesan sangat lamban dalam menyikapi terjadinya peristiwa kekerasan terhadap jurnalis. Biasanya kalau ada kekerasan terhadap wartawan, maka yang akan segera memberikan pernyataan pers adalah organisasi profesi wartawan seperti AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) atau PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), begitu juga LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers. Perusahaan persnya kemana? Kadang setelah enam bulan peristiwa berlalu, baru perusahaan pers ada pernyataan. Padahal, saat terjadinya kekerasan pada wartawan, perusahaan pers seharusnya berada di posisi paling depan untuk melindungi wartawannya.
bahwa Undang-Undang Pers dapat menjadi sarana perlindungan bagi mereka dalam menjalankan profesi jurnalistik.
sebelum kejahatan terjadi. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (secara materiil dan immateriil) dari faktor - faktor kriminogen.
B. Analisis Kasus Terhadap Putusan Nomor 315/PID/B/2011/PN.PMS
1. Kronologis
bagian bawah selebar 0,2 cm x 0,3 cm sesuai Visum et Repertum Nomor 4702/VI/UPM/XII/2010 Tanggal 3 Desember 2010 atas nama Andi Rianto SP.
2. Dakwaan
Atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHP.
3. Tuntutan
Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pematang Siantar tanggal 4 Januari 2012 sebagai berikut:
a. Menyatakan terdakwa Fatori SIK terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” sebagaimana dalam Surat Dakwaan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP;
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
Fatori SIK dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dengan perintah Terdakwa supaya ditahan;
c. Menyatakan barang bukti berupa:
- 1 (satu) pasang sarung tinju warna merah merek “Rocky”: Dirampas untuk dimusnahkan;
d. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani
membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah);
Bahwa sebelum menjatuhkan putusan terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan ;
Hal-hal yang memberatkan :
Terdakwa sebagai Pimpinan tertinggi di Polresta Pematang Siantar seyogianya mengayomi dan memberi contoh yang baik dengan cara menghindari perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Hal-hal yang meringankan : a. Terdakwa sopan dipersidangan.
b. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya serta menyesalinya. c. Terdakwa dan saksi korban dipersidangan telah saling memaafkan. d. Terdakwa belum pernah dihukum.
Putusan Pengadilan Negeri P. Siantar
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor: 315/PID/B/2011/PN.PMS, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana penjara selama 8 bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan.
Putusan Pengadilan Tinggi Medan
Berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 226/PID/2012/PT/MDN, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan perintah pidana tersebut tidak perlu dijalani dijalani oleh terdakwa, kecuali sebelum lewat masa percobaan selama 8 (delapan) bulan terdakwa atas putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana.
Memperhatikan Pasal 351 ayat (1) KUHP, serta peraturan lain yang berhubungan dengan perkara ini;
a. Menyatakan bahwa Terdakwa FATORI SIK,
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENGANIAYAAN”;
b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap
terdakwa FATORI SIK, dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan; c. Menyatakan barang bukti berupa:
- 1 (satu) pasang sarung tinju warna merah merek “Rocky”. Dirampas untuk dimusnahkan.
d. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya
perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).
5. Analisis Kasus
a. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor: 315/PID/B/2011/PN.PMS, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana penjara selama 8 bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan.
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana.
c. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung
Nomor: 1992 K/Pid/2012, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana kepada Terdakwa FATORI SIK dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.
Menurut penulis, hukuman yang dijatuhkan dari awal banding sampai kasasi sudah pantas diterima oleh Fatori SIK. Karena terdakwa mengakui dan menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan nya, serta terdakwa juga dicopot jabatan nya sebagai Kapolresta Pematang Siantar dan di mutasikan di Polda Sumatera Utara dengan tidak ada jabatan lagi. Hal ini lah yang menjadi pertimbangan penulis untuk mengatakan hukuman pidana penjara 2 (dua) bulan sudah pantas untuk terdakwa Fatori SIK. Karena pasti atas kejadian tersebut, Fatori akan bisa berfikir dua kali sebelum melakukan tindak pidana kekerasan atau tindak pidana lainnya mengingat terdakwa adalah Polisi yang tugasnya sebagai pelindung dan panutan masyarakat bukan sebagai pelaku tindak pidana. Unsur Barang Siapa
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “barangsiapa” adalah siapa saja yang berkedudukan sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya;
oleh Majelis Hakim dan ternyata sama dengan identitas terdakwa yang termuat dalam surat dakwaan oleh karenanya unsur barang siapa telah terpenuhinya;
Unsur Melakukan Penganiayaan
Menimbang, banhwa Undang-Undang tidak memberi pengertian atau penjelasan apa yang dimaksud dengan penganiayaan, namun Menurut Yurisprudensi Penganiayaan diartikan dengan “ sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit atau luka”.
Menimbang, bahwa menurut Memorie van Teolichting kata “Dengan Sengaja” (opzettelijk) 9 kata ini terdapat dalam banyak Pasala-Pasal KUHPidana) adalah sama dengan willens en wetens” artinya dikehendaki dan diketahui;
Menimbang, bahwa apakah dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit atau luka ada pada diri terdakwa dalam hal ini terhadap saksi korban Andi rianto siahaan? Majelis akan mempertimbangkan sebagai berikut:
Menimbang, bahwa besok harinya sekitar pukul 16.00 WIB ketika para tahanan sedang olah raga sore, Briptu Rudianto menjumpai Rusli Sarmauli Simbolon lagi dan mengatakan “ kenapa andi Irianto Siahaan belum dipindahkan?” “perintah Bapak Kapolres harus dilaksanakan”, lalu saksi Rusli Sarmauli Simbolon menyuruh tahanan untuk mengangkati sebagian alat-alat pengendalian massa (Dalmas) yang ada di ruangan kamar 2, dan mengatakan kepada korban (Andi Irianto) bahwa setelah selesai olahraga sore, pindah keruangan tahanan 2, namun korban tidak tidak mau dengan mengatakan “saya tidak mau, mengapa saya harus pindah?, kemudian saksi Rusli Sarmauli Simbolon menjumpai Briptu Rudianto dan mengatakan bahwa Andi Irianto tidak mau pindah ruangan;
baru uppercut, saya pernah ikut polda tinju” dan terdakwa pun keluar meninggalkan ruang olah raga tahanan;
Menimbang, bahwa setelah kejadian tersebut kemudian terdakwa memerintah polisi jaga untuk memanggil dokter agar korban diperiksa, dan dokter Saiden Saragih didampingi oleh perawat Anita Br Turnip melakukan pemeriksaan terhadap korban dimana tekanan darah koraban normal, namun korban mengatakan perut dan kepalanya sakit, dan ketika perut korban mau diperiksa dengan cara menekan perutnya, korban mengatakan “jangan-jangan sakit”, lalu dokter mau menyuntik korban untuk menghilangkan rasa sakit akan tetapi korban tidak mau.
Menimbang, bahwa dari tindakan terdakwa yang memerintah polisi jaga agar menyuruh dokter untuk memeriksa saksi korban, adalah suatu tindakan yang dapat dimaknai bahwa terdakwa telah menyadari perbuatannya yaitu akibat pukulannya tersebut akan menyebabkan rasa sakit yang memerlukan pengobatan medis.
Menimbang, bahwa ternyata tiga hari setelah terdakwa memukul saksi korban yaitu pada tanggal 2 Desember 2011, saksi korban akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah untuk di visum, dan hasil Visum et repertum No. 4702/VI/UPM/VER/XII/2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Juliana K.R Saragih, dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Kota Pematang Siantar adalah sebagai berikut :
- Bengkak pada kepala bagian belakang sebelah kanan kira 1 cm x 0,5 cm x 0,5 cm
- Luka lecet pada bibir bawah bagian dalam kira-kira 0,2 cm x 0,3 cm
Kesimpulan :
Perubahan-perubahan pada tubuh korban disebabkan oleh karena adanya luka paksa tumpul
Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut diatas, maka unsur dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit atau luka telah terpenuhi pula;
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan pembelaan terdakwa dan Penasehat Hukum terdakwa yang pada pokoknya memohon agar Majelis yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan bahwa terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan dengan alasan sebagai berikut :
Pembelaan Terdakwa Intinya:
1. Bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak memenuhi unsur Pasal 351 (1) KUHP
2. Bahwa tuntutan Jaksa hanya berdasarkan keterangan 1 (satu) orang saja dan visum dilakukan setelah 3 hari kejadian
3. Bahwa tuntutan Jaksa hanya berdasarkan kepentingan sepihak diluar
4. Bahwa perbuatan terdakwa dilakukan terhadap orang yang telah melakukan berapa kali pidana, dan tidak punya sopan santun terhadap pejabat negara, menekan pimpinan.
Pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa Intinya:
1. Bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak mencantumkan secara lengkap
keterangan saksi dan fakta. Saksi Dr. Saiden Saragih yang diberikan dibawah sumpah.
2. Bahwa saksi Marupa Sotarduga Siahaan telah dnyatakan keterangannya
dipenyidikan di cabut
3. Bahwa yang perlu dibuktikan bukan hanya akibat yang dirasakan namun
harus dibuktikan juga apa yang menimbulkan rasa sakit atau cedera tersebut. 4. Bahwa yang melihat terdakwa meninju bibir korban hanyalah saksi Suarto
dan Roy Pratama Nainggolan, dan keterangan tersebut sangatlah subjektif mengingat kedua saksi tersebut adalah rekan saksi korban sesama tahana sel Polres
5. Bahwa visum dilakukan setelah 3 (tiga) hari kejadian dan tidak menutup kemungkinan seseorang melakukan berbagai hal termasuk melukai diri sendiri dengan tujuan tertentu.
6. Bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa haruslah didasarkan
terdakwa hanya pada bagian lengan tidak menimbulkan rasa sakit, atau menyebabkan cedera.
Menimbang, bahwa terhadap pembelaan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan sekaligus sebagai berikut:
Menimbang, bahwa tuntutan Jaksa tidak memenuhi unsur Pasal 351 ayat (1) KUHP, hal ini tidak perlu dipertimbangkan lagi, karena telah diuraikan dalam pertimbangan unsur diatas, dan telah pula terpenuhi;
Menimbang, bahwa tuntutan Jaksa hanya berdasarkan keterangan satu orang saja, dan visum dilakukan setelah 3 hari dari kejadian.
Menimbang, bahwa dari semua keterangan saksi-saksi yang disengar dipersidangan bahwa ketika terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban saksi-saksi mana melihat secara langsung peristiwa tersebut dan visum yang dilakukan terhadap saksi korban dilakukan 3 hari kemudian, hal tersebut dilakukan karena saksi korban berada dalam sel dan tentunya untuk dapat keluar dari sel harus memenuhi beberapa syarat yang membutuhkan waktu, dan dari hasil visum menunjukkan bahwa bengkak pada kepala dan luka lecet pada bibir adalah bersesuaian dengan keterangan saks-saksi yang melihat langsung peristiwa tersebut oleh karenanya visum tersebut dapat diterima;
Menimbang, bahwa Tuntutan Jaksa hanya berdasarkan kepentingan sepihak diluar hukum, berdasarkan tekanan dari Pejabat atas ataupun media yang seolah-olah membenarkan keterangan korban;
Menimbang, bahwa terdakwa melakukan perbuatan terhadap orang yang telah melakukan beberapa kali pidana dan orang tersebut tidak memiliki sopan santun terhadap pejabat negara;
Menimbang, bahwa terdakwa melakukan perbuatannya yaitu dengan cara memukul saksi korban dengan alasan saksi korban yang telah melakukan beberapa kali perbuatan pidana, alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena tindakan terdakwa dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan perbuatan saksi korban yang di tahan di dalam sel, dan dalam fakta jelas terlihat, bahwa terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban adalah karena saksi korban tidak melaksanakan perintahnya yaitu pindah ruangan;
Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Penasihat Hukum terdakwa hal tersebut telah di pertimbangkan sekaligus kecuali yang menyatakan bahwa dari fakta dipersidangan terdakwa tidak melakukan penganiayaan berhubung pukulan yang dilakukan terdakwa hanya pada bagian lengan tidak menimbulkan rasa sakit atau menyebabkan cedera.
Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan bahwa yang dituju oleh terdakwa bukanlah lengan saku korban dan dalam pertimbangan unsur-unsur sudah lengkap diuraikan dibagian mana yang dipukul oleh terdakwa dan telah pula di nyatakan dalam visum et repertum atau nama saksi korban Andi Irianto Siahaan;
Menimbang, bahwa dari uraian tersebut diatas, maka Majelis berkesimpulan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi dakwaan Jaksa Penuntut Umum;
Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah trpenuhi maka terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa;
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka pengadilan akan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang dirasa pantas dan adil sesuai dengan perbuatannya;
Menimbang, bahwa selama persidangan berlangsung tidak ditemukan alasan yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa atau alasan pema’af maka terdakwa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya;
polisi lainnya dimana saksi korban berkata “ini muka Fatori” sambil meninju karung pasir, yang juga memicu emosi terdakwa;
Menimbang, bahwa dihubungkan pula dengan tujuan pemidanaan adalah bukan merupakan suatu balas dendam melainkan untuk membuat seseorang menjadi jera atau tidak melakukannya lagi;
Menimbang, bahwa oleh karena tujuan pemidanaan bukan semata-mata balas dendam, namun untuk pembelajaran dan untuk memberikan efek jera, maka hukuman yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa nantinya, Majelis berpendapat sudah adil dan pantas untuk kesalahan terdakwa;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar terdakwa segera ditahan, Majelis Hakim juga tidak sependapat, mengingat selama persidangan berlangsung terdakwa sangat proaktif dan tidak ada menunjukkan perilaku yang dapat menghambat persidangan dan Majelis Hakim pula meyakini bahwa tugas dan jabatan terdakwa menjadi jaminan untuk melarikan diri;
Menimbang, bahwa mengenai barang bukti yang diajukan dalam persidangan ini yaitu 2 (dua) buah sarung tinju, karena barang bukti tersebut dipergunakan terdakwa untuk melakukan kejahatan maka terhadap barang bukti tersebut Majelis Hakim berpendapat akan dirampas untuk dimusnahkan;
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah serta akan dijatuhi pidana maka sebagaimana diatur dalam Pasal 222 KUHAP, kepadanya pula dibebankan untuk membayar biaya perkara;
Hal-hal yang memberatkan
Terdakwa sebagai pimpinan tertinggi di Polresta Siantar seyogianya mengayomi dan memberi contoh yang baik dengan menghindari perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Hal-hal yang meringankan
1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya serta menyesalinya. 2. Terdakwa dan saksi korban dipersidangan telah saling memaafkan 3. Terdakwa belum pernah dihukum
Setelah membaca kronologis dari kasus tersebut penulis berkesimpulan bahwa kasus yang dialami oleh Andi dan Fatori berdasarkan isu yang berkembang dikarenakan profesi dari Andi sebagai wartawan. Sehingga membuat Fatori langsung cepat emosi dan geram karena dari sikap Andi yang langsung menolak dipindahkan keruangan kamar tahanan dan langsung memukulnya dengan menggunakan sarung tinju Rocky di tangan sebelah kirinya.
Kenyataan yang sering terjadi, memang benar bahwa wartawan sering menerbitkan pemberitaan yang berlebihan dari fakta kasus yang terjadi. Sehingga wartawan sering menjadi sasaran pemukulan dan penganiayaan oleh orang-orang yang merasa terganggu atas aib mereka yang ditulis secara berlebihan bahkan tidak jarang dipalsukan pemberitaan tentang mereka. Tetapi, bukan berarti semua wartawan melakukan hal yang seperti itu. Tergantung dari masing-masing pihak wartawan itu sendiri, apakah dia menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik jurnalistik atau tidak.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengaturan hukum terhadap wartawan dari tindak pidana kekerasan dalam
menjalankan tugas profesi:
a. Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional
sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan
hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun
c. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum
2. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap wartawan
1) Lemahnya Regulasi
2) Perubahan peraturan perundang-undangan 3) Ketidakprofesionalan wartawan
4) Standar kompetensi wartawan terhadap perubahan undang-undang
pers
b. Faktor eksternal
1) Pelaku Penganiayaan Tidak Memahami Jurnalis adalah Profesi
yang Dilindungi Hukum dan Konstitusi.
2) Wartawan yang tidak bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik
dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
3) Perusahaan pers yang belum total dalam membela wartawan
3. Kebijakan hukum pidana terhadap wartawan dalam menjalankan tugas profesi,
yaitu : a. Penal
Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application).
b. Non Penal
Jalur non penal yaitu dilakukan dengan cara, yaitu :
2) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment)
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat disarankan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap wartawan yang mengalami kekerasan dalam melakukan kegiatan jurnalistik, sebagai berikut:
1. Penegak hukum lebih tegas dalam menerapkan Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999, khususnya Pasal 4 dan Pasal 8 yang berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum terhadap wartawan, khususnya dalam hal kekerasan. Perlunya ada revisi Pasal 18 ayat (1) tentang ketentuan pidana yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) seharusnya lebih diperberat karena terkadang dibeberapa kasus kekerasan yang terjadi menimbulkan kerugian yang sangat besar dan agar dapat memberi efek jera kepada pelaku kekerasan terhadap wartawan dan perlu adanya revisi pada penjelasan Pasal 18 ayat (1) yaitu untuk kriteria tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
2. Kebebasan pers yang bertanggungjawab harus diterapkan secara nyata karena
A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Asas,
Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers
1. Kode Etik Jurnalistik Indonesia.
Pasal 7 ayat (2) UU Pers menerangkan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Menindaklanjuti mengenai KEJ ini, Dewan Pers telah mengeluarkan Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers. Dalam Lampiran Peraturan Dewan Pers tersebut dikatakan :
landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
Selanjutnya yang berhubungan dengan tindakan menyamarkan identitas pelaku kejahatan terdapat dalam Pasal 5 KEJ menyatakan, “ Wartwan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban. kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Penafsiran Pasal ini ialah yang lazim dilakukan media ialah menyebut nama pelaku hanya dengan inisialnya atau memuat fotonya dengan ditutup matanya atau hanya memperlihatkan foto bagian belakang pelaku saja.30Wartawan mempunyai alasan kuat untuk menyembunyikan nama-nama wanita yang menjadi korban perkosaan atau anak-anak yang dianiaya secara seksual.Tujuannya adalah untuk melindungi korban dari pencemaran namanya atau tercoreng aib. Tetapi, dalam hal larangan menyebut nama dan identitas pelaku kejahatan yang masih di bawah umur, dasarnya semata-mata pertimbangan kemanusiaan, berdasarkan nasib serta hari esok pelaku kejahatan dan keluarganya. Jika sampai identitas dan potret yang dimaksud terpampang jelas dalam media, maka wartawan yang menurunkan berita semacam itu jelas sudah mengkhianati tugas profesionalnya yang bebas dan bertanggungjawab.31
Sedangkan Pasal 7 KEJ menyatakan “Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitasnya maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang,
dan off the record sesuai dengan kesepakatan.” Salah satu penafsiran terhadap Pasal ini adalah bahwa hak tolak ialah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
2. Asas Pers
Berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 2 yang menyatakan, kemerdekaan pers ialah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.32
a. Asas demokrasi, pers harus memegang prinsip demokrasi, yaitu dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi dengan menghormati dan menjamin adanya hak asasi manusia dan menjunjung tinggi kemerdekaan dalam penyampaian pikiran/pendapatnya, baik secara lisan maupun tulisan. b. Asas keadilan, dalam penyampaian informasinya kepada khalayak ramai
(masyarakat) itu harus memegang teguh nilai keadilan. Dimana dalam pemberitaan itu tidak memihak atau tunduk pada salah satu pihak tetapi harus berimbang dan tidak merugikan salah satu pihak (berat sebelah). c. Asas supremasi hukum, Pers dalam menjalankan setiap kegiatannya harus
berlandaskan hukum. Dimana meletakkan hukum sebagai landasan bertindak yang diposisikan di tingkat tertinggi. Sehingga Pers tidak lantas begitu bebasnya bertindak meskipun telah ada jaminan Kebebasan Pers yang diberikan oleh undang-undang.
memberitakan peristiwa dan opini yang menyatakan, Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyebutkan bahwa: “Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.”
Menurut Pasal 3 Kode Etik Junalistik, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran dari ketentuan Pasal ini antara lain:33
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5152469d75905/pemberitaan-pers-dan-asas-praduga-3. Fungsi Pers
Fungsi pers ditandaskan sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Sedang mengenai hak pers dikatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi warga negara. Tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pun pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemudian dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Selain mengenai hak, UU Pers juga memuat kewajiban pers yaitu memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers juga wajib melayani hak jawab dan hak koreksi
Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pada Pasal 3 antara lain disebutkan pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan atau edukasi, hiburan atau rekreasi, kontrol sosial atau koreksi dan juga sebagai mediasi.34
a. Pers sebagai media informasi, menyiarkan informasi merupakan fungsi pers
yang paling utama. Khalayak ramai mau berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi tentang sebuah persitiwa yang terjadi. Selain itu pers bertujuan melakukan penerangan, artinya memberi informasi yang diperlukan oleh masyarakat, khususnya untuk meningkatkan
pengetahuan tentang masalah pembangunan. Media informasi merupakan bagian dari fungsi pers dari dimensi idealisme.
b. Pers sebagai media edukasi, salah satu fungsi pers yang tertuang Pasal 3
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 sebagai media pendidikan. Dalam menjalankan fungsi ini tentu pers diharapkan mampu menyampaikan informasi yang bersifat mendidik. Salah satu peranan pers sebagai media pendidikan, pers harus mampu meningkatkan minat baca masyarakat, terutama pelajar.
c. Pers sebagai media kontrol sosial, maksudnya pers sebagai alat kontrol sosial
adalah pers memaparkan peristiwa yang buruk, keadaan yang tidak pada tempatnya dan yang menyalahi aturan, supaya peristiwa itu tidak terulang lagi dan kesadaran berbuat baik serta mentaati peraturan semakin tinggi. Menurut Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dinyatakan bahwa pers merupakan lembaga sosial dan wahana kominukasi massa yang melakasanakan kegiatan jurnalistik.
d. Pers sebagai Media Hiburan, UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa salah satu fungsi pers adalah sebagai hiburan. Hiburan yang diberikan pers semestinya tidak keluar dari koridor-koridor yang boleh dan tidak boleh dilampaui. Hiburan yang sifatnya mendidik atau netral jelas diperbolehkan tetapi yang melanggar nilai-nilai agama, moralitas, hak asasi seseorang, atau peraturan tidak diperbolehkan.
e. Pers sebagai mediasi atau penghubung, Pers mempunyai fungsi sebagai
Komunikasi yang tidak dapat tersalurkan melalui jalur resmi atau kelembagaan dapat dialihkan via pers. Media massa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Artinya media massa seringkali berada di antara kita dengan bagian pengalaman yang lain di luar persepsi dan kontak langsung.
Hikma Kusumaningrat dan Purnama Kusuma Ningrat menyebutkan delapan fungsi pers yang bertanggungjawab sebagai berikut:35
a. Fungsi Informatif: memberikan informasi atau berita kepada khalayak
ramai dengan cara yang teratur.
b. Fungsi Kontrol Pers yang Bertanggungjawab: Pada fungsi ini, pers
diibaratkan masuk ke balik panggung kejadian untuk menyelidiki pekerjaan pemerintah/ perusahaan.
c. Fungsi Interpretatif dan Direktif: Memberikan interpretasi dan bimbingan. Pers harus menceritakan kepada masyarakat akan arti suatu kejadian. d. Fugsi Menghibur: Para wartawan mentrkan kisah-kisah dunia yang hidup
dan menarik.
e. Fungsi regeneratif: Membantu menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi proses regenerasi dari angkatan tua sampai angkatan yang lebih muda.
f. Fungsi Pengawalan Hak-Hak Warga Negara: pers yang bekerja
berdasarkan teori tanggung jawab harus dapat menjamin hak setiap pribadi untuk didengar dan diberi penerangan akan hal yang dibutuhkanya.
g. Fungsi Ekonomi: Melayani sistem ekonomi melalui iklan.
h. Fungsi swadaya: Pers berkewajiban untuk memupuk kekuatan
permodalannya sendiri, untuk memelihara kebebasan yang murni.
Pers memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan dalam kehidupan bernegara, dengan adanya informasi yang tepat maka dapat diambil keputusan yang tepat. Di sini pers memegang peranan dalam memberantas kemiskinan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh mantan presiden Bank Dunia James D. Wolfenhason, yang menyebutkan:36 Untuk mengurangi kemiskinan, kita harus membebaskan akses kepada informasi dan meningkatkan kualitas informasi. Masyarakat yang mempunyai informasi lebih baik menjadi lebih berdaya untuk membuat pilihan yang lebih baik.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat
4. Hak dan Kewajiban Pers
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan
pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Pers memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Hal ini untuk menciptakan dan menjamin kemerdekaan pers. Selain itu, tujuan lainnya untuk memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar. Adanya landasan tersebut menciptakan hak dan kewajiban yang berlaku bagi insan pers, terutama wartawan. Salah satu landasan yang harus ditaati dan dihormati oleh para juru pencari berita adalah kode etik jurnalistik.
Adapun hak-hak pers, antara lain:
a. Mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyiarkan / menyampaikan informasi.
b. Hak tidak boleh disensor c. Hak tidak boleh dibredel
d. Hak tidak boleh dihalang-halangi ketika menjalankan tugas jurnalistik e. Dalam menjalankan profesinya mendapat perlindngan hukum
f. Mendapat hak tolak
Adapun kewajiban pers, yaitu : a. Melayani hak jawab
c. Membuat/menyiarkan berita secara akurat dan berimbang d. Memenuhi dan mentaati kode etik jurnalistik
e. Tidak melanggar asas praduga tak bersalah f. Menghormati supermasi hukum
5. Peranan Pers
Era demokrasi sekarang ini, pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur komunikasi dan pengawasan rakyat terhadap lingkungan sistem pemerintahan, atau dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Melalui komunikasi yang terbuka, pemerintah menjadi lebih terbuka. Keterbukaan ini menjadi pertanda berlakunya suatu pemerintahan yang demokratis, sebab masyarakat pun menyampaikan pesan dan masukannya secara terbuka. Keterbukaan dapat berarti kontrol sesuai Pasal 6 UU No. 40/1999, pers nasional melaksanakan perannya sebagai berikut :
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, serta menhormati kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
d. Melakukan pengawasan,kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum. e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai menjadi saksi di pengadilan. Selain itu informasi yang disampaikan harus jelas dan obyektif mengenai apa, siapa dan dimana informasi itu disampaikan, dalam hal ini informasi yang menarik dan yang mempunyai nilai berita tinggi yang biasanya banyak jadi konsumsi masyarakat
B. Undang-Undang Tentang Perlindungan Korban dan Saksi
Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-undang yang secara khusus mengenai perlindungan saksi dan korban, akhirnya pada tanggal 11 agustus 2006, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan diberlakukan. Sekalipun beberapa materi dalam undang-undang ini masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksananya, berlakunya undang-undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya perlindungan korban kejahatan.
mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Keberadaan seorang saksi dan korban sebelum tahun 2014 merupakan suatu hal yang kurang diperhitungkan. Didalam KUHAP sendiri, sebagai suatu bentuk Hir/Rbg, memiliki kecenderungan dalam melindungi hak-hak warga negara yang berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana.37 Namun sering dilupakan bahwa proses pembuktian membutuhkan keterangan saksi atau saksi korban (korban yang bersaksi). Keberadaan keduanya sering kali tidak dihiraukan oleh aparat penegak maupun hukum di Indonesia. Keselamatan,baik diri sendiri maupun keluarganya pada kasus-kasus tertentu menjadi taruhannya, atas kesaksiannya.
Keberadaan saksi dan atau korban memang sangat diperlukan dan merupakan suatu hal yang harus diperhatikan sebagai satu kesatuan dalam proses pemeriksaan dalam peradilan pidana. Saksi sebagai alat bukti utama ditegaskan dalam Pasal 184 KUHAP, yang menyebutkan: Alat bukti yang sah yaitu:
1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa
Pada prinsipnya perlindungan akan hak-hak seseorang sebagai saksi telah diakomodasikan dalam KUHAP, tetapi mengingat jenis tindak pidana yang
semakin beragam dan menimbulkan efek atau akibat bagi keselamatan jiwa dari saksi/korban atau keluarganya, sehingga ada hal-hal khusus yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 31 Tahun 2014 tersebut. Hal-hal yang diatur diluar KUHAP sebagai berikut:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan.
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan. 4. Mendapat penerjemah.
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus 7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan 8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9. Mendapatkan identitas baru
10. Memperoleh penggantian biaya trasportasi sesuai dengan kebutuhan. 11. Mendapatkan nasihat hukum
12. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
13. Mendapatkan tempat kediaman baru.38
Berdasarkan asas persamaan di depan hukum yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam UU No.13 tahun 2006 yaitu:
1. Perlindungan hak saksi dan korban; 2. Lembaga Perlindungan saksi dan korban;
3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan dan ; 4. Ketentuan pidana
Perlindungan saksi adalah pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan oleh saksi pada proses peradilan pidana, yang dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan hukum terhadap saksi adalah jaminan dari undang-undang guna memberikan rasa aman kepada saksi dalam memberikan keterangan pada proses peradilan pidana sehingga saat menjadi saksi seseorang tidak akan terganggu baik keamanan maupun kepentingannya.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang itu. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
a. Pengahargaan harkat dan martabat manusia b. Rasa aman
c. Keadilan
d. Tidak diskriminatif e. Kepastian hukum
Perlindungan saksi bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban wajib memberikan perlindungan kepada saksi secara penuh termasuk juga keluarga saksi sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi. Pemberhentian perlindungan kepada saksi hanya dapat dilakukan apabila :
a. Saksi meminta agar perlindungan terhadap dirinya dihentikan dan hanya boleh
diajukan oleh saksi sendiri tanpa ada kecuali apapun
b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan
saksi berdasar atas permintaan pejabat yang bersangkutan
c. Saksi melanggar ketentuan sebagaimana yang telah tertulis dalam perjanjian d. LPSK Berpendapat bahwa saksi tidak lagi memerlukan perlindungan berdasar
bukti-bukti yang meyakinkan
1. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada saksi
2. Dalam hal saksi layak diberikan bantuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan
Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengenai pemberian bantuan akan diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam jangka waktu satu minggu. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bisa bekerja sama dengan instansi berwenang terkait dalam pemberian perlindungan dan bantuan, instansi terkait wajib melaksanakan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang. Istilah saksi-saksi lainnya yang berkembang seiring dengan penerapan hukum acara pidana. Saksi korban merupakan salah satunya, Korban disebutkan sebagai saksi karena adanya suatu pemikiran, status korban di pengadilan adalah sebagai saksi yang kebetulan mendengar sendiri, melihat sendiri dan yang pasti mengalami sendiri peristiwa tersebut. Oleh karena itu korban ditempatkan pada posisi sentral bagi pihak-pihak yang berperkara serta hakim untuk melihat kejadian sebenarnya terjadi. Hal ini berbeda dengan saksi pelapor.
permasalahannya sekarang adalah, saksi dalam perundang-undangan Indonesia belum mendapat perhatian yang besar terhadap perlindungan keselamatan, maupun kesejahteraan saksi tersebut.
Perlindungan terhadap saksi sangat diperlukan, banyak kejadian yang telah terjadi beberapa tahun belakangan ini yang dapat menjadi contoh bagaimana seorang saksi sangat dibutuhkan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Melihat pentinganya kedudukan saksi dalam pengungkap pidana, sudah saatnya para saksi dan pelapor diberi perlindungan secara hukum, fisik, maupun psikis.
Hal-Hal yang esensial terhadap perlindungan hukum terhadap saksi adalah agar mereka bebas dari tekanan pihak luar yang mencoba mengintimidasi bekenaan dengan kesaksiannya dalam suatu perkara pidana.
Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 memberikan jaminan kepada warga masyarakat yang memiliki itikad baik untuk melaporkan tindak pidana dan juga saksi yang memberikan kesaksiannya bahwa berdasarkan kesaksiannya tersebut ia tidak dapat dapat dituntut, baik secara pidana maupun gugatan secara perdata dan seorang saksi yang juga tersangka untuk kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Ini merupakan perlindungan hak asasi seorang saksi yang diharapkan dapat memberikan keterangan sehingga terjadi kejelasan dalam suatu perkara serta menjauhkannya dari perasaan tertekan dan takut.
sebenarnya tanpa diliputi rasa takut, maka mereka telah mematuhi dan melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara yang baik dan taat hukum.
C. Analisa dan Evaluasi Hukum Tertulis Asas Kebebasan Pers yang
Bertanggung Jawab
Negara yang demokratis pada umumnya diukur dengan adanya susunan dan fungsi dewan perwakilan rakyat yang membawakan suara rakyat untuk menyelenggarakan kedaulatan di dalam negara. Kemerdekaan berfikir dan mengeluarkan pendapat juga merupakan salah satu ukuran tentang adanya sistem demokrasi.39
Kemajuan sistem demokrasi yang makin didambakan itu dapat terselenggara dengan memanfaatka