• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor Yang Memengaruhi Hubungan Seksual Pada Lanjut Usia (Lansia) Wanita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor Yang Memengaruhi Hubungan Seksual Pada Lanjut Usia (Lansia) Wanita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI HUBUNGAN SEKSUAL PADA LANJUT USIA (LANSIA) WANITA DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS TANAH LUAS KABUPATEN ACEH UTARA TAHUN 2013

SKRIPSI

OLEH :

NUVIAT ZUHRA 111021103

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI HUBUNGAN SEKSUAL PADA LANJUT USIA (LANSIA) WANITA DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS TANAH LUAS KABUPATEN ACEH UTARA TAHUN 2013

S K R I P S I

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh : NUVIAT ZUHRA

111021103

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI

HUBUNGAN SEKSUAL PADA LANJUT USIA (LANSIA) WANITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

TANAH LUAS KABUPATEN ACEH UTARA TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : NUVIAT ZUHRA

Nomor Induk Mahasiswa : 111021103

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Peminatan : Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi Tanggal Lulus : 11 Februari 2014

Disahkan Oleh Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes Asfriyati, SKM, M.Kes

NIP. 195812021991031001 NIP. 197012201994032001

Medan, Februari 2014 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Dekan

(4)

ABSTRAK

Seiring proses penuaan, kemampuan seksualitas lanjut usia umumnya akan menurun, sehingga diperlukan suatu penelaahan masalah seksual pada lansia. Fenomena sekarang, tidak semua lansia dapat merasakan kehidupan seksual yang harmonis, ada banyak faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode penerapan analisis faktor eksplanatory recearch dimana populasi seluruh lansia yang berusia di atas 60 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara adalah 1200 orang. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 105 orang lansia.

Dari hasil penelitian terdapat 9 (sembilan) variabel yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (pendidikan, usia, pengetahuan, penyakit, tabu, budaya, daya tarik, kecemasan, dan bosan) setelah dianalisis terbentuk 2 (dua) faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia yaitu faktor 1 (satu) yaitu terdiri dari variabel pengetahuan, penyakit, usia, budaya dan pendidikan yang dinamakan dengan faktor karakteristik. Dan faktor 2 (dua) terdiri dari variabel daya tarik, tabu, kecemasan dan bosan dinamakan faktor psikologis.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk meningkatkan pengetahuan lansia, dengan cara menyebarkan informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi berdasarkan dengan faktor karakteristik dan faktor psikologis sehingga terbentuknya sikap positif terhadap seksualitas guna menjaga keharmonisan rumah tangga.

(5)

ABSTRACT

As the aging process running, the ability of elderly sexuality generally will decrease, so it is necessary to review of sexual problems of the elderly. In fact, not all of the elderly can experience a harmonious sexual life, there are many factors that influence sexual intercourse in the elderly .

Type of the research is descriptive using a method of applying explanatory factor analysis recearch where entire 1200 people elderly population aged over 60 years old in the Work Land Area of Community Health Center in North Aceh district. While the sample used in this study amounted to 105 elderly.

Based on the result of research, there are 9 (nine) variables that influence sexual intercourse in the elderly (education, age, knowledge, disease, taboos, culture, attractiveness, anxiety, and boredom) when analyzed formed two (2) factors that influence sexual intercourse advanced age is factor 1 (first) is composed of variable knowledge, disease, age, culture and education, called the characteristic factor. And factor 2 (second) consists of variable attractiveness, taboo, anxiety and boredom called psychological factors.

Based on the results of the research can be suggested to improve the knowledge of the elderly, by spreading out information about sexuality and reproductive health characteristics based on the factors and psychological factors so that made positive attitude towards sexuality in order to maintain harmony in family .

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nuviat Zuhra

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/ 5 November 1979

Agama : Islam

Status Perkawinan : Kawin

Asal : Diploma III

Jumlah Anggota Keluarga : 4 Orang

Alamat Rumah : Jl. Medan-Banda Aceh Desa Alue Awe Buket Rata. Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe. Aceh

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1986 – 1992 : SD Negeri No. 22 Banda Aceh 2. Tahun 1992 – 1995 : MTsS Ulumul Quran Langsa 3. Tahun 1995 – 1998 : MAN 1 Banda Aceh

4. Tahun 1999 – 2002 : Akbid „Aisyiah Yogyakarta

5. Tahun 2011 – 2014 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan

Riwayat Pekerjaan

Tahun 2002 – 2003 : Akbid Muhamaddiyah Banda Aceh

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan kasih sayang-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul :

“Analisis Faktor yang Memengaruhi Hubungan Seksual pada Lanjut Usia (Lansia)

Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013”

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materiil. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr.Drs.Surya Utama,MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Heru Santosa,MS, Ph.D selaku Ketua Departemen Kependudukan dan Biostatistik FKM USU.

3. Bapak Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing 1 dan Ibu Asfriyati,SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing 2, yang telah banyak melakukan waktu serta dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan masukan serta saran kepada penulis.

4. Ibu Maya Fitria, SKM, M.Kes selaku Dosen Penguji atas saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

(8)

6. Para Dosen dan Staff di Lingkungan FKM USU.

7. Kepala Dinas Kesehatan Aceh Utara yang telah membantu penelitian penulis.

8. Kepala Puskesmas dan seluruh staff Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara yang telah membantu penelitian penulis.

9. Seluruh para lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

10. Teristimewa untuk suami tercinta serta kedua buah hatiku Naiya dan Furqan yang telah mencurahkan doa serta kasih sayang kepada penulis.

11. Kedua orang tua penulis yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dan doa. 12. Teman-teman peminatan Kependudukan dan Biostatistik terimakasih untuk semua

bantuannya.

13. Teman spesial Elisa dan Dijah yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(9)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari semua pihak demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya untuk keluarga besar Universitas Sumatera utara.

Medan, Februari 2014 Penulis

(10)

DAFTAR ISI

2.1.2 Seksualitas pada Laki-laki... 13

2.1.3 Seksualitas pada Perempuan ... 13

2.1.4 Seksualitas pada Usia Lanjut ... 14

2.1.5 Pengaruh Penuaan terhadap Seksual Pria pada Lanjut Usia ... 14

2.1.6 Pengaruh Penuaan terhadap Seksual Wanita pada Lanjut Usia ... 17

2.1.7 Menopause ... 19

2.1.8 Perubahan Seksualitas pada Lanjut Usia... 20

(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

4.1 Gambaran Umum Puskesmas Tanah Luas ... 46

4.1.1 Lokasi Puskesmas Tanah Luas ... 46

4.1.2 Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas ... 46

4.2 Gambaran Responden ... 46

4.3 Analisis Faktor ... 47

4.3.1 Uji Kelayakan Faktor ... 48

4.3.2 Faktoring ... 49

4.3.3 Communalities ... 49

4.3.4 Total Variance Explained ... 50

4.3.5 Scree Plot ... 51

4.3.6 Component Matrix ... 52

4.3.7 Rotated Component Matrix ... 53

4.3.8 Component Transformation Matrix ... 55

4.3.9 Interpretasi dan Penamaan Faktor ... 56

(12)

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner ... 58

Lampiran 2 Surat Izin Penelitian ... 62

Lampiran 3 Surat Selesai Melakukan Penelitian ... 63

Lampiran 4 Master Data ... 64

Lampiran 5 Hasil Analisis Faktor ... 68

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 46

Tabel 4.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 47

Tabel 4.3. Nilai Anti Image Matrix ... 48

Tabel 4.4. Communalities ... 49

Tabel 4.5. Total Variance Explained ... 51

Tabel 4.6. Component Matrix ... 52

Tabel 4.7. Rotated Component Matrix ... 54

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(15)

ABSTRAK

Seiring proses penuaan, kemampuan seksualitas lanjut usia umumnya akan menurun, sehingga diperlukan suatu penelaahan masalah seksual pada lansia. Fenomena sekarang, tidak semua lansia dapat merasakan kehidupan seksual yang harmonis, ada banyak faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode penerapan analisis faktor eksplanatory recearch dimana populasi seluruh lansia yang berusia di atas 60 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara adalah 1200 orang. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 105 orang lansia.

Dari hasil penelitian terdapat 9 (sembilan) variabel yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (pendidikan, usia, pengetahuan, penyakit, tabu, budaya, daya tarik, kecemasan, dan bosan) setelah dianalisis terbentuk 2 (dua) faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia yaitu faktor 1 (satu) yaitu terdiri dari variabel pengetahuan, penyakit, usia, budaya dan pendidikan yang dinamakan dengan faktor karakteristik. Dan faktor 2 (dua) terdiri dari variabel daya tarik, tabu, kecemasan dan bosan dinamakan faktor psikologis.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk meningkatkan pengetahuan lansia, dengan cara menyebarkan informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi berdasarkan dengan faktor karakteristik dan faktor psikologis sehingga terbentuknya sikap positif terhadap seksualitas guna menjaga keharmonisan rumah tangga.

(16)

ABSTRACT

As the aging process running, the ability of elderly sexuality generally will decrease, so it is necessary to review of sexual problems of the elderly. In fact, not all of the elderly can experience a harmonious sexual life, there are many factors that influence sexual intercourse in the elderly .

Type of the research is descriptive using a method of applying explanatory factor analysis recearch where entire 1200 people elderly population aged over 60 years old in the Work Land Area of Community Health Center in North Aceh district. While the sample used in this study amounted to 105 elderly.

Based on the result of research, there are 9 (nine) variables that influence sexual intercourse in the elderly (education, age, knowledge, disease, taboos, culture, attractiveness, anxiety, and boredom) when analyzed formed two (2) factors that influence sexual intercourse advanced age is factor 1 (first) is composed of variable knowledge, disease, age, culture and education, called the characteristic factor. And factor 2 (second) consists of variable attractiveness, taboo, anxiety and boredom called psychological factors.

Based on the results of the research can be suggested to improve the knowledge of the elderly, by spreading out information about sexuality and reproductive health characteristics based on the factors and psychological factors so that made positive attitude towards sexuality in order to maintain harmony in family .

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, terus-menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam, 2008). Secara umum kondisi fisik seseorang yang telah memasuki usia lanjut mengalami perubahan, dan sebagian besar perubahan itu terjadi ke arah yang memburuk/ mengalami penurunan, misalnya, organ reproduksi lebih cepat usang dibanding organ yang lain, perubahan penampilan, perubahan panca indra, perubahan seksual (Hurlock, 1999).

Menurut Blanch dan Collier (1993) seksualitas adalah kenikmatan yang merupakan bentuk interaksi antara pikiran dan tubuh. Umumnya seksualitas melibatkan panca indra (aroma, rasa, penglihatan, pendengaran, sentuhan) dan otak (organ yang paling kuat terkait dalam seks dalam fungsi fantasi, antisipasi, memori, atau pengalaman). Tujuan seksualitas itu sendiri secara umum yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia, sedangkan tujuan seksualitas secara khusus, yaitu prokresi (menciptakan atau meneruskan keturunan) dan rekreasi (memperoleh kenikmatan biologis/ seksual) (Kusmiran, 2011).

(18)

dan psikologis dalam kehidupan manusia. Dampak sosial melihat bagaimana seksualitas mensosialisasikan peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia. Dan dimensi kultur dan moral menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya dan moral mempunyai penilaian terhadap seksualitas yang berbeda dengan negara barat (Kusmiran, 2011).

Pada usia lanjut maka daya kemampuan seksual baik pada wanita maupun pada pria mengalami kemunduran, namun tidaklah berarti bahwa kenikmatan seks hilang sama sekali, hanya membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai orgasme, sedangkan orgasmenya sendiri berlangsung lebih pendek (Hurlock, 1999). Menurut Darmojo dan Martono, pada usia lanjut terdapat dua faktor yang mempengaruhi aktivitas seksual, yang dapat dibagi menjadi faktor internal, yaitu faktor fisik, penyakit dan psikologis (kesepian/ duka cita, depresi) serta faktor eksternal yang datangnya dari kebudayaan dan obat-obatan. Faktor fisik menyangkut faktor hormonal, biasanya pada pria lanjut usia terjadi penurunan sirkulasi hormon testosteron, membutuhkan waktu lebih lama untuk ereksi dan ejakulasi, membutuhkan stimulasi manual yang lebih banyak (Oktaviani, 2010). Sedangkan pada wanita menurut Hawton (1993) pengaruh utama seksualitas dihubungkan dengan perubahan yang terjadi pada saat menopause, terjadi perubahan stimulasi sensori dan aliran darah akibat penurunan hormon estrogen, vagina menjadi kurang fleksibel dan mungkin membutuhkan pelumas buatan (Papalia, 2008).

(19)

dan daya tarik, perasaan kesepian, dan perasaan takut dianggap tidak wajar bila masih aktif melakukan hubungan seksualitas (Ropei, 2010).

Perubahan psikologis dalam seksualitas ini tidak mengandung arti bahwa dalam keadaan normal orang tengah baya atau lanjut usia tidak dapat menikmati hubungan seks lagi. Dalam hal ini kebudayaan masyarakat ikut mempengaruhi, begitu pula faktor kesehatan juga menentukan. Pandangan bahwa hubungan seks pada usia lanjut tidak terpuji ataupun dapat menimbulkan penyakit perlu dihilangi lebih dulu, khususnya di Indonesia (Monks, 2004). Menurut Warsono (2010) yang mengutip pendapat Tamher, tingkat pendidikan juga merupakan hal terpenting dalam menghadapi masalah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak pengalaman hidup yang dilaluinya, sehingga akan lebih siap dalam menghadapi masalah yang terjadi. Sedangkan menurut Papalia (2008), halangan utama mereka untuk memenuhi kehidupan seksual adalah kecenderungan ketiadaan pasangan.

Pria sehat yang lebih aktif secara seksual dapat terus melakukan beberapa bentuk ekspresi seksual aktif pada usia lanjut. Fungsi terpenting dalam mempertahankan seksual adalah aktivitas seksual yang konsisten dari tahun ke tahun (Papalia, 2008). Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) naluri seks dalam tubuh pria lebih nyata dan lebih kuat perangsangan dapat timbul secara tidak disadari pada tubuh dan perasaan, sehingga terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan seperti banyak pria lansia melakukan pelecehan seksual yaitu melakukan hubungan seksual dengan anak kecil sebanyak 55% yang menyangkut rendahnya frekuensi hubungan seksual di usia lanjut, persoalannya lebih terletak pada turunnya minat seksual istri (Oktaviani, 2010).

(20)

Genuk Kota Semarang sebagian besar mengatakan bahwa lansia dalam pemenuhan kebutuhan seksualnya mengalami penurunan, semua itu dipengaruhi oleh keadaan fisiknya, dan faktor-faktor lain.

Berdasarkan Database Usila Puskesmas Tanah Luas tahun 2012, wilayah kerja Puskesmas Tanah Luas mempunyai jumlah lansia berusia > 60 tahun sebanyak 1200 orang dengan rata-rata kunjungan lansia ke puskesmas adalah 400 orang. Dari survei awal penelitian melalui wawancara yang dilakukan pada tanggal 3 September 2012 di Puskesmas Tanah Luas kepada 7 orang lansia menunjukkan bahwa 4 responden yang berusia 60-63 tahun (1 laki-laki, dan 3 perempuan) mengatakan bahwa hubungan seksual pada usia lanjut tidak perlu dan malu terhadap cucu, dan 2 responden mengakui bahwasanya pihak wanita menolak dengan alasan sudah tua sehingga mereka cenderung untuk bersama cucu, sedangkan 1 responden mengakui faktor kesehatan.

Oleh karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia maka perlu dilakukan analisis dengan menggunakan analisis faktor. Analisis faktor merupakan salah satu teknik analisis multivariat yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan pemecahan masalah-masalah yang membutuhkan pengkajian secara menyeluruh terhadap suatu

hal yang dipelajari. Proses analisis faktor mencoba menemukan hubungan antar sejumlah variabel-variabel yang saling independen satu dengan yang lain, sehingga dibuat satu atau

beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal (Santoso, 2005).

(21)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah karena banyaknya faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (lansia), maka perlu diringkas faktor mana saja yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (lansia) dengan cara/ menggunakan metoda analisis faktor.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk meringkas beberapa variabel menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (lansia) dengan metoda analisis faktor di wilayah kerja puskesmas tanah luas kabupaten Aceh Utara tahun 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk memilih variabel-variabel dominan yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia yang dimasukkan dalam analisis faktor.

2. Untuk mengelompokkan variabel faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia menjadi satu atau beberapa faktor.

1.4Manfaat Penelitian 1. Bagi Lanjut usia

(22)

2. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan kepada pihak Puskesmas sebagai dasar untuk membuat suatu kebijakan terkait faktor-faktor yang memengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia, guna meningkatkan pengetahuan lansia.

3. Bagi Peneliti selanjutnya

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia

Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu :

1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun 2. Lansia (ederly) : usia 60-74 tahun 3. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun 4. Usia sangat tua (very old) : usia di atas 90 tahun

Departemen Kesehatan RI (2006) memberikan batasan lansia sebagai berikut :

1. Virilitas (prasenium) : Masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun).

2. Usia lanjut dini (sevescen) : kelompok yang memasuki masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun).

3. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif : Usia di atas 65 tahun.

(24)

atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan keadaan badan secara keseluruhan (Fatimah, 2010).

2.1.1 Seksualitas

Manusia adalah mahkluk seksual. Seksualitas diartikan sebagai :

a. Aktivitas, perasaan, dan sikap yang dihubungkan dengan reproduksi,dan

b. Bagaimana laki-laki dan perempuan berinteraksi dalam berpasangan dan di dalam kelompok.

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa yang sederhana, seksualitas adalah bagaimana orang merasakan dan mengekspresikan sifat dasar dan ciri-ciri seksualnya yang khusus.

Aktivitas seksual adalah tindakan fisik atau mental yang menstimulasi, merangsang, dan memuaskan secara jasmaniah. Tindakan itu dilakukan sebagai cara yang penting bagi seseorang untuk mengeskpresikan perasaan dan daya tarik kepada orang lain (Masland, 2006).

Hubungan seksual dalam perkawinan memang sangat penting namun bukan segala-galanya. Hubungan seksual mempunyai banyak makna, antara lain:

a. Suami-istri saling memberikan maaf

b. Suami-istri saling mengucapkan terima kasih c. Suami-istri saling menyatakan cinta

d. Suami-istri saling memperbaharui janji perkawinan

e. Suami-istri saling melepaskan kecemasan dan kemarahannya f. Suami-istri saling membangun komunikasi

(25)

j. Cara untuk meneruskan keturunan (Tujan, 1994).

Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin disebut dengan seksualitas. Menurut Masters, Jonshon, dan Kolodny (1992), seksualitas menyangkut berbagai dimensi, diantaranya adalah dimensi biologis, psikologis, sosial dan kultur.

a. Dimensi Biologis

Berdasarkan perspektif biologis (fisik), seksualitas berkaitan dengan anatomi dan fungsional alat reproduksi atau kelamin manusia, serta dampaknya bagi kehidupan fisik atau biologis manusia. Termasuk didalamnya menjaga kesehatannya dari gangguan seperti penyakit menular seksual, infeksi saluran reproduksi (ISR), bagaimana memfungsikan seksualitas sebagai alat reproduksi sekaligus alat rekreasi secara optimal, serta dinamika munculnya dorongan seksual secara biologis.

b. Dimensi Psikologis

Berdasarkan dimensi ini, seksualitas berhubungan erat dengan bagaimana manusia menjalani fungsi seksual sesuai dengan identitas jenis kelaminnya, dan bagaimana dinamika aspek-aspek psikologis (kognisi, emosi, motivasi, perilaku) terhadap seksualitas itu sendiri, serta bagaimana dampak psikologis dari keberfungsian seksualitas dalam kehidupan manusia. Misalnya bagaimana seseorang berperilaku sebagaimana laki-laki atau perempuan, bagaimana seseorang mendapatkan kepuasan psikologi dari perilaku yang dihubungkan dengan identitas peran jenis kelamin, serta bagaimana perilaku seksualnya dan motif yang melatar belakangi.

c. Dimensi Sosial

(26)

lingkungan sosial, serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia.

d. Dimensi Kultural dan Moral

Dimensi ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya dan moral mempunyai penilaian terhadap seksualitas yang berbeda dengan negara barat. Seksualitas di negara-negara barat pada umumnya menjadi salah satu aspek kehidupan yang terbuka dan menjadi hak asasi manusia. Beda halnya dengan moralitas agama, menganggap bahwasanya seksualitas sepenuhnya adalah hak Tuhan sehingga penggunaan dan pemanfaatannya harus dilandasi dengan norma-norma agama yang sudah mengatur kehidupan seksualitas manusia secara lengkap.

Menurut Blanch dan Collier (1993), seksualitas meliputi lima area : 1. Seksualitas

kenikmatan yang merupakan bentuk interaksi antara pikiran dan tubuh. Umumnya seksualitas melibatkan panca indra (aroma, rasa, penglihatan, pendengaran, sentuhan) dan otak (organ yang paling kuat terkait dalam seks dalam fungsi fantasi, antisipasi, memori, atau pengalaman)

2. Intimacy

Ikatan emosional atau kedekatan dalam reaksi interpersonal. Biasanya mengandung unsur-unsur kepercayaan, keterbukaan diri, kelengketan dengan orang lain, kehangatan, kedekatan fisik, dan saling menghargai.

3. Identitas

(27)

menyangkut bagaimana seseorang menghayati peran jenis kelamin sesuai dengan jenis kelaminnya.

4. Lingkaran kehidupan

Aspek biologis dari seksualitas yang terkait dengan anatomi dan fsiologi organ seksual. 5. Eksploitasi

Unsur kontrol dan manipulasi terhadap seksualitas, seperti kekerasan seksual, pornografi, pemerkosaan, dan pelecehan seksual.

Sementara itu, menurut Hidayat (1997), ruang lingkup seksualitas terbagi atas hal-hal berikut.

1. Seksual biologis

Komponen yang mengandung beberapa ciri dasar seks yang terlihat pada individu yang bersangkutan (kromosom, hormon, serta ciri seks primer dan sekunder). Ciri seks primer timbul sejak lahir, yaitu alat kelamin luar dan alat kelamin dalam. Ciri seks sekunder timbul saat seseorang meningkat dewasa, misalnya timbul bulu-bulu badan di tempat tertentu (ketiak, dada), berkembangnya payudara perempuan, dan perubahan suara laki-laki.

2. Identitas seksual

Identitas seksual adalah konsep diri pada individu yang menyatakan dirinya laki-laki atau perempuan. Identitas seksual dalam bentuknya banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan tokoh yang sangat penting (orang tua).

3. Identitas gender

(28)

budayanya. Identitas budaya merupakan interaksi antara faktor fisik dan psikoseksual. Interaksi yang harmonis diantara kedua faktor ini akan menunjang perkembangan norma seorang perempuan atau laki-laki.

4. Perilaku seksual

Perilaku seksual yaitu orientasi seksual dari seorang individu, yang merupakan interaksi antara kedua unsur yang sulit dipisahkan, tingkah laku seksual didasari oleh dorongan seksual untuk mencari dan memperoleh kepuasan seksual, yaitu orgasmus.

Tujuan seksualitas

1. Tujuan umum : meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia. 2. Tujuan khusus :

a. Prokresi (menciptakan atau meneruskan keturunan). b. Rekreasi (memperoleh kenikmatan biologis/seksual)

(Kusmiran, 2011).

2.1.2 Seksualitas pada Laki-laki

(29)

2.1.3 Seksualitas pada Perempuan

Tidak diketahui atau tidak ada usia tertentu ketika seseorang mencapai puncak tingginya dorongan seksual atau kemampuan untuk merasakan nafsu seksual. Beberapa ahli telah mengidentifikasi bahwa puncaknya pada usia 35 tahun, tetapi tidak ada bukti ilmiah yang tepat untuk menentukan kapan saatnya bagi setiap orang khususnya perempuan. Para ahli telah menemukan bahwa kadar hormon perempuan biasanya meninggi sekitar usia 35 tahun, tetapi apa yang sebenarnya terjadi untuk mengukur dorongan seksual adalah dengan merasakan apa yang akan terjadi pada pikiran dan emosi seseorang.

Sama sekali tidak, perasaan terhadap seks dan minatnya mungkin sangat bervariasi, tetapi kemampuan seorang perempuan untuk melakukan hubungan intim sejauh ini, memiliki hasrat sehat, dan tentu saja mempunyai pasangan (Masland, 2006).

2.1.4 Seksualitas pada Usia Lanjut

Orang yang secara fisik sehat dan merasa sangat normal cenderung melakukan aktivitas seksual sepanjang hidup mereka, kira-kira mendekati usia 70-an. Ini berarti tidak ada waktu yang khusus kapan seseorang berhenti melakukan hubungan seks hanya karena beberapa pasangan menonaktifkan diri dari kegiatan itu (Masland, 2006).

(30)

2.1.5 Pengaruh Penuaan Terhadap Seksual Pria pada Lanjut Usia

Tingkat puncak timbulnya kegairahan seksual kemungkinan terjadi lebih cepat pada pria dari pada wanita, semasa remaja atau awal usia dua puluhan. Pada masa tua tampaknya tidak terdapat perubahan hormon cepat yang sama pada pria sebagaimana yang terjadi semasa menopause pada wanita. Akan tetapi, terdapat reduksi secara bertahap dalam jumlah testosteron dengan meningkatnya usia (Hawton, 1993).

Laki-laki tidak kehilangan kemampuan mereka untuk melakukan hubungan intim pada usia tertentu. Hanya saja, kemampuan mereka untuk melakukannya secara berulang-ulang atau mengurangi ereksi dan ejakulasi biasanya mulai berkurang ketika berusia 40 atau 50-an.

(31)

atau bahkan beberapa hari. Sama seperti pada wanita, pengaruh umum proses menua yang lain, misalnya kegemukan (obesitas), atritis, penyakit dan pengobatannya juga relevan terhadap pria yang lebih tua (Masland, 2006).

Klimakterik pada pria sangat berbeda dengan menopause pada wanita. Klimaterik datang kemudian, biasanya pada usia 60 atau 70 tahunan, dan berjalan sangat lambat. Dengan datangnya penuaan secara umum pada seluruh tubuh, terjadi penurunan secara bertahap daya seksual dan reproduksi pria, yang berhubungan dengan ketidakseimbangan hormonal (Jahja, 2011). Jika hormon testosteron menurun tajam, maka dorongan seksual terhambat, fungsi ereksi/ relaksi otot polos vagina juga terhambat. Ini berarti aktivitas seksual, yang merupakan salah satu aspek dalam ranah hubungan sosial menjadi terganggu.

Disfungsi seksual pada pria dan usia lanjut dimanisfestasikan dalam keluhan sebagai berikut :

1. Menurunnya dorongan seksual

2. Memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai ereksi 3. Memerlukan rangsangan langsung pada penis

4. Berkurangnya intensitas ejakulasi 5. Berkurangnya rigiditas penis

6. Periode refrakter menjadi lebih lama

(32)

menjadi lebih buruk bila terdapat gangguan penyakit atau gaya hidup yang berkaitan dengan fungsi seksual, antara lain diabetes, penyakit kardiovaskular, merokok dan alkohol berlebihan (Pangkahila, 2008).

Meskipun begitu, pria sering melaporkan kepuasan seksual yang besar di samping perubahan tersebut, dan kegiatan seksual tetap dipertahankan oleh banyak pria hingga usia tua. Sebagai contoh dalam telaah Person di Swedia, 46% dari 166 pria berusia 70 tahun, ditemukan aktif secara seksual, dengan angka sebesar 52% bagi yang menikah (Masland, 2006).

2.1.6 Pengaruh Penuaan Terhadap Seksual Wanita pada Lanjut Usia

Pengaruh utama proses menua pada seksualitas wanita dihubungkan dengan perubahan pada saat menopause. Faktor penting adalah reduksi yang menandai sirkulasi estrogen yang ditemukan pada wanita sesudah menopause. Hormon estrogen penting untuk mempertahankan keadaan normal vagina dan untuk tanggapan seksual. Selaput lendir vagina sesudah menopause mengalami penipisan. Di samping itu, terjadi pengurangan pelumasan selama bangkitnya gairah seksual. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan selama bersenggama. Terdapat beberapa bukti bahwa jika seorang wanita tetap aktif secara seksual, perubahan tersebut kurang nyata. Proses menua juga mengakibatkan beberapa penyusutan vagina dan labia minora. Kepekaan vagina berkurang (Hawton, 1993). Secara umum pengaruh penuaan fungsi seksual wanita sering dihubungkan dengan penurunan hormon,seperti berikut ini :

1. Lubrikasi vagina memerlukan waktu lebih lama

2. Pengembangan dinding vagina berkurang pada panjang dan lebarnya 3. Dinding vagina menjadi tipis dan mudah teriritasi

(33)

6. Penurunan elivasi uterus

7. Atrofi labia mayora dan ukuran klitoris menurun 8. Fase orgasme lebih pendek

9. Fase resolusi muncul lebih cepat

10. Kemampuan multipel orgasme masih baik.

Aktivitas seksual mungkin terbatas karena ketidakmampuan spesifik, tetapi dorongan seksual, ekspresi cinta, dan perhatian tidak mengalami penurunan yang sama. Dari pada penurunan fungsi seksual diasumsikan dengan sakit, lebih baik perhatian difokuskan pada sesuatu yang masih mungkin dilakukan. Mengembangkan kepercayaan diri dan membentuk ekspresi seksual yang baru dapat banyak membantu pada lansia yang mengalami ketidakmampuan seksual.

Atritis dengan deformitas pada sendi, kemungkinan terjadi kontraktur dan nyeri, kanker dengan nyeri dan komplikasi operasi, kemoterapi dan radiasi, gangguan neoromuskular yang menyebabkan atrofi otot, tonus yang tidak normal, dan gerakan yang tidak normal menyebabkan lansia merasa kurang menarik dan tidak mempunyai daya tarik seksual. Perasaan negatif ini menghambat pengembangan emosi dan fisik. Beberapa penyakit dihubungkan dengan daya tahan atau nyeri dapat menyebabkan gangguan seksual dan aktivitas. Penyakit kronis menyebabkan ketakutan dan menghalangi dorongan aktivitas seksual. Ketakutan dan persepsi negatif harus diatasi sehingga lansia dapat menikmati kehidupan/ hubungan seksualnya.

(34)

usia 60 tahun, 70 tahun, dan bahkan 80 tahun sangat menggembirakan. Sebagai contoh, Persson (1980) di Swedia menemukan bahwa 16% dari 266 wanita berusia 70 tahun tetap aktif secara seksual. Dalam studi ini, 36% dari 91 wanita yang menikah masih tetap aktif (Hawton, 1993). 2.1.7 Menopause

Menopause adalah saat berhentinya siklus menstruasi dalam kehidupan seorang perempuan. Ini berarti, seorang perempuan berhenti ovulasi karena jumlah hormon estrogen yang diproduksi tidak cukup untuk menghasilkan periode menstruasi.

Menopause terjadi pada saat yang berbeda pada seorang perempuan. Masa tersebut dapat saja terjadi setiap saat usia awal 40-an sampai awal 50-an. Apabila perempuan dalam keluarga tertentu mengikuti pola menopause pada usia pertengahan 40-an kemungkinan besar seorang perempuan dalam keluarga itu mengalami menopause pada usia 45 atau 46. Apabila seorang perempuan menjalani operasi pengangkatan kandungan telur, atau jika ovarium telah diradiasi atau dikemoterapi, maka menopause akan terjadi lebih awal (Masland, 2006).

2.1.8 Perubahan Seksualitas pada Lansia

Seiring proses penuaan, kemampuan seksualitas juga akan mengalami penurunan. Kemampuan untuk mempertahankan seks yang aktif sampai usia lanjut bergantung pada beberapa faktor, diantaranya yaitu :

a. Usia

(35)

Masa tua bukan merupakan halangan untuk aktivitas seksual. Laki-laki dan wanita dalam kondisi fisik dan emosional yang baik masih mampu untuk melakukan aktivitas seksual sampai usia lanjut (Tukan, 1994).

Seiring dengan bertambahnya usia, keingginan seseorang untuk melakukan hubungan seks umumnya akan menurun. Hal ini biasanya dipicu karena adanya perubahan hormon dalam tubuh, khususnya pada perempuan (Kompas, 2012).

b. Pendidikan

Untuk dapat berkomunikasi dengan berhasil maka suami istri harus mempunyai taraf pendidikan yang relatif sama (Tukan, 1994). Orang yang berpendidikan, secara seksual akan mempunyai beberapa kualitas diri dan kecakapan tertentu misalnya, bertanggungjawab terhadap keputusan seksual yang diambil berkaitan dengan apa yang dibutuhkan dan keinginan.

c. Pengetahuan

Pada tingkat individu, pertumbuhan pemahaman seksualitas seseorang akan menambah perkembangan pribadinya, kepercayaan diri, kedewasaan, dan kecakapan mengambil keputusan (Halstead, 2006). Banyak pasangan yang masih menganggap bahwa hubungan seks hanyalah terbatas penyaluran kebutuhan biologis semata. Ini adalah pemahaman yang salah besar. Lebih jauh, hubungan seks haruslah dipahami sebagai sarana untuk refreshing dan rekreasi. Terlebih lagi, aktivitas seks merupakan suatu bentuk atau sarana untuk menjaga keharmonisan di dalam rumah tangga (waspada, 2012).

d. Penyakit

(36)

millitus, vaginitis (Narsevhybuntu, 2012). Menurut Stanley & Beare (2006), obat-obatan berpengaruh terhadap aktivitas seksual lansia. Konsumsi berbagai obat yang berbeda dan metabolisme obat tersebut dipengaruhi oleh proses penuaan, sehingga efek dari obat-obat tersebut dapat mempengaruhi siklus respon seksual (Oktaviani, 2010).

e. Budaya

Menurut Darmojo dan Martono (2006), faktor eksternal yang mempengaruhi aktivitas seksual berupa budaya yang berkembang di masyarakat, menganggap aktivitas seksual tidak layak lagi dilakukan oleh para lansia, sehingga menyebabkan keinginan dalam diri mereka ditekan yang memberikan dampak penurunan aktivitas seksual.

f. Menopause

Perubahan tubuh dan emosi secara umum terjadi pada saat menopause, tetapi tidak berlaku disebabkan atau berhubungan dengan keadaan tersebut. Berhentinya menstruasi hanya merupakan salah satu aspek dari menopause. Sistem reproduksi menurun dan berhenti sebagai akibatnya, maka tidak lagi memproduksi hormon ovarium dan hormon progesteron (Jahja, 2011). Di samping itu, terjadi pengurangan pelumasan selama bangkitnya gairah seksual. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan selama bersenggama (Hawton, 1993).

(37)

Perubahan-perubahan yang terjadi pada alat-alat seksual wanita dan faalnya karena proses menua, terutama disebabkan oleh menciutnya indung telur (dengan akibat menurunnya dan kemudian hilangnya hormon kewanitaan terutama estrogen. Perubahan-perubahan itu dapat diringkaskan sebagai berikut :

a. Menstruasi menjadi tak teratur dan semakin sedikit, lalu lama-kelamaan berhenti sama sekali.

b. Buah dada menipis, menjadi lembek dan menggantung.

c. Rahim dan indung telur menciut dan kemudian fungsinya sangat berkurang. Hal ini mengakibatkan vagina kehilangan elastisitasnya, kebasahannya, sehingga seringkali meradang. Lama-kelamaan mengecil juga dan pada persetubuhan menimbulkan rasa nyeri.

d. Rangsangan menurun, kemampuan reaksi terhadap rangsangan langsung semakin menurun pula, oleh karena itu ada kaitannya dengan kepekaan persyarafan alat kelamin (Marsetio, M. 1991).

g. Tabu, malu, bosan, dan kecemasan

Tabu bersangkut paut dengan larangan berbicara dan bertindak terhadap seks. Faktor psikologis yang mempengaruhi penurunan fungsi dan potensi seksual adalah rasa tabu dan malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya, misalnya cemas, depresi, pikun dsb (Anonim, 2012).

h. Pasangan hidup

(38)

tidak memiliki pasangan. Adanya fenomena keinginan menikah, pengacuhan kebutuhan seksual lanjut usia yang berdampak pada kebahagiaan dan gangguan hemeostasis, teori-teori yang menunjukkan perlu adanya kebutuhan seksual dipenuhi, dan masih adanya anggapan yang keliru mengenai pemenuhan kebutuhan seksual pada lanjut usia.

Namun, kondisi hubungan seksual dan nonseksual dengan pasangan hidup memberi pengaruh besar. Makin baik hubungan, makin memuaskan kehidupan seksualnya. Maka, seks akan bertambah lama sampai tidak ada batasannya. Akhirnya salah satu penentu lainnya adalah tidak adanya pasangan. Wanita usia lanjut yang tidak mempunyai pasangan lagi umumnya akan menekan dorongan seksnya sampai habis. Sebaliknya, pria yang sudah kehilangan pasangan, sebagian akan menikah lagi (Warsono, 2010).

2.2Analisis Faktor 2.2.1 Pengertian

Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu prosedur, utamanya dipergunakan untuk mereduksi data atau meringkas dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel, misalnya dari 15 variabel yang lama diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variabel) (Supranto, 2004). Selain itu analisis faktor dapat juga berfungsi sebagai alat uji validasi internal dari alat ukur yang dipergunakan (Riduwan, 2002).

(39)

beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal sehingga memudahkan analisis statistik selanjutnya (Wibowo, 2006).

Analisis faktor merupakan sebuah analisis yang mencari hubungan interpedensi antar variabel, sehingga mampu mengidentifikasi dimensi-dimensi atau faktor-faktor yang menyusunnya. Oleh karena itu di dalam analisis faktor tidak terdapat variabel bebas atau variabel terikat, karena dalam analisis ini tidak mengklasifikasikan variabel bebas maupun variabel terikat.

Manfaat dari analisis faktor adalah melakukan peringkasan variabel berdasarkan tingkat keeratan hubungan antar variabel, sehingga akan diperoleh faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap variabel lainnya (Rochaety, 2009).

Tujuan yang penting dari analisis faktor ini adalah menyederhanakan hubungan yang beragam dan kompleks pada beberapa variabel yang diamati dengan menyatukan faktor atau dimensi yang saling berhubungan pada suatu struktur data yang baru yang mempunyai beberapa faktor yang lebih kecil (Wibisono, 2003).

Analisis faktor dipergunakan di dalam situasi sebagai berikut (supranto, 2004)

1. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari (Underling dimensions) atau faktor yang menjelaskan korelasi antara satu set variabel.

2. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi (independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan suatu set variabel asli yang

saling berkorelasi di dalam analisis multivariat selanjutnya.

(40)

2.2.2 Model Analisis Faktor dan Statistik yang Relavan

Secara matematis, analisis faktor agak mirip dengan regresi linier berganda yaitu bahwa setiap variabel dinyatakan sebagai suatu kombinasi linier dan faktor yang mendasari. Dimana analisis regresi linier berganda dapat mengetahui besarnya pengaruh dari setiap variabel bebas terhadap variabel tak bebas serta meramalkan nilai variabel yang tak bebas tersebut (Supranto, 2004).

Jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya yang tercakup dalam analisis disebut communality. Hubungan antara variabel yang diuraikan dinyatakan dalam suatu common factors yang sedikit jumlahnya ditambah dengan faktor yang unik untuk setiap variabel.

Faktor yang unik tidak berkolerasi dengan sesama faktor yang unik dan juga tidak berkolerasi dengan common factors. Common factors sendiri bisa dinyatakan sebagai kombinsi linier dari variabel-variabel yang terlihat/terobservasi (the observed variables) hasil penelitian lapangan. Model analisis faktor terbagi menjadi dua yaitu :

1. Analisis Faktor Eksploratori (Exploratory Factor Analysis)

(41)

dikeluarkan dari persamaan. Secara a priori bahwa di dalam analisis faktor eksploratori tidak ada hipotesis yang berkenaan dengan komposisi atau struktur. Di dalam analisis eksploratori perhatian peneliti terfokus pada signifikasi statistik atau kontribusi variabel bebas terhadap variasi (naik turunnya) variabel tak bebas.

Langkah-langkah di dalam analisis faktor eksploratori yaitu : a. Memilih variabel.

b. Mengekstraksi faktor.

c. Mempertahankan faktor yang penting. d. Merotasi faktor.

e. Mengartikan (memberi arti) hasil penemuan (artinya faktor-faktor tersebut mewakili variabel yang mana saja).

2. Analisis Faktor Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis)

Model Konfirmatori seperti analisis jalur, dan turunannya sangat ruwet (sophisticated), pertama-tama peneliti membuat struktur model yang dihipotesiskan (the hypothesized model structure) dan korelasi di dalam data asli/awal (original data). Secara explisit, analisis

(42)

dalam data asal/ asli. Apakah model yang dibuat bisa mencerminkan keadaan yang sebenarnya (to reflect the reality).

Langkah-langkah dalam analisis konfirmatori yaitu : a. Memilih variabel.

b. Hubungan/ kaitkan variabel dengan kontak (contruct).

c. Uji ketepatan struktur faktor yang dihipotesiskan dengan menggunakan kriteria tertentu. Statistik kunci yang relevan dengan analisis faktor adalah sebagai berikut: Barlett’s test of sphericity yaitu suatu uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tidak

saling berkorelasi (uncorrelated) dalam populasi. 2.2.3 Model Matematik dalam Analisis Faktor

Di dalam model analisis faktor, komponen hipotesis diturunkan dari hubungan antara variabel teramati. Model analisis faktor mensyaratkan bahwa hubungan antar variabel teramati harus linier dan nilai koefisien korelasi tak boleh nol, artinya benar-benar harus ada hubungan. Komponen hipotesis yang diturunkan harus memiliki sifat sebagai berikut :

1. Komponen hipotesis tersebut diberi nama faktor

(43)

3. Common factor selalu dianggap tidak berkorelasi dengan faktor unik. Faktor unik biasanya juga dianggap saling tidak berkorelasi, akan tetapi common factor mungkin atau tidak mungkin berkorelasi satu sama lainnya.

4. Umumnya dianggap bahwa jumlah common factor lebih sedikit dari jumlah variabel asli. Akan tetapi banyaknya faktor unik biasanya dianggap sama dengan banyaknya variabel asli. 2.2.4 Langkah-langkah Analisis Faktor

1. Merumuskan Masalah

Merumuskan masalah meliputi beberapa kegiatan: a. Tujuan analisis faktor harus dikenali

b. Variabel yang tercakup dalam analisis harus disebutkan secara khusus berdasarkan penelitian sebelumnya (past research), teori, dan pertimbangan subjektif dari peneliti c. Variabel harus benar-benar diukur secara tepat diukur pada skala interval atau rasio d. Besarnya sampel (n) harus memenuhi, maka sebagai petunjuk menggunakan rumus :

n ≥

(Lemeshow, 1997).

2. Bentuk Matriks Korelasi

Proses analisis didasarkan pada suatu matriks korelasi agar variabel pendalaman yang berguna bisa diperoleh dari penelitian matriks ini. Agar analisis faktor bisa tepat dipergunakan, variabel-variabel yang akan dianalisis harus berkorelasi. Apabila koefisien korelasi antar variabel terlalu kecil, hubungannya lemah, analisis faktor menjadi tidak tepat.

(44)

1. Besar korelasi atau korelasi independen variabel yang cukup kuat, misalnya diatas 0.5 atau bila dilihat tingkat signifikasinya adalah kurang dari 0.5.

2. Besar korelasi parsial, korelasi antar dua variabel dengan mengganggap variabel lain adalah tetap (konstan) harus kecil. Pada SPSS deteksi parsial diberikan pada Anti image Correlation.

Statistik formal tersedia untuk menguji ketepatan model faktor yaitu Barlett’s Test of Sphericity bisa digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tak berkorelasi di dalam

populasi. Nilai yang besar untuk uji statistik, berarti hipotesis nol harus ditolak ( berarti korelasi yang signifikan diantara beberapa variabel). Kalau hipotesis nol diterima, ketepatan analisis faktor harus dipertanyakan.

Statistik lainnya yang berguna adalah KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) mengukur kecukupan sampling (sampling adequancy). Indeks ini membandingkan besarnya koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Nilai KMO yang kecil menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak bisa diterangkan oleh variabel lain dan analisis faktor mungkin tidak tepat.

a. Harga KMO sebesar 0.9 adalah sangat memuaskan. b. Harga KMO adalah 0.8 adalah memuaskan.

c. Harga KMO adalah 0.7 adalah harga menengah. d. Harga KMO adalah 0.6 adalah cukup.

e. Harga KMO adalah 0.5 adalah kurang memuaskan. f. Harga KMO adalah 0.4 adalah tidak dapat diterima.

Measure of Sampling Adequancy (MSA) ukuran dihitung untuk seluruh matriks korelasi

(45)

merupakan pertimbangan untuk membuang variabel tersebut pada tahap analisis selanjutnya (Wibisono, 2003).

Angka MSA berkisar 0-1 menunjukkan apakah sampel bisa dianalisis lebih lanjut (Wibowo, 2006).

a. MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel lain. b. MSA> 0.5 variabel masih dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih lanjut. c. MSA < 0.5 variabel tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dianalisis lebih lanjut. 3. Menentukan Metode Analisis Faktor

Setelah ditetapkan bahwa analisis faktor merupakan teknik yang tepat untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan, kemudian ditentukan atau dipilih metode yang tepat untuk analisis faktor. Ada dua cara atau metode yang bisa dipergunakan dalam analisis faktor, khususnya untuk menghitung koefisien skor faktor, yaitu analisis komponen utama (Principal Component Analysis) dan analisis faktor umum (Common Factor Analysis).

Di dalam principal component analysis, jumlah varian dalam data dipertimbangkan. Principal component analysis direkomendasikan kalau hal yang pokok adalah menentukan

bahwa banyaknya faktor harus minimum dengan memperhitungkan varian maksimum dalam data untuk dipergunakan di dalam analisis multivariat lebih lanjut. Faktor-faktor tersebut dinamakan Principal Components.

Di dalam Common Factor Analysis, faktor diestimasi didasarkan pada Common variance, communalities dimasukkan di dalam matriks korelasi. Metode ini dianggap tidak tepat kalau

tujuan utamanya ialah mengenali/ mengidentifikasi dimensi yang mendasari dan Common variance yang menarik perhatian. Metode ini juga dikenal sebagai principal axis factoring

(46)

Communalities ialah jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis. Bisa juga disebut proporsi atau bagian variabel yang dijelaskan common factor, atau besarnya sumbangan suatu faktor terhadap varian seluruh variabel. Semakin besar Communalities sebuah variabel, berarti semakin kuat hubungannya dengan faktor yang dibentuknya.

Eigenvalue merupakan jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap faktor. Eigenvalue akan

menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varian yang dianalisis (Wibowo, 2006).

4. Menentukan Banyaknya Faktor

Sebetulnya bisa juga diperoleh, banyaknya faktor atau principal component sama dengan banyaknya variabel asli/ awal yaitu 7 buah, akan tetapi tidak didapat sifat hemat. Agar dapat meringkas informasi yang terdapat atau terkandung di dalam data asli/ awal, banyaknya faktor yang disarikan (to be extracted) dari variabel asli harus lebih sedikit daripada banyaknya variabel. Pertanyaan yang timbul kemudian, berapa faktor yang harus disarikan?. Ada beberapa prosedur yang diusulkan/ disarankan di dalam menentukan banyaknya faktor. Prosedur ini termasuk penentuan secara a priori (a priori determination) dan pendekatan berdasarkan pada eigen values, scree plot, percentage of variance accounted for, spil-half-releability dan

significances test. Penentuan banyaknya faktor lebih bersifat subyektif daripada ilmiah (Supranto, 2010).

5. Melakukan Rotasi Faktor-faktor

(47)

disebut dengan muatan faktor, mewakili korelasi antar faktor dan variabel. Suatu koefisien dengan nilai absolut/ mutlak yang besar menunjukkan bahwa faktor dan variabel berkorelasi sangat kuat. Koefisien dari matriks faktor bisa dipergunakan untuk menginterpretasikan faktor.

Meskipun matriks faktor awal yang belum dirotasi menunjukan hubungan antar faktor masing-masng variabel, jarang menghasilkan faktor yang bisa diinterpretasikan (diambil kesimpulannya), oleh karena faktor-faktor tersebut berkorelasi atau terikat dengan variabel (lebih dari satu).

Di dalam melakukan korelasi faktor, kita menginginkan agar setiap faktor mempunyai muatan atau koefisien yang tidak nol atau yang signifikan atau beberapa variabel saja. Dimana gunanya rotasi adalah untuk mengontrol/ memeriksa variabel yang belum layak dimasukkan menjadi layak dimasukkan dalam buat penamaan. Demikian halnya kita juga menginginkan agar setiap variabel mempunyai muatan yang tidak nol atau signifikan dengan beberapa faktor saja, kalau mungkin dengan satu faktor saja. Kalau terjadi bahwa beberapa faktor mempunyai muatan tinggi dengan variabel yang sama, sangat sulit untuk membuat interpretasi tentang terhadap seluruh varian (dari seluruh variabel asli) mengalami perubahan.

Ada dua metode rotasi yang berbeda yaitu :

(48)

orthogonal menghasilkan faktor-faktor yang tidak berkorelasi satu sama lain (uncorreclated

each other) antara lain none, equimax, varimax, quartimax, orthomax.

- None adalah pilih tidak untuk melakukan rotasi equimax solusi awal.

- Equimax adalah pilih untuk melakukan rotasi equimax solusi awal (gamma=jumlah faktor/2).

- Varimax adalah pilih untuk melakukan rotasi varimax solusi awal (gamma = 1) - Quartimax adalah pilih untuk melakukan rotasi quartimax solusi awal (gamma = 0) - Orthomax adalah pilih untuk melakukan rotasi orthomax solusi awal, kemudian

masukkan gamma nilai antara 0 dan 1.

2. Oblique rotation, kalau sumbu tidak dipertahankan harus tegak lurus sesamanya (bersudut 90o) dan faktor-faktor tidak berkorelasi. Kadang-kadang dengan membolehkan korelasi antar-faktor bisa menyederhanakan matriks faktor pola (factor pattern matrix). Oblique rotation harus dipergunakan kalau faktor dalam populasi berkorelasi sangat kuat

(Supranto, 2004).

6. Membuat Interpretasi Hasil Rotasi

Interpretasi mengenai faktor bisa dipermudah dengan mengenali (mengidentifikasi) variabel yang mempunyai nilai loading yang besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa diinterpretasikan menurut variabel-variabel yang mempunyai nilai loading yang tinggi dengan faktor tersebut. Bantuan di dalam interpretasi yang berguna lainnya ialah mengeplot variabel dengan menggunakan factor loading sebagai titik koordinat.

(49)

faktor yang bersangkutan (Supranto, 2010). Sedangkan variabel yang dekat dengan titik asal (perpotongan sumbu F1 dan F2) mempunyai muatan rendah (low loading) pada kedua faktor.

Variabel yang tidak dengan sumbu salah satu faktor berarti berkorelasi dengan kedua faktor tersebut. Kalau suatu faktor tidak bisa diberi label sebagai faktor tidak teridentifikasi atau faktor umum. Variabel- variabel yang berkorelasi kuat (nilai faktor loading yang besar) dengan faktor tertentu dan memberikan inspirasi nama faktor yang bersangkutan (Supranto, 2004). 7. Menghitung Skor dan Nilai Faktor

Nilai faktor adalah ukuran yang mengatakan representasi suatu variabel oleh masing-masing faktor. Nilai faktor menunjukkan bahwa suatu data mewakili karakteristik khusus yang direpresentasikan oleh faktor. Nilai faktor ini selanjutnya digunakan untuk analisis lanjutan.

Sebenarnya analisis tidak harus dilanjutkan dengan menghitug skor atau nilai faktor, sebab tanpa menghitung pun hasil analisis faktor sudah bermanfaat yaitu mereduksi variabel yang banyak menjadi variabel baru yang lebih sedikit dari variabel aslinya.

Masing-masing faktor dapat diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut: F1 = Wi1X1 + Wi2X2 + Wi3X3 +...+ WikXk

Dimana :

F1 adalah faktor

Wi adalah bobot variabel terhadap faktor k adalah jumlah variabel

X adalah variabel

(50)

yang semakin besar pada nilai faktor. Hal ini berlaku untuk keadaan sebaliknya (Rangkuti, 2002).

8. Memilih Surrogate Variables

Surrogate Variables adalah suatu bagian dari variabel asli yang dipilih untuk

digunakan di dalam analisis selanjutnya. Pemilihan Surrogate Variables meliputi dari sebagian dari beberapa variabel asli untuk dipergunakan di dalam analisis selanjutnya. Hal ini memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis lanjutan dan menginterpretasikan hasilnya dinyatakan dalam variabel asli bukan dalam skor faktor. Dengan meneliti matriks faktor, kita bisa memilih untuk setiap faktor variabel dengan muatan tinggi pada faktor yang bersangkutan.

Variabel tersebut kemudian bisa dipergunakan sebagai variabel pengganti atau Surrogate Variables untuk faktor yang bersangkutan. Proses untuk mencari variabel pengganti akan berjalan lancar kalau muatan faktor (factor loading) untuk suatu variabel jelas-jelas lebih tinggi dari pada muatan faktor lainnya. Akan tetapi pilihan menjadi susah, kalau ada dua variabel atau lebih mempunyai muatan yang sama tingginya. Di dalam hal seperti ini, pemilihan antara variabel-variabel ini harus didasarkan pada pertimbangan teori dan pengukuran sebagai contoh, mungkin teori menyarankan bahwa suatu variabel dengan muatan sedikit lebih kecil mungkin lebih penting daripada dengan sedikit lebih tinggi.

(51)

9. Proses Analisis Faktor

Secara garis besar tahapan pada analisis faktor adalah sebagai berikut :

1. Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor. Oleh karena analisis faktor berupaya mengelompokkan sejumlah variabel, maka seharusnya ada korelasi yang cukup kuat diantara variabel, sehingga akan terjadi pengelompokkan. Jika sebuah variabel atau lebih berkorelasi lemah dengan variabel lainnya, maka variabel tersebut

akan dikeluarkan dari analisis faktor. Alat seperti MSA atau Barlett‟s Test dapat

digunakan untuk keperluan ini.

2. Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan “ekstraksi” variabel tersebut sehingga menjadi satu atau beberapa faktor.

3. Faktor yang terbentuk pada banyak kasus kurang menggambarkan perbedaan diantara faktor-faktor yang ada. Hal tersebut akan mengganggu analisis, karena justru sebuah faktor harus berbeda secara nyata dengan faktor lain.

4. Jika isi faktor diragukan, dapat dilakukan proses rotasi untuk memperjelas apakah faktor terbentuk sudah secara signifikan berbeda dengan faktor lain.

(52)

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

h

Faktor yang mempengaruhi hubungan seksualitas terhadap lansia :

1. Pendidikan 2. Usia lansia 3. Pengetahuan

lansia 4. Penyakit 5. Tabu 6. Budaya

7. Menurunnya daya tarik terhadap pasangan 8. Bosan 9. Kecemasan

Analisis faktor

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penerapan analisis faktor eksplanatori yang mempengaruhi hubungan seksual terhadap lanjut usia.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tanah Luas. Pemilihan lokasi ini, karena di lokasi ini belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan seksual lansia, selain itu juga mudah bagi peneliti untuk menjangkau tempat penelitian. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2013 s/d Januari 2014.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah para lansia dalam wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara jumlah lansia berusia > 60 tahun sebanyak 1200 orang (Data Base Usila 2012 Puskesmas Tanah Luas).

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi. Besarnya sampel yang diambil dalam penelitian ini menggunakan rumus Lemeshow (1997), yaitu :

n

(Lemeshow, 1997).

Di mana :

n = Jumlah sampel (responden dalam penelitian)

(54)

Zβ = Derivat baku betha, untuk Zβ = 0,10 maka Zβ = 1,282 Po = Proporsi lansia yang mengunjungi puskesmas = 0,30 Qo = 1 – Po = 0,70

Po – Pa = Beda proporsi yang bermakna = 0,15 Pa = Proporsi lansia pada saat penelitian = 0,45 Qa = 1 – Pa = 0,55

Jumlah sampel adalah :

n ≥

n ≥

n ≥ 105

maka jumlah sampel minimal adalah 105 orang, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling, yaitu bedasarkan semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi (Sudigdo, 2010).

Sampel yang dipilih memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Responden merupakan lansia wanita yang berusia ≥ 60 tahun

2. Responden bersedia untuk diwawancarai dan mampu menjawab pertanyaan dengan baik 3. Responden tidak dalam keadaan sakit parah.

3.4 Metode Pengumpulan Data

(55)

Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada responden yang merupakan

lanjut usia wanita yang berusia ≥ 60 tahun yang berada di Puskesmas Tanah Luas. Cara

pengumpulan data yaitu dengan cara wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan diambil secara consecutive sampling sampai jumlah responden yang diinginkan terkumpul. 2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari Data Base Usila 2012 Puskesmas Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara.

3.5 Definisi Operasional

1. Umur lansia adalah lamanya waktu responden hidup dihitung dari tanggal lahir ulang tahun terakhir saat dilakukan wawancara.

2. Lama Pendidikan lansia adalah pernyataan responden tentang lamanya jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh dan dihitung dengan tahun.

3. Pengetahuan lansia adalah pemahaman lansia yang menyangkut tentang hubungan seksual pada usia lanjut.

4. Penyakit adalah keadaan abnormal atau disfungsi pada organ tubuh yang dirasakan oleh lansia.

5. Tabu bersangkut paut dengan larangan berbicara dan bertindak terhadap seks.

6. Budaya adalah pandangan sosial terhadap lansia menyangkut hubungan seksual yang berkembang di lingkungan.

7. Menurunnya daya tarik terhadap pasangan adalah berkurangnya ketertarikan lansia terhadap pasangannya (suami).

8. Bosan adalah kejenuhan lansia terhadap aktivitas seksual.

(56)

3.6 Aspek Pengukuran

Aspek pengukuran untuk variabel lama pendidikan lansia yang telah ditempuh dan dihitung dengan tahun, yaitu :

1. Tidak tamat SD/ tidak sekolah (0 tahun) diberi nilai 1

2. SD (1-6 tahun) diberi nilai 2

3. SLTP (6-9 tahun) diberi nilai 3

4. SLTA (9-12 tahun) diberi nilai 4

5. AKADEMI/ PT (12-16 tahun) diberi nilai 5

Untuk pengukuran masing-masing variabel (pengetahuan,usia, penyakit, tabu, budaya, daya tarik, bosan dan kecemasan) menggunakan skala interval, responden diminta untuk menunjukkan tingkat persetujuan (level of agreement) dimana setiap variabel yang ditanya diberi nilai 1 (tidak ada sama sekali) sampai 10 (sangat besar) agar variabelnya dapat diukur dan diuji. Skala yang digunakan adalah skala penilaian grafik (graphic rating scale).

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak ada sama sekali sangat besar

No. Variabel Skala pengukuran

1. Usia lansia Interval

2. Pendidikan lansia Interval

(57)

3.7Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan komputer. Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis faktor. Adapun langkah dalam analsis faktor yaitu :

1. Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor. Analisis faktor berupaya mengelompokkan sejumlah variabel, maka ada korelasi yang cukup kuat diantara variabel, sehingga akan terjadi pengelompokkan. Jika sebuah veriabel atau lebih berkorelasi lemah dengan variabel lainnya, maka variabel tesebut akan dikeluarkan dari analisis faktor. Alat seperti MSA atau Barlett’s Test dapat digunakan untuk keperluan ini.

2. Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan “ekstraksi” variabel tersebut sehingga menjadi satu atau beberapa faktor. Metode pencarian faktor yang digunakan adalah principal component analysis.

3. Faktor yang terbentuk, pada banyak kasus kurang menggambarkan perbedaan diantara faktor-faktor yang ada.

4. Setelah faktor benar-benar terbentuk, maka proses dilanjutkan dengan menamakan faktor yang ada.

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Puskesmas Tanah Luas 4.1.1. Lokasi Puskesmas Tanah Luas

Puskesmas Tanah Luas terletak di jalan Teungku Di Balee Kecamatan tanah Luas Kabupaten Aceh Utara.

4.1.2. Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas

Dalam melaksanakan kegiatannya, puskesmas Tanah Luas Melayani 57 desa. Pada wilayah kerja puskesmas Tanah Luas, tidak terdapat puskesmas pembantu. Luas wilayah kerja puskesmas Tanah Luas adalah 30.64 km2. Dengan jumlah penduduk lanjut usia 1200 orang. 4.2.Gambaran Responden

Gambaran responden diperoleh berdasarkan karakteristik responden yaitu umur, pendidikan.

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Lansia di Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara 2013.

Umur Lansia Frekuensi Persen (%)

60 – 64 tahun 43 40.90

65 – 69 tahun 34 32.40

70 – 74 tahun 26 24.80

75 – 79 tahun 2 1.90

Jumlah 105 100.00

(59)

Tabel 4.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Lansia di Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara 2013.

Pendidikan Lansia Frekuensi Persen (%)

Tidak tamat SD 64 60.95

SD 38 36.20

SMP 3 2.85

Jumlah 105 100.00

Dari tabel 4.2. di atas dapat dilihat bahwa pendidikan responden terbanyak adalah tidak tamat SD yaitu 64 orang (60.95%), dan yang paling sedikit adalah tamat SMP yaitu 3 orang (2.85%).

4.3.Analisis Faktor

Dalam penelitian ini, faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara dipengaruhi oleh 9 variabel yaitu pendidikan, usia lansia, pengetahuan lansia, penyakit, tabu, budaya, menurunnya daya tarik terhadap pasangan, bosan, dan kecemasan. Untuk itu perlu dilakukan uji kelayakan dengan melihat nilai KMO (Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy) dan Barlett‟s Test. KMO digunakan untuk mengukur kecukupan sampling dan membandingkan besarnya koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi antar pasangan variabel. Sedangkan

(60)

4.3.1. Uji Kelayakan Faktor

Pada uji kelayakan I angka KMO dan Barlett‟s Test adalah 0.772 dengan signifikan 0.000 maka variabel dan sampel yang ada dapat dianalisis lebih lanjut karena memiliki nilai KMO diatas 0.5 dan nilai signifikan < 0.05.

Tabel 4.3. Nilai Anti Image Matrices

Variabel Pendi

Pada tabel 4.3. terlihat sejumlah angka yang membentuk diagonal (dari kiri atas ke kanan bawah) khususnya pada angka korelasi yang bertanda “a” (Nilai Anti Image Matrics) yang menunjukkan nilai MSA sebuah variabel. Pada uji kelayakan I, tidak ada variabel yang mempunyai nilai MSA di bawah 0.5, sehingga uji kelayakan dilakukan sebanyak satu kali dan semua variabel (9 variabel) dapat dilakukan analisis faktor selanjutnya.

4.3.2. Faktoring

(61)

4.3.3. Communalities

Communalities pada dasarnya adalah sejumlah varians (bisa dari persen) dari suatu variabel mula-mula yang bisa dijelaskan oleh faktor yang ada.

Metode yang digunakan untuk melakukan ekstraksi pada penelitian ini adalah metode Principal Component Analysis dengan ketentuan bahwa semakin besar communalities sebuah

variabel, berarti semakin erat hubungan dengan faktor yang terbentuk dan sebaliknya. Tabel 4.4. Tabel Communalities

Total Variance Explained menerangkan nilai persen dari varians yang mampu diterangkan oleh banyaknya faktor yang terbentuk. Nilai ini didasarkan dari nilai eigenvalue.

Gambar

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Lansia di Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara 2013
Tabel 4.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Lansia di Kecamatan Tanah
Tabel 4.3. Nilai Anti Image Matrices
Tabel 4.4. Tabel Communalities
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui pengaruh pola jalan lanjut usia berdasarkan lebar langkah, panjang langkah dan kecepatan berjalan terhadap risiko jatuh di Posyandu Lansia

Kesimpulan: Terdapat hubungan pengetahuan dengan kepatuhan diet rendah garam pada lanjut usia (Lansia) penderita hipertensi di Puskesmas Kalimanah Purbalingga.. Kata Kunci:

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Aceh Timur [tesis].. Medan: Program Pasca Sarjana,

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kunjungan Lanjut Usia (Lansia) Ke Posyandu Lansia di RW 03 Kurao Pagang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Kecamatan Nanggalo

Disarankan kepada petugas kesehatan puskesmas Langkimat perlu meningkatkan kegiatan pelayanan kepada lanjut usia, khususnya melalui kegiatan posyandu lansia dan

Pengarus Persepsi Usila Tentang Posyandu Lansia terhadap Tingkat Pemanfaatan Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Martoba Kota Pematangsiantar Tahun 2010, Skripsi,

Ha pada penelitian ini adalah ada hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. Kata kunci

20 Determinan Partisipasi Lansia Terhadap Pemanfaatan Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Bangka Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara Fatima Zahara,