LAMPIRAN A
DATA PERCOBAAN 1. KEADAAN TANPA DI HUJANI3. 3,0 21,0 20,3 20,9 20,9 21,0 20,82 21,39
4. 2,5 17,3 19,9 20,0 20,0 20,2 20,82 20,02
5. 2,0 18,4 18,6 19,7 19,5 18,7 18,98 19,50
6 1,5 16,8 15,1 16,9 16,8 16,7 16,46 16,91
Tabel A.3
Elektroda Jarum Piring
T = 27,7 oC P = 753,3 mmHg
δ = 0,967
NON
No.
Jarak Sela Elektroda
(cm)
Pengukuran Tegangan Vb (kV) Rata – Rata Vb (kV)
Rata – Rata Vs (kV)
1 2 3 4 5
1. 4,0 27,9 26,1 25,9 25,2 26,7 26,36 27,25
2. 3,5 24,3 23,6 24,4 23,8 24,9 24,2 25,02
3. 3,0 22,0 23,4 22,4 21,2 22,0 22,2 22,95
4. 2,5 20,7 19,2 20,5 20,3 20,1 20,16 20,84
5. 2,0 15,0 14,3 15,2 14,6 14,6 14,74 15,24
2. KEADAAN DIHUJANI KETINGGIAN 1 METER
Elektroda Jarum - Jarum
4. 2,5 16,2 16,7 17,1 16,8 15,6 16,48 17,06
5. 2,0 14,8 13,9 15,2 15,5 15,9 15,06 15,59
6. 1,5 12,9 12,7 13,6 12,5 12,8 12,9 13,35
Tabel A.6
Elektroda Jarum Piring
T = 27,0 oC P = 757,1 mmHg
2. 3,5 32,7 31,3 30,2 32,1 30,8 31,42 32,25
3. 3,0 28,2 29,8 27,1 28,7 30,1 28,78 29,54
4. 2,5 27,1 27,2 26,7 26,1 26,9 26,8 27,51
5. 2,0 24,2 23,7 24,6 23,8 24,4 24,14 24,78
6. 1,5 22,5 22,9 21,6 22,1 21,2 22,06 22,64
Tabel A.8
Elektroda Jarum - Jarum
T = 28,1 oC P = 756,3 mmHg
δ = 0,969
NON
No.
Jarak Sela Elektroda
(cm)
Pengukuran Tegangan Vb (kV) Rata – Rata Vb (kV)
Rata – Rata Vs (kV)
1 2 3 4 5
1. 4,0 25,2 23,4 24,3 23,2 24,8 24,18 24,95
2. 3,5 21,8 21,4 21,9 21,5 21,2 21,56 22,25
3. 3,0 18,1 19,1 18,7 18,4 18,6 18,58 19,17
4. 2,5 16,4 14,9 15,9 15,3 16,2 15,74 16,24
5. 2,0 14,0 14,2 14,5 14,6 14,4 14,34 14,79
Tabel A.9
Elektroda Jarum Piring
4. 2,5 25,4 24,4 24,1 21,6 23,0 23,7 24,48
5. 2,0 21,4 22,8 21,4 21,0 20,5 21,42 22,12
6. 1,5 17,9 17,3 17,4 18,1 17,6 17,66 18,24
Tabel A.11
Elektroda Jarum - Jarum
T = 28,7 oC P = 754,7 mmHg
Elektroda Jarum Piring
3. 3,0 17,6 18,2 16,9 17,7 18,2 17,72 18,36
4. 2,5 16,1 16,9 15,5 15,2 16,1 15,96 16,53
5. 2,0 12,1 12,5 12,8 13,1 12,9 12,68 13,13
6. 1,5 10,4 10,9 10,2 9,8 10,3 10,32 10,73
D. Ukuran Butiran 2,5 mm (ʋ = 4,0 m/s)
Tabel A.13
Elektroda Bola – Bola
T = 26,8 oC P = 754,4 mmHg
δ = 0,971
NON
No.
Jarak Sela Elektroda
(cm)
Pengukuran Tegangan Vb (kV) Rata – Rata Vb (kV)
Rata – Rata Vs (kV)
1 2 3 4 5
1. 4,0 30,2 30,4 30,8 31,2 31,4 30,8 31,71
2. 3,5 27,1 27,9 27,2 27,0 27,7 27,38 28,19
3. 3,0 24,4 24,1 23,2 24,1 23,5 23,86 24,57
4. 2,5 21,5 22,1 21,2 20,8 21,7 21,46 22,10
5. 2,0 18,1 18,6 19,1 18,2 17,8 18,36 18,90
Tabel A.14
Elektroda Jarum - Jarum
T = 26,4 oC P = 754,8 mmHg
Elektroda Jarum Piring
5. 2,0 12,6 12,7 12,1 11,8 11,9 12,22 12,57
Elektroda Jarum - Jarum
2. 3,5 18,1 17,8 18,6 17,5 18,4 18,08 18,62
3. 3,0 17,8 17,2 16,4 16,7 17,5 17,12 17,63
4. 2,5 14,6 13,1 13,9 14,7 13,2 13,9 14,13
5. 2,0 12,9 12,1 12,8 12,9 13,4 12,82 13,20
6. 1,5 10,1 10,6 9,4 9,7 8,9 9,74 10,03
Tabel A.18
Elektroda Jarum Piring
T = 26,8 oC P = 754,2 mmHg
δ = 0,971
NON
No.
Jarak Sela Elektroda
(cm)
Pengukuran Tegangan Vb (kV) Rata – Rata Vb (kV)
Rata – Rata Vs (kV)
1 2 3 4 5
1. 4,0 20,1 19,7 18,9 19,5 19,8 19,6 20,18
2. 3,5 18,4 17,8 18,7 18,4 18,1 18,28 18,82
3. 3,0 15,7 15,1 14,8 15,5 14,9 15,2 15,65
4. 2,5 14,1 13,5 13,7 12,8 12,6 13,34 13,73
5. 2,0 11,2 11,6 10,1 11,8 11,5 11,24 11,57
3. KEADAAN DIHUJANI KETINGGIAN 2 METER
Elektroda Jarum - Jarum
3. 3,0 18,9 19,1 18,2 18,4 18,4 18,6 19,03
4. 2,5 16,1 15,8 15,9 16,5 16,2 16,1 16,47
5. 2,0 14,1 14,5 14,7 14,2 15,1 14,52 14,86
6. 1,5 12,8 12,1 12,0 12,4 12,2 12,3 12,58
Tabel A.21
Elektroda Jarum Piring
T = 27,1 oC P = 757,0 mmHg
δ = 0,973
NON
No.
Jarak Sela Elektroda
(cm)
Pengukuran Tegangan Vb (kV) Rata – Rata Vb (kV)
Rata – Rata Vs (kV)
1 2 3 4 5
1. 4,0 22,8 23,2 23,1 22,7 22,5 22,86 23,49
2. 3,5 20,8 21,2 21,8 21,4 21,6 21,36 21,95
3. 3,0 17,6 17,9 18,4 18,1 18,9 18,18 18,68
4. 2,5 16,1 16,5 16,8 16,4 15,8 16,32 16,77
5. 2,0 13,2 13,0 13,0 13,4 12,8 13,08 13,47
B. Ukuran Butiran 1,5 mm
Elektroda Jarum - Jarum
5. 2,0 14,0 13,7 13,1 13,0 13,2 13,4 13,74
6. 1,5 11,1 11,3 12,1 11,0 12,1 11,52 11,81
Tabel A.24
Elektroda Jarum Piring
2. 3,5 26,4 26,0 25,4 26,2 26,1 26,02 26,85
3. 3,0 22,4 23,4 23,5 23,4 23,2 23,26 24,0
4. 2,5 22,1 22,4 21,8 22,6 22,1 22,2 22,91
5. 2,0 19,8 20,1 20,3 19,7 19,6 19,9 20,53
6. 1,5 15,8 16,4 16,8 17,1 16,2 16,46 16,98
Tabel A.26
Elektroda Jarum - Jarum
T = 28,2 oC P = 756,2 mmHg
δ = 0,969
NON
No.
Jarak Sela Elektroda
(cm)
Pengukuran Tegangan Vb (kV) Rata – Rata Vb (kV)
Rata – Rata Vs (kV)
1 2 3 4 5
1. 4,0 22,4 24,1 22,0 22,2 21,7 22,48 23,19
2. 3,5 20,6 20,1 19,8 20,5 20,8 20,36 21,01
3. 3,0 19.0 18,1 18,2 18,0 18,8 18,42 19,00
4. 2,5 15,1 15,8 16,1 15,4 15,2 15,52 16,01
5. 2,0 13,4 13,2 13,0 13,1 13,2 13,18 13,60
Tabel A.27
Elektroda Jarum Piring
T = 28,6 oC P = 755,6 mmHg
5. 2,0 17,8 17,0 18,0 17,4 17,6 17,56 18,15
6 1,5 16,1 16,4 17,0 15,8 16,2 16,3 16,85
Tabel A.29
Elektroda Jarum - Jarum
T = 28,7 oC P = 755,5 mmHg
Elektroda Jarum Piring
4. 2,5 14,1 14,6 15,1 14,2 14,7 14,54 15,03
Elektroda Jarum - Jarum
(kV)
Elektroda Jarum Piring
4. KEADAAN DIHUJANI KETINGGIAN 3 METER
Elektroda Jarum - Jarum
4. 2,5 15,9 16,3 16,5 15,6 16,2 16,1 16,56
5. 2,0 14,0 14,5 13,9 15,3 14,7 14,48 14,89
6. 1,5 12,5 12,1 12,8 13,4 13,1 12,78 13,14
Tabel A.36
Elektroda Jarum Piring
T = 27,0 oC P = 757,1 mmHg
1. 4,0 32,7 30,5 29,7 31,5 29,6 30,8 31,42
Elektroda Jarum - Jarum
T = 26,9 oC P = 759,9 mmHg
Elektroda Jarum Piring
T = 26,1 oC P = 758,3 mmHg
δ = 0,978
NON Jarak Sela Elektroda
Tabel A.41
Elektroda Jarum - Jarum
T = 28,2 oC P = 755,3 mmHg
Elektroda Jarum Piring
6. 1,5 10,1 9,8 10,2 10,4 10,1 10,12 10,46
D. Ukuran Butiran 2,5 mm (ʋ = 5,8 m/s)
Elektroda Jarum - Jarum
3. 3,0 17,7 18,2 17,7 17,6 17,8 17,8 18,23
4. 2,5 14,1 14,3 14,7 14,2 14,2 14,3 14,65
5. 2,0 12,6 12,9 12,7 12,2 12,9 12,66 12,97
6 1,5 10,5 10,3 9,9 10,5 10,6 10,36 10,61
Tabel A.45
Elektroda Jarum Piring
T = 28,0 oC P = 757,3 mmHg
δ = 0,971
NON
No.
Jarak Sela Elektroda
(cm)
Pengukuran Tegangan Vb (kV) Rata – Rata Vb (kV)
Rata – Rata Vs (kV)
1 2 3 4 5
1. 4,0 19,1 19,8 20,2 21,0 20,0 20,02 20,61
2. 3,5 18,6 18,7 19,3 18,2 17,8 18,52 19,07
3. 3,0 16,1 15,7 15,1 15,2 15,1 15,44 15,90
4. 2,5 14,1 14,3 14,1 14,4 14,2 14,22 14,64
5. 2,0 11,6 11,3 11,8 11,7 11,8 11,64 11,98
E. Ukuran Butiran 3 mm
Elektroda Jarum - Jarum
4. 2,5 14,3 14,7 14,1 13,8 14,7 14,32 14,79
5. 2,0 12,1 12,0 12,8 12,6 12,4 12,38 12,78
6. 1,5 9,1 9,4 10,1 9,4 9,3 9,46 9,77
Tabel A.48
Elektroda Jarum Piring
T = 28,6 oC P = 755,7 mmHg
δ = 0,967
NON
No.
Jarak Sela Elektroda
(cm)
Pengukuran Tegangan Vb (kV) Rata – Rata
Vb (kV)
Rata – Rata
Vs (kV)
1 2 3 4 5
1. 4,0 19,1 18,8 19,4 19,4 19,0 19,14 19,79
2. 3,5 17,6 17,4 17,2 17,9 17,6 17,54 18,13
3. 3,0 14,6 14,7 14,9 14,6 15,1 14,78 15,28
4. 2,5 12,8 12,5 12,6 12,8 12,4 12,62 13,05
5. 2,0 10,1 10,4 10,3 9,8 10,4 10,2 10,54
LAMPIRAN B
GAMBAR PENGUJIAN DAN PERALATAN PERCOBAAN
Gambar L.3 Elektroda yang Digunakan Untuk Pengujian, yaitu Jarum-Jarum, Bola-Bola dan Jarum Piring
Gambar L.5 Motor Listrik yang Dikopel dengan Plat Tipis Untuk Diputar
DAFTAR PUSTAKA
1. Agustiarni, Yeni., ―Pengaruh Hutan Kota Dalam Mengurangi Hujan Asam di Kawasan Industri (Studi Kasus di Kawasan Industri Medan, Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan
Deli, Medan)”, Tugas Akhir Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian – USU, Medan, 2008. 2. Holtzhausen, J. P., ‖High Voltage Insulators‖, IDC Technologies.
3. Jati, Suharso, ‖ Pengaruh Kenaikan Temperatur Dan Kontaminasi Asap Terhadap Tegangan
Tembus Pada Isolasi Gas Melalui Pengujian Menggunakan Elektroda Homogen Berbentuk
Jarum ”, Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik – UNDIP, Semarang, 2006 4. Kuffel, E., dkk, ―High Voltage Engineering: Fundamentals‖, edisi kedua, Oxford:
Butterworth-Heinemann, 2000.
5. Linsley, Ray K., dkk, ―Hidrologi Untuk Insinyur‖, Edisi ketiga, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986.
6. Tobing, Bonggas L., ―Peralatan Tegangan Tinggi‖, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2003.
7. Tobing, Bonggas L., ―Dasar-dasar Teknik Pengujian Tegangan Tinggi‖, edisi kedua,
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012.
8. Seyhan, Ersin, “Dasar – Dasar Hidrologi”, Yogiakarta : Gadjah Mada University Press, 1997.
9. Sosrodarsono, Suyono.,‖Hidrologi Untuk Pengairan‖, Jakarta : PT. Abadi, 2003.
10. Wibowo, Arif, ‖ Modul Praktikum Untuk Menguji Tegangan Tembus Udara Pada
Temperatur dan Tekanan yang Bervariasi Menggunakan Elektroda Bola ”, Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik – UNDIP, Semarang, 2007
11. Wilvian. “Pengaruh Kelembaban Terhadap Tegangan Flashover Ac Isolator Piring”, Tugas
Akhir Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik – USU, Medan, 2012
12. Winoto, Mohammad A.,‖Analisis Perbandingan Nilai Tegangan Tembus Dielektrik Udara
Pada Kondisi Basah Dengan Pemodelan Cairan Yang Dominan Asam, Basa, Garam, Serta
Air Hujan Pegunungan Dengan Menggunakan Elektroda Bola-Bola Dan Jarum-Jarum”,
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1.Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2013 di Laboratorium Teknik Tegangan Tinggi, Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.
3.2.Bahan Pengujian - Air Hujan (±40 Liter)
Air hujan ditampung dalam wadah jerigen yang bersih dan baru, yang diambil langsung saat hujan datang di halaman yang terbuka untuk menghindari kontaminasi dari benda – benda lain atau atap rumah.
3.3.Alat Penelitian dan Spesifikasinya
Peralatan - Peralatan yang digunakan untuk melakukan pengujian meliputi :
1 unit trafo uji
Spesifikasi: 200/100.000 Volt; 50 Hz; 10 kVA.
1 unit autotrafo
Spesifikasi: 220/0-200 Volt; 10 kVA.
1 unit tahanan peredam Spesifikasi: 10 MΩ; 60 MW.
Elektroda (bola –bola, jarum – jarum, jarum piring)
1 unit barometer/humiditymeter/thermometer digital
Spesifikasi: merek Lutron PHB 318; range tekanan 7,5-825,0 mmHg; range kelembaban 10-110 %RH; range suhu 0-50 °C.
1 unit multimeter
Spesifikasi: merek Excel DT9205A; 0,2-750 VAC; 0,2-1000 VDC; 0,02-20 AAC; 0,002-20 ADC.
Tegangan rendah bolak balik 220 VF-N frekuensi 50 Hz,
Peralatan pembuat simulasi hujan
Pompa air listrik
3.3.1 Kotak Uji
Ada 2 kotak uji yang digunakan dalam penelitian ini, dimana kotak uji ini berbentuk balok.
Kotak uji yang pertama terbuat dari bahan plastic acrylic transparan dengan ketebalan 3 mm dan ukuran dimensi luar yaitu panjang 50 cm, lebar 40 cm dan tinggi 150 cm.
Kotak uji yang kedua terbuat dari bahan kaca dengan ketebalan 5 mm dimana memiliki ukuran panjang 50 cm, lebar 40 cm dan tinggi 50 cm. Kotak uji digunakan untuk meletakkan elektroda bola -bola, elektroda jarum – jarum, dan elektroda jarum piring sebagai media uji untuk mengetahui tegangan tembus udara, seperti yang terlihat pada Gambar. 3.1
3.3.2. Elektroda
Pada percobaan ini elektroda yang digunakan adalah elektroda bola – bola, elektroda jarum – jarum dan elektroda jarum piring. Berikut ini spesifikasi elektroda yang digunakan tersebut :
Elektroda Bola
Elektroda bola yang digunakan untuk pengukuran tegangan tembus dielektrik udara dibuat dengan menggunakan bahan stainless steel beronnga dengan diameter 5 cm, seperti yang terlihat pada Gambar 3.2. Jarak elektroda akan mempengaruhi tegangan tembus yang diterapkan pada isolasi gas. Jarak elektroda pada pengujian adalah bevariasi mulai dari 1,5 cm, 2,0 cm, 2,5 cm, 3,0 cm, 3,5 cm, dan 4,0 cm.
DIAMETER BOLA 5 cm DIAMETER
BOLA 5 cm DIAMETER
BOLA 5 cm
Gambar 3.2 Elektroda Bola
Diameter elektroda (d) = 5 cm
Material bahan elektroda = Stainless steel
Elektroda Jarum
2,5 cm 4,5 cm
1 cm
2,2 cm
Gambar 3.3 Elektroda Jarum
Diameter elektroda (d) = 15 mm Sudut kelancipan elektroda (α) = 45 o Material bahan elektroda = Besi (Fe)
Elektroda Jarum Piring
Elektroda piring yang digunakan dalam percobaan ini memiliki diameter 10 cm yang terbuat dari bahan besi baja. Sementara untuk elektroda jarum, menggunakan elektroda jarum yang sama pada percobaan elektroda jarum – jarum seperti yang terlihat pada Gambar 3.4 dibawah ini. Sementara jarak sela elektroda pada pengujian jarum piring juga sama seperti pada pengujian pada elektroda bola – bola dan jarum – jarum.
2,5 cm 4,5 cm
1 cm
2,2 cm 1,5 cm
Gambar 3.4 Elektroda Jarum Piring
3.3.3. Pembuatan Simulasi Hujan
Pembuatan simulasi hujan dilakukan untuk melakukan media pengujian kotak uji pada kondisi hujan, dimana ukuran butiran air hujan dapat diatur dengan membuat lubang pada silinder tabung hujan yang bervariasi mulai berukuran 1 mm, 1,5 mm, 2 mm, 2,5 mm dan 3 mm. Seperti pada Gambar 3.5 berikut ini.
`
Gambar 3.5 Lubang Silinder Tabung Hujan yang Membuat Ukuran Butiran Air Hujan dapat di Atur
Air hujan dimasukkan kedalam silinder tabung hujan yang telah diberi lubang tersebut sesuai ukuran butiran air hujan yang hendak diuji. Kemudian
sebuah plat tipis berbentuk lingkaran berdiameter 7 cm yang dikopel dengan sebuah motor listrik dan juga telah dilubangi dengan ukuran lubang yang sama
adalah supaya air hujan yang lewat dari tabung hujan ini seolah-olah terputus, dimana saat keadaan lubang pada tabung hujan bertemu dengan lubang pada plat tipis maka air hujan dapat mengalir atau jatuh, demikian pada hal sebaliknya diamana saat lubang pada tabung hujan tidak bertemu dengan lubang pada plat tipis maka air hujan tidak dapat mengalir atau jatuh. Sehingga air hujan yang mengalir jatuh seolah-olah terputus, sesuai keadaan hujan yang sesungguhnya. Peralatan simulasi hujan yang dibuat dapat dilihat seperti pada Gambar 3.6 dibawah ini.
Keterangan :
1. Motor listrik, untuk memutar plat tipis dalam tabung hujan 2. Besi tiang penyangga
3. Selang, dimana tempat masuknya air hujan ke tabung hujan
4. Silinder Tabung hujan, tempat penampungan air hujan yang terbuat dari stainless stell guna untuk memastikan tidak adanya kontaminasi antara wadah silinder tabung hujan dengan air hujan.
5. Kotak uji
6. Elektroda bola
7. As besi, untuk mengkopel plat tipis dengan motor listrik
8. Karton untuk mengurangi efek kapasitasi dengan tiang penyangga 9. Kaki besi
3.4. Variasi Pengujian
Dalam percobaan ini, variasi pengujian dilakukan untuk mengetahui bagaimana perubahan nilai tegangan tembus udara pada keadaan :
Kondisi sebelum di hujani
Kondisi saat dihujani dengan ukuran butiran air hujan yang bervariasi yaitu mulai berukuran diameter 1 mm, 1,5 mm, 2 mm, 2,5 mm dan 3 mm.
Kondisi saat dihujani dengan jarak ketinggian jatuh hujan yang bervariasi yaitu mulai ketinggian 1 m, 2 m, dan 3 m. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan variasi kecepatan jatuhnya tetesan hujan yang berbeda juga. Sesuai dengan yang terlihat digrafik pada Gambar 2.21 di Bab 2, dimana kecepatan jatuhnya tetesan hujan berhubungan dengan ketinggian dan diameter butiran air hujan.
3.5. Prosedur Percobaan
3.5.1. Pengujian Tegangan Tembus Udara Sebelum Di Hujani Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mempersiapkan alat dan bahan. 2. Pastikan sistem dalam keadaan Off.
3. Masuk kesangkar Faraday (ruang pengujian) dengan membawa stick grounding yang terdapat disisi pintu masuk untuk membuang tegangan sisa.
4. Membuat rangkaian percobaan seperti pada Gambar 3.7 dibawah ini :
Rp
S1
V
TU
AT
KOTAK UJI
Vin
S2
Ket : AT = Autotrafo; TU = Trafo uji; S1 = Saklar utama; S2 = Saklar sekunder; Rp = Tahanan peredam; Vin = Tegangan masukan; V = Voltmeter
Gambar 3.7 Rangkaian Percobaan Sebelum Dihujani
5. Memastikan rangkaian telah tersusun dan terhubung dengan baik dan benar untuk menghindari kesalahan dalam pengujian.
6. Mengatur jarak sela elektroda bola, pada jarak 4,0 cm. 7. Mengukur temperatur dan tekanan pada ruang uji.
10.Tegangan keluaran AT dinaikkan secara bertahap sampai terjadi tegangan tembus pada udara.
11. Pada saat yang bersamaan, tegangan V dicatat dan saklar S1 dan S2 dibuka.
12.Ulangi langkah 8-11 sampai 5 kali hingga diperoleh lima data tegangan tembus udara pada kondisi jarak sela 4,0 cm yang nanti dihitung tegangan rata-ratanya guna untuk memperoleh data yang lebih akurat.
13.Langkah 12 dilakukan untuk jarak sela elektroda bola yang bervariasi yaitu 3,5 cm, 3,0 cm, 2,5 cm, 2,0 cm dan 1,5 cm.
14.Ulangi semua langkah (1-13) diatas untuk pengujian elektroda jarum – jarum dan elektroda jarum piring.
3.5.2. Pengujian Tegangan Tembus Udara Pada Saat Keadaan Hujan Dengan Ukuran Butiran Hujan yang Bervariasi di Ketinggian Jatuh Hujan 1 meter.
Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Mempersiapkan alat dan bahan.
2. Pastikan sistem dalam keadaan Off.
3. Masuk kesangkar Faraday (ruang pengujian) dengan membawa stick grounding yang terdapat disisi pintu masuk untuk membuang tegangan sisa.
4. Membuat rangkaian percobaan seperti pada Gambar 3.8 dibawah ini
Rp
5. Memastikan rangkaian telah tersusun dan terhubung dengan baik dan benar untuk menghindari kesalahan dalam pengujian.
6. Mengatur ketinggian jatuhnya air hujan pada ketinggian 1 m, seperti pada Gambar 3.8.
7. Memasang lubang hujan yang berdiameter 1 mm pada silinder tabung hujan. 8. Mengatur jarak sela elektroda bola, pada jarak 4,0 cm.
9. Mengukur temperatur dan tekanan pada ruang uji.
10.Saklar utama S1 ditutup dan AT diatur hingga tegangan keluarannya nol.
11. Kemudian saklar sekunder S2 ditutup.
12.Tegangan keluaran AT dinaikkan secara bertahap sampai terjadi tegangan tembus pada udara.
13. Pada saat yang bersamaan, tegangan V dicatat dan saklar S1 dan S2 dibuka. 14.Ulangi langkah 10 -12 sampai 5 kali hingga diperoleh lima data tegangan tembus
udara pada kondisi jarak sela 4,0 cm yang nanti dihitung tegangan rata-ratanya guna untuk memperoleh data yang lebih akurat.
15.Langkah 8 - 12 dilakukan untuk jarak sela elektroda bola yang bervariasi yaitu 3,5 cm, 3,0 cm, 2,5 cm, 2,0 cm dan 1,5 cm.
16.Ulangi langkah 8-15 diatas untuk pengujian elektroda jarum – jarum dan elektroda jarum piring.
17.Ulangi kembali langkah 7-16 untuk pengujian diameter butiran hujan yang berbeda yaitu 1,5 mm, 2 mm, 2,5 mm, dan 3 mm.
3.5.3. Pengujian Tegangan Tembus Udara Pada Saat Keadaan Hujan Dengan Ukuran Butiran Hujan yang Bervariasi di Ketinggian Jatuh Hujan 2 meter dan 3 meter.
Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Mempersiapkan alat dan bahan.
2. Pastikan sistem dalam keadaan Off.
4. Membuat rangkaian percobaan seperti pada Gambar 3.9, dibawah ini : Z
Rp
S S
V TU
AT
KOTAK UJI
Vin
Motor Listrik 220 V
Tabung Hujan
Ketinggian 2 meter
Gambar 3.9 Rangkaian Percobaan pada Ketinggian Hujan 2 Meter dan 3 Meter 5. Memastikan rangkaian telah tersusun dan terhubung dengan baik dan benar
untuk menghindari kesalahan dalam pengujian.
6. Mengatur ketinggian jatuhnya air hujan pada ketinggian 1 m, seperti pada Gambar 3.9.
7. Memasang lubang hujan yang berdiameter 1 mm pada silinder tabung hujan. 8. Mengatur jarak sela elektroda bola, pada jarak 4,0 cm.
9. Mengukur temperatur dan tekanan pada ruang uji.
10.Saklar utama S1 ditutup dan AT diatur hingga tegangan keluarannya nol. 11. Kemudian saklar sekunder S2 ditutup.
12.Tegangan keluaran AT dinaikkan secara bertahap sampai terjadi tegangan tembus pada udara.
14.Ulangi langkah 10 -12 sampai 5 kali hingga diperoleh lima data tegangan tembus udara pada kondisi jarak sela 4,0 cm yang nanti dihitung tegangan rata-ratanya guna untuk memperoleh data yang lebih akurat.
15.Langkah 8 - 12 dilakukan untuk jarak sela elektroda bola yang bervariasi yaitu 3,5 cm, 3,0 cm, 2,5 cm, 2,0 cm dan 1,5 cm.
16.Ulangi langkah 8-15 diatas untuk pengujian elektroda jarum – jarum dan elektroda jarum piring.
17.Lakukan kembali langkah 7-16 untuk pengujian diameter butiran hujan yang
berbeda yaitu 1,5 mm, 2 mm, 2,5 mm, dan 3 mm.
3.6. Flowchart Penelitian
Setelah Dihujani, dengan ukuran butiran:1 mm, 1,5 mm, 2 mm, 2,5 mm
Dari Gambar 3.10 dapat dijelaskan bagaimana proses penelitian ini dilakukan, dimana proses penelitian ini dilakukan dengan tahap awal menampung air hujan, kemudian merancang alat pembuatan simulasi hujan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Tujuannya adalah supaya alat simulasi hujan buatan ini dapat digunakan sesuai eksperimen yang akan dilakukan. Setelah selesai dirancang, selanjutnya masuk ketahap pembuatan alat pengujian simulasi hujan buatan, dan apabila alat berhasil dibuat maka dapat dilakukan pengujian untuk pengambilan data percobaan, tetapi apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka alat kembali dirancang ulang supaya alat tersebut berhasil melakukan pengujian.
Setelah alat berhasil dibuat, maka masuk ketahap pengujian dimana dengan terlebih dahulu mengukur parameter tegangan tembus seperti suhu dan tekanan udara sekitar lingkungan pengujian. Kemudian dilanjutkan ketahap pengujian, yaitu pengujian :
Sebelum dihujani
Setelah dihujani dengan ukuran butiran 1 mm, 1,5 mm, 2 mm, 2,5 mm, 3mm. dengan ketinggian yang bervariasi yaitu 1 meter, 2 meter dan 3 meter.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan dari eksperimen ini adalah untuk mencari hubungan antara ukuran butiran
air hujan terhadap perubahan tegangan tembus udara, dengan menggunakan peralatan simulasi hujan buatan dengan media uji elektroda bola – bola, jarum – jarum dan jarum piring dengan posisi horizontal.
4.1.HASIL DATA PENGUJIAN
Hasil data pengujian tegangan tembus udara diberikan pada Lampiran A Tabel A.1 sampai Tabel A.48. Hasil data ini terdiri dari:
Tegangan tembus udara pada kondisi saat belum dihujani
Tegangan tembus udara pada kondisi setelah dihujani, dengan ukuran butiran air hujan 1 mm, 1,5 mm, 2 mm, 2,5 mm dan 3 mm. Dimana ketinggian jatuh tetesan air hujan bervariasi, yaitu :
Ketinggian 1 meter ( h = 1 m)
Ketinggian 2 meter ( h = 2 m)
Ketinggian 3 meter ( h = 3 m)
4.2.ANALISA DATA
Tegangan tembus yang diperoleh masih dalam suhu dan tekanan udara sembarang. Oleh karena itu, perlu diolah untuk memperoleh tegangan tembus pada keadaan standar, yaitu pada suhu 200C dan tekanan 760 mmHg yang dihitung
Tabel 4.1 Hubungan Antara Ukuran Butiran Air Hujan dengan Tegangan Tembus Udara pada Suhu 200 C dan Tekanan 760 mmHg pada Kondisi Ketinggian Jatuh Hujan 1 Meter. STANDAR HASIL PERHITUNGAN
1,5 3,6 0,969 23,36 21,13 19,07 16,67 12,40 11,63 2,0 3,8 0,965 22,27 20,76 18,36 16,53 13,13 10,73 2,5 4,0 0,972 21,35 19,73 16,17 15,10 12,57 10,10 3,0 4,1 0,971 20,18 18,82 15,65 13,73 11,57 9,31
Tabel 4.2 Hubungan Antara Ukuran Butiran Air Hujan dengan Tengan Tembus Udara pada Suhu 200 C dan Tekanan 760 mmHg pada Kondisi Ketinggian Jatuh Hujan 2 Meter. STANDAR HASIL PERHITUNGAN
JARUM 1,0 3,6 0,977 25,12 22,70 19,03 16,47 14,86 12,58 Udara pada Suhu 200 C dan Tekanan 760 mmHg pada Kondisi Ketinggian Jatuh Hujan 3 Meter.
TEGANGAN TEMBUS KEADAAN STANDAR HASIL PERHITUNGAN
(Vs=Vb/δ) kV
JARAK SELA (cm)
BOLA- BOLA
0 0 0,969 62,8 59,31 55,27 49,41 41,21 31,29 1,0 4,0 0,973 37,08 35,19 32,76 28,73 25,37 22,93 1,5 5,0 0,980 31,42 28,28 25,89 23,69 20,61 19,06 2,0 5,5 0,968 31,13 26,13 22,83 22,41 20,97 16,11 2,5 5,8 0,967 29,92 27,21 23,30 20,68 17,78 15,84 3,0 6,2 0,969 26,35 23,44 20,76 17,75 15,58 13,97
JARUM-JARUM
0 0 0,973 27,62 25,07 21,39 20,02 19,50 16,91 1,0 4,0 0,972 25,16 22,65 19,30 16,56 14,89 13,14 1,5 5,0 0,978 23,10 20,77 18,81 15,72 14,30 12,37 2,0 5,5 0,967 22,95 21,15 18,61 16,19 14,12 11,83 2,5 5,8 0,976 22,06 20,92 18,23 14,65 12,97 10,61 3,0 6,2 0,968 19,83 17,74 16,73 14,79 12,78 9,77 JARUM
PIRING
4.2.1. Analisis Ukuran Butiran Air Hujan Terhadap Tegangan Tembus Udara
1. Pada Jarak Sela Elektroda yang Sama dengan Jenis Elektroda yang Berbeda
Dari Tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 di atas dapat dibuat grafik hubungan ukuran butiran air hujan vs tegangan tembus udara pada suhu 20 °C dan tekanan 760 mmHg pada kondisi
jarak sela elektroda yang sama di berbagai elektroda yang digunakan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.1, 4.2 dan 4.3.
Pada Kondisi Ketinggian Hujan 1 Meter
(a) 0
10 20 30 40 50 60 70
0 1 1.5 2 2.5 3
TEGANGAN TEMBUS STANDAR
UDARA (kV)
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 4 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
(b)
UKURAN BUTIRAN HUJAN (mm)
Jarak Sela 3,5 cm
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 3 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
(d)
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 2,5 cm
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 2 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
(f)
Gambar 4.1 (a,b,c,d,e,f) Grafik Hubungan Ukuran Butiran Air Hujan dengan Tegangan Tembus Udara pada Kondisi Ketinggian Hujan 1 Meter
0 5 10 15 20 25 30 35 40
0 1 1.5 2 2.5 3
TEGANGAN TEMBUS STANDAR UDARA (kV)
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 1,5 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
Pada Kondisi Ketinggian Hujan 2 Meter
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 4 cm
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 3,5 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
(c)
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 3 cm
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 2,5 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
(e)
(f)
Gambar 4.2 (a,b,c,d,e,f) Grafik Hubungan Ukuran Butiran Air Hujan dengan Tegangan Tembus Udara pada Kondisi Ketinggian Hujan 2 Meter
0
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 2 cm
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 1,5 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
Pada Kondisi Ketinggian Hujan 3 Meter
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 4 cm
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 3,5 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
(c)
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 3 cm
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 2,5 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
(e)
(f)
Gambar 4.3 (a,b,c,d,e,f) Grafik Hubungan Ukuran Butiran Air Hujan dengan Tegangan Tembus Udara pada Kondisi Ketinggian Hujan 3 Meter
0
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 2 cm
UKURAN BUTIRAN AIR HUJAN (mm)
Jarak Sela 1,5 cm
BOLA - BOLA
JARUM - JARUM
2. Pada Jarak Sela Elektroda yang Berbeda dengan Jenis Elektroda yang Sama.
Dari Tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 di atas juga dapat dibuat grafik hubungan jarak sela elektroda vs tegangan tembus udara, pada suhu 20 °C dan tekanan 760 mmHg pada kondisi saat sebelum dihujani dan setelah dihujani dengan keadaan butiran hujan yang bervariasi di berbagai elektroda yang digunakan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.4, 4.5 dan 4.6.
Pada Kondisi Ketinggian Hujan 1 Meter
(a) 0
10 20 30 40 50 60 70
1.5 2 2.5 3 3.5 4
Tegangan Tembus Udara Standar (kV)
Jarak Sela Elektroda (cm)
Elektroda Bola - Bola
(b)
(c)
Gambar 4.4 (a,b,c) Grafik Hubungan Jarak Sela Elektroda dengan Tegangan Tembus Udara pada Berbagai Kondisi Keadaan Butiran Hujan di Ketinggian Hujan 1 Meter
-Jarak Sela Elektroda (cm)
Elektroda Jarum - Jarum
Tanpa Dihujani Ukuran Butiran 1 mm Ukuran Butiran 1,5 mm Ukuran Butiran 2 mm Ukuran Butiran 2,5 mm Ukuran Butiran 3 mm
0
Jarak Sela Elektroda (cm)
Elektroda Jarum Piring
Tanpa Dihujani Ukuran Butiran 1 mm
Ukuran Butiran 1,5 mm Ukuran Butiran 2 mm
Pada Kondisi Ketinggian Hujan 2 Meter
Jarak Sela Elektroda (cm)
Elektroda Bola-Bola
Tanpa Dihujani Ukuran Butiran 1 mm Ukuran Butiran 1,5 mm Ukuran Butiran 2 mm Ukuran Butiran 2,5 mm Ukuran Butiran 3 mm
0
Jarak Sela Elektroda (cm)
Elektroda Jarum - Jarum
Tanpa Dihujani Ukuran Butiran 1 mm
Ukuran Butiran 1,5 mm Ukuran Butiran 2 mm
(f)
Gambar 4.5 (d,e,f) Grafik Hubungan Jarak Sela Elektroda dengan Tegangan Tembus Udara pada Berbagai Kondisi Keadaan Butiran Hujan di Ketinggian Hujan 2 Meter
0 5 10 15 20 25 30
1.5 2 2.5 3 3.5 4
Tegangan Tembus Standar Udara (kV)
Jarak Sela Elektroda (cm)
Elektroda Jarum Piring
Tanpa Dihujani Ukuran Butiran 1 mm
Ukuran Butiran 1,5 mm Ukuran Butiran 2 mm
Pada Kondisi Ketinggian Hujan 3 Meter
Jarak Sela Elektroda (cm)
Elektroda Bola-Bola
Tanpa Dihujani Ukuran Butiran 1 mm Ukuran Butiran 1,5 mm Ukuran Butiran 2 mm Ukuran Butiran 2,5 mm Ukuran Butiran 3 mm
0
Jarak Sela Elektroda (cm)
Elektroda Jarum-Jarum
Tanpa Dihujani Ukuran Butiran 1 mm
Ukuran Butiran 1,5 mm Ukuran Butiran 2 mm
(i)
Gambar 4.6 (g,h,i) Grafik Hubungan Jarak Sela Elektroda dengan Tegangan Tembus Udara pada Berbagai Kondisi Keadaan Butiran Hujan di Ketinggian Hujan 3 Meter
Dari grafik yang ditunjukkan Gambar 4.1, 4.2, 4.3, 4.4, 4.5, dan 4.6 terlihat bahwa:
Ada pengaruh hujan terhadap perubahan tegangan tembus udara, dimana semakin besar ukuran butiran hujan maka semakin kecil tegangan tembus udara. Hal ini dapat dianalisa sebagai berikut apabila konduktivitas semakin tinggi, maka tegangan tembus akan semakin kecil, karena dibutuhkan kuat medan listrik yang semakin kecil untuk dapat melepaskan elektron dari ikatannya yang pada gilirannya membuat nilai tegangan tembus juga semakin kecil.
Penurunan tegangan tembus udara paling besar terjadi pada elektroda bola-bola. Hal ini diakibatkan pengaruh luas permukaan elektroda, dimana saat terjadi hujan, butiran hujan akan menumbuk permukaan elektroda bola dan butiran tersebut akan terpecah membentuk butiran hujan yang baru sehingga butiran hujan di sela udara diantara
Jarak Sela Elektroda (cm)
Elektroda Jarum Piring
Tanpa Dihujani Ukuran Butiran 1 mm
Ukuran Butiran 1,5 mm Ukuran Butiran 2 mm
elektroda akan semakin banyak sehingga akan membuat udara diantara sela elektroda akan semakin konduktif dan memperkecil tegangan tembus udara.
Pada elektroda jarum – jarum dan elektroda jarum piring penurunan tegangan tembus udara hampir relatif sama. Hal ini disebabkan karena luas permukaan elektroda jarum – jarum dan jarum piring yang relatif sama, dimana elektroda jarum – jarum dan jarum piring dibuat dalam posisi horizontal, sehingga butiran hujan yang menumbuk permukaan elektroda juga hampir sama.
4.2.2 Analisis Besar Persentase Penurunan Tegangan Tembus Udara Pada Berbagai Elektroda
JARUM 1,5 9.67 11.25 10.38 18.88 24.15 24.25 16.43
2,0 49.33 54.73 56.58 53.63 50.18 53.21 52.94
BOLA- BOLA
1,0 40.96 40.67 40.73 41.85 38.44 36.81 39.91 1,5 49.97 52.32 53.16 52.05 49.99 47.48 50.83 2,0 50.43 55.94 58.69 54.64 49.11 55.61 54.07 2,5 52.36 54.12 57.84 58.15 56.86 56.35 55.95 3,0 58.04 60.48 62.44 64.08 62.19 61.50 61.46
JARUM-JARUM
1,0 8.91 9.65 9.77 17.28 23.64 22.29 15.26 1,5 16.36 17.15 12.06 21.48 26.67 26.85 20.10 2,0 16.91 15.64 13.00 19.13 27.59 30.04 20.38 2,5 20.13 16.55 14.77 26.82 33.49 37.26 24.84 3,0 28.20 29.24 21.79 26.12 34.46 42.22 30.34
JARUM PIRING
1,0 11.56 13.19 19.48 20.59 10.24 15.37 15.07 1,5 17.10 18.94 21.35 22.79 11.35 18.14 18.28 2,0 21.69 19.02 24.23 26.10 20.34 19.60 21.83 2,5 24.37 23.78 30.72 29.75 21.39 24.21 25.70 3,0 27.38 27.54 33.42 37.38 30.84 37.89 32.41
4.2.3 Analisis Pengaruh Kecepatan Butiran Hujan Terhadap Perubahan Tegangan Tembus Udara.
Kecepatan butiran air hujan dipengaruhi oleh besar diameter butiran dan ketinggian jatuh hujan tersebut. Semakin besar ukuran diameter butiran dan ketinggian jatuh air hujan maka semakin besar juga kecepatan jatuh hujan tersebut, seperti yang terlihat pada grafik Gambar 2.21.
Dari Tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 dapat dibuat grafik yang menyatakan
hubungan kecepatan butiran hujan terhadap tegangan tembus udara pada media pengujian elektroda bola – bola, jarum – jarum dan jarum piring, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.7, 4.8, dan 4.9 berikut.
Gambar 4.7 Pengaruh Kecepatan Butiran Hujan Terhadap Perubahan Tegangan Tembus Udara pada Elektroda Bola – Bola
0
KECEPATAN BUTIRAN HUJAN (m/s)
ELEKTRODA BOLA - BOLA
Gambar 4.8 Pengaruh Kecepatan Butiran Hujan Terhadap Perubahan Tegangan Tembus Udara pada Elektroda Jarum – Jarum
Gambar 4.9 Pengaruh Kecepatan Butiran Hujan Terhadap Perubahan Tegangan Tembus Udara pada Elektroda Jarum Piring
0
KECEPATAN BUTIRAN HUJAN (m/s)
ELEKTRODA JARUM - JARUM
Jarak Sela 4 cm
KECEPATAN BUTIRAN HUJAN (m/s)
Dari grafik Gambar 4.7, 4.8 dan 4.9 dapat dilihat bahwa kecepatan butiran hujan juga mempengaruhi perubahan tegangan tembus udara, dimana semakin besar kecepatan butiran hujan maka tegangan tembus udara semakin kecil. Hal ini disebabkan sebagai berikut :
Besar kecepatan butiran hujan dipengaruhi oleh besar ukuran butiran hujan, semakin besar ukuran butiran air hujan maka semakin besar kecepatan jatuh hujan. Dimana dengan semakin besarnya butiran hujan tadi akan membuat udara semakin konduktif, sehingga membuat tegangan tembus udara semakin kecil.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
1. Butiran hujan mempengaruhi tegangan tembus udara. Semakin besar ukuran butiran air hujan maka tegangan tembus udara semakin kecil, hal ini disebabkan karena pengaruh kondiktivitas hujan yang lebih besar dibandingkan konduktivitas udara. Sehingga dengan adanya hujan maka konduktivitas udara akan berubah dari keadaan normal.
2. Penurunan tegangan tembus paling besar terjadi pada elektroda bola – bola yaitu 61,46%, sementara penurunan tegangan tembus pada elektroda jarum – jarum dan jarum piring relatif hampir sama yaitu 30,34% dan 32,41%. Hal ini diakibatkan pengaruh luas permukaan elektroda, dimana saat terjadi hujan, butiran hujan akan menumbuk permukaan elektroda bola dan butiran tersebut akan terpecah membentuk butiran hujan yang baru sehingga butiran hujan di sela udara diantara elektroda akan semakin banyak sehingga akan membuat udara diantara sela elektroda akan semakin konduktif dan memperkecil tegangan tembus udara.
3. Semakin besar kecepatan butiran hujan maka tegangan tembus udara semakin kecil,
5.2 SARAN
1. Eksperimen ini dapat dilakukan kembali dengan membuat alat pemodelan simulasi air hujan buatan yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TEORI KEGAGALAN ISOLASI
Suatu peralatan listrik jika mengalami kegagalan pengisolasian maka akan mengakibatkan percikan (sparkover) atau lompatan listrik (flashover) yang sudah menandakan terjadinya tembus listrik. Terjadinya tembus listrik berhubungan dengan peristiwa ionisasi, deionisasi dan emisi. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat tentang peristiwa ketiga tersebut.
2.1.1 Proses Ionisasi
Ionisasi adalah proses munculnya ion disekitar elektroda karena meningkatnya tegangan yang diterapkan. Tegangan yang menyebabkan elektron keluar untuk pertama kalinya disebut tegangan insepsi. Udara ideal adalah gas yang hanya terdiri dari molekul-molekul netral, sehingga tidak dapat mengalirkan arus listrik. Tetapi dalam kenyataannya, udara yang sesungguhnya tidak hanya terdiri dari molekul-molekul netral saja tetapi ada sebagian kecil dari padanya berupa ion-ion dan elektron-elektron bebas, yang akan mengakibatkan udara dan gas mengalirkan arus walaupun terbatas. Kegagalan
a. Suatu Elektron Bebas Membentur Elektron Terikat
b. Elektron Terikat Keluar Dari Lintasannya Menjadi Elektron Bebas
Gambar 2.1. (a dan b) Proses Ionisasi
Dari gambar (a) pada Gambar 2.1 memperlihatkan suatu elektron bebas membentur elektron terikat pada muatan netral di udara, sehingga elektron yang terikat kuat tadi keluar dari lintasannya menjadi elektron bebas, seperti yang diperlihatkan gambar (b) pada Gambar 2.1.
Kegagalan listrik yang terjadi di udara tergantung dari jumlah elektron bebas yang ada di udara. Penyebab tembus antara lain tekanan, temperatur, kelembaban, konfigurasi medan, tegangan yang diterapkan, material elektroda, kondisi permukaan elektroda. Ada beberapa cara pembangkitan ion antara lain :
a. Ionisasi benturan (collision) elektron, b. ionisasi thermal,
c. fotoionisasi dan
a. Ionisasi Benturan (collision) elektron
Elektron bebas yang tidak berada dalam medan listrik tinggi, akan diikat oleh suatu molekul netral dan membentuk ion negatif. Bila elektron bebas berada di antara dua plat sejajar yang diberi tegangan searah sehingga timbul medan listrik E di antara kedua plat maka elektron akan mengalami gaya dan bergerak menuju anoda seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Ionisasi Benturan (collision) Elektron
b. Ionisasi thermal
Ketika gas dipanaskan hingga mencapai temperatur tinggi, molekul-molekul gas akan mendapatkan energi kinetik yang besar sehingga molekul tersebut bersirkulasi dengan kecepatan tinggi dan menyebabkan terjadinya benturan antar molekul. Bila energi kinetik pada molekul tersebut cukup besar, maka dapat membuat terlepasnya elektron dari ikatan atomnya. Elektron yang terlepas dan molekul lain yang memiliki energi kinetik cukup besar akan saling berbenturan dan melepaskan lebih banyak elektron bebas.
c. Fotoionisasi
Ionisasi ini akibat radiasi atau foton mempengaruhi interaksi radiasi dalam partikel. Fotoionisasi terjadi bila energi radiasi yang diserap oleh molekul melebihi energi ionisasinya dan dapat dituliskan sebagai berikut:
A + hv→ A+
Di mana :
A : Atom atau mokelul netral dalam gas
hv : Energi foton
e : Elektron yang terlepas
d. Ionisasi Radiasi Sinar Kosmis
Sinar kosmik adalah radiasi dari partikel bermuatan berenergi tinggi yang berasal dari luar atmosfer bumi. Sinar kosmik dapat berupa elektron, proton dan bahkan inti atom
seperti besi atau yang lebih berat lagi. Partikel-partikel ini secara terus menerus membombardir bumi. Karena memiliki energi yang besar, benturan partikel ini dengan molekul netral dapat menyebabkan terlepasnya elektron dari molekul netralnya.
2.1.2 De–ionisasi
Jika suatu elektron bebas bergabung dengan suatu ion positif, akan dihasilkan suatu molekul netral. Peristiwa penggabungan ini disebut deionisasi. Proses de-ionisasi adalah kebalikan dari proses ionisasi. Proses ini terdiri dari kehilangan elektron dengan cara rekombinasi, penggabungan (attachment) elektron dan difusi. Deionisasi akan mengurangi pertikel bermuatan dalam suatu gas. Jika pada suatu gas terjadi aktivitas deionisasi yang lebih besar dari pada aktivitas ionisasi, maka muatan–muatan bebas didalam gas itu akan berkurang.
2.1.3 Emisi
Gambar 2.3 Proses Terjadinya Emisi
Seperti pada Gambar 2.3 memperlihatkan bahwa suatu elektron bebas terlepas dari permukaan suatu logam yang diakibatkan proses emisi yang terjadi pada logam tersebut.
Ada empat proses yang menyebabkan terjadinya emisi, yaitu: a. Emisi fotoelektrik
b. Emisi benturan ion positif c. Emisi medan tinggi
d. Emisi Thermis
a. Emisi Fotoelektrik
Gambar 2.4 Emisi Fotoelektrik
b. Emisi Benturan Ion Positif
Massa ion positif lebih besar daripada masa elektron bebas dan ion positif membentur ion negatif pada logam. Karena energi kinetis ion positif lebih besar dari energi ikat elektron logam maka elektron akan terlepas dari permukaan logam. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada Gambar 2.5 sebagai berikut :
c. Emisi Medan Tinggi
Permukaan suatu logam tidak semuanya mulus, tetapi selalu ada titik-titik yang runcing. Jika logam tersebut dikenai medan elektrik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6 berikut ini:
Gambar 2.6 Emisi Medan Tinggi
Maka elektron yang terdapat permukaan logam katoda (K) akan mengalami gaya yang arahnya menuju anoda (A). Elektron pada ujung runcing akan mengalami gaya yang lebih besar karena intensitas medan elektrik di titik tersebut relatif lebih besar dibandingkan dengan intensitas medan elektrik di bagian yang datar. Jika intensitas medan elektrik cukup besar, maka dari titik runcing tersebut akan dilepaskan elektron bebas. Pelepasan elektron ini yang disebut emisi bintik katoda.
d. Emisi Thermis
Emisi ini terjadi karena logam dipanaskan. Energi panas yang diterima oleh logam menyebabkan elektron bebas di dalam logam memiliki energi kinetik lebih besar. Bila energi kinetik elektron lebih besar dari gaya elektrostatik logam, maka elektron tersebut keluar dari permukaannya dan menjadi elektron bebas pada udara di sekitar permukaan logam tersebut.
Gambar 2.7 Emisi Thermis
2.2 MEKANISME TEGANGAN TEMBUS UDARA
Mekanisme kegagalan dalam gas yang disebut dengan percikan. Sifat mendasar dari kegagalan percikan ini adalah tegangan pada sela antar elektroda akan turun karena adanya proses yang menghasilkan konduktivitas tinggi antara anoda dan katoda.
Ada 2 jenis mekanisme dasar yang berperan :
Mekanisme primer, yang memungkinkan terjadinya banjiran (avalanche) elektron
Mekanisme sekunder, yang memungkinkan terjadinya peningkatan banjiran elektron.
Pada mekanisme primer, proses yang terpenting adalah proses katoda. Dalam hal ini katoda akan melepaskan (discharge) elektron yang akan mengawali terjadinya suatu
spark breakdown. Adapun fungsi katoda adalah :
Menyediakan elektron awal yang harus dilepaskan
Mempertahankan discharge
Pada proses katoda, elekron awal akan dibebaskan sebagian dengan perantara pengionan luar yang akan memulai terjadinya banjiran elektron dari permukaan katoda. Elektron–elektron itu kemudian akan dipercepat oleh medan listrik menuju anoda. Di didalam medan listrik yang cukup kuat, dalam pergerakannya menuju anoda elektron – elektron tersebut akan membentur molekul – molekul gas dan menghasilkan elektron. Sedangkan ion positif akan bergerak ke katoda, tetapi karena mempunyai masa yang lebih besar dari massa elektron, maka pergerakannya lebih lambat daripada elektron.
Pada mekanisme sekunder, proses yang terpenting adalah emisi elektron karena benturan ion positif. Jika ion positif ditembakkan ke permukaan katoda, maka akan dibebaskan elektron ke luar permukaan katoda. Kemungkinan bahwa benturan ion positif pada permukaan katoda akan membebaskan elektroda tergantung dari jenis bahan katoda dan energi ion positif yang menumbuk katoda.
Ada 2 teori mekanisme tembus listrik pada udara, yaitu mekanisme Townsend dan mekanisme Streamer. Mekanisme Townsend hanya berlaku pada medan listrik seragam/homogen, sedangkan mekanisme Streamer berlaku pada medan listrik homogen maupun tidak homogen. Pada tugas akhir ini akan dibahas mekanisme townsend dan streamer, karena kedua mekanisme tersebut berlaku dalam penelitian ini.
2.2.1 Mekanisme Townsend
Gambar 2.8 Elektron – Elektron Bebas di Udara
Dari Gambar 2.8 dapat dijelaskan bahwa didalam Udara terdapat elektron bebas yang disebabkan karena peristiwa ionisasi foton radiasi sinar ultraviolet dan juga terdapat molekul-molekul netral. Apabila kedua elektroda dihubungkan dengan sumber tegangan, maka timbul medan listrik (E) yang arahnya dari anoda ke katoda. Akibat adanya medan listrik, maka ea (elektron bebas) akan mengalami gaya (F) yang arahnya berlawanan dengan arah medan listrik (E). Karena adanya gaya (F) maka ea bergerak dari katoda ke anoda. Dalam perjalanan menuju anoda, elektron bebas membentur atom netral. Jika Energi kinetis elektron awal lebih besar dari energi ikat elektron molekul netral maka akan terjadi ionisasi. Ionisasi benturan menghasilkan satu elektron bebas baru (eb) dan satu ion positif. Jadi, ea dan eb terus bergerak menuju anoda. Dalam perjalanannya menuju anoda ea dan eb membentur lagi atom netral sehingga terjadi lagi ionisasi sehingga jumlah elektron bebas dan ion positif semakin banyak. Ion positif bergerak menuju katoda dan terjadilah benturan ion positif dengan dinding katoda sehingga timbul emisi benturan ion positif. Dari permukaan katoda muncul elektron-elektron baru hasil emisi ion positif membentur lagi atom netral sehingga terjadi lagi ionisasi sehingga jumlah elektron bebas dan ion positif semakin banyak. Selama medan listrik masih ada maka proses ionisasi benturan dan emisi ion positif akan terus berlangsung sehingga terjadilah banjiran elektron dan ion positif. Ion positif yang membentur katoda semakin
banyak sehingga elektron hasil emisi ion positif semakin banyak yang menyebabkan banjiran muatan. Muatan yang berpindah dari katoda ke anoda semakin besar yang
pun semakin besar yang kemudian terjadilah tembus listrik. Dan dapat kita lihat pada Gambar 2.9 .
Gambar 2.9 Banjiran Elektron yang Menyebabkan Tembus Listrik
2.2.2. Mekanisme Streamer
Mekanisme Streamer berlaku pada medan listrik homogen maupun tidak homogen. Udara yang berada di antara dua plat sejajar yang diberi tegangan, akan mengalami terpaan medan listrik sebesar E0 yang homogen, seperti yang terlihat pada Gambar 2.10. Elektron bebas di udara yang dihasilkan dari proses ionisasi radiasi sinar kosmis atau fotoionisasi akan mengalami gaya yang arahnya menuju anoda. Dalam perjalanannya, elektron ini akan menyebabkan proses ionisasi benturan sehingga terbentuk suatu muatan ruang. Karena adanya muatan ruang pada celah, maka medan
Gambar 2.10 Medan pada Celah Karena Adanya Muatan Ruang[4]
Ada dua jenis streamer :
a. Positif, atau streamer yang mengarah ke katoda b. Negatif, atau streamer yang menuju ke anoda
a. Streamer Positif
Karena massa elektron yang lebih ringan daripada ion positif, maka pergerakan
Gambar 2.11 Ion Positif Masih Berada pada Posisinya Saat Elektron Telah Masuk ke Dalam Anoda[11]
Kemudian elektron bebas baru terbentuk dari proses fotoionisasi dan bergerak ke daerah P dan Q. Selama perjalanan, elektron ini akan membentur molekul netral dan membentuk suatu banjiran muatan sekunder, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Terbentuk Banjiran Muatan Sekunder dari Elektron Bebas Baru[11]
bebas dan ion positif, medan listrik pada plasma lebih rendah daripada medan listrik E0. Bagian depan kerucut memendek karena terbentuknya plasma tersebut, tetapi medan listrik di sekitarnya masih tinggi. Proses pembentukan banjiran muatan sekunder terjadi lagi di sekitar bagian depan kerucut dan banjiran elektronnya bergerak menuju bagian depan kerucut lagi dan membentuk plasma sehingga plasma memanjang, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Ion Positif dan Elektron Membentuk Plasma dan Banjiran Muatan Sekunder Lain Terbentuk[11]
Proses ini akan terus berlangsung sampai plasma mencapai katoda. Saat plasma ini menghubungkan anoda dan katoda, peristiwa lewat denyar terjadi. Mekanisme ini
disebut mekanisme Streamer positif karena plasma memanjang dari anoda ke katoda.
b. Streamer Negatif
Gambar 2.14 Medan Listrik pada Daerah R Berubah Karena Muatan pada Celah[11]
Kemudian elektron bebas dari proses fotoionisasi yang berada pada daerah tersebut akan bergerak lebih cepat dan membentuk suatu banjiran muatan sekunder, ditunjukkan dalam Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Terbentuknya Banjiran Muatan Sekunder pada Daerah R[11]
Gambar 2.16 Terbentuknya Plasma dan Proses Plasma Memanjang[11]
2.3 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TEGANGAN TEMBUS UDARA
Sifat listrik udara dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, sehingga nilai tegangan tembus udara juga akan berubah sesuai kondisi lingkungan sekitar udara. Berikut ini faktor – faktor yang mempengaruhi tegangan tembus udara :
a. Temperatur udara
Pada media dielektrik udara peningkatan temperatur udara akan mempengaruhi
pertambahan energi yang dapat mempercepat pergerakan elektron-elektron di udara, selain itu temperatur yang tinggi akan meningkatkan jumlah proses ionisasi thermis dan
emisi thermis yang akan berakibat pada penurunan kekuatan dielektrik udara.
b. Tekanan udara
Bila tekanan udara besar, jumlah molekul di dalam udara semakin banyak yang
c. Kelembaban udara[11][12]
Kelembaban didefinisikan sebagai besarnya kandungan uap air dalam udara. Rasio kelembaban (ω) adalah berat atau massa air yang terkandung dalam setiap kilogram udara kering.
ω = 0,622 ………(2.2)
Dimana :
ω = rasio kelembaban (kg uap air /kg udara kering) Pt = tekanan atmosfer (kPa)
Ps = tekanan parsial uap air dalam keadaan jenuh (kPa)
Bila kelembaban tinggi, kandungan air dalam udara meningkat sehingga mudah terjadi ionisasi karena air memiliki energi ikat yang lebih rendah dari kandungan lain dalam udara. Energi ikat air sekitar 13,6 eV, nitrogen (N2) sekitar 17,1 eV, CO2 sekitar 14,6 eV, H2 sekitar 15,6 eV, dan oksigen (O2) sekitar 12,08 eV. Elektronvolt (eV) merupakan satuan dari energi suatu partikel yang besarnya 1,6 x 10-19 joule. Bila
kandungan air semakin banyak maka udara akan lebih mudah terionisasi dan menyebabkan kekuatan dielektrik udara turun. Kekuatan dielektrik merupakan kuat medan listrik yang mampu dipikul oleh suatu bahan dielektrik tanpa mengakibatkan bahan tersebut tembus listrik. Semakin banyak kandungan air dalam udara menyebabkan udara semakin mudah terionisasi. Hal ini menyebabkan turunnya tegangan yang diperlukan untuk membuat udara tersebut tembus listrik.
2.4 Efek Kondisi Udara
Vs =(kh/kd) Vb……….(2.3)
Dengan
Vs = hasil pengujian pada keadaan standar,
kh = faktor koreksi kelembaban udara,
kd = faktor koreksi kerapatan udara, dan
Vb= hasil pengujian pada sembarang keadaan udara.
Faktor koreksi kerapatan udara dihitung dengan persamaan
Kd = ( m x ( n………..………....(2.4)
Dengan
kd = faktor koreksi kerapatan udara,
p = tekanan udara (mmHg),
T = temperatur udara (oC)
m,n = 1,0 untuk pengujian dengan tegangan tinggi dc dan impuls petir, dan
= 1,0 untuk semua objek uji yang ditempatkan pada sela elektroda bola – bola = untuk elektroda jarum –jarum dan jarum piring untuk jarak sela ≤1m adalah
1,0 , sementara untuk jarak sela ≥1m lihat Gambar 2.17.
0,0 5,0 10,0
0,5 1,0
m,n,w
d (m)
Dalam penelitian ini percobaan akan dilakukan pada jarak sela ≤1m untuk semua elektroda, maka di asumsikan nilai m dan n adalah 1,0.
Sehingga, Persamaan 2.5 dapat juga ditulis :
Kd = ( ………(2.5)
Karena : δ = kd, maka Persamaan 2.3 dapat juga ditulis :
Vs = Vb / δ ………(2.6)
Dimana
Vb = Hasil pengujian pada sembarang keadaan udara δ = factor koreksi temperatur dan tekanan udara
Oleh karena sifatnya yang empiris, maka factor koreksi terhadap kelembaban udara kh tidak
dapat dianggap tepat dan tidak selalu dapat dipakai. Oleh sebab itu, hanya Persamaan (2.5) yang
dipergunakan.
2.5 PENGERTIAN HUJAN DAN MEKANISME SIKLUS HIDROLOGI
2.5.1 Pengertian Hujan
Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan diameter 0.5 mm atau lebih. Jika jatuhnya sampai ketanah maka disebut hujan, akan tetapi apabila jatuhannya tidak dapat mencapai tanah karena menguap lagi maka jatuhan tersebut disebut Virga. Hujan juga dapat didefinisikan dengan uap yang mengkondensasi dan jatuh ketanah dalam rangkaian proses hidrologi (Yeni Agustiarni, 2008).
Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Untuk dapat terjadinya hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan asam belerang. Titik-titik kondensasi ini mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari udara. Satuan curah hujan selalu dinyatakan dalam satuan millimeter atau inchi namun untuk di Indonesia satuan curah hujan yang digunakan adalah dalam satuan millimeter (mm).
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang
artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.
Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka waktu tertentu. Intensitas hujan berdasarkan besarnya curah hujan dapat di kelompokkan kedalam 3 kategori, yaitu :
Hujan gerimis/rintik-rintik (kurang dari 2,5 mm/jam),
Hujan sedang (2,6 - 7,5 mm/jam), dan
Hujan deras/lebat (lebih dari 7,5 mm/jam).
Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti hujan lebat dan kondisi ini sangat berbahaya karena berdampak dapat menimbulkan banjir, longsor dan efek negatif terhadap tanaman dan lingkungan.
2.5.2 Mekanisme Siklus Hidrologi
Dibumi terdapat kira-kira 1,3-1,4 milyar km3 air: 97,5% adalah air laut, 1,75%
berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap di udara. Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi, penguapan (evaporation) , hujan (presipitasi) dan pengaliran keluar
(outflow).
Air menguap dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba di permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan dimana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan-dahan kepermukaan tanah (Sosrodarsono,2003)
sungai (evaporasi) maupun penguapan dari tanaman atau tumbuh–tumbuhan
(transpirasi), kemudian naik ke udara dan selanjutnya mengalami pengembunan
(kondensasi) yaitu berubah menjadi titik – titik air yang mengumpul dan membentuk awan. Titik – titik air itu memiliki kohesi (gaya tarik antar molekul yang sama) sehingga titik – titik air menjadi besar dan dipengaruhi oleh gravitasi bumi sehingga jatuh yang disebut hujan (presipitasi). Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara terus menerus. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan
salju (sleet), hujan gerimis atau kabut.
Dengan kata lain, akan terjadi hujan apabila berlangsung tiga kejadian sebagai berikut:
1) Kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer menjadi jenuh.
2) Terjadinya kondensasi atas pertikel – partikel uap di atmosfer.
3) Pertikel – partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gaya gravitasi.
Gambar 2.18 Siklus Hidrologi (Sumber Suripin, 2001)[1]
2.6 PEMBENTUKAN BUTIRAN AIR HUJAN (Koalensi)
Koalesensi terjadi ketika butir air bergabung membentuk butir air yang lebih
besar, atau ketika butir air membeku menjadi kristal es yang dikenal sebagai proses
Bergeron. Resistensi udara mengakibatkan butiran air mengambang di awan. Ketika
turbulensi udara terjadi, butiran air bertabrakan dan menghasilkan butiran yang lebih besar. Butiran air besar ini turun dan koalesensi terus berlanjut, sehingga butiran menjadi cukup berat untuk melawan resistensi udara dan jatuh sebagai hujan.
Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm cloud). Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku atau yang disebut awan bawah titik beku (< 00C), sedangkan awan hangat adalah awan yang semua bagiannya berada diatas titik beku atau yang disebut juga awan atas titik beku ( > 00C).
massa yang cukup. Umumnya, kristal membutuhkan massa yang lebih besar daripada koalesensi yang terjadi antara kristal dan butiran air sekitarnya. Proses ini bergantung kepada suhu, karena suhu paling rendah butiran air dingin hanya ada di awan bawah titik beku. Selain itu, karena perbedaan suhu yang besar antara awan dan permukaan, kristal-kristal es ini bisa mencair ketika jatuh dan menjadi hujan.
Butiran hujan memiliki beragam ukuran mulai dari diameter rata-rata 0,1 millimeter hingga 9 millimeter, di atas itu butiran akan terpisah-pisah. Air hujan sering digambarkan sebagai berbentuk "lonjong", lebar di bawah dan menciut di atas,
tetapi ini tidaklah tepat. Air hujan kecil hampir bulat. Air hujan yang besar menjadi semakin lebar, seperti roti hamburger, air hujan yang lebih besar berbentuk payung terjun. Berbeda dengan kepercayaan masyarakat, bentuk butir hujan yang asli justru tidak mirip air mata.Air hujan yang besar jatuh lebih cepat berbanding air hujan yang lebih kecil. Butiran hujan terbesar di Bumi tercatat di Brasil dan Kepulauan Marshall pada tahun 2004—beberapa di antaranya sebesar 10 millimeter. Ukuran besar ini disebabkan oleh pengembunan partikel asap besar atau tabrakan antara sekelompok kecil butiran dengan air tawar yang banyak.