BUAH MERAH (Pandanus conoideus) PADA WAKTU
PEMBERIAN DAN SUHU KANDANG
YANG BERBEDA
DENNY EFENDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis
Performa dan
Respon Fisiologi Ayam
Broiler yang Diberi Ransum Mengandung
1,5% Ampas Buah Merah (Pandanus conoideus) pada Waktu
Pemberian dan Suhu Kandang yang Berbeda
adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2010
Denny Efendi
diet containing 1.5% red fruit waste (pandanus conoideus) at different feeding time dan cage temperatures. Under supervised by IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO and RITA MUTIA
The aim of this study is to knew the physiological response and performance of broiler fed with 1.5% red fruit waste at different time feeding and cage temperature. 240 heads Cobb strain broiler were used in factorial completely randomized design with two factors and four replications. The first factor was cage temperature: K1: normal cages (28.9±1.0oC); K2: hot cages (31.4±1.0oC); K3: comfortable cages (24.6±1.0oC). The second factor was red fruit waste feeding time: W1: starter period and W2: finisher period with 10 heads of broiler. Parameter used were cumulative feed intake, cumulative water consumption, body weight gain, cumulative feed conversion, final body weight, carcass percentage, mortality, performance index, behaviour, viscera percentation, body temperature and heterophil:lymphocyte ratio. Data obtained were analysed by SPSS.17 program. Red fruit waste fed at starter priod were showed higher stress depcession compared with finisher period. Base on these result, it can be concluded that there were interaction between red fruit waste feeding period and cage temperature in body temperature on day-39. 1.5% red fruit waste feeding in broiler were the best on finisher and gave best response in the comfortable temperature (24.6±1.0oC).
DENNY EFENDI. Performa dan Respon Fisiologi Ayam Broiler yang Diberi Ransum Mengandung 1,5% Ampas Buah Merah (Pandanus conoideus) pada Waktu Pemberian dan Suhu Kandang yang Berbeda. Dibimbing oleh IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO dan RITA MUTIA.
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas ayam
broiler. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa pengunaan bahan tanaman obat dapat dimanfaatkan sebagai anti stres pada ayam broiler. Buah merah merupakan buah khas yang berasal dari Papua yang kaya akan antioksidan seperti karoteniod dan vitamin E. Ampas buah merah merupakan produk samping dari ekstraksi buah merah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ampas buah merah sebesar 1,5% dalam ransum yang diberikan pada periode starter atau periode finisher dalam berbagai suhu kandang terhadap performa, dan respon fisiologi ayam broiler.
Penelitian ini mengunakan 240 ekor ayam strain Cobb. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor dan 4 ulangan. Faktor pertama adalah suhu kandang yaitu : K1: kandang normal (28,9±1,0oC); K2: kandang panas (31,4±1,0oC); K3: kandang nyaman (24,6±1,0oC). Faktor kedua adalah waktu pemberian ampas buah merah yaitu: W1: periode starter dan W2 periode finisher dengan10 ekor ayam. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum kumulatif, air minum kumulatif, pertambahan bobot badan, konversi ransum kumulatif, bobot badan akhir, persentase karkas, mortalitas, indeks prestasi, tingkah laku, persentase organ dalam, suhu tubuh dan rasio heterofil-limfosit. Data yang diperoleh dianalisis dengan program SPSS.17.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian ABM 1,5% pada periode starter
maupun periode finisher tidak berpengaruh pada performa, persentase organ dalam, rasio heterofil-limfosit namun berpengaruh nyata (P<0,05) pada suhu tubuh hari ke-39 pada ayam broiler yang diberi perlakuan suhu kandang yang berbeda. Suhu kandang berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi air minum dan ransum, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, indeks prestasi, persentase jantung. Suhu kandang berpengaruh nyata (P<0,05) pada persentase empedu dan limpa, namun tidak pada nilai konversi ransum kumulatif, mortalitas, rasio heterofil-limfosit ayam broiler, persentase karkas, hati, gizzard, panjang usus dan suhu tubuh hari ke-11 serta suhu tubuh hari ke-39. Interaksi antara periode pemberian ABM dengan suhu kandang hanya terjadi pada suhu tubuh hari ke-39. Pemberian ampas buah merah pada periode starter memperlihatkan, ayam menggalami stres lebih tinggi dibandingkan periode finisher. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat interaksi antara periode pemberian ampas buah merah dengan suhu kandang pada suhu tubuh hari ke-39. Pemberian ampas buah merah 1,5% dalam ransum ayam broiler baik pada periode finisher
memberikan respon fisiologis lebih baik dengan suhu optimal berkisar (24,6±1,0oC).
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,
atau tinjauan suatu masalah
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
BUAH MERAH (pandanus conoideus) PADA WAKTU
PEMBERIAN DAN SUHU KANDANG
YANG BERBEDA
DENNY EFENDI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Ilmu Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kandang yang Berbeda
Nama : Denny Efendi NIM
Program Studi/Mayor : :
D151080171
Ilmu Teknologi Peternakan
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu. H.S, M.S Ketua
Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor
Ilmu Teknologi Peternakan
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Tanggal Ujian: 09 Desember 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah mengatasi stres (suhu) pada lingkungan ayam broiler
dengan judul Performa dan Respon Fisiologi Ayam Broiler yang Diberi Ransum
Mengandung 1,5% Ampas Buah Merah (Pandanus conoideus) pada Waktu
Pemberian dan Suhu Kandang yang Berbeda.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu. H.S, M.S
dan Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu, memberikan arahan, nasehat, bimbingan dan semangat kepada penulis
dalam penyusunan karya ilmiah ini. Kepada Dr. Rudi Afnan, SPt, MSc.Agr
sebagai dosen penguji atas kritik dan sarannya. Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada Ir. I Made Budi, MS yang telah memberikan dan mengirimkan
ABM sebagai bahan penelitian langsung dari Papua, Ucapan terima kasih yang
mendalam kepada papa, mama, ayah, ibu, kakak-kakakku dan adik-adikku, istri
tercinta (Tri Dessy Zakiah), anakku (Nafisa Farras Salsabila), yang banyak
membantu, mendo’akan dan memberi motivasi selama mengikuti pendidikan di
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kepada saudara Selain itu penulis
sampaikan juga ucapan terima kasih yang mendalam kepada rekan-rekan pasca
peternakan 2008 (Andi, Ani, Kia, Ashar) dll yang tak dapat disebutkan satu
persatu atas segala bantuan dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
memerlukannya, baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Amin.
Bogor, Desember 2010
Penulis,
Penulis dilahirkan di Muara Enim, Sumatera Selatan pada tanggal 6 Mei
1981 sebagai anak sulung dari bapak Arifin dan Ibu Ernawati. Istri bernama Tri
Dessy Zakiah dan dikaruniai seorang putri bernama Nafisa Farras Salsabila.
Tahun 2000 penulis lulus dari SMK Negeri 1 Gelumbang dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sriwijaya. Penulis memilih jurusan
Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2005.
Penulis mendapatkan kesempatan tugas belajar dari Pemda Kabupaten Lahat
Sum-Sel untuk melanjutkan studi Magister Sains pada tahun 2008 di Sekolah
Pascasarjana, Mayor Ilmu Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Saat ini penulis bekerja sebagai PNS di Dinas Tanaman Pangan dan
PRAKATA ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Ayam Pedaging (Broiler) ... 4
Konsumsi Ransum... 4
Pertambahan Bobot Badan ... 5
Konversi Ransum ... 6
Karkas ... 6
Indeks Performa (IP) ... 7
Suhu Tubuh Ayam ... 7
Tingkah Laku Ayam ... 8
Rasio Heterofil-Limfosit ... 10
Buah Merah (Pandanus conoideus)... 11
Karotenoid dan Tokoferol... 14
Suhu Kandang ... 15
METODOLOGI PENELITIAN ... 17
Waktu dan Tempat Penelitian ... 17
Materi Penelitian ... 17
Ternak ... 17
Kandang dan Peralatan ... 17
Ampas Buah Merah ... 18
Ransum Percobaan ... 18
Peubah dan Prosedur Pengukuran Parameter ... 19
Rancangan Percobaan ... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
Performa Ayam Broiler ... 23
Konsumsi Ransum Kumulatif ... 23
Bobot Badan Akhir ... 25
Pertambahan Bobot Badan ... 26
Konversi Ransum Kumulatif ... 28
Konsumsi Air Minum Kumulatif ... 29
Persentase Karkas ... 29
Indeks Performa (IP) ... 30
Mortalitas ... 31
Respon Fisiologis Ayam Broiler ... 33
Organ Dalam ... 33
Suhu Tubuh ... 36
Tingkah Laku ... 38
Rasio Heterofil-Limfosit ... 41
KESIMPULAN DAN SARAN ... 45
Kesimpulan ... 45
Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 46
1 Kandungan senyawa aktif buah merah ... 11
2 Kandungan nutrisi dan senyawa aktif ampas buah merah ... 13
3 Hasil uji proksimat kandungan nutrisi ransum penelitian ... 18
4 Performa ayam broiler yang diberi ampas buah merah 1,5% (42 hari) .. 24
5 Mortalitas ayam broiler selama penelitian ... 32
6 Persentase berat organ dalam ayam broiler selama penelitian ... 34
7 Suhu tubuh ayam broiler selama penelitian (oC) ... 37
8 Tingkah laku ayam broiler selama penelitian (%) ... 39
1 Alur pelaksanaan kegiatan selama penelitian ... 19
1 Analisis ragam konsumsi ransum kumulatif ... 52
2 Analisis ragam bobot badan akhir ... 52
3 Analisis ragam pertambahan bobot badan ... 53
4 Analisis ragam konversi ransum kumulatif... 53
5 Analisis ragam konsumsi air minum kumulatif ... 53
6 Analisis ragam persentase karkas... 54
7 Analisis ragam nilai indeks prestasi ... 54
8 Analisis ragam mortalitas ayam broiler ... 55
9 Analisis ragam persentase jantung ... 55
10 Analisis ragam persentase hati ... 55
11 Analisis ragam persentase gizzard ... 56
12 Analisis ragam persentase empedu ... 56
13 Analisis ragam persentase limfa ... 56
14 Analisis ragam panjang usus ... 57
15 Analisis ragam suhu tubuh ayam broiler umur 11 hari ... 57
16 Analisis ragam suhu tubuh ayam broiler umur 25 hari ... 57
17 Analisis ragam suhu tubuh ayam broiler umur 39 hari ... 58
18 Analisis ragam rasio heterofil-limfosit ayam broiler umur 10 hari ... 58
19 Analisis ragam rasio heterofil-limfosit ayam broiler umur 24 hari ... 58
20 Analisis ragam rasio heterofil-limfosit ayam broiler umur 38 hari ... 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam dapat hidup dengan nyaman dan berproduksi secara optimum bila
faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan normal yang
sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas ayam. Suhu
panas pada lingkungan peternakan ayam telah menjadi salah satu masalah utama
karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat peningkatan angka kematian
ataupun penurunan produktivitas (St-Pierre et al. 2003). Pada akhir abad 19 dan
abad 20 terjadi peningkatan rataan suhu global dari 0,8oC menjadi 1,7oC (NCDC
2001), sehingga menyebabkan peningkatan rataan suhu global dari 0,6 - 2,5oC
selama lima tahun terakhir yang berakibat pada terjadinya peningkatan biaya
dalam mengontrol suhu kandang ayam.
Peningkatan suhu harian ekstrim juga akan berakibat buruk terhadap
kesehatan dan performan ayam. Peningkatan suhu lingkungan melebihi kisaran
zona suhu kenyamanan menyebabkan cekaman (stres) pada ayam broiler (Austic,
2000). Wilayah Indonesia memiliki suhu dan kelembaban udara yang relatif
tinggi. Rataan suhu harian pada siang hari berkisar antara 28,2-34,6°C dan
12,8-30,0°C pada malam hari dengan kelembaban udara berkisar 50,2-85,5% (BPS
2003) suhu tersebut berada di luar zona suhu nyaman ayam broiler yang berumur
di atas tiga minggu. Keadaan suhu lingkungan optimum untuk pertumbuhan
berkisar antara 20-25°C dengan kelembaban berkisar antara 50-70% (Borges et al.
2004). Penurunan suhu nyaman ayam broiler disebabkan oleh peningkatan
produksi panas akibat tingginya laju metabolisme dan pertumbuhan. Menurut
Gous dan Morris (2005), produksi panas tubuh ayam broiler betina umur tiga
minggu pada tahun 1970 sebesar 620 kj/hari dengan suhu nyaman 27°C
sedangkan ayam broiler betina tahun 2004, memproduksi panas berkisar 843
kj/hari sehingga memerlukan suhu lingkungan yang lebih rendah sekitar 21°C.
Suhu rata-rata di Indonesia berkisar 28,2-34,6°C pada siang hari, hal ini
menyebabkan ayam broiler yang berumur di atas 3 minggu mengalami stres
Menurut Ain Bazis et al. (1996) konsumsi ransum ayam broiler menurun
sebesar 3,6% setiap peningkatan suhu lingkungan 1°C (pada suhu lingkungan
antara 22-32°C). Keadaan tersebut diikuti dengan turunnya pertambahan bobot
badan sebesar 46% pada ayam broiler. Ketika berada pada suhu lingkungan panas
atau aktivitas tinggi, suhu tubuh ayam juga akan meningkat 1-2oC sebagai panas
tubuh.
Ayam yang hidup diatas suhu nyaman akan memperlihatkan beberapa
perubahan perilaku, yang bertujuan untuk menurunkan suhu tubuhnya. Ayam
broiler akan beristirahat lebih banyak, beberapa ekor ayam akan berdiri dan tidak
bergerak, sedangkan ayam yang lain mendekati dinding atau tempat air minum.
Ayam akan membuka sayapnya untuk mengurangi isolasi panas tubuh untuk
mendinginkan tubuhnya. Defra (2005) menyatakan, tanda klinis yang jelas dari
heat stress adalah panting yaitu pernafasan cepat dan dangkal (hiperventilasi).
Cekaman panas yang terjadi secara kronis juga dapat menimbulkan dampak
buruk pada pembentukan sel-sel pertahanan tubuh (sistem imunitas) ayam
(Mashaly et al. 2004). Cekaman panas kronis akan menyebabkan penurunan
jumlah limfosit dan peningkatan jumlah heterofil sehingga rasio heterofil-limfosit
(Rasio H-L) meningkat (Aengwanich & Chinrasri 2003).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi dampak negatif cekaman
panas pada ayam. Penggunaan elektrolit dan vitamin dilaporkan dapat mengurangi
dampak cekaman panas (Borges et al. 2004). Pemberian vitamin E sebanyak
250 mg pada ayam petelur juga dapat mengurangi dampak stres panas
(Bollengier-Lee et al. 1999). Penggunaan tokoferol (vitamin E) dapat menguatkan
dinding kapiler pembuluh darah dan mencegah terjadinya hemolisis sel darah
merah (Wahyu 2004) serta berperan dalam pembentukan sel darah merah
(Winarno 2008).
Buah merah merupakan salah satu buah yang memiliki kandungan
tokoferol yang tinggi. Buah yang berasal dari Papua ini telah dikenal luas sebagai
tanaman obat. Penelitian terhadap buah merah membuktikan bahwa buah merah
mengandung zat-zat alami yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan banyak
digunakan untuk menjaga kesehatan. Adapun zat aktif yang terkandung dalam
mampu menangkal radikal bebas dan meningkatkan kekebalan tubuh. Ampas
buah merah merupakan hasil sampingan dari ekstraksi buah merah yang masih
memiliki nilai nutrisi dan antioksidan yang tinggi. Menurut Yuanita (2009)
pemberian 1,5% ampas buah merah dalam ransum sebagai feed additive pada
ternak ayam broiler mampu meningkatkan performa dan status kesehatannya.
Sampai saat ini belum banyak laporan percobaan ampas buah merah yang
diberikan pada ayam broiler, sehingga penelitian ini diharapkan dapat menambah
informasi dalam upaya meningkatkan performa ayam broiler.
Tujuan
Mengetahui performa dan respon fisiologi ayam broiler yang diberi ransum
mengandung 1,5% ampas buah merah pada waktu pemberian dan suhu kandang
yang berbeda.
Hipotesis
Pemberian ampas buah merah 1,5% baik periode starter maupun finisher
memberikan performa dan respon fisiologi yang baik pada ayam broiler di semua
TINJAUANPUSTAKA
Ayam Pedaging (Broiler)
Ayam pedaging disebut juga ayam broiler merupakan jenis ras unggulan
hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas
tinggi terutama dalam memproduksi daging ayam (BPPN 2000). Menurut
Amrullah (2004), ayam broiler adalah ayam yang khusus untuk produksi daging
yang pertumbuhannya sangat cepat, dalam kurun waktu 6-7 minggu ayam broiler
akan tumbuh 40-50 kali dari bobot awalnya dan pada minggu-minggu terakhir,
broiler tumbuh sebanyak 50-70 g per hari. Adanya kemajuan dalam bidang
genetik dan nutrisi menyebabkan ayam broiler sudah dapat dipasarkan pada
umur lebih kurang lima minggu dengan rataan bobot hidup 2 kg (Leeson &
Summers 2004).
Gordon dan Charles (2002) mengemukakan bahwa ayam broiler
merupakan strain ayam hibrida modern yang berjenis kelamin jantan dan
betina yang dikembanganbiakan oleh perusahaan pembibitan khusus. Ayam
broiler telah memiliki berbagai jenis strain yang sekarang telah beredar di
pasaran yang pada umumnya perbedaan tersebut terletak pada tingkat
pertumbuhan ayam, konsumsi ransum dan konversi ransum menjadi daging
(Bell & Weaver 2002).
Patokan kebutuhan nutrisi ayam broiler menurut NRC (1994) untuk
kebutuhan protein umur 0-3 minggu, 3-6 minggu dan 6 -8 minggu adalah 23%,
20% dan 18% dengan energi metabolis 2800-3200 kkal/kg. Kebutuhan nutrisi
tiap ayam broiler bergantung pada masing-masing strain.
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ayam
selama periode pemeliharaan. Bell dan Weaver (2002) menyatakan bahwa
konsumsi ransum semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya umur dan
berat badan selama masa pertumbuhan serta meningkatnya kebutuhan zat-zat
makanan untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Peningkatan ini akan berkurang
mempengaruhi konsumsi ransum pada ayam adalah besar tubuh ayam, aktifitas
sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum.
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kesehatan, kebakaan
(genetik), bentuk makanan, imbangan zat makanan, cekaman dan kecepatan
pertumbuhan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa suhu lingkungan
mempengaruhi konsumsi ransum. Krogh (2000) menyatakan, bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah suhu lingkungan. Suhu
ruangan di bawah thermoneutral menyebabkan konsumsi ransum ayam
meningkat, sedangkan suhu ruangan di atas kisaran tersebut menyebabkan
penurunan konsumsi ransum. Pada suhu lingkungan tinggi, jumlah penurunan
konsumsi ransum bervariasi, tergantung dari strain ayam, lamanya cekaman
panas, tingkat produksi, berat telur, dan kandungan energi metabolis dari ransum
yang diberikan. Secara umum, NRC (1994) telah membuat suatu persamaan untuk
menghitung penurunan konsumsi ransum, yaitu: Y = 24,5-1,58 T; dengan Y
adalah perubahan konsumsi ransum diluar zona thermoneutral (%) dan T adalah
suhu ruangan (°C). Persamaan di atas menunjukkan bahwa terjadi penurunan
konsumsi ransum sebanyak 1,58% untuk peningkatan 1 °C suhu lingkungan di
atas 24,5°C.
Pada ayam petelur, konsumsi ransum ayam umur 19 sampai 40 minggu
yang dipelihara pada suhu lingkungan rendah (10-20°C) adalah 95-108
g/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan pada suhu lingkungan panas (25-35°C),
yaitu 75-94 g/ekor/hari (Balnave & Abdoellah 1990). Selanjutnya dinyatakan
bahwa rata-rata konsumsi ransum ayam petelur yang dipelihara pada suhu
lingkungan tinggi sebesar 82-105 g/ekor/hari lebih rendah dibandingkan dengan
yang dipelihara pada suhu lingkungan rendah yaitu sebesar 90-117g/ekor/hari.
Penurunan konsumsi ransum, antara lain disebabkan oleh meningkatnya konsumsi
air minum yang digunakan untuk mendinginkan suhu tubuh.
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan
untuk mengukur pertumbuhan. Menurut Bell dan Weaver (2002), peningkatan
bobot badan ayam broiler mingguan tidak terjadi secara seragam, setiap
pertumbuhan maksimal, setelah itu mengalami penurunan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ayam broiler yaitu galur ayam, jenis kelamin, dan
faktor lingkungan yang mendukung, sedangkan menurut Rasyaf (2002) bahwa
pertumbuhan ayam dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum, suhu
lingkungan dan pemeliharaan. Pertambahan bobot badan ayam broiler yang diberi
ampas buah merah 1,5% selama 5 minggu pemeliharaan sebesar 1639,8 g/ekor
(Yuanita 2009).
Konversi Ransum
Konversi ransum adalah perbandingan antara konsumsi ransum dengan
pertambahan bobot badan dalam satu periode produksi (Anggorodi 1994). Angka
konversi ransum menunjukkan tingkat efisiensi pengunaan ransum. Semakin
rendah nilai konversi ransum maka semakin tinggi tingkat efisiensi pengunaan
ransum hingga semakin ekonomis. Menurut Lacy dan Vest (2000), faktor utama
yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, kualitas ransum, penyakit,
suhu, sanitasi kandang, ventilasi, pengobatan dan manajemen kandang.
Lacy dan Vest (2000) menyatakan bahwa konversi ransum berguna untuk
mengukur produktivitas ternak. Semakin tinggi nilai konversi ransum
menunjukkan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan
bobot badan persatuan berat.
Karkas
Karkas ayam pedaging sesuai (SNI 01-3924-1995) ialah bagian dari ayam
pedaging hidup, setelah dipotong, dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak
abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (ceker).
Karkas merupakan bagian tubuh yang sangat menentukan dalam produksi
ayam pedaging. Produksi karkas berhubungan erat dengan bobot badan dan
besarnya karkas ayam pedaging cukup bervariasi. Perbedaan ini disebabkan oleh
ukuran tubuh, tingkat kegemukan dan tingkat perdagingan yang melekat pada
dada (Jull 1982). Persentase bobot karkas rata-rata ayam pedaging yang diberi
ransum komersial berkisar antara 68,04-71,80%, dengan konversi karkas antara
Indeks Performa (IP)
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
dalam usaha ternak adalah dengan menghitung indeks performa. Menurut Bell
dan Weaver (2002) dalam mengukur efisiensi pertumbuhan ayam broiler dapat
dilihat dari: bobot badan siap potong, konversi ransum selama pemeliharaan
dan umur mencapai bobot badan yang dikehendaki. Nilai IP dipengaruhi oleh
bobot badan akhir, persentase ayam hidup, lama pemeliharaan dan nilai konversi
ransum. Standar indeks performa adalah 200. Semakin tinggi nilai IP maka
semakin baik efesiensi dalam mengkonversi pakan. CISF (2008) menyatakan
bahwa nilai indeks performa <180 (jelek), 181-195 (cukup), 196-210 (baik),
211-230 (baik sekali), 231-240 (istimewa), 241-250 (sangat istimewa), >250 (super
istimewa).
Suhu Tubuh Ayam
Suhu tubuh ayam tergantung dari besarnya ayam, semakin besar tubuhnya
akan menghasilkan panas lebih banyak dan ayam broiler umur 5-7 minggu sangat
peka terhadap stres panas. Keadaan sangat berbahaya bila suhu lingkungan
melebihi 30°C (86°F). Bila suhu tubuh mencapai 47°C (117°F), maka ayam akan
mati karena jantung gagal berfungsi. Bila suhu tubuh meningkat, ayam lebih
banyak minum, pernafasan meningkat (dari 20 menjadi 240 kali/menit) dan
kehilangan panas insensible (melalui penguapan air dari paru-paru pada saat
terengah-engah) akan meningkat secara nyata (Suprijatna et al. 2005).
Pada suhu lingkungan 34°C (93°F) dan kelembaban 40%, ayam akan
kehilangan 80% dari panas yang dihasilkan melalui penguapan. Pada suhu yang
sama dengan kelembaban 50%, maka hanya setengah dari panas yang dikeluarkan
melalui penguapan. Hal ini akan menyebabkan peningkatan suhu tubuh ayam
(Suprijatna et al. 2005).
Bila udara sekitar basah (lembab), maka uap air yang dikeluarkan paru-paru
tidak dapat diserap sehingga ayam harus bernafas lebih cepat. Demikian juga bila
suhu udara luar tinggi, laju pernafasan ayam mungkin sudah kurang cepat untuk
membuang panas tubuh. Bila hal ini terjadi, suhu didalam tubuh akan terus naik
Tingkah Laku Ayam
Penelitian menunjukkan bahwa ayam memiliki kemampuan untuk
belajar, contoh nyata yaitu anak ayam mampu belajar menggenali tempat
ransum dan minum (Scanes et al. 2004). Lebih lanjut dikatakan kemampuan
mengingat ayam berdasarkan pengalaman dan pembelajaran yang
berulang-ulang. Penglihatan dan pendengaran merupakan indera perasa yang paling
cepat berkembang, keduanya memiliki peran penting pada tingkah laku sosial,
komunikasi dan respon pada pemangsa.
Pada kondisi lingkungan alaminya sangat penting bagi unggas untuk
mempertahankan kondisi bulunya dan cara ini diperoleh dengan melakukan
preening. Tingkah laku ini dapat dilakukan pada tempat yang sempit atau pada
kandang dengan kepadatan tinggi dengan tujuan untuk menyebarkan minyak
dari kelenjar uropygial yang terletak di pangkal ekor menggunakan paruhnya
ke seluruh bulunya (Appleby et al. 2004).
Tingkah laku agresif pada ayam adalah termasuk sifat kanibalisme
ataupun mematuk. Tingkah laku ini ditunjukkan oleh sekelompok ayam yang
dikandangkan bersama dan terjadi perkelahian atau kondisi terancam, dan
ketika salah satu ayam yang menjadi pemenang maka ayam tersebut memiliki
kekuasaan untuk mematuk yang kalah (Scanes et al. 2004).
Ayam sebagai hewan homeotermik, memiliki kemampuan untuk
mempertahankan suhu tubuhnya relatif stabil pada suatu kisaran suhu yang sempit
walaupun terjadi perubahan yang besar pada suhu lingkungan (Hilman et al.
2000). Ketika berada pada suhu lingkungan panas atau aktivitas tinggi, suhu tubuh
akan meningkat 1-2oC sebagai panas tubuh. Panas tubuh tidak dapat terus
meningkat sebelum suhu tubuh dapat beradaptasi sampai batas yang dilaluinya.
Panas yang dirasakan oleh ayam berasal dari panas endogen dan panas
lingkungan. Panas endogen merupakan panas yang dihasilkan dari proses
metabolisme dalam tubuh, sedangkan panas lingkungan dipengaruhi oleh unsur
iklim makro yaitu suhu udara dan kelembaban udara. Ayam broiler tidak dapat
melepaskan diri dari suhu lingkungan yang panas sehingga ayam akan mengatur
panas endogen dalam tubuh. Hal ini dilakukan untuk mencegah penimbunan
laju pernafasan. Selain itu, ayam juga akan mengembangkan sayapnya atau
menjauhkan sayap dari badannya dalam usaha memperlebar permukaan tubuh
(dilatasi), jika cara ini masih belum dapat mengatasi cekaman panas maka ayam
akan mengurangi konsumsi ransumnya. Penurunan konsumsi ransum
menyebabkan pengurangan produksi panas endogen sehingga dapat mengurangi
cekaman panas dalam tubuh ayam broiler. Adaptasi ayam untuk memelihara
keseimbangan suhu tubuh pada suhu lingkungan tinggi adalah mengurangi
konsumsi ransum (Butcher & Miles 2003). Penurunan intake ransum
dimaksudkan agar sedikit nutrisi yang dimetabolisme, sehingga panas yang
dihasilkan oleh tubuh dapat berkurang. Hal ini dapat menimbulkan pertumbuhan
yang lambat (Butcher & Miles 2003). Ayam juga akan lebih sering minum untuk
mendinginkan suhu tubuhnya, hal ini menyebabkan konsumsi ransum ayam
menurun pada saat udara panas.
Ayam tidak mempunyai kelenjar keringat untuk membantu dalam
penghilangan panas tubuh. Ayam menghilangkan kelebihan panas tubuhnya
melalui 4 cara yaitu : radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi. Bila suhu
lingkungan berada diantara 28-35oC maka penghilangan panas melalui radiasi,
konduksi dan konveksi umumnya mampu untuk mempertahankan suhu tubuh
ayam. Penghilangan air dengan cara evaporasi permukaan kulit adalah suatu yang
sangat penting dalam upaya mentransferkan panas tubuh bila suhu lingkungan
melebihi suhu tubuh. Kondisi suhu lingkungan yang tinggi dengan kelembaban
tinggi akan mempercepat terjadinya kematian karena arus konveksi panas yang
dikeluarkan oleh ayam ke udara tidak mengalir dengan baik (Leeson & Summer
2004).
Defra (2005) menjelaskan, tanda klinis yang jelas dari heat stress adalah
panting/pernafasan cepat dan dangkal/hiperventilasi. Panting dilakukan untuk
pengeluaran panas dari kerongkongan dan sistem respirasi yang biasanya terjadi
ketika suhu diatas 30oC. Pernafasan yang cepat akan membuat aliran udara baru
masuk pada saluran pernafasan bagian atas yang dapat mendinginkan darah di
dalam mukosa. Panting memerlukan peningkatan aktivitas otot, menimbulkan
pertambahan kebutuhan energi sehingga terjadi penurunan efisiensi pengunaan
pengeluaran CO2 dari paru-paru akan menyebabkan ginjal meningkatkan ekskresi
bikarbonat sebagai kompensasi. Panting atau hiperventilasi merupakan salah satu
respon ayam broiler yang nyata akibat stres cekaman panas dan juga mekanisme
evaporasi melalui saluran pernafasan. Panting adalah metode utama untuk
mengeluarkan air dan penghilangan panas pada ayam dengan cara membuka
mulut dan tampak terengah-engah (Scanes et al. 2004). Frekuensi panting akan
meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu lingkungan (Hasan 2006). Ayam
broiler mulai panting pada kondisi suhu lingkungan 29oC atau ketika suhu tubuh
ayam mencapai 42oC (Bell & Weaver 2002).
Rasio Heterofil-Limfosit
Heterofil merupakan leukosit pilymorphonuklear-pseudoesinophilic
granulosit. Granul dan heterofil berbentuk batang atau kumparan. Leukosit ini
intinya terkadang jelas berwarna merah tua dan granul seperti bola (Bacha &
Linda 2000). Heterofil banyak terdapat pada peredaran darah perifer pada
beberapa jenis unggas. Heterofil cenderung bulat dengan sitoplasma yang
berwarna lebih muda yaitu eosinofilik. Heterofil tua mempunyai inti berlobus
(biasanya dua atau tiga lobus) yang kasar, kromatin berumpun yang berwarna
ungu. Inti heterofil hampir sebagian tertutup oleh granul sitoplasma (Champbell
1995).
Limfosit adalah leukosit dengan jumlah paling banyak pada ayam dan
ukurannya bervariasi dari yang kecil sampai yang besar seperti pada mamalia
(Bacha & Linda 2000). Sel ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu kecil, sedang
dan besar, tetapi yang banyak di peredaran darah adalah yang berukuran kecil dan
sedang (Champbell 1995). Limfosit mempunyai inti bulat dan beberapa tepinya
berlekuk (Samuelson 2007). Pola kromatinnya cukup kasar dan menyatu (Bacha
& Linda 2000). Menurut Tizard (1982) limfosit memiliki fungsi kompleks dengan
fungsi utama yaitu memproduksi antibodi (limposit B) atau sebagai sel efektor
khusus yang menangani antigen yang melekat pada makrofag (limfosit T).
Stres diketahui dapat meningkatkan sel-sel heterofil dan menurunkan
jumlah sel-sel limfosit sehingga rasio antara heterofil dan limfosit meningkat
(Aengwanich & Chinrasri 2003). Selain itu stres dapat menurunkan titer
virus. Disamping itu, stres juga menaikkan jumlah heterophil sehingga
meningkatkan resistensi terhadap infeksi kuman. Peningkatan rasio
heterofil-limfosit selalu digunakan sebagai indikator yang akurat akibat cekaman panas
yang kronis pada ayam (Bedanova et al. 2003).
Buah Merah (Pandanus conoideus)
Buah merah merupakan tanaman yang tumbuh di Papua dan dapat
ditemukan di kota Jayawijaya, Manokwari, Timika, Nabire dan Sorong. Buah
merah dapat tumbuh di hutan tropis dan tumbuh di daerah pegunungan dengan
ketinggian sekitar 2000-3000 meter di atas permukaan laut di Papua.
Kultivar buah berbentuk lonjong dengan kuncup tertutup daun buah. Buah
merah sendiri panjang buahnya mencapai 55 cm, diameter 10-15 cm dan bobot
2-3 kg. Warnanya saat matang berwarna merah marun terang, walau sebenarnya ada
jenis lain yang berbuah berwarna coklat dan coklat kekuningan.
Tabel 1 Kandungan senyawa aktif buah merah
Senyawa aktif Jumlah
Di Papua buah merah dimanfaatkan sebagai ransum ternak, khususnya babi.
Bagi masyarakat di Wamena, buah merah disajikan untuk makanan pada pesta
adat bakar batu. Namun, banyak pula yang memanfaatkannya sebagai obat. Secara
tradisional, buah merah dari zaman dahulu secara turun-temurun sudah
dikonsumsi karena banyaknya khasiat dalam menyembuhkan berbagai macam
penyakit seperti mencegah penyakit mata, cacingan, kulit dan meningkatkan
Universitas Cendrawasih melakukan penelitian tentang buah merah untuk
pengobatan alternatif.
Menurut Budi dan Paimin (2005) bahwa potensi kandungan yang
diunggulkan di dalam sari buah merah diantaranya antioksidan. Warna merah
pada buah merah ini adalah karotenoid dan tokoferol. Kadar karotenoid pada buah
merah sangat tinggi yaitu 12.000 ppm, sedangkan kandungan tokoferolnya adalah
11.000 ppm. Komposisi senyawa aktif dari buah merah dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil penelitian Surono et al. (2008) terhadap ekstrak minyak buah merah
menunjukkan bahwa kandungan antioksidan berupa alfa-karoten, beta-karoten,
beta cryptoxanthin dan alfa tokoferol sekitar 94%, sisanya sekitar 5% adalah
karbohidrat dan tidak ditemukan adanya protein. Tokoferol, alfa tokoferol dan
beta-karoten, berfungsi sebagai antioksidan yang mampu menangkal radikal
bebas.
Buah merah juga mengandung bahan alami. Buah merah tidak mengandung
toksin dan efek samping. Beberapa orang akan menjadi diare setelah
mengkonsumsi buah merah, tapi keadaan seperti ini merupakan suatu hal yang
baik karena merupakan proses detoksifikasi. Beberapa diantaranya juga menjadi
lemah, demam dan mengantuk.
Menurut Budi dan Paimin (2005), pemberian sari buah merah melalui
ransum yang diberikan pada ayam petelur dan pedaging diperoleh hasil yang
cukup baik. Pada ayam petelur, terjadi peningkatan volume kuning telur dan
warna lebih merah setelah tiga hari pemberian. Pada ayam pedaging, pemberian
sari buah merah mampu menekan pembentukan lemak pada ayam, sehingga lebih
mendorong pada pembentukan daging.
Ampas buah merah adalah produk samping dari proses ekstraksi buah
merah dalam pembuatan sari, jus atau minyak buah merah. Menurut Budi dan
Paimin (2005), proses ekstraksi buah merah adalah buah merah matang yang
dipisahkan dari empulurnya (bagian kayu dibagian tengah buah), kemudian
dipotong-potong dan dicuci sampai bersih. Daging buah dikukus diatas api sedang
selama 1-2 jam, setelah itu dipisahkan dari biji buah dengan cara diaduk dan
diperas. Air ditambahkan hingga ketinggian 5 cm di atas permukaan bahan dan
dengan api sedang selama 5-6 jam sambil diaduk sampai muncul minyak
berwarna kehitaman di permukaan bahan. Setelah didiamkan selama satu hari,
akan terbentuk tiga lapisan, yaitu air lapisan bawah, ampas lapisan tengah dan
minyak di lapisan atas. Hasil samping dari proses ekstraksi buah merah di bagian
tengah inilah yang dinamakan ampas buah merah (Budi & Paimin 2005).
Kandungan nutrisi dan senyawa aktif ampas buah merah ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan nutrisi dan senyawa aktif ampas buah merah
Nilai nutrisi Jumlah
Pemberian ampas buah merah sebesar 1,5% dapat meningkatkan bobot badan,
indeks performa, bobot akhir dan persentase karkas ayam broiler. Pemberian
ampas buah merah juga dapat meningkatkan kualitas daging ayam broiler,
terutama kandungan karotenoid dan tokoferol serta menurunkan asam lemak
jenuh. Pemberian ampas buah merah dalam jangka waktu 7 hari mampu
meningkatkan produksi butir darah putih, namun pemberian ampas buah merah
secara terus-menerus selama 28 hari cenderung menekan produksi butir darah
putih dan menyebabkan stres pada ayam broiler.
Pemberian ampas buah merah pada ayam petelur sebagai imbuhan pakan
dapat diberikan sampai 4%. Hasilnya menunjukkan performa yang baik dengan
produksi telur 85%, mortalitas 0%, meningkatkan titer antibodi serta
menunjukkan pertumbuhan sel-sel limpoid aktif organ hati, ginjal, limfa dan ovari
(Imam Rahayu, unpublish)
Karotenoid dan Tokoferol
Buah merah mengandung zat aktif, diantaranya karotenoid, betakaroten,
tokoferol dan asam lemak tak jenuh. Disamping itu buah merah juga mengandung
komposisi nutrisi yang lengkap dalam dosis yang tinggi, seperti kalsium yang
memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Tokoferol yang ada di dalam buah merah tersebut adalah vitamin E alami
yang bisa mengencerkan darah. Vitamin E berfungsi sebagai zat anti penuaan,
antioksidan kedua, meningkatkan imun dalam tubuh dan mencegah kerusakan
radikal bebas.
Karotenoid dan tokoferol (vitamin E), seperti yang terkandung dalam ampas
buah merah berfungsi sebagai antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas
(Budi & Paimin 2005). Penambahan alfa tokoferol sebesar 160-200 mg/kg dalam
ransum meningkatkan perlindungan lemak terhadap oksidasi lemak dan
kandungan alfa tokoferol dalam karkas (Surai & Sparks 2000). Tokoferol (vitamin
E) dapat menguatkan dinding kapiler pembuluh darah dan mencegah terjadinya
hemolisis sel darah merah (Wahyu 2004) serta berperan dalam pembentukan sel
darah merah (Winarno 2008). Pemberian vitamin E sebanyak 250 mg pada ayam
petelur dapat mengurangi dampak stres panas (Bollengier-Lee et al. 1999).
lemak peroksida dan radikal bebas sehingga mengurangi dampak stres lingkungan
pada ayam petelur.
Betakaroten dan tokoferol merupakan kandungan utama mencegah stroke
dan penyakit jantung koroner. Betakaroten juga dapat menghilangkan
bintik-bintik di dalam pembuluh arteri. Betakaroten dapat melindungi sirkulasi darah
dari jantung ke otak. Tokoferol berfungsi untuk menurunkan kadar kolesterol
(LDL) dan meningkatkan HDL. Adanya sinergi antara betakaroten dan tokoferol,
maka penderita penyakit jantung dan stroke dapat disembuhkan dengan cara bisa
bernafas dengan lancar, detak jantung menjadi normal dan tekanan darah juga
menjadi normal (Budi & Paimin 2005).
Beberapa peneliti menyatakan bahwa senyawa antioksidan betakaroten
mampu meningkatkan proliferasi limfosit bursal dan limfa (Haq et al. 1996) dan
vitamin E mampu meningkatkan kekebalan humoral (Boa-Amponsem et al. 2001)
serta meningkatkan status antioksidan ayam (Surai et al. 1999).
Suhu Kandang
Pada ayam, untuk dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal
diperlukan suatu keadaan suhu dalam batasan zona lingkungan tertentu untuk
dapat hidup dalam suasana nyaman. Batas zona lingkungan yang diperlukan ayam
ini disebut dengan daerah suhu nyaman atau thermoneutral zone (Defra 2005).
Menurut Borges et al. (2004), zona suhu netral ayam broiler untuk pertumbuhan
berkisar antara 20-25°C dengan kelembaban berkisar antara 50-70%, hal ini
tergantung pada jenis dan umur ayam. Pada zona ini produktivitas ayam mencapai
titik optimum sesuai dengan potensi genetiknya (Kusnadi, 2004). Ayam
sebenarnya merupakan hewan homeotermik yang memiliki kemampuan untuk
mempertahankan suhu tubuhnya relatif stabil pada suatu kisaran suhu yang sempit
walaupun terjadi perubahan yang besar pada suhu lingkungan (Hillman et al.
2000). Ketika berada pada suhu lingkungan panas atau aktivitas tinggi, suhu tubuh
akan meningkat 1-2oC sebagai panas tubuh. Panas tubuh tidak dapat terus
meningkat sebelum suhu tubuh dapat beradaptasi sampai batas yang dilaluinya.
Ayam merupakan hewan yang tidak memiliki kelenjar keringat sehingga
pelepasan panas tubuh melalui permukaan kulit menjadi sangat terbatas.
menyebabkan ayam menderita cekaman dan hal ini dapat terjadi pada berbagai
tingkat umur. Ayam termasuk jenis hewan yang sangat rentan terhadap
peningkatan suhu lingkungan (Dawson & Whittow 2000; Defra 2005).
Ain Baziz et al. (1996) dan Cooper dan Washburn (1998) melaporkan,
bahwa cekaman panas nyata menurunkan pertambahan bobot badan dan konsumsi
pakan serta meningkatkan FCR (Feed Conversion Ratio). Geraert et al. (1996)
dan Al-Batshan (2002) serta Pope dan Emmert (2002), juga melaporkan bahwa
cekaman panas nyata menurunkan bobot hidup, pertambahan bobot badan dan
konsumsi pakan ayam broiler.
Salah satu adaptasi untuk memelihara keseimbangan tubuh pada suhu
lingkungan tinggi adalah mengurangi konsumsi pakan. Penurunan intake pakan
dimaksudkan agar sedikit nutrisi yang dimetabolisme, sehingga panas yang
dihasilkan oleh tubuh dapat berkurang. Hal ini dapat menimbulkan efek negatif
berupa pertumbuhan yang lambat (Butcher dan Miles 2003).
Cekaman panas menyebabkan adanya gangguan keseimbangan hormonal
pada ayam broiler. Pada kondisi stres, ayam broiler akan meningkatkan sekresi
hormon kortikosteron dari kelenjar adrenal. Dijelaskan pula bahwa hormon
kortikosteron ini berfungsi untuk merombak protein dalam sel otot menjadi
glukosa, proses ini dinamakan glukoneogenesis yang merupakan mekanisme
metabolis umum dalam mengatasi stres untuk kembali ke keadaan homeostatis.
Frandson (1994) menyatakan, bahwa stres yang bersifat fisik dan emosional
cenderung menghambat sekresi kelenjar tiroid.
Menurut Dawson dan Whittow (2000) upaya untuk mempertahankan sistem
homeostatis pada kondisi cekaman panas adalah mengeluarkan panas pada
kecepatan yang terkontrol. Pengeluaran panas pada permukaan tubuh dengan
melebarkan pembuluh darah di kulit, pial dan jengger dan dilanjutkan melalui cara
radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi disebut sebagai vasodilatasi.
Mekanisme vasodilatasi adalah adanya penghambatan pusat simpatis hipotalamus
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-April 2010, di kandang
percobaan blok B (unggas), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternak
Fakultas Peternakan IPB. Analisis bahan pakan dan ransum yang digunakan
dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB.
Analisis darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi Depertemen Ilmu Penyakit
Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Materi Penelitian
Ternak
Penelitian ini menggunakan 240 ekor DOC (day old chick) ayam broiler
strain Cobb. Ayam penelitian ditempatkan dalam 3 kandang yang memiliki suhu
berbeda.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang dengan sistem litter, yang terdiri
atas 6 unit yang masing-masing dibagi 4 sekat sebagai ulangan yaitu :
K1 : Kandang normal (sesuai dengan keadaan lingkungan, suhu berkisar,
28,9±1,0oC)
K2 : Kandang panas (diberi pemanas, suhu berkisar, 31,4±1,0oC)
K3 : Kandang nyaman (diberi pendingin ruangan, suhu berkisar, 24,6±1,0oC)
Masing-masing unit dibagi 4 petak kandang dengan ukuran panjang x lebar
sebesar 1 x 1 meter. Kandang dilengkapi dengan tempat ransum berupa nampan
untuk ayam sampai umur 1 minggu. Selanjutnya tempat ransum gantung
digunakan untuk ayam umur di atas 1 minggu sampai panen dan tempat minum
berukuran 10 liter. Sampai umur 1 minggu anak ayam diberikan pemanas dengan
menggunakan lampu bohlam berkekuatan 40 watt. Setelah itu ayam diperlakukan
sesuai dengan kandang perlakuan. Lampu digunakan sebagai penerang pada
malam hari. Pada kandang panas dan sejuk diberi exhaust fan untuk sirkulasi
udara mengeluarkan CO2 dari dalam kandang. Peralatan lain yang digunakan
adalah AC, heater, terpal, tempat penampung air, ember, plastik ransum,
basah, termometer rektal, pisau, mesin pencabut bulu (plucker), talam, plastik
pengepakan, selang dan baskom.
Ampas Buah Merah
Ampas buah merah berasal dari produk akhir proses ekstraksi buah merah
dalam pembuatan sari atau minyak buah merah yang diperoleh langsung dari
Papua.
Ransum Percobaan
Ransum pada penelitian ini terdiri atas ransum basal ayam broiler yang
diproduksi oleh pabrik pakan ternak PT Charoen Pokphand Indonesia ditambah
dengan 1,5% ampas buah merah sebagai feed additive. Adapun kandungan nutrisi
ransum ditunjukan pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil uji proksimat kandungan nutrisi ransum penelitian*
Nilai nutrisi Ransum Starter Ransum Finisher
Bahan Kering (%)
*) Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, 2010
Metode Penelitian
Persiapan Penelitian
Sebanyak 240 ekor anak ayam umur sehari (DOC) strain Cobb dibagi
secara acak dalam 3 kandang yaitu K1 (suhu normal), K2 (suhu panas) dan K3
(suhu nyaman) masing-masing kandang dibagi 2 taraf waktu pemberian ampas
buah merah yaitu W1 (ayam periode starter umur 1 sampai 21 hari dan W2 ayam
periode finisher umur 22 sampai 42 hari). Masing-masing perlakukan terdiri 4
ulangan dan setiap unit percobaan terdiri atas 10 ekor ayam yang telah ditimbang
untuk mengetahui bobot awal dan di tempatkan pada satu petak kandang dengan
DOC ayam broiler yang digunakan telah mendapatkan vaksinasi (ND, IBD,
ND-IBL) dari breeder.
Pelaksanaan Penelitian
Pada awal penelitian ayam ditimbang kemudian diacak dan ditempatkan
pada masing-masing kandang (Gambar 1). Setiap satu minggu dilakukan
penimbangan ayam untuk mengukur pertambahan bobot badan. Pengukuran suhu
tubuh dan pengambilan darah untuk pemeriksaan rasio heterofil-limfosit
dilakukan pada minggu ke-2, 4 dan 6. Sampel darah diambil melalui vena
brachialis di daerah sayap. Darah yang diambil digunakan sebagai sampel untuk
penentuan kadar heterofil dan limfosit. Ransum dan air minum diberikan ad
libitum dan dilakukan pengukuran sisa ransum dan air minum untuk mendapatkan
jumlah yang dikonsumsi. Pada akhir penelitian ayam ditimbang, kemudian
diambil sampel dua ekor per perlakuan ulangan, lalu dipotong untuk mengetahui
persentase karkas dan organ dalam ayam broiler. Selain itu juga diamati tingkah
laku ayam yang dilakukan pada minggu ke 2, 4 dan 6. Alur kegiatan dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1 Alur pelaksanaan kegiatan selama penelitian
Peubah dan Prosedur Pengukuran Parameter
Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi performa ayam broiler
yaitu: konsumsi ransum dan air minum, pertambahan bobot badan, konversi
ransum, bobot badan akhir, persentase karkas, mortalitas, indeks performa,
persentase berat organ dalam dan suhu tubuh. Selain itu juga diamati rasio
heterofil-limfosit dan tingkah laku ayam yang meliputi pengamatan jumlah ayam
Persiapan Kandang Pengacakan Ayam Pencampuran Ransum
Pengamatan dan Pengukuran Parameter
Pemberian Ransum, Minum dan Vitamin
Pengukuran
yang makan, minum, berbaring, tidur, berdiri, berjalan, preening, pecking object,
pecking of bird dan panting.
1. Konsumsi ransum (g/ekor) dan air minum kumulatif (ml/ekor)
Rataan konsumsi ransum dan air minum setiap ayam pedaging diukur
berdasarkan selisih ransum dan air minum yang diberikan dengan sisa ransum
dan air minum yang diukur setiap minggu pada setiap unit percobaan.
Konsumsi ransum dan air minum kumulatif dihitung dari perjumlahan
konsumsi ransum dan air minum selama 6 minggu pemeliharaan.
2. Bobot badan akhir (g/ekor)
Bobot badan akhir didapat berdasarkan penimbangan bobot badan pada akhir
pemeliharaan.
3. Pertambahan bobot badan (g/ekor)
Pertambahan bobot badan setiap ayam broiler dihitung dari bobot badan pada
akhir pemeliharan dikurangi bobot badan awal.
4. Konversi ransum kumulatif
Konversi ransum kumulatif dihitung berdasarkan perbandingan antara
konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan selama penelitian.
5. Persentase karkas (%)
Persentase karkas dihitung berdasarkan perbandingan antara bobot karkas
dengan bobot hidup ayam broiler pada akhir pemeliharaan dikalikan 100%.
Bobot karkas diperoleh berdasarkan bobot potong pada akhir pemeliharaan
dikurangi darah, bulu, kepala, kaki (shank), alat pencernaan dan organ-organ
tubuh bagian dalam kecuali ginjal dan paru-paru.
6. Mortalitas (%)
Mortalitas diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah ayam yang mati
dengan jumlah ayam semula dikalikan 100%
7. Indek performa
Indek performa untuk ayam broiler diperoleh dari rumus (Bell & Weaver,
2004)
Bobot hidup rata-rata (kg) x % ayam hidup
IP = x 100%
8. Persentase organdalam (%)
Persentase organ dalam dihitung berdasarkan perbandingan antar bobot organ
dalam (hati, jantung, rempela, limfa, usus, empedu) dengan bobot hidup
ayam broiler pada akhir pemeliharaan dikalikan 100%.
9. Suhu tubuh (oC)
Pengukuran suhu tubuh/rektal ayam menggunakan termometer rektal.
Pengukuran dilakukan di daerah anus ayam broiler pada minggu ke 2, 4 dan
6.
10. Pengamatan tingkah laku ayam (%)
Pengamatan tingkah laku ayam dilakukan pada minggu ke 2, 4 dan 6 meliputi
pengamatan jumlah ayam yang makan, minum, berbaring, tidur, berdiri,
berjalan, preening, pecking object, pecking of bird dan panting. Pengamatan
tingkah laku dilakukan 3 kali yaitu pada pagi hari pukul 07.00-08.00 WIB,
siang 12.00-13.00 WIB dan sore pukul 17.00-18.00 WIB dengan cara scan
sampling masing-masing kandang dilakukan pengamatan selama 2 x 1 menit.
(adopsi dari Soesanto, 2000).
11. Rasio heterofil dan limfosit
Pengamatan rasio heterofil-limfosit dilakukan pada minggu ke-2, 4 dan 6.
Heterofil dan limfosit ditentukan dengan metode preparat ulas dengan
pewarnaan Giemsa (Campbell, 1995).
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial dengan dua faktor yaitu 3 (tiga) jenis
suhu kandang dan 2 (dua) periode waktu pemberian ampas buah merah, sehingga
terdapat 6 perlakuan masing-masing dengan 4 (empat) ulangan dan setiap ulangan
Yijk= µ + αi +βj+(αβ)ij+ εijk
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan
ulangan ke-k
µ = Rataan umum
αi = Pengaruh faktor perlakuan ke-i βj = Pengaruhfaktor perlakuan ke-j αβij = Interaksi dari faktor i dan faktor j
εijk = Galat perlakuan
Data performa, organ dalam, suhu tubuh, dan rasio heterofil-limfosit
dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan apabila ada perbedaan antara
perlakuan, diuji lanjut dengan uji Duncan’s multiple range test (DMRT) (Steel &
HASIL DAN PEMBAHASAN
Performa Ayam Broiler
Hasil penelitian selama 6 minggu pada ayam broiler yang diberi ampas
buah merah 1,5% dalam ransum yang dipelihara pada suhu kandang berbeda
terhadap performa ditampilkan pada Tabel 4. Hasil analisis statistik menunjukkan
tidak terdapat interaksi antara periode pemberian ampas buah merah dengan suhu
kandang pada pengamatan performa ayam broiler. Perlakuan suhu kandang
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum, bobot badan akhir,
konsumsi air minum, pertambahan bobot badan, dan indeks performa.
Konsumsi Ransum Kumulatif
Konsumsi ransum kumulatif merupakan jumlah ransum yang dimakan ayam
selama hidupnya yang digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhannya
(Wahyu 2004). Hasil analisis statistik menunjukkan suhu kandang berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum kumulatif. Pada suhu nyaman
(24,6±1,0oC) ayam broiler mengkonsumsi ransum paling banyak yaitu
4789,63 g/ekor diikuti suhu normal 4596,38 g/ekor dan suhu panas
4091,63g/ekor.
Bell dan Weaver (2002) melaporkan bahwa perbedaan konsumsi ransum
ternak dipengaruhi oleh bobot badan, tingkat produksi, tingkat cekaman, aktivitas
ternak, mortalitas, kandungan energi dalam ransum dan suhu lingkungan kandang.
Tingginya suhu kandang menyebabkan turunnya konsumsi ransum ayam broiler.
Hal ini sesuai dengan pendapat Krogh (2000) yang menyatakan, bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah suhu lingkungan.
Menurunnya konsumsi ransum pada suhu kandang yang tinggi, tiada lain
merupakan usaha ayam dalam mengurangi penimbunan panas dalam tubuh, yang
biasanya diikuti dengan berkurangnya pertumbuhan. Ampas buah merah yang
diberikan pada periode starter ataupun periode finisher tidak berpengaruh
terhadap konsumsi ransum kumulatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
ampas buah merah tidak mempengaruhi palatabilitas ransum. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Yuanita (2009) yang menyatakan palatabilitas ransum yang
Tabel 4 Performa ayam broiler yang diberi ampas buah merah 1,5% (42 hari)
Pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). A,B,C
Pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
W1: pemberian ampas buah merah periode starter; W2: pemberian ampas buah merah periode finisher.
K1: kandang normal; K2: kandang panas; K3: kandang nyaman.
Tabel 4. memperlihatkan konsumsi ransum kumulatif ayam broiler yang
diberi ampas buah merah 1,5% pada periode finisher (W2) 0,64% lebih tinggi
dibandingkan pada periode starter (W1). Tingginya jumlah konsumsi ransum ini
disebabkan kecilnya dampak dari pengaruh suhu kandang pada kesehatan ayam
broiler pada saat periode finisher. Bell dan Weaver (2002) menyatakan bahwa
konsumsi ransum dipengaruhi oleh tingkat cekaman. Adanya kandungan
tokoferol, alfa tokoferol dan beta-karoten yang terkandung dalam ampas buah
merah yang berfungsi sebagai antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas
dan meningkatkan daya tahan ternak sehingga kesehatan ayam lebih baik.
Kecilnya dampak yang diberikan ini kemungkinan disebabkan sedikitnya jumlah
ampas buah merah yang diberikan, sehingga belum memberikan pengaruh yang
nyata pada ayam broiler. Jumlah kandungan vitamin E (tokoferol) yang dapat
mengurangi dampak stres panas pada ayam petelur sebanyak 250 mg
(Bollengier-Lee et al. 1999), 250 mg vitamin E dan 30 mg zinc pada puyuh (Sahin et al.
2006).
Bobot Badan Akhir
Bobot badan akhir merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk
menilai keberhasilan suatu usaha ayam broiler. Bobot badan akhir akan
menentukan besarnya pendapatan petani yang diperoleh dari suatu usaha
peternakan. Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan suhu memiliki
pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot badan akhir ayam broiler
(Tabel 4). Bobot badan akhir ayam broiler lebih dipengaruhi jumlah konsumsi
ransum selama pemeliharaan. Konsumsi ransum dalam jumlah kecil
menyebabkan ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhan ayam broiler juga terbatas,
sehingga bobot badan lebih rendah, diikuti dengan berkurangnya pertumbuhan
(Kusnadi 2004) Hal ini sesuai pendapat Pope dan Emmert (2002) yang
melaporkan, bahwa suhu panas nyata menurunkan konsumsi ransum dan bobot
hidup ayam broiler.
Pemberian ampas buah merah pada penelitian ini diharapkan mampu
mengurangi pengaruh suhu panas pada ayam broiler. Hal ini dapat dilihat dengan
tingginya bobot badan akhir ayam broiler walaupun pada suhu panas. Bobot
2243,56 g/ekor lebih rendah 5,36% dari kandang normal dan 21,07% dari
kandang nyaman. Bobot badan akhir pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan
dengan yang dilaporkan beberapa peneliti. Rataan bobot hidup ayam broiler umur
6 minggu yaitu 1579-1717 g/ekor (Al-Batshan 2002), 1850-1870 g/ekor (Pope &
Emmert 2002), 1059,99 g/ekor (Dewi 2007).
Adanya kandungan tokoferol dan beta-karoten pada ampas buah merah yang
berfungsi sebagai antioksidan yang diberikan baik pada periode starter maupun
periode finisher memberikan perlindungan terhadap kesehatan ayam broiler.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa senyawa antioksidan betakaroten mampu
meningkatkan proliferasi limfosit bursal dan limfa (Haq et al. 1996). Pemberian
tokoferol dapat menguatkan dinding kapiler pembuluh darah (Wahyu 2004) dan
mencegah terjadinya hemolisis sel darah merah dan mampu meningkatkan
kekebalan humoral (Boa-Amponsem et al. 2001), sehingga meningkatkan status
kesehatan ayam broiler.
Pertambahan Bobot Badan
Bell dan Weaver (2002) melaporkan peningkatan bobot badan ayam
broiler mingguan tidak terjadi secara seragam, setiap minggunya pertumbuhan
ayam mengalami peningkatan sehingga mencapai pertumbuhan maksimal,
setelah itu mengalami penurunan. Menurut Rasyaf (2002), pertumbuhan ayam
dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum, suhu lingkungan dan
pemeliharaan.
Uji statistik menunjukkan suhu kandang memberikan pengaruh yang sangat
nyata (P<0,01) terhadap pertambahan bobot badan ayam broiler. Pada suhu
nyaman, peningkatan bobot badan sebesar 445,88 g/minggu lebih tinggi dari suhu
normal yang hanya 422,75 g/minggu, sedangkan pada suhu panas hanya sebesar
367,13 g/minggu. Rendahnya pertambahan bobot badan ayam broiler pada
kandang normal dengan suhu berkisar 28,9±1,0oC dan kandang panas 31,4±1,0oC
disebabkan ayam pada kondisi ini telah mengalami stres panas. Hal ini sesuai
pendapat Austic (2000) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu lingkungan
yang melebihi kisaran zona suhu nyaman menyebabkan cekaman (stres) pada
ayam broiler. Keadaan suhu nyaman untuk pertumbuhan berkisar antara 20-25°C
konsumsi ransum agar panas yang dihasilkan oleh tubuh dapat berkurang. Hal ini
menyebabkan lambannya pertumbuhan (Butcher & Miles 2003). Turunnya
produksi pada kondisi cekaman panas tersebut, diperkuat dengan berkurangnya
retensi nitrogen, sehingga dapat menurunkan daya cerna protein dan beberapa
asam amino (Tabiri et al. 2000), sehingga ayam yang mengalami cekaman panas
memiliki bobot yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Pope dan
Emmert (2002) yang melaporkan bahwa suhu panas nyata menurunkan bobot
hidup dan pertambahan bobot badan ayam broiler.
Hasil penelitian menunjukkan rataan pertambahan bobot badan perminggu
terlihat terus meningkat seiring bertambahnya waktu pemeliharaan, namun
menurun pada minggu ke-6. Suhu lingkungan pada awal pemeliharan terlihat
tidak memberikan perbedaan pada pertumbuhan ayam broiler, ini dikarenakan
suhu kandang masih pada kisaran nyaman. Pada akhir minggu ke-2 hingga
minggu ke-6 terlihat jelas pengaruh suhu terhadap pertambahan bobot badan ayam
broiler. Pada saat ini batas suhu nyaman untuk pertumbuhan ayam telah
terlampaui sehingga terlihat bahwa ayam pada kandang panas memiliki
pertambahan bobot badan yang rendah.
Gambar 2 Pertambahan bobot badan (PBB) ayam broiler per minggu.
Keterangan : huruf super skrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01)
K1 : Kandang normal suhu (28,9±1,0oC) K2 : Kandang panas suhu (31,4±1,0oC) K3 : Kandang nyaman suhu (24,6±1,0oC)
W1 : Pemberian ransum basal + 1,5% ampas buah merah pada periode starter
W2 : Pemberian ransum basal + 1,5% ampas buah merah pada periode finisher
Pada Gambar 2 terlihat bahwa pertumbuhan tiap minggu terus meningkat
walau tidak seragam tetapi menurun pada minggu ke-6, hal ini disebabkan
pertumbuhan ayam telah sampai tahap maksimal. Bell dan Weaver (2002)
menyatakan bahwa peningkatan bobot ayam mingguan tidak terjadi secara
seragam, setiap minggu pertumbuhan ayam broiler mengalami peningkatan
hingga mencapai pertumbuhan maksimal, setelah itu mengalami penurunan.
Pemberian ampas buah merah tidak berpengaruh terhadap pertambahan
bobot badan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ampas buah merah pada
periode starter maupun pada periode finisher dapat mengurangi terjadinya
gangguan pada proses pencernaan yang disebabkan stres pada suhu panas. Selain
itu pemberian ampas buah merah juga dapat memperluas permukaan villi usus
halus pada ayam broiler. Semakin luas permukaan villi usus semakin besar
peluang terjadinya absorsi pada saluran cerna (Yuanita 2009). Adanya kandungan
zat aktif betakaroten (vitamin A) dalam ampas buah merah mempunyai fungsi
mempercepat pertumbuhan dan memelihara membran mukosa yang normal
(Wahyu 2004). Karotenoid dan tokoferol (vitamin E) terbukti mampu mengurangi
efek cekaman panas yang dapat menurunkan performa pada ayam broiler (Sahin
et al. 2001).
Konversi Ransum Kumulatif
Konversi ransum kumulatif ayam broiler dipengaruhi jumlah konsumsi
ransum dan pertambahan bobot badan. Analisis statistik menunjukkan tidak ada
interaksi antara suhu dan waktu pemberian ampas buah merah. Suhu dan periode
pemberian juga tidak berpengaruh terhadap konversi ransum selama penelitian
(Tabel 4).
Hasil penelitian menunjukkan konsumsi ransum kumulatif pada kandang
panas dan normal yang rendah menyebabkan bobot akhir ayam rendah, sedangkan
konsumsi ransum kumulatif pada kandang nyaman yang tinggi menghasilkan
bobot akhir yang tinggi. Nilai konversi ransum kumulatif tertinggi yaitu pada
kandang panas sebesar 1,82 sedangkan nilai konversi ransum kumulatif terendah
pada kandang nyaman 1,77. Nilai ini masih mendekati standar Charoen Pokphand
(2005) yang menyatakan konversi ransum ayam broiler umur 6 minggu sebesar