I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alam takambang jadi guru, filosofi utama yang selalu
dipakai oleh masyarakat Minangkabau secara turun-temurun,
baik di kampung atau di perantauan. Filosofi ini dikenal sebagai
ikhwal cara masyarakat Minangkabau dalam memandang dan
memaknai alam yang terbentang dan sering dianggap sebagai
pijakan dasar bagi masyarakatnya dalam mengembangkan diri
baik hari ini maupun dimasa datang. Alam sebagai ruang lepas
yang harus dipelajari sebaik mungkin karena alam merupakan
refleksi dari proses kehidupan manusia.
Secara filsafat, manusia dituntut untuk kritis dalam
menyikapi fenomena, baik fenomena alam maupun manusia.
Taufik Abdullah (1966) mengartikan alam dalam konteks
masyarakat Minangkabau, tidak hanya sekedar lingkungan biotis,
tetapi juga dipandangnya sebagai lingkungan sosial-budaya dan
lingkungan pemikiran (ideasional). Dengan kata lain, alam lebih
dipandangnya sebagai ranah (dunia) tempat dimana pergulatan
kehidupan dan pemikiran masyarakatnya ditemukan dan
dikembangkan.
Alam Takambang adalah alam yang membentang luas atau
alam raya ini dengan segala isinya. Guru bukan hanya seorang
masyarakat. Artinya, guru merupakan sumber belajar, baik untuk
disekolah maupun di luar persekolahan. Anak dapat belajar
dirumah dengan buku dan internet, anak dapat belajar dengan
binatang dan tanaman di kebun atau air yang mengalir di sungai.
Orang dewasa juga demikian belajar kapan dan dimana saja
sumber belajarnya tetap saja apa yang ada di lingkungannya.
Alam adalah informasi yang berlimpah. Salah satu alam
yang menjadi media informasi dan juga tempat bertukarnya
komunikasi di Minangkabau adalah surau dan lapau. Surau
merupakan tempat belajar dan beribadah bagi masyarakat.
Surau adalah salah satu tempat bertukar informasi dan sarana
komunikasi bagi masyarakat. Beberapa surau masih menjadi
corong komunikasi. Berita duka tentang masyarakat meninggal,
pengadaan pengajian dan juga tanam serentak adalah beberapa
informasi yang disampaikan.
Sedangkan lapau adalah media interaksi sosial masyarakat
berkumpul ketika sore sampai malam hari. Lapau merupakan
tempat paling favorit bagi kaum laki-laki di Minangkabau, setelah
surau. Ruang interaksi sosial yang memiliki aspek pembelajaran,
tempat duduk, bercanda, berdebat dan solidaritas yang
bermuara kepada uji nyali, harga diri dan kearifan kemudian
menjadi kekayaan bagi adat di ranah Minang. Lapau kemudian
adalah bakoa permainan koa menggunakan 11 kartu dengan
berbagai nama.
Bakoa disebut juga ceki permainan dengan 11 kartu ini
beranggotakan 4 oranng, menggunakan kartu ceki. Terbuat dari
kertas khusus dengan warna dasar kuning, berukuran 2x6 cm,
terdiri dari 30 motif. Permainan ini juga bamandan
(kerjasama;kongsi) yang dimainkan oleh empat orang, yang
mana setiap pemain mendapatkan sebelas lembar kartu.
Pada dasarnya permainan ini sangat sederhana hanya
mencocokan gambar kartu, tapi setiap pemain harus jeli dan
mempunyai daya ingat tinggi karena kalau dilihat sepintas
kartunya akan terlihat sama. Masing-masing berpacu untuk
mendapatkan 4 pasangan sama. Satu untuk mata, dua untuk
pendukung dan 1 untuk coki. Pemenang adalah seorang yang
mampu sampai atas coki 3 kali.
4. Hiu Bungo 5. Hiu Merah 6. Hiu Kuciang
7. Bengkok Itam/ Bengkok Wajik 8. Bengkok Gadang 9. Bengkok Aluih
10. Jarum Wajik/ Jarum Itam 11. Jarum Gadang 12. Jarum Aluih
13. Suduang Itam/ Suduang wajik 14. Pinggang 15. Suduang Putiah
19. Kapik Anam 20. Kapik Manih 21. Kapik Aluih
22. Sisiak Bendera 23. Sisiak Gadang 24. Sisiak Aluih
25. Pacah Lapan 26. Pacah Manih 27.
Pacah Aluih
28. Tali Bulek 29. Tali Merah 30. Tali Aluih Gambar1: 30 nama dan bentuk motif kartu koa
(Foto: Yulfa H. S, 2013)
Persoalan di dalam bakoa sarat dengan nilai-nilai. Nilai
positif dimana permainan kartu ini mengandalkan kemampuan
mengingat, menyusun strategi dan berpolitik. Mereka yang
mereka, strategi yang rapi menjadikan permainan semakin
menarik. Sementara negatifnya, koa sarat dengan judi. Layaknya
judi, mengakibatkan candu untuk mengulangi sehingga akan
membuat seseorang merasa butuh untuk datang ke lapau
bermain koa bahkan hingga pagi.
Pada hakikatnya setiap permainan tentu diawali dengan
komunikasi, menginformasikan tentang permainan bakoa ini,
kemudian mengumpulkan pemain, menjelaskan aturan-aturan
permainan kepada pemain. Saat permainan pun komunikasi
masih terjadi, istilah-istilah dalam bakoa, semisal ah..coki atau
coki duo nokang (sembari menjentikkan jari). Komunikasi yang
terjalin akan mudah dipahami dengan bahasa-bahasa keseharian
tempat permainan berlangsung. Karena Bakoa merupakan
permainan di masyarakat Minangkabau, tentu bahasa yang
digunakan bahasa Minangkabau.
B. Rumusan Ide Penciptaan
Berdasarkan paparan latar belakang penciptaan yang
penulis ungkapkan di atas, maka dapat dirumuskan ide
penciptaan sebagai berikut: Bagaimana menciptakan karya seni
lukis ekspresionis berdasarkan filosofis yang terkandung dalam
bakoa.
C. Keaslian/Orisinalitas
Karya seni dianggap orisinil apabila menampilkan corak,
akan memberikan gaya (style) dengan penggunaan teknik serta
media yang merupakan suatu tantangan bagi pengkarya.
Soedarso (2006:59) berpendapat “apapun yang dilukiskan atau
diciptakan oleh seniman, maka ciptaannya itu pasti
mencerminkan pribadinya karena merupakan hasil pengamatan,
pengolahan, dan pengaturan yang khas dari padanya”.
Kecerdasan kreatif adalah kemampuan untuk
memunculkan ide-ide baru, menyelesaikan masalah dengan cara
yang khas, untuk meningkatkan imajinasi, prilaku dan
produktivitas kerja. Seniman kreatif selalu berusaha mencari
nilai-nilai kebaruan pada saat mereka berhadapan dengan setiap
obyek dengan sikap pandangan yang berbeda untuk mencapai
originalitas yang tinggi. Proses dalam memilih medium, teknik
penggunaan medium, isian konsep, ekspresi, gagasan, sensasi,
atau perasaan mestilah sesuai dengan tema yang dipilih. Selain
itu, cenderung pengkarya ketika menciptakan karya seni di
pengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan lingkungan sekitar. Dalam berolah seni, pencarian jati diri adalah usaha
maksimal yang pengkarya jalani untuk menemukan karakter dan
bentuk artistik yang membedakan karya penulis dengan perupa
lainnya. Selain itu pengkarya juga mengacu pada karya-karya
seniman profesional untuk bahan pembanding dalam berkarya.
Seperti Yunizar, Hanafi, Ugo Untoro, Stefan Buana.
D. Tujuan dan Manfaat
a. Memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai filosofi
Alam Takambang Jadi Guru pada permainan yang telah
membudaya di Minangkabau, khusunya bakoa.
b. Sarana berekspresi yang berkaitan dengan imajinasi
dan intuisi perupa sendiri.
c. Menampilkan karya secara baik dan utuh sehingga
dapat dinikmati oleh penikmat seni.
2. Adapun manfaat penulis berkarya adalah sebagai berikut: a. Memaparkan kepada penikmat seni dan masyarakat
tentang permainan lapau yaitu bakoa sebagai media
pembelajaran.
b. Melestarikan permainan lapau kepada masyarakat
khususnya di Minangkabau.
II. KAJIAN SUMBER PENCIPTAAN
Dalam berkarya seni perlu adanya suatu kajian atau
penelitian yang mendalam guna memperkaya pengetahuan,
sehingga dapat mempertajam intuisi dan ekspresi dalam proses
mencipta. Melalui proses ini diharapkan bentuk karya yang
dihasilkan mampu memuat nilai-nilai estetik sertra daya kreatif.
Sumber penciptaan dalam karya tulis ini berasal dari ranah
budaya Minangkabau, didukung dengan sumber pustaka berupa
buku-buku dan artikel yang menunjang dalam melihat objek
memberikan inspirasi bagi karya yang diciptakan. Oleh karena
itu, dalam kajian sumber penciptaan ini akan dipaparkan, sumber
budaya Minangkabau tempat lahirnya objek penciptaan yaitu
bakoa, sumber pustaka dan karya-karya lain yang dijadikan
referensi.
1.Sumber Budaya
Lapau (warung) banyak dikunjungi pada pagi hari, siang hari
dan malam hari. Aktivitas di lapau ini menjadi bagian yang
penting bagi masyarakat Minang. Lapau bagi masyarakat Minang
bukanlah ruang konsumsi melainkan telah menjadi ruang sosial.
Orang-orang mendatangi lapau pada pagi hari setelah shalat
subuh, untuk minum segelas kopi atau teh dan pisang goreng. 1
Hal itu bukan karena di rumah mereka tidak dilayangi istri
atau orang tua mereka, tetapi lapau lebih kepada suatu
kebutuhan tempat berkumpul, bermain,bercengkrama
membicarakan serta menemukan semua informasi yang
berkembang dalam masyarakat. Bakoa merupakan salah satu
pamenan di Minangkabau yang disenangi kaum laki-laki. Bakoa
disebut juga ceki merupakan sejenis permainan kartu, biasanya
permainan ini berlangsung di lapau (warung) yang
beranggotakan 4 orang.
1 Ibrahim Lapau (rantau kecil) dalam Laporan pencitaan karya akhir Program
Permainan ini menggunakan kartu ceki. Terbuat dari kertas
khusus dengan warna dasar kuning, berukuran 2x6 cm, terdiri
dari 30 macam nama, bentuk dan sisi. Permainan ini dapat
dimainkan oleh empat orang, yang mana setiap pemain
mendapatkan sebelas lembar kartu. Pada dasarnya permainan ini
sangat sederhana hanya mencocokan gambar kartu, tapi setiap
pemain harus jeli dan mempunyai daya ingat tinggi karena kalau
dilihat sepintas kartunya akan terlihat sama. Permainan ini akan
berakhir jika salah satu pemain bisa mengeluarkan kartu 3 mata,
3 sama, 3 sama dan 2 ceki.
2.Sumber Pustaka
Jeffry Hadler dalam bukunya Sengketa Tiada Putus;
Matriakat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau,
Freedom Institute: Jakarta, 2010. Buku ini memaparkan tentang
sistem matriakat di Minangkabau kemudian memaparkan
kehidupan laki-laki yang sering menghabiskan waktu mereka di
lapau, surau dan rantau. Buku ini penulis gunakan untuk melihat
fenomena kehidupan laki-laki di lapau.
A.A. Navis dalam bukunya Alam Takambang Jadi Guru, PT
Grfiti Pers: Jakarta, 1984. Buku ini memaparkan tentang sejarah
Minangkabau, tambo yang menceritakan bagaiaman asal mula
minagkabau, realita falsafah Minangkabau dalam kehidupan
cara perkawinan di Minangkabau, dimana setelah menikah
laki-laki ikut kerumah pihak perempuan (rumah gadang) dan laki-laki-laki-laki
jarang menghuni rumah gadang tersebut. Laki-laki yang telah
menikah di Minangkabau biasanya sering menghabiskan waktu di
lapau untuk bermain permainan rakyat Minangkabau. Buku Alam
Takambang Jadi Guru memaparkan ragam permaianan tradisional
rakyat Minangkabau salah satunya bakoa.Buku ini penulis
gunakan untuk melihat sejarah permaianan tradisional di
Minangkabau.
Johan Zuizinga dalam bukunya Homoludens, LP3ES: Jakarta,
1990. Buku ini memaparkan bahwa manusia itu adalah makhluk
pemain serta defenisi permaianan. Penulis menggunakan buku
ini untuk melihat defenisi permainan, sifat serta fungsi
permainan sebagai bahan acuan karya lukis.
M.Dwi Marianto dalam bukunya Quantum Seni, Badan
Penerbit ISI; Yogyakarta, 2011. Buku ini menyajikan
pemahaman-pemahaman dasar mengenai seni, khususnya seni
rupa seperti apa itu seni, menderskripsikan, menganalisis,
mengintrepretasi, menilai seni, Dualitas Quantum, relasi antara
seni dan metafor, relasi antara seni dan daya hidup, daya hisup
keberagaman, observasi, berpikir dengan rasa, dan merasakan
rasa. Dalam buku ini Dwi Marianto juga kembali membahas soal
merasakan rasa. Dari artikel yang membahas rasa dalam buku
ini, Marianto mengatakan bahwa emosi dari seni adalah
ungkapan perasaan, sehingga kadang tidak terjelaskan secara
ilmiah dan obyektif. Pandangan itulah yang penulis jadikan
sebagai ransangan mencipta karya lukis sesyau dengan apa
yang penulis rasakan.
Soedarso Sp, dalam bukunya Trilogi Seni Penciptaan
Eksistensi dan Kegunaan Seni, BP. ISI: Yogyakarta, 2006. Buku ini
menguraikan trilogi seni yaitu penciptaan, eksistensi, dan
kegunaan seni. Dalam logi pertama dibeberkan raison d’erte
seni, mengapa seni diciptakan, didahului dengan pengertian
tentang seni dan hubungannya dengan manusia pembuatnya.
Logi yang kedua membahas bentuk kehadiran seni, sifat-sifat,
keragaman dan pengaruh-mempengaruhinya dan logi yang
ketiga dan terakhir adalah pembahasan fungsi seni di
masyarakat, termasuk bagaimana mengamati seni,
mengapresiasi seni dan bagaimana mengkritik seni. Buku ini
membantu saya memberikan pengetahuan mengenai motivasi
penciptaan seni beserta masalah-masalah dalam penciptaan
seni.
Soedarsono Sp, dalam bukunya Sejarah Perkembangan Seni
Rupa Modren, Bp. ISI Yogyakarta, 2000. Buku ini memberdah
modren di Barat bermula dari sebuah pemberontakan kecil tanpa
kata yang dilakukan oleh seniman Perancis, Jacques Louis david.
Di Indonesia, sejak Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia)
tahun 1937, dunia seni rupa Indonesia mulai menampilkan seni
rupa modren yang timbul karena imbas seni rupa modren Barat.
Buku ini membantu saya dalam memahami sejarah dan gaya
seni rupa modren, sehingga mampu untuk mendapatkan karya
lukis yang saya ciptakan di tengah seni rupa dunia.
Mudji Sutrisno, dkk., dalam bukunya yang berjudul Teks-teks
Kunci Estetika Filsafat Seni, Galang Pres: Yogyakarta. Salah satu
artikel dalam buku ini berjudul “Teori Estetika Menurut Benedetto
Croce” tulisan Leo Paramadita membantu saya dalam memahami
penciptaak karya seni yang didasarkan pada intiusi. Dalam
tulisan itu tampak bahwa Croce sangat menekankan pentingnya
peranan intiusi, dikatakannya bahwa hanya melalui intuisilah
sebuah karya seni itu tercipta dan mendapatkan sebuah
penilaian. Berpijak dari paparan Croce itulah saya menjadikan
intiusi menjadi mesin penggerak kreativitas.
III. LANDASAN PENCIPTAAN 1) Ide/Tema/Judul
Di dalam masyarakat terdapat bermacam-macam
permaianan. Dahulu permainan berlansung di alam terbuka,
yang berlansung terus menerus ketika anak-anak pulang
mengaji atau sekolah. Permainan yang menyatu dengan alam
dan berinteraksi dengan sesama menjadikan esensi
permainan tidak hanya menarik ketika ada yang menang,
namun menjadikan interaksi pada setiap bermain selalu
terjaga.
Seiring perkembangan zaman masih bisa melihat di
beberapa daerah permainan walau cara dan bentuknya
mengalami perubahan. Permainan hari ini lebih kepada
permainan fisik yaitu: permainan bola, kartu, catur, dan
lain-lain. Selain itu di masyarakat juga ada yang disebut dengan
permainan dengan kata-kata (pantun), dengan logika.
Sedangkan permaian semu/non fisik adalah sebuah
permainan yang menjadi peran dibalik permainan itu sendiri,
dalam arti sebuah permainan tersebut ada yang
memainkannya, sehingga permainan dapat dikendalikan
dengan mudah. Permainan kadang juga sudah dikemas
sedemikian rupa sehingga permainan yang kita lihat sudah
dirancang siapa yang kalah dan siapa yang menang, artinya
sudah ada konspirasi sebelumnya.
Permainan dipertentangkan dengan yang sungguhan.
Untuk sementara, pertentangan itu, sebagaimana halnya
direduksi. Tetapi jika diperhatikan lebih seksama, maka akan
terlihat bahwa pertentangan antara permainan dan
sungguhan itu tidak penuh dan bukannya tidak dapat
berubah.2
Fungsi permainan dalam bentuk-bentuk yang lebih
tinggi yang dibahas sekarang, sebagian besar dapat
dikembalikan kepada dua aspek dasar yang dengannya ia
menampilkan diri. Permainan adalah suatu perlombaan
memperebutkan sesuatu, atau suatu pertunjukan tentang
sesuatu. Kedua fungsi itu juga bisa bersatu sedemikian rupa
sehingga permainan itu merupakan suatu “pertunjukan”
mengenai suatu perlombaan mengenai siapa yang dapat
mempertunjukan sesuatu dengan cara yang paling baik.
Permainan Minangkabau sebagai kesenian tradisional
bersifat terbuka, oleh rakyat dan untuk rakyat, sesuai dengan
sistem masyarakatnya yang demokratis mendukung falsafah
persamaan dan kebersamaan antara manusia. Oleh sebab itu
sifatnya yang terbuka sebagai milik umum sehingga
permainan rakyat mudah berubah akibat persentuhannya
dengan kebudayaan luar. Pengertian berubah bisa diartikan
sebagai berkembang, memperkaya, atau memperbanyak.
Pemaparan diatas menjadi ide penulis menghadirkan
karya seni lukis dengan tema belajar memahami falsafah
alam takambang jadi guru dalam bakoa. Tema ini dipilih
karena pengkarya akan memvisualkan filosofi atau nilai-nilai
dalam bakoa melalui media lukis, diantaranya komunikasi,
etika, estika, hiburan, dan solidaritas.
2) Pengertian
Bakoa merupakan salah satu pamenan di Minangkabau
yang disenangi kaum laki-laki. Bakoa disebut juga ceki
merupakan sejenis permainan kartu, biasanya permainan ini
berlangsung di lapau (warung) yang beranggotakan 4 orang.
Permainan ini menggunakan kartu ceki. Terbuat dari kertas
khusus dengan warna dasar kuning, berukuran 2x6 cm, terdiri
dari 30 motif.
Permainan ini dapat dimainkan oleh empat sampai
enam orang, yang mana setiap pemain mendapatkan sebelas
lembar kartu. Pada dasarnya permainan ini sangat sederhana
hanya mencocokan gambar kartu, tapi setiap pemain harus
jeli dan mempunyai daya ingat tinggi karena kalau dilihat
sepintas kartunya akan terlihat sama. Permainan ini akan
berakhir jika salah satu pemain bisa mengeluarkan kartu 3
Coki duo nokang dipahami sebagai tindakan
menciptakan lebih dari satu peluang. Si pemain mendapatkan
dua kesempatan (duo coki) untuk menyelesaikan
permaianan, artinya disini dua kartu yang sama, satu kartu
pelengkap dan dua kartu yang sama, jadi si pemain
mendapatkan dua peluang untuk memenangkan permaianan
ini. Artinya tidak terbatas hanya duo (dua). Pada kehidupan
sehari-hari contohnya mengirimkan lamaran pekerjaan
kesejumlah perusahaan.
Tujuannya tentu, kalau yang satu tak merespon,
mungkin perusahaan lainnya akan membutuhkan. Semakin
banyak lamaran pekerjaan dikirimkan, jelas semakin banyak
pula peluangnya dapat pekerjaan.
3) Teori Penciptaan Seni
Penciptaan sebuah karya seni merupakan suatu
rangkaian, proses panjang yang berkembang dari dunia luar
ke dunia dalam seniman. Dari realitas sosial yang tampak
kemudian berdasarkan pengamatan dan realita-realita
tersebutlah diekspresikan dalam wujud karya seni. Seni pada
mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu
merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat
Karya seni adalah suatu hasil kreatifitas berdasarkan
suatu realitas. Upaya dari hasil karya tersebut dapat
diungkap beberapa unsur-unsur visual yang memiliki
tanda-tanda. Dalam lukisan tanda-tanda merupakan suatu bahasa
visual yang mengkomunikasikan ide, gagasan, ungkapan,
yang bisa mewakili dari pengalaman dan realitas sendiri.
Menurut Couto (2002 : 117), ”Simbol adalah jenis tanda yang
berdasarkan konvensi misalnya bahasa. Unsur-unsur seni
dalam berkarya seni merupakan bahasa visual menjadi tanda
dan simbol yang erat hubungannya dengan kondisi psikologi
seniman serta lingkungannya”.
Penciptaan karya lukis ini berdasarkan teori penciptaan
seni yang di kutip dari Parmono (2009 : 69-71), yaitu “(1)
teori metafisis, (2) teori ekspresi (pengungkapan), (3) teori
psikologis, (4) teori permainan. Pada penciptaan seni lukis kali
ini penulis menggunkan teori ekspresi dan teori permainan.
Teori permainan (play theory) yang dikemukakan oleh
F.Schiller mengatakan bahwa asal mula seni adalah dorongan
batin untuk bermain-main (play impulse) yang ada dalam diri
seseorang.”
Menurut pendapat The Liang Gie dalam Parmono (2009 : 71) menyatakan bahwa:
manusia terkait dengan adanya kelebihan energi yang harus dikeluarkan. Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis energinya untuk keperluan sehari-hari. Kelebihan tenaga itu lalu mencitpakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan imaginative dan akhirnya menghasilkan karya seni”.
Suatu strategi permainan adalah rangkaian kegiatan
atau rencana yang menyeluruh dari seorang pemain, sebagai
reaksi atas aksi yang diberikan pemain lain yang menjadi
pesaingnya. Dalam hal ini dianggap bahwa suatu strategi
tidak dapat dirusak oleh para pesaing atau faktor lain.
Strategi ini berlaku pada permainan bakoa, interaksi yang
terjadi sesungguhnya merupakan strategi masing-masing
pemain untuk mengetahui tingkat kemampuan lawan
mereka. Strategi permainan bakoa ini tentu merupakan
simultan penting untuk menuju menang atau harus
menerima kekalahan dan strategi ini tentunya berulang
selama permainan berlansung.
Strategi pada permainan dikatakan dominan bila setiap
hasil permainan dalam strategi berpengaruh paling besar
terhadap setiap hasil permainan yang berhubungan lansung
dengan strategi alternatif. Sedangkan suatu strategi
dikatakan optimal ketika rangkaian kegiatan atau rancana
posisi yang paling menguntungkan tanpa memperhatikan
kegiatan-kegiatan para pesaingnya. Pengertian posisi yang
paling menguntungkan adalah bahwa adanya deviasi
(penyimpangan) dari strategi optimal atau rencana optimal
akan menurunkan hasil permainan.
Teori Ekspresi (pengungkapan) di ungkapkan oleh fiilsuf
Italia, Beneditto Croce (1886-1952) dengan karyanya yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris "Aesthetics as
Sciences of Expression and General Linguistyic". Beliau
antara lain menyatakan bahwa "art is expression of
impression" (seni adalah mengungkapkan dari kesan-kesan).
Expression adalah sama dengan intuition, yaitu pengetahuan
intuitif yang diperoleh melalui pengkhayalan tentang hal-hal
individual yang menghasilkan gambaran angan-angan
(image). Dengan demikian pengungkapan itu terwujud
pelbagai gambaran angan-angan seperti misalnya: image,
warna, garis dan kata. Bagi seseorang mengungkapkan
berarti menciptakan seni dalam dirinya tanpa perlu adanya
kegiatan jasmaniah keluar. Pengalaman estetis seseorang
tidak lain adalah ekspresi dalam gambaran angan-angan.
Croce menyamakan intiusi dengan ekspresi, dalam arti
apa diekspresikan seniman adalah intiusi. Jadi, seni adalah
logis. Karya seni bukan ekspresi kalau dipenui muatan
pengetauan logis. Dalam pandangan ini Croce berusaha
menekankan bahwa pada dasarnya intiusi adalah suatu yang
otonom dan non konseptual (Paramadita dalam Tesis Ibrahim
Lapau,32). Karya seni mampu memberikan ‘kekuatan’ dan
kesannya sendiri tanpa harus membutuhkan pengetahuan
yang logis. Perbedaan antara pengetahuan intiutif dengan
pengetahuan logis terletak pada efek-efek yang dihasilkan
dari karakter-karakter yang melekat pada suatu karya seni
saat kita berusahan untuk menilainya.
Aspek rasa dan merasa memiliki peranan penting
dalam proses mencipta dan menilai karya. Rasa atau sense
adalah salah satu dari daya-daya khusus tubuh manusia,
yang dengan apa seseorang menyadari sesuatu (bisa melalui
penglihatan, yang dengan apa seseorang menyadari sesuatu
(bisa melalui penglihatan, pendengaran, penciuman,
sentuhan, atau pengecapan atau gabungan dari dua atau
lebih indra-indranya.3 Rasa adalah emosi, hakikat atau intisari
dari sesuatu.4(Marianto, 2011:43).
Pemahaman tentang rasa, tentang pentingya rasa, dan
tentang bagaimana relasi antara rasa dan pikiran, dan
tentang prinsip merasakan rasa sesuatu dalam dunia cipta
3 M.Dwi Marianto. Menempa Quanta Mengurai Seni, BP ISI, Yogyakarta,
2011,hal-43
seni perlu dipahami secara baik. Merasakan rasa (esensi dari
sesuatu) sesungguhnya merupakan faktor penting dalam
merepresentasi ide kreatif. Rasa adalah esensi, hakikat atau
intisari dari sesuatu. Untuk menangkap rasa (inti atau esensi)
seni, terlebih dahulu harus merasakan dan mengalami, tidak
hanya menganalisa secara kritis.
Ekspresionisme, adalah paham yang lebih bersifat
subjektif, yang memahami bahwa keindahan itu tidak terletak
pada seni yang dijadikan objek amatan. Dalam cakrawala
pemahaman ini, keindahan tidak terletak dalam/pada objek
yang dilukis. Keindahan dari objek itu baru ada setelah objek
itu diamati dan dimaknai. Sebelum ia di amati dan dimaknai
ia tidak punya nilai yang signifikan, bahkan tidak terlihat
adanya. Makna dari objek seni yang bersangkutan itu
tergantung pada subjek yang memandang dan
memaknainya.5(Marianto : 43).
Seseorang ekspresionis lebih menguntamakan
sensabilitas (keterbukaan yang besar, sensivitas pada
impresi-impresi emosional) tentang alam, atau ia lebih
mengutamakan sesuatu yang ditangkap dengan rasanya
daripada apa yang ada di alam sebagimana adanya. Donis
A.Dondis, dalam A Primer of Visual Literacy, juga mengatakan
hal yang sama bahwa ekspresionisme sering memakai
pendekatan hiperbolik dan berlebih-lebihan, dengan tujuan
mendistorsi realitas guna menghasilkan suatu gaya atau
presentasi yang dapat memprovisasi emosi.6
Menurut Wallschlaeger dalam Couto (2008 : 218)
terdapat tiga bentuk visual:
a). representasi objek (ikon tanda) benda alam: mengacu kepada imitasi bentuk, menyerupai objek yang sudah dikenal, yang dibuat dengan menggunakan teknik visual media seperti titik, garis, dan bidang. b). Representasi abstrak, gambar yang dihasilkan bukanlah icon visual (tidak mirip bentuk realistik), tanda seperti pictograph memiliki kemiripan dengan benda asli, signifikasi diperoleh melalui asosiasi pengamat dengan menghubungkan sandi (yang mirip) dengan kenyataan. c). Tanda nonrepresentasi, berupa gambar yang tidak memiliki kemiripan dengan objek nyata yang dikenal, gambar yang dibuat bermaksud untuk menggambarkan konsep atau gagasan, meringkas suatu tindakan sebagai symbol (signifikasi).
Utami dalam id.wikipedia.org/wiki/Seni_kontemporer
(online:14 September 2013) menyimpulkan:
”Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan,
gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu”.
Sebagai landasan penciptaan karya seni bagi penulis
adalah keinginan dari diri penulis untuk menciptakan karya
seni dalam bentuk lukisan
kontemporer.id.wikipedia.org/wiki/Seni_kontemporer,
(online:2013) mendefinisikan “Lukisan kontemporer adalah
karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang
sedang dilalui”.
Pendapat lain mengatakan bahwa:
Seni kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini; jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang (id.wikipedia.org/wiki/Seni kontemporer, online:2013).
Di zaman Kontemporer bentuk kesenian lebih banyak
perubahannya baik secara kebendaan atau kajian estetiknya.
Di era Kontemporer ini aturan-aturan yang telah ada
seolah-olah dihancurkan, yang dulunya karya seni itu harus
menyenangkan, sekarang dapat tejadi sebaliknya. Yang
dulunya karya seni itu setidaknya masih
mempertimbangkan etika sosial, etika agama atau
kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan
dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin
dianggap using (Wisetetromo, 2010).
Sedangkan kaitan seni kontemporer dan (seni)
postmodern Yasraf Amir Pilliang menjelaskan bahwa:
Seni kontemporer adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu, dengan catatan khusus bahwa seni postmodern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni postmodern, seni postmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan yang (bersifat futuris). Dapat diartikan seni rupa kontemporer adalah upaya untuk keluar dari batasan seni rupa modern dan menyamarkan batas antara seni tinggi dan seni rendah, yang melahirkan bentuk-bentuk seni baru (Piliang, 2004 : 34).
IV. METODE DAN PROSES PENCIPTAAN A. Metode Penciptaan
Metode penciptaan merupakan suatu cara yang digunakan
dalam proses penciptaan karya seni. Masing-masing seniman
tentu memiliki metode yang khas dalam proses penciptaanya.
Metode yang digunakan salah satu seniman belum tentu dapat
Oleh karena itu, sebagai seniman yang berlatar belakang
budaya Minangkabau dari konsep kekaryaannya bertolak dari
rasa, bertopang pada sensitivitas dan spontanitas, maka metode
yang digunakan dalam proses penciptaan saya bertumpu pada
pepatah petitih Minangkabau yaitu, “raso dibaok naiak, pareso
dibaok turun” (rasa dibawa naik, pikiran dibawa turun). Maka dari
filosofi Minangkabau itu penulis merumuskan metode
penciptaan dalam mencipta karya lukis ini yaitu rasa, periksa,
dan rupa.
1. Rasa
Setiap aspek visual dan audio apapun saja yang kita lihat
dan dengan memiliki rasa tertentu, rasa itu dipantulkan dengan
kuat ataupun lemah tergantung keterlibatan emosi orang yang
membuat atau menciptakannya. Pada benda-benda untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari terasa bahwa rasa yang
dipancarkan lemah, namun hal itu berbeda dengan rasa yang
dipancarkan pada benda atau aktivitas seni. Rasa yang
dipancarkan pada benda seni atau aktivitas seni begitu kuat dan
mendalam sehingga mampu menciptakan emosi estetis bagi
penikmat yang merasakannya.
2. Periksa
Rasa yang terpancar dari emosi tertentu itu kemudian dibawa
pemikiran-pemikirannya, konsep-konsep, dan berbagai olah pikir lainnya,
sehingga didapatkan visi atau cita-cita artistik yang hendak
dicapai. Dari sinilah nantinya diketahui media dan teknik seperti
apa yang tepat untuk digunakan. Pada tahap ini belumlah
selesai, visi atau cita-cita artistik yang hendak dicapai pada
tataran pikir itu, harus kembali dibawa turun (pareso dibaok
turun), sehingga saat berkarya bukanlah pikir yang
menggerakkannya, namun rasa yang telah berdialog dengan
pikir yang menafasi dan menggerakkan proses kreasi.
3.Rupa
Hasil dialektika antasa rasa (raso) dan pikir (pareso) ini
menghasilkan rupa yang berupa garis, warna, komposisi, dan
tekstur. Maka rupa dalam karya-karya lukis pengkarya tidak
dapat ditebak bentuk akhirnya, dalam sebidang kanvas akan
dipenuhi oleh goresan dan warna-warna yang saling tumpah
tindih, namun dapat pula terjadi dalam sebidang kanvas hanya
beberapa garis dan warna. Semua tergantung sebeberapa besar
dialog antara rasa dan pikir itu terjadi.
B. Proses Penciptaan
Dalam prose penciptaan karya lukis ini penulis
menggunakan kuas dan pisau palet. Sedangkan bahan yang
penulis pakai adalah cat akrilik. Proses penciptaan karya ini
1.Pembuatan kanvas
Setelah pengembangan sketsa terpilih, selanjutnya
disiapkan bidang yang akan dijadikan media untuk lukisan yaitu
kanvas. Langkah pertama adalah menyiapkan span-ram,
kemudian memasangkan kanvas pada span-ram yang sudah
tersedia. Tahap selanjutnya memberi cat dasar pada bidang kain
kanvas, dalam hal Ini penulis memakai cat genteng yang
dicampur dengan lem fox.
2.Proses penggarapan awal
Setelah selesai menyiapkan bidang yang akan di jadikan
lukisan, pada tahap ini penulis melakukan tahap pewarnaan latar
dan pemindahan sketsa pada bidang kanvas. Kemudian
dilanjutkan dengan tahap pembuatan tekstur. Pembuatan tekstur
pada bidang kanvas penulis bereksperimen dengan memakai
pisau palet sehingga mendapat kesan kedalaman tipisnya objek
yang ditampilkan. Dalam penggarapan tekstur ini penulis
membentuk figur-figur imajiner yang nantinya penulis jadikan
sebagai objek untuk ditampilkan dalam karya lukis ini.
3.Proses Penggarapan Akhir
Proses ini merupakan lanjutan dari proses penggarapan awal
tadi maksudnya setelah pemberian wana latar dan pemindahan
sketsa, serta pemberian tekstur pada figur yang ditampilkan
maka tahap selanjutnya pewarnaan objek dengan teknik
transparan dengan mempertimbangkan beberapa unsur estetika
icon yang mendukung. Dalam tahapan ini tentu penulis
mempertimbangkan beberapa unsur estetis lainnya seperti:
dalam hal pemilihan warna yang sesuai dengan pesan dan
makna yang ingin penulis sampaikan, selain itu kesan keruangan
dengan permainan gelap terang dapat dicapai dengan warna,
begitu juga keseimbangan melalui warna juga dapat dilakukan.
Tahap selanjutnya adalah pemberian coretan-coretan liar dan
simbol-simbol yang mendukung pada objek yang penulis buat
agar bentuknya lebih terkesan liar dan menarik.
4.Proses finishing
Selesainya proses pengggarapan akhir diatas tadi, maka
tahap selanjutnya adalah tahap finishing, dengan memakai clear
agar terlindung dan terlihat menarik. Mengingat lukisan ini
adalah karya studi maka pada tahap ini juga penulis meminta
pendapat, saran, kritik dan masukan dari dosen pembimbing TA
maka dilakukan pembenahan pada karya tersebut.
5.Penyajian karya
Karya lukisan ini disajikan dalam bentuk pameran Tugas
Akhir.
Bagan Struktur Pembuatan Karya
Mengamati
Sketsa Konsultasi Visualisasi Kontemplasi