KEKERASAN YANG DILAKUKAN KELUARGA DALAM UPAYA
PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA NASIONAL
(Studi Kasus Di Kota Medan)
TESIS
Oleh:
M
uhammad Ansori Lubis
017005025/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2 0 0 7
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
HALAMAN PENGESAHAN
JUDUL TESIS : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
KORBAN
(TINDAK) KEKERASAN YANG DILAKUKAN KELUARGA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA NASIONAL (Studi Kasus di Kota Medan)
NAMA MAHASISWA : MUHAMMAD ANSORI LUBIS
NOMOR POKOK : 017005025
PROGRAM STUDI : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Chainur Arrasyid, SH. K e t u a
Prof. Muhammad Daud, SH. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS.
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktris
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Prof. Dr.Ir. T. Chairun Nisa
B.Msc
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan shalawat beriring salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW atas terselesaikannya penulisan hasil penelitian tesis ini yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan Yang Dilakukan Keluarga Dalam Upaya Pembentukan Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus di Kota Medan)”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan moril, masukan, saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih khususnya penulis sampaikan kepada yang terhormat dan
amat terpelajar Bapak Prof. Chainur Arrasyid, SH, Bapak Prof.Muhammad Daud
SH dan Bapak Prof.Dr. Alvi Syahrin, SH.MS, atas kesediaannya membantu dalam
rangka memberikan bimbingan dan petunjuk serta arahan kepada penulis demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga telah diperoleh hasil yang maksimal.
Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada para Dosen
Penguji di luar komisi pembimbing yaitu, yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Prof.
Warsani, SH., dan Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH.MH., yang juga telah banyak memberikan masukan, petunjuk dan arahan yang konstruktif terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium sampai seminar hasil menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH., selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum, dan Ibu Dr. Sunarmi, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Para Ibu dan Bapak Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya pada
Magister Ilmu Hukum yang membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi, atas jasa dan budi baik para Ibu dan Bapak Dosen, penulis ucapkan terima kasih.
4. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
5. Para responden khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
mempunyai perhatian di bidang perlindungan anak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan bantuan berupa data dan informasi yang penulis butuhkan dalam rangka penulisan tesis ini.
6. Ibu Sariaty PR. Siregar Br. Pardede selaku Ketua Umum Yayasan Perguruan
Darma Agung yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
7. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, MS, selaku Rektor Universitas Darma Agung
tempat penulis bekerja yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
8. Bapak Faisal Akbar Nasution, SH.M.Hum., dan Bapak Dr. Pendastaren
Tarigan, SH.MS, selaku Dekan dan mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung yang telah memberikan dorongan dan masukan-masukan dalam penulisan tesis ini.
9. Rekan-rekan pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, yaitu Antoni Tarigan, SH.CN, Majda El Muhtaj, M.Hum., Marlia Sastro, M.Hum, Habibie, SH, yang selalu memberikan bantuan, dorongan dan motivasi kepada penulis dalam rangka penyelesaian studi pada Program Magister Ilmu Hukum dan juga rekan-rekan di Fakultas Hukum UDA, Syawal A. Siregar, SH.Sp.N.MM, Alusianto Hamonangan, SH., Drs. Usman Marpaung, Manahan Nainggolan, SE dan Lanna Siregar, ST.
Secara khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada Ayahanda Alm. Haji Adam Nurdin Lubis dan Ibunda Hj. Nurhayati terima kasih buat do’a dan cintanya. Buat isteriku tercinta Dra. Maya Linsa Sipahutar serta anak-anakku tersayang Febby Putri Anasya Lubis, Muhammad Fadhil Lubis dan Alm. Nazwa Puteri Lubis terima kasih atas pengertian dan pengorbanan serta do’anya selama penulis mengikuti perkuliahan.
Akhirnya semoga segala budi baik, jasa-jasa dan semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang berlimpah dari Allah SWT.
Semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum, meski keberadaannya bagaikan setetes air di atas lautan yang luas dan dalam.
Amin.
Medan, Pebruari 2007
Penulis,
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007
Kekerasan terhadap anak atau violence (terutama child abuse, sexual
exploitation dan economic exploitation) masih terus berlangsung. Di Indonesia, puluhan ribu perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun, berkeliaran siang dan malam sebagai komoditas seks, baik ke pasar seks domestik maupun manca negara. Lembaga internasional meramalkan, Indonesia akan segera menjadi tujuan pelancong seks dari luar negeri. Selain menjadi komoditas seks, ada berjuta-juta anak Indonesia yang terpaksa bekerja sebelum waktunya secara tidak layak dalam berbagai bentuk pekerjaan seperti mengemis, menjajakan surat kabar di jalanan atau mengais-ngais gundukan sampah.
Menurut taksiran, dewasa ini diperkirakan jumlah anak Indonesia usia di bawah 14 (empat belas) tahun yang secara ekonomis aktif adalah sekitar 2 sampai 4 juta anak. Tetapi sekedar angka saja, tidak dapat menggambarkan penderitaan fisik, intelektual, emosional dan moral yang harus ditanggung pekerja anak. Angka itu tidak mengungkapkan bagaimana hari depan seorang anak yang tidak berpendidikan, hari depan seseorang tanpa harapan akan perbaikan.
Bentuk kekerasan yang dialami anak, bukan saja berasal dari kondisi atau keadaan keluarga dan bangsa, tetapi juga berasal dari perlakuan anggota keluarganya sendiri.
Kekerasan di rumah tidak terjadi begitu saja tetapi ada kondisi sosial-budaya yang mendukung terjadinya kekerasan tersebut.
Kondisi tersebut secara minimal dapat dikategorikan menjadi kondisi budaya, kondisi sosial dan kondisi ekonomi sedangkan bentuk kekerasan yang dialami anak dapat berupa tindakan-tindakan kekerasan baik secara fisik, psikis dan seksual.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahannya adalah : (1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak menurut hukum positip; (2) bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan yang dilakukan keluarga dalam upaya pembentukan hukum pidana nasional.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.
**) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis sosiologis.
Hasil penelitian dalam tesis ini adalah menunjukkan bahwa pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap anak tidak diatur secara tersendiri, pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti dalam UU No. 23 Tahun 2002, UU No. 23 Tahun 2004, UU No. 4 Tahun 1979, UU No. 3 Tahun 1999, sehingga dari berbagai peraturan perundangan tersebut tidak dijumpai keseragaman defenisi tentang anak dan batas usia siapa yang disebut dengan anak tersebut, untuk itu dalam pembentukan KUHP Nasional perlu ditegaskan batasan umur anak yang dapat dijadikan acuan bagi hukum positif khususnya dibidang perlindungan anak. Sedangkan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan yang dilakukan keluarga dalam pembentukan KUHP Nasional perlu diatur secara tegas tentang hak-haknya, yang dalam hal ini perlu diatur pertanggung jawaban perdata pelaku tindak kekerasan terhadap anak disamping pertanggung jawaban pidana. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa perkembangan menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan keluarga pada kenyataannya sering terjadi dalam kehidupan masyarakat sementara perlindungan terhadap anak korban kekerasan masih sebatas pemberatan hukuman kepada si pelaku tanpa memberikan ganti rugi kepada si korban.
Kewajiban negara secara yuridis akan bergantung pada hukum positif yang ada di dalam negara tersebut untuk dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap seorang anak, dan usaha perlindungan terhadap anak harus didukung oleh adanya hukum perlindungan anak yang efektif dan komprehensif.
_________________________ Kata kunci :
- Perlindungan Anak - Kekerasan terhadap anak
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Law Protection Against Child Abuse Committed by Family in Efforts of Forming National Criminal Law
Violence against child (mainly child abuse, sexual exploitation and economic exploitation) has still been continuing. In Indonesia, thousands of girls under 18 years old, wander about in the afternoon and night as sex commodity, either to domestic sex marketing or foreign countries. An international organization predicts that Indonesia will be tourist sight-seer aim soon from abroad. Besides being sex commodity, there are millions of Indonesian children being forced to work before unreasonable time in various jobs as begging, peddling news paper in the street or scraping pile of rubbish.
According to estimation, now a days it is estimated that there are around 2 or 4 million Indonesian children under 14 years old being active economy, but it is only in number, it can’t describe physical, intellectual, emotional and moral anguish that must be born by child worker. That number doesn’t express how a child’s future who doesn’t have education, without hope for improvement.
The form of violence experienced by a child is not only from family and nation condition but also from his own family’s treatment. Violence at home doesn’t happen just like that but there is cultural social condition that supports the violence to happen. Minimally, that condition can be categorized to be cultural condition, social condition and economic condition while the form of violence experienced by a child can be violence actions in physics as well as mental and sexual.
Based on the description above, the problems are (1) how law protection against child according to positive law; (2) how law protection against child abuse committed by family in efforts of forming national criminal law.
∗
Student of study Program of Law Magister in Post Graduate of North Sumatera University. **
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Research methode used is research methode of normative juridical law and sociological jurisdiction.
The result of research in this thesis indicates that the arrangement of law protection against child is not arranged separately, the arrangement spreads in various legislation regulation as in regulation No. 23 year 2002, regulation No. 23 year 2004, regulation No. 4 year 1979, regulation No. 3 year 1999, with the result that from various legislation regulations are not found the same definition about child and whose age limit is said to that child, for that, in forming National KUHP needs explaining the child age limit that can be made in to a proposal for positive law, especially in child protection field, while law protection against child abuse committed by family in forming National KUHP needs arranging firmly about child’s rights, in this case, it needs arranging the responsibility of violence doer court of justice against child besides the responsibility of criminal. This is based on the consideration thet development indicates violence committed by family often happens in reality in society life while protection against child abuse is still severe punishment for the doer without giving compensation to the victim, juridically, country obligation will depend on positive law its self in thet country so that it can give reasonable protection against a child, and protection efforts against child must be supported by effective and comprehensive child protection law.
____________________
Keyword : - Protection child - Violence against child
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007
2. Bagi Pemerintah/ Penegak Hukum ……….. 8
3. Bagi Masyarakat ……….. 8
E. Keaslian Penelitian ……….. 8
F. Metode Penelitian ……… 9
1. Jenis Penelitian ……… 9
2. Metode Kajian (Pendekatan) ……….. 9
3. Sifat dan Bentuk Penelitian ……… 10
4. Lokasi Penelitian ……… 11
5. Alat Pengumpulan Data ………. 11
6. Pengolahan, Analisis dan Konstruksi Data ……… 12
BAB II : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI TINDAK KEKERASAN A. Anak 1. Pengertian Anak ……….. 14
2. Sejarah Lahirnya Hukum Anak di Indonesia ……….. 23
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
B. Child Abuse / Kekerasan Pada Anak
1. Psikologi Perkembangan Anak ………... 49
2. Viktimologi/ Ilmu Pengetahuan mengenai korban …………. 54
3. Kekerasan pada Anak di dalam keluarga (Domestic Child
Abuse) ……… 60
C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Tindak Kekerasan ... 65
BAB III : KAJIAN TERHADAP KEKERASAN ANAK
A. Kajian Empiris ……….. 83
B. Kajian Normatif ………. 92
1. Keterbatasan Kerja Hukum ………
92
2. Perbedaan Dalam Mengartikan “Child abuse” di Indonesia . .
93
3. Perlindungan Yang Dapat Diberikan Hukum ……… 97
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Anak Dalam Keluarga ………. 117
B. Perlindungan Anak Dalam Masyarakat ………. 126
C. Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Anak ……… 128
D. Usaha-usaha Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan 132
E. Kekerasan Dikaitkan Dengan Pembentukan KUHP Nasional…135
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……… 138
B. Saran ……….. 139
DAFTAR PUSTAKA ……… 141
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007
BAB II : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI TINDAK KEKERASAN
C. Kekerasan pada Anak di dalam keluarga (Domestic Child Abuse)………..………. 9
D. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Tindak Kekerasan ... 11
BAB III : KAJIAN TERHADAP KEKERASAN ANAK A. Kajian Empiris ……….. 14
B. Kajian Normatif ………. 15
1. Keterbatasan Kerja Hukum ……… 16
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Anak Dalam Keluarga ………. 19
B. Perlindungan Anak Dalam Masyarakat ………. 21
C. Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Anak ……… 22
D. Usaha-usaha Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan 24
E. Kekerasan Dikaitkan Dengan Pembentukan KUHP Nasional… 25
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……… 27
B. Saran ……….. 28
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007
Anak merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang berkedudukan mulia.
Keberadaannya, melalui proses penciptaan yang dimensinya sesuai dengan kehendak
Allah SWT. Secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transedental
dari proses ratifikasi sains (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur Ilahiah yang
diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spiritual yang diambil dari
proses keyakinan (Tauhid Islam) (1)
Penjelasan kedudukan anak dalam Agama Islam ditegaskan dalam Al-Qur’an
Surah Al-Isra’ ayat (70) yang terjemahannya : “Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan Anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (2)
Penjelasan Surah Al-Qur’an tersebut diikuti dengan Hadist Nabi Muhammad
SAW yang artinya “Semua anak dilahirkan atas kesucian, sehingga ia jelas bicaranya,
maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan menjadi Yahudi atau Nasrani atau
Madjusi (3)
(1)
Maulana Hassan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum perlindungan Anak, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 6
(2)
T. M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk, 1971, Al-qur’an Dan Terjemahannya, Khadim al Haramain asy Syasifain (Pelayan kedua Tanah Suci)
(3)
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Pernyataan yang diberikan oleh Islam menjadi perhatian bidang ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu hukum yaitu Hukum Perlindungan Anak, baik dalam
melakukan perlindungan, pembinaan, pemeliharaan anak, yang pada akhirnya
mempunyai tujuan menjadikan anak sebagai khalifah di tengah masyarakat.
Negara Indonesia sebagai negara hukum, masalah perlindungan terhadap anak,
merupakan hak asasi yang harus diperoleh anak. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Pernyataan dari pasal tersebut, menunjukkan tidak ada perbedaan kedudukan di
dalam hukum dan pemerintahan bagi semua warga negara, baik wanita, pria, dewasa
dan anak-anak dalam mendapat perlindungan hukum.
Begitu pula arah kebijakan di bidang hukum, yang tertuang dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, di antaranya “menegakkan hukum secara
konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi
hukum, serta menghargai hak asasi manusia.”
Berdasarkan arah kebijakan di bidang hukum yang tertuang dalam GBHN
tersebut, dapat dikatakan bahwa masalah perlindungan hukum terhadap anak, bukan
saja masalah hak asasi manusia, tetapi lebih luas lagi adalah masalah penegakan
hukum, khususnya penegakan hukum terhadap anak sebagai korban tindak kekerasan,
yang dilakukan oleh keluarga. Bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga,
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Setiap hari, jutaan anak di seluruh dunia berhadapan dengan bahaya. Mereka
menjadi korban peperangan, kekerasan, diskriminasi rasial, apartheid, agresi,
pendudukan dan aneksasi. Setiap hari, jutaan anak menderita akibat kemiskinan dan
krisis ekonomi (4)
Di Indonesia, puluhan ribu perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun,
berkeliaran siang dan malam sebagai komoditas seks, baik ke pasar seks domestik
maupun manca negara. Lembaga internasional meramalkan, Indonesia akan segera
menjadi tujuan para pelancong seks dari luar negeri.(5)Selain menjadi komoditas seks, ada berjuta-juta anak Indonesia yang terpaksa bekerja sebelum waktunya secara tidak
layak dalam berbagai bentuk pekerjaan, seperti mengemis, menjajakan surat kabar di
jalanan atau mengais-ngais gundukan sampah.
Menurut taksiran, dewasa ini diperkirakan jumlah anak Indonesia usia di
bawah 14 (empat belas) tahun yang secara ekonomis aktif adalah sekitar 2 sampai 4
juta anak. Tetapi sekedar angka saja, tidak dapat menggambarkan penderitaan fisik,
intelektual, emosional dan moral yang harus ditanggung pekerja anak. Angka itu tidak
mengungkapkan bagaimana hari depan seseorang anak yang tidak berpendidikan, hari
depan seseorang tanpa harapan akan perbaikan.
Pekerja anak, merupakan pelanggaran yang tidak dapat dimaafkan atas hak-hak
anak untuk mendapatkan pendidikan, kebebasan, dan perlindungan dari
pemerasan.(6) Hal yang mengejutkan, adalah kenyataan bahwa masalah pekerja anak
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
-anak masa kini.
bukan saja mengancam hari depan anak secara individu, melainkan yang sangat
berbahaya bagi hari depan bangsa dan negara di kemudian hari, karena masa depan
negara terletak di tangan anak
Bentuk kekerasan yang dialami anak, bukan saja berasal dari kondisi atau
keadaan keluarga dan bangsa, tetapi juga berasal dari perlakuan anggota keluarganya
sendiri. Bentuk kekerasan yang dialami anak dapat berupa tindakan-tindakan
kekerasan baik secara fisik, psikis dan seksual. Seperti yang terjadi di kota Binjai
Sumatera Utara awal April 2003, yaitu seseorang Abang mencabuli 2 (dua) orang adik
kandungnya. Seorang ibu di kota Subang-Jawa Barat, awal Agustus 2003 menganiaya
anak kandungnya hingga tewas. Peristiwa yang dialami seorang gadis cilik yang
berusia 9 (sembilan) tahun di Tegal-Jawa Tengah, awal Mei 2003 yang dicabuli oleh
ayah angkatnya. Seorang ibu di Tangerang awal Januari 2006 tega membakar anaknya
hingga meninggal dunia seperti yang dialami Indah yang berusia 3 tahun. Dalam
penelitian ini selain peneliti melihat perlindungan hukum yang telah diberikan
terhadap anak korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang lain juga melihat
tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga.
Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan studi kasus di kota Medan. Hal
ini dilakukan karena tindak kekerasan terhadap anak di Medan meningkat dari tahun
ke tahun. Keadaan ini dapat dilihat dari jumlah kasus yang sedang ditangani Polisi
Kota Besar (Poltabes) Medan yaitu tahun 2003 dan Januari 2004 dengan jumlah kasus
168 kasus. Tindak kekerasan yang dialami anak tidak saja diterimanya dari orang lain
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
“Keluarga dan Kekerasan” sekilas seperti sebuah paradoks. Kekerasan bersifat
merusak, berbahaya dan menakutkan, sementara di lain sisi keluarga diartikan sebagai
lingkungan kehidupan manusia, merasakan kasih sayang, mendapatkan pendidikan,
pertumbuhan fisik dan rohani, tempat berlindung, beristirahat dan sebagainya, yang
diterima anak dari anggota keluarganya hingga ia dewasa dan sanggup memenuhi
kebutuhannya sendiri. Apabila seorang anak mendapat tindak kekerasan dari
keluarganya siapa yang menanggung kerugian yang dideritanya. Kerugian anak
sebagai korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga tidak saja bersifat
material, tetapi juga immaterial antara lain berupa goncangan emosional dan
psikologis yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan masa
depannya.
Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34, ditentukan bahwa kerugian
yang diderita korban kejahatan meliputi kerugian fisik maupun mental (psysical on
mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi
(economie loss) atau perusakan substansial dari hak-hak asasi mereka (substansial
impairment of their fundamental right). Selanjutnya dikemukakan, bahwa seseorang
dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu
sudah diketahui, ditahan atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga
antara si pelaku dengan korban (7)
Dalam hukum pidana positif yang berlaku, kerugian yang dialami anak sebagai
korban tindak kekerasan belum secara konkrit diatur. Artinya hukum pidana positif
(7)
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
memberikan perlindungan kepada anak sebagai korban, lebih banyak merupakan
perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung, yaitu dengan adanya berbagai
perumusan tindak pidana dalam perundang-undangan. Sistem sanksi dan
pertanggungjawaban pidana tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung
dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak.
Perlindungan anak sebagai korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh
keluarga hanyalah berupa pemberatan sanksi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 356
ayat (1) KUHP, yang menentukan:
“Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya
1e. Jika sitersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, isterinya (suaminya) atau anaknya”.
Hal yang sama diatur dalam Pasal 13 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang No. 23 Tahun
2002 menyatakan sebagai berikut :
(1). Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan:
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku, bukanlah pertanggung
jawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan konkret, tetapi
lebih tertuju pada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi/individual.
Di sisi lain dalam Pasal 51 ayat (2) Konsep KUHP tahun 2004, salah satu
yang wajib dipertimbangkan hakim dalam pemidanaan adalah pandangan masyarakat
terhadap tindak pidana yang dilakukan dan pengaruh tindak pidana terhadap korban
atau keluarga korban.
Uraian dalam Rancangan KUHP tersebut, telah lebih luas memberikan
perlindungan terhadap korban dibanding dengan pasal perundang-undangan yang
tersebut di atas, akan tetapi masih berupa perlindungan secara tidak langsung kepada
korban.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, yang menjadi permasalahan adalah :
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak menurut hukum positip
Indonesia ?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan yang
dilakukan keluarga dikaitkan dengan pembentukan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) Nasional?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peraturan yang mengatur
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
mengetahui perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan dalam
keluarga dikaitkan dengan pembentukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) Nasional.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini secara umum diharapkan mempunyai manfaat/faedah yang
dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu:
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
dan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam mendalami pengetahuan
tentang perlindungan anak dan peradilan pidana anak.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian
selanjutnya.
2. Bagi Pemerintah/Penegak Hukum
Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan dan menjadi salah satu
alternatif bagi pemerintah/penegak hukum dalam membenahi/penegakan hukum
dalam rangka perlindungan anak di Indonesia, terutama dalam pembentukan hukum
pidana nasional.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipublikasikan, sehingga masyarakat
mendapatkan informasi tentang perlindungan anak korban kekerasan dalam keluarga
dalam kaitannya dengan pembentukan hukum pidana nasional Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian dengan judul: Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban
(Tindak) Kekerasan Yang Dilakukan Keluarga Dalam Upaya Pembentukan Hukum
Pidana Nasional (Studi Kasus di Kota Medan), sepanjang pengetahuan penulis belum
pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
yuridis normatif dan yuridis sosiologis.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu
penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder.10 Penelitian hukum
normatif dilakukan untuk menemukan hukum in concreto. 11
10
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 10
11
Soetandyo Wignjosoebroto, dalam Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum,
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Penelitian untuk menemukan hukum bagi suatu perkara in concreto merupakan
usaha untuk menemukan apakah hukumnya yang sesuai untuk diterapkan in concreto
guna menyelesaikan suatu perkara tertentu dan dimanakah bunyi peraturan hukum itu
dapat diketemukan.12 Perkara tertentu dalam penelitian ini adalah perkara tindak
kekerasan keluarga terhadap anak, akan tetapi terlebih dahulu melihat perkara tindak
kekerasan yang dialami anak selain dari keluarganya sendiri.
2. Metode Kajian (Pendekatan).
Metode Kajian (pendekatan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
perpaduan antara metode normatif analitis dan sosiologis.
a. Metode kajian normatif analitis yaitu melihat hukum sebagai suatu peraturan
yang abstrak atau sebagai lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari
kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut.
b. Metode kajian sosiologis, yaitu melihat hukum sebagai alat untuk mengatur
masyarakat dalam mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan konkret
dalam masyarakat. Oleh karena itu, metode ini memusat kan perhatiannya pada
pengamatan mengenai efektivitas dari hukum.13
Metode kajian normatif analitis dilakukan dengan meneliti data sekunder atau
bahan-bahan kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan yang
diteliti. Metode kajian sosiologis dilakukan dengan meneliti data primer yaitu
data yang langsung diperoleh dari masyarakat.
3. Sifat dan Bentuk Penelitian.
12
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. cit, hal. 22
13
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif dengan bentuk preskriptif.
a. Deskriptif ialah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang
situasi yang dialami, pandangan, sikap yang nampak dan sebagainya. 14 Data
yang diaturkan dan ditafsirkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder.
b. Preskriptif ialah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran
mengenai yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. 15
4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan. Ditetapkan Kota Medan
sebagai tempat penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa Kota Medan merupakan
salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki tingkat kejahatan kekerasan terhadap
anak yang tinggi.
5. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Studi dokumen atau bahan pustaka yaitu melakukan penelitian terhadap data
sekunder yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:
a). Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945.
b). Peraturan Dasar: 1). Batang Tubuh UUD 1945; 2). Ketetapan MPR
14
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (VI-Press), Jakarta, hal. 10
15
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
c). Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
hukum terhadap anak korban tindak kekerasan.
d). Traktat, dalam hal ini konvensi Hak-hak Anak
5). Bahan hukum dari zaman penjajahan, dalam hal ini Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
2. Bahan hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.
3. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus.
b. Wawancara dan Kuesioner.
Digunakan untuk memperoleh data primer dari responden dan narasumber.
6. Pengolahan, Analisis dan Konstruksi Data
Di dalam penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya berarti
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.
Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis
tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.16
Dalam melakukan analisis data, dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Memilih data sekunder yang sesuai dengan perlindungan hukum terhadap anak
korban tindak kekerasan.
16
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
b. Membuat sistematika dari pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan anak
korban tindak kekerasan.
Data dianalisis secara logis, sistematis, dengan menggunakan metode induktif
dan deduktif. Analisis data secara logis berarti cara berfikir yang digunakan runtut,
tetap dan tidak ada pertentangan di dalamnya, sehingga kesimpulan yang ditarik dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Sistematis maksudnya setiap analisis saling
kait mengkait karena merupakan satu kesatuan yang berkaitan dengan permasalahan
yang telah dirumuskan. Metode induktif maksudnya adalah dari data yang khusus
ditarik kesimpulan yang umum setelah dibandingkan dengan studi kepustakaan
mengenai perlindungan hukum anak dalam peradilan pidana anak.
Selanjutnya berbagai ketentuan hukum terkait dengan perlindungan anak dalam
sistem peradilan pidana anak diterapkan pada data yang diperoleh (induktif).
Menggunakan metode deduktif dan metode induktif, dapat diketahui
perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana anak. Dari pembahasan dan analisis
ini diperoleh kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
BAB II
PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
DARI TINDAK KEKERASAN
A. Anak
1. Pengertian Anak
Pengertian anak dapat dilihat dari aspek yang sangat luas baik dari aspek
agama, sosiologi hukum dan sebagainya.
1. Aspek Agama
Pengertian anak menurut pandangan agama Islam dapat dilihat dari hikmah
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
manusia. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat (70), Allah berfirman “Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan”.
Di antara kemuliaan yang paling besar yang Allah berikan kepada manusia
adalah akal. Adanya akal menjadikan manusia mampu mengenal pencipta-Nya,
mengenal makhluk-makhluk lain-Nya, mengambil petunjuk untuk mengenal
sifat-sifat-Nya dengan hikmah dan amanah yang Allah titipkan pada dirinya. 17
“Dari hikmah penciptaan manusia, Islam memandang pengertian Anak sebagai suatu yang mempunyai kedudukan mulia. Anak dalam bahasa Arab disebut “walad”, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangan ke arah abdi Allah yang saleh. Memandang anak dalam kaitan dengan perkembangan membawa arti bahwa:
a. anak diberi tempat khusus yang berbeda dunia dan kehidupannya sebagai orang
dewasa.
b. Anak memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para pendidiknya“18
“Hikmah penciptaan manusia dari arti kata anak itu sendiri, meletakkan kedudukan anak menjadi tanggung jawab orang tua. Tanggung jawab dimaksud adalah tanggung jawab Syari’ah Islam yang harus diemban dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara. Islam juga meletakkan tanggung jawab tersebut pada 2 aspek yaitu aspek duniawiah yang meliputi kesejahteraan, keselamatan di dunia dan aspek ukhrawiah yang meliputi
pengampunan/pahala dari pembina, pemelihara dan pendidikan di dunia” 19
Tanggung jawab orang tua terhadap anak bermakna dari amanah Allah, bahwa
anak sebagai titipanNya. Tanggung jawab tersebut bermakna dari amanah Allah,
17
Imam Ghazali, 1998, Hikmah Penciptaan Makhluk, Lentera, Jakarta, hal. 108-109 18
Imam Jauhari, 2001, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam (Penelitian di kota Binjai), Tesis, hal. 92 19
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
bahwa anak adalah titipan saja untuk kedua orang tuanya, akan tetapi untuk
masyarakat, bangsa dan negara. Pengertian ini melahirkan hak-hak yang harus diakui,
diyakini dan dilaksanakan serta harus diterima anak dari orang tua, masyarakat, bangsa
dan negara.
Keharusan pelaksanaan dari hak-hak anak diperkuat dalam Al-Qur’an Surat
Al-Isra ayat (31), yang terjemahannya : “Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka
dan juga kepada mu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat
besar.
Di antara hak-hak anak dalam pandangan agama Islam, yaitu:
a. Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau rahim
ibunya ( Q. S. Al-Baqarah ayat (233) )
b. Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang
benar (Q. S. Mujaadalah ayat (11))
c. Hak untuk mendapatkan nafkah orang tuanya (Q. S. Qashash ayat (12) )
Beberapa hak tersebut menunjuk bahwa tidak sepanjang hidup anak menerima
hak yang demikian, akan tetapi perlu pembatasan antara yang dikatakan sebagai anak
dan dewasa. Berarti sebelum dewasa masih dikatakan anak.
Menurut Fiqih Islam, seseorang dewasa dengan salah satu tanda berikut ini:
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007
Dari aspek agama (Islam) tidak ada kriteria baku yang memberi batasan
tentang pengertian anak, hanya atas dasar keadaan biologis atau pertumbuhan jasmani
yaitu dengan menyebutkan kata akhil baligh sebagai batasan antara yang dikatakan
anak dan dewasa.
2. Aspek Sosiologi
Kedudukan anak dalam aspek sosiologi menunjukkan anak sebagai makhluk
sosial yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat bangsa dan negara.
“Pengertian anak dalam makna sosial lebih mengarahkan pada perlindungan kodrati karena keterbatasan dan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa, disebabkan kemampuan daya nalar (akal) dan kondisi fisik pertumbuhan mental spiritual yang berada di
bawah kelompok usia orang dewasa.” 21
Pengertian anak dari aspek sosiologis juga dapat dilihat melalui pendapat
Zakiah Darajat yang menyebutkan anak sebagai generasi muda .
“Menurut beliau generasi muda terdiri atas masa kanak-kanak umur 0-12
tahun, masa remaja umur 13-20 tahun dan masa dewasa muda umur 21-25
tahun.
20
Sulaiman Rasyid, dalam Chairuh Bariah, 2003, Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga Di Kota Medan (Menurut konvensi Hak Anak dan Hukum Islam), Tesis, hal. 19
21
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Masa kanak-kanak dibagi menjadi 3 tahap:
a. Masa bayi umur 0 - menjelang 2 tahun
Pada masa bayi keadaan fisik anak masih lemah dan kehidupannya masih
sangat tergantung pemeliharaan orang tuanya, terutama ibunya.
b. Masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun.
Sifat anak suka meniru apa yang dilakukan orang lain dan emosinya sangat
tajam. Anak mulai mencari teman sebaya, ia mulai berhubungan dengan
orang-orang dalam lingkungannya, mulai terbentuk pemikiran tentang dirinya.
c. Masa kanak-kanak terakhir antara 5-12 tahun.
Tahap ini terjadi pertumbuhan kecerdasan yang cepat, suka bekerja, lebih suka
bermain bersama dan berkumpul tanpa aturan, suka menolong, menyayangi,
menguasai dan memerintah”.
“Pada masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan cepat
dalam segala bidang, perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan
kepribadian.
Masa remaja adalah masa goncang karena banyaknya perubahan yang terjadi
dan tidak stabilnya emosi yang kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap
dan tindakan yang oleh orang dinilai sebagai perbuatan nakal. Usia 21-25
tahun masih dapat dikelompokkan dalam generasi muda, walaupun dari
perkembangan jasmani dan kecerdasan telah betul-betul dewasa dan emosi
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
juga stabil, namun dari segi kemantapan agama dan ideologi masih dalam
proses pemantapannya. 22 “Generasi muda adalah harapan bangsa. Oleh
karena itu generasi muda perlu dibina dengan baik, agar mereka tidak salah
jalan dalam hidupnya. Pembinaan generasi muda yang pertama-tama harus
dilakukan dalam lingkungan keluarga. Keluarga tempat membentuk pribadi
anak sejak kecil. Di samping pembinaan di dalam keluarga, ada pula
pembinaan di luar keluarga, seperti sekolah dan kursus-kursus keterampilan. 23 Dari aspek sosiologis, batasan atau ukuran yang dapat dikatakan sebagai anak
adalah adanya keterbatasan kemampuan daya nalar (akal) dan kondisi fisik dalam
pertumbuhan atau mental spiritual yang berada di bawah kelompok usia orang
dewasa.
3. Aspek Hukum
Dalam aspek hukum, pengertian anak dapat dilihat melalui beberapa
perundang-undangan:
a. Menurut hukum adat
Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam
peraturan-peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana- sini masih
mengandung unsur agama.24 Pengertian tentang anak yang diberikan oleh
hukum adat, bahwa anak dikatakan minderjarigheid (bawah umur), yaitu
22
Zakiah Darajat dalam, Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal. 1-2
23
Ibid.
24
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
apabila seseorang berada dalam keadaan dikuasai oleh orang lain yaitu jika
tidak dikuasai oleh orang tuanya maka dikuasai oleh walinya (voogd)nya.25 b. Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menentukan:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian.
c. Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), menentukan bahwa
yang dikatakan belum dewasa yaitu belum mencapai enam belas tahun.
d. Anak menurut Undang-undang Perkawinan:
Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 seorang pria diizinkan kawin
(dianggap sudah dewasa dan layak untuk kawin) sesudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita yang sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun. Penyimpangan terhadap hal ini hanya dapat dimintakan
dispensasi.
e. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, ditentukan bahwa:
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”
f. Menurut Konvensi Hak Anak (Convention On The Rights of Child) yang
disetujui oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1984 dan disahkan
oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 1990,
mendefinisikan anak secara umum sebagai manusia yang umurnya belum
25
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
mencapai 18 (delapan belas) tahun, namun diberikan juga pengakuan
terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam
perundangan nasional. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tidak dikenal istilah
belum dewasa atau remaja, yang ada hanya istilah “anak” yang berarti “semua
manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun”. Selain itu juga
dalam KHA ada 2 (dua) pendapat tentang bayi di dalam kandungan. Pendapat
pertama menyatakan bahwa bayi yang berada di dalam kandungan juga
termasuk ke dalam kategori anak yang seperti yang dimaksud oleh KHA.
Pendapat Kedua, anak terhitung sejak lahir hingga sebelum berumur 18
(delapan belas) tahun.
g. Pasal 2 butir (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, menentukan bahwa:
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (2) merumuskan bahwa anak
adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) dan belum pernah
menikah. Dalam rumusan pasal ini ada dua hal yang menyebabkan seseorang
dikategorikan sebagai seorang anak, yang pertama adalah umurnya sudah
mencapai 8 (delapan) tahun dan belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan
yang kedua adalah belum pernah menikah karena jika seseorang tersebut sudah
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
atau sekalipun ia kemudian bercerai, menurut undang-undang ini ia akan
dikategorikan sebagai orang dewasa dan bukan sebagai anak.
h. Anak dalam Hukum Perburuhan
Undang-undang No. 12 tahun 1948 tentang Pokok Perburuhan mendefinisikan
anak adalah laki-laki atau perempuan yang berumur 14 (empat) tahun ke
bawah.
i. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, menyatakan bahwa:
“Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dari aspek hukum beberapa perundang-undangan yang memberi pengertian
tentang anak belum ada keseragaman. Dalam memberi kriteria atau batasan umur
yang dapat dikatakan anak, tetapi sebagai pengertian umum yang diberikan oleh
beberapa undang-undang tersebut, maka anak adalah:
1. Orang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
2. Termasuk juga anak yang masih di dalam kandungan.
Anak mempunyai arti tersendiri di dalam kehidupan manusia yang berbeda-beda
dan memiliki ciri khas tersendiri. Pengertian anak dalam suatu kebudayaan dan
kebudayaan yang lain juga berbeda, tapi intinya adalah bahwa anak merupakan suatu
yang berharga yang dikaruniakan Tuhan bagi sebuah keluarga, sebuah suku atau
kelompok masyarakat tertentu, kehadiran seorang anak merupakan suatu yang baik
dalam sebuah keluarga. Dalam sistem hukum nasional ada berbagai macam kriteria
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Dalam sistem hukum Indonesia tidak ada keseragaman di dalam menentukan
batas kedewasaaan. Hukum pidana dan hukum perdata menentukan seseorang masih
digolongkan anak atau tidak dengan menggunakan standar umur dan pernikahan,
sedangkan dalam hukum adat dan hukum islam tidak menggunakan standar umur
tetapi didasarkan pada keadaan biologis dari si anak. Apalagi ditambah dengan
berbagai sering terjadinya penipuan-penipuan umur seorang anak Di Indonesia tidak
semua orang mempunyai akte kelahiran akibatnya untuk menentukan usia seseorang
dipergunakan rapor, surat baptis atau surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja.
Sehingga umur seseorang dengan mudah disamarkan di Indonesia baik itu untuk bisa
mendapatkan keringanan hukuman (orang yang sudah dewasa atau sudah kawin)
berpura-pura sebagai anak. Atau didalam kasus-kasus perburuhan umur seorang anak
disamarkan agar bisa dipekerjakan.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian anak sangat banyak,
namun yang dipergunakan dalam hal ini adalah pengertian anak menurut
Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana pengertian anak adalah seorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
2. Sejarah Lahirnya Hukum Anak di Indonesia
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia, sejak penciptaan manusia
sampai dengan saat ini anak memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Dan hal tersebut
semakin berkembang dari zaman ke zaman. Sebagai contoh dahulu terdapat paham
yang mengatakan bahwa banyak anak banyak rejeki, tetapi hal tersebut terjadi pada
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
belum sebanyak zaman sekarang dan pada saat itu kuantitas sangat berpengaruh dalam
peningkatan perekonomian suatu keluarga. Namun hal tersebut tidak akan menjadi
relevan lagi di zaman ini, dimana manusia semakin banyak jumlahnya, yang berarti
persaingan juga semakin besar satu sama lain. Diikuti dengan semakin beragamnya
kebutuhan manusia dan meningkatnya ketergantungan manusia pada barang-barang.
Pada saat ini kualitas dari suatu pribadi lebih penting dari pada kuantitas untuk
memenangkan persaingan. Saat ini semakin banyak anak akan menyusahkan bagi
orang tuanya karena biaya yang butuhkan untuk menghidupi anak tersebut yang tidak
sedikit. Pemaknaan anak pun bergeser kearah peningkatan kualitas dari anak tersebut.
Inilah yang menyebabkan semakin menjamurnya lembaga pendidikan-pendidikan
untuk mendidik anak supaya nantinya menjadi orang yang berguna dan berkualitas.
Dalam rangka untuk menghasilkan anak-anak yang berkualitas itu juga yang salah satu
alasan adanya hukum perlindungan anak.
Di Indonesia sendiri hukum yang mengatur tentang anak sudah ada sejak tahun
1925 pada masa kolonial Belanda, dengan lahirnya Staatsblaad 1925 No. 647 Juncto
Ordonansi 1949 No 9 yang mengatur tentang Pembatasan Kerja Anak dan Wanita.
Diikuti pada tahun 1926 dengan lahirnya Staatsblaad 1926 No 87 tentang pembatasan
Anak dan Orang Muda bekerja diatas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942
lahirlah Kitab Undang-undang hukum Pidana yang disahkan mulai belaku pada
tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa pasalnya KUHP mengatur tentang anak
yaitu Pasal 45,46, dan 47 yang memberikan perlindungan terhadap anak yang
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
293, 294, 297, dan lain-lain memberikan perlindungan terhadap anak dengan
memperberat hukuman atau mengkualifikasikan tindakan-tindakan tertentu sebagai
tindakan pidana jika dilakukan terhadap anak, padahal tindakan tersebut tidak akan
dikategorikan sebagai tindakan pidana jika dilakukan terhadap orang dewasa ( Anak
sebagai korban). Dilanjutkan pada tahun 1948 dengan lahirnya Undang-undang No. 12
tahun 1948 tentang Pokok-pokok Perburuhan yang melarang anak melakukan
pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahirlah Undang-Undang No. 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian disusul pada tanggal 29 Februari 1988
dengan lahirnya peraturan pelaksana No.2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan
Anak.
Secara Internasional pada tanggal 20 November 1989 lahirlah konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa yang di ratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990 dimana melalui konvensi ini setiap Negara diwajibkan
untuk menjamin hak anak-anak.
Pada tahun 1948 dengan disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 1948 anak
secara tegas dilarang bekerja.Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa usia pekerja adalah minimal 15 tahun dan
maksimal 55 tahun. Akan tetapi dalam kenyataan banyak anak yang terpaksa bekerja
oleh karena alasan ekonomi di Indonesia. Untuk menyikapi masalah tersebut maka
pemerintah mengeluarkan Permenaker No.1 Tahun 1987 tentang anak yang terpaksa
bekerja. Anak yang terpaksa bekerja disyaratkan harus ada ijin tertulis dari orang
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
dewasa, tidak bekerja pada malam hari, dan pada tempat-tempat yang berbahaya pada
kesehatannya. Hal ini sangat bertentangan dengan Undang-undang No.12 Tahun 1948
jo Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Pada tahun 1974 diatur beberapa pasal tentang
anak, seperti usia boleh kawin untuk pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan untuk
wanita 16 (enam belas) tahun. Namun dalam prakteknya hal ini banyak dilanggar
dengan diadakannya kawin adat atau kepercayaan, sehingga masalah usia sudah tidak
diperhatikan. Ditambah dengan beberapa daerah tertentu, perkawinan jarang dicatatkan
membuat masalah sendiri dalam menentukan status seorang anak.
3. Convention on the Rights of the Child/Konvensi Hak Anak
Indonesia sebagai salah satu bagian dari masyarakat Internasional dan sebagai
salah satu anggota dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), juga ikut meratifikasi
Convention on the Rights of the Child/CRC melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 pada
25 Agustus 1990. CRC yang dilahirkan pada tahun 1989 melalui kesepakatan sidang
Majelis Umum PBB ke-44 (resolusi PBB No. 44/25 tanggal 5 Desember 1989)
tersebut secara otomatis mengikat Indonesia untuk mematuhi dan menjalankan
ketentuan yang terdapat didalamnya sebagai konsekuensi peratifikasian yang telah
dilakukan. Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treaty (traktak atau pakta),
merupakan perjanjian diantara beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara
yuridis dan politis oleh karena itu konvensi merupakan suatu hukum
internasional/instrumen internasional. Konvensi hak anak adalah perjanjian yang
mengikat secara yuridis politis diantara berbagai negara yang mengatur hal yang
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
kata lain hak anak merupakan bagian integral dari HAM dan Konvensi Hak Anak
merupakan bagian integral dari instrument internasional dibidang HAM. Hak asasi
anak tetap diperlukan walaupun sudah ada HAM karena anak mempunyai
kebutuhan-kebutuhan khusus yang berhubungan dengan situasinya/sifat sebagai anak yang rentan,
tergantung, dan berkembang. Hubungan antara HAM dengan Konvensi Hak Anak
adalah sebagai berikut:
1. KHA menegaskan berlakunya HAM bagi semua tingkatan usia, contohnya hak
untuk bebas dari perlakuan aniaya, hak atas identitas dan kewarganegaraan dan hak atas jaminan sosial;
2. KHA meningkatkan standar HAM agar lebih sesuai dengan anak-anak contohnya
dalam kondisi kerja, penyelenggaraan peradilan anak, serta kondisi perengutan kemerdekaan;
3. KHA mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan anak secara khusus,
seperti pendidikan dasar, adopsi dan berhubungan dengan orang tua.
Didalam KHA terkandung 4 prinsip utama yang berhubungan dengan penegakan
hak dari seorang anak, yaitu:
1) Non Diskriminasi (Non Discrimination), artinya semua hak yang diakui dan
terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan
apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip universalitas HAM.
2) Yang terbaik bagi anak (best interest of the Child), artinya bahwa dalam setiap
tindakan yang menyangkut anak, maka yang terbaik bagi anak harus menjadi
pertimbangan yang utama (prioritas ).
3) Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Survival and development), artinya
bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan bahwa hak
anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin. Prinsip ini
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
4) Penghargaan terhadap pendapat/pandangan anak (respect for the views of the child),
artinya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan
keputusan.
Konvensi Hak Anak mendefenisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang
umurnya belum mencapai 18 tahun (namun diberikan juga pengakuan terhadap batas
umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundang-undangan nasional).
Mengenai sejak kapan seseorang dikategorikan anak ada dua pendapat, yang pertama
sejak dalam kandungan dan yang kedua sejak orang tersebut dilahirkan.
CRC terdiri dari 54 pasal yang dapat dikategorikan kedalam 4 jenis hak anak
yaitu hak anak untuk mendapat perlindungan (Protection Rights), hak anak untuk
mempertahankan eksistensi (Survival Rights), hak untuk berkembang fisik, psikis, dan
biologis (Development Rights) dan hak partisipasi (Participation Rights).
1. Hak untuk mendapat perlindungan (Protection Rights).
Hak seorang anak untuk mendapat perlindungan adalah salah satu ide dasar
utama dari keseluruhan isi CRC yaitu mengatur hak-hak yang dimiliki oleh
seorang anak dan kemudian memberikan atas perlindungan hak tersebut.
Ada 3 kategori yang membagi pasal-pasal mengatur tentang perlindungan
anak yaitu:
1. Pasal-pasal mengenai larangan diskriminasi:
a. Pasal 2 : Prinsip Non Diskriminasi terhadap anak.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
c. Pasal 23 : Hak Anak penyandang cacat untuk mendapatkan perawatan.
d. Pasal 30 : Hak Anak dari kelompok minoritas dan penduduk asli untuk
mengamalkan budayanya.
2. Pasal mengenai larangan eksploitasi
1. Pasal 10 : Hak anak untuk berkumpul kembali bersama orang tuanya.
2. Pasal 11 : Kewajiban negara untuk mencegah dan mengatasi
penculikan atau penguasaan anak diluar negeri
3. Pasal 16 : Hak anak untuk mendapat perlindungan atas gangguan
terhadat kehidupan pribadi
4. Pasal 19 : Kewajiban negara untuk melindungi segala bentuk
perlakuan yang salah oleh orang tua atau orang lain yang
bertanggung jawab terhadap pengasuhannya.
5. Pasal 20 : Kewajiban negara untuk melindungi anak yang kehilangan
keluarganya.
6. Pasal 21 : Mengatur adopsi sesuai dengan hukum nasional
masing-masing negara dengan prinsip best interest for the child
7. Pasal 25 : Kewajiban negara untuk mengawasi secara periodik terhadap
anak-anak yang ditempatkan pada pengasuhan Negara baik
karena alasan perawatan, perlindungan atau penyembuhan.
8. Pasal 32 : Kewajiban negara untuk melindungi anak dari pekerjaan yang
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
9. Pasal 33 : Kewajiban negara untuk melindungi anak dari penyalagunaan
narkotika.
10.Pasal 34 : Hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan
seksual.
11.Pasal 35 : Kewajiban negara untuk mengusahakan berbagai upaya untuk
mencegah penjualan, penyeludupan dan penculikan anak.
12.Pasal 56 : Perlindungan terhadap segala bentuk eksploitasi anak yang
belum tercakup dalam Pasal 32, 33, 34, 35.
13.Pasal 37 : Larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang
kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup dan penahanan
mena atau perampasan kemerdekaan yang
semena-mena.
14.Pasal 39 : Kewajiban negara untuk menjamin perawatan anak yang
menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan,
penelantaran atau eksploitasi, agar mereka mendapatkan
perawatan yang lebih layak dan proses reintegrasi sosial
sampai pada tahap normal.
3. Pasal-pasal mengenai krisis dan keadaan darurat anak :
1. Pasal 10 : Hak anak untuk berkumpul kembali bersama orang tuanya.
2. Pasal 22 : Hak perlindungan bagi anak pengungsian.
3. Pasal 25 : Kewajiban negara untuk melakukan peninjauan periodik
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
4. Pasal 38 : Kewajiban negara untuk menghormati hukum humaniter
internasional yang relevan bagi anak.
5. Pasal 39 : Kewajiban negara untuk melakukan rehabilitasi terhadap anak.
2. Hak untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Survival Rights).
Dalam CRC setidaknya ada dua pasal yang mengatur mengenai hak untuk
mempertahankan hidup dari seorang anak yaitu Pasal 6 dan Pasal 24 dari CRC. Pasal 6
mengandung dua macam hak yaitu hak anak untuk hidup (Rights to Life) dan hak
untuk kelangsungan hidup dan pengembangan diri seorang anak (The Survival and
Development of the Child). Pasal 6 berbunyi:
1. States Parties recognize that every Child has the inherent right to life.
Artinya: Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang
merupakan kodrat hidup.
2. States Parties shall ensure to the maximum extent possible survival and
development of the child.
Artinya: Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin
kelangsungan hidup dan pengembangan anak.
Pasal 24 mengatur tentang kewajiban dari Negara-negara peserta untuk
memberikan jaminan hak seorang anak untuk mendapatkan standart kesehatan
tertinggi yang bisa didapatkan, demikian juga pada fasilitas perawatan dan rehabilitasi
kesehatan, dan mereka harus mampu memastikan bahwa anak tidak akan dirampas hak
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
yang kedua diatur suatu ukuran dasar yang harus dilakukan pemerintah dalam
mengimplementasikan konvensi ini yaitu dengan menurunkan angka kematian bayi,
menyediakan pelayanan kesehatan primer, dll termasuk didalamnya mengembangkan
kerjasama internasional yang berkaitan dengan masalah ini.
Pasal 24 menentukan:
“States recognize the right of the child to the enjoyment of the highest attainable standart of helt an to facilities for the treatment of illness and rehabilitation of health. States Parties shall strive to ensure that no child is deprived of his her right of access to such health service.”
Artinya: Negara-negara Peserta mengakui hak anak untuk memperoleh standart kesehatan tertinggi yang bisa dicapai serta atas fasilitas perawatan dan rehabilitasi kesehatan. Negara-negara Peserta akan berupaya menjamin agar tak seorangpun dirampas haknya dalam memperoleh pelayanan kesehatan seperti yang dimaksud.
Selain Pasal 6 dan Pasal 24 dari CRC ada beberapa pasal yang juga berkaitan
dengan masalah kelangsungan hidup yaitu:
1. Pasal 7 tentang hak anak untuk mendapatkan kewarganegaraan dan nama.
2. Pasal 8 tentang kewajiban negara untuk melindungi dan jika diperlukan
memulihkan jati diri seorang anak.
3. Pasal 9 tentang hak anak untuk hidup dengan orang tuanya.
4. Pasal 19 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari perlakuan salah
yang dilakukan oleh orang tuanya, walinya atau pengasuhnya.
5. Pasal 20 tentang tentang kewajiban nmelindungi anak yang kehilangan orang
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
6. Pasal 21 tentang adopsi sepanjang diperbolehkan oleh peraturan nasional
Negara yang bersangkutan dengan prinsip the best interest of the child
kepentingan terbaik untuk anak.
7. Pasal 23 tentang hak anak penyandang cacat untuk memperoleh pengasuh,
pendidikan dan pelatihan.
8. Pasal 26 tentang hak anak terhadap tunjangan dan jaminan sosial.
9. Pasal 27 tentang tanggungjawab orang tua dalam memenuhi standart kehidupan
anak yang memadai dan tanggungjawab negara untuk menjamin
tanggungjawab itu bisa dipenuhi.
10.Pasal 28 tentang kewajiban negara dalam memenuhi hak anak akan pendidikan.
11.Pasal 30 mengatur tentang hak anak dari kelompok minoritas dan penduduk
asli untuk mengamalkan budayanya.
12.Pasal 32 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari perkerjaan yang
berbahaya.
13.Pasal 33 tentang hak anak atas perlindungan dari narkoba.
14.Pasal 34 tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan
seksual.
15.Pasal 35 tentang kewajiban negara untuk melakukan segala upaya dalam
mencegah penjualan, penyeludupan dan penculikan anak.
16.Pasal 38 tentang kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin