Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Mencapai Keahlian Dalam
Bidang Keahlian Ilmu Bedah Pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
PERBEDAAN SKALA NYERI VISUAL ANALOGUE SCORE (VAS)
SEBELUM DAN SESUDAH OPERASI SPONDILITIS TUBERKULOSA
DI RS TEMPAT PENDIDIKAN FK USU
Peneliti
RAMZI ASRIAL
Pembimbing
Prof Dr. NAZAR MOESBAR , SpB , SpOT (K). Dr. OTMAN SIREGAR SpOT(K)SPINE
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Mencapai Keahlian Dalam
Bidang Keahlian Ilmu Bedah Pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
PERBEDAAN SKALA NYERI VISUAL ANALOGUE SCORE (VAS)
SEBELUM DAN SESUDAH OPERASI SPONDILITIS TUBERKULOSA
DI RS TEMPAT PENDIDIKAN FK USU
Peneliti
RAMZI ASRIAL
Disetujui Oleh :
KETUA SUB DEPARTEMEN ILMU BEDAH ORTHOPEDI
Prof.dr.NAZAR MOESBAR,SpB,SpOT(K)
Diketahui Oleh :
KETUA KETUA PROGRAM STUDI DEPARTEMEN ILMU BEDAH DEPARTEMAN ILMU BEDAH FK-USU FK-USU
SURAT KETERANGAN
SUDAH DIPERIKSA HASIL PENELITIAN
JUDUL : Perbedaan Skala Nyeri Visual Analogue Score (VAS)
Sebelum dan sesudah operasi spondiktis Tuberkulosa di R. S.
Tempat Pendidikan FK-USU
PENELITI : dr. Ramzi Asrial
DEPARTEMEN : Ilmu Bedah FK USU
INSTITUSI : Universitas Sumatera Utara
Medan, Juli 2008
Konsultan Metodologi Penelitian
Fakultas Kedokteran USU
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‘alamin. Puji syukur hanya kepada Allah SWT, karena atas ridho-Nya
jualah saya berkesempatan mengikuti program pendidikan dokter spesialis bedah di Departemen
Ilmu Bedah FK-USU Medan, serta kesempatan yang diberikan-Nya untuk dapat menyusun dan
menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat akhir pendidikan.
Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada Prof. dr. Nazar Moesbar, SpB, SpOT
(K) Ketua Sub Departemen Bedah Orthopedi juga sebagai pembimbing penelitian, yang
senantiasa memberi bimbingan dalam penulisan karya tulis ini sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan .Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dr. Otman Siregar SpOT (K) Spine
atas bimbingan dan bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada Prof. dr.Aznan Lelo, PhD,
SpFK, sebagai konsultan metodologi penelitian, yang telah meluangkan waktu membantu
menyelesaikan penelitian ini.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Prof. dr. Bachtiar Surya, SpB-KBD sebagai
Ketua Departemen Ilmu Bedah, dr. Emir Taris Pasaribu, SpB (K) Onk, sebagai Ketua Program
Studi Ilmu Bedah, dr.Asrul Simangunsong, SpB-KBD, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu
Bedah dan dr. Erjan Fikri, SpB, SpBA,sebagai Sekretaris Departemen Ilmu Bedah, yang telah
memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti program pendidikan ini.
Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada guru-guru saya : Dr. dr. Humala
Hutagalung, SpB (K) Onk; Prof. dr. Hafas Hanafiah, SpB, SpOT (K) FICS; Prof. dr. Adril A.
Hakim, SpS, SpBS(K); (Alm)Prof. dr. Usul M. Sinaga, SpB(K) Finacs; Prof. dr. Gofar
Sastrodiningrat, SpBS(K); Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS(K); dr. Ismet, SpB; dr.Syahbudin
Harahap, SpB; DR. Harry Soedjatmiko, SpB, SpBTKV; dr.Ronald Sitohang, SpB; dr. Bungaran
Sihombing, SpU; dr. Marshal, SpB, SpBTKV; dr. Riahsyah Damanik, SpB (K) Onk; dr.
Chairiandi Siregar, SpOT; dr. Edy Sutrisno, SpBP; dr. Syah Mirsa Warli, SpU; dr. Liberty Sirait,
SpB-KBD; dr. Tiur Purba, SpB; dr. Supredo Kembaren, SpB; dr. Nino Nasution, SpOT; dr.
Husnul Fuad Albar, SpOT; dr. Frank Bietra Buchari, SpBP ; dr. Rida Darmajaya, SpBS; dr.
Mahyudanil, SpBS; dr Budi Irwan, SpB-KBD, dr R.R Susi Indarti,SpBS dan lain-lain yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu yang tanpa pamrih telah memberikan bimbingan, koreksi
dan saran-saran kepada saya selama mengikuti program pendidikan ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada senior-senior yang
lebih dahulu menyelesaikan program pendidikan dan teman-teman peserta program pendidikan,
yang bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan.
Rasa syukur dan terima kasih sebesar-besarnya saya persembahkan untuk kedua orang tua
saya tercinta, ayahanda H. Asroel dan Ibunda (Alm.) Hj. Noer Asni atas segala jerih payah dan
pengorbanan beliau berdua dalam mengasuh, membimbing dan mendidik saya. Demikian halnya
kepada kedua mertua saya Drs. H. M. Dien Pangaribuan, MBA dan (Alm.) Hj. Rosinah
Nainggolan yang senantiasa memberikan semangat dan nasehat. Demikian juga kepada adik dan
kakak ipar saya yang telah banyak memberi bantuan moral maupun materil selama saya
mengikuti program pendidikan ini.
Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta drg. Rachmawati dan anak-anakku
Farah Mufidah, Ivan Adiansyah dan Alyssa Zafira atas segala pengertian, dorongan semangat,
kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi saya selama menjalani masa
pendidikan yang panjang dan melelahkan ini.
Akhirnya hanya kepada Allah S.W.T jualah kita kembali, semoga kita senantiasa diberi
limpahan rahmat dan Karunia-Nya, Amin.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
ABSTRACT vi
ABSTRAK vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 2
1.4 Hipotesa 2
1.5. Kontribusi Penelitian 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat Penelitian 7
3.2. Waktu Penelitian 7
3.3. Rancangan Penelitian 7
3.4. Definisi Operasional 7
3.5. Objek Penelitian 7
3.5.1. Besar Sampel 7
3.5.2. Kriteria Inklusi 7
3.5.3. Kriteria Ekslusi 8
3.6. Pelaksanaan Penelitian 8
3.7. Analisa Data 8
4.2. Pembahasan 13
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 16
5.2 Saran 16
KEPUSTAKAAN 17
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel – 1 Demografi dan Diagnosa klinis objek penelitian 10
Tabel – 2 Perbandingan Grade Frankle sebelum operasi,
4 minggu dan 12 minggu setelah operasi. 11
Tabel – 3 Perbandingan nilai Visual Analogue Score (VAS) nyeri Nociceptif dan Neuropatik sebelum
operasi,4 minggu dan 12 minggu setelah operasi. 11
Tabel – 4 Perbandingan Grade Frankle penderita sebelum
operasi, 4 minggu dan 12 minggu setelah operasi 12
Tabel – 5 Diagram perbandingan nyeri nociceptif dan
neuropatik sebelum operasi, 4 minggu dan 12 minggu
ABSTRACT
Objective : to equal quality of pain with Visual Analogue score (VAS) pre and post operations
of spondilitis tuberculouse in the hospital study center of medicine faculty of North Sumatera
University
Background : Spondilitis tuberculose is a seriouse problem in Indonesia with the first
symptom is pain with 97 % , and neurological deficite was in 50 %.The pain of spondilitis
tuberculose was a chronic pain its defere of 2 type.it was nociceptive pain and neuropatic
pain.Both of this chronic pain have to separated because different in etiology and
treatment.From 2005 had routine perform operation spondilitis tuberculous at hospital study
center of medicine faculty of North Sumatera University in Medan,but the clinical result about
degrease in quality of pain and neurological deficite pre and post operation was never be
reported.Abdeen had been report about degrease in pain and neurological deficite pre and post
spondilitis tuberculose of cervical at 10 patien in Uni Emirat Arab 1-2 month post operation
equals to konservatif threatment.
Methode : this study was perform at 31 patient spondilitis tuberculouse with pain
symptom,deformitas neurological deficite who is done debridement and vertebral stabilization
from 1 January-1 july 2008.The quality of pain was evaluated with Visual Analogue Score
(VAS) dan neurological deficite with frankle classifications when first came to the hospital,at
the moment before operation,4 and 12 week after operation.With the other word we perform 4
time evaluation for 1 patient.VAS was introduce to the patient with 1-10 scale then patient
choice the quality of pain that he feels.Frankle classification was evaluated by autor and
supervisor.Data VAS was analize with T-test and Frankle classification was analized with
Wilcoxon test and p<0,05.
Result : T-test nociceptive pain (7,19±1,19) and neuropatic pain (6,32±1,70) before operation
become (1,87±0,96) and (1,32±1,02) 12 weeks after operation with p<0,0001.Wilcoxon test
Francle classification (A,B,C,D and E) before operation become (D and E) 12 weeks after
operation with p<0,0001.
Conclusion : Operations debridement and vertebral stabilization repair pain and physical of
ABSTRAK
Tujuan : membandingkan kwalitas nyeri Visual Analogue Score (VAS) sebelum dan sesudah
operasi Spondilitis Tuberkulosa di Rumah Sakit Tempat Pendidikan FK USU.
Latar belakang : Spondilitis Tuberkulosa masih merupakan masalah serius di Indonesia
dengan komplikasi berupa nyeri yang hebat 97 % dan defisit neurologis 50 %.Nyeri yang timbul
pada Spondilitis Tuberkulosa adalah nyeri yang kronis yang dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu
nyeri nociceptif dan neuropatik dimana ke duanya harus dibedakan karena penyebab dan
penanganannya berbeda.Sejak tahun 2005 telah rutin dilakukan operasi Spondilitis Tuberkulosa
di rumah sakit tempat pendidikan FK USU medan , namun hasil klinis mengenai perbaikan
kwalitas nyeri dan defisit neurologist sebelum dan sesudah operasi belum pernah dilaporkan.
Abdeen melaporkan terdapat perbaikan nyeri dan defisit neurologis setelah operasi Spondilitis
Tuberkulosa cervical pada 10 penderita di Arab Saudi dalam 1-2 bulan sesudah operasi.Peneliti
sependapat bahwa terdapat perbaikan nyeri dan defisit neurologi sebelum dan sesudah operasi
Spondilitis Tuberkulosa dibandingkan dengan perawatan secara konservatif.
Metode : Penelitian dilakukan pada 31 pasien Spondilitis Tuberkulosa dengan keluhan
nyeri,deformitas dan defisit neurologis yang dilakukan operasi debridement dan stabilisasi
tulang belakang di sub bagian bedah orthopedi rumah sakit H Adam Malik dan RS haji medan
dari 1 januari 2008 – 1 juli 2008. Penderita dinilai kwalitas nyeri dengan VAS dan defisit
neurologis dengan klasifikasi Frankle pada saat datang pertama kali , sesaat sebelum operasi dan
dievaluasi 4 minggu dan 12 minggu setelah operasi .Dengan kata lain dilakukan 4 kali
pemeriksaan dengan lembar data yang berbeda.Untuk VAS diperkenalkan skala 0-10 lalu pasien
menentukan sendiri kwalitas nyeri yang dirasakannya.untuk Klasifikasi Frankle peneliti bersama
pembimbing melakukan penilaian langsung terhadap penderita.Data yang diperoleh untuk yang
terukur VAS dianalisa dengan T-test dan yang tidak terukur klasifikasi Frankle dianalisa dengan
Wilcoxon test dengan tingkat kebermaknaan p< 0,05.
Hasil : dengan T-test nilai VAS nyeri nocisepif (7,19±1,19) dan neuropati (6,32±1,70) sebelum
operasi menjadi (1,87±0,96) dan (1,32±1,02) 12 minggu setelah operasi p<0,0001.Dan dengan
Wilcoxon test klasifikasi Frankle (A,B,C,D dan E) sebelum operasi menjadi (D dan E) 12
minggu setelah operasi p<0,0001.
Kesimpulan : Tindakan operasi debridement dan stabilisasi pada tulang belakang
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Spondilitis tuberkulosa masih menyisakan masalah serius diseluruh dunia, terutama
dinegara yang sedang berkembang seperti di Indonesia. Ketika tuberkulosa telah melibatkan
tulang belakang akan terjadi kiphosis dari daerah yang terinfeksi,keadaan ini dapat menimbulkan
nyeri yang hebat dan komplikasi neurologis. (Fang, 1983 , Chaloupka, 2000 dan Nas, 2003).
Umumnya penderita spondilitis tuberkulosa datang dengan keluhan nyeri Pertuiset
melaporkan penelitiannya pada 58 penderita spondilitis TB datang dengan keluhan : nyeri spinal
atau radikular 97 % , kelainanan defisit neurologi 50 % , penurunan berat badan 48 % , demam >
38 C 31 % dan keringat malam 18 %. (Pertuiset, 1999).
Nyeri pada spondilitis tuberkulosa adalah nyeri yang bersifat kronis. Nyeri kronis dikenal
dua tipe yaitu nociseptif dan neuropati. .Keduanya harus dibedakan karena penyebab dan
penanganannya berbeda.Nyeri nociceptif adalah rangsang nyeri yang normal yang timbul akibat
kerusakan jaringan, biasanya respon terhadap antinyeri seperti NSAIDs dan opioid
ringan.Nociceptif pain terbagi atas nyeri somatik yang berasal dari tulang, sendi, otot dan kulit
Nyeri ini lokasinya dapat diketahui dengan baik. Contoh sprain, fraktur, luka bakar,inflamasi
(infeksi dan arthritis), nyeri pada otot dan fascia dan lain-lain.Nyeri visceral yang berasal dari
organ-organ visceral seperti saluran pencernaan dan pancreas. Contoh obstruksi. (Richeimer,
2000).
Nyeri neuropatik adalah rangsang nyeri yang abnormal akibat kerusakan atau disfungsi
syaraf perifer maupun central.Biasanya respon terhadap anti nyeri opioid kuat. Nyeri neuropatik
terdiri dari nyeri menyeluruh yang bersifat sentral injury pada saraf sentral atau perifer contoh
nyeri seperti terbakar dibawah level daerah yang mengalami kerusakan pada spinal merupakan
refleksi injuri pada sistem syaraf sentral.dan nyeri menyeluruh yang bersifat perifer contoh
diabetic neuropati, guilbarr sindroma, nerve root compresion, trigeminal neuralgia dan
lain-lain. (Richeimer, 2000)
Penelitian terhadap 10 orang pasien dengan Spondilitis tuberkulosa pada cervical yang
telah dilakukan operasi pada tahun 2001-2004 di Arab saudi, semua penderita mengalami
perbaikan nyeri dalam 1-2 bulan setelah operasi dan umumnya perbaikan neurologi dan
Sejak Oktober 2005 telah rutin dilakukan operasi terhadap penderita spondilitis tuberkulosa di
RS tempat pendidikan FK USU Medan. Namun hasil klinis mengenai perbaikan kwalitas nyeri
belum pernah dilaporkan.
1.2. Perumusan masalah
Apakah ada perbedaan kwalitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan tindakan operasi
Spondilitis Tuberkulosa pada rumah sakit tempat pendidikan FK USU Medan ?.
1.2.Tujuan penelitian
Untuk membandingkan kwalitas nyeri sebelum dan sesudah tindakan operasi spondilitis
tuberkulosa di RS tempat pendidikan FK USU Medan.
1.3.hipotesa
Terdapat perbedaan skala nyeri visual analogue score (VAS) sebelum dan sesudah
operasi spondilitis tuberkulosa di RS tempat Pendidikan FK USU.
1.4.Kontribusi penelitian.
Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan calon ahli bedah tentang
perbandingan kwalitas nyeri sebelum dan sesudah operasi spondilitis tuberkulosa di RS tempat
pendidikan FK USU Medan untuk kepentingan ilmiah dan pelayanan kesehatan bedah dalam
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Spondilitis Tuberkulosa merupakan salah satu penyakit tertua dalam sejarah dengan
ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru.Sir Percival Pott (1799)
mendeskripsikan penyakit ini dalam monografinya yang klasik dan sejak saat itu spondilitis
tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott (Pott’s disease) (Hidalgo, 2006).
Indonesia adalah kontributor pasien tuberkulosa nomor 3 didunia setelah India dan Cina.
Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat tuberkulosa setiap tahun atau setiap 4 menit ada
satu penderita yang meninggal di negara-negara tersebut dan setiap 2 detik terjadi penularan
(Moesbar, 2006).
Hampir 10 % dari seluruh penderita tuberkulosa memiliki keterlibatan dengan
muskuloskeletal. Setengahnya mempunyai lesi ditulang belakang. Keterlibatan tulang belakang
akan memperberat morbiditas karena adanya potensi defisit neurologis dan deformitas yang
permanen. (Hidalgo , 2006).
Sebuah penelitian di Perancis tahun 1980-1994 mencatat bahwa Spondilitis Tuberkulosa
merupakan 15 % dari semua kasus tuberkulosa ekstrapulmoner dan merupakan 3-5 % dari
semua kasus tuberkulosa. Anak-anak dibawah usia 10 tahun cenderung mengalami destruksi
vertebra lebih luas dan memiliki resiko terjadinya deformitas tulang belakang yang lebih
besar.Vertebra segmen torakal adalah yang tersering terlibat diikuti segmen lumbal dan cervikal
(Pertuiset dkk ,1999).
Spondilitis Tuberkulosa merupakan fokus sekunder dari infeksi tuberkulosa dengan
penyebaran sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau
melalui plexus vena Batson.Fokus primer infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang
berbeda. Suatu penelitian pada 499 pasien dengan Spondilitis Tuberkulosa, radiologis
memperlihatkan 31 % fokus primer adalah paru-paru dan dari kelompok tersebut 78 % adalah
anak-anak,sedangkan 69 % sisanya memperlihatkan foto rontgen paru yang normal dan sebagian
Lesi Spondilitis tuberkulosa berawal dari suatu tuberkel kecil yang berkembang lambat,
bersifat osteolisis lokal, awalnya pada tulang subkhondral di bagian superior atau inferior
anterior dari korpus vertebra. Proses infeksi Myobacterium tuberkulosa akan mengaktifkan
chaperonin 10 yang merupakan stimulator poten dari proses resorpsi tulang sehingga akan terjadi
destruksi korpus vertebra dianterior (Pertuiset, 1999). Proses perkijuan yang terjadi akan
menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang yang
terinfeksi relatif avaskular sehingga terbentuklah sequester tuberkulosa. Destruksi progresif di
anterior akan mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang terinfeksi dan terbentuklah kifosis
(angulasi posterior) tulang belakang. Proses terjadinya kifosis dapat terus berlangsung walaupun
telah terjadi resolusi dari proses infeksi. Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan problem
respirasi dan paraplegi (Hidalgo, 2006).
Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra dan membentuk abses paravertebral.
Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung dibawah
ligamentum longitudinal anterior.Apabila telah terbentuk abses paravertebral, lesi dapat turun
mengikuti alur fascia muskulus psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis (Watt , 1996).
Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskular sehingga lebih sulit mengalami
infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra. Pada anak-anak karena diskus
intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer. Gejala utama adalah
nyeri tulang belakang, nyeri biasanya bersifat kronis dapat lokal maupun radikular. Selain nyeri
terdapat gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, peningkatan suhu tubuh pada
sore hari dan penurunan berat badan. Tulang belakang terasa nyeri dan kaku pada pergerakan
(Hidalgo , 2006).
Dari hasil laboratorium, pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat mengalami
peningkatan laju endap darah, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Al-marri
melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosa didapatkan 33 % anak dengan laju endap
darah yang normal.Hadi melaporkan peningkatan CRP (C-Reactive Protein) pada 66 % dari 35
pasien spondilitis tuberkulosa yang berhubungan dengan pembentukan abses. Pemeriksaan
serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.Pemeriksaan dengan ELISA
(Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 %, tetapi
pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan
endemis tuberkulosa,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi kasus tuberkulosa
Pada foto polos abdomen menunjukkan gambaran klasik berupa destruksi vertebra yang
dimulai dari sudut superior atau inferior anterior korpus vertebra berdekatan dengan
discovertebral junction. Apabila terlihat destruksi korpus vertebra pada foto polos, proses
inflamasi telah berlangsung paling sedikit 6 bulan atau tulang telah kehilangan 30-40 % mineral
yang dikandungnya.Adanya bayangan fusiform harus dicurigai pembentukan abses paravertebra,
terjadi pada lebih 50 % kasus yang dapat menyebar melalui alur fasia sehingga terbentuk abses
sepanjang muskulus psoas. Klasifikasi pada abses memperkuat kecurigaan infeksi tuberkulosa .
Pada fase lanjut didapatkan penyempitan discus intervertebralis akibat herniasi kedalam korpus
vertebra yang telah rusak atau destruksi discus intervertebralis akibat gangguan nutrisi (Hidalgo,
2006).
Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada
CT-Scan dan MRI yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT-CT-Scan
efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT-Scan dapat digunakan
untuk memandu prosedur biopsi (Hoffman dkk,1993 dan Desai, 1994).
Perbedaan Spondilitis Tuberkulosa dengan Spondilitis piogenik dapat dilihat dari
progresifitas penyakitnya dimana spondilitis tuberkulosa cenderung lambat dan kronis. Pada
penyakit piogenik terjadi sklerosis reaktif, selain itu osteoporosis yang terjadi tidak senyata pada
Spondilitis Tuberkulosa. Brucellosis mempunyai perjalanan penyakit menyerupai tuberculosa
yang indolen. Spondilitis brucellosa sering terjadi pada vertebra lumbal bawah. Diagnosa
dipastikan dengan pemeriksaan antibodi serum terhadap brucella dan kultur. Peningkatan laju
endap darah lebih tinggi pada Spondilitis Tuberkulosa dibandingkan spondilitis brucellosa
(Hidalgo, 2006).
Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosa ditujukan untuk eradikasi infeksi , memberikan
stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki kifosis. Kriteria
kesembuhan sebagian besar ditekankan pada tercapainya favourable status yang didefenisikan
sebagai pasien dapat beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau tindakan bedah
lanjutan,tidak adanya keterlibatan system saraf pusat, fokus infeksi yang tenang secara klinis
maupun secara radiologis (Rasyad, 1998). Sub bagian Bedah Orthopedi FKUI-RSCM memakai
regimen kombinasi 4 kemoterapi (RHZE) dimana etambutol dan pirazinamid diberikan dalam 2
bulan pertama, INH dan rifampicin diberikan selama 12 bulan.
Prof. Subroto Sapardan telah mengembangkan metode total terapi yang merupakan
1. Konservatif dengan obat-obatan.
2. Operasi untuk evakuasi abses.
3. Hongkong methode, dilakukan debridement anterior dan fusi anterior.
4. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai hongkong methode pada penderita
spondilitis tuberkulosa dengan deformitas kifosis yang tidak kaku.
5. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai hongkong methode dan shortening
pada penderita spondilitis tuberkulosa dengan deformitas kifosis yang kaku.
6. Hongkong methode disertai dengan instrumentasi anterior.
7. Instrumentasi posterior dan debridement melalui costotranversectomi dapat disertai
shortening pada lamina dan pedikel.
8. Instrumentasi posterior saja pada pasien yang dilakukan total posterior shortening atau
pada pasien yang dilakukan posterolumbar intervertebral fusion. Hal ini dilakukan pada
pasien spondilitis tuberkulosa dengan deformitas kifosis di lumbal.
9. Hanya dilakukan tindakan posterior debridement, laminectomi, biopsi transpedikuler dan
instrumentasi.Hal ini dilakukan bila tidak ada abses,operasi anterior dipertimbangkan
resikonya lebih besar.
10.Spondilitis yang sudah sembuh dengan kifosis berat (> 60 derajat) terutama pada defisit
neurologis dilakukan tindakan posterior dan shortening lamina, pedikel dan korpus.
11.Spondilitis tuberkulosa dengan deformitas lebih dari 90 derajat disertai kelumpuhan atau
paralisis spastik dilakukan tindakan dekompresi medulla spinalis dan fusi minimal
dengan atau tanpa koreksi.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Sub Bagian Bedah Orthopedi RS Tempat Pendidikan FK-USU (RS H
Adam Malik dan RS Haji ) Medan
Waktu penelitian
Dilakukan selama 6 (enam) bulan sejak tanggal 1 januari 2008 – 1 juli 2008
.
Rancangan penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental sebelum dan sesudah tindakan.
Objek penelitian
a. Sampel
Yang diikut sertakan menjadi sample penelitian adalah seluruh penderita Spondilitis
Tuberkulosa dengan deformitas tulang belakang dan defisit neurologis yang dirawat di Sub
Bagian Bedah Orthopedi RS tempat pendidikan FK USU Medan
b. Kriteria Inklusi
- Seluruh penderita Spondilitis Tuberkulosa dengan nyeri , deformitas tulang belakang dan
defisit neurologi yang dilakukan tindakan operasi tulang belakang.
- Bersedia kontrol kerumah sakit sesudah operasi
- Penderita yang dapat dinilai kwalitas nyeri dengan Visual Analogue Score (VAS) sebelum
dan sesudah perlakuan.
c.Kriteria Eksklusi
- Penderita Spondilitis oleh sebab lain
- Penderita Spondilitis Tuberkulosa yang dirawat konservatif atau menolak dilakukan tindakan
operasi.
Pelaksanaan Penelitia.
- Penderita yang secara klinis didiagnosa sebagai Spondilitis Tuberkulosa dengan deformitas
dan defisit neurologis dirawat di ruang Bedah Orthopedi RS Tempat Pendidikan FK USU
Medan.Lalu kwalitas nyeri dinilai pada saat pemeriksaan awal,sebelum pemberian obat
pertama kali , sesaat sebelum dilakukan tindakan operasi dan dievaluasi 1 bulan dan 3 bulan
setelah operasi dengan visual analogue score (VAS). Dengan kata lain pada penelitian ini
dilakukan 4 kali pemeriksaan .
- Sebelum dilakukan operasi semua penderita mendapat Obat Anti Tuberkulosa sesuai dosis
standard selama minimal 2 minggu.
- Visual Analogue Score (VAS) terdiri dari skala 0-10. Terhadap pasien diperkenalkan dan
dinyatakan ujung sebelah kiri dari VAS (0) untuk tidak nyeri dan ujung kanan (10) untuk
paling nyeri. Lalu pasien menentukan sendiri kwalitas nyeri yang dirasakannya pada setiap
kali dilakukan evaluasi
Analisa data
Variabel independen : Tindakan operasi
Variabel dependen :
- Tingkatan nyeri dengan Visual Analogue Score (VAS)
- Jenis yeri nociceptif dan neuropati.
Data yang diperoleh untuk yang terukur Visual Analogue Score (VAS) dianalisa dengan T-test .
Sedangkan untuk yang yang tidak terukur dianalisa dengan Wilcoxon test dengan tingkat
kebermaknaan p < 0,05.
Definisi Operasional
- Nyeri : Suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan timbul akibat
kerusakan jaringan
- Nyeri kronis : Nyeri yang tetap terasa untuk jangka waktu tertentu dan sering menimbulkan
perobahan psikologis
- Nyeri Nociceptif : Rangsang nyeri normal yang timbul akibat kerusakan jaringan sekitar
syaraf,bersifat lokal. Contoh nyeri pada luka bakar, nyeri pada otot, tulang, fascia dan
lain-lain.
- Nyeri neuropatik : Rangsang nyeri abnormal akibat kerusakan atau disfungsi pada syaraf
perifer maupun central. Contoh nyeri rasa terbakar pada level daerah yang mengalami
kerusakan pada spinal, diabetic neuropati , trigeminal neuralgia dan lain-lain
- Visual Analogue Score ( VAS ) merupakan skala nyeri subjektif 0-10 dimana skala 0 untuk
tidak nyeri dan skala 10 untuk paling nyeri,dengan keterangan:
0-1 : Tidak nyeri
2-3 : Nyeri ringan
4-6 : Nyeri sedang
7-8 : Nyeri hebat
9-10 : nyeri sangat hebat
Nyeri sangat hebat
Nyeri hebat Nyeri
sedang Nyeri
ringa Tidak
nyeri
- Klasifikasi Frankle merupakan grading defisit neurologis pada cedera spinal
Frankle A : Tidak ada fungsi motorik dan sensorik
Frankle B : Sensorik normal,motorik kekuatan otot 1
Frankle C : Sensorik normal,motorik kekuatan otot 2/3
Frankle D : Sensorik normal,motorik kekuatan otot 4
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 31 kasus Spondilitis Tuberkulosa yang dilakukan tindakan operasi
debridement dan stabilisasi tulang belakang . Laki-laki di jumpai 18 kasus dan perempuan 13
kasus (table 1).Rentang umur penderita berada diantara 14 dan 55 tahun dengan usia rata-rata
31,2 tahun.
Tabel I Demografi ,Rata-rata usia dan Diagnosa klinis objek penelitian
Laki-laki Perempuan Total
Jumlah 18 13 31
Rata-rata usia 32,39 ± 12,23 29,69 ±12,23 31,2082 ±12,23
Diagnosa klinis
- Spondilitis TB Thoracal 9 5 14
- Spondilitis TB Thoracolumbal 2 5 7
- Spondilitis TB Lumbal 7 3 10
Pada table terlihat laki-laki lebih sering dijumpai yaitu 18 kasus dibanding Perempuan 13
kasus.Rata-rata usia laki-laki 32,39±12,23 dan perempuan 29,69±12,23.Pada diagnosa klinis
tampak lokasi Spondilitis Tuberkulosa yang paling sering dijumpai adalah pada thorak 14 kasus
Tabel II. Perbandingan Grade Frankle sebelum operasi,4 minggu dan 12 minggu setelah operasi.
Frankle Sebelum operasi 4 minggu Stlh operasi 12 minggu Stlh operasi
frekwensi % Frekwensi % Frekwensi %
A 8 23,8 0 0 0 0
B 4 12,9 0 0 0 0
C 4 12,9 1 3,2 0 0
D 8 25,8 12 38,7 10 32,3
E 7 22,6 18 58,1 21 67,7
Total 31 100 31 100 31 100
9
Sebelum operasi Grade frankle A dan B dijumpai masing- masing 8 dan 4 kasus. Pada 4 minggu
dan 12 minggu setelah operasi tidak dijumpai lagi.Grade Frankle E sebelum operasi dijumpai
peningkatan dari 7 kasus menjadi 18 kasus 4 minggu setelah operasi dan 21 kasus 12 minggu
setelah operasi
Tabel III Perbandingan nilai Visual Analogue Score (VAS) nyeri Nociceptif dan Neuropatik sebelum operasi,4 minggu dan 12 minggu setelah operasi.
Jenis nyeri Sebelum operasi setelah opeasi P
0 minggu 4 minggu 12 minggu
Nociceptif 7,19±1,19 3,29±1,39 1,87±0,96 <0,0001
Neuropatik 6,32±1,70 2,74±1,06 1,32±1,02 <0,0001
Pada tabel III dengan uji statistik t test dijumpai perbaikan pada ke dua jenis nyeri nociceptif dan
neuropatik sebelum operasi 7,19±1,19 dan 6,33±1,70 menjadi 1,87± 0,96 dan 1,32±1,02 pada 12
Tabel IV. Perbandingan Grade Frankle penderita sebelum operasi, 4 minggu dan 12 minggu setelah operasi ‘
12 minggu setelah operasi 4 minggu setelah operasi
sebelum operasi
Cou
n
t
25
20
15
10
5
0
E D C B A
frankle
Secara barr tabel tampak gambaran Frankle A,B,C,D dan E sebelum operasi , 4 minggu
setelah operasi mengalami peningkatan grade menjadi Frankle C, D dan E dan 12 minggu
setelah operasi tinggal Frankle D dan E disini terlihat adanya perbaikan yang bermakna
Tabel V Diagram perbandingan nyeri nociceptif dan neuropatik sebelum operasi, 4 minggu dan 12 minggu setelah operasi.
Pada barr table nyeri nociceptif dan neuropatik terlihat mengalami penurunan sebelum operasi
nyeri nociceptif memperlihatkan nilai VAS 7,19 dan nyeri neuropati dengan VAS 6,32 , pada 4
minggu setelah operasi nyeri nociceptif menurun menjadi VAS 3,29 dan nyeri neuropati
menurun menjadi VAS 2,74 dan 12 minggu sesudah operasi nyeri nociceptif dengan nilai VAS
4.2 Pembahasan
Banyak penderita Spondilitis Tuberkulosa datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri (97 %)
dan defisit neurologis ( 50 %) (pertuisset,1999).Hal ini dapat dilihat pada penelitian ini bahwa
seluruh penderita datang dengan keluhan nyeri yang berbeda dan sebagian (70 %) datang dengan
kondisi defisit neurologis.
Pada era dibawah tahun 2000 sering dijumpai kasus Spondilitis Tuberkulosa dengan nyeri kronis
dan defisit neurologis yang dilakukan perawatan secara konservatif dengan pemberian obat-obat
anti tuberkulosa selama 6-9 bulan.Namun tidak memperlihatkan perbaikan keluhan dan fisik
yang nyata.Saat ini seiring dengan dengan perkembangan ilmu bedah pada tulang belakang
dikawasan Asia seperti China,India dan Korea Selatan , memperlihatkan penanganan Spondilitis
Tuberkulosa dengan nyeri kronis dan defisit neurologis lebih cenderung kearah operatif dari
pada konservatif.
Penilaian VAS dan Klasifikasi Frankle saat datang pertama kali ke UGD atau poliklinik rumah
sakit tidak memperlihatkan perobahan yang bermakna dibandingkan dengan penilaian sesaat
sebelum di operasi.Hanya terjadi penurunan 1 nilai VAS baik nociseptif atau neuropatik atau
keduanya pada 16 penderita dengan pemberian medikamen Obat Anti Tuberkulosa sebagai
umbrella terapi selama minimal 2 minggu sebelum operasi.Begitu juga hanya dijumpai 1
penderita yang mengalami peningkatan klasifikasi Frankle dari Frankle D saat datang pertama
kali menjadi Frankle E pada sesaat akan dilakukan operasi,sehingga dianggap kondisi saat
datang sama dengan kondisi sesaat sebelum operasi.
Infeksi Micobachterium tuberkulosa akan mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan
stimulator proses resorbsi tulang sehingga terjadi destruksi tulang (pertuiset ,1999).Proses
pengkijuan yang terjadi akan menghalangi proses pembentukan tulang reaktif mengakibatkan
segmen tulang yang terinfeksi relatif avaskuler sehingga terbentuk sequester tuberkulosa
(Hidalgo,2006).Dengan melakukan debridement dan pemasangan stabilisasi pada tulang
belakang dilakukan evakuasi dari Micobachterium langsung dari tulang dan jaringan sekitarnya .
Dimana kesembuhan bisa diperoleh dengan medikamen saja , mengingat kondisi segmen tulang
yang lebih avaskuler sehingga sulit untuk dicapai obat-obatan.Hal ini dapat dilihat pada
penelitian ini dengan tidak dijumpai perbaikan nyeri dan defisit neurologis secara bermakna
pada pemberian OAT selama minimal 2 minggu.
Pada penelitian ini dapat dilihat hampir semua penderita Spondilitis Tuberkulosa dengan nyeri
dan defisit neurologis yang beragam cenderung mengalami perbaikan dalam 12 minggu pasca
operasi secara bermakna p<0,0001.misalnya sebelum operasi ada penderita yang datang dengan
frankle A , 4 minggu setelah operasi menjadi frankle D ,begitu juga dengan nyeri dari VAS 8
sebelum operasi mengalami perbaikan menjadi VAS 2 setelah operasi.
Nyeri nociceptif dan neuropatik dialami penderita berbeda satu dengan yang lain.terkadang
nociceptif lebih menonjol kadang-kadang neuropatik.Namun kedua jenis nyeri tersebut
mengalami perbaikan bermakna sebelum dan sesudah operasi.Perbaikan nyeri ini
memperlihatkan korelasi dan singkronisasi dengan perbaikan defisit neurology yang dialami
oleh semua penderita.
Pertuisset melaporkan bahwa vertebra segmen torakal merupakan daerah tersering terlibat diikuti
segmen lumbal dan segman cervical.Pada penelitian ini terlihat segmen torakal merupakan
lokasi terbanyak spondilitis tuberkulosa yaitu 14 kasus, diikuti segmen lumbal 10 kasus dan
segmen torakolumbal pada 7 kasus. Tidak dijumpai kasus yang melibatkan segmen cervical
dalam penelitian ini.
Abdeen 2006 menyatakan pada penelitian terhadap 10 penderita Spondilitis Tuberkulosa
Cervical yang telah dilakukan operasi di Arab Saudi 2001-2004 semua penderita mengalami
perbaikan defisit neurologis dan nyeri dalam 1-2 bulan setelah operasi.Pada penelitian ini
dijumpai perbaikan defisit neurologis dan nyeri pada semua penderita Spondilitis Tuberkulosa
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Tindakan operasi debridement dan stabilisasi tulang belakang, memperbaiki keluhan
dan fisik penderita Spondilitis Tuberkulosa.
2. Nilai Visual Analogue Score (VAS) nyeri nosiseptif sebelum operasi (7,19±1,19))
berkurang menjadi (3,291±1,39) 4 minggu setelah operasi dan (1,87±0,96) ,12 minggu
setelah operasi , perbaikan nyeri nosiceptif ini secara statistik bermakna dengan p <
0,0001 .
3. Nilai Visual Analogue Score (VAS) nyeri neuropatik sebelum operasi (6,32±1,70)
berkurang menjadi (2,74±1,06) 4 minggu setelah operasi dan (1,32±1,02) ,12 minggu
setelah operasi , perbaikan nyeri nosiceptif ini secara statistik bermakna dengan p <
0,0001 .
4. Nilai Klasifikasi Frankle untuk defisit neurologis sebelum operasi datang dengan grade
(A,B,C,D dan E ) , 4 berobah menjadi (C,D dan E) 4 minggu setelah operasi dan (D,E)
12 minggu setelah operasi , perbaikan Grading Frankle ini secara statistik bermakna
dengan p < 0,0001 .
5.2. Saran
1. Tindakan operasi debridement dan stabilisasi tulang belakang merupakan pilihan
penanganan pada penderita Spondilitis Tuberkulosa yang telah memperlihatkan
penurunan Frankle dan nyeri.
2. Perlu dilakukan sosialisasi kemasyarakat dan medis untuk lebih memahami
peran dan perlunya tindakan operasi pada kasus Spondilitis Tuberkulosa ,
mengingat masih tingginya kasus Spondilitis Tuberkulosa di
Indonesia.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui seberapa besar peran
operasi untuk menyembuhkan spondilitis tuberkulosa dengan defisit neurologis
DAFTAR PUSTAKA
Abdeen K (2006) : Surgery For Tuberculosis Of The Cervical Spine , The Internet Journal of Neurosurgery , vol 3 number 2.
Benarjee A , Tow DE,(1987) , Tuberculous Spondiylitis , http://www .med.harvard. edu/JPNM/Bone TF/case 14.
Chaloupka VP,( 2000 ): Our Contribution to the Surgical Management of Tuberculous Spondilitis , Scripta Medica , 165-8.
Chen LH , Kao FC , Niu CC , Lai PL , Fu TS , Chen WJ , ( 2005 ): Surgical Treatment of Spinal Pseudoarthrosis in Ankylosing Spondilitis , Chang Gung Med J ; 28 , 621-8.
Chen WJ , Wu CC , Jung CH , Chen LH , Niu CC , Lai PL , ( 2002 ): Combined Anterior and Posterior Surgeries in the Treatment of Spinal Tuberculous Spondylitis.,
Clinical Orthopaedics & Related Research , 398 , 50-9 .
Desai SS , (1994 ): Early Diagnosis of Spinal Tuberculosis by MRI , Bone and Joint Surgery , vol 76 B No 6 , 863-9.
Fang D , Leong JCY , Fang HSY , ( 1983 ): Tuberculosis of the Cervical Spine , Journal of Bone and Joint Surgery , Vol 65-B no 1 , 47-50 .
Hidalgo JA ( 2006 ) : Pott’s Desease ( Tuberculous Spondylitis ) http://
202.71.136.146.8080 / healcarehouse / desease / med_em / topic 1902.htm .
Hoffman EB,Crosier JH,Cremin BJ,(1993): Imaging in Chidren with Spinal Tuberculosis a Comparison of Radiography,Computed Tomography and Magnetic Resonance Imaging,J Bone Joint Surg (Br),75-B,233-9.
Grevitt M , Khazim R , Webb J , Mulholland R , Shepperrd J ( 1997 ): The Short Form – 36 Health Survey Questionnaire in Spine Surgery , The Journal of Bone and Joint Surgery , 48-52 .
Moon MS , ( 1997 ):Tuberculosis of the spine : Controversies and A New Challenge , Spine 22 ( 15 ),1791-7 .
Moesbar N,(2006):Infeksi Tuberkulosa Pada Tulang Belakang ,Majalah Kedokteran Nusantara,Vol 39 No 3,283-93.
Pertuiset E , Beaudreuil J , Liote F , ( 1999 ) : Spinal Tuberkulosis in Adults , A Study of 103 Cases in Developed Country , 1980-1994 , Medicine ; 78 ,309-20.
Ramani PS , Sharma A , Jituri S , Muzumdar DP, ( 2005 ): Anterior Instrumentation for Cervical Spine Suberculosis : An Analysis of Surgical Experience with 61 Cases . Neurology India , vol 53 , 83-9 .
Rasyad C , ( 1998 ): Spondilitis Tuberkulosa , Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi , 152-7 .
Richeimer S , (2000):Understanding Nociceptive and Neuropathic pain,http//www.helpforpain.com.
Rychlicki et al ( 1998 ): Tuberculous Spondilitys : A Retrospective Study on a Series of 12 Patients Operated on in a 25-Year Period , Journal of Neurosurgical Sciences vol 42 No 4, 213-9 .
Schofferman J (2003):PharmacologicManagementof Chronic Pain in Spinal Disorders, Spine Secrets, 139-46 .
Upadhyay SS , Saji MJ , Sell P , Sell B , Hsu LCS , ( 1994 ): Spinal Deformity After Childhood Surgery for Tuberculosis of the Spine , Bone and Joint Surgery , January 76 – B , 91-8 .
Venkatesan R et al , ( 2001 ): Adjuvant Posterior Stabilization in the Management of Tuberculous Spondylitis of the Dorsal and Lumbar Spine , Orthopedic & Traumatology , 75-85 .
Watt HG,Lifeso RM,(1996): Current Concepts Review – Tuberculosis of Bone and Joints , J Bone Joint Surg Am;78 , 288-99.
Zimmerman MA, Selzman CH, Cothren C, Sorensen AC, Raeburn CD, Harken AH, ( 2003 ): Diagnostic Implications of C-Reactive Protein , Arc Surg , 220-4 .
DATA-DATA PASIEN
Nyeri sangat hebat
Nyeri hebat Nyeri
sedang Nyeri
ringan Tidak