KARYA TULIS TUGAS AKHIR
HUBUNGAN HASIL ROTTERDAM CT SCORE DENGAN
GLASGOW OUTCOME SCALE PADA PASIEN CEDERA
KEPALA YANG DILAKUKAN OPERASI KRANIECTOMI
DEKOMPRESI
TESIS
PENELITI
dr.INDRA SAPUTRA
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar
Spesialis Bedah Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Bedah
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA MEDAN
Judul : Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi
Dengan Glasglow Coma Scale Sesudah Operasi Pada
Pasien Cedera Kepala Yang dilakukan Operasi
Craniectomi Dekompresi
Nama PPDS : dr.Indra Saputra
Nomor CHS :
Bidang Ilmu : Kedokteran / Ilmu Bedah
Kategori : Bedah Saraf
PROPOSAL PENELITIAN INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH
Pembimbing I :
Pembimbing II:
Prof.Dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat,SpBS(K)
NIP: 194405071977031001 NIP: 197302202005012000 DR.dr.Suzy Indharty,M.Kes,SpBS
Ketua Departemen Ilmu Bedah Ketua Program Studi Ilmu Bedah
Dr.Emir Taris Pasaribu,SpB(K)Onk
SURAT KETERANGAN
Sudah Diperiksa Proposal Penelitian
Judul : Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi
Dengan Glasglow Coma Scale Sesudah Operasi Pada
pasien Cedera Kepala Yang dilakukan Operasi
Craniectomi Dekompresi
Peneliti : dr.Indra Saputra
Departemen : Ilmu Bedah
Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
MEDAN, JANUARI 2014
KONSULTAN METODOLOGI PENELITIAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
PROPOSAL PENELITIAN
Judul : Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi
Dengan Glasglow Coma Scale Sesudah Operasi Pada
Pasien Cedera Kepala Yang dilakukan Operasi
Craniectomi Dekompresi
Peneliti : dr.Indra Saputra
Departemen : Ilmu Bedah
Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
MEDAN, JANUARI 2014
SEKSI ILMIAH
DEPATEMEN ILMU BEDAH FK USU
PERNYATAAN
Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi Dengan Glasgow
Coma Scale Sesudah Operasi Pada Pasien Cedera Kepala Yang dilakukan
Operasi Kraniectomi Dekompresi
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Januari 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat
dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
penelitian akhir ini yang merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk
memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan. Selawat dan salam tak lupa penulis
sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis
untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
dr. Emir T Pasaribu, SpB(K)ONK dan Sekretaris Departemen, dr. Erjan Fikri,
SpB,SpBA. Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr. Marshal SpB,SpBTKV dan
Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah, dr. Asrul S, SpB-KBD, yang telah bersedia
menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama
penulis menjalani pendidikan.
Prof. Dr. Abd. Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K); Guru Besar di Departemen Ilmu
Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Pembimbing
penulisan tesis, DR.dr.Rr.Suzy Indharty,Sp.BS,M.kes; Sekretaris Program Studi
di Departemen ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universita Sumatera Utara
dan pembimbing penulisan tesis, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan
penghargaan yang setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah
dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan penuh bijaksana dan tulus
ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada
guru-guru saya : Prof. Bachtiar Surya, SpB-KBD, Prof. Iskandar Japardi,
SpBS(K), Prof. Adril A Hakim, SpS,SpBS(K), Prof. Nazar Moesbar, SpB,SpOT,
Prof. Hafas Hanafiah, SpB,SpOT, Alm.Prof Usul Sinaga, SpB, Alm.Prof Buchari
Kasim, SpBP, dr. Asmui Yosodihardjo, SpB,SpBA, dr. Syahbuddin Harahap,
SpB, DR. dr. Humala Hutagalung, SpB(K)ONK, dr. Gerhard Panjaitan,
SpB(K)ONK, dr. Harry Soejatmiko, SpB,SpBTKV, dr. Chairiandi Siregar, SpOT,
dr. Bungaran Sihombing, SpU, dr. Syah M Warli, SpU dan seluruh guru bedah
saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di lingkungan RSUP H Adam
Malik, RSU Pirngadi Medan dan di semua tempat yang telah mengajarkan
ketrampilan bedah pada diri saya. Semua telah tanpa pamrih memberikan
bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama mengikuti program
pendidikan ini.
Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan
meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.
Para Senior, dan sejawat peserta program studi Bedah yang bersama-sama
menjalani suka duka selama pendidikan.
Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga
kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di RSUP
H Adam Malik, RSU Pirngadi, dan di semua tempat bersama penulis selama
penulis menimba ilmu.
Kedua orang tua, ayahanda Alm.Kasiar Saufi dan ibunda Maslaini . Mertua,
ayahanda Dr.H.Rusli Dhanu,Sp.S(K) dan ibunda Hj. Sopanita br Tarigan, terima
kasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan
dengan diiringi doa dan dorongan yang tiada hentinya sepanjang waktu,
memberikan contoh yang sangat berharga dalam menghargai dan menjalani
kehidupan.
Kepada abang, kakak, adik-adik dan seluruh keluarga besar, penulis menucapkan
terima kasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama penulis
menjalani pendidikan.
Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta dr.Rika Wahyuni Dhanu,
SpAn dan anakku Pangru Perdana Putra dan Arya Dwika Putra atas segala
pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam
segala suka duka mendampingi saya selama menjalani masa pendidikan yang
panjang ini.
Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan.
Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan Magister spesialisasi ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Terima kasih.
Medan, Oktober 2013
Penulis
ABSTRAK
Latar Belakang : Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 45 tahun di negara maju dan di negara berkembang, tingkat kematian pada cedera otak traumatik ini mencapai 35%-50%. Di Eropa dilaporkan insidensi cedera otak traumatik yang masuk rumah sakit dan cedera otak traumatik yang berakhir pada kematian adalah 235/100.000 populasi, berbeda dengan India (160/100.000) dan di Amerika Serikat (103/100.000). Setiap tahunnya di Inggris 1500/100.000 populasi mengalami cedera otak traumatik, 300 dirawat di rumah sakit dan 9 meninggal (Reilly, 2007). Cedera otak traumatik menempati peringkat ke-5 dari penyakit utama penyebab kematian di Rumah Sakit dengan angka rerata 3000 kematian pertahun (Depkes RI, 2007). Kraniectomi dekompresi merupakan sarana efektif untuk mengontrol tekanan intrakranial tinggi. Computed tomography (CT) otak adalah pilihan pertama pemeriksaan pada fase akut setelah cedera kepala dan memberikan informasi diagnostik yang penting.Klasifikasi pencitraan yang baru yang didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala yaitu Rotterdam CT score
Metode : Penelitian dilakukan pada 47 pasien hidrosefalus yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan sejak oktober 2013 sampai dengan januari 2014. Data Kemudian dilakuakan analisis dengan menggunakan ChiSquare dan nilai p<0,05 dianggap sebagai hubungan yang bermakna.
. Glasgow outcome scale paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak.
Hasil Penelitian : Pada 47 pasien yagn dilakukan operasi kraniectomi dekompresi dijumpai : Hubungan antara Rotterdam CT Score dengan GOS adalah bermakna (p = 0,014 ; r = 0,05).
Rotterdam CT dapat dapat digunakan sebagai prediktor prognosis penderita cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna hasil Rotterdam CT Score dengan GOS sebagai predictor prognosis pada cedera kepala yang dilakukan kraniectomi dekompresi
DAFTAR ISI
Halaman
PERSETUJUAN HASIL PENELITIAN
Pembimbing,Ketua Departemen,Ketua Program Studi i
Konsultan Metodologi Penelitian ii
Seksi Ilmiah iii
Pernyataan iv
Kata Pengantar v
Abstak viii
Daftar Isi ix
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 4
1.3. Hipotesis 4
1.4. Tujuan Penelitian 4
1.4.1. Tujuan Umum 4
1.4.2. Tujuan Khusus 4
1.5. Manfaat Penelitian 4
1.5.1. Bidang Pendidikan (Ilmu Pengetahuan) 4
1.5.2. Bidang Penelitian 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cedera Otak Traumatik 6
2.1.1. Defenisi Cedera Otak Traumatik 6
2.1.2. Pembagian Cedera Otak Traumatik 7
2.1.3. Pembagian Cedera Otak Traumatik
Berdasarkan Derajat Keparahan 8
2.1.3.1. Berdasarkan Derajat Glasgow Coma Scale(GCS) 8
2.2. Skala Prognosis Glasgow (Glasgow Outcome Scale = GOS) 10
2.2.1. Outcome Paska Cedera Kepala (Glasgow Outcome Scale) 10
2.2.2. Skoring Glasgow Outcome Scale 12
2.3. Teknik Pembedahan Craniectomy Decompresi 12
2.4. Rotterdam Computed Tomography Score 17
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian 20
3.2. Tempat, Waktu dan Tenaga Pelaksana Penelitian 20
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 20
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 21
3.5. Perkiraan Besar Sampel 21
3.6. Cara Kerja dan Alur Penelitian 22
3.7. Alur Penelitian 23
3.8. Kerangka Teori 24
3.9. Kerangka Konsep 25
3.10. Definisi Operasional 26
3.11. Informed Consent dan Ethical Clearance 28
3.12. Organisasi Penelitian 28
BAB 4. HASIL PENELITIAN
4.1 . Karakteristik Sampel 30
4.1.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Usia 30
4.1.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin 31
4.1.3 Distribusi Pasien Berdasarkan Head CT Scan 32
4.1.4 Distribusi lokasi cedera kepala menurut hasil pemeriksaan
CT Scan 32
4.1.5 Distribusi pasien berdasarkan GCS saat awal masuk 33
4.1.6 Distribusi Pasien berdasarkan skor GOS 34
4.1.7 Distribusi pasien berdasarkan hasil Rotterdam CT Score
dan hasil GOS 36
4.1.8 Proporsi antara GCS saat awal masuk dengan skor GOS 36
BAB 5 PEMBAHASAN 38
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan 40
6.2 Saran 40
LAMPIRAN
Lampiran 1 Persetujuan Setelah Penjelasan
Lampiran 2 Susunan Peneliti
Lampiran 3 Jadwal Penelitian
Lampiran 4 Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian
Lampiran 5 Persetujuan Komote Etik Penelitian
Lampiran 6 Lembar Pengumpul Data Penelitian
Lampiran 7 Lembar Penilaian Rotterdam CT Score
ABSTRAK
Latar Belakang : Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 45 tahun di negara maju dan di negara berkembang, tingkat kematian pada cedera otak traumatik ini mencapai 35%-50%. Di Eropa dilaporkan insidensi cedera otak traumatik yang masuk rumah sakit dan cedera otak traumatik yang berakhir pada kematian adalah 235/100.000 populasi, berbeda dengan India (160/100.000) dan di Amerika Serikat (103/100.000). Setiap tahunnya di Inggris 1500/100.000 populasi mengalami cedera otak traumatik, 300 dirawat di rumah sakit dan 9 meninggal (Reilly, 2007). Cedera otak traumatik menempati peringkat ke-5 dari penyakit utama penyebab kematian di Rumah Sakit dengan angka rerata 3000 kematian pertahun (Depkes RI, 2007). Kraniectomi dekompresi merupakan sarana efektif untuk mengontrol tekanan intrakranial tinggi. Computed tomography (CT) otak adalah pilihan pertama pemeriksaan pada fase akut setelah cedera kepala dan memberikan informasi diagnostik yang penting.Klasifikasi pencitraan yang baru yang didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala yaitu Rotterdam CT score
Metode : Penelitian dilakukan pada 47 pasien hidrosefalus yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan sejak oktober 2013 sampai dengan januari 2014. Data Kemudian dilakuakan analisis dengan menggunakan ChiSquare dan nilai p<0,05 dianggap sebagai hubungan yang bermakna.
. Glasgow outcome scale paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak.
Hasil Penelitian : Pada 47 pasien yagn dilakukan operasi kraniectomi dekompresi dijumpai : Hubungan antara Rotterdam CT Score dengan GOS adalah bermakna (p = 0,014 ; r = 0,05).
Rotterdam CT dapat dapat digunakan sebagai prediktor prognosis penderita cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna hasil Rotterdam CT Score dengan GOS sebagai predictor prognosis pada cedera kepala yang dilakukan kraniectomi dekompresi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur
dibawah 45 tahun di negara maju dan di negara berkembang. Kepala juga
merupakan bagian yang paling sering mengalami kerusakan pada pasien multiple
trauma dan tingkat kematian pada cedera otak traumatik ini mencapai 35%-50%.
Cedera otak traumatis merupakan masalah kesehatan masyarakat dan merupakan
penyebab utama kematian dan cacat berat di kalangan anak muda.(Huang, 2013).
Cedera otak traumatik menempati peringkat ke-5 dari penyakit utama
penyebab kematian di Rumah Sakit dengan angka rerata 3000 kematian pertahun
(Depkes RI, 2007).
.
Di Eropa dilaporkan insidensi cedera otak traumatik yang masuk rumah sakit dan
cedera otak traumatik yang berakhir pada kematian adalah 235/100.000 populasi,
berbeda dengan India (160/100.000) dan di Amerika Serikat (103/100.000). Setiap
tahunnya di Inggris 1500/100.000 populasi mengalami cedera otak traumatik, 300
dirawat di rumah sakit dan 9 meninggal (Reilly, 2007). Cedera kepala menjadi
hampir sebagian penyebab kematian dari keseluruhan angka kematian yang
diakibatkan trauma, yang sebagian besarnya mengakibatkan kematian pasien
akibat trauma setelah masuk ke rumah sakit. Cedera kepala juga merupakan
penyebab utama yang paling sering mengakibatkan kecacatan permanen setelah
kecelakaan dan kecacatan tersebut dapat terjadi meskipun pada pasien dengan
cedera kepala derajat ringan (Selladurai B. et al, 2007).
Faktor paling penting yang menentukan prognosis dari pasien cedera
kepala adalah tingkat ketahanan otak terhadap kerusakan. Pada dasarnya
perkembangan kerusakan otak setelah cedera kepala merupakan hasil kombinasi
dari kerusakan primer dan kerusakan sekunder dan telah diketahui bahwa
sebagian besar kerusakan otak pada cedera kepala disebabkan oleh kerusakan
sekunder (Narayan, 1996).
Beberapa studi menunjukkan bahwa kraniectomi dekompresi merupakan
dengan lesi intraparenchymal (Polin, 1997). Kraniectomi dekompresi sering
dilakukan,oleh karena itu, prediksi hasil pasca operasi sangat penting dalam
praktek bedah saraf. Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan alat utama untuk
penilaian klinis keparahan cedera otak, berkorelasi dengan hasil setelah
kraniectomi dekompresi
Computed tomography (CT) otak adalah pilihan pertama pemeriksaan
pada fase akut setelah cedera kepala dan memberikan informasi diagnostik yang
penting dengan implikasi terapi untuk intervensi bedah. Marshall et al 1991,
mengusulkan klasifikasi CT untuk mengelompokkan pasien dengan cedera otak
traumatik menurut beberapa karakteristik CT. Meskipun klasifikasi CT oleh
Marshall et al telah digunakan untuk hasil yang dievaluasi dari cedera otak
traumatik (Huang, 2012).
Mass dkk,2005 mengembangkan klasifikasi pencitraan lain yang baru
yang didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala yaitu Rotterdam CT score. Mereka
menggabungkan karakteristik individual, termasuk status sisterna basal,
pergeseran garis tengah, dan jenis lesi massa atau perdarahan intrakranial pada
model yang memerlukan untuk tujuan prognostik cedera otak traumatik.
Berdasarkan Rotterdam CT score (Maas, 2005), yang mengidentifikasi lima
temuan pencitraan kunci pada trauma kepala CT dengan signifikan nilai
prognostik klinis: (1) ada atau tidak adanya subdural atau epidural hematoma, (2)
ada atau tidak adanya subarachnoid perdarahan, (3) ada atau tidak adanya suatu
intraparenchymal hematoma, (4) ada atau tidak adanya klinis yang signifikan
pergeseran garis tengah (≥ 5 mm), dan (5) normal. Nilai dari sistem klasifikasi CT dalam memprediksi hasil klinis diakui sebagai pedoman untuk manajemen
setelah cedera otak traumatik yang berat (Chestnut, 2000)
Skala pengukuran Glasgow Outcome Scale ini pertama kali ditemukan
oleh Jennet dan Bond, 1975, prognosis paska cedera otak yang didasarkan
kapabilitas sosial pasien paska cedera otak dikombinasikan dengan efek mental
spesifik dan defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan
otak secara umum, dimana juga mampu menilai prognosis paska koma traumatik
Skala ini bersama-sama dengan skala-skala yang lain sering dipakai untuk
menentukan efektifitas terapi yang dipilih sehingga sangat menolong dalam
penelitian cedera otak. Secara umum, prosedurnya ialah membagi dua/melakukan
dikotomi lima peristiwa dari glasglow outcome scale menjadi dua kategori :
unfavorable dan favorable. Unfavorable outcome meliputi kategori:
meninggal,persisten vegetative state dan ketidakmampuan yang berat. Favorable
outcome meliputi : ketidakmampuan sedang dan kesembuhan yang baik.
Berdasarkan pengetahuan peneliti, penelitian ini belum pernah dilakukan
dilakukan di Indonesia, Glasgow outcome scale paling luas digunakan untuk
menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak. Penilaian secara tepat
diperoleh pada 3,6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas dari glasgow
outcome scale sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh
kuatnya hubungan dengan lamanya koma,beratnya kondisi pada awal
trauma(diukur dengan GCS), dan tipe lesi intrakranial. Glasgow outcome scale
kategori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik amnesia. Kritikan
terhadap glasgow outcome scale terutama relatif tidak sensitif terhadap kondisi
pasien yang membaik signifikan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera
otak. (Narayan ,et al ,1995).
Penelitian yang dilakukan menemukan makin tinggi hasil Rotterdam CT
score makin meningkat mortalitas dan makin menunjukkan hubungan
peningkatan glasgow outcome scale (Huang et al,2012)
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Huang et al,2012 menguji
perbedaan prognostik dan prediksi dari Rotterdam CT Score pada kasus pasien
yang menjalani kraniectomi dekompresi, mereka mendapatkan hasil dimana
Rotterdam CT Score memberikan perbedaan prognostik yang besar dan
merupakan prediktor independen terhadap glasgow outcome scale.
Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian terhadap
hubungan hasil Rotterdam CT score dengan Glasgow Outcome Scale di Rumah
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan yaitu :
Hubungan hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan prediksi Glasgow
Outcoma Scale sesudah operasi pada pasien cedera kepala yang dilakukan operasi
craniectomi decompresi
1.3. Hipotesis
Ada hubungan antara Hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan
hasil Glasgow Outcome Scale sesudah operasi pada cedera kepala yang dilakukan
operasi kraniectomi dekompresi
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan hasil antara Rotterdam CT Score sebelum
operasi dengan Glasgow Outcome Scale sesudah operasi pada cedera kepala yang
dilakukan operasi kraniectomi dekompresi
1.4.2. Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui angka kejadian kasus cedera kepala dengan
gambaran CT Scan.
- Untuk mengetahui hubungan hasil Rotterdam CT score sebelum
operasi dengan hasil Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada
pasien cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bidang Pendidikan (Ilmu Pengetahuan)
Pada penelitian ini diharapkan dapat diketahui manfaat hubungan hasil
Rottedam CT Score sebelum operasi dengan Glasgow Outcoma Scale sesudah
operasi pada pasein cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi
1.5.2. Penelitian
Memberikan masukan bagi penelitian lebih lanjut yang nantinya berguna
bagi tatalaksana pasien dengan cedera kepala dengan menggunakan Rotterdam CT
Score atau Glasgow Outcoma Scale.
1.5.3. Pelayanan kesehatan
Menunjang perbaikan penatalaksanaan pasien pada cedera kepala dengan
menggunakan Rotterdam CT Score dan Glasgow Outcoma Scale yang nantinya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cedera otak traumatik
2.1.1. Defenisi cedera otak traumatik
Istilah cedera kepala (Head Injury), trauma kapitis adalah cedera yang
mengenai bukan hanya jaringan otak tetapi juga disertai cedera kulit kepala
(scalp), tulang tengkorak (atap dan dasar tengkorak), tulang-tulang wajah
(maksila, mandibula), saraf kranial spesial (penglihatan, penciuman, pendengaran)
(Critchley and Memon, 2009). Tidak semua jejas pada kepala menyebabkan
cedera jaringan otak (misalnya luka sayat sederhana pada kulit kepala), sebaliknya
tidak harus ada jejas di kepala menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya jatuh
terduduk dari ketinggian tanpa ada perlukaan di kepala).
Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury) adalah suatu proses
patologis pada jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif maupun kongenital,
melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar (trauma), menyebabkan gangguan
fungsi kognitif, fisik dan psikososial yang sifatnya menetap atau sementara dan
disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Dawodu, 2009; Crithcley
and Memon, 2009).
Penyebab cedera otak traumatik yaitu kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian, cedera olah raga (misalnya olah raga tinju), cedera pada rekreasi
(misalnya parachute jumping), luka tembak, kriminalitas, penyalahgunaan anak
(child abuse). Penyebab cedera otak traumatik secara lengkap dan terperinci
terdapat di naskah klasifikasi diagnostik internasional ke-10 (ICD 10) kode V01
sampai Y98 (ICD 10, Engel, 2008).
Cedera otak primer akibat langsung dari kekuatan mekanik yang merusak
jaringan otak saat terjadinya cedera kepala (hancur, robekan, memar dan
perdarahan) (Reilly, 2007). Cedera otak primer menyebabkan kerusakan jaringan
otak lokal, multi fokal dan difus pada sel neuron, axon, glia dan pembuluh darah.
Temuan radiologis pada CT Scan otak yaitu perdarahan epidural, perdarahan sub
dural, perdarahan intra serebral, bercak perdarahan kontusio, cedera difus dan
Cedera otak sekunder adalah akibat lanjutan dari cedera otak primer terdiri
dari faktor-faktor lokal (intra kranial) dan sistemik (ekstra kranial) (Reilly, 2007).
Suatu hal penting dalam memahami cedera kepala murni (isolated) dengan atau
tanpa disertai cedera struktur anatomi dibawah leher (polytrauma). Cedera ganda
(polytrauma, multitrauma) memiliki kontribusi besar pada kejadian insult cedera
otak sekunder (Crithcley and Memon, 2009).
2.1.2. Pembagian cedera otak traumatik
Klasifikasi cedera otak traumatik dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Klasifikasi cedera otak traumatik berdasarkan mekanisme, derajat
keparahan dan morfologi
Jenis Pembagian
Mekanisme Tumpul Kecepatan tinggi (tabrakan mobil) Kecepatan rendah (jatuh, dipukul) Tembus Cedera peluru
Cedera tembus lain Derajat keparahan Ringan GCS 13 – 15
Sedang GCS 9 – 12
Berat GCS 3 – 8
Morfologi Fraktur tengkorak Kalvaria Garis, bintang, distasis
sutura, fraktur
Lesi intrakranial Fokal Epidural Subdural Intraserebral Difus Komosio ringan
Cedera akson difus
Pembagian cedera otak traumatik menurut The International Classification
of Diseases (ICD) 10 adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Daftar kode ICD-10 dan kategori cedera kepala
Kode kategorikal Diagnosis
S00 Superficial injury of the head S01 Open wound of the head
S02 Fracture of skull and facial bones
S03 Dislocation, sprain and strain of joints and ligaments of the head
S04 Injury of cranial nerves S05 Injury of eye and orbit S06 Intracranial injury S06.0 Concussion
S06.1 Traumatic cerebral oedema S06.2 Diffuse brain injury
S06.3 Focal brain injry S06.4 Epidural haemorrhage
S06.5 Traumatic subdural haemorrhage S06.6 Traumatic subarachnoid haemorrhage S06.7 Intracranial injury with prolonged coma S06.8 Other intracranial injury
S06.9 Intracranial injury, unspecified S07 Crushing injury of head
S08 Traumatic amputation of part of head S09 Other and unspecified injuries of head
Sumber: International Statistical Classification of disease and Related Health Problems, 10th Revision, Version for 2007 published by the WHO permission from the World Health Organization, ©2007
2.1.3. Pembagian cedera otak traumatik berdasarkan derajat keparahan
2.1.3.1.Berdasarkan derajat Glasgow Coma Scale (GCS)
Pengukuran derajat keparahan cedera otak traumatis ada berbagai macam
yaitu, parameter klinis (misalnya penilaian tingkat kesadaran, reaktifitas pupil),
radiologi (kriteria cedera difus) dan laboratorium (petanda biomarker kerusakan
jaringan otak). Parameter klinis yang sering dipakai adalah penilaian tingkat
kesadaran penderita cedera otak traumatik. Ada beberapa skala penilaian tingkat
System, Head Injury Watch Sheet, Maryland Coma Scale, Leeds Coma Scale,
Japan Trauma Scale dan lain-lain. Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale =
GCS) yang dilakukan setelah resusitasi paling umum dan banyak dipakai di
Internasional bahkan di literatur penelitian neurotrauma. Kelebihan GCS adalah
reliabel dan obyektif ketika dilakukan oleh penilai yang berbeda, sederhana,
berguna sebagai pedoman terapi dan memberi informasi tentang prognosis (Stein
1996; Ross Bullock et al, 2003). Kendala keterbatasan pengukuran GCS antara
lain jika penderita mengalami edema palpebra, terintubasi, patah tulang
ekstremitas, intoksikasi alkohol, penggunaan obat sedasi dan blokade muskuler,
serangan kejang pasca traumatik, sehingga ada variabel yang tidak bisa dinilai
(Feldman, 1996; Ross Bullock et al, 2003).
Tabel 3. Penilaian Skala Koma Glasgow (GCS)
A Respon buka mata Nilai
Spontan 4
Atas perintah / suara 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak ada 1
B Respon motorik Nilai
Menurut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada (flasid) 1
C Respon bicara Nilai
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau / bingung 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
Tabel ini diambil dari : American College of Surgeon 1997, Advance Trauma Life Support Program Student Manual, Komisi Trauma “IKABI” (Ikatan Ahli Bedah Indonesia), 6th ed, Komisi Trauma “IKABI”, Jakarta.
Tingkat pengukuran yang menunjukkan derajat keparahan paling berat
adalah GCS 3 yaitu tidak dapat membuka mata, tidak dapat berbicara dan tidak
yang menunjukkan derajat paling ringan adalah GCS 15 yaitu membuka mata
spontan, berbicara baik berorientasi dan respon motorik sesuai perintah. Penulisan
pada catatan rekam medik E1, M1, V1 dan E4, M6, V5.
2.2. Skala Prognosis Glasgow (Glasgow Outcome Scale = GOS)
Glasgow outcome scale (GOS) paling luas digunakan untuk menilai hasil
akhir secara umum pada cedera otak, GOS dikelompokkan dalam 5 kategori: 1.
mati, 2. persistent vegetative state, 3. ketidakmampuan yang berat, 4.
ketidakmampuan sedang , 5. kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat
diperoleh pada 3,6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas dari GOS sebagai
suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan
lamanya koma,beratnya kondisi pada awal trauma(diukur dengan GCS), dan tipe
lesi intrakranial. GOS katagori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik
amnesia. Kritikan terhadap GOS terutama relatif tidak sensitif terhadap kondisi
pasien yang membaik signifikan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera
otak. (Narayan ,et al ,1995)
Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond,
1975 prognosis paska cedera otak yang didasarkan kapabilitas sosial pasien paska
cedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis.
Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga
mampu menilai prognosis paska koma traumatik maupun non traumatik.
(Bullock,2004; Narayan,Michel, 2002; Jennet,2005)
Telaah pada penderita sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah
cedera otak di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf memutuskan penilaian
ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan paska trauma. (Jennet ,2005)
2.2.1 Outcome Paska Cedera Kepala (Glasgow Outcome Scale)
Glasgow Outcome Scale dikembangkan pertama kali oleh Jennet dan
Bond pada tahun 1975. Mereka mengembangkan GOS dengan tujuan
paska cedera kepala. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya GOS terdiri 5
kategori. Kategori GOS mulai dari Good recovery (GOS 5) hingga Death (GOS 1)
(Lee KS et al, 1997). Banyak peneliti telah menggunakan GOS sebagai
pengukuran utama outcome karena dapat mendeskripsikan secara umum outcome
dari pasien (Pozzati E et al, 1980; Seeler RA et al, 1973; Jamieson KG, 1972;
Munro D, 1982; Lee KS et al, 1997) Beberapa peneliti dalam studi mereka
mengkombinasikan kategori dalam GOS dengan tujuan menciptakan outcome
kategori yang lebih luas. Choi dan kawan (1983), Narayan dan
kawan-kawan (1981), dan Young dan kawan-kawan-kawan-kawan (1981) membuat kategori outcome
baik dan buruk. Outcome baik terdiri dari kategori good recovery atau moderate
disability, outcome buruk pada pasien yang mengalami severe disability, persisten
vegetative state or death. Dengan membuat kriteria outcome ini lebih luas,
peneliti dapat menggambarkan akurasi yang lebih baik pada prediksinya.
Pengukuran outcome dari cedera kepala dilakukan menggunakan skala
pengukuran yang beragam. Glasgow Outcome Scale (GOS), Barthel Index (BI),
Functional Independence Measure (FIM) merupakan beberapa skala pengukuran
2.2.2. Skoring Glasgow Outcome Scale
Score
Skor
Rating Penilaian Definition Definisi
5 Good Recovery
Baik Pemulihan
Resumption of normal life despite minor deficits/
Kembalinya kehidupan normal meskipun defisit
kecil
4 Moderate Disability
Cacat Sedang
Disabled but independen independen Can work in
sheltered setting
Penyandang cacat tetapi dapat bekerja dalam
pengaturan terlindung
3 Severe Disability
Cacat berat
Conscious but disabled/Sadar tapi dinonaktifkan.
Dependent for daily support /Dependent untuk
dukungan setiap hari
2 Persistent vegetative
Persistent vegetatif
Minimal responsiveness/ Minimal tanggap
1 Death/ Kematian Non survival / Non hidup
2.3.Teknik Pembedahan Kraniectomi Dekompresi
Tujuan dari kraniectomi dekompresi adalah untuk menganggu prinsip
dasar doktrin Monro-Kellie dengan memberikan perluasan ruangan bagi otak
secara paksa. Akhirnya dengan membuang ‘bone flap’ dan membiarkan dura
terbuka lebar (dengan atau tanpa duraplasty) akan menjadi paling efektif.
Kraniotomi yang lebar akan menghalangi kerusakan jaringan dan bendungan vena
pembengkakan otak yang hebat. Berbagai teknik operasi telah didiskusikan, tetapi
hanya ada sedikit dasar untuk perbandingan secara objektif. Ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi teknik operasi (surgical approach).
Pembengkakan (swelling) unilateral paling baik ditangani dengan
dekompresi unilateral yang luas. Efek masa yang difus, bifrontal atau bitemporal
paling baik ditangani dengan teknik bilateral frontal (atau pan-frontal). Batas
Hemicraniectomy termasuk (a) 2 cm dari tepi lateral sinus sagital superior, (b)
pada tingkat lantai fossa kranial tengah pada asal lengkungan zygomatic, (c)
frontal ke midpupillary baris, dan (d) 3 cm posterior meatus akustik eksternal.
Craniectomy bifrontal diperpanjang posterior hanya sekitar 2 cm di depan sutura
koronal dan lateral ke lantai ke fossa tengah. Duramater dibuka, dan pembukaan
diperpanjang ke margin tulang secara stellate atau setengah lingkaran. Permukaan
otak ditutupi longgar oleh dura sisa atau substites dural buatan tanpa penutupan
kedap. (Huang, 2013)
Dampak dari dekompresi pada pengelolaan pasca bedah mungkin
berhubungan erat. Beberapa ahli bedah hanya ‘mengambangkan’ (float) dari bone
flap, daripada membuangnya. Penulis cenderung untuk membuang bilateral
fronto-temporo-parietal flap dengan meninggalkan sepotong tulang diatas sinus
sagittalis superior untuk menempatkan monitoring .
Tujuan pembedahan untuk menghilangkan peningkatan tekanan
intrakranial, hipertensi intrakranial tidak sepenuhnya dapat diatasi setelah
tindakan dekompresi. Penulis menemukan bahwa static autoregulation hilang
setelah tindakan operasi ini yang dapat mengarah ke hyperemic intracranial
hypertension yang mungkin memerlukan atau tidak memerlukan tindakan.
dekompresi juga dilakukan sebagai tindakan profilaksis dalam rangka pengaturan
darurat pada saat evakuasi subdural hematoma atau lesi masa epidural bila tulang
tidak dipasang kembali dalam rangka mengantisipasi peningkatan tekanan
intracranial seperti yang diprediksi dari gambaran CT atau tampilan jaringan otak
pada saat operasi. Pada teknik operasi ini ditekankan untuk membuang bagian
tulang temporal sampai ke dasar fossa media (sphenoid wing) untuk mendapatkan
dekompresi maksimal terhadap bagian lateral dari batang otak
Indikasi untuk kraniectomi dekompresi yaitu : (i) tindakan setelah
dilakukannya evakuasi dari lesi masa dimana otak dirasakan membengkak
berlebihan; dan (ii) pengukuran TIK yang tetap tinggi meskipun telah mengikuti
protokol manajemen medis yang maksimal.
Komplikasi kraniectomi Dekompresi :
Komplikasi dari operasi kraniectomi dekompresi
1.Kematian
Dari enam kematian yang terjadi setelah operasi dekompresi hanya satu
kasus yang dapat dianggap sebagai komplikasi sesungguhnya. Pasien ini
menunjukkan penyembuhan yang baik beberapa hari setelah terjadinya cedera dan
ketika ia sedang mencoba untuk berjalan tanpa bantuan dan jatuh tepat pada sisi
kraniectomi yang tidak terlindungi. Pasien ini mengalami cedera serebral yang
lebih berat dan pada akhirnya meninggal. Sebuah kebijakan operasional khusus
untuk post kraniectomi decompresi diimplementasikan untuk pemeriksaan dan
manajemen pasien. Sisanya adalah kematian yang disebabkan karena cedera otak
traumatik meskipun dilakukan intervensi medis tepat waktu.
2. Herniasi melalui celah kraniectomi
Walaupun herniasi melalui cela kraniectomi telah dilaporkan sebagai suatu
komplikasi, fenomena ini terjadi begitu seringnya (contohnya 51% dari sampel
kohort ini) yang hampir selalu menjadi penyebab keadaan patologis pada prosedur
dekompresi. Meskipun kemungkinan terjadinya cedera pada korteks serebri yang
mengalami herniasi telah dijelaskan, pada studi kohort ini, tidak ditemukan bukti
kemungkinan pada kedua centre ini lebih menekankan pada tindakan kraniotomi
ekstensif untuk kasus bedah pada kasus trauma.
3. Efusi subdural/subgaleal
Efusi subdural post traumatic yang terjadi setelah cedera kepala
merupakan suatu fenomena yang dapat dikenali dengan baik, dengan insiden yang
dilaporkan dari 6% sampai 21%. Patogenesis ini berperan pada terjadinya ruptur
lapisan dura-arachnoid dan trabeculae yang disebabkan oleh kejadian traumatik
dan perubahan dinamika dari sirkulasi CSF yang transien. Efusi subdural
merupakan suatu komplikasi dari kraniectomi dekompresi dengan insiden 26%
sampai dengan 60%. Pada studi ini, dari seluruh pasien yang selamat, 63%
mengalami beberapa bentuk efusi.
Efusi yang terjadi bisa merupakan komplikasi primer dari cedera otak
traumatik dan pembuangan dari bone flap dapat menyebabkan terbentuknya
ruangan dimana cairan dapat berkumpul. Pembukaan dari dura menyebabkan
terciptanya hubungan dengan ruangan subgaleal dan seiring dengan berkurangnya
oedem cerebral akut beberapa bentuk efusi biasanya terbentuk. Ketika efusi ini
timbul secara cepat, kebanyakan dari efusi ini mempunyai gejala klinis yang tidak
signifikan. Efusi ini biasanya terserap begitu bone flap dipindahkan. Pada seorang
pasien dimana efusi terjadi secara kontralateral pada sisi kraniectomi, drainase
burr hole berhasil dilakukan pada saat cranioplasty autolog yang dilakukan
karena pergeseran midline dan deteriorisasi neurologis.
4. Sindrom Trephined
Sekelompok gejala – gejala yg tidak diinginkan telah ditemui berhubungan
dengan tidak adanya bone flap. Sindrom trephined pertama kali dijelaskan oleh
Grant dan Necross tahun 1939, mereka menjelaskan gejala – gejala dari sakit
kepala, kejang – kejang, perubahan mood, dan gangguan perilaku. Kalimat
“sindrom dari tenggelamnya scalp flap” menunjukkan defisit – defisit neurologis
yg bisa timbul dikarenakan disfungsi kortikal yang disebabkan distorsi otak
dibawah scalp flap tadi seiring dengan hilangnya oedem.
Pada tingkatan dimana pasien ini terpengaruh oleh gejala ini sangat sukar
untuk ditentukan secara akurat karena banyak pasien dalam fase penyembuhan
kepala, perubahan mood dan gangguan perilaku serta sukar untuk menentukan
derajat – derajat fenomena post kraniotomi ini. Pada dua rumah sakit trauma di
Australia Barat, bone flaps digantikan sesegera mungkin untuk mengembalikan
fungsi kosmetik dan protektifnya. Pada penelitian kohort ini tidak ditemukannya
contoh – contoh dimana fungsi neurologis pasien meningkat signifikan setelah
operasi kranioplasti primer. Bagaimanapun, tiga orang pasien yang mengalami
cranioplasty autolog telah melalporkan keluhan tentang sakit kepala berat postural
dengan diikutinya vertigo. Gejala – gejala mereka terpecahkan dengan melakukan
sebuah cranioplasty titanium.
5. Hidrosefalus
Nilai insidensi dari hidrosefalus post-traumatik yg simptomatik bervariasi
dari 0.7% hingga 29%. Perbedaan – perbedaan dalam kriteria diagnostik dan
klasifikasi mempengaruhi variasi ini. Pada pasien yg telah dilakukan kraniectomi
dekompresi, nilai insidensi dari hidrosefalus post- traumatik berkisar dari 10%
hingga 40%. Penelitian ini dilakukan terhadap lima pasien yg telah tepasang VP
shunt. Empat dari pasien tersebut didapatkan kemajuan klinis. Seorang pasien lagi
yg telah berada di status vegetatif berkepanjangan, tidak ditemukan adanya
perubahan klinis dan diagnosisnya menuju ke ventrikulomegali. Angka insidensi
penelitian kohort ini kemudian dilaporkan sebesar 11%. Seperti yg disebut
sebelumnya, gangguan – gangguan aliran CSF post-traumatik kemungkinan
berpengaruh dalam perkembangan dari efusi subdural dan subgaleal dan dipercaya
bahwa hidrosefalus simptomatis muncul ketika sirkulasi CSF tidak normal/ stabil.
Tingkat keparahan dari cedera dan perkembangan efusi –efusi subgaleal/
subdural terlihat sangat berhubungan erat dgn perkembangan hidrosefalus.
Keseluruhan empat orang pasien menunjukkan efusi – efusi yang ekstensif dan
hanya seorang dari empat orang pasien tadi yang menunjukkan penyembuhan
yang baik. Meskipun hidrosefalus muncul secara primer sebagai hasil dari cedera
kepala berat, ada kemungkinkan juga operasi kraniectomi dekompresi dapat
mengubah dinamika tekanan CSF menjadi lebih jelek dan/ atau meningkatkan
perlukaan sub-arakhnoid, sehingga menempatkan kelompok pasien ini pada resiko
6. Kejang post-traumatik
Angka insidensi dari kejang post-traumatik untuk segala tipe dari cedera
kepala adalah 2% hingga 2.5% dalam populasi masyarakat sipil. Insidensi ini
meningkat hingga 5% pada pasien – pasien bedah saraf di rumah sakit. Ketika
yang dipertimbangkan hanya cedera kepala berat (kontusi otak, hematoma
intrakranial, kehilangan kesadaran atau amnesia post-traumatik >24 jam),
insidensinya 10% hingga 15% pada pasien dewasa dan 30% hingga 35% pada
anak – anak. Pada pasien – pasien yang telah dilakukan kraniectomi dekompresi
(yg diduga termasuk dalam kategori cedera kepala berat), angka insidensi
terjadinya epilepsi bervariasi dari 7% hingga 20%. Dalam penelitian ini, dari 34
orang pasien yang bertahan hidup, lima orang (17%) mengalami kejang – kejang
post-traumatik. Meskipun terlihat komplikasi ini terjadi secara primer karena
cedera kepala berat, manipulasi serebral yang timbul dengan prosedur dekompresi
dan cranioplasty yang dilakukan setelahnya kemungkinan mempunyai beberapa
pengaruh.(Honeybul S,2010)
2.4. Rotterdam Computed Tomography Score
Yang paling terkenal dari klasifikasi CT kepala pada cedera otak traumatik
akut, Marshall CT klasifikasi (Marshall et al., 1991) dan klasifikasi Rotterdam CT
(Maas et al., 2005), didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala. Berdasarkan
Rotterdam CT klasifikasi (Maas, 2005), yang mengidentifikasi lima temuan
pencitraan kunci pada trauma kepala CT dengan signifikan nilai prognostik klinis:
(1) ada atau tidak adanya subdural atau epidural hematoma, (2) ada atau tidak
adanya subarachnoid perdarahan, (3) ada atau tidak adanya suatu
intraparenchymal hematoma, (4) ada atau tidak adanya klinis yang signifikan
pergeseran garis tengah (≥ 5 mm), dan (5) normal. Nilai dari sistem klasifikasi CT dalam memprediksi hasil klinis diakui sebagai pedoman untuk manajemen
setelah cedera otak traumatic berat (Chestnut, 2000)
Huang YH et al,2012 menguji pembedaan prognostik dan prediksi dari
Rotterdam CT Score pada kasus pasien yang menjalani kraniectomi dekompresi
akhir masa follow up dipakai sebagai ukuran hasil akhir. Mereka mendapatkan
hasil, untuk pasien cedera otak traumatik yang menjalani kraniectomi dekompresi,
Rotterdam CT Score memberikan perbedaan prognostik yang besar dan
merupakan prediktor independen terhadap hasil akhir yang tidak menguntungkan.
Kontusio serebri yang luas adalah umum pada pasien yang menjalani
hemicraniectomy decompressive. Awal Skor Rotterdam sangat terkait dengan
ekspansi contusio pada pasien yang mengalami hemicraniectomy. Skor Rotterdam
tinggi dikaitkan dengan kedua lebih tinggi frekuensi dan ukuran yang lebih besar
dari ekspansi contusio. Peningkatan volume contusio besar dari 20 cc berikut
hemicraniectomy sangat terkait dengan kematian pasien
Tabel 4. Klasifikasi Rotterdam CT Score
.
Dikutip dari : Maas AI, Hukkenhoven CW, Marshall LF, Steyerberg EW. Prediction of outcome in traumatic brain injury with computed tomographic characteristics: A comparison between the computed tomographic classification and combinations of computed tomographic predictors. Neurosurgery 2005;57(6):1173-1182
Berbagai penelitian menggambarkan hasil prediksi dengan klasifikasi
Marshall, dan pedoman internasional tentang prognosis pasien meliputi klasifikasi
Computed Tomography sebagai prediktor utama. Bahkan klasifikasi Marshall
awalnya tidak dikembangkan dari perspektif prognosis, sehingga Maas et al
meneliti nilai prediktif dan dibandingkan dengan klasifikasi alternatif
Computed Tomography. Mereka menggabungkan individu Computed
Tomography memiliki model penilaian yang dikenal sebagai Rotterdam CT score,
yang menunjukkan prognostik yang lebih baik atas Marshall CT klasifikasi,
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional dengan
metode pengumpulan data secara cross sectional.
Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasikan subyek penelitian trauma
kepala yang dilakukan tindakan operasi kraniectomi dekompresi, sebelumnya
dinilai dengan menggunakan Rotterdam CT score dan Glasgow Coma Scale.
Selanjutnya dari variabel tersebut akan dihubungkan untuk melihat seberapa besar
pengaruhnya sebagai faktor prognostik.
3.2. Tempat, Waktu dan Tenaga Pelaksana Penelitian
Tempat : Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Bedah Saraf Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Waktu : Penelitian dilaksanakan sejak Oktober 2013 sampai Januari 2014
Tenaga Pelaksana : Penelitian ini dilaksanakan oleh peneliti sendiri
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi:
Populasi target adalah pasien yang mengalami cedera kepala yang
dilakukan tindakan operasi kraniectomi dekompresi dan yang dirawat di
RSUP. H. Adam Malik Medan.
Sampel:
Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi :
• Pasien yang mengalami closed cedera kepala dengan GCS yang punya
indikasi operasi
• Berumur dewasa (18-60tahun)
• Waktu kejadian sampai tiba di rumah sakit kurang dari 12 jam
• Penderita langsung datang dari tempat kejadian dan belum
mendapatkan terapi apapun
• Cedera otak traumatik setelah resusitasi stabil tercapai.
• Cedera otak tumpul
• Hasil pemeriksaan CT scan cedera kepala yang memerlukan
kraniectomi dekompresi
Kriteria eksklusi :
• Cedera otak GCS 3 dengan pupil midriasis bilateral
• Cedera otak tajam (Penetrating Brain Injury)
• Cedera multipel
• Penyakit pre-morbid penyerta
• Hipertermi
• Hiperglikemi paska traumatic
• Kejang dini (early post traumatic epilepsy)
3.5. Perkiraan Besar Sampel
Pengambilan sampel penelitian dari penderita dimulai sejak bulan
Oktober 2013, sampai dengan Januari 2014.
Untuk menentukan besar sampel dapat ditentukan dengan rumus :
n = (Zα)2 d
X P Q
n = Besar sampel
Zα = Tingkat kematangan ( 1.96 CI 95%)
P = proporsi dari penelitian terdahulu (0.35)
Q = 1-p
d = Tingkat ketepatan absolute yang diinginkan (10%)
Jadi didapatkan jumlah sampel untuk penelitian ini adalah 47
3.6. Cara Kerja dan Alur Penelitian
• Setiap subjek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi
mendapatkan penanganan awal sesuai standar ATLS sampai kondisi
stabil, kemudian dilakukan pencatatan identitas penderita meliputi
nama, umur, jenis kelamin, alamat, nomor telefon yang bisa dihubungi.
• Pasien cedera kepala yang dilakukan tindakan kraniectomi dekompresi
• Selanjutnya pasien di lakukan perawatan sesuai standar di ruang rawat
inap
• Dilakukan penilaian Rotterdam CT score pada saat pasien masuk
• Dilakukan penilaian Glasgow Outcome Scale pasien pada saat masuk
pulang
• Dilakukan analisa variabel-variabel penelitian dan diambil kesimpulan
3.7. Alur Penelitian
Secara skematis bagan alur penelitian adalah sebagai berikut:
Izin penelitian komisi etik Fakultas Kedokteran USU
Pasien cedera kepala tumpul yang masuk ke Instalasi Gawat
Darurat
Cedera kepala
Kriteria inklusi dan eksklusi
Pasien dirawat di Ruang Rawat Inap
Penilaian Glascow Outcome Scale pada saat pasien pulang
Hasil
Analisis Statistik
Kesimpulan Penilaian Rotterdan CT Score Saat Pasien
3.8. Kerangka Teori
Cedera Kepala
Peningkatan Tekanan Intra Kranial Cedera Kepala
Ringan
Cedera Kepala Sedang
3.9. Kerangka Konsep
Penilaian prognosis Rotterdam CT Score
Cedera primer otak (dilihat dari CT-Scan)
Penilaian prognosis GOS Saat keluar RS Cedera kepala
Operasi kraniotomi dekompresi Indikasi operasi:
-Craniectomy evakuasi -Craniectomy dekompresi
3.10. Definisi Operasional
• GCS (Glasgow Coma Scale) adalah skala penilaian kesadaran menurut
Teasdale dan Jennet (1974) dengan penilaian sebagai berikut:
A Respon buka mata Nilai
Spontan 4
Atas perintah / suara 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak ada 1
B Respon motorik Nilai
Menurut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada (flasid) 1
C Respon bicara Nilai
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau / bingung 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
• Cedera kepala berat adalah cedera kepala dengan skor SKG ≤ 8
• Trauma kepala tembus (Penetrating brain injury) adalah trauma kepala dengan kerusakan duramater akibat ruda paksa eksternal
• Scoring Glasglow Outcome Scale
Score
Resumption of normal life despite minor
deficits/ Kembalinya kehidupan normal
4 Moderate
Disability
Sedang Cacat
Disabled but independen/ Penyandang
Cacat tetapi independen. Can work in
sheltered setting /Dapat bekerja dalam
pengaturan terlindung
3 Severe Disability
Cacat berat
Conscious but disabled/Sadar tapi
dinonaktifkan. Dependent for daily support
/Dependent untuk dukungan setiap hari
2 Persistent
vegetative
Persistent
vegetatif
Minimal responsiveness/ Minimal tanggap
BLOOD or
3.11. Informed Consent dan Ethical Clearance
Penelitian ini memberikan penjelasan mengenai prosedur yang akan
dilakukan, manfaat penelitian, efek samping yang mungkin akan timbul, dan cara
mengatasi efek yang timbul. Keikutsertaan peserta dalam penelitian ini bersifat
sukarela dan bebas menolak ataupun memutuskan mengundurkan diri setiap saat
dengan alasan apapun tanpa mengubah kualitas pelayanan. Selama peserta ikut
dalam penelitian ini, setiap informasi dan data penelitian ini akan diperlakukan
dengan rahasia sehingga tidak memungkinkan diketahui orang lain. Biaya
pemeriksaan laboratorium tidak dibebankan kepada peserta, tetapi hasil
pemeriksaan dapat digunakan untuk pemantauan dan tata laksana penderita.
Penelitian mulai dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Komite Etik
Penelitian Kesehatan Fakulltas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.12. Organisasi Penelitian
Institusi Pendidikan
Penelitian dilakukan di bawah institusi pendidikan yaitu di Departemen
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pelaksana Penelitian
Peneliti Utama : dr. Indra Saputra
Pembimbing : 1. Prof. Dr,Gofar Sastrodiningrat, SpBS (K)
3.13. Analisis Statistik
Semua variabel dimasukkan ke dalam database yang dibuat secara
komputerisasi. Untuk menguji perbedaan rerata antar kelompok, digunakan studi
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Karateristik Sampel
Selama periode penelitian dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari
2014, dijumpai 47 pasien dengan cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi
setelah didiagnosa dengan perdarahan diotak/cedera kepala dengan bantuan CT
Scan. Pasien dengan cedera pada organ utama lainnya tidak dimasukkan dalam
penelitian ini. Dari 47 pasien didapatkan 39 orang(82.9%) berjenis kelamin
laki-laki dan 8 orang (17.02%) berjenis kelamin perempuan. Data demografi subjek
yang mengikuti penelitian ini ditampilkan dalam tabel 4.1.1 dan 4.1.2.
Tabel 4.1.1 Distribusi pasien berdasarkan usia
Usia Jumlah Proporsi
15 – 30 26 26/47
31 – 49 16 16/47
50 – 60 5 5/47
Total 47
Dari tabel 4.1.1 diketahui bahwa kelompok usia terbanyak pasien dengan
diagnosa perdarahan diotak/cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi
kraniectomi dekompresi adalah pada kelompok usia 15 – 30 tahun, yaitu sebanyak
26 pasien (55.3%) dengan usia tertinggi adalah 60 tahun dan usia terendah adalah
Tabel 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Proporsi
Perempuan
Laki-Laki
8
39
8/47
39/47
Total 47
Dari tabel 4.1.2 diketahui bahwa kelompok jenis kelamin terbanyak pasien dengan
diagnosa perdarahan diotak/cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi
kraniectomi dekompresi adalah laki-laki sebanyak 39 pasien (82.9%), sedangkan
jenis kelamin perempuan sebanyak 8 pasien (17,1%)
Tabel 4.1.3 Distribusi pasien berdasarkan gambaran Head CT Scan
Berdasarkan tabel 4.1.3 Gambaran Head CT Scan,dari 47 pasien yang
dilakukan kraniectomi dekompresi,16 pasien (34%) menunjukkan gambaran
epidural hemorrhagic (EDH) dan 31 pasien (66%) menunjukkan gambaran
subdural hemorrhagic ( SDH )
Tabel 4.1.4 Distribusi lokasi cedera kepala menurut hasil pemeriksaan CT Scan
Dari hasil pemeriksaan CT Scan kepala post trauma, lokasi cedera kepala
paling banyak dijumpai pada hemisfer kiri (55.3%), dengan bagian
temporoparietal merupakan bagian otak yang paling banyak mengalami
cedera(29,78%).
CT Scan Jumlah Proporsi
Frontal 6 6/47
Temporal 8 8/47
Temporoparietal 14 14/47
Frontotemporoparietal 7 7/47
Temporoccipital 1 1/47
Frontotemporal 5 5/47
Frontoparietal 4 4/47
Frontotemporooccipital 2 2/47
Pasien-pasien pada penelitian ini kemudian dibagi ke dalam tiga kelompok
berdasarkan GCS saat awal masuk. Pasien dengan GCS antara 3-8 diklasifikasikan
ke dalam kelompok pertama, 9-12 dalam kelompok kedua dan ≥13 dalam kelompok ketiga.( Tabel 4.1.5)
Tabel 4.1.5 Distribusi pasien berdasarkan GCS saat awal masuk
GCS Jumlah Proporsi
3 – 8 13 13/14
9 – 12 20 20/47
13 – 15 14 14/47
Total 47
Dari tabel 4.1.5 diketahui bahwa GCS awal pasien masuk terbanyak adalah pada
GCS sedang yaitu sebanyak 20 pasien (42.5%), GCS berat 13 pasien (27.6%) dan
GCS ringan 14 pasien (29.7%).
Kemudian dilakukan penilaian saat pasien pulang atau meninggal dengan
menggunakan GOS. (Tabel 4.1.6)
Tabel 4.1.6 Distribusi Pasien berdasarkan skor GOS
GOS Jumlah Proporsi
4-5 35 35/47
2-3 8 8/47
1 4 4/47
Total 47
Dari tabel 4.1.6 diketahui bahwa kelompok GOS terbanyak adalah pada kelompok
GOS 4-5 sebanyak 35 pasien (74.4%), GOS 2-3 sebanyak 8 pasien (17.0%), GOS
1 sebanyak 4 pasien (8.5%)
4.2 Hubungan Hasil Rotterdam CT Score dengan GOS Pada Pasien Cedera
Kepala yang dilakukan Kraniectomi Dekompresi
Hubungan hasil Rotterdam CT score sebagai prognostik morbiditas dan
mortalitas pasien cedera kepala yang dilakukan kraniectomi dekompresi terhadap
Glasglow Outcome Scale dievaluasi. Hasil kemudian dievaluasi dan nilai p < 0,05
(p=0.014) dianggap secara statistik bermakna. Dari 47 pasien perdarahan/cedera
kepala yang dilakukan tindakan operasi dan termasuk dalam penelitian ini, 4
pasien meninggal (8.5%). Pemulihan yang baik dilaporkan dalam 35 pasien
(74.5%). Selanjutnya 8 pasien (17.02%) berkembang defek yang berat dan
berlanjut ke dalam status vegetatif.
Korelasi antara Rotterdam CT Score dengan Glasglow Outcome Scale
Spearman’s Rotterdam CT GOS
Correlation
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Sig . (2-tailed) < 0,05 maka terdapat hubungan yang bermakna antara GOS dengan Rotterdam
Dari perhitungan uji korelasi spearmans, maka didapatkan P value antara
Rotterdam CT score dengan GOS pada pasien cedera kepala yang dilakukan
kraniectomi dekompresi adalah p = 0,014, dimana P<0.05. Jadi, antara Rotterdam
CT dengan GOS pada pasien cedera kepala yang dilakukan kraniectomi
Tabel 4.1.7 Distribusi pasien berdasarkan hasil Rotterdam CT Score dan hasil
GOS
ROTTERDAM
CT SCORE
GOS
1 2 3 4 5
1 --(0%) --(0%) --(0%) --(0%) --(0%)
2 --(0%) --(0%) 2(16.6%) 1(8.3%) 9(75.0%)
3 --(0%) 1(9.0%) 2(18.1%) -(0%) 8(72.7%)
4 1(7.7%) 1(7.7%) 2(15.3%) 1(7.7%) 8(61.5%)
5 2(20.0%) 1(10.0%) --(0%) 4(40.0%) 3(30.0%)
6 1(100%) --(0%) --(0%) --(0%) --(0%)
Berdasarkan Tabel diatas, didapatkan hasil bahwa semakin tinggi hasil
Rotterdam CT Score maka makin tinggi angka morbiditas dan mortalitas. Dari
tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi hasil Rotterdam CT Score maka
hasil persentase kesembuhan GOS semakin rendah, ini dapat ditunjukkan dari
tabel bahwa hasil Rotterdam score 2 hasil GOS 75%, Rotterdam score 3 hasil
GOS 72%, Rotterdam score 4 hasil GOS 61%, Rotterdam score 5 hasil GOS 30%
dan Rotterdam score 6 hasil 0%.
Tabel 4.1.8 Proporsi antara GCS saat awal masuk dengan skor GOS
GCS GOS Total
Awal 1 2-3 4-5
3 – 8 4(30.7%) 1(7.6) 8(61.5%) 13(27.6%)
9 – 12 0(0%) 6(30%) 14(70%) 20(42.5%)
13 – 15 0(0%) 2(14.2%) 12(85.7%) 14(29.7%)
Total 4(8.5%) 9(19.1%) 34(72.3%) 47(100%)
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara nilai GCS pasien masuk dengan nilai GOS. Ini ditunjukkan
dari tabel diatas bahwa semakin tinggi GCS pasien saat masuk, nilai GOS tidak
semakin baik, begitu juga sebaliknya.
BAB V
PEMBAHASAN
Cedera kepala menjadi hampir sebagian penyebab kematian dari
keseluruhan angka kematian yang diakibatkan trauma, yang sebagian besarnya
mengakibatkan kematian pasien akibat trauma setelah masuk ke rumah sakit.
Cedera kepala juga merupakan penyebab utama yang paling sering
mengakibatkan kecacatan permanen setelah kecelakaan dan kecacatan tersebut
dapat terjadi meskipun pada pasien dengan cedera kepala derajat ringan
(Selladurai B. et al, 2007).
Pada penelitian ini didapatkan kasus penderita cedera kepala yang
dilakukan tindakan operasi sebanyak 47 orang, dengan penderita berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 39 orang dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 8
orang. Di seluruh dunia, laki-laki lebih sering dijumpai mengalami cedera kepala
dibanding dengan perempuan pada tiap kelompok usia (Olson DA, 2012). Dari
data demografi ke-47 sampel penelitian, didapatkan kelompok usia terbanyak
yang menderita cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi adalah pada
kelompok usia 15 – 30 tahun. Hal ini sesuai dengan data di Indonesia, bahwa
sebagian besar (70%) korban kecelakaan lalu lintas adalah pengendara sepeda
motor dengan golongan umur 15 – 55 tahun, dan cedera kepala merupakan urutan
pertama dari semua jenis trauma yang dialami korban kecelakaan.
Dari hasil pemeriksaan CT Scan kepala post trauma, lokasi cedera kepala
paling sering pada penelitian ini adalah pada lobus temporoparietal, diikuti oleh
lobus temporal dan frontotemporoparietal. Dari kepustakaan, perdarahan subdural
paling sering terjadi pada lobus frontal dan parietal. Perdarahan subdural dapat
meluas di dalam tengkorak, menciptakan bentuk cekung yang mengikuti lengkung
dari otak, dan hanya berhenti pada refleksi dura seperti tentorium cerebellum dan
falx serebrum (Wagner AL, 2004).
Berdasarkan distribusi GCS saat awal masuk, penderita perdarahan otak
pada penelitian ini didapatkan mempunyai GCS <13. Sekitar sepertiga dari kasus
perdarahan diotak mengalami cedera kepala berat (GCS <9). Didapatkannya
hubungan positif yang lemah dan tidak bermakna antara GCS saat awal
bahwa penderita perdarahan diotak dengan GCS saat awal masuk tinggi
mempunyai prognosis yang lebih baik dibanding dengan GCS saat awal masuk
rendah. GCS saat awal masuk mempunyai korelasi dengan tingkat mortalitas pada
penderita cedera kepala traumatik (Narayan RK dkk, 1981; Kim HK, 2009). Disaat
mempertimbangkan penggunaan GCS saat awal masuk sebagai prediktor
prognosis, masalah yang dihadapai adalah seberapa tepat penilaian GCS saat awal
masuk dan kurang akuratnya untuk memprediksi prognosis apabila GCS saat awal
masuk rendah.
Penelitian yang dilakukan Huang et al,2012 menguji perbedaan prognostik
dan prediksi dari Rotterdam CT Score pada kasus pasien yang menjalani
kraniectomi dekompresi, mereka mendapatkan hasil dimana Rotterdam CT Score
memberikan perbedaan prognostik yang besar dan merupakan prediktor
independen terhadap glasgow outcome scale.
Glasgow outcome scale paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir
secara umum pada cedera otak. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3,6 dan 12
bulan setelah cedera otak. Validitas dari glasgow outcome scale sebagai suatu
penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya
koma,beratnya kondisi pada awal trauma(diukur dengan GCS), dan tipe lesi
intrakranial. Glasgow outcome scale kategori juga berkorelasi dengan lamanya
postraumatik amnesia. Kritikan terhadap glasgow outcome scale terutama relatif
tidak sensitif terhadap kondisi pasien yang membaik signifikan secara klinis
terutama 6 bulan setelah cedera otak. (Narayan ,et al ,1995).
Penelitian yang dilakukan menemukan makin tinggi hasil Rotterdam CT
score makin meningkat mortalitas dan makin menunjukkan hubungan
peningkatan glasgow outcome scale (Huang et al,2012)
Dari penelitian ini didapatkan P value antara Rotterdam CT dengan nilai
GOS adalah -0,014 (p<0.05). Antara Rotterdam CT dengan nilai GOS memiliki
hubungan yang bermakna. Keunggulan dari penelitian ini adalah didapatkan
hubungan yang bermakna antara Rotterdam CT dengan GOS sebagai prognosis
penderita cedera kepala/perdarahan diotak, sehingga Rotterdam CT dipakai
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Dari penelitian Hubungan Hasil Rotterdam CT Sore dengan Glasgow
Outcome Scale pada pasien cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi
dekompresi di RSUP H Adam Malik dilaksanakan mulai dari bulan Oktober 2013
sampai dengan Januari 2014 pada 47 kasus, dijumpai :
Hubungan antara Rotterdam CT Score dengan GOS adalah bermakna (p =
0,014 ; r = 0,05).
Rotterdam CT dapat dapat digunakan sebagai prediktor prognosis
penderita cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi.
6.2. Saran
Karena Rotterdam CT Score dapat dipergunakan sebagai prediktor
prognosis yang baik pada penderita cedera kepala, maka perlu digunakan
sebagai prognosis dan bahan inform concent terhadap pasien dan keluarga
DAFTAR PUSTAKA
Doppenberg E.M, Choi S.C, Bullock R.(1997). Clinical trials in traumatic
brain injury. What can we learn from previous studies? Ann. N.Y.
Acad. Sci.;825
Kaul N. Dash HH (2003). What’s new in monitoring in severe head injury.
Muscat-Oman: Khoula Hospital: 1-7. Available from:URL: :305–322
Marshall L.F et al., (1991). A new classification of head injury based on
computerized tomography. J. Neurosurg. ;75:S14–S2
Marshall F et al., (1992).The diagnosis of head injury requires a classification
based on computed axial tomography. J. Neurotrauma;9(Suppl.
1):S287–S292
Maas A.I et al., (2007). Prognostic value of computerized tomography scan
characteristics in traumatic brain injury: results from the IMPACT
study. J. Neurotrauma.;24
Narayan RK, Wilberger J, Povlishock JT. (1996). Neurotrauma 2nd ed. New
York: McGraw-Hill; 13-31,61-71,673-89 :303–314
Narayan R.K et al., (2002). Clinical trials in head injury. J. Neurotrauma;
19:503–557
Saatman K.E et al.,(2008). Classification of traumatic brain injury for
targeted therapies. J. Neurotrauma; 25
Selladurai B.Reilly P (2007). Initial Management of Head Injury. Sydney:
McGraw-Hill; 3-7, 10-33, 92-132, 214-28 :719–738
Steyerberg E.W et al., (2008). Predicting outcome after traumatic brain
injury: development and international validation of prognostic scores
based on admission characteristics. PLoS Med.;5
Teasdale G, Jennett B (1974). Assessment of coma and impaired
consciousness: a practical scale. Lancet 2: 81-84
:e165. discussion