• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kejadian Reinfeksi Enterobius Vermicularis Setelah Pemberian Albendazole Pada Anak Usia Sekolah Dasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Kejadian Reinfeksi Enterobius Vermicularis Setelah Pemberian Albendazole Pada Anak Usia Sekolah Dasar"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KEJADIAN REINFEKSI ENTEROBIUS VERMICULARIS SETELAH PEMBERIAN ALBENDAZOLE PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

Oleh

SISKA MAYASARI LUBIS

T E S I S

Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar

Dokter Spesialis Anak

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERBANDINGAN KEJADIAN REINFEKSI ENTEROBIUS VERMICULARIS

SETELAH PEMBERIAN ALBENDAZOLE PADA ANAK USIA SEKOLAH

DASAR

Telah disetujui dan disahkan

Prof. Dr. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp.AK Pembimbing I

Prof. dr. Atan Baas Sinuhaji, Sp.AK Pembimbing II

Medan, April 2008 Ketua Program Studi

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan keahlian di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing utama Prof. Dr. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM),

Sp.AK, dan Prof. dr. Atan Baas Sinuhaji, Sp.AK, yang telah memberikan bimbingan dan saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Prof. dr. H. Munar Lubis, Sp.AK, selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Dokter Spesialis Anak FK-USU yang telah banyak memberikan nasehat dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya penulisan tesis ini.

3. Prof. dr. H. Guslihan Dasa Tjipta, Sp.AK, selaku Ketua Departemen Ilmu

(4)

Departemen periode 2006-2009, yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

4. dr. Bugis Mardina Lubis, Sp.A, dr. Muhammad Ali, Sp.A, dan seluruh staf

pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis ini selesai.

5. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. dr. H. Chairuddin P Lubis, DTM&H,

Sp.AK dan Dekan FK-USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan Dokter Spesialis Anak di FK-USU.

6. Direksi beserta karyawan PTPN 3 yang telah memberikan izin lokasi

melakukan penelitian dan membantu menyediakan berbagai fasilitas termasuk obat-obatan yang digunakan sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

7. Manager RSU Aek Nabara beserta staf serta Kepala Sekolah Dasar Negeri,

guru-guru, dan masyarakat Aek Nabara Selatan tempat penelitian dilaksanakan, yang telah membantu menyediakan berbagai fasilitas untuk penelitian ini sehingga dapat terlaksana dengan baik.

8. Arif, Dedy, Budi, Adit, Jenny, Dian, dan Nancy, banyak cerita suka maupun

duka selama empat tahun kebersamaan kita, semoga persahabatan ini dapat terus terjalin.

9. Teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU serta semua pihak yang

(5)

Teristimewa untuk suami tercinta, Rizal Iskandar Batubara, SE, M.Si, terima kasih untuk cinta, kesabaran, pengorbanan, serta dukungan tanpa kenal lelah yang telah diberikan hingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan, mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan rahmat, rezeki, dan karuniaNya buat kita berdua.

Kepada yang tercinta orangtua, papa Alm. H. Chairulsyah Lubis dan mama Siti Zainab, mertua Drs. H. Chalik Batubara dan Zuraida Amir, serta adik-adik tercinta dr. Roni Batara Lubis dan Rudi Pratama Lubis, yang tak pernah henti mendoakan, memberikan motivasi, bantuan moril dan materil selama penulis mengikuti pendidikan ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kasih sayang dan karuniaNya pada kita.

Teristimewa untuk yang tercinta keluarga Prof. dr. H. Chairuddin P Lubis, DTM&H, Sp.AK dan Ir. Dewi Herawati yang telah memberikan kasih sayang, nasehat, bantuan moril dan materil yang tidak terhingga kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini, hanya Allah SWT yang dapat membalas kasih sayang dan budi baik paktuo sekeluarga.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan Pembimbing dan Penguji... i

Kata Pengantar ………... iii

Daftar Isi ………... vi

(7)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian……….……… 15

3.2. Tempat dan Waktu………... 15

3.3. Kerangka Konsep……… 15

3.4. Populasi dan Sampel Penelitian……….. 16

3.5. Perkiraan Besar Sampel……… 16

3.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi……….. 17

3.7. Bahan dan Cara Kerja………. 17

3.8. Analisis Data ………..………. 18

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian…..……… 19

4.2. Pembahasan ………. 22

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……… 25

5.2. Saran ……….. 25

DAFTAR PUSTAKA .……….. 26

LAMPIRAN 1. Persetujuan Komite Etik ………... 30

2. Surat Pernyataan Kesediaan ……….... 31

3. Lembar Data Sampel Penelitian ……… 32

4. Master Tabel Penelitian ………... 33

RINGKASAN……… 40

SUMMARY………... 42

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Karasteristik Dasar Sampel Penelitian………..…….. 20

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Cacing Dewasa E. vermicularis ………. 4

Gambar 2. Telur E. vermicularis……… 5

Gambar 3. Cara Penularan E. vermicularis……….. 8

Gambar 4. Cara Pemeriksaan Anal Swab………. 11

Gambar 5 Kerangka Konsep Penelitian……… 15

(10)

DAFTAR SINGKATAN

AFD : Afdeling

bb : Berat Badan

CDC : Center for Disease Control and Prevention cm : Centimeter

dkk : Dan kawan – kawan °C : Derajat Celcius

FK : Fakultas Kedokteran

Kg : Kilogram

mg : Milligram

µm : Mikrometer

ml : Milliliter

mm : Millimeter

NCHS : National Center for Health Statistics

ng : Nanogram

SD : Standard Deviasi

(11)

DAFTAR LAMBANG

α : Kesalahan tipe I

β : Kesalahan tipe II

n : Jumlah sampel P : Proporsi P1 : Proporsi standar P2 : Proporsi yang diteliti Q : 1 – P

Q1 : 1 – P1

Q2 : 1 – P2

zα : Deviat baku normal untuk α

zβ : Deviat baku normal untuk β

p : Tingkat kemaknaan X2 : Kai kuadrat

> : Lebih besar dari < : Lebih kecil dari

% : Persen

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Enterobiasis adalah infeksi parasit yang disebabkan Enterobius vermicularis dan merupakan infeksi yang sering terjadi dalam satu keluarga atau pada orang yang tinggal dalam satu rumah.1,2 Enterobius vermicularis juga menjadi penyebab tersering kecacingan pada anak-anak di negara berkembang.3

Prevalensi cacing ini tinggi di seluruh dunia, terutama di daerah yang beriklim dingin dan sedang.2,4 Infeksi ini terjadi pada semua usia dan terutama terjadi di tempat anak tinggal, bermain, dan tidur bersama-sama.5

Guignard dkk (2000) menunjukkan tingginya angka prevalensi cacing ini yakni berkisar 43,4% dari seluruh populasi anak dengan prevalensi tertinggi didapati pada kelompok usia 5-14 tahun yakni 53,4%.6 Kim dkk (2002) melaporkan egg positive rate pada anak-anak sekolah dasar di pulau Geoje, Korea 9,8%.7 Chang dkk (1986) melaporkan kejadian enterobiasis pada anak sekolah dasar di 6 SD di kota Tainan, Taiwan dengan angka infeksi secara keseluruhan 30,4%.8

Umumnya semua obat cacing dapat digunakan terhadap cacing ini.1,9 Albendazole sudah terbukti mempunyai aktivitas baik in vitro maupun in vivo terhadap berbagai spesies cacing, terutama terhadap nematoda usus yang menginfeksi manusia. Horton (1998) melaporkan keberhasilan pengobatan dengan menggunakan albendazole 400 mg dosis tunggal, didapati cure rate berkisar 97,8%.

(13)

Meskipun pengobatan yang efektif untuk enterobiasis sudah tersedia selama berabad-abad, namun masih terdapat kesulitan dalam mengontrol enterobiasis oleh karena mudahnya penularan dan reinfeksi.11

Untuk mengontrol tingginya penularan enterobiasis, pengobatan yang diberikan sebaiknya dilakukan bersamaan pada seluruh anggota keluarga disertai dengan perbaikan higiene pribadi.12 Meskipun demikian, pengobatan yang diberikan pada penderita, baik pengobatan penderita sendiri maupun satu sekolah sering memberikan hasil yang tidak memuaskan saat dievaluasi kembali. Hong dkk (1980) mengutip penelitian Cho tahun 1977, penelitian tersebut mendapatkan hasil anal swab positif kembali dengan cepat seperti pada saat belum mendapat terapi dalam 18-27 hari setelah pemberian single chemotherapy. Fenomena ini diinterpretasikan sebagai keadaan reinfeksi.12

Nunez dkk (1996) melaporkan kejadian reinfeksi yang terjadi 2 kali lebih tinggi dari incidence rate (28%) pada 469 anak setelah diterapi dengan mebendazole. Didapati korelasi yang tinggi antara reinfeksi dan gatal di daerah perianal.14 Gilman dkk (1991) melaporkan kejadian reinfeksi yang terjadi pada anak usia <5 tahun. Pada awal pemeriksaan didapati 74% anak terinfeksi, setelah mendapat pengobatan yang efektif kejadian reinfeksi menjadi 52%.15

1.2 Perumusan masalah

(14)

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kejadian reinfeksi enterobiasis setelah pemberian albendazole dosis tunggal pada kelompok anak yang diobati sendiri dibandingkan dengan anak dengan seluruh anggota keluarganya.

1.4 Hipotesis

Tidak ada perbedaan dalam hal terjadinya reinfeksi enterobiasis setelah pemberian albendazole dosis tunggal, baik pada anak sendiri maupun pada anak dengan keluarganya.

1.5 Manfaat penelitian

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ENTEROBIUS VERMICULARIS

Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada di daerah panas. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam. Penyebaran cacing ini juga ditunjang oleh eratnya hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya serta lingkungan yang sesuai.16

Enterobius vermicularis merupakan cacing yang berukuran kecil berbentuk seperti benang berwarna putih.3,4 Identifikasi cacing dewasa berdasarkan pada ukurannya yang kecil.17 Cacing betina dewasa berukuran 8-13 mm x 0,3-0,5 mm dengan ekor yang runcing. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut “alae”. Bulbus esophagus jelas sekali. Cacing jantan berukuran 2-5 mm x 0,1-0,2 mm, ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya, spikulum pada ekor jarang ditemukan.2,3,16,17

(16)

Gambar 1. Cacing dewasa E. vermicularis. (a) Kepala ber-cephalic alae, esophagus berbentuk bulbus bulat besar. (b) Betina, uterus berisi telur-telur, ekor berujung lancip. Jantan, ekor melengkung.

Sumber: Atlas helmintologi kedokteran, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2003

Enterobius vermicularis hidup di sekum, apendiks, dan di daerah yang berbatasan dengan ileum dan kolon asendens, kepala cacing melekat pada mukosa. Makanan cacing adalah isi usus, meskipun demikian cacing juga mengkonsumsi materi seluler. Cacing betina dewasa bergerak tidak teratur di dalam usus dan biasanya bergerak ke arah rektum. Cacing betina dan jantan yang belum dewasa dapat ditemukan di rektum dan bagian bawah kolon. Cacing juga dapat bergerak ke lambung, esofagus, dan juga hidung.17

Gambar 2. Telur E. Vermicularis

(17)

Seekor cacing betina dapat menghasilkan rata-rata 11.000-15.000 butir telur. Telur E. vermicularis (Gambar 2) berbentuk ovoid dengan ukuran 56x27 µm, pada salah satu sisinya datar sehingga berbentuk seperti sampan atau bola tangan (American Football).1,2,4 Dengan temperatur tubuh, telur dapat menjadi infektif dalam 6 jam. Telur dapat kehilangan infektivitasnya setelah 1-2 hari di bawah panas dan keadaan lingkungan yang kering. Kemampuan telur untuk bertahan hidup sangat dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban.17

Kemampuan telur untuk bertahan hidup lebih besar pada keadaan dengan temperatur rendah dan kelembaban tinggi. Telur dapat hancur dalam 24 jam pada

suhu >28°C dan 2 hari pada suhu antara 20-25°C. Cacing dewasa dapat bertahan

pada suhu -20°C dan 46°C selama 6 jam. Telur biasanya dapat hidup selama <2 minggu; lamanya kemampuan maksimal telur untuk bertahan hidup dilaporkan sampai 19 minggu.1 Desinfektan dan fumigan yang biasa digunakan di rumah tangga tidak dapat membunuh telur.17

2.2 PENULARAN

Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif, kemudian menetas di sekum dan berkembang menjadi dewasa.Siklus hidup cacing ini adalah ± 1 bulan.2 Larva yang dilepaskan dari telur di saluran gastrointestinal akan bermigrasi ke jejenum dan ileum, selanjutnya akan tumbuh menjadi cacing jantan dan betina dewasa.19

(18)

Terdapat 4 cara terjadinya infeksi, yaitu :2

• Langsung dari anus ke mulut, melalui tangan yang terkontaminasi oleh telur

cacing.

• Penularan pada orang yang setempat tidur dengan pasien, infeksi terjadi

melalui telur yang ada di alas tempat tidur, sarung bantal, ataupun pada benda yang terkontaminasi.

• Melalui udara, telur cacing yang berada di udara terhirup oleh orang lain

(misalnya pada saat membersihkan tempat tidur).

Retroinfection, pada keadaan yang memungkinkan telur cacing segera

menetas di kulit sekitar anus, dan larva yang keluar masuk kembali ke dalam usus melalui anus.

Setelah terinfeksi, larva cacing akan matang menjadi cacing dewasa dalam waktu 36-53 hari.5

Gambar 3. Cara Penularan Enterobius vermicularis Sumber: Abidin SAN. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-2.

(19)

2.3 MANIFESTASI KLINIS

Infeksi enterobius dapat menyebabkan gejala melalui stimulasi mekanik dan iritasi, reaksi alergi, dan migrasi cacing ke berbagai organ dimana cacing menjadi patogen.5

Enterobiasis relatif tidak berbahaya dan infeksi yang terjadi dapat asimtomatik.11,20-23 Pada infeksi yang simtomatik, gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina. Hal ini menyebabkan pruritus lokal, anak menggaruk kulit di sekitar anus, berakibat terjadinya iritasi kulit, pada kasus yang berat dapat terjadi dermatitis eksem, perdarahan, yang dapat diikuti dengan infeksi sekunder oleh bakteri.1-4,16,23 Bila tidak segera diatasi, akan terjadi gangguan pertumbuhan anak.2

Keadaan ini sering terjadi pada malam hari sehingga penderita terganggu tidurnya, lemah, dan anak menjadi penggugup, susah tidur (tidur tidak pulas), mimpi yang menakutkan (nightmare). Di bawah kelopak mata bagian bawah dijumpai bayangan kulit yang gelap.2,16 Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus, dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis.16

(20)

saluran kemih.1,16,23 Tidak ada bukti menunjukkan bahwa enterobiasis berhubungan dengan eosinofilia ataupun peningkatan kadar serum imuglobulin E (Ig E).3,21

Beberapa gejala karena infeksi cacing ini dikemukakan oleh beberapa peneliti yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, insomnia, cepat marah, enuresis, gigi menggeretak, tetapi kadang-kadang sukar membuktikan hubungan sebab dengan cacing ini.16

2.4 DIAGNOSIS

Entrobius vermicularis tidak seperti nematoda usus lainnya. Telur cacing jarang ditemukan di feses dan hanya dapat mendeteksi telur berkisar 10-15% pada penderita yang terinfeksi pada pemeriksaan feses rutin.1,5 Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus pada malam hari.5,16

Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan melihat anus si anak pada malam hari dan menemukan cacing dewasa yang sedang keluar untuk bertelur.2 Anal swab merupakan metode terbaik dalam mendiagnosis enterobiasis.24,25 Beberapa peneliti menyatakan bahwa waktu terbaik untuk mendapatkan telur cacing adalah dini hari, atau pagi hari setelah penderita bangun sebelum mandi dan defekasi.19

Telur cacing diambil dengan metode anal swab atau cellophane swab yang ditempelkan di sekitar anus pada pagi hari sebelum anak buang air besar.1,16 Oleh karena infeksi cacing ini sering terjadi pada beberapa anggota keluarga, maka sebaiknya seluruh anggota keluarga juga turut diperiksa.20,21

(21)

dan dibubuhi sedikit toluol lalu diperiksa di bawah mikroskop, dijumpai telur cacing E. vermicularis.2,16

Pemeriksaan ulangan dapat meningkatkan deteksi telur, satu kali pemeriksaan dapat mendeteksi 50% infeksi, tiga kali pemeriksaan 90%, dan lima kali pemeriksaan 99%.4,5 Hasil pemeriksaan anal swab yang negatif sebanyak enam kali berturut-turut pada hari yang berbeda dapat menyingkirkan diagnosis.1

Gambar 4. Cara pemeriksaan Anal Swab

Sumber: Gani EH. Helmintologi kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran USU; 1997

2.5 PENGOBATAN

Pengobatan infeksi cacing ini sebaiknya dilaksanakan pada seluruh anggota keluarga, oleh karena mudahnya penularan cacing.1,2,5,16,21,27 Enterobius vermicularis rentan terhadap sejumlah obat cacing, dengan keberhasilan pengobatan >90%.1

(22)

100 mg. Mebendazole diberikan dengan dosis 100 mg per oral dosis tunggal. Pyrantel pamoate diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB. Keseluruhan obat jika diperlukan dapat diulangi 2-4 minggu kemudian.1,4,28

Albendazole

Albendazole merupakan golongan benzimidazole, obat cacing berspektrum luas yang mempunyai aktivitas poten terutama terhadap berbagai nematoda usus dan jaringan tetapi juga terhadap bentuk larva dari cestoda tertentu, diberikan secara oral dan sudah digunakan sejak tahun 1979.28,29 Beberapa bukti menunjukkan bahwa albendazole tidak hanya membunuh cacing dewasa yang hidup di usus tetapi juga membunuh telur (Maisonneuve dkk, 1985) dan juga larva (Cline dkk, 1984).dikutip

dari 9

Pada pemberian oral obat ini diserap dengan cepat oleh usus. Proses absorpsi meningkat dengan adanya makanan berlemak dan garam empedu. Albendazole cepat dimetabolisme di hati dan usus menjadi albendazole sulfoxide, yang mempunyai aktivitas poten sebagai obat cacing. Total sulfoxide mencapai konsentrasi puncak plasma berkisar 300 ng/mL, tetapi hal ini bervariasi antar individu. Albendazole sulfoxide ± 70% berikatan dengan plasma protein dan waktu paruh di plasma berkisar 4-15 jam.28 Metabolitnya terutama dikeluarkan lewat urin dan sedikit saja yang lewat feses.29

(23)

sama untuk golongan plasebo dibandingkan dengan golongan obat.29 Albendazole bersifat teratogenik dan embriotoksik pada percobaan hewan, oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil.28

2.6 PENCEGAHAN

Sanitasi yang baik dapat mengurangi penularan.30 Penyuluhan mengenai kebersihan pribadi sangat penting dalam menunjang keberhasilan pengobatan.2 Kuku hendaknya selalu dipotong pendek dan tangan dicuci bersih sebelum makan. Anak yang terinfeksi sebaiknya tidur memakai celana panjang supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung parasit. Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih setiap hari.1,2,11,16,20,21 Hal ini merupakan cara yang bermanfaat untuk membatasi penularan telur.20

2.7 REINFEKSI

Reinfeksi sering terjadi pada kasus enterobiasis setelah mendapat pengobatan.11 Sering dilaporkan terjadinya infeksi enterobiasis kembali setelah diberikan pengobatan meskipun sudah dengan dua dosis pengobatan pada anak yang terinfeksi. Hal ini dapat terjadi oleh karena telur cacing dapat sukar mati oleh obat cacing yang diberikan dan selanjutnya larva akan tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa. Fenomena ini disebut dengan reinfeksi.19

(24)

itu, dianjurkan untuk memberikan terapi pada seluruh anggota keluarga pada saat yang bersamaan untuk mencegah terjadinya reinfeksi.14,19,27 Kim dkk (2002) melaporkan bahwa skrining masal dan pengobatan efektif untuk mengeradikasi enterobiasis. Sayangnya, eradikasi komplit enterobiasis belum ditemukan sehingga sering terjadi reinfeksi.7

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental, untuk mengetahui kejadian reinfeksi enterobiasis pada penderita setelah pemberian albendazole dosis tunggal.

3.2 Tempat dan waktu

Penelitian dilakukan di sekolah dasar di perkebunan PTPN III Aek Nabara Selatan, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhan Batu, Propinsi Sumatera Utara. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai karyawan perkebunan di PTPN 3.

Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 4 minggu dimulai 19 Maret dan berakhir 17 April 2005. Izin melaksanakan penelitian diperoleh dari komite etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(26)

3.4 Populasi dan sampel penelitian

Populasi dan sampel penelitian diambil dari anak Sekolah Dasar kelas satu sampai dengan kelas enam pada Sekolah Dasar di lokasi penelitian, bila ditemukan cacing maupun telur Enterobius vermicularis pada anal swab maka anak tersebut dimasukkan dalam penelitian. Sampel penelitian ditentukan berdasarkan cara simple random sampling.

3.5 Perkiraan besar sampel

Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus :

n1 = n2 = (Zα √2PQ + Zβ√ P1Q1 + P2Q2)2

(27)

3.6 Kriteria Inklusi dan eksklusi 3.6.1 Kriteria inklusi

1. Murid SD kelas I sampai kelas VI

2. Dari hasil pemeriksaan anal swab didapati telur E. vermicularis (+)

3. Selama periode penelitian tidak melakukan pengobatan medis atau tradisional untuk infeksi cacing

4. Bersedia mengisi surat pernyataan kesediaan (informed consent)

3.6.2 Kriteria eksklusi 1. Menolak minum obat

2. Tidak bersedia dilakukan anal swab ulangan

3.7 Bahan dan cara kerja

Anak dimasukkan ke dalam satu dari dua kelompok perlakuan yaitu anak yang diterapi sendiri dan anak yang diterapi bersama keluarganya. Kedua kelompok diberi terapi albendazole (HelbenTM 400 captab, Mecosin Indonesia) dosis tunggal dengan dosis 400 mg per oral, obat dimakan di depan peneliti dan petugas kesehatan rumah sakit. Dilakukan pemeriksaan anal swab setiap minggu selama 4 minggu setelah pemberian albendazole dosis tunggal untuk melihat reinfeksi.

Anal swab dilakukan dengan menggunakan cellophane di daerah perianal anak. Pemeriksaan anak swab dilakukan pada pukul 23.00 – 02.00 WIB. Cellophane yang berisi hapusan anal ditempelkan ke object glass dan diperiksa di bawah mikroskop. Satu telur saja yang didapati di bawah mikroskop dinyatakan sebagai positif Enterobius vermicularis. Selanjutnya setiap minggu selama 4 minggu, setelah pemberian terapi albendazole dosis tunggal, dilakukan kembali pemeriksaan anal swab untuk mengetahui terjadinya reinfeksi cacing.

(28)

tinggi merk MIC (sensitifitas 0,5 cm). Status nutrisi dihitung dengan teknik antropometri standar berdasarkan CDC NCHS-WHO.

3.8 Analisis Data

(29)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Selama periode penelitian terdapat 120 anak yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan yaitu 60 anak untuk kelompok anak yang diobati sendiri dan 60 anak untuk kelompok anak yang diobati dengan keluarganya. Setelah pemberian terapi hanya 117 anak yang menyelesaikan penelitian sampai akhir selama 4 minggu.

Gambar 6: Profil Penelitian

Sampel masuk ke dalam penelitian (n=120)

Albendazole pada anak sendiri (n=60)

Albendazole pada anak dan keluarga (n=60)

Dianalisis lengkap (n=57)

(menolak di-anal swab ulang n=3)

Dianalisis lengkap (n=60)

(30)

Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian

Karakteristik Anak sendiri Anak dan keluarga p n(%) n(%)

Umur (tahun)

6 – 8 30 (52,6%) 31 (51,7%) 0,618 9 – 11 24 (42,1%) 23 (38,3%)

12 – 14 3 (5,3%) 6 (10%) Jenis kelamin

Laki-laki 22 (38,6%) 37 (61,7%) 0,006 Perempuan 35 (61,4%) 23 (38,3%)

Status Nutrisi

Gizi Buruk 1 (1,8%) 0 (0%) 0,335 Gizi Kurang 18 (31,6%) 15 (25%)

Gizi Sedang 5 (8,8%) 3 (5,0%) Gizi Baik 33 (57,9%) 42 (70,0%)

(31)

Tabel 2. Kejadian reinfeksi pada kedua kelompok

Anak Anak & keluarga p n (%) n (%)

Minggu 1

Reinfeksi (+) 1 (1,8%) 2 (3,3%) 0,589 Reinfeksi (-) 56 (98,2%) 58 (96,7%)

Minggu 2

Reinfeksi (+) 1 (1,8%) 2 (3,3%) 0,589 Reinfeksi (-) 56 (98,2%) 58 (96,7%)

Minggu 3

Reinfeksi (+) 1 (1,8%) 2 (3,3%) 0,589 Reinfeksi (-) 56 (98,2%) 58 (96,7%)

Minggu 4

Reinfeksi (+) 1 (1,8%) 2 (3,3%) 0,589 Reinfeksi (-) 56 (98,2%) 58 (96,7%)

(32)

4.2 Pembahasan

Sepertiga penduduk dunia terinfeksi dengan satu atau lebih spesies cacing dan infeksi ini dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Beberapa studi melaporkan adanya hubungan antara infeksi cacing dengan keadaan malnutrisi.30 Sebagian besar anak dalam penelitian ini memiliki status gizi baik berdasarkan pada hasil pemeriksaan antropometri, hal ini dapat disebabkan oleh karena anak dengan keluarganya bertempat tinggal di daerah kerja rumah sakit di Aek Nabara Selatan, penyuluhan gizi sering dilakukan oleh petugas kesehatan yang berasal dari rumah sakit sehingga pengetahuan masyarakat tentang gizi cukup baik. Kim dkk (2002) melaporkan egg positive rate pada anak-anak sekolah dasar di pulau Geoje, Korea, berdasarkan hasil pemeriksaan anal swab pada 3 sekolah dasar ditemukan egg positive rate 9,8%, anak laki-laki 10,8% dan anak perempuan 8,7%.7 Chang dkk (1986), melaporkan kejadian enterobiasis pada anak-anak di 6 sekolah dasar di kota Tainan, Taiwan, dari hasil anal swab ditemukan angka infeksi berkisar 30,4%.8 Pada studi ini, dilakukan survey awal pada anak usia sekolah dasar di daerah Aek Nabara Selatan, ditemukan 250 anak usia sekolah dasar (38,5%) positif telur E. vermicularis dari 650 anak yang diperiksa dengan pemeriksaan anal swab. Kami menemukan bahwa di daerah ini belum pernah dilakukan pemeriksaan parasit sebelumnya, namun sebagian anak sudah pernah mendapatkan obat cacing.

(33)

dilakukan pemeriksaan anal swab ulangan setiap minggu setelah diberikan terapi pada keseluruhan subjek untuk mengetahui terjadinya reinfeksi enterobiasis.

Nunez dkk (1996) melaporkan kejadian reinfeksi yang terjadi 2 kali lebih tinggi dari incidence rate (28%) pada 469 anak setelah diterapi dengan mebendazole. Didapati korelasi yang tinggi antara reinfeksi dan gatal di daerah perianal.14 Pada studi ini, reinfeksi ditemukan hanya pada 3 anak dari keseluruhan subjek (117 anak), 1 anak pada kelompok anak yang diobati sendiri dan 2 orang anak pada kelompok anak yang diobati dengan keluarganya, setelah mendapat terapi albendazole 400 mg dosis tunggal.

Pemeriksaan ulangan penting dilakukan pada anak dengan telur cacing positif setelah diberikan pengobatan untuk mengetahui terjadinya reinfeksi. Meskipun pada pemeriksaan awal didapati hasil negatif, pemeriksaan anal swab tetap penting dilakukan jika anak terus-menerus mengeluhkan gatal di daerah perianal.9 Pada studi ini, sebelum diberikan pengobatan, dari hasil anamnesis yang dilakukan pada anak dan orang tua, kami dapati anak dengan enterobiasis sering mengeluhkan gatal di daerah perianal dan sering menggaruk daerah tersebut saat mereka tidur, dan beberapa orang tua ada menemukan cacing E. vermicularis di sekitar anus anak pada pagi hari. Setelah dilakukan pengobatan dan pada saat dilakukan pemeriksaan ulangan keluhan ini sudah tidak ditemukan lagi pada sebagian besar anak.

(34)

anal swab ulangan, ternyata didapati tidak ada perbedaan bermakna kejadian reinfeksi untuk kedua kelompok.

Berdasarkan hasil studi ini, dapat dipertimbangkan bahwa memberikan pengobatan pada anak dengan enterobiasis tidak harus mengobati seluruh anggota keluarga, oleh karena tidak ada perbedaan bermakna reinfeksi pada kedua kelompok dalam studi ini. Sebagai tambahan, perbaikan higiene dan sanitasi penting dilakukan untuk mendukung keberhasilan pengobatan.

(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa tidak ada perbedaan bermakna kejadian reinfeksi pada anak yang diobati sendiri maupun pada anak yang diobati sekeluarga setelah mendapat pengobatan albendazole dosis tunggal.

5.2 Saran

• Berdasarkan hasil studi ini, dapat dipertimbangkan bahwa memberikan

pengobatan pada anak dengan enterobiasis tidak harus mengobati seluruh anggota keluarga, oleh karena tidak ada perbedaan bermakna kejadian reinfeksi pada anak yang diobati sendiri maupun pada pengobatan seluruh anggota keluarga.

• Dibutuhkan perhatian yang lebih besar dari tenaga kesehatan di daerah

(36)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bundy DAP, Cooper E. Nematodes limited to the intestinal tract (Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, and Capillaria philippinensis). Dalam: Strickland GT, penyunting. Hunter’s tropical medicine and emerging infectious disease. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders; 2000.h.719-21.

2. Lubis CP, Pasaribu S. Oksiuriasis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi & penyakit tropis. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2002.h.423-6

3. Chaisalee T, Tukaew A, Wiwanitkit V, Suyaphan A, Thiamtip S, Suwansaksri J. Very high prevalence of enterobiasis among the Hilltribal children in rural district “Mae Suk”, Thailand. MedGenMed 2004;6(2):5

4. Mahmoud AAF. Intestinal nematodes. Dalam: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, penyunting. Principles and practice of infectious diseases. Edisi ke-5. New York: Churchill Livingstone; 2000.h.2939-40

5. Patel SS, Kazura JW. Enterobiasis (Enterobius vermicularis). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004.h.1159-60

6. Guignard S, Arienti H, Freyre L, Lujan H, Rubinstein H. Prevalence of enteroparasites in a residence for children in the C rdoba Province, Argentina. Eur J Epid 2000; 16: 287-93

(37)

8. Chang JH, Huang WH, Chen ER, Hu SC. Survey of Enterobius vermicularis infection among children in Tainan City. (Abstrak). Gaoxiong Yi Xue Ke Xue Za Zhi 1990;6(11):587-93

9. Huh S. Pinworm. Diunduh dari: URL: http://www.emedicine.com/med/topic 1837.htm. Juni 2004

10. Horton J. Albendazole : A Review of anthelmintic efficacy and safety in humans. Parasitology 2000;121:S113-32

11. Lohiya GS, Figueroa LT, Crinella FM, Lohiya S. Epidemiology and control of enterobiasis in a developmental center. West J Med 2000;172:305-8

12. Hong ST, Cho SY, Seo BS, Yun CK. Chemotherapeutic control of Enterobius vermicularis infection in orphanages. Kor J Par 1980;18:37-44

13. Yang YS, Kim SW, Jung SH, Huh S, Lee JH. Chemotherapeutic trial to control enterobiasis in school children. Kor J Par 1997;35:265-8

14. Nunez FA, Hernandez M, Finlay CM. A longitudinal study of enterobiasis in three day care centers of Havana City. Rev Inst Med Trop Sao Paulo 1996; 38: 129-32

15. Gilman RH, Marquis GS, Miranda E. Prevalence and symptoms of Enterobius vermicularis infections in a Peruvian shanty town. Trans R Soc Trop Med Hyg 1991; 85: 761-4

16. Abidin SAN. Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis). Dalam: Gandahusada S, Ilanude HD, Pribadi W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1993.h.26-30

(38)

18. Nematoda. Purnomo, Gunawan J, Magdalena LJ, Ayda R, Harijani AM, penyunting. Atlas helmintologi kedokteran. Cetakan ke-5. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2003.h.28-9

19. Hotez PJ. Helminth infections. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia: Mosby; 2004.h.232-3

20. Steckelberg JM, Wilson WR. Nematodes. Dalam: Wilson WR, penyunting. Current diagnosis & treatment in infectious diseases. New York: McGraw-Hill; 2001.h.856-7

21. Oberhelman RA. Enterobiasis (Pinworm). Dalam: Rudolph CD, Rudolph AM, penyunting. Rudolph’s pediatrics. Edisi ke-21. New York: McGraw-Hill; 2003.h.1105-6

22. Wolfram W. Enterobiasis. Diunduh dari: URL:

http://www.emedicine.com/ped/topic684.htm. Desember 2003

23. Georgiev VS. Chemotherapy of enterobiasis (oxyuriasis). Expert opinion on pharmacotherapy 2001;2(2):267-75

24. Celiksoz A, Acioz M, Degerli S, Alim A, Aygan C. Egg positive rate of Enterobius vermicularis and Taenia spp. by cellophane tape method in primary school children in Sivas, Turkey. Kor J Par 2005;43:61-4

25. Enterobius vermicularis. Dalam: Zaman V, Keong LA, penyunting. Handbook of medical parasitology. Edisi ke-3. Singapore: Book Editions (S) PTE.LTD; 2000.h.201-4

(39)

27. Weinberg A, Levin MJ. Infections: Paracytic & mycotic. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment. Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill; 2003.h.1230-1 28. Tracy JW, Webster LT. Drugs used in the chemotherapy of helminthiasis.

Dalam: Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill; 2001.h.1122-3

29. Sukarban S, Santoso SO. Antelmintik. Dalam: Ganiswarna SG, Setiabudy R, Frans DS, Purwantyastuti, Nafrialdi, penyunting. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-4. Jakarta: Gaya Baru; 1995.h.533-4

(40)

Lampiran 1

Setelah mempelajari dan mendapat penjelasan yang sejelas–jelasnya mengenai penelitian dengan judul ‘Perbandingan kejadian reinfeksi Enterobius vermicularis setelah pemberian albendazole pada anak usia sekolah dasar‘ .

Setelah mengetahui dan menyadari sepenuhnya risiko yang mungkin terjadi, dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengizinkan dengan rela saya / anak saya menjadi subjek penelitian tersebut dengan catatan sewaktu-waktu bisa mengundurkan diri apabila merasa tidak mampu untuk mengikuti penelitian ini.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari siapapun juga.

(41)

LEMBAR DATA SAMPEL PENELITIAN

Perbandingan kejadian reinfeksi Enterobius vermicularis setelah pemberian albendazole pada anak usia sekolah dasar

Nomor urut pemeriksaan : ... Sekolah : ... AFD/BGN : ... Tanggal : ... Pewawancara : ...

Nama :

Tempat / Tanggal Lahir : Jenis Kelamin : Anak ke-….dari… :

Berat Badan :

Tinggi Badan :

(42)
(43)

NAMA TGL.

Doni Syahputra 31/10/1993 11 tahun

(44)

Darmisanti bulan 112174

Adelina Zuhair 1/12/1994 10 tahun

3 bulan

Diah Khoirotun 18/10/1994 10 tahun

(45)
(46)
(47)

Musmuliadi 24/4/1995 9 tahun 11 bulan

IV SDN 112174

III 24 124 Normal

1 -

Rulyadi Putra

Pratama

25/10/1992 12 tahun

5 bulan

VI SDN 112171

I 28 138 Mild

Malnutrition 1 -

Mhd.Pajar 26/2/1992 13 tahun

1 bulan

VI SDN 112171

I 36 143 Normal

(48)

RINGKASAN

Enterobius vermicularis menjadi penyebab utama kecacingan pada anak-anak di negara berkembang. Infeksi ini terjadi pada semua usia dengan prevalensi tertinggi pada anak usia 5-14 tahun dan terutama terjadi di tempat anak tinggal, bermain, dan tidur bersama-sama. Enterobiasis jarang menyebabkan gejala yang serius dan pada sebagian besar kasus adalah asimtomatik.

Sangat sukar untuk mengontrol infeksi di rumah tangga maupun di sekolah oleh karena tingginya angka reinfeksi. Meskipun pengobatan yang efektif untuk enterobiasis sudah tersedia selama berabad-abad, namun masih terdapat kesulitan dalam mengontrol enterobiasis oleh karena mudahnya penularan dan reinfeksi. Penting bagi para klinisi untuk melakukan pemeriksaan diagnostik ulangan setelah memberikan terapi untuk mengkonfirmasi kejadian reinfeksi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah reinfeksi enterobiasis berbeda pada kelompok anak yang diobati sendiri dibandingkan dengan anak yang diobati dengan seluruh anggota keluarganya setelah pemberian albendazole 400 mg dosis tunggal.

(49)

Anak secara random dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak yang diterapi sendiri dan anak yang diterapi bersama keluarganya. Kedua kelompok diberi terapi albendazole dosis tunggal dengan dosis 400 mg per oral, setelah pemberian terapi dilakukan pemeriksaan anal swab ulangan setiap minggu selama 4 minggu untuk mengetahui kejadian reinfeksi. Pemeriksaan anal swab dilakukan pada pukul 23.00 – 02.00 WIB. Jika didapati telur E. vermicularis, meskipun hanya satu, dinyatakan positif reinfeksi.

Selama periode penelitian terdapat 120 anak, 60 anak untuk kelompok anak yang diobati sendiri dan 60 anak untuk kelompok anak yang diobati dengan keluarganya dan hanya 117 anak yang menyelesaikan penelitian. Setelah dilakukan anal swab ulangan, didapati tidak ada perbedaan bermakna kejadian reinfeksi pada kedua kelompok.

(50)

SUMMARY

Enterobius vermicularis is an important helminthic infection among children in developing countries. The prevalence of pinworm infection is highest in children from 5-14 yr of age and it is common in areas where children live, play, and sleep close together. Enterobiasis rarely produce serious symptom and in the majority of cases is asymptomatic.

Control of infection in household and schools may be difficult because of high rates of reinfection. Although effective medication have been available for decades, control of enterobiasis has been difficult because of reinfection and its ready transmissibility. It is important that the pediatrician repeat a diagnostic examination in order to confirm reinfection.

The aim of this study was to investigate the reinfection of enterobiasis in infected children compared to infected children with their family members after got albendazole 400 mg.

We conducted an experimental study for 4 weeks on March 19th – April 17th 2005 in PTPN III Aek Nabara Selatan, Sumatera Utara Province. Anal swab was performed in all of primary school children in that region. Inclusion criteria were positive anal swab for E. vermicularis egg, no medical or traditional treatment for worm infection 1 month before the study, and agree for involving in study. Exclusion criteria were the child refused to take the drugs and refused to get follow-up anal swab.

(51)

performed every week for 4 weeks to investigate reinfection. The anal swab was performed at 11.00 pm – 02.00 am. If there was egg of E. vermicularis, even only one, it was interpreted as positive.

Along period of this study, there were 120 children who divided in 2 groups; 60 were treated infected children and 60 were treated infected children with their family members and only 117 children finished this study. After repeated anal swab, there was no significant difference in reinfection for both of groups.

(52)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : Siska Mayasari Lubis Tanggal lahir : 18 Mei 1979

Tempat lahir : Medan

NIP : 132 306 951

Alamat : Jl. Sidodame No. 242 Komp. PEMDA Medan Nama suami : Rizal Iskandar Batubara, SE, M.Si

Nama anak : Shazia Nadhira Batubara (Alm)

Pendidikan

1. Sekolah Dasar di SDN 064009 Medan, tamat tahun 1991

2. Sekolah Menegah Pertama di SMP Negeri 18 Medan, tamat tahun 1994

3. Sekolah Menegah Atas di SMU Negeri 3 Medan, tamat tahun 1997

4. Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 2003

Riwayat Pekerjaan

1. Calon pegawai negeri sipil di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, tahun 2005-2006.

(53)

Pendidikan Spesialis

1. Adaptasi di Dept. IKA FK USU: 01-12-2003 s/d 31-12-2003 2. Pendidikan Tahap I : 02-01-2004 s/d 31-12-2004 3. Pendidikan Tahap II : 02-01-2005 s/d 31-12-2005 4. Penelitian : Februari - Juni 2005

5. Pendidikan Tahap III : 02-01-2006 s/d 31-12-2006 6. Pendidikan Tahap IV : 02-01-2007 s/d 31-12-2007

7. Tesis : Maret - Mei 2008

Gambar

Tabel 2. Kejadian Reinfeksi pada Kedua Kelompok Penelitian……..
Gambar 1.  Cacing Dewasa E. vermicularis ………………………….            4
Gambar 1. Cacing dewasa E. vermicularis. (a) Kepala ber-cephalic alae, esophagus
Gambar 4. Cara pemeriksaan Anal Swab
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum melakukan penelitian skripsi yang membahas tentang hubungan antara minat terhadap ice breaking dengan konsentrasi dalam mengikuti layanan format klasikal siswa kelas VII

 Disertasi doktor yang tidak diterbitkan: Nama penulis titik, tahun dalam kurung titik, judul disertasi diketik miring (Italic) ttitik, lalu ditulis Disertasi doktor

Namun demikian dari kebanyakan hasil penelitian tersebut lebih banyak membahas mengenai masalah perbaikan mekanisme pengadaan sebuah barang/material yang masih

Dari seluruh penelitian yang telah dilakukan bisa disimpulkan bahwa padanan yang telah digunakan oleh penerjemah dalam menerjamahkan novel ini sebagian besar sudah merupakan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015 tanggal 6 Februari 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015 – 2019 bahwa

Sore hari sepulangnya menyabit rumput, ia segera menemui penggembala kerbau untuk mengambil alu yang dititipkannya.. Ternyata, alunya patah

Penulis membuat sebuah aplikasi pengolahan data peserta kerja praktek berbasis web menggunakan bahasa pemrograman PHP dan MySQL dengan tujuan membantu calon

Data primer dalam penelitian pada Jasa persewaan mobil “Rent Car Putra Mandiri” Semarang dapat dicontohkan dengan bukti pendapatan tiap setoran, bukti