• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Psikologis Cerita Rakyat Melayu Serdang yang Berjudul Sri Putih Cermin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Psikologis Cerita Rakyat Melayu Serdang yang Berjudul Sri Putih Cermin"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PSIKOLOGIS CERITA RAKYAT MELAYU

SERDANG YANG BERJUDUL SRI PUTIH CERMIN

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan O

L E H

Nama : Romanna Dutyriva Martha NIM : 030702011

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA MELAYU

(2)

TINJAUAN PSIKOLOGIS CERITA RAKYAT MELAYU

SERDANG YANG BERJUDUL SRI PUTIH CERMIN

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

O

L

E

H

Nama : Romanna Dutyriva Martha NIM : 030702011

Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Syaifudin, M.A, Ph. D. Drs. Baharudin, M.Hum

NIP. 132098531 NIP. 131785647

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat SARJANA SASTRA dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra Daerah Melayu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA DAERAH PROGRAM STUDI BAHASA MELAYU

(3)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Daerah Melayu pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada,

Hari :

Tanggal :

Fakultas Sastra USU

Dekan,

Drs. Syaifudin, M.A, Ph. D. NIP. 132098531

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

(4)

DISETUJUI OLEH;

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Dept. Bahasa dan Sastra Daerah Ketua,

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah berikan kesehatan serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi persyaratan guna menyelesaikan program pendidikan Sarjana (S1) pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Setelah melewati rintangan yang panjang akhirnya penulis menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini adalah sebagian ilmu dalam dunia pendidikan, jadi tanpa adanya rasa syukur kepada Allah SWT kita sebagai manusia bukan apa-apa. Akan tetapi, keinginan untuk terus belajar haruslah ada pada diri kita, dari sekarang sampai kita tua nanti.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan tenaga serta pikiran, juga memberikan pengarahan, motivasi, bimbingan, dan semangat maupun saran yang penulis terima dari semua pihak, sehingga setiap kesulitan yang dihadapi dapat teratasi. Dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

(6)

2. Bapak Drs. Baharuddin, M. Hum. Ketua Jurusan Departemen Bahasa dan Sastra Daerah selaku Pembimbing II, yang telah banyak memberi bimbingan dan arahan dari beliau penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Segenap Dosen/Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan tuntunan, bimbingan, dan kemudahan dalam menyelesaikan perkuliahan penulis.

4. Teristimewa Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang telah memberikan segalanya kepada penulis kasih sayang, perhatian, bimbingan, serta tidak pernah mengeluh dalam membiayai pendidikan penulis sampai penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

5. Keluarga penulis yang juga telah ikut ambil peran dalam memberikan masukan dan bimbingannya selama Studi Perkuliahan dan Pengerjaan Skripsi. 6. Rekan-rekan se-Angkatan tahun 2003 & Angkatan 2004 di Sastra Daerah

Universitas Sumatera Utara atas kerja sama yang terbina selama ini dan memberikan dorongan bagi penulis untuk segera menyelesaikan perkuliahan. menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh karena itu, semua masukan maupun kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan dari para dosen dan pembaca sekalian.

Medan, 2008 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Tinjauan Pustaka ... 5

1.6 Landasan Teori ... 6

BAB II KARYA SASTRA DAN PSIKOLOGIS 2.1 Bahasa sebagai Media Karya Sastra ... 18

2.2 Pengertian Psikologi ... 19

2.3 Pendekatan Psikologi ... 21

2.4 Hubungan Sastra dengan Psikologi ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Dasar ... 27

3.2 Sumber Data Penelitian ... 28

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 28

(8)

BAB IV STRUKTUR CERITA RAKYAT SRI PUTIH CERMIN

4.1 Ringkas Cerita ... 30

4.2 Alur ... 31

4.3 Penokohan ... 32

4.4 Latar ... 34

4.5 Tema dan Amanat ... 34

BAB V NILAI-NILAI PSIKOLOGIS CERITA RAKYAT SRI PUTIH CERMIN 5.1 Marajaya ... 35

5.2 Sri Putih Cermin ... 37

5.3 Balagala ... 40

5.4 Jin Jembalang... 43

5.5 Tuanku Indra Bestari ... 43

5.6 Tuan Indra Bongsu ... 44

5.7 Tiga Raksasa para Penjaga Istana Kayangan ... 45

5.8 Tiga Orang Srikandi ... 45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 46

6.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia adalah yang memiliki banyak etnis, salah satunya adalah etnis Melayu. Etnis Melayu merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Etnis Melayu mempunyai banyak warisan leluhur yang masih tersimpan dan belum digali sampai sekarang sehingga dikhawatirkan warisan budaya tersebut akan menurun kualitas atau mutunya disebabkan oleh perkembangan peradaban yang terjadi pada masyarakat Melayu tersebut.

Karya sastra merupakan hasil pemikiran dan cermin dari sebuah budaya kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan (Nurgiyantoro, 2001:89). Karya sastra merupakan hasil renungan atau pikiran serta daya imajinasi yang terpadu karya sastra itulah yang membedakan dengan buku-buku sastra dan karangan lainnya. Melalui karya sastra segala kemungkinan-kemungkinan diungkapkan oleh pengarang baik kehidupan jasmani maupun rohani, secara universal.

(10)

kelompok, alat pendidikan anak-anak, alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan serta pemeliharaan norma masyarakat, (Fachruddin, 1981:1).

Sesuai dengan keadaan masyarakat Melayu yang sedang membangun saat ini, berbagai bentuk kebudayaan lama termasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan pembangunan dan pembaharuan yang sedang meningkat. Sehingga dikhawatirkan kualitas sastra lisan menurun dan tak akan tumbuh serta berkembang pada diri generasi saat ini. Salah satu genre prosa rakyat dari kesusastraan Melayu adalah cerita rakyat yang lahir dari etnik masyarakat Melayu Serdang.

Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh, khususnya pada sastra etnik Melayu Serdang merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuhdan perkembangan pada masyarakatnya. Pada prinsipnya nilai budaya suatu etnis yang ada pada Melayu Serdang tidak akan pernah hilang dari perilaku pendukungnya, hal ini dapat kita lihat dari kebudayaan etnik yang memiliki ciri khas tertentu. Nilai budaya etnik itu dapat diketahui melalui prosa rakyat sebagai bahagian khasanah kesusastraan Melayu Serdang.

(11)

Memahami pandangan dan penjabaran di atas dapat dijelaskan bahwa melalui karya sastra segala kemungkinan-kemungkinan diungkapkan oleh pengarang, baik kehidupan jasmani maupun rohani. Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek psikologis pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh, khususnya pada sastra etnik Melayu merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Salah satu bentuk dari kesusatraan Melayu, khususnya prosa Melayu adalah cerita rakyat. Cerita rakyat adalah salah satu karya sastra yang menggambarkan tentang kehidupan masyarakat khususnya kehidupan masyarakat Melayu Serdang. Dalam karya sastra bentuk prosa Melayu tersebut terdapat berbagai unsur pendukung seperti tema, alur atau plot, latar, tokoh. Dan unsur ekstrinsik seperti dimana tempat terjadinya karya sastra itu muncul, pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra tersebut, keadaan masyarakat pada waktu tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra, kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra, pandangan pembaca terhadap karya sastra dan kedudukan karya sastra dalam sejarah saatra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periodesastra. Serta nilai-nilai psikologis yang terkandung dalam suatu cerita rakyat.

(12)

Cerita ”Sri Putih Cermin” ini adalah satu cerita dari masyarakat Melayu Serdang yang telah dibukukan. Apabila dilihat dari isinya, ”Sri Putih Cermin” menceritakan keajaiban alam, yakni terjadinya suatu pantai bernama Pantai Putri. Cerita ini mengisahkan hubungan adat istiadat dan asal usul terjadinya Pantai Putri, Sungai Ular, dan Ikan Baung. Yang mana cerita ini banyak mengandung nilai-nilai psikologis yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan moral masyarakat Melayu Serdang khususnya, dan masyarakat pembaca umumnya, selain itu juga sebagai kebanggaan daerah, bangsa dan negara tercinta.

1.2 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dalam penelitian cerita rakyat Sri Putih Cermin ini, meliputi:

a. Bagaimana struktur cerita rakyat Sri Putih Cermin?

b. Nilai-nilai psikologis apa saja yang terkandung dalam cerita rakyat Sri Putih Cermin?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Mengetahui struktur cerita rakyat Sri Putih Cermin.

b. Mengetahui nilai-nilai psikologis yang terkandung dalam cerita rakyat Sri Putih Cermin.

1.4 Manfaat Penelitian

(13)

a. Menambah khasanah kajian sastra masyarakat Melayu Serdang khususnya cerita rakyat Sri Putih Cermin.

b. Sebagai sumber bacaan bagi peneliti sastra agar cerita rakyat terus menerus digali dan dikembangkan.

c. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra Melayu.

d. Memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.

e. Untuk memenuhi salah satu syarat menempuh Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi ini. Untuk mempertanggungjawabkan suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan mudah, karena itulah disertakan data-data yang kuat yang ada hubungannya dengan objek yang diteliti.

(14)

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Teori Struktural

Untuk mengetahui struktur dalam sebuah karya sastra, haruslah dilakukan analisis unsur instrinsik karya sastra tersebut. Dalam unsur instrinsik digunakan empat struktur karya sastra prosa fiksi yang harus dianalisis yaitu: alur (plot), penokohan/perwatakan, latar,dan tema (Tinambunan. et.al., 1996:7-14)

a. Alur

Alur prosa fiksi (cerita fiksi) adalah rentetan peristiwa yang biasanya bersebab akibat atau berkaitan secara kronologis, sedangkan alur prosa nonfiksi adalah rentetan pikiran atau paparan sebagaimana dalam sajak dan drama (Natawidjaja, 1980:80). Alur yang baik dalam prosa fiksi adalah alur yang di dalamnya terdapat keingintahuan pembaca akan peristiwa berikutnya (Akhadiyah M.K.dkk., (1992:184).

(15)

Rentetan peristiwa itu dapat disusun dari awal, tengah, dan akhir (progresif) cerita dan dapat juga dari akhir cerita, lalu kembali ke pangkalnya (regresif atau flashback). Di samping itu, kedua alur itu dapat dipakai bersama-sama atau digabungkan, yaitu mula-mula diceritakan peristiwa masa lalu, kemudian, beralih ke perstiwa sesudah masa kini.

Urutan peristiwa dalam alur dapat berupa urutan klimaks atau antiklimaks dan dapat pula berupa urutan kronologis atau regresif (alur mundur atau alur sorot balik). Urutan klimaks peristiwa dimulai dari peristiwa biasa dan diteruskan oleh peristiwa berkembang, serta diakhiri dengan peristiwa memuncak. Dalam urutan antiklimaks, peristiwa dimulai dari peristiwa yang paling tegang atau paling mengerikan (memuncak), kemudian diakhiri dengan peristiwa biasa. Dalam urutan kronologis, peristiwa maju secara wajar menurut waktu. Dalam alur sorot balik, peristiwa dimulai dari peristiwa akhir (tahap akhir), lalu kembali ke permulaan peristiwa (tahap konflik) atau peristiwa dimulai dari peristiwa yang berkonflik (tahap konflik), lalu kembali pada permulaan cerita (tahap perkenalan), dan diteruskan dengan peristiwa akhir dari cerita (tahap akhir), (Surana, 1980:83-86).

b. Penokohan

(16)

(penyabar, suka mengampuni dan sebagainya), yang dapat dicontohkan oleh pembaca dan ada juga yang kurang baik (pemarah, pendendam, dan sebagainya) yang harus dihindari ditanggapi secara positif oleh pembaca.

Ada enam cara yang dipakai dalam mendeskripsikan penokohan dalam karya sastra, yaitu:

(1) penulisan bentuk lahir,

(2) pelukiskan jalan pikiran dan perasaan, (3) pelukisan reaksi tokoh lain,

(4) pelukisan keadaan sekeliling, (5) pengungkapan ucapan, (6) dan pelukisan kebiasaan.

Pelukisan bentuk lahir atau tingkah laku dalam mengukapan watak seseorang atau tokoh cerita dapat dilakukan secara analitik dan dramatik. Pelukisan reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh bawahan. Misalnya, pada waktu tokoh mendapat suatu musibah, banyak tetangga dan kenalan datang menjenguk untuk memberikan hiburan dan pertolongan. Dalam hal ini, tampak bahwa tokoh utama berwatak baik: rela menolong, suka mengampuni, dan sebagainya.

(17)

Pengungkapan ucapan dapat juga menyatakan watak pelaku. Ucapan positif menunjukan watak negatif. Kebiasaan positif menyatakan watak yang baik dan kebiasaan negatif menyatakan watak yang tidak baik/kurang baik.

Penggambaran watak pada fiksi kontemporer tidak lagi dapat dilakukan menurut waktu, tetapi menurut tanggapan sesaat, kesadaran zaman lampau, kini dan besok bercampur-baur (perwatakan absur yang tidak logis).

Perwatakan tokoh cerita fiksi merupakan perbauran, minat, keinginan,

emosi, dan moral yang membentuk sosok individual tokoh itu (Semi, 1988:39).

Karena itu, watak tokoh cerita dapat dinyatakan menurut sifat tersebut, antara lain: bersifat positif, berkeinginan positif, emosi positif, dan moral positif (baik hati) atau sebaliknya. Perkembangan tokoh dan perwatakan harus wajar. Perwatakan tokoh cerita itu akan menimbulkan kesan tertentu (benci atau senang/simpati) kepada pembaca, kritikus, atau peminat.

b. Latar

Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran kepada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 201:218). Latar

memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan demikian merasa diperlukan untuk mengoperasikan daya imajinasinya di samping

(18)

merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya, hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakan dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro ( 2001:227) unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, sosial. Ketiga unsur itu walau masing- masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Latar tempat, latar ini menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin lokasi tertentu tanpa jelas. Tempat- tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata misalnya pantai hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

(19)

menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang

diketahuinya berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan kesejalanan dan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi.

3) Latar sosial, latar ini menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dia dapat berupa kebiasaan hidup, adapt-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara bepikir dan bersikap, dan lain-lain.

. Tema dan Amanat

Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari satu karya sastra. Adanya tema membuat karya lebih penting daripada sekedar bacaan hiburan (Sudjiman, 1992:50), sedangkan amanat adalah pemecahan tema; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (Gaffar, 1990:4).

(20)

a) tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

b) pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

c) keadaan masyarakat pada saat tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

d) Kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, e) adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

f) keadaan penulis karya sastra, seperti pertumbuhan pribadinya, cara penemuannya atas ilham yang tertuang dalam karya sastra,

g) pandangan pembaca terhadap karya sastra, dan

h) kedudukan karya sastra dalam sejarah sastra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periode sastra.

1.6.2 karya sastra dan psikologis

Menurut suatu definisi tidak mudah sebab definisi selalu berusaha memberikan pengertian yang tepat dan sedekat mungkin terhadap sesuatu dalam kalimat yang relatif singkat dan padat. Demikian juga dengan definisi sastra, tetapi bukan berarti sastra itu tidak dapat didefinisikan.

(21)

indonesia sastra mendapat konfiks ke-an hingga kesusastraan yang berarti kumpulan tulisan atau karangan yang indah.

Kata sastra dapat ditemukan dalam berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa sastra itu bukan hanya sekedar istilah untuk menyebutkan fenomena yang sederhana. Sastra merupakan istilah yang memiliki arti luas, meliputi sejumlah kegiatan yang berbeda-beda.

Kita dapat membicarakan sastra secara umum misalnya berdasarkan aktivitas manusia tanpa mempertimbangakan budaya, suku, maupun bangsa. Karya sastra dipandang sebagai suatu yang dihasilkan dan dinikmati. Orang-orang tertentu pada masyarakat dapat menghasilkan karya sastra, sedangkan orang lain dalam jumlah yang besar dapat menikmati karya sastra itu dengan cara mendengarkan atau membacanya. Karena karya sastra dapat disajikan dalam berbagai cara seperti, langsung diucapkan atau lisan, lewat radio, majalah, buku, dan sebagainya.

Bahasa, baik lisan maupun tulisan, merupakan bahan pokok karya sastra. Dengan perkataan lain, karya sastra mengandung kumpulan dari bentuk bahasa yang digunakan dalam berbagai pola yang objeknya adalah manusia dan kehidupanya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

(22)

antropologi, sosiologi, dan lain-lain. Dengan pendidikan yang mapan dan kejelian menganalisis serta memasukan pengetahuan lainnya ke dalam suatu hasil karya sastra, karya sastra tersebut terasa bermanfaat di samping mempunyai unsur kenikmatan.

Hubungan sastra dengan psikologi, sosiologi, dan antropologi sangat dekat. Hal ini karena sastra dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut mempunyai objek yang sama yaitu manusia yang mencakup lingkungan dan kehidupannya. Darma (1983 : 52) mengemukakan bahwa, ”sastra sebenarnya pengungkapan masalah hidup, kejiwaaan, dan filsafat melalui sastra”.

Dari kutipan di atas dapat dilihat bagaimana eratnya hubungan jiwa pengarang dalam melukiskan karya sastra sebagai dorongan dari jiwanya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra diperkaya atau berisikan nilai-nilai kehidupan serta pengalaman manusia.

Bahasa sebagai Media Karya Sastra

Setiap karya seni mempunyai fungsi sosial, tetapi setiap karya seni itu tidak sama nilai fungsinya sosialnya. Di antara beberapa hasil karya seni, karya sastralah yang mempunyai fungsi ssosial yang lebih banyak dan lebih leluasa mengungkapan atau mengekpresikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi penyempurnaan kehidupan manusia.

(23)

kemampuan pengarang menggunakan bahasa, tetapi bukan berarti isi dan pesan tidak diperhatikan.

Bahasa yang baik dan mampu membangun karya sastra adalah bahasa yang matang, dan mempunyai makna. Kelenturan bahasa dieksploitasi oleh pengarang sedemikian rupa dan seluas mungkin, seperti memilih kalimat, diksi, dan ungkapan yang khusus, pemakaian bahasa kias seperti tamsil, metafora, dan lain-lain untuk mencapai suatu kesan sensitif dan kehalusan rasa.

Dasar pengunaan bahasa dalam karya sastra bukan sekedar kata itu mengusik dan meninggalkan kesan kepada pembaca. Nilai konotasi yang lebih luas dari pengertian denotasi sangat penting. Setiap karya yang dipilih boleh diasosiasikan kepada berbagai dearah. Oleh sebab itulah, dalam karya sastra tidak ada pengertian yang sama bila ditinjau dari sudut kesan sensivitas, dari sudut bunyi, lambang. Setiap pilihan kata mempunyai pengertian tersendiri, misalnya kata cantik, molek, bagus, baik, anggun, indah, dari sudut denotasi mungkin artinya sama, tetapi kesan kata-kata ini berbeda.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, cerita hikayat Sri Puith Cermin berasal dari daerah Sumatera Utara yang kemudian di translit oleh Zam Nuldyn ke dalam bahasa Indonesia. Secara umum keseluruhan hikayat ini dapat dipahami isinya karena bahasa yang dipergunakan adalah bahasa indonesia.

Pengertian Psikologi

(24)

Jiwa sebagai objek dari psikologi tidak dapat dilihat, diraba, atau disentuh. Jiwa adalah sesuatu yang abstraks, hanya dapat diobservasi melalui hasil yang ditimbulkannya. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku dan aktivitas lainnya sebab tingkah laku mempunyai arti yang lebih nyata daripada jiwa karena itu lebih mudah untuk dipelajari. Melalui tingkah laku, pribadi seseorang dapat terungkap dengan mudah, cara makan, berjalan, berbicara, menangis, dan sebagainya merupakan suatu perbuatan terbuka sedangkan perbuatan tertutup dapat dilihat dari tingkah lakunya seperti berpikir, takut, dan lain-lain.

Tingkah laku dalam psikologi bukan hanya tetapi meliputi eksistensi yaitu perpanjangan tingkah laku nyata. Tanda-tanda akan tampak pada tubuh sebagai akibat terlalu sering tingkah laku atau kebiasaan tersebut dilakukan. Seperti halnya seorang periang dan sering tertawa akan meninggalkan tanda-tanda di wajahnya dan kita dapat langsung menilai orang tersebut. Efek-efek permanen memungkinkan seorang psikologi mampu mempelajari jiwa manusia melalui tingkah lakunya. Suatu prinsip yang bagaimanapun adalah mutlak dalam psikologi yaitu bahwa tingkah laku merupakan ekspresi mempunyai peranan yang penting dalam psikologi sekalipun patut diketahui bahwa tidak semua yang terdapat dalam tingkah laku.

Aminuddin (1990:49) menyatakan bahwa: ”...ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan perbuatan individu semua berbentuk dorongan dari (impulsum : dorongan, tolakan, rangsangan, rasa). Dalam diri manusia yang menyebabkan timbulnya macam-macam aktifitas fisik dan psikis dijelaskan oleh psikologis.

(25)

yang penting dalam memecahkan masalah manusia. Para ahli psikologis menaruh perhatian terhadap segala masalah yang beraneka ragam. Namun yang jelas disiplin ilmu psikologis mempelajari tindak tanduk atau tingkah laku manusia dimana pun berada. Tingkah laku tersebut merupakan hasil perpadanan yang dipadatkan oleh tiap-tiap individu dengan lingkungan dan keinginannya. Artinya tingkah itu lahir berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dialami dalam kehidupan, kemudian dicetuskan dalam sikap-sikap yang sesuai dengan norma atau adat istiadat di mana individu tersebut dilahirkan.

Psikologi pada pokoknya menyibukan diri dalam masalah aktifitas phisikis seperti membenci, mencintai, menanggapi, berbicara dan penampilan diri, emosi-emosi yang terdapat dalam bentuk tangis dan senyum. Misalnya jika seorang mencintai orang lain tentu saja rasa itu diungkapkan dalam bentuk kasih sayang dan penuh perhatian terhadap orang dicintai. Tetapi seseorang membenci orang lain hal tersebut juga dapat kelihatan dari tingkah lakunya apakah rasa bencinya itu disebabkan karena rasa iri, kurang senang, dan sebagai berikut.

Jadi psikologis menyelidiki kepribadian individu dalam bentuk tingkah laku dan penyesuaian dirinya dengan lingkungan, dan sekaligus hubungan timbal balik dengan sesamanya,dengan perincian:

(26)

2. Tingkah laku dan kegiatan mempunyai arti konkrit yang dapat diamati dengan panca indra, sehingga tingkah laku mudah diikenal dan mudah dipelajari.

3. Lingkungan yaitu tempat manusia hidup, berinteraksi, menyesuaikan diri, dan mengembangkan dirinya. Individu menerima pengaruh dari lingkungan.

Pendapat Aminuddin diatas menunjukan bahwa mempelajari jiwa manusia harus dilihat dari tingkah laku dan perbuatan individu yang berdasarkan tingkah lakunya sehari-hari.

1.6.3 Pendekatan Psikologi

Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja mambahas peristiwa perilaku yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia dalam hal ini tokoh-tokoh cerita hikayat Sri Putih Cermin lebih dalam diperlukan psikologi.

Penjelasan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk manusia yang unik merupakan sesuatu yang merangsang dan sangat menarik. Banyak penulis dan peneliti sastra yang mendalami masalah psikologi untuk dapat memahami karya sastra dengan bantuan psikologi.

(27)

psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud, Freudlah yang secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat tekanan dan timbunan masalah di alam bawah sadar yang kemudian disublimasikan ke dalam bentuk penciptaan karya seni.

Teori-teori mengenai psikologi sastra terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu Reokhan dalam Aminuddin (1990:89) mengatakan bahwa, ”...psikologi sastra sebagai salah satu disiplin ilmu ditopang oleh tiga pendekatan studi, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis penulis dalam proses kreatif yang mengkaji terproyeksi lewat karya ciptaannya, (2) pendekatan tesktual, yang mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra dan (3) pendekatan reseptif pragmatis yang mengkaji aspek psikologi pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya sastra yang dinikmatinya serta proses rekreatif yang ditempuh dalam menghayati teks sastra tersebut”.

Dalam pembahasan ini penulis mengunakan pendekatan tekstual yaitu mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Sebagai salah satu pendekatan dalam studi psikologi sastra pendekatan tekstual pada mulanya hanya bertumpu pada pendekatan psikologi dalam atau psikologi analisis yang dikembangkan Freud. Sekarang pendekatan tekstual tidak hanya bertumpu pada pendekatan psikologi analisis, tetapi juga pendekatan-pendekatan psikologi yang lain seperti pendekatan psikologi kognitif, behavioral dan pendekatan eksistensial.

(28)

bahwa manusia membentuk dirinya sendiri dalam pola jalan hidup yang dipilihnya sendiri.

Jadi, dari uraian di atas dapat diketahui begitu luasnya materi psikologis sastra. Dalam pembahasan penelitian ini mengunakan pendekatan tekstual dengan teori behavioral. Pendekatan behavioral. Mengabaikan faktor pembawaan lahir seperti, kecerdasan, bakat, insting dan lain-lain. Dengan kata lain manusia dianggap sebagai produk lingkungan. Manusia menjadi jahat, beriman, penurut, berpandangan luas atau kolot adalah hasil dari bentukan lingkungannya.

Berdasarkan hal ini, perilaku manusia disebut sebagai respon yang akan muncul kalau ada stimulus tertentu yang berasal dari lingkunganya. Perilaku manusia selalu dipandang dalam bentuk hubungan stimulus dan respon atau stimulus respon. Mengenal pendekatan behavioral lebih lanjut Roekhan dalam Aminuddin (1990:96) mengatakan bahwa :

”...Untuk menerapkan pendekatan behavioral dalam studi sastra, haruslah dilakukuan dengan mengikuti tahapan berikut :

(2) Mencari dan menentukan tokoh cerita yang akan dikaji

(3) Menelusuri perkembangan karakter sang tokoh yang dikaji. Penelusuran ini dapat dilakukuan terhadap

(a) lakukan sang tokoh (b) dialog sang tokoh (c) pemikiran sang tokoh.

(4) Mengidentifikasi perilaku sang tokoh dan mendeskripsikan serta mengklasifikasikanya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui macam-macam perilaku yang telah ditujukan oleh sang tokoh sebagai landasan untuk mengidentifikasi lingkungan yang telah membentuk perilakunya.

(29)

1.6.4 Hubungan sastra dengan psikologis

Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah atau sub cooncius. Setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam, bentuk tertentu secara sadar dalam bentuk penciptaan karya sastra terjadi dalam dua tahap, tahap pertama dalam bentuk meramu gagasan dalam situasi imajinatif dan abstrak kemudian dipindahkan ke dalam tahap kedua yaitu penulisan karya yang sifatnya mengongkritkan apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak.

Freud dengan teori psikoanalisisnya mengambarkan bahwa pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra diserang oleh penyakit jiwa yang dinamakan neurosis. Bukan hanya itu saja, bahkan kadang-kadang sampai pada tahap psikosis seperti sakit saraf dan mental yang membutanya berada dalam kondisi sebagai tertekan (bukan berarti gila), berkeluh kesah akibat ide dan gagasan yang mengelora serta menghendaki agar disublimasikan atau disalurkan dalam bentuk penciptaan yaitu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah penciptaan yang diikuti oleh berbagai macam masalah kejiwaan maka untuk mengunakan pendekatan psikologis ini harus melalui dukungan psikologi. Pengetahuan psikologi yang minim tentu saja akan mempersulit pemahaman ataupun pemakaian pendekatan psikologis.

(30)

psikologis. Hal ini tentu dapat kita terima karena antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional.

Secara tidak langsung artinya hubungan itu ada karena baik sastra maupun psikologi kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama yaitu kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapan itu setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk sebuah karya sastra. Perbedaannya adalah pengarang mengemukakannya dalam bentuk formulasi penelitian psikologi. Dengan demikian tidaklah mengada-ada kalau antara sastra dan psikologi dapat dilakukan kajian lintas disiplin ilmu.

Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaan gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari manusia imajiner sedangkan dalam psikologis manusia dalam dunia nyata. Sekalipun demikian keduanya dapat saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia karena mungkin saja apa yang terungkap oleh pengarang tidak mampu diamati oleh psikologi atau bahkan sebaliknya.

(31)

lahir tanpa ada penulis sebagai penuturnya. Itulah sebabnya psikologis sastra, khususnya dalam kajian psikologis pengarang.

Dalam penelitian ini tidak menyinggung sedikit pun tentang apa dan siapa pengarang cerita hikayat Sri Putih Cermin karena setiap hasil karya sastra lama memang bersifat anonim maksudnya pengarang tidak mencantumkan namanya. Lagi pula analisis ini bukanlah mengenai analisis pengarang melainkan analisis psikologi terhadap tokoh. Jadi, yang dianalisis tentu saja para tokoh yang di dalam karya sastra tersebut.

Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena hakekat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan diri mereka masing-masing. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam dirinya karena manusia sering berusaha menutupinya. Kejujuran, kecintaan, kemunafikan dan lain-lain berada dalam batin masing-masing yang terkadang terlihat gejalanya dari luar dan kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu, kajian tentang dan tokoh harus ditekannya pada aspek kejiwaan dan tentu saja tidak lepas dari teori psikologi.

(32)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metode artinya cara tepat untuk melakukan sesuatu; Logos artinya ilmu dan pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang bersistem dan terorganisasi (Jabrohim, 2001:8). Oleh karena itu, upaya penelitian dalam rangka pengembangan ilmu memerlukan metode yang bersifat ilmiah. Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan masalah dengan dukungan dan sebagai landasan dalam mengambil kesimpulan (Jabrohim, 2001:8).

(33)

2.1 Metode Dasar

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskripsi. Dengan mendasarkan diri pada konsep yang ada pada teori, yang diperoleh dari studi pustaka (library research) yang dilakukan.

Identifikasi terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat dalam karya sastra tersebut.

2.2 Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kepustakaan (library research). Yang tujuannya untuk menambah bahan-bahan atau buku-buku yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Adapun sumber data penelitian yang penulis analisis yaitu: Judul yang dianalisis : Cerita Sri Putih Cermin

Judul buku : CERITA PURBA “SRI PUTIH CERMIN” Bentuk karya sastra : Cerita Prosa Rakyat

Penulis buku : Zam Nuldyn

Penerbit : Firma Hasmar Medan – Jakarta – Ujung Pandang Tahun terbit : 1980

(34)

2.3 Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan, yaitu mencari data dari buku-buku sebagai sumber acuan. Data tersebut selanjutnya diteliti dan dibandingkan dengan yang lain dan setelah sesuai dengan kehendak penulis, maka data tersebut dijadikan panduan pembahasan.

2.4 Metode Analisis Data

Metode ini digunakan untuk menyelesaikan sebuah data yang terkumpul kemudian dianalisis. Penulis menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang menentukan, menganalisis, dan mengklasifikasikan melalui studi pustaka, seperti langkah-langkah berikut :

1. Menetapkan pendekatan analisis baik pendekatan struktur dari segi instrinsik dan psikologi dari segi ekstrinsik

(35)

BAB III

STRUKTUR CERITA RAKYAT SRI PUTIH CERMIN

Analisis struktur yang dilakukan terhadap cerita rakyat Sri Putih Cermin ini merupakan langkah awal untuk memahami unsur-unsur ekstrinsik, khususnya nilai psikologi dari hikayat tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Teeuw (1989) bahwa kajian struktural dimaksudkan untuk membongkar, mengkaji, dan menganalisis unsur pembentuk dalam instrinsik dari sebuah karya sastra, yang berguna untuk pengkajian selanjutnya dari karya sastra tersebut.

Sebelum penulis mulai menganalisis struktur cerita rakyat Sri Putih Cermin, ada baiknya penulis menyajikan ringkasan cerita Sri Putih Cermin guna mempermudah pembaca sekalian untuk memahami analisis yang penulis lakukan nantinya.

3.1. Ringkasan Cerita

(36)

sang putri itu bernama Marajaya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa, putra seorang panglima kerajaan.

Suatu ketika Marajaya pergi dari kerajaan itu karena kawan-kawannya sengaja menyesatkan pemuda yang menjadi saingannya. Sang putri sangat sedih memikirkan kepergian Marajaya, dan suatu malam ia bermimpi buruk tentang kekasihnya itu. Gadis itu memutuskan untuk pergi mencari kekasihnya dengan membawa tombak Serampang Sakti milik kerajaan. Setelah mengetahui hal ini, raja sangat sedih dan gusar. Raja tidak mengumumkan berita kepergian putrinya itu karena merupakan aib bagi keluarga.

Keadaan itu dimanfaatkan oleh Raja Indra Bongsu, adik Raja Indra Bestari untuk merebut kerajaan. Serangan pertama gagal karena Marajaya tiba-tiba datang menyelamatkan Raja Indra Bestari. Indra Bongsu bersama si Lidah Tanah mengancam akan menyerang kembali. Marajaya terpaksa pergi mencari putri Cermin karena hanya tombak Serampang Sakti yang dapat menaklukan si Lidah Tanah.

Di perjalanan Marajaya bertemu dengan seorang putri jelmaan raja kahyangan bernama Merak Kayangan. Wanita itu disangka kekasihnya kemala putri atau Sri Putih Cermin. Mereka menikah dan Marajaya segera pulang ke kahyangan setelah menyadari bahwa wanita itu ternyata bukan kekasihnya.

Sri Putih Cermin kembali ke kerajaan dan berhasil menumpas si Lidah Tanah dengan Sri Putih Cermin. Akhirnya, Marajaya melangsungkan pernikahannya dengan Sri Putri Cermin. Peristiwa ini rupanya menjadikan Merak Kahyangan gusar. Ia segera menciptakan angin topan dan banjir di kerajaan itu. Marajaya yang belum lama dinobatkan menjadi raja telah hilang, dan istrinya bersedih menantikan kehadiran suaminya. Kerajaan tenggelam dan setiap malam purnama di pantai itu terdengar ratap tangis seorang wanita sehingga pantai itu diberi nama Pantai Cermin.

3.2 Alur

(37)

putri kayangan dengan mengawininya. Tindakan itulah yang menyebabkan Kerajaan Indra Bestari hancur. Pada akhir cerita, kerajaan hancur membawa air hujan dan guntur yang mengamuk.berdasarkan cerita di atas dapat dilihat bahwa secara garis besar; perkenalan Sri Putih Cermin, persoalan diatasi dengan kembalinya Sri Putih Cermin membawa tombak Serampang Sakti, dan akhirnya berhasil. Dengan kata lain, tahapnya ialah tahap perkenalan, tahap pertikaian, dan tahap akhir. ”Alur cerita ini termasuk alur maju yang peristiwanya disusun secara kronologis karena urutan peristiwa menurut waktu yang berkembang

maju”.

3.3Penokohan

Tokoh utama dalam cerita Sri Putih Cermin ialah Sri Putih Cermin. Watak buruknya: ”pergi dari kerajaan dengan membawa tombak Serampang Sakti milik kerajaan hanya untuk mencari seorang pria, kekasihnya, yang pergi tidak tentu tujuan”. Watak baiknya: ”mau memaafkan orang yang bersalah kepadanya”.

Hal ini dapat kita baca pada buku Sri Puith Cermin terdapat di halaman 35. Sebaiknya Kemala Puteri tampil ketengah ruangan, Menyembahlah

dayang-dayang itu serentak menyusun tangan: ”Ampunilah kami wahai Tuanku Putri nan sakti. Mulai hari ini kami akui tuanku Putri sebagai Dewi Sri Putih nan sakti. Dewi pembebas kami dari kekejaman raja jin.

”Watak tokoh ini dilukiskan secara dramatik (pengungkapan ucapan)”.

(38)

Cerita ini dapat kita baca pada halaman 77 dengan judul buku Sri Putih Cermin. ”Wahai adinda Ratu Kayangan, perkenankanlah kanda sejenak kembali ke kampung halaman. Dan kanda berjanji akan segera kembali...”. Dengan rasa berat sekali Ratu Merak Kayangan berperi: ”Baiklah oh Arjuna Dewa Asmara Murni. Biarlah adinda perkenankan kanda pergi, tetapi kanda harus teguh berjanji. Selama kanda berada di atas bumi, kanda tak boleh kawin atau beristri. Dan harus segera kembali!”

Marajaya mengangguk mengiyakan janji, kemudian katanya : ”bagaimanakah caranya kanda turun kebumi !”

”itu tak usah kanda susahkan,” sahut Merak Kayangan lalu tegak mengangkat tangan seraya berseru : ”oh Dewa-Dewi di Indra Suci ! Datangkanlah semberani kepada kami, untuk diutus keatas bumi!”

Watak baik Marajaya yaitu: ”mengasihi sesama manusia, penolong”. Dengan langkah enggan dibawanya Marajaya ke ruangan bawah menara itu. Tiba-tiba Marajaya terkejut melihat satu baris mayat manusia terjepit diantara dua batang kayu yang menjadi satu.

”HAI Balagala !” bentak Marajaya marah ”Aku peringatkan, mulai hari ini jangan menganiaya manusia lagi ! Ayo kebumikan mereka itu baik-baik sekarang juga !”

(39)

”TIDAK BISA !” hardik Marajaya semakin marah,” atau aku terpaksa menohokan tombak berbisa ini ke daging betismu itu !”

Dan tokoh berikutnya yang juga berperan dalam cerita Sri Putih Cermin ini adalah Ratu Merak Kayangan. Watak buruknya: ”pemarah, dengan segera ia menciptakan angin topan dan banjir di kerajaan itu”.

Watak baiknya: ”mempersilakan dan memberi kepercayaan kepada Marajaya untuk kembali sejenak ke kampung halamannya”.

Ketiga tokoh di atas tersebut berwatak bulat, artinya kedua perwatakan, baik dan buruk terdapat pada ketiga tokoh itu.

Adapun tokoh-tokoh yang lain seperti: Balagala, Jin Jembalang, Tuanku Indra Bongsu, Datuk Sitawar. Berwatak negatif, yaitu mempunyai sifat serakah dan membunuh manusia. Berbeda dengan Tuanku Indra Bestari yang mempunyai sikap bijaksana dan penyayang.

3.4Latar

Latar cerita terdapat di dalam istana Kerajaan Kota Pari, hutan belantara, dan kayangan. Tokoh utama Sri Putri Cermin berada di dalam istana dan di hutan belantara ketika mencari kekasihnya. Selain itu, tokoh Marajaya berada di istana, hutan belantara dan di kayangan ketika menikah dengan Merak Kayangan. Dalam akhir cerita latar pantai ditemukan pula, yakni ketika Sri Putih Cermin selalu menanti kedatangan Marajaya di malam bulan purnama sehingga pantai itu disebut pantai putri.

(40)

Tema cerita ini adalah kisah percintaan seorang putri raja yang membawa malapetaka. Kisah terjadinya Pantai Putri itu semula diawali oleh kepergian seorang pemuda bernama Marajaya. Kekasihnya, Sri Putih Cermin, anak seorang raja di kota pari, bersedih mengenang kepergian Marajaya. Suatu malam Sri Putih Cermin bermimpi kekasihnya berada dalam bahaya. Diam-diam ia pergi dari istana dengan membawa tombak Serampang Sakti milik kerajaan. Berawal dari kepergian gadis itulah, kerajaan menjadi tenggelam dan menjelma menjadi Pantai Putri.

Amanat yang disampaikan dalam cerita ini adalah:

1) seorang gadis hendaknya patuh kepada orang tua dan jangan melanggar larangan yang telah ditetapkan secara adat;

2) seorang pemuda hendaknya waspada dalam memilih jodoh, jangan menikah di sembarang tempat yang belum diketahui persis orang tuanya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya sendiri.

BAB IV

NILAI-NILAI PSIKOLOGI CERITA RAKYAT

SRI PUTIH CERMIN

(41)

a. Tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang

memungkiri karya sastra itu muncul.

Tempat tejadinya cerita ini adalah di daerah Deli Serdang yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Tuanku Indra Bestari. Raja itu mempunyai seorang putri bernama Sri Putih Cermin. Putri ini memiliki kekasih bernama Marajaya.

b. Pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan

hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

Pandangan atau prinsip hidup yang dianut oleh masyarakat Deli Serdang berdasarkan hikmah dari cerita ini adalah sudah sepatutnya kita sebagai anak mendengarkan nasihat orang tua dan berbakti terhadap mereka.. Jika kita tidak mendengarkan nasehat mereka maka kita atau si anak akan celaka.

Hal ini dapat kita simpulkan dari cerita di bawah ini:

”Pada suatu malam yang tak disangka-sangka datanglah hujan yang sangat lebat, angin kencang, badai dan gempa yang mengoyangkan bumi. Rupanya merak Kayangan marah kepada Marajaya sebab Marajaya lupa akan janjinya kepada Merak Kayangan. Marajaya hilang dibawa air tidak tentu rimbanya. Istana penuh dengan air, rumah-rumah penduduk hanyut dan tinggallah Sri Putih Cermin tidak berdaya. Setiap malam bulan sabit muncullah putri menangis meratap sambil menghimbau Marajaya di tepi pantai. Pantai itu pun diberi nama Pantai Cermin.”

(42)

Marajaya kekasihnya. Mereka jatuh cinta dan kawin di kayangan. Setelah Marajaya sadar bahwa wanita itu bukan kekasihnya, ia mohon diri untuk turun ke bumi dan berjanji akan kembali ke kayangan. Tetapi, sampai di bumi Marajaya menikah dengan kekasihnya, Sri Putih Cermin, dan melupakan Merak Kayangan yang selalu menunggu kehadiranya.

Jika menyimak peristiwa yang dialami ketiga tokoh itu, pengarang ingin menyampaikan agar seorang wanita, terlebih-lebih putri raja, janganlah pergi dari rumahnya. Wanita atau gadis remaja hendaknya taat pada adat dan masa dipingit. Hal itu tidak akan terjadi jika Sri Putih Cermin tidak pergi meninggalkan istana. Marajaya tidak akan menikah dengan Merak Kayangan jika ia tidak pergi mencari Sri Putih Cermin sehingga penghianatan tidak terjadi antara Marajaya dan Merak Kayangan.

c. Keadaan masyarakat pada tertentu sehingga perlu direkam dalam karya

sastra.

Keadaan masyarakat di kota pari pada masa itu hanya raja-raja yang sanggup mendirikan rumah (istana), sedang rakyatnya sebagian besar masih mendiami lubang-lubang (gua) panjang tepi rimba. Namun demikian giat bekerja, apalagi kalau untuk kepentingan bersama. Pemuda-pemudanya, selain dari rajin bekerja, rajin pula belajar dan berlatih pencak silat. Hampir semua mereka ini pandai berburu rusa, kijang, babi dan sebagai. Memang berburu itu termasuk mata pencarian yang utama bagi rakyat kerajaan Berhala.

(43)

Perubahan pada masyarakat kota pari tidak terlalu diceritakan pada hikayat Sri Putih Cermin ini, tetapi telah terjadi perselisihan diantara dua saudara kandung yaitu Tuanku Indra Bestari dan Tuanku Indra Bongsu. Tuanku Indra Bongsu ingin merebut tahta raja dari Tuanku Indra Bestari hal ini dikarenakan menghilangnya Tombak Serampang Sakti Tangkal Negara.

”Beralih kisah kepada Raja Berhala, sesudah ternyata olehnya bahwa Kemala Putri menghilang bersama Tombak Serampang Sakti, maka yakinlah baginda keselamatan anaknya terjamin. Tetapi hal tersebut terpaksa dirahasiakan, karena menurut adat di masa itu kepergian secara demikian sangat memalukan bagi keluarga kerajaan, apalagi karena Tombak Serampang Sakti Tangkal Negara turut pula hilang...

Dan ini pulalah pangkal perselisihan antara baginda dengan adiknya Tuanku Indra Bongsu. Tiap hari adiknya datang menuntut supaya pemerintahan segera diserahkan kepadanya, sebelum rakyat mengetahui peristiwa-peristiwa yang memalukan itu, tetapi tetap dengan lemah lembut ditolak oleh baginda: ”wahai sabarlah tuanku adik, jika kelak abang tiada dipercayai rakyat, tentu adik jua yang menjadi Raja”. Tetapi Tuanku Indra Bongsu tiada sabar lagi, lalu katanya: ”aku sudah bosan mendengar perkataan sabar itu ! jika Tuanku abang tak hendak segera menyerahkan Kerajaan ini kepadaku..., tentu akan abang rasai akibatnya kelak!”.

e. Adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

(44)

atau kaum ibu membawa beban berat maka ia akan membawakan sampai ke tempat yang dituju, pantang melihat anak-anak menangis karena lapar, diusahakannya memberi makanan”.

f. Pandangan pembaca terhadap karya sastra, dan

Menurut pandangan pembaca terhadap hikayat Sri Putih Cermin ini adalah bahwa isi dari hikayat tersebut memberitahukan kepada kita bahwa kita tidak boleh melanggar perintah dari orang tua supaya kita pun terhindar dari malapetaka.

h. kedudukan karya sastra dalam sejarah sastra atau dalam satu jangka

waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periodesastra.

Kedudukan cerita ini dalam masyarakat Deli Serdang cukup penting. Hal ini terlihat dari seringnya cerita ini dikisahkan oleh orang-orang tua terhadap anak-anaknya. Atau diwariskan ke generasi-generasi muda berikutnya. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak Melayu Serdang berbakti dan tidak durhaka pada orang tuanya. Khususnya remaja putri agar tidak melarikan diri dari rumah. Cerita ini jadi bahan ajaran untuk anak-anak. Dan sebagian masyarakat memang mengakui bahwa beginilah asal muasal terjadinya pantai Cermin.

4.1 Marajaya

 Penolong

(45)

Sifat penolongnya pun melebihi dari orang banyak. Pantang didengar atau dilihatnya orang mendapat kecelakaan, pastilah dia yang pertama sekali membari bantuan apa saja yang diperlukan. “Pantang melihat orang tua atau kaum ibu membawa beban berat maka ia akan membawakan sampai ke tempat yang dituju, pantang melihat anak-anak menangis karena lapar, diusahakannya memberi makanan.” Kalau karena takut pulang, diantarkan sampai ke rumah. Dan kalau karena dimarahi orang tua, dibujuk dengan lemah lembut serta menasihatkan, bahwa tak pernah ada seorang ibu atau ayah yang memarahi anaknya sendiri karena benci dan sebagainya.

(halaman 7 paragraf 1).

 Tidak Tamak

Marajaya adalah orang yang tidak serakah ia selalu membagikan hasil tangkapannya kepada warga lain yang lebih membutuhkannya.

“sedangkan dari yang seekor itupun, hanya sebagian kecil yang diambilnya, yaitu sekedar mencukupi kebutuhan famili tempat ia menumpang. Selebihnya dibagi-bagikan kepada semua jiran yang ada. Bahkan sering pula hasil buruan tak sempat sampai ke rumah, karena habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dianggapnya lebih membutuhkan di sepanjang jalan”.

Halaman 8 alinea 2)

 Suka kedamaian

(46)

Tiba-tiba gelombang itu pecah hingga bertaburan para penyerbu ke segenap penjuru dan kelihatanlah Marajaya berpusing-pusing ligat seperti gasing ditempat sambil meninju lawannya sekeliling yang terpekik bagai digigit kalajengking. Melihat ketangkasan Marajaya berkelahi, kecutlah semua pengikut Indra Bongsu, lalu lari menyelamatkan diri…..

Indra Bongsu semakin marah : “hai Marajaya ! rupanya kau ini semakin sakti. Tunggulah sampai kembali membawa imbangan yang lebih sakti yaitu Lidah Tanah di atas bumi”.

“Saya bukan mencari musuh, Tuanku Bongsu, sahut Marajaya “tetapi saya pun tiada memilih imbang”

(halaman 44 paragraf 3).

 Tidak Tepat Janji

Marajaya sungguh tidak dapat menepati janjinya kepada Ratu Merak Kayangan. Ia berjanji untuk menukah lagi jika turun kebumi tetapi ia malah menikah lagi dengan Sri Putih Cermin karena hal itulah Ratu Merak Kayangan marah dan menciptakan hujan badai.

”wahai adinda Ratu kayangan, perkenankanlah kanda sejenak kembali ke kampung halaman. Dan kanda berjanji akan kembali lagi....

Dengan berat hati Ratu Merak Kayangan berperi: ”Baiklah oh Arjuna Dewa Asmara Murni. Dinda perkenankan kanda pergi, tapi kanda harus berjanji. Selama kanda di atas bumi, kanda tak boleh kawin atau beristeri dan harus segera kembali!”.

(47)

4.2 Sri Putih Cermin

 Kemauan Keras

Hanya karena ingin mencari kekasihnya Marajaya, Sri Putih Cermin berani keluar dari istana pada waktu tengah malam. Karena ia berkemauan keras dan merasa yakin karena ia juga membawa Tombak Pusaka ikut bersamanya.

“Di tengah malam itu juga, sambil membawa tombak pusaka turunlah Kemala Putri dari istana menuju rimba. “Aku percaya Marajaya masih sempat diselamatkan”, katanya dalam hati. Jika tak ada orang yang sanggup mencarinya, biarlah aku sendiri yang pergi menjumpainya. Aku percaya usahaku ini tiada siasia”.

(halaman 18 paragraf ke 6)

 Kegigihan

Sri Putih Cermin adalah gadis yang gigih tanpa memperdulikan waktu ia tetap berjalan melewati hutan rimba hanya untuk mencari kekasihnya Marajaya.

“Kemala Putri berjalan terus sampai pagi mengharui rimba untuk mencari kekasihnya Marajaya”. Sudah lepas pula sehari, belum juga bersua yang dicari. Demikianlah dari hari kehari semakin jauh Kemala putrid ke tengah rimba belantara yang sunyi. Meskipun ia sudah merasa sangat lelah, tapi sedikitpun tak sudi berputus asa. Ia masih terus mencari sambil berdendang menghibur diri. (Halaman 19 paragraf 2)

(48)

Sri Putih Cermin adalah seorang putri yang pemaaf jaga baik hati, karena sifatnya itulah ia dijuluki oleh para dayang-dayang sebagai Dewi Sri Putih nan sakti seperti yang dinyatakan dibawah ini.

“Menyembahlah dayang-dayang itu serentak menyusun tangan-tangan “Ampunilah kami wahai Tuanku Putri nan sakti. Mulai hari ini kami akui Tuanku Putri sebagai DEWI SRI PUTIH nan suci. Dewi pembebas kami dari ke kejaman si raja jin. Selama ini kami menjadi gundik pemuas hawa nafsunya. Semoga di bawah naungan Tuanku Putri kami dibenarkan mencari suami masing-masing.

Mendengar permohonan dayang-dayang Baiduri, tersenyumlah Tuanku Kemala Putri, “ permohonan kalian mencari suami, sangat menyenangkan hati kami. Kiranya kini tujuan kita serupa. Kami kota Pari, seorang taruna bernama Marajaya idaman kesuma di taman sari. Marilah kita saling bantu membantu mencari nan hilang setiap waktu”.

(halaman 35 paragraf 5)

 Pemberani

Sifat pemberani yang dimiliki oleh Sri Putih cermin sangat mengejutkan, karena hanya karena rasa cintanya pada Marajaya ia berani menantang Balagala yang memiliki tubuh yang raksasa. Padahal tidak satu pun manusia yang berani melawannya kecuali Marajaya.

Sekonyong-konyong ia tertahan melihat Sri Putih muncul di depan !

(49)

Sri putih mendesak terus :” Ayo Balasegala kenapa kau diam saja ! lekas kembalikan Marajaya !”

“Hai manusia kecil ! berani menukar namaku menjadi Balasegala, ya ??? Awas !!! Semuanya akan ku kunyah-kunyah kumakan ! Tahulah, orang lapar mendapat santapan !”

(Halaman 59 paragraf 5)

 Kesetiaan

Watak baik yang dimiliki oleh Sri Putih Cermin, kekasih Marajaya. Dalam cerita terdahulu sebagai gadis, ia telah berbuat salah. Di sisi lain, sebagai seorang kekasih, ia setia kepada kekasihnya dan ragu-ragu menolong kekasihnya yang berada dalam kesulitan. Pepatah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul adalah nilai psikologi kesetiaan yang akan ditunjukkan oleh si empunya cerita kepada pembaca.

“Aku mau beristirahat hanya bersamamu. Kalau kau pergi aku terpaksa ikut”. Kalau kau pergi, aku terpaksa ikut. Tak usah cerita mengenai Balagala. Sungguh pun tubuhnya besar tapi hatinya pengecut. Aku sudah pernah berhadapan dengan dia. Dia lari dan istananya kurebut. Istana kacanya itu kunamai Istana Cermin Permata. Apalagi yang kau kuatirkan ?”

“oh …..jadi, Tuanku Putri sudah pernah ke istana Kaca ? dan pernahkah menaiki tangga asap ?” Marajaya teringat akan perkataan balagala dulu.

(halaman 84 paragraf 2) 4.3 Balagala

(50)

Balagala adalah orang yang sombong karena dia merasa dia paling kuat dan ditakuti oleh manusia.

Tiba-tiba pintu terbuka serentak dengan gemuruh suara raksasa : “HAI ! MANUSIA KIRANYA ! sudah lama aku mencari manusia, kini dia datang sendiri! “

“ Benar !” Sahut Marajaya, “ aku ingin berkenalan dengan raksasa. Siapakah namamu ?”

Mendengar jawaban Marajaya itu terbelalak mata sang raksasa. Kepalanya yang botak berkilat itu berkerunyut. Ia menggigil menahan marah hingga tengkorak-tengkorak manusia yang terikat pada kalungnya berkeretak-keretak kedengaran. Akhirnya dari mulut raksasa yang besar itu tercetus suara parau.

“Hai ! apa katamu? Ingin berkenalan ? HA HA HA ! tidakkah kau takut? Akulah Balagala yang paling ditakuti manusia.”

“O Balagala !” balas Marajaya. “ kenapa aku takut ? Kau juga seperti aku hanya mempunyai satu nyawa !”

(Halaman 12 paragraf 5)

 Bekerja sama

Sebagai manusia raksasa yang kuat dan ditakuti namun Balagala tetap mempunyai sifat mau bekerja sama. Hal ini dapat dilihat ketika Marajaya ingin mencari Sri Putih Cermin ke kayangan, Balagala mau bekerja sama membantu Marajaya.

(51)

putri bersembunyi di ruangan asap hitam. Sewaktu saya datangi, dia lari menaiki tangga asap sampai sekarang ia belum turun “.

Marajaya segera percaya : “Ayo kita susul dia ke kayangan !”

“semakin cepat semakin baik”, sambung Balagala pula, “naiklah Tuan hamba ke pundak saya supaya cepat sampai ke kayangan”.

(halaman 48 paragraf 5)

 Pengkhianat

Balagala berkhianat karena di awal dia bersedia membantu Marajaya, namun setelah Marajaya sampai ke kayangan dia kembali terlebih dahulu, meninggalkan Marajaya dan menghapus atau memusnahkan tangga asap menuju kayangan. Sehingga Marajaya tidak bisa kembali lagi ke Bumi.

Menggigil tubuh Balagala mendengarkannya. Ia terus berlari, terus menerus tiada henti, tiada memandang kanan dan kiri, tiada perduli apa yang terjadi, demi menyelamatkan diri ! ia berlari sekuat hati dan tenaga menuruni titian tangga menuju terowangan ujung Tanah kayangan….. sekeluarnya dari terowongan ujung Tanah Kayangan, luputlah ia dari kejaran Hulunan Tiga dan Hulubelang Gelang, hingga ia pun aman menuju jalan pulang.

Sambil berjalan ia berpikir : “putus harapan menjumpai Sri Dewi Bidadari. Biarlah aku kembali bebas ke bumi! Marajaya takkan mungkin kembali karena tangga asap akan kumusnahkan, pasti!”.

(52)

selamat pergi ! kirim salamku kepada Sri Dewi Bidadari dan Marajaya yang takkan kembali, karena putus hubungan antara kayangan dengan bumi !”

Sesudah itu ia pun tertawa terbahak-bahak : “Ha haha ! Hi hihi bebas ! bebas ! aku bebas !!! Ha haha Marajaya tiada berdaya dan aku merdeka seperti sediakala ! Boleh memakan segala apa yang aku suka ! Manusia ! daging manusia !! ha ha ha !!”

(Halaman 58 paragraf 6) 4.4 Jin Jembalang

 Tamak

Jin Jembalang betul-betul jin yang sangat tamak ia sudah memiliki beberapa permaisuri tetapi masih ingin menjadikan Sri Putih Cermin menjadi permaisurinya juga.

Heranlah Jin Jembalang melihat hasil buruan dayang-dayangku sekalian ! Buka pintu cahaya semuanya ! aku ingin melihat rupa buruan ini dengan lebih jelas lagi….

Sesudah semua pintu cahaya terbuka, tiba-tiba terdengarlah ketawa hebat Jin Jembalang karena gembira yang amat dahsyat pula. “HA HA HA !!! kalau begini, aku mau semuanya ! Inilah baru bakal permaisuriku idaman hatiku ! HA HA HA.” Rasanya aku tak sabar lagi !” lalu diperintahnya kepada dayang-dayang “bawa dia ke bilik peraduanku !koyakkan pakaiannya semuanya ! ganti dengan pakaian Istana Baiduri ! malam ini juga ia kujadikan permaisuriku ! Ha haha!!!” (halaman 33 paragraf 5)

(53)

 Suka akan kerukunan dan kedamaian

Hidup rukun, aman dan sentosa itu merupakan dambaan setiap manusia, hal itulah juga yang diinginkan oleh Raja Indra Bestari. Tuanku Indra Bestari ingin bisa rukun dengan adiknya Tuanku Indra Bongsu.

Dan inilah pulalah pangkal perselisihan antara baginda dengan adiknya datang Tuanku Indra Bongsu. Tiap hari adiknya datang menuntut supaya pemerintahan segera diserahkan kepadanya, sebelum rakyat mengetahui peristiwa yang memalukan ini, tetapi tetap dengan lemah lembut ditolak oleh baginda : “wahai sabarlah Tuanku adik jika kelak abang tiada dipercayai rakyat, tentu adik jua yang menjadi Raja”.

Tetapi Tuanku Indra Bongsu tiada sabar lagi, lalu katanya : “Aku sudah bosan mendengar perkataan sabar itu ! Jika Tuanku abang tak hendak segera menyerahkan kerajaan ini kepadaku…. Heh heh heh…….” Katanya lagi sambil menejek, “tentu akan abang rasai akibatnya kelak!”

“Hai, Kenapa Tuanku adik bercakap begitu ? lupakah kita bersaudara kandung. Kerena persaudaraan inilah makannya peristiwa yang memalukan itu sangat mendesakku untuk menggantikan abang dengan segera ! Ingat ! jika tiga hari lagi abang masih berkeras……berbahaya”.

(halaman 38 paragraf 3) 4.6 Tuan Indra Bongsu

(54)

Tuan Indra Bongsu sungguh memiliki sifat keras kepala, ia memaksa kakaknya Tuanku Indra bestari menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Hal ini dijelaskan seperti dibawah ini.

“Aku sudah bosan mendengar perkataan sabar itu ! Jika Tuanku abang tak hendak segera menyerahkan ini kepadaku ….., tentu abang rasai akibatnya kelak!”.

(Halaman 38 paragraf 3)

4.7 Tiga raksasa para penjaga istana kayangan

a. Panglima Hulunan Tiga b. Panglima Hulubelang Gelang c. Panglima Hulunan Gadabak

Ketiganya memiliki jiwa pemberani . dengan gigih mereka menjaga kayangan. Walaupun mereka mengetahui bahwa Marajaya mempunyai kesaktian dikarenakan memiliki tongkat yang sakti, mereka tetap berani untuk melarang Balagala dan Marajaya masuk menemui Putri Merak Kayangan. Dengan sekuat tenaga meraka melawan Marajaya yang memaksa masuk ke kayangan.

4.8 Tiga Orang Srikandi

a. Sri Celah Awan b. Sri Jauhari c. Sri Tuah Alang

(55)

terhadap sang putri. Mereka rela mengorbankan nyawanya untuk membantu si putri.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

(56)

Untuk mengetahui struktur dalam sebuah karya sastra, haruslah dilakukan analisis unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra tersebut. Dalam unsur Instrinsik digunakan empat struktur karya sastra prosa fiksi yang harus dianalisis yaitu: alur (plot), penokohan/perwatakan, latar,dan tema

1. Alur (plot) ”cerita hikayat Sri Putih Cermin” termasuk alur maju yang peristiwanya disusun secara kronologis karena urutan peristiwa menurut waktu yang berkembang maju.

2. Setelah menganalisis tokoh yang terdapat dalam cerita hikayat Sri Putih Cermin dapatlah ditarik kesimpulan bahwa karakter atau sifat seseorang tercermin dari tingkah lakunya, seperti yang dikemukan oleh Roekan, Aminuddin dalam teori behavioralnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tokoh yang terdapat dalam cerita hikayat Sri Putih Cermin. Seperti halnya tiga tokoh utama dalam cerita ini Sri Putih Cermin, Marajaya, Putri Merak Kayangan. Ketiganya memiliki watak baik dan buruk. Watak baik Sri Putih Cermin pemaaf, karena dia mau memaafkan orang yang bersalah kepadanya”. Watak buruk Sri Putih Cermin : ”pergi dari kerajaan dengan membawa tombak Serampang Sakti milik kerajaan hanya untuk mencari seorang pria, kekasihnya, yang pergi tidak tentu tujuan”.

Watak baik Marajaya : ”mengasihi sesama manusia, penolong”. Sedangkan watak buruknya : . Watak buruknya: ”tidak tepat janji”.

(57)

Watak buruk Ratu Merak Kahyangan : ”pemarah, dengan segera ia menciptakan angin topan dan banjir di kerajaan itu”.

Watak baik Balagala : Bekerja sama Watak buruknya Balagala : pengkhianat Watak buruk dari Jin Jembalang : serakah

Watak buruk Tuanku Indra Bongsu : keras kepala

Watak dari Tuanku Indra Bestari ialah ia mempunyai sikap bijaksana dan penyayang.

Watak dari tiga raksasa penjaga istana khayangan adalah gigih Watak dari tiga Srikandi Sri Putih Cermin adalah patuh, setia.

3. Latar cerita ini, terdapat di dalam istana Kerajaan Kota Pari, hutan belantara, dan kayangan.

4. Tema cerita ini adalah kisah percintaan seorang putri raja yang membawa malapetaka.

Amanat yang disampaikan dalam cerita ini adalah

1) Seorang gadis hendaknya patuh kepada orang tua dan jangan melanggar larangan yang telah ditetapkan secara adat;

(58)

Sedangkan struktur yang harus dianalisis dalam unsur ekstrinsik karya sastra mencakup latar belakang karya sastra. Latar belakang karya sastra mengacu pada:

1. Tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

Tempat terjadinya cerita ini di Deli Serdang.

2. Pandangan hidup pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

Pandangan atau prinsip hidup yang dianut oleh masyarakat Deli Serdang berdasarkan hikmah dari cerita ini adalah sudah sepatutnya kita sebagai anak mendengarkan nasihat orang tua dan berbakti terhadap mereka.. Jika kita tidak mendengarkan nasehat mereka maka kita atau si anak akan celaka.

3. Keadaan masyarakat pada tertentu sehingga perlu direkam dalam karyasastra. Keadaan masyarakat di kota Pari adalah mereka giat bekerja, apalagi kalau untuk kepentingan bersama. Pemuda-pemudanya,rajin bekerja, rajin pula belajar dan berlatih pencak silat. berburu itu termasuk mata pencarian yang utama bagi rakyat kerajaan Berhala.

(59)

5. Adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

Di dalam Hikayat Sri Putih Cermin adat-istiadat yang digambarkan hanya saling tolong-menolong di antara sesama masyarakat.

6. Pandangan pembaca terhadap karya sastra, dan

Isi dari hikayat Sri Putih Cermin ini memberitahukan kepada kita bahwa kita tidak boleh melanggar perintah dari orang tua supaya kita pun terhindar dari malapetaka.

7. Kedudukan karya sastra dalam sejarah sastra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periode sastra

Kedudukan cerita ini dalam masyarakat Deli Serdang cukup penting. Hal ini terlihat dari seringnya cerita ini dikisahkan oleh orang-orang tua terhadap anak-anaknya. Atau diwariskan ke generasi-generasi muda berikutnya.

8. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita ini adalah tokoh utamanya Sri Putih Cermin, Marajaya. Tokoh pembantu lainnya adalah Tuanku Indra Bestari, Tuanku Indra Bongsu, Balagala, Jin Jembalang, Datuk Sitawar.

9. Nilai-nilai yang terdapat dalam cerita ini yaitu sifat penolong, pemberani, setia, kegigihan, pemaaf, kerukunan, kemauan keras, bekerja sama, tidak tamak, tidak tepat janji, sombong, tamak, keras kepala, pengkhianat, pengecut.

 Sifat-sifat yang dimiliki oleh Marajaya adalah penolong, tidak tamak, suka

kedamaian, tidak tepat janji.

 Sifat-sifat yang dimiliki oleh Sri Putih Cermin adalah kemauan keras, kegigihan, pemaaf, pemberani, setia.

(60)

 Sifat yang dilimiliki oleh Jin Jembalang adalah sifat tamak

 Sifat yang dimiliki oleh Tuan Indra Bestari adalah kerukunan.

 Sifat yang dimiliki oleh Tuanku Indra Bongsu adalah keras kepala

5.2 SARAN

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Abiding, Gaffar, dkk. 1990. Struktur Sastra Lisan Musi. Jakarta: Depdikbud RI.

Aminuddin. 1990. Sekitar Ilmu Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Answarsyah. 1993. Dasar-dasar Metode Penelitian. Medan: AKIP.

Damono, Supardo Djoko.1984. Sosiologi Sastra. Bandung: Angkasa.

(62)

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hamidita Graha Widia.

Jayawati, Maini Trisna, dkk. 1997. Analisis Struktur dan Nilai Budaya Cerita

Rakyat Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Narbuko, Cholid. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2001.Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjha Mada University Press.

Poerwadarminta, W. J. S. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pradopo. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Semi. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tinambunan, T. Raman. [et.al]. 1996. Sastra Lisan Dairi, Investasi, dan Analisis Struktur Prosa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa . Welleck, Rene dan Ausitin Weren. 2001. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

(63)

LAMPIRAN

SINOPSIS CERITA

Dahulu kala, sebelum ada kerajaan petani telah ada sebuah kerajaan yang lebih besar yaitu kerajaan Berhala. Waktu itu antara pantai Cermin dan pulau Berhala masih merupakan satu daratan yang sebagian besar terdiri dari daerah rawa-rawa dan rimba raya. Kota dan kampung belum banyak, di antaranya yang terkenal ialah kota Pari, yaitu tempat kedudukan Raja Berhala yang bernama Tuanku Indra Bestari.

Rakyatnya sangat bergembira dan mereka giat bekerja, apalagi untuk kepentingan bersama. Pemuda-pemudanya selain bekerja, rajin pula belajar dan berlatih pencak silat. Hampir semuanya pandai berburu rusa, kijang, babi dan sebagainya. Diantara pemuda-pemuda kota pari yang terkenal pandai berburu tersebut seorang anak tunggal yatim piatu, bernama MARAJAYA.

Orangtua Marajaya termasuk orang yang terkemuka di negrinya. Ibunya bernama KASUMARINA meninggal pada saat ia masih bayi, ayahnya bernama MARAKANDI seorang panglima perang kerajaan berhala, yang telah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

Marajaya memiliki tombak yang sangat istimewa yaitu sebuah tombak yang berbisa menurut pengakuannya tombak itu dijumpai di dalam rimba beberapa tahun lalu, sampai saat ini tombak itu selalu dipergunakan untuk berburu, jika ia kembali dari hutan ia pasti pulang dengan membawa hasil dan ia juga membagi-bagi hasil dan ia juga membagi hasil buruannya kepada orang yang lebih membutuhkan. Maka tidaklah heran kalau setiap Marajaya pulang dari hutan, banyak orang yang menyongsongnya sepanjang jalan, tidak kecuali lelaki dan perempuan. Karena kebaikannya semua orang selalu memuji-muji Marajaya.

Sifat dengki dan khianat dari para pemuda mempengaruhi untuk membunuh Marajaya sampai mati. Tetapi tak seorang pun yang berani melaksanakan, karena masing-masing menganggap lawannya bukan sembarangan. Akhirnya semufakatlah mereka untuk menyesatkan Marajaya ke dalam rimba, hingga ia tak dapat lagi kembali ke kota Pari.

Referensi

Dokumen terkait