• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM KASUS SUAP SESUAI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA PDS-05/LIWA/12/2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM KASUS SUAP SESUAI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA PDS-05/LIWA/12/2011)"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM KASUS SUAP SESUAI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA PDS-05/LIWA/12/2011)

Oleh

ALMIYATI

Perlindungan hukum terhadap pelapor dalam tindak pidana korupsi sangatlah

penting, mengingat untuk mengungkap tersangka dalam kasus suap sangatlah sulit tanpa ada keterlibatan dan keterbukaan dari si pemberi, namun disisi lain pemberi merasa takut untuk mengungkapkan kasus suap tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap saksi dan bagaimanakah status dalam kasus suap sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara PDS-05/Liwa/12/2011).

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber atau informan penelitian ini terdiri dari tiga orang Jaksa, satu orang Hakim, dan satu orang Pengacara. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (library research) dan studi lapangan (field research). Data selanjutnya di analisis secara deskriptif kualitatif dan menarik kesimpulan dengan cara induktif.

Hasil penelitian bahwa saksi memperoleh perlindungan hukum sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi/Korban dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saksi yang membantu polisi dalam pengungkapan kasus suap tidak tepat

dikatakan Whistle Blowers akan tetapi sebagai orang yang berpartisipasi mengungkap

kasus suap dan terhadap saksi tersebut tidak dapat dikenakan tuntutan sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Saran agar dibuatkan undang-undang khusus yang lebih spesifik pengaturannya

mengenai perlindungan dan penafsiran berkenaan dengan Whistle Blowers, Justice

Collaborator dan peran serta masyarakat agar terciptanya kepastian hukum dan meningkatkan peran kepolisian dan LPSK dalam perlindungan saksi dan korban, mengingat peran saksi adalah sebagai alat bukti di dalam hukum acara pidana dalam mencari kebenaran materiil.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan penegakan hukum tidak hanya demi kepastian hukum, tetapi

lebih jauh lagi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Penegakan

hukum yang baik akan menciptakan ketertiban dan keteraturan. Dengan ketertiban

dan keteraturan, maka keadilan akan lebih mudah tercapai sehingga kesejahteraan

masyarakat juga akan lebih mudah terwujud, oleh karena itu penegakan hukum

(law enforcement) haruslah dilakukan secara proposional dan profesional, tidak

hanya penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi juga

penegakan hukum dalam seluruh aspek hukum yang ada dalam masyarakat.

Perlindungan hukum tidak hanya diperlukan oleh seorang pejabat publik, akan

tetapi perlindungan hukum juga diperlukan oleh seorang pelapor. Dalam sistem

hukum kita, perlindungan hukum terhadap ini sudah berjalan. Hal ini terbukti

dengan telah diadakannya aturan-aturan yang jelas yaitu Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Korban dan Peraturan Pemerintah

Nomor 71 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Masyarakat dan

Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

(9)

Perlindungan hukum terhadap pelapor dalam tindak pidana korupsi sangatlah

penting, mengingat untuk mengungkap tersangka dalam kasus suap sangatlah sulit

tanpa ada keterlibatan dan keterbukaan dari si pemberi, namun disisi lain pemberi

merasa takut untuk mengungkapkan kasus suap tersebut, dikarenakan sesuai

ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi si pemberi dapat dipidana.

Berkenaan dengan perlindungan hukum maka Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengakomodir kebutuhan

yang diperlukan oleh saksi maupun korban. Tentunya perlindungan tersebut akan

diberikan berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dilihat dari esensi nilai kesaksian yang

diberikan oleh saksi pelapor tersebut, tingkat bahaya yang dialami oleh saksi

ketika ia memberikan keterangannya, hasil analisis tim medis atau psikolog

terhadap saksi/korban, dan hasil jejak rekam kejahatan yang pernah dilakukan

oleh saksi/korban.

Saksi adalah kunci utama dalam mengungkap suatu kejadian dan fakta-fakta yang

ia lihat, dengar dan saksikan. Maka saksi perlu dilindungi karena tanpa bantuan

dari seorang saksi mustahil Polisi, Jaksa, Dan Hakim dapat menemukan

(10)

Secara umum saksi merupakan alat bukti yang sah.1 Sebagai alat bukti yang sah,

Saksi adalah Seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun

secara tertulis atau tanda tangan, yakni menerangkan apa yang ia saksikan

sendiri (waarnemen), baik itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau

suatu keadaan ataupun suatu kejadian2 Sedangkan di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), pengertian saksi

disebutkan bahwa Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,

dan/atau ia alami sendiri.3

Saksi Pelapor adalah orang yang memberikan kesaksian berdasarkan laporannya

tentang suatu peristiwa pidana baik yang ia lihat atau alami sendiri, namun ia

tidak harus menjadi korban dari peristiwa pidana tersebut. Dalam

perkembangannya istilah saksi pelapor dewasa ini digunakan dengan istilah

whistleblower. Walaupun secara terjemahan harfiah dalam Bahasa Indonesia,

whistleblower adalah “peniup peluit”, namun istilah tersebut dimaksudkan adalah

orang – orang yang mengungkapkan fakta kepada publik.4

1

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.Subekti, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004). Ps. 1866 jo Indonesia (b), Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No.8 Tahun 1981, LN No.76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Ps. 184 Ayat (1).

2

H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm 168

3

Pasal 1 Ayat (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidama, Sinar Grafika, Jakarta, 2009

4

Eddyono, Betty Yolanda, Fajrimei A.Gofar, “Saksi Dalam Ancaman,”

(11)

Perkembangan modus tindak pidana kejahatan korupsi di negeri kita

akhir-akhir ini menunjukkan skala yang meluas dan semakin canggih. Kenyataan ini

juga mendorong upaya penggungkapan kasus-kasus korupsi untuk keluar dari

cara-cara konvensional. Adapun, salah satu cara untuk menggungkap

terorganisrnya praktik korupsi tersebut maka diperlukan peran whistleblower

yang dapat mendorong penggungkapan modus tindak pidana korupsi menjadi

relatif lebih mudah untuk dibongkar.

Menurut Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan

diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun

demikian, asal bukan suatu gosip bagi pengungkapan korupsi maupun mafia

peradilan. Yang dikatakan Whistleblower itu benar- benar didukung oleh fakta

konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau

penuntut umum kalau ada laporan seorang whistleblower harus hati-hati

menerimanya, tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima

dan harus di uji dahulu5

Whistleblower berperan untuk memudahkan penggungkapan tindak pidana

korupsi, karena Whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam

disebuah institusi dimana di tenggarai atau dicurigai taleh terjadi praktek

korupsi. Sebagai orang dalam, seorang Whistleblower merupakan orang yang

memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana dia bekerja. Seorang

Whistleblower ini bisa merupakan orang yang sama sekali tidak terlibat dalam

perbuatan korupsi yang terjadi di praktik tindak pidana tersebut.

5

(12)

Dalam Konteks hukum positif kita, kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan

perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar.Tetapi

dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarenakan

oleh banyak hal yang perlu dikaji ulang serta bagaimana mendudukan

Whistleblower dalam upaya memberantas praktik korupsi.

Sebab secara yuridis normatif, berdasar Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006, Pasal 10 Ayat (2) menjelaskan bahwa keberadaan Whistleblower tidak

mempunyai tempat untuk mendapatkan suatu perlindungan secara hukum.

Bahkan, seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama

tidak dapat di bebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara

sah danmeyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan

hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Hak istimewa yang diberikan kepada Whistleblower sebagai pengungkap fakta

akan diklasifikasikan. Hal itu penting untuk mengantisipasi bila ada pihak

memanfaatkan hal itu untuk melarikan diri. Jika seseorang telah menjadi

terdakwa kemudian bertindak seolah-olah menjadi pengungkap fakta

(whistleblower) untuk menyelamatkan diri bisa-bisa banyak orang yang

menirunya maka akan di atur klasifikasi tersebut dalam Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

Whistleblower merupakan langkah alternatif yang penting dalam ensensial dalam

membongkar kejahatan korupsi, namun keberadaannya terdapat kelemahan

(13)

penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti yang cukup yang dapat memperkuat

keterlibatan si pengungkap fakta (pelapor). Dengan demikian, si pengungkap

fakta (pelapor) telah menempuh suatu resiko yang tinggi, bahkan mempertaruhkan

kehidupannya, namun sebuah penghargaan dan apresiasi kurang diperhatikan,

sehingga hal ini dapat menimbulkan suatu kondisi kritis kepercayaan perihal

penjaminan terhadapat diri si pengungkap fakta/pelapor.

Pengaturan mengenai perlindungan Whistleblower (pengungkap fakta/pelapor)

secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan saksi dan korban, Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan bahwa “Seorang

saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun

perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan “. Aturan

yang dimuat dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini

menjadi ambigu dan bersifat kontradiktif terdapat pasal yang sama dalam Ayat

(2), yakni :

“Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat

dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan

hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.

Isi Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, terdapat

kata-kata”saksi yang juga tersangka” merupakan rumusan yang kurang bisa dipahami

secara konsisten terhadap saksi yang juga berstatus sebagai saksi pelapor

kemudian tiba-tiba berubah menjadi tersangka. Hal ini dapat menimbulkan

(14)

tengok diberbagai negara tentang Whistleblower dipastikan berada dalam suatu

jaringa mafia, yang jelas mengetahui adanya permukafatan jahat., sehingga tidak

jarang kemudian adanya sindikat kejahatan itu dapat dibongkar, dikarenakan

adanya suatu pembangkangan yang dilakukan oleh si peniup peluit

(Whistleblower) untuk membongkar atau mengungkap apa yang dilakukan oleh

kelompok mafia. Sebagai imbalan sang peniup peluit (Whistleblower) tadi

dibebaskan dari tuntutan pidana.

Menurut pakar hukum pidana UGM, Eddy O.S. Hiariej, bahwa Pasal 10 Ayat (2)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 adalah bertentangan dengan semangat

Whistleblower, Kenapa Karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan

terhadap seorang Whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi

hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.6 Lebih lanjut Eddy

O.S. Hiariej memberikan penilaian bahwa Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) kerancuan.7

Pertama, saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama akan menghilangkan

hak excusatie terdakwa. Hal ini merupakan salah satu unsur objektifitas peradilan.

Ketika Whistleblower sebagai saksi dipengadilan maka keterangannya sah sebagai

alat bukti jika diucapkan dibawah sumpah. Apabila Whistleblower berstatus

sebagai terdakwa yang diberikan tidak dibawah sumpah.Kedua, disitulah letak

adanya ambigu, siapa yang akan disidangkan terlebih dahulu atau disidangkan

secara bersamaan.

6

Eddy O.S. Hiariej, Tetap Dijatuhi Pidana Bilamana Terlibat dalam Kejahatan, Newsletter

Komisi Hukum Nasional (KHN), Vol.10, No.6 Juli 2010.

7

(15)

Ketiga, ketentuan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

bersifat kontra legem dengan Ayat (1) dalam pasal dan undang-undang yang

sama, pada hakikatnya menyebutkan bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat

dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang

akan, sedang atau telah diberikan.

Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 membuat pemahaman

terhadap saksi yang juga tersangka semakin tidak jelas, karena disana dijelaskan

seorang saksi yang juga tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum

baik pidana maupun perdata. Hal ini, berarti bisa saja pada waktu bersamaan

seorang saksi menjadi tersangka. Meskipun menurut Pasal 10 Ayat (2) ini,

memungkinkan akan memberikan keringanan hukuman bagi Whistleblower,

namun kemungkinan tersebut tetap tidak dapat membuat seorang yang menjadi

Whistleblower akan bernafas lega atau bahkan sama sekali membuat seseorang

tertarik untuk menjadi Whistleblower.

Seorang yang telah menjadi Whistleblower, apabila mengacu Pasal 10 Ayat (2)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, harapan untuk lepas dari tuntutan hukum

sangat sulit, karena pasal ini telah menegaskan bahwa seorang saksi yang juga

tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana

apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Untuk bisa lepas dari

tuntutan hukum adalah menjadi harapan bagi Whistleblower yang sekaligus juga

sebagai pelaku tindak pidana, karena untuk dapat bebas dari tuntutan hukum,

hampir tidak mungkin. Selain ketentuan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang

(16)

pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemerikasaan di sidangkan pengadilan,

kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Sementara Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana diduga kuat

telah melakukan kesalahan.dan karenanya sangat mudah untuk membuktikannya

secara sah dan meyakinkan di Pengadilan. Yang memungkinkan baginya adalah

lepas dari tuntutan hukum sebagimana terdapat dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP

yang menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak

pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Hanya saja

untuk lepas dari tuntutan hukum juga sulit, karena Whistleblower yang juga

sebagai pelaku tindak pidana yang diduga kuat telah melakukan kesalahan,

tindakannya tidak termasuk dalam kerangka dasar penghapusan pidana.

Timbulnya berbagai persoalan berkaitan dengan sistem rekrutmen Pegawai Negeri

Sipil (PNS), Tenaga honorer maupun Tenaga Kerja Sukarela (TKS) pada

lingkungan Pemerintah Daerah, berdasarkan Surat Dakwaan Nomor Reg.

Perkara : PDS-05/LIWA/12/2011 yang pertama mengetahui tentang adanya

indikasi pungli atas penerimaan tenaga Kerja Sukarela (TKS) Pol PP di Lampung

Barat adalah berdasarkan informasi Mabes Polri telah terjadi pungutan liar yang

dilakukan oleh terdakwa Farid Wijaya Bin Bahiki selaku Pegawai Negeri Sipil

yang dalam hal ini menjabat sebagai Kepala Kantor Satuan Polisi Pamong Praja

(17)

Mabes Polri kemudian mengirimkan surat telegramnya nomor :

R/1664/VII/2011/ kepada Polda Lampung dan Polda Mengirimkan Surat

Telegram nomor : R/732/VII/2011 kepada Kapolres Lampung Barat berdasarkan

surat perintah penyelidikan Tanggal 15 Juli 2011 No : Sp.

Lidik/23/VII/2011Reskrim melakukan penyelidikan terhadap adanya dugaan

pungli dalam penerimaan Tenaga Kerja Sukarela (TKS) pada kantor satuan Polisi

Pamong Praja Kabupaten Lampung Barat.

Berkenaan dengan surat penyelidikan tersebutlah Polres menugaskan kepada

anggota Polres Lampung Barat yakni Kennet Ivandi Norman Harahap, Fajar

Kurnia, dan juga Edwin Agustinus yang kemudian memerintahkan kepada saksi

Puji Widodo untuk mengungkap permasalahan tersebut. Disinilah letak fokus

permasalahan, apabila diamati saksi Puji Widodo ini berperan sebagai “ Cepu” di

dalam istilah kepolisian dalam istilah Bahasa Indonesia sebagai Mata-Mata,

Inggris Spy.

Dalam hal ini saksi Puji Widodo yang mendapat tugas dari kepolisian untuk

memata-matai dan juga berperan dalam mengungkap tentang adanya indikasi

pungli dalam penerimaan Pol PP. Berdasarkan kronologis perkara saksi Puji

Widodo tersebut telah menemui terdakwa dengan membicarakan bagaimana

prosedur untuk menjadi Pol PP kemudian terdakwa memberitahu jika ingin

menjadi Pol PP, saksi dikenakan biaya sebesar Rp. 20.000.000,00,- (Dua Puluh

Juta Rupiah) kemudian saksi Puji Widodo terpaksa memberikan uang sebesar

Rp. 20.000.000,00,- (Dua Puluh Juta Rupiah) kepada terdakwa atas perintah

(18)

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Kasus Suap

ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Studi Kasus Perkara PDS-05/Liwa/12/2011)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut maka

dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap saksi dalam kasus suap sesuai

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi ?

b. Bagaimanakah Penetapan Status Whistle Blowers dan Penyuap Berkenaan

Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Kasus Suap?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini termasuk dalam bidang keilmuan Hukum

Pidana yang meliputi teori-teori, doktrin serta ketentuan-ketentuan hukum

khususnya mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Kasus Suap

ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

(19)

Kejaksaan Negeri Liwa Lampung Barat (Studi Kasus Perkara

PDS-05/Liwa/12/2011).

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan

penulisan sebagai berikut:

a. Untuk menjelaskan bagaimana perlindungan hukum terhadap saksi dalam

kasus suap sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Untuk menganalisis penetapan status whistle blowers dan penyuap berkenaan

dengan perlindungan hukum terhadap saksi dalam kasus suap (Studi Kasus

Perkara PDS-05/Liwa/12/2011).

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang di harapkan dari penulisan ini terdiri dari dua manfaat

yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, dan kedua manfaat ini adalah

sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan upaya peningkatan kompetensi peneliti dalam rangka

(20)

dalam hal membongkar tindak pidana korupsi dan memperkaya dan

menambah ilmu pengetahuan terhadap masalah yang di teliti tentang kajian

hukum pidana terkait perlindungan hukum terhadap saksi dalam kasus suap

ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan penulisan secara praktis diharapkan dapat berguna untuk

mengembangkan daya penalaran dan membentuk pola pikir dinamis peneliti

yang berhubungan dengan perlindungan saksi dalam kasus suap. Serta

diharapkan juga penulisan ini dapat diaplikasikan oleh para penegak hukum

khususnya Kejaksaan Negeri Liwa dalam hal ini.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.8

Kajian Teori Perindungan Hukum

Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah cerminan

dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah

hukum, ternyata aliran hukm alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu

8

(21)

pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam

perundang-undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan,

merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi

dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya

hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak

teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa

ke masa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas

yang berisfat universal yang bisa disebut HAM.9

Berbicara mengenai hak asasi manusia atau HAM menurut Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah,

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia. Pada dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Yang Maha Esa (YME) yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu

kebebasan, hak hidup, hak untuk dilindungi, dan hak yang lainnya.

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga

hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang

perlu diatur dan dilindungi.10 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni

perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan

9

Ibid.,

10

(22)

hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan

kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang

dianggap mewakili kepentingak masyarakat.

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman

terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan

itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh hukum.11 Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat

bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya

tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.12

Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka

yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh

keadilan sosial.13 Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan

hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan

represif.14

Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya

sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam

pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif

11

Ibid., hlm 54.

12

Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hlm 118

13

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hlm 55

14

(23)

bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di

lembaga peradilan.15

Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang

diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari

hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum,

meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang,

namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.16

Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang

dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun

penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan

serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum

yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita.

1) Teori Penegakan Hukum

Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum

bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya

Hukum. Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur

proses penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pertama: Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut

sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu

dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang

15

Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor,: Universitas Brawijaya, Malang, 2010), 18

16

(24)

berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan,

aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup

(living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law

books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Cicil Law Sistem atau sistem

Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah

menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah

peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak

tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di

Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP.

Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat

di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya

suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah

mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.

Teori Lawrence Meir Friedman yang Kedua : Struktur Hukum/Pranata Hukum:

Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural

yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik.

Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).

Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga

dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang

menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum

(25)

penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya

suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak

hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.

Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum

tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi

lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman

agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya.

Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran

penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas

penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila

peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan

munculnya masalah masih terbuka.

Teori Lawrence Meir Friedman17 adalah sikap manusia terhadap hukum dan

sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum

adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana

hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya

dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum

masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola

pikir masyarakat mengenai hukum selama ini.

Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah

satu indikator berfungsinya hukum.Baik substansi hukum, struktur hukum

maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak

17 Lawrence M. Friedman, 2001,

(26)

dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta

hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram

dan damai.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah

yang ingin atau yang akan diteliti.18 Kerangka konseptual yang akan digunakan

dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan Hukum

Adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam

bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat

represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.19

2. Saksi

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang

ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sebagaimana

dimaksud di dalam Pasal 26 KUHAP;

3. Tindak Pidana

18

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, SuatuTinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta,.

19

Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,

(27)

Tindak Pidana adalah suatu kelakuan/handeling yang diancam pidana, bersifat

melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan

oleh orang yang mampu bertanggung-jawab.20

4. Suap

Suap diartikan sebagai membeli hak atau kewenangan seseorang yang

berkuasa dengan tujuan agar tersuap melakukan sesuatu yang bertentangan

dengan hak atau kewenangannya.21

5. Undang-Undang

Suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,

diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara/Peraturan yang dihasilkan

legislatif yang tertinggi yang dibentuk bersama-sama oleh DPR, dan Presiden/

Peraturan Negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang

berwenang dan mengikat masyarakat.22

6. Korupsi

Suatu bentuk tindak pidana dengan memperkaya diri sendiri dengan

melakukan penggelapan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan

keuangan negara.23

20

Moeljatno, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Bandung, hlm 56

21

R.Wiyono, 2008, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 59

22

M Marwan & Jimmy P, 2009, Kamus Hukum “ Dictionary Of Law Complete Edition”,

Reality Publisher, Surabaya, hlm 621

23

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Hukum Bagi Saksi dalam Proses

Peradilan Pidana

Pelaksanaan perlindungan saksi tidak terlepas dengan beberapa persoalan yakni;

penegakkan hukum perlindungan saksi, kapan dilakukan perlindungan saksi,

bentuk-bentuk perlindungan saksi dan tata cara perlindungan saksi dalam proses

peradilan pidana.

1. Penegakan Hukum Perlindungan Saksi

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan

saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri

terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan

tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana; Penegak hukum

dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang

dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak

dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik

fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu

dilakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban yang sangat penting

(29)

Kesaksian memang dibutuhkan dalam setiap pengadilan pidana, termasuk

pengadilan militer. Saksi yang dimintai keterangan dalam penyidikan maupun

persidangan, pada dasarnya sangat membantu berjalannya rangkaian proses

peradilan. Apalagi hasil yang diharapkan dari proses pengumpulan keterangan

saksi untuk memastikan peradilan yang jujur (fair trial).1

Dalam penegakan perlindungan saksi khususnya perlindungan hukum bagi saksi

itu sendiri saat ini telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebuah Undang-undang Perlindungan

Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus

untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran hak asasi manusia, adalah

satu kesatuan integral dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan

pidana terpadu. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang disahkan

pada tanggal 11 Agustus 2006, diharapkan akan menolong negara ini keluar dari

persoalan-persoalan hukum yang berkepanjangan seperti sulitnya memberantas

korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan

belum lagi tentang perlindungan hukum yang hanya mampu menyentuh bagi

kalangan konglomerat, pejabat, dan lain sebagainya.

Sehingga diperlukan perlindungan hukum sebagai payung hukum bagi para saksi

dan korban di masa mendatang. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban,

merupakan salah satu jawaban dari persoalan di atas. Perlindungan terhadap

saksi dan korban harus diberikan bila menginginkan proses hukum berjalan

dengan benar dan adil.

1

(30)

Hal ini dapat diperhatikan bahwa adanya fakta menunjukkan, banyak kasus-kasus

pidana maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak terungkap dan

tidak terselesaikan disebabkan adanya ancaman baik fisik atau psikis maupun

upaya kriminalisasi terhadap saksi dan korban ataupun keluarganya yang

membuat masyarakat takut memberi kesaksian kepada penegak hukum.

2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Saksi

Menurut Yenti.2 ada dua bentuk model perlindungan yang bisa diberikan

kepada saksi dan korban yaitu Pertama procedural rights model dan Kedua the

service model.

1) Procedural rights model

Model ini memungkinkan korban berperan aktif dalam proses peradilan

tindak pidana. “Korban diberikan akses yang luas untuk meminta segera

dilakukan penuntutan, korban juga berhak meminta dihadirkan atau

didengarkan keterangannya dalam setiap persidangan dimana kepentingan

korban terkait di dalamnya. Hal tersebut termasuk pemberitahuan saat pelaku

tindak pidana dibebaskan. Model ini memerlukan biaya yang cukup besar

dengan besarnya keterlibatan korban dalam proses peradilan, sehingga biaya

administrasi peradilanpun makin besar karena proses persidangan bisa lama

dan tidak sederhana.

2

(31)

2) The service model.

Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap korban yang

dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Misalnya pelayanan kesehatan,

pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti rugi serta restitusi.

Banyaknya pelayanan yang harus diberikan kepada saksi dan korban

menyebabkan efisiensi pekerjaan dari penegak hukum tidak tercapai. Efek

lain sulit memantau apakah pelayanan itu benar-benar diterima saksi dan

korban.

Model yang bisa diterapkan di Indonesia adalah kombinasi keduanya, karena

di Negara Indonesia paling susah adalah dalam hal koordinasi. Oleh karena

itu, kedua model itu harus disesuaikan dengan keadaan Indonesia, harus

diukur sejauh mana saksi dan korban bisa terlibat dalam proses peradilan.

Begitu pula tentang pemenuhan hak yang dapat diberikan kepada saksi dan

korban. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban telah memuat perlindungan yang harus diberikan kepada

saksi dan korban. Namun dalam hal ini harus ada ketentuan yang lebih

rinci, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, misalnya tentang penanganan secara

khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban sebagai lex specialis hendaknya ditentukan tentang bentuk dan

cakupan kasus yang dilindungi.

Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

(32)

1) Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan;

2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan serta dukungan keamanan;

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;

4) Mendapat penerjemah;

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasusnya;

7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 8) Diberitahu ketika terpidana dibebaskan;

9) Mendapatkan identitas baru;

10)Mendapatkan tempat kediaman baru; 11)Penggantian biaya transportasi;

12)Mendapatkan penasihat hukum;

13)Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Sasaran perlindungan yang diberikan Undang-undang Perlindungan Saksi dan

Korban, terhadap saksi dan korban diatur dalam Pasal 5 bahwa hak diberikan

kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai

dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Korban dalam

pelanggaran hak asasi manusia yang berat, juga berhak untuk mendapatkan:

1) bantuan medis;

2) bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berhak mengajukan ke

pengadilan berupa:

1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang

berat;

2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku

(33)

Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan, dan

ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan

Peraturan Pemerintah. Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak

tahap penyelidikan dimulai dan berakhir. Saksi dan/atau korban yang merasa

dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat

memberikan kesaksia tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara

tersebut sedang diperiksa. Saksi dan/atau korban dapat memberikan kesaksiannya

secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan

membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian

tersebut.

Saksi dan/atau korban dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung

melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Saksi,

korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun

perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan

dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah,tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam

meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan tersebut tidak berlaku

terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan

itikad baik.

3. Syarat dan Tata Cara Perlindungan Saksi

Menurut Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa

(34)

dan/atau korban tindak pidana diberikan dengan mempertimbangkan syarat

sebagai berikut:

1) sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;

2) tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;

3) hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban;

4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.

Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa Tata

cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:

1) Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

2) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan pemeriksaan

terhadap permohonan;

3) Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberikan secara tertulis paling lambat 7(tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.

Bagi saksi dan/atau korban yang menghendaki perlindungan dari Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan/atau korban baik atas inisiatif sendiri

maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan

secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban lebih kongkrit menegaskan bahwa dalam hal

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menerima permohonan saksi dan/atau

korban, saksi dan/atau korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti

syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban. Pernyataan kesediaan

mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban memuat:

1) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

2) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;

(35)

4) Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; dan

5) Hal lain yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai kewajiban memberikan

perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk

keluarganya,sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan mengikuti persyaratan

tersebut dalam Pasal 30. Perlindungan atas keamanan saksi dan/atau korban

hanya dapat diberhentikan berdasarkan alasan-alasan seperti yang tercantum

dalam Pasal 32 yaitu:

1) Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

2) atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;

3) Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian atau;

4) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.

Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban harus

dilakukan secara tertulis. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban juga

mengatur mengenai bantuan bagi saksi atau korban sebagaimana diatur dalam

Pasal 33 sampai dengan Pasal 36 sebagaimana penulis jelaskan sebagai berikut

ini.

Bantuan diberikan kepada seorang saksi dan/atau korban atas permintaan tertulis

dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban dan menentukan kelayakan diberikannya

(36)

Dalam hal saksi dan/atau korban layak diberi bantuan, Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan serta jangka waktu dan besaran

biaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengenai pemberian

bantuan kepada saksi dan/atau korban harus diberitahukan secara tertulis kepada

yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak

diterimanya permintaan tersebut. Dalam melaksanakan pemberian perlindungan

dan bantuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat bekerja sama

dengan instansi terkait yang berwenang dan melaksanakan perlindungan dan

bantuan, instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan

keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

B. Kejahatan Suap sebagai Tindak Pidana Korupsi

Dalam bahasa sehari-hari, menyuap bisa diartikan sebagai membeli hak atau

kewenangan seseorang yang berkuasa dengan tujuan agar tersuap melakukan

sesuatu yang bertentangan dengan hak atau kewenangannya. Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri memang tidak menggunakan istilah

penyuapan. Namun dari beberapa Pasalnya, kita bisa menafsirkan bahwa KUHP

membedakan dua jenis penyuapan, yaitu penyuapan aktif dan penyuapan pasif.

Penyuapan aktif diatur dalam Pasal 209 dan 210 KUHP, sedangkan penyuapan

pasif diatur dalam Pasal 418, 419 dan 420 KUHP. Penyuap atau yang memberi

(37)

diancam di Pasal lain, yaitu Pasal 418, 419, dan 420. Karena yang disuap itu

adalah pegawai negeri, maka delik-delik 418, 419, dan 420 termasuk juga delik

jabatan.

Ketentuan Pasal 418 KUHP hanya menyebutkan bahwa seorang pegawai negeri

yang menerima suatu pemberian atau janji, sedang diketahuinya atau patut harus

menduga bahwa hal itu diberikan ditujukan kepada kekuasaan atau kewenangan

yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut maksud si pemberi ada

hubungannya dengan jabatan tersebut, diancam dengan pidana penjara maksimum

enam bulan atau denda maksimum tiga ratus rupiah. Dari Pasal 418 ini bisa kita

lihat bahwa subyek adalah pegawai negeri.

Dari bentuk kesalahannya harus dibedakan, untuk perbuatannya itu sendiri dan

untuk apa si pemberi itu memberikan pemberian itu. Untuk perbuatan itu sendiri,

bentuk kesalahannya adalah dengan sengaja yaitu, ia sadar bahwa ia menerima

suatu pemberian atau janji. Untuk unsur selanjutnya, ada dua kemungkinan bentuk

kesalahan yaitu dengan sengaja (sedang diketahui) atau culpa-lata (patut harus

diduga).

Dengan kata lain, ia menyadari atau patut menduga bahwa pemberian itu

diberikan kepadanya, ditujukan kepada kekuasaan atau kewenangan yang

berhubungan dengan jabatannya. Jadi bukan merupakan hadiah dari keluarga atau

dari sahabat karib misalnya. Jika tidak ada hubungan kekeluargaan atau

persahabatan atau hubungan yang sah lainnya, tentunya ada "udang di balik batu"

(38)

Untuk pegawai negeri, hal yang telah diuraikan di atas dipertegas lagi dengan

pengucapan sumpah jabatan sebelum dirinya menjabat yang melarang mereka

untuk menerima pemberian yang mungkin berhubungan dengan jabatan yang ia

emban. Selengkapnya sumpah tersebut berbunyi: "Bahwa saya tidak akan

menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang

saya tahu atau patut dapat menduga bahwa ia bersangkutan atau mungkin

berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan saya"Apabila si petindak tidak

menyadari/tidak dapat menduga bahwa pemberian itu ditujukan kepada

kekuasaan/kewenangan tersebut, maka alternatif lainnya ialah sipetindak

menyadari/patut menduga maksud si pemberi itu ada hubungannya dengan

jabatan sipetindak.

Alternatif kedua ini adalah lebih ringan dari yang pertama. Dengan harapan, ini

dalam rangka pembuktian tidak bertitik berat kepada si pemberi apakah ia

bermaksud demikian itu atau tidak, melainkan tetap bertitik tolak kepada

kesadaran si petindak yang didukung oleh kenyataan.

Sebenarnya ada dua macam tindakan terlarang di sini dilihat dari sudut waktu,

yaitu sebelum pegawai negeri itu melakukan atau membiarkan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dan setelahnya. Uraian pada

Pasal 418 dan 419 KUHP ini bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Penyuapan dikenal pada Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dikatakan sebagai "pemberian suap".

Pasal 12 huruf a itu penerima suap bisa pidana penjara seumur hidup atau 4

(39)

penjelasan Pasal 12 huruf a ini dikatakan bahwa yang dimaksud dengan

"pemberian" dalam ayat ini diartikan luas, yang dalam bahasa Inggris dikenal

dengan istilah "gratification" yang meliputi pemberian berupa uang, barang, rabat

(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, penginapan,

perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain.

Pemberian yang dimaksud adalah pemberian yang berhubungan dengan jabatan

dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya baik sebagai pegawai negeri atau

penyelenggara negara.Mengenai perbuatan memberi suap atau menerima suap,

kapan diterapkan Pasal KUHP dan kapan dikualifikasikan sebagai tindak pidana

korupsi, haruslah terjawab apakah ada hubungannya dengan kerugian yang sangat

bagi keuangan dan perekonomian negara yang pada akhirnya menghambat

pembangunan nasional. Kalau dipandang perbuatan suapnya merugikan keuangan

atau perekonomian negara, maka pelakunya bisa dikenakan Pasal-Pasal mengenai

tindak pidana korupsi.

Keberadaan Pasal-Pasal suap yang diadopsi dari Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana atau KUHP ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi selama ini hanya menjadi pasal “tidur” yang tidak memiliki makna. Atas

dasar studi penelitian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dari

keseluruhan delik-delik korupsi yang bersifat multinormatif itu, mulai dari delik

penyalahgunaan kewenangan, maupun delik penggelapan, hanya delik suap yang

sangat sulit pembuktiannya.

Secara harfiah, kata suap (bribe) berasal dari istilah Perancis yaitu briberie, yang

artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam

(40)

(sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Kemudian, perkembangan

selanjutnya, bribe bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion

(pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence

corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud

untuk memengaruhi secara jahat atau korup).

Di dalam bahasa Indonesia sendiri, kosakata selain suap sangat banyak. Tetapi

yang paling memiliki akar budaya adalah istilah upeti, berasal dari kata utpatti

dalam bahasa Sansekerta yang berarti bukti kesetiaan. Menurut sejarah, upeti

adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja

penakluk. Sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada

kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut.3

Sistem kekuasaan yang mengambil pola hirarki ini ternyata mengalami adaptasi di

dalam sistem birokrasi modern di Indonesia.4 Ketika para birokrat di Indonesia

bekerja dengan sistem administrasi modern, upeti dianggap sebagai standar yang

wajar sebagai alat tukar kekuasaan diantara mereka. Alat tukar ini bisa berwujud

pertukaran antara jabatan resmi dan materi. Bahwa mereka yang memiliki

kekuatan nominal akan mudahnya menguasai suatu jabatan penting, memiliki

modal untuk membeli suatu perusahaan publik dan untuk membeli suara rakyat

(venal office). Situasi ini menimbulkan kekeliruan persepsi di antara masyarakat

Indonesia antara hadiah dan suap kala masyarakat berhadapan dengan birokrat.5

3

Agustinus Edy Kristianto, "Suap: Korupsi Tanpa Akhir". Harian Global 18 Februari 2009.

4

Heather Sutherland, “The Making of A Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priayi”. Singapore Asian Studies Association of Australia, Diposkan oleh arri vavir di 16.00.00, 1979

5

(41)

Hadiah apabila diberikan tidak menimbulkan ekspektasi antara pemberi dan

penerima, sedangkan suap selalu disertai pembelokan terhadap suatu keputusan

yang seharusnya diambil oleh pejabat yang bersangkutan. Oleh sebab masyarakat

tidak mengerti perbedaan antara hadiah dan suap itulah, maka imbalan yang tidak

resmi (suap/gratifikasi) merupakan suatu hal yang sah dan wajar-wajar saja karena

hal tersebut sudah dianggap sebagai suatu prosedur standar suatu administrasi.

Oleh karena itu, hal yang wajar apabila masyarakat belum memahami bahwa

suap, baik yang menerima maupun yang memberi, dikategorikan sebagai tindak

korupsi.

Suap bisa dikategorikan sebagai asal muasal lahirnya budaya koruptif dalam skala

luas yang terjadi saat ini. Aplikasi suap terjadi mulai dari hal yang sederhana dan

sepele hingga urusan kenegaraan yang rumit. Suap sudah terjadi mulai dari

pengurusan KTP hingga pembuatan undang-undang di lembaga legislatif (DPR).

Pada masyarakat yang kini kian materialistis, adagium “tidak ada yang gratisan”

atau “selawe jaluk selamet” menjadi acuan. Akibatnya sesuatu yang menjadi

kewajiban seseorang karena jabatannya menjadi “diperjualbelikan” demi

keuntungan pribadi.

Penyuapan merupakan istilah yang dalam undang-undang disebut sebagai suatu

hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima oleh seorang

pegawai negeri. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu: (1) menerima

hadiah atau janji, (2) berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan, (3)

bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Di dalam KUHP, terdapat

pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan 210), maupun penyuapan

(42)

Ayat (1) sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang menjadi

pasal 5, 6, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK). Demikian juga dengan

penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 Ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan

delik suap pasif dalam Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang PTPK.

Menurut Seno Adji, delik-delik suap yang ada dalam KUHP sebagai bentuk

warisan penjajah Belanda meski telah mengatur secara terperinci, dianggap

sebagai delik “impoten” dalam kerangka pemberantasan korupsi. Selain sangat

rentan tingkat kesulitan pembuktiannya, delik-delik ini sekadar kekuatan simbolik

yang menghiasi sistem regulasi hukum pidana Indonesia seperti di dalam KUHP,

dimana terdapat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan 210)

yang pada Perppu Nomor 24 Tahun 1960 Pasal 1 sub a dinyatakan sebagai tindak

pidana korupsi. Pasal 209 mengenai penyuapan kepada pegawai negeri pada

umumnya, dan Pasal 210 mengenai penyuapan terhadap hakim dan penasihat

agama dalam sidang pengadilan.6

Dalam Pasal 209 Ayat (1) KUHP tersebut, penyuapan pada seorang pegawai baru

terjadi apabila pemberian atau menjanjikan sesuatu tersebut diterima oleh pegawai

yang bersangkutan, sedangkan suap sudah terjadi walaupun pemberian atau

kesanggupan memenuhi janji tersebut ditolak oleh pegawai yang bersangkutan

maka tindakan tersebut baru merupakan percobaan untuk menyuap. Kemudian

Pada Pasal 209 Ayat (2) KUHP tidak disebutkan mengenai kesanggupan pegawai

6

(43)

untuk memenuhi permintaan penyuap. Yang disebutkan adalah pemberian kepada

pegawai yang bersangkutan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan

kewajibannya. Jadi pegawai yang menyatakan kesanggupan, tidak dikenai

hukuman.

Harusnya pegawai yang melakukan kesanggupan juga layak dihukum walaupun

lebih ringan dari yang memberi suap.7 Oleh sebab itu, untuk menjerat pelaku suap

atau penerima suap agar dapat dimasukkan sebagai subyek tindak pidana korupsi,

maka makna suap pun diperluas bahwa delik suap tidaklah selalu terikat persepsi

telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian

janji saja adalah tetap objek perbuatan suap.

Penerima suap harus membuktikan bahwa pemberian tersebut bukanlah suap,

hadiah yang diberikan haruslah tidak ada kaitannya dengan jabatan yang

disandangnya. Lalu dalam rumusan gratifikasi sebagaimana penjelasan Pasal 12 B

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi dan

penjelasan Pasal 12 B Ayat (1), bahwa tidak dapat dipersalahkan dan

dipertanggungjawabkan dengan cara menjatuhkan pidana pada pemberi suap

gratifikasi.

Mengingat luasnya definisi ini, maka kemungkinan terjadi tumpang tindih dengan

pengertian suap pasif pada Pasal 5 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (2), dan Pasal 12 huruf

a, b, dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana

Korupsi. Dalam hal ini menyangkut tuntutan pidana yang ditimpakannya dapat

diatasi lewat Pasal 63 Ayat (1) KUHP mengenai perbarengan peraturan.

7

(44)

Lebih lanjut Seno Adji mengatakan bahwa penempatan status sebagai subyek ini

tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut, oleh karena itu aturan tentang

delik suap tidak memberikan norma pengecualian terhadap saksi dan pelapor yang

bersifat sebagai subyek korupsi yang wajib dilindungi.8 Oleh sebab itu saya

sependapat dengan Seno Adji bahwa pelaku dan penerima suap merupakan

subyek korupsi yang sama-sama tidak ada perbedaan dalam perlakuan penyidikan

tindak pidana korupsi.

C. Pengertian Whistle Blowers Sebagai Pengungkap Fakta

Bertolak pada pendapat Quentin Dempster, pengertian Whistle Blowers adalah

orang yang mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya

malpraktik, atau korupsi Mardjono Reksodiputro mengartikan Whistle Blowers

adalah pembocor rahasia atau pengadu. Ibarat sempritan wasit (peniup pluit), Prof

Mardjono mengharapkan kejahatan dan pelanggaran hukum yang terjadi berhenti

dengan cara mengundang perhatian publik. Sementara informasi yang dibocorkan

berupa informasi yang bersifat rahasia di kalangan lingkungan informasi itu

berada. Baik tempat dan informasi berada maupun jenis informasi

bermacam-macam.9

Informasi tersebut dapat saja merupakan kegiatan-kegiatan yang bersifat tidak

sah, melawan hukum, atau melanggar moral. Menurut sudut pandang Hasdianto,

Whistle Blower merupakan istilah bagi karywan, mantan karyawan, atau pekerja

anggota suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang

dianggap melawan ketentuan kepada pihak yang berwenang. Ketentuan yang

8

Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, hlm 499

9

Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Whistle Blowers dan Penyadapan

(Wiretapping, Electronic Interception) dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia, Wacana

(45)

dilanggar merupakan ancaman bagi kepentingan publik. Contoh Whistle Blower

misalnya orang yang melaporkan perbuatan yang diduga tindak pidana korupsi

kepada lingkungan publik di lingkungan ia bekerja.10 Sementara itu Asep

Triwahyudi memaknai Whistle Blower sebagai tindakan seorang pekerja yang

memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal, dan kekuasaan

eksternal tentang hal-hal yang illegal yang terjadi di lengkungan kerja.11

Bahwa sering terungkap di media massa adalah informasi kegiatan dalam

organisasi publik seperti pengadilan kejaksaan, kepolisian, dan kantor pemerintah.

Seringkali kegiatan yang dibocorkan berupa kegiatan pemerintah yang dapat saja

dikategorikan sebagai rahasia negara. Pertanyaannya, apakah pembocor rahasia

semacam ini patut dilindungi. Bagaimana kalau rahasia negara tersebut dianggap

melanggar moral publik (political whistle blower). Yang dimaksud political

whistle adalah mereka yang melakukan pembocoran dokumen-dokumen

negara/pemerintah yang diklasifikasikan rahasia untuk melindungi kemanan

negara.

Motivasi dan tujuan pembocor rahasia semacam ini mungkin juga bersifat juga

lebih bersifat altruistis (motivasi yang patut dihormati) daripada motivasi

kriminalis (motivasi yang tidak patut dihormati), karena semata-mata untuk

kepentingan dan kemaslahatan perlindungan masyarakat dari tindakan-tindakan

pemerintah yang patut dipertanyakan oleh masyarakat. Contoh political whistle

blower yang pernajh terjadi di luar negeri adalah informasi rahasia perang

Vietman (The Pentagon Papers 1971) dan tentang kegiatan Central Intelegent

10

Surya Jaya, Perlindungan Justice Collaborator dalam sistem Pengadilan

11

(46)

Agency (CIA) di Amerika Selatan 1975 oleh suami istri ahli nuklir kepada Uni

Soviet (Rosenberg 1950-an) dengan alasan moral anti perang.

Pembocor rahasia pun ada yang terkait dengan kegiatan organisasi bisnis swasta,

baik mengungkapkan kegiatan yang sah maupun kegiatan yang tidak sah.

Pembocor rahasia kegitan bisnis yang disebut bussines intellegence memiliki

berbagai motivasi. Dalam wilyah bisnis yang sah, seorang bussines intellegence

adalah orang yang menjual informasi untuk kepentingan dan keuntungan pribadi

semata, jadi, disini, motivasi pembocor adalah motivasi kriminal berupa pencurian

rahasia dagang.

Sementara itu seorang business intelligence di wilayah kegiatan bisnis yang tidak

sah memiliki motivasi altruistis (motivasi yang patut dihormati) karena maksud

dan tujuan si pembocor rahasia didorong oleh tujuan mulia untuk memproteksi

masyarakat dari kejahatan pengguna kimia yang merugikan masyarakat.12 Adapun

yang dimaksud dengan organisasi kriminal meliputi kegiatan-kegiatan seperti

sindikat narkotika, teroris, dan korupsi.

Pembocor rahasia dari organisasi kriminal lebih bersifat altruistis, meskipun juga

mungkin berupa pencurian rahasia dagang yang diberikan kepada pesaingnya.

Perkembangan modus salah satu kejahatan, yakni korupsi akhir-akhir ini

menunjukan skala meluas dan semakin canggih dampak yang ditimbulkan oleh

prilaku korupsi demikian mengguncang moralitas norma dan praktek peradilan.

Kategori extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bagi tindak pidana korupsi

jelas membutuhkan extra ordinary measures/ extra ordinary enforcement

(penanganan yang luar biasa).

12

Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator, Dalam Perspektif Hukum,

(47)

Dari sekian jenis organisasi yang disebutkan di atas, pembocor rahasia yang

terjadi dalam organisasi kriminal resiko jauh lebih besar. Oleh karenanya

perlindungan hukum sangat diperlukan bagi pembocor rahasia terhadap kegiatan

yang melawan hukum.13

Pembocor rahasia dan peniup pluit yang mau bekerjas-sama dengan aparatur

hukum merupakan partisipant whistle blower atau justice collaborator. Si

pembocor rahasia adalah orang dalam di dalam organisasi tersebut, sehingga

dapat saja terlibat atau tidak terlibat dalam kegiatan yang dibocorkan itu.

Secara essensial kehadiran whistle blowers dan justice collaborator ditunjukan

terhadap kejahatan yang sangat serius yang perlu mendapatkan penanganan

segera. Yang dilakukan oleh whistle blowers dan justice collaborator biasanya

untuk menarik perhatian publik.14

Dengan adanya perhatian publik yang dimaksud agar publik menyadari tingkat

bahaya dari kejahatan yang dibocorkan sehingga kejahatan atau pelanggaran

tersebut dapat dihentikan. Dalam banyak kasus sering kali seseorang yang

mengetahui terjadinya suatu pelanggaran atau kejahatan enggan mengungkapkan

apa yang diketahui, dialami, atau disaksikan sendiri, oleh karena itu whistle

blowers dan justice collaborator jelas memerlukan pengaturan yang memadai

mengingat perannya begitu strategis dalam mengungkap tindak pidana tertentu,

sebab bertolak pada pendapat Quentin dengan mengaitkan pada realitas

empirisnya ternyata menimbulkan problematika yang kompleks.15 Istilah Justice

Collaborator merupakan istilah baru dalam hukum Acara Pidana Indonesia.

13

Ibid, Firman Wijaya, hlm 10

14

Ibid, hlm 10

15

(48)

Namun di Indonesia terdapat istilah “saksi mahkota atau Crown Witness, yakni

salah satu pelaku tindak pidana ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap

pelaku-pelaku yang lain dengan iming-iming pengurangan ancaman hukuman.

Sistem ini sudah lama diterapkan di negara Eropa Kontinental seperti di Belanda,

Prancis, dan Italia dengan menggunakan konsep protection of cooperating person,

sedangkan di negara-negara Anglo Saxon, memiliki asas plea bargaining yang

pada intinya sama dengan konsep protection of cooperating person.16

Konsep Justice Collaborator lebih banyak diusung oleh negara-negara Anglo

Saxon, khususnya Amerika dan negara-negara commonwealth (negara-negara

persemakmuran, bekas jajahan Inggris). Sekalipun demikian konsep Justice

Collaborator dan konsep protection of cooperating person merupakan dua hal

yang sangat berbeda. Si pengungkap fakta pada konsep Justice Collaborator sama

sekali tidak dipidana, sedangkan si pengungkap fakta pada konsep protection of

cooperating person tetap bisa dipidana namun mendapat keringanan.

Konsep protection of cooperating person lebih terkonsentrasi kepada pelaku yang

bekerjasama dengan penegak hukum (Justice Collaborator) dalam mengungkap

kerumitan kasus.17

Di Indonesia, Konsep Justice Collaborator tidak diatur secara tegas. Definisi pada

penjelasan Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) memang ada

kemiripan antara istilah Justice Collaborator dan “pelapor”; bahkan di dalam

wacana yang berkembang akhir-akhir ini konsep Justice Collaborator juga

dikaitkan dengan saksi yang berasal dari kelompok pelaku,

16

Ibid, hlm 11

17

Referensi

Dokumen terkait

Dalam melakukan optimisasi injeksi daya reaktif dan tegangan dengan fungsi objektif mencari nilai rugi daya aktif saluran transmisi yang minimum, variabel kontrol

Pembimbing I : Drs. Kamaruddin Tone, M.M. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang aksara lontara sehingga menyulitkan masyarakat dalam membaca naskah-naskah penting

Suatu perusahaan yang melaksanakan penerapan analisis jabatan dengan sangat baik akan memiliki kemampuan dalam menetapkan strategi sumber daya manusia yang tepat untuk

Tujuan IPPNU Adalah kesempurnaan kepribadian bagi pelajar putri Indonesia sehingga akan terbentuk pelajar putri Indonesia yang bertakwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak

penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar antara subyek yang mengalami anemia dengan subyek yang tidak mengalami anemia (p>0.05), baik pada

Untuk itu, peran pendidikan tinggi terutama pendidikan bahasa Inggris sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat agar masyarkat dapat berkomunikasi aktif dengan bahasa

Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru merupakan karya tari yang menggunakan sumber materi dramatik fakta sejarah pertempuran 7 Oktober 1945 di Kotabaru,

Dalam proses menganalisis metode hisab perlu melihat data yang dipakai serta rumus dalam proses perhitungannya. Data yang dipakai dalam kitab Tibyanul Murid „Ala Ziijil Jadid