• Tidak ada hasil yang ditemukan

Processing design at robusta coffee agroindustry using modified wet process technology based on cleaner production

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Processing design at robusta coffee agroindustry using modified wet process technology based on cleaner production"

Copied!
624
0
0

Teks penuh

(1)

DESAIN PROSES PENGOLAHAN PADA

AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA MENGGUNAKAN

MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH

BERBASIS PRODUKSI BERSIH

ELIDA NOVITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Proses Pengolahan Pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2012

Elida Novita

(4)

Modified Wet Process Technology Based on Cleaner Production. Under direction of RIZAL SYARIEF, ERLIZA NOOR, and RUBIYO.

Coffee in Indonesia included 5 main crops commodities, and 10 main export commodities. Since 2008, Indonesia is the third exporter countries after Brazil, and Vietnam. Coffee has been shown to have definitely beneficial for Indonesian farmer as source of income, and contributes for regional development, so its sustainability should be maintained. One of constraints faced by farmers is low quality of coffee beans due to post-harvest handling. Most coffee producer in Indonesia is smallholder Robusta coffee which used to dry process for coffee berry. Application of wet process is more sophisticated than the dry process, but leads to better quality coffee bean, though need high input of water, and produce wastewater that can pollute the environment. It should be designed coffee processing based on clean production to minimize, and prevent the wastewater generated from processing. Development of processing technologies based on cleaner production is a part of sustainability development strategies on smallholder coffee agroindustry. Therefore, the main objective of this research is to design sustainability of smallholder coffee processing using wet technology that has quality oriented to improve farmer productivity, and incomes without dismissing social, and environmental interests. In particular, the general objective is achieved through several phases with their aims as follows; (1) to formulate coffee agroindustry sustainability framework based on economic, environmental, social, and institutional indicators, (2) to determine the sustainability status of smallholder coffee agroindustry, (3) to modify wet technology on Robusta coffee processing by water minimizing, (4) to design of waste treatment system on smallholder coffee agroindustry, (5) to formulate the structure of smallholder coffee agroindustry development which based on cleaner production. Research is conducted through several stages in the research field of coffee plantation area (Sidomulyo village, Jember Regency), laboratories (Jember University, and AWMC, The University of Queensland), and pilot plant unit (Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute). Sustainability analysis showed the value of sustainability is 58,94% (sustainable enough) with 10 main leverage factors. Modified wet technology through water minimization can reach optimum levels at

2,987 – 3,345 m3/tonne of coffee berry. Within this volume, the quality of green

coffee could be maintained, and wastewater minimized until 67% compared to conventional wet processing. Waste treatment designed of coffee processing have been done through reduce, reuse, and recycle (3R) to obtain the economic value of by-products. Economic analysis showed smallholder coffee agroindustry which applied modified wet technology based on cleaner production has higher feasibility, and flexibility compared with the dry processing mainly deal with fluctuation of world coffee prices. Development of smallholder Robusta coffee can be performed based on the structures of needs, constraints, required changes, goals, and indicators obtained through the ISM simulation.

(5)

Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, ERLIZA NOOR, dan RUBIYO.

Kopi termasuk 10 komoditas ekspor utama Indonesia, dan 5 komoditas perkebunan utama yang peranannya cukup penting terhadap perekonomian nasional. Sekitar 96% produksi kopi Indonesia berasal dari perkebunan rakyat dengan jumlah keluarga petani yang terlibat sebanyak 1,9 juta. Sebagai salah satu dari 5 besar negara produsen kopi di dunia, terutama kopi Robusta, Indonesia ternyata masih menghadapi berbagai macam kendala yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pertanian kopi. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kendala pasca panen yang mempengaruhi mutu kopi terutama di tingkat petani. Rendahnya mutu kopi Robusta yang dihasilkan petani umumnya disebabkan upaya pengolahan pasca panen yang masih menghasilkan kopi asalan.

Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu kopi adalah penerapan pengolahan basah. Pada pengolahan basah, buah kopi akan melalui proses sortasi dan fermentasi yang dipercaya dapat meningkatkan cita rasa. Akan tetapi pengolahan basah membutuhkan input dan menghasilkan keluaran limbah cair yang besar sehingga menimbulkan dampak lingkungan.

Untuk meminimalkan dan mencegah limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan basah, perlu dirancang suatu proses pengolahan yang berbasis produksi bersih. Pengembangan teknologi pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih adalah bagian dari strategi pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat secara berkelanjutan. Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini adalah mendesain proses pengolahan kopi Robusta menggunakan teknologi olah basah yang berorientasi mutu secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani tanpa mengabaikan kepentingan sosial dan lingkungan. Penelitian dilakukan secara bertahap dengan tujuan masing-masing tahap penelitian adalah : (1) menyusun kerangka penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat berdasarkan indikator ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan, (2) menentukan status keberlanjutan agroindustri kopi rakyat, (3) melakukan modifikasi teknologi pengolahan kopi Robusta menggunakan teknologi olah basah melalui upaya meminimalkan air, (4) mendesain sistem penanganan limbah proses pengolahan kopi rakyat, (5) merumuskan struktur pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat berbasis produksi bersih.

Penelitian dilaksanakan melalui studi literatur, penelitian lapangan,

penelitian skala laboratorium, dan pilot plan untuk mendapatkan data sekunder,

dan primer. Metode pengumpulan data untuk penyusunan kerangka keberlanjutan, penilaian status keberlanjutan, dan strukturisasi pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuisioner, dan survey lapangan. Penilaian keberlanjutan menggunakan metode

multidimensional scaling (MDS) dalam software Rap-Coffee hasil modifikasi Rapfish. Strukturisasi elemen pengembangan agroindustri kopi dilakukan

menggunakan software ISM (Interpretative Structural Modelling). Metode

(6)

dilakukan untuk menentukan titik sumber limbah, volume air, dan jenis bahan bakar yang terbaik dalam konsep produksi bersih. Analisis mutu fisik, dan cita rasa kopi dibutuhkan untuk menentukan rentang optimum penggunaan air yang dapat diterapkan pada pengolahan kopi. Karakterisasi limbah cair, dan limbah padat yang dihasilkan dari proses pengolahan membantu menentukan jenis, dan tahapan penanganan limbah yang dapat diaplikasikan pada agroindustri kopi rakyat. Untuk mengetahui kelayakan penerapan modifikasi teknologi olah basah dilakukan analisis kelayakan lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Hasil penelitian menunjukkan kerangka keberlanjutan agroindustri dibutuhkan untuk melakukan penilaian terhadap keberadaan agroindustri kopi Robusta rakyat terutama dalam menghadapi perkembangan isu lingkungan, dan sosial. Kerangka umum keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dalam penelitian ini dibangun berdasarkan dimensi ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan. Simulasi Rap-Coffee untuk mengetahui nilai keberlanjutan agroindustri kopi rakyat saat ini di KUPK Sidomulyo, Jember menunjukkan nilai cukup berlanjut (58,94%). Berdasarkan analisis faktor pengaruh dalam Rap-Coffee, terdapat 6 faktor dimensi ekonomi, 1 faktor dimensi lingkungan, 2 faktor dimensi sosial, dan 1 faktor dimensi kelembagaan yang menentukan tingkat keberlanjutan. Kualitas atau mutu produk sebagai bagian dari faktor pengaruh dimensi ekonomi harus ditingkatkan karena menentukan kontinuitas ekspor kopi Indonesia sebagai salah satu produsen kopi dunia.

Peningkatan mutu kopi rakyat dapat dilakukan melalui penerapan pengolahan basah meskipun menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Penerapan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih melalui minimisasi air proses hingga 67% mampu mempertahankan mutu kopi secara fisik, dan cita rasa jika dibandingkan pengolahan basah konvensional sekaligus meminimalkan volume air limbah yang dihasilkan. Volume total air

proses minimum dapat dilakukan pada rentang 2,987 – 3,345 m3/ton buah kopi

dengan volume air pengupasan 0,731 – 0,784 m3 , dan volume air pencucian

2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi. Konsep produksi bersih juga dapat diterapkan

melalui pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar mesin-mesin pengolahan kopi.

Pemanfaatan biodiesel dengan rasio 8 : 2 untuk solar, dan residu CPO (crude palm

oil) yang dilakukan mampu menurunkan emisi CO2 hingga 40%.

Aplikasi teknologi olah basah dengan minimisasi air harus terintegrasi dengan sistem penanganan limbah karena tingginya konsentrasi bahan organik yang dihasilkan. Penanganan limbah cair, dan limbah padat dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomis dari produk samping. Sistem penanganan limbah cair proses pengolahan kopi dilakukan melalui tahapan pengolahan primer anaerobik, pengolahan sekunder koagulasi flokulasi, dan pengolahan tersier adsorpsi-filtrasi. Pengolahan primer limbah cair pengolahan kopi menggunakan digester anaerobik mampu menghasilkan biogas dengan konsentrasi gas metan

hingga 60% (teoritis 70%) dengan tingkat produksi 38,7 m3/hari. Nilai ini lebih

tinggi daripada pemanfaatan limbah kotoran ternak yang mencapai 16 – 18

m3/hari. Pengolahan tersier pada tahapan penanganan limbah cair dapat

(7)

Hasil analisis kelayakan ekonomi berdasarkan parameter NPV, IRR, B/C dan PBP menunjukkan bahwa agroindustri kopi rakyat yang menerapkan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih memiliki nilai kelayakan ekonomi lebih besar dibandingkan pengolahan kering yang selama ini dilakukan petani. Pada perhitungan umur industri selama 10 tahun, NPV yang dapat dicapai sebesar Rp. 1.131.058.923, IRR sebesar 51,94%, B/C sebesar 3,88, dan masa pengembalian modal adalah 1,8 tahun. Analisis sensitivitas terhadap penurunan harga biji kopi hingga 10% menunjukkan kemampuan agroindustri yang menerapkan pengolahan basah berbasis produksi bersih lebih tinggi menghadapi fluktuasi harga kopi dunia.

Strukturisasi pengembangan agroindustri kopi rakyat di KUPK Sidomulyo dapat dilakukan melalui pencapaian elemen-elemen kunci dalam penentuan kebutuhan, kendala pengembangan, perubahan yang diinginkan, tujuan yang ingin dicapai, dan indikator pengembangan yang terjadi. Hasil analisis ISM menghasilkan kebutuhan pengembangan pasar, dan peningkatan pendapatan untuk mengatasi kendala keterbatasan akses pasar. Analisis ISM juga menghasilkan elemen kunci tujuan yang harus dicapai adalah pencapaian peningkatan kualitas bahan baku, dan produk, peningkatan nilai ekspor, dan adanya perbaikan kinerja kelembagaan. Elemen perubahan yang harus diupayakan adalah dengan melalui pengembangan pola pengolahan kopi rakyat yang berbasis kelompok, dan berorientasi bisnis serta perluasan pasar. Indikator kunci yang menunjukkan telah berhasilnya pengembangan agroindustri kopi rakyat adalah bila telah terpenuhinya kebutuhan mendasar dari para pekerja, dan petani dalam agroindustri kopi secara berkelanjutan.

(8)

©

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(9)

AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA MENGGUNAKAN

MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH

BERBASIS PRODUKSI BERSIH

ELIDA NOVITA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi

Pada Ujian Tertutup: Senin, 14 Mei 2012 pukul 14.00 WIB

1. Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S.

2. Dr. Ir. S. Joni Munarso, M.S.

Pada Ujian Terbuka: Rabu, 30 Mei 2012 pukul 13.00 WIB

1. Dr. Ir. Ade Wachyar, M.S.

(11)

Nama : Elida Novita

NRP : P062070171

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Ketua

Prof. Dr. Ir. Erliza Noor Dr. Ir. Rubiyo, M.Si.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(12)

karunia, dan ridho-Nya, sehingga penyusunan, dan penulisan disertasi ini dapat

diselesaikan. Rangkaian tahapan penelitian dengan judul “Desain Proses Pengolahan pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi

Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih” telah dilaksanakan mulai

bulan Juli 2009 hingga September 2011.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS., Prof. Dr. Ir. Erliza Noor, Dr. Ir. Rubiyo, M.Si, dan Dr. Ir. Sri Mulato, M.S., APU, atas perhatian, kepercayaan, kesabaran, bimbingan, arahan, wawasan ilmu yang

diberikan, kritik, saran, serta waktu yang disediakan selama penulisan proposal,

pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi ini. Penghargaan dan ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo dan Dr. Ir. S. Joni Munarso, M.S yang telah memberikan waktunya, saran, dan perbaikan membangun pada disertasi ini sebagai penguji pada ujian tertutup. Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ade Wachyar, M.S. dan Dr. Siswoyo Soekarno, S.T.P, M.Eng sebagai penguji pada ujian terbuka atas saran-sarannya untuk kesempurnaan disertasi ini.

Penghargaan , dan ucapan terima kasih yang besar juga disampaikan kepada

Ketua Program Studi PSL periode 2007 – 2010, Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo,

M.S., Ketua Pelaksana Harian periode tahun 2010, Dr.drh. Hasim, dan Ketua Program Studi PSL periode 2011 hingga saat ini, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ketua Jurusan Teknik Pertanian , dan Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, Rektor Universitas Jember, dan Direktur Eksekutif I-MHERE Project Universitas Jember yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan pada

jenjang S3 di IPB melalui beasiswa domestic degree training I-MHERE Project.

Demikian pula ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program Sandwich-Like selama 3,5 bulan di The University of Queensland, Queensland, Australia tahun 2009-2010 dan mendapatkan bantuan dana penelitian melalui Hibah Disertasi Doktor tahun 2011.

(13)

Dr. Evita Soliha Hani, Dr. Pujiyanto, Dr. Jani Januar, Ir. Djoko Soejono, MP, Luh Putu Suciati, SP, M.Si., Dr. Demitria Dewi yang telah banyak memberikan bantuan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis selama

penelitian. Greatly grateful and appreciation for Prof. Dr. Ricardo Bello

Mendoza, Dr. Gatut Sudarjanto, Dr. Wolfgang Gernjak, Dr.Krisantini, Arseto

Bagastyo, S.T, M.Sc for their assistance and amazing discussion selama

menjalankan penelitian sebagai bagian dari kegiatan sandwich-like di Advance

Water Management Centre, The University of Queensland, Australia.

Penghargaan yang tulus atas kerja samanya kepada rekan-rekan peneliti, mahasiswa dan teknisi yang membantu selama penelitian, Mustapit, S.P., M.Si, Sudarko, S.P, M.Si, Ir. Suryanto, M.P., Abdul Mukhlis Ritonga, S.T.P., M.Sc, Ahmad Cholid, S.T.P., Yunanti, S.T.P., Putri Framitasari, S.T.P., Anwar Suhadi, S.T.P., dan Suhardi S.T.

Penghormatan dan ucapan terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus dari ayahanda Masril Ridwan (alm), ibunda Astikanah Tries Prayoganingsih, suami Heri Supriyanto dan putra-putriku tercinta, Daffa Hilmy Novriyanto dan Tsanya Hutari Balqis Zayyanti (Nina). Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), khususnya angkatan 2007 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh karyawan Program Studi PSL (Mas Subur, Mbak Ririn, Mbak Suli, Mbak Erlin dan Mas Kris) yang telah banyak memberikan bantuan selama menempuh pendidikan doktor di PSL.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012

(14)

Nopember 1973 sebagai anak satu-satunya dari pasangan Masril Ridwan dan Astikanah Tries Prayoganingsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIN), Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 1997. Pada tahun 1997, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke Program Studi Teknik dan Manajemen Sumberdaya Air Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui beasiswa Karyasiswa DUE-Project dengan ikatan dinas di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Program Magister Teknik ITS diselesaikan awal tahun 2000. Pada tahun 2007, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan (PSL) melalui beasiswa pendidikan dalam negeri (domestic

degree training) I-MHERE Project Universitas Jember.

Penulis saat ini bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember sejak tahun 1998 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh terutama berada dalam lingkup Laboratorium Teknik Pengendalian dan Konservasi Lingkungan (TPKL) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Beberapa mata kuliah yang diasuh adalah Teknik Pengendalian Sumberdaya Air, Pengantar Ilmu Lingkungan, Manajemen Kualitas Air, Mekanika Fluida, Ekonomi Teknik, dan Riset Operasional.

Artikel ilmiah penulis sebagai bagian dari disertasi yang telah diterbitkan adalah sebagai berikut:

1. Analisis Neraca Massa Pada Rancangan Minimalisasi Air Proses Pengolahan Biji Kopi dalam Agro Techno Vol.1 No. 8 Juli-Desember 2009 ISSN 1829-6149.

2. Peningkatan Mutu Biji Kopi Rakyat dengan Pengolahan Semi Basah Berbasis Produksi Bersih diterbitkan dalam Jurnal Agroteknologi Vol.4, No.1, Januari 2010 ISSN 1978-1555.

3. Smallholder Coffee Processing Design Using Wet Technology Based On Clean Production diterbitkan dalam Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation Vol.7 No. 2, June 2012 ISSN 0126-2807.

4. Biodegradability Simulation of Coffee Wastewater Using Instant Coffee telah diterima dan akan diterbitkan dalam jurnal BIOTROPIA Vol. 19 No. 1 June 2012 ISSN 0215-2334.

5. Sustainability Analysis of Smallholder Coffee Agroindustry disampaikan

secara oral dalam 1st International Conference on Energy, Environment and

(15)

11 2.1. Pertanian Kopi

Menurut Najiyati dan Danarti (2006), kopi adalah spesies tanaman tahunan

berbentuk pohon. Di dunia perdagangan, dikenal beberapa golongan kopi, tetapi

yang paling sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika.

Secara lengkap, klasifikasi botani kopi adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi: Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Coffea

Spesies : coffea sp.

Pada umumnya tanaman kopi berbunga setelah berumur sekitar dua tahun.

Bila bunga sudah dewasa, terjadi penyerbukan dengan pembukaan kelopak dan

mahkota yang akan berkembang menjadi buah. Kulit buah yang berwarna hijau

akan menguning dan menjadi merah tua seiring dengan pertumbuhannya. Waktu

yang diperlukan dari bunga menjadi buah matang sekitar 6-11 bulan, tergantung

jenis dan lingkungan. Kopi Arabika membutuhkan waktu 6-8 bulan, sedangkan

kopi Robusta 8-11 bulan. Bunga umumnya mekar awal musim kemarau dan buah

siap dipetik di akhir musim kemarau. Di awal musim hujan, cabang primer akan

memanjang dan membentuk daun-daun baru yang siap mengeluarkan bunga pada

awal musim kemarau mendatang (Najiyati dan Danarti 2006). Jika dibandingkan

dengan kopi Arabika, pohon kopi Robusta lebih rendah dengan ketinggian sekitar

1,98 hingga 4,88 meter saat tumbuh liar di kawasan hutan. Pada saat

dibudidayakan melalui pemangkasan, tingginya sekitar 1,98 hingga 2,44 meter

(Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).

Buah kopi terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah terdiri dari tiga

lapisan yaitu lapisan kulit luar (exocarp), daging buah (mesocarp), dan kulit

tanduk (endocarp) yang tipis, tetapi keras. Kulit luar terdiri dari satu lapisan tipis.

(16)

menjadi hijau kuning, kuning, dan akhirnya menjadi merah, merah hitam jika

buah tersebut sudah masak sekali. Daging buah yang sudah masak akan berlendir

dan rasanya agak manis. Biji terdiri dari kulit biji dan lembaga (Ciptadi dan

Nasution 1985; Najiyati dan Danarti 2006). Kulit biji atau endocarp yang keras

biasa disebut kulit tanduk. Lembaga (endosperma) merupakan bagian yang

dimanfaatkan untuk membuat minuman kopi (Gambar 4.)

Gambar 3 Bunga kopi (a) dan tahap awal perkembangan buah (b)

(Sumber: Najiyati dan Danarti 2006)

Gambar 4 Bagian-bagian buah kopi Gambar 5 Kopi Robusta

(Sumber: Najiyati dan Danarti 2006)

Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), buah kopi umumnya mengandung 2

butir biji, tetapi kadang-kadang hanya mengandung satu butir saja. Biji kopi ini

disebut biji kopi lanang/kopi jantan/kopi bulat. Buah kopi yang sudah masak

pada umumnya akan berwarna kuning kemerahan sampai merah tua. Tetapi ada

juga yang belum cukup tua tetapi telah terlihat berwarna kuning kemerahan pucat

yaitu kopi yang terserang hama bubuk buah kopi. Buah kopi yang terserang hama

bubuk ini mengering di tangkai atau luruh ke tanah. Buah kopi yang kering

(17)

tersebut dipetik dan yang luruh di tanah dipungut secara terpisah dari buah masak

yang dinamakan pungutan ”lelesan”. Pada akhir masa panen dikenal rampasan

atau racutan yaitu memetik semua buah yang tertinggal di pohon sampai habis,

termasuk yang masih muda. Petikan rampasan ini dimaksudkan guna memutus

siklus hidup hama bubuk buah. Pemetikan buah kopi dilakukan secara manual

(Ciptadi dan Nasution 1985; Najiyati dan Danarti 2006).

Di dunia perdagangan dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling

sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika. Kopi Robusta

bukan nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari beberapa spesies

kopi terutama Coffea canephora. Kopi Robusta berasal dari hutan-hutan

khatulistiwa di Afrika, yang membentang dari Uganda hingga Sudan Selatan,

bahkan sampai Abyssinia Barat sepanjang curah hujan mencukupi. Kopi ini

masuk ke Indonesia pada tahun 1900 dan saat ini termasuk jenis yang

mendominasi perkebunan kopi di Indonesia (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).

Di beberapa negara Afrika dan Asia, kopi menjadi sumber pendapatan

utama dalam pertanian subsisten untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti

kesehatan, pendidikan dll. Petani di negara-negara tersebut tergantung hampir

sepenuhnya pada kopi. Di awal abad 21, pada saat harga kopi dunia menurun,

pernah terjadi kelaparan di beberapa daerah penghasil kopi di negara Nicaragua

dan Guatemala. Ditinjau dari sisi sosial ekonomi, kopi juga telah membentuk

aktivitas-aktivitas pengolahan, jasa, dan tradisi yang berkaitan secara historis

terhadap terbentuknya kelas kapitalis dan institusi sosial lainnya.

Kopi merupakan sumber pendapatan untuk lebih 125 juta masyarakat di 52

negara berkembang. Sekitar 25 juta orang yang sebagian besar adalah usaha kecil

menengah menanam kopi pada 11,8 juta ha lahan, menghasilkan 6,6 juta ton kopi

per tahun. Seperempat kopi yang ditanam dikonsumsi di negara asal dan tiga

perempatnya diperdagangkan secara global. Kopi merupakan komoditas ke-2

terbesar yang diperdagangkan di dunia setelah minyak (Pelupessy 2003). Buah

kopi dipetik kemudian diubah menjadi biji kopi yang siap diekspor dalam rantai

perdagangan global. Biji kopi diolah menjadi kopi bubuk, dikemas, dan dijual

(18)

Tabel 1 Total produksi tahunan negara eksportir kopi beras

Negara Volume ekspor (x 1000 bags)

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Produsen kopi utama dunia adalah Brazil. Vietnam yang merupakan

pendatang baru menjadi pesaing utama Indonesia karena memproduksi kopi yang

sejenis. Pada saat ini perkebunan kopi Indonesia kalah bersaing dengan

perkebunan kopi Vietnam karena perkebunan kopi Indonesia umumnya sudah

berumur tua dan produktivitasnya rendah (Herman 2008). Seiring penurunan

ekspor biji kopi dari Colombia, posisi Indonesia saat ini naik menjadi nomor 3

sejak tahun 2008.

Komoditas kopi memegang peranan penting dalam sejarah perekonomian

Indonesia sejak periode kolonial Belanda. Berjangkitnya penyakit tanaman kopi

antara tahun 1910-1914 menyebabkan penurunan produksi kopi secara drastis dan

mulai diperkenalkannya varietas kopi Robusta yang lebih tahan penyakit di Jawa.

Kopi Robusta segera menyebar ke daerah lain di luar Jawa khususnya Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, Lampung, dan Aceh. Pertumbuhan kopi Robusta

melampaui produksi kopi Arabika pada tahun 1935-1940. Masa suram produksi

kopi terjadi pada masa Perang Dunia II (PD II) ketika Indonesia dijajah Jepang

hingga masa setelah proklamasi. Perkebunan kopi yang tidak terawat dengan baik

menyebabkan merosotnya produk kopi yang berada di bawah perkebunan besar.

Di sisi lain, areal dan produk kopi rakyat cenderung meningkat. Pada tahun 1955,

luas areal tanaman kopi rakyat mencapai 148.000 ha, sedangkan luas areal

perkebunan besar kopi mencapai 47.100 ha. Produksi kopi rakyat pada saat yang

sama mencapai 47.300 ton, sedangkan produksi kopi perkebunan besar mencapai

(19)

Sejak orde baru, terjadi pergeseran struktur industri kopi yang semula

didominasi oleh perkebunan besar di masa kolonial Belanda menuju struktur

industri yang didominasi perkebunan kopi rakyat. Pada tahun 1940, perbandingan

antara perkebunan besar dan rakyat adalah 19:1. Pada tahun 1988, perbandingan

tersebut berubah menjadi 1:19 yang terutama didominasi perkebunan rakyat di

luar Pulau Jawa. Pergeseran dominasi ini memberikan kontribusi dalam daya

adaptasi perkebunan kopi terhadap situasi harga kopi yang cenderung fluktuatif di

pasar internasional. Pada saat harga di pasar internasional turun, perkebunan

besar cenderung menurunkan jumlah kopi yang dipetik dan mengurangi lahan

usaha. Sebaliknya, petani kopi melakukan penanaman tumpang sari yang

menjamin stabilitas pendapatan petani dan meningkatkan jumlah kopi yang

dipetik untuk dapat mempertahankan derajat kehidupan subsistensi. Pada saat

harga jatuh, petani berusaha di luar sektor kopi yang pada saat harga kopi tinggi,

usaha tersebut ditinggalkan.

Perubahan struktur dari dominasi perkebunan besar ke dominasi perkebunan

rakyat akan mempengaruhi karakteristik output yang dihasilkan. Menurut

Kasyrino (2002), beberapa perbedaan karakteristik output antara perkebunan besar

dan perkebunan rakyat adalah meliputi; (1) skala usaha, (2) teknologi yang

diterapkan, dan (3) tingkat interaksi yang diterapkan. Pada saat ini terdapat 3

kelompok produsen kopi di Indonesia, yaitu Perkebunan Besar Negara (PBN),

Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat. Perkebunan rakyat

mendominasi perkebunan kopi yang ada di Indonesia. Terdapat perbedaan

karakteristik antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Bagi perkebunan

besar, usaha tani kopi adalah suatu perusahaan, menerapkan prinsip-prinsip

perusahaan yang jelas. Sebaliknya, tanaman kopi bagi rakyat merupakan jaminan

kelangsungan hidupnya prinsip safety first merupakan pedoman utama bagi

petani. Adanya perbedaan tempat dan perilaku menimbulkan perbedaan dalam

produksi dan mutu kopi yang dihasilkan. Mutu kopi Indonesia terutama kopi

rakyat hingga saat ini masih menjadi masalah karena mutunya yang dinilai kurang

(20)

2.2. Pengembangan Kopi Rakyat Berbasis Agroindustri

Kopi telah memberikan keuntungan bagi petani kopi, tetapi belum dapat

menjamin untuk memenuhi keperluan rumah tangga petani. Karena dibandingkan

dengan para pelaku ekonomi dalam rantai usaha tani dan pemasaran kopi, petani

memiliki posisi paling lemah. Para pedagang dan eksportir memiliki peluang

untuk memperoleh keuntungan meskipun pada tingkat harga terendah. Petani

yang telah mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan tidak dapat menyesuaikan

dengan rendahnya harga kopi. Hal ini akan mempengaruhi pola pengelolaan kopi

pada tahap berikutnya yang selanjutnya berpengaruh terhadap mutu kopi yang

dihasilkan dan pendapatan petani (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).

Beberapa keterbatasan petani kopi dan industri pengolahan kopi rakyat skala

kecil adalah sebagai berikut:

1. Keseragaman dan kepastian ketersediaan produk yang rendah yang

menyebabkan rendahnya standar dan harga produk.

2. Keterbatasan akses terhadap pembiayaan.

3. Ketidakmampuan memenuhi volume yang dipersyaratkan pembeli komersial.

4. Umumnya tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan pembiayaan

operasional dari sumber-sumber formal.

5. Kesulitan untuk mengakses pasar terkait faktor logistik, ketidaktepatan, dan

rendahnya persiapan pengolahan kopi yang bermutu baik.

6. Mekanisme resiko yang terbatas meskipun bergerak dalam suatu kelompok

tani.

7. Kelompok tani cenderung berorientasi sosial, memiliki manajemen

pengelolaan yang rendah.

Pembangunan pertanian pada dasarnya adalah suatu upaya untuk

meningkatkan kualitas hidup petani, yang dicapai melalui strategi investasi dan

kebijaksanaan pengembangan profesionalitas dan produktivitas tenaga kerja

pertanian, pengembangan sarana, dan prasarana ekonomi, pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi disertai dengan penataan dan pengembangan

kelembagaan pedesaan (Kasryno 2002). Potensi pertanian memiliki potensi besar

dalam menghasilkan produk pertanian dan potensi kebutuhan potensial terhadap

(21)

Menurut Yusdja dan Iqbal (2002), agroindustri mempunyai peran yang

sangat besar dalam pembangunan pertanian di Indonesia terutama dalam rangka

transformasi struktur perekonomian dan dominasi sektor pertanian ke dominasi

sektor industri. Peran agroindustri adalah menciptakan nilai tambah hasil

pertanian di dalam negeri, penyediaan lapangan kerja khususnya dapat menarik

tenaga kerja sektor pertanian ke sektor agroindustri, meningkatkan penerimaan

devisa melalui ekspor hasil agroindustri, memperbaki pembagian pendapatan dan

menarik pembangunan sektor pertanian. Agroindustri dapat dipandang sebagai

langkah pertama menuju industrialisasi.

Agroindustri berasal dari 2 kata yaitu agricultural dan industry yang berarti

suatu industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya;

atau suatu industri yang menghasilkan suatu produk yang digunakan sebagai

sarana atau input dalam usaha pertanian. Austin (1981) diacu dalam Yusdja dan

Iqbal (2002), mengidentifikasikan agroindustri sebagai pengolahan bahan baku

yang bersumber dari tanaman atau binatang. Pengolahan yang dimaksud meliputi

pengolahan berupa proses transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik

atau kimiawi, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Ciri kegiatan agroindustri

adalah (i) meningkatkan nilai tambah, (ii) menghasilkan produk yang dapat

dipasarkan atau digunakan atau dimakan, (iii) meningkatkan daya simpan, dan

(iv) menambah pendapatan dan keuntungan produsen. Said dan Haritz (1998),

mendefinisikan agroindustri sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil

pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa

untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian agroindustri meliputi industri

pengolahan hasil pertanian, industri yang memproduksi peralatan dan mesin

pertanian, industri input pertanian, dan industri jasa sektor pertanian.

Menurut Saptana dan Sumaryanto (2002), di antara komoditas pertanian,

komoditas perkebunan mempunyai interdependensi yang sangat kuat dengan

industri pengolahan karena sebagian besar output sektor perkebunan digunakan

sebagai bahan baku industri pengolahan. Kelembagaan merupakan salah satu

aspek yang sangat strategis dalam pengembangan industri perkebunan.

(22)

pembangunan agroindustri adalah petani atau kelompok tani, koperasi petani,

pedagang, perusahaan lokal, perusahaan multinasional, dan BUMN.

Aspek lain yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan agroindustri

perkebunan adalah pemilihan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan

kualitas hasil perkebunan. Teknologi pengolahan yang dibutuhkan harus sesuai

dengan (i) kebutuhan pasar terutama menyangkut kualitas yang dipersyaratkan,

(ii) mempertimbangkan kompleksitas teknologi dan biaya yang dibutuhkan, (iii)

sesuai dengan kapasitas yang akan digunakan, dan (iv) sesuai dengan kapasitas

kemampuan manajemen.

Nilai tambah dari agroindustri perkebunan umumnya bersumber dari usaha

tani tanaman perkebunan dan pengolahan produk primer. Apabila teknologi yang

digunakan sederhana, maka kualitas produk perkebunan rakyat umumnya juga

beragam. Oleh karena itu peningkatan nilai tambah agroindustri perkebunan

sebaiknya dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan mutu hasil usahatani,

usaha pengolahan, dan sistem pemasarannya secara simultan.

Sebagai salah satu tanaman perkebunan yang memegang peranan penting

dalam perekonomian nasional, Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal

Perkebunan berusaha untuk tetap memperkuat peranan kopi, baik di luar negeri,

dan dalam negeri melalui upaya-upaya yang tertuang dalam Road Map

Komoditas Kopi 2005-2025

1. Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu tanaman kopi

2. Peningkatan ekspor dan nilai tambah kopi

3. Dukungan penyediaan pembiayaan

4. Pemberdayaan petani

Hasil Simposium Kopi tahun 2006 meletakkan landasan bagi

pengembangan agroindustri kopi rakyat dengan menitikberatkan pada

faktor-faktor berikut: (1) pengembangan komoditas kopi rakyat sebagai komoditas

potensial penghasil pendapatan petani, devisa negara, dan pelestarian lingkungan

melalui pengkajian aspek-aspek keunggulan komparatifnya, (2) penyempurnaan

teknologi pengolahannya termasuk yang berteknologi tinggi, (3) pemasyarakatan

(23)

program Prima Tani, dan (4) Revitalisasi Kopi. Program Revitalisasi Kopi yang

dapat diterapkan untuk mendukung agroindustri kopi rakyat meliputi

a. Perbaikan mutu hasil dan sistem pemasaran

b. Pembinaan penerapan teknologi olah basah di tingkat kelompok tani

c. Adopsi program pendampingan untuk meningkatkan produktivitas, mutu

hasil, harga jual, dan pendapatan para petani.

d. Diversifikasi, intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan

e. Perluasan segmentasi pasar kopi dengan upaya mengurangi hambatan antara

lain penerapan 4C (Common Code for Coffee Community).

f. Menerapkan inovasi teknologi pascapanen untuk pengolahan dan

pengembangan diversifikasi produk kopi skala UMKM.

g. Peningkatan permintaan produk-produk kopi yang dikaitkan dengan isu

keamanan pangan, lingkungan, kesejahteraan pekerja serta keberlanjutan,

perlu diantisipasi sejak dini oleh para pelaku agribisnis dan disosialisasikan

kepada para petani kopi.

h. Teknologi olah basah hemat air yang dihasilkan Puslitkoka perlu

dimanfaatkan dalam penerapan pengolahan kopi basah melalui sistem

kelompok tani untuk meningkatkan mutu kopi rakyat dan pendapatan petani

serta melestarikan sumber daya alam.

i. Penerapan model sistem usaha tani perkebunan kopi terintegrasi dengan

ternak, pemanfaatan limbah kebun dengan teknologi pengomposan,

penanganan susu kambing, dan perbaikan sistem budidaya.

Sebagai komoditas pertanian penting yang diperdagangkan di dunia, saat ini

usaha pertanian, agroindustri, dan pemasarannya dituntut untuk dilaksanakan

berdasarkan konsep berkelanjutan. Sertifikasi kopi merupakan salah satu langkah

untuk menjamin pelaksanaan pertanian kopi secara berkelanjutan. Beberapa

contoh sertifikasi kopi yang ada adalah Organic, Fairtrade, Rainforest Alliance

dan lainnya. Sejumlah klasifikasi telah ditetapkan untuk menilai kelayakan

keberlanjutan perkebunan kopi berdasarkan standar ekonomi, sosial dan

lingkungan. Standar ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan yang

dicetuskan oleh WCED tahun 1983 yang kemudian diadopsi di berbagai bidang

(24)

2.3 Konsep Pembangunan Berkelanjutan pada Agroindustri Kopi Rakyat

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat saat ini dengan memperhatikan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED 1987 diacu dalam

Munasinghe 1993). Konsep ini mencakup 3 perspektif utama yaitu ekonomi,

sosial dan lingkungan. Ekonomi mengarah pada peningkatan kesejahteraan

manusia, terutama peningkatan konsumsi barang dan jasa. Domain lingkungan

memfokuskan pada perlindungan dari integritas dan daya lenting sistem ekologis.

Domain sosial menekankan pada pengayaan hubungan antara manusia,

pencapaian aspirasi kelompok dan individu, serta memperkuat institusi dan

nilai-nilai sosial (Munasinghe 2010).

Equity intra generasi,

Pembangunan dalam kerangka keberlanjutan, digambarkan sebagai proses

untuk meningkatkan kesempatan yang memungkinkan manusia secara individu

dan komunitas untuk mencapai aspirasinya dan seluruh potensinya dalam periode

waktu yang mendukung, dengan menjaga daya lenting (resiliensi) dari sistem

ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan

peningkatan kapasitas adaptif dan kesempatan untuk memperbaiki sistem

ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam pembangunan berkelanjutan terjadi

proses perubahan yang didalamnya terdapat upaya eksploitasi sumber daya, arah

(25)

keadaan selaras serta berupaya meningkatkan potensi masa kini dan masa depan

untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Munasinghe 2010).

Keberlanjutan ekonomi mencari untuk memaksimumkan aliran pendapatan

yang dapat dibangkitkan dengan upaya sedikitnya dalam menjaga keberadaan aset

(kapital) yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan

lingkungan menitikberatkan pada kelangsungan hidup menyeluruh dan fungsi dari

sistem alami. Keberlanjutan sosial umumnya merujuk pada perbaikan keberadaan

manusia dan seluruh kesejahteraan sosial yang menghasilkan peningkatan dalam

kapital sosial. Sistem sosioekonomik-ekologis dapat menyusun sekaligus

menjaga tingkat keragaman yang menjamin daya lenting dari ekosistem dimana

konsumsi dan produksi manusia tergantung padanya (Munasinghe 2010).

Paradigma pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada

berbagai sektor maupun bidang, definisi keberlanjutan secara operasional

mempunyai berbagai dimensi yang luas (Glavic dan Lukman 2007). Meskipun

demikian, menurut Pulselli et al. (2008), konsep keberlanjutan masih

menunjukkan ketidakkonsistenan terkait pelaksanaan antara pemerintah dengan

swasta, terutama terkait dengan prioritas tujuan yang akan dicapai, aspek sosial

ekonomi, dan perbedaan pemahaman waktu antara siklus ekonomi dan politik.

Beberapa prinsip dan aturan telah dihasilkan untuk memudahkan

pelaksanaan konsep keberlanjutan. Sebagai contoh adalah Daly (1990) diacu

dalam Pulselli et al. (2008), menjelaskan beberapa prinsip dasar keberlanjutan adalah: (a) penggunaan sumber daya alam yang tidak boleh melebihi kemampuan

regenerasinya, (b) emisi yang dihasilkan dari proses produksi dan konsumsi tidak

boleh melebihi kemampuan absorpsi dan kapasitas regenerasi dari ekosistem, (c)

penggunaan sumber daya yang tidak terbaharukan haruslah melahirkan

kompensasi terhadap substitusi penggunaan sumberdaya terbarukan yang

mencukupi.

Daly (1992) diacu dalam Pulselli et al. (2008), mengajukan 3 kriteria untuk

melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu, (1)

aktivitas manusia yang dilakukan dalam skala keberlanjutan, (2) efisiensi alokasi

sumber daya, yang mencakup pula sumber daya ekologi yang langka secara

(26)

penilaian keberlanjutan yang telah dikembangkan. Menurut Singh et al. (2009), indikator dan indikator gabungan telah banyak digunakan sebagai alat untuk

pengambilan kebijakan dan menilai penampilan dari perkembangan lingkungan,

ekonomi, sosial, dan teknologi. Indikator ini dibangun dari nilai-nilai dan

pengetahuan yang dibentuk oleh manusia dan digunakan untuk memberikan

kesimpulan, pemusatan dan pertimbangan terhadap kompleksitas lingkungan yang

dinamis dapat memberikan sejumlah informasi yang bermakna.

Indikator dapat membantu menentukan keputusan terbaik dan paling efektif

dengan menyederhanakan, memperjelas, dan menggabungkan berbagai informasi

yang tersedia bagi pemegang kebijakan. Indikator juga dapat membantu

menghubungkan pengetahuan sosial dan fisik dapat digunakan untuk mengukur

dan mengkalibrasi perkembangan yang ada menuju tercapainya tujuan

pembangunan berkelanjutan. Indikator juga dapat berfungsi sebagai peringatan

awal untuk mencegah kemunduran dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Indikator juga merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk mengkomunikasikan

ide, pemikiran, dan nilai-nilai. Pemilihan terhadap indikator secara lebih luas

ditentukan oleh tujuan pembuatan indikator tersebut (United Nations 2007).

Penilaian keberlanjutan dalam sektor usaha ataupun industri telah

dipusatkan pada studi keberlanjutan proses pengolahan dalam industri. Menurut

Adams dan Ghaly (2007), penilaian keberlanjutan dalam industri spesifik

umumnya berdasarkan tiga pilar keberlanjutan yaitu lingkungan, ekonomi, dan

sosial. Menurut Reed (1997) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007),

keberlanjutan sistem lingkungan berarti: (a) kestabilan sumber daya yang menjadi

basis usaha industri, (b) mencegah usaha eksploitasi berlebihan terhadap sumber

daya yang dapat pulih, (c) pengurangan terhadap sumberdaya yang tidak dapat

pulih hanya apabila dapat dilakukan investasi untuk sumberdaya substitusi.

Labuschagne et al. (2005); Hall (2000) dan Pauli (1998) diacu dalam Adams

dan Ghaly (2007), menggariskan poin-poin keberlanjutan ekonomi meliputi

hal-hal sebagai berikut; (a) sistem ekonomi yang berkelanjutan harus mampu

menghasilkan barang dan jasa secara terus menerus, (b) adanya penjagaan

terhadap tingkat pengelolaan oleh pemerintah dan investor luar, (c) menghindari

(27)

efisiensi dalam penggunaan sumber daya alam, dan (e) peningkatan nilai tambah

produk dari sumber-sumber tersebut.

Reed (1997) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007), menekankan pentingnya

kestabilan sistem sosial secara berkelanjutan agar tercapainya kesamaan dalam

distribusi dan kesempatan dalam jasa sosial seperti kesehatan dan keamanan,

kesamaan gender dan kekuasaan, akuntabilitas politik dan partisipasi serta laju

populasi yang berkelanjutan. Keberlanjutan kelembagaan menurut UN (1992)

dan Spangenberg et al. (2002) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007) meliputi

kerangka dan kapasitas kelembagaan yang memusatkan pada keberadaan

organisasi kelembagaan dan sistem yang mendukung keberlanjutan pembangunan

dan adanya efektivitas dari organisasi. Oleh karena itu untuk membangun suatu

kerangka penilaian keberlanjutan, metodologi yang mencakup seluruh dimensi

keberlanjutan merupakan langkah pertama yang harus dibangun. Berdasarkan

metodologi ini, pembagian kerangka, kriteria spesifik, dan batasan akan

ditentukan.

Gambar 7 Penilaian atribut kepentingan pembelian kopi berkelanjutan

Sumber: Giovannucci 2001

Menurut Giovannucci (2001), alat penilaian keberlanjutan pertanian kopi

saat ini yang telah dilakukan adalah melalui pemberian sertifikasi Organic, Shade

Coffee, dan Fair Trade. Meskipun belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap lingkungan, dan sosial, tetapi melalui sertifikasi ini, kopi yang

(28)

untuk memberikan manfaat lingkungan, ekonomi, dan sosial bagi produsen

(petani kopi). Pencapaian kopi berkelanjutan berarti seorang produsen yang

berkelanjutan harus memenuhi tujuan lingkungan dan sosial jangka panjang serta

mampu bersaing secara efektif dengan pelaku pasar lainnya untuk mencapai harga

yang mampu menutupi biaya produksi dan memungkinkan baginya untuk

menerima margin keuntungan dari perdagangan produk kopi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembelian kopi yang berkelanjutan

disajikan pada Gambar 7. Kualitas atau mutu kopi merupakan landasan untuk

mencapai keberlanjutan. Hal ini didasarkan pendapat bahwa keberlanjutan

pertanian kopi dapat dicapai melalui pemeliharaan tanaman kopi dan produk kopi

yang berkualitas baik. Melalui kualitas kopi yang memadai, petani akan mampu

bersaing secara kompetitif. Meskipun terkadang pasar tidak selalu menghargai

kopi yang bermutu tinggi, dibutuhkan standar mutu kopi. Importir, distributor,

pengecer, dan penjual kopi bubuk belum sepenuhnya terlibat untuk meningkatkan

keberlanjutan kopi. Hal ini dimungkinkan karena industri hilir telah mendapatkan

manfaat dari peningkatan kualitas dan harga premium dari sertifikasi kopi.

Keberlanjutan usaha pertanian kopi haruslah terus diusahakan agar terdapat

sinergi antara petani dan pasar.

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memperoleh sertifikasi

kopi berkelanjutan dengan dominasi kopi organik sekitar 24%. Persyaratan utama

yang harus dilakukan oleh petani organik adalah sebagai berikut.

1. Meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah melalui pengomposan

dan metode alamiah lainnya seperti penanaman tanaman penyumbang

nitrogen ataupun pupuk hewani.

2. Menggunakan metode ekologis untuk mengontrol hama dan penyakit

daripada menggunakan pestisida atau fungisida kimia.

3. Memberikan perlindungan terhadap burung-burung dan hewan yang berada

di perkebunan kopi.

4. Melindungi keragaman tanaman dengan penanaman tanaman selain tanaman

kopi.

(29)

6. Menyediakan keamanan ekonomi di daerah perdesaan dengan menyediakan

pekerjaan padat karya terutama pada saat panen dan menumbuhkan berbagai

varietas tanaman pangan yang bermanfaat.

7. Meminimalkan pencemaran dari limbah cair pengolahan kopi dengan

mengurangi penggunaan air, melakukan resirkulasi air jika memungkinkan,

dan menerapkan sistem anaerobik untuk menghasilkan air bersih setelah

pemanfaatannya.

8. Mengikuti standar organik yang ketat untuk menghasilkan tanaman yang

berkualitas dan memenuhi persyaratan sertifikasi organik.

9. Melindungi dan mempertahankan keberadaan pertanian tradisional yang telah

dibangun berdasarkan keselarasan dengan alam.

Dengan demikian pengusahaan agroindustri kopi yang berkelanjutan

hendaknya diupayakan berdasarkan persyaratan sertifikasi pertanian kopi yang

berkelanjutan. Menurut Pujiyanto (2007), konsep produksi kopi berkelanjutan

pada dasarnya mengacu pada konsep pertanian berkelanjutan. Pertanian

berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam dalam usaha untuk

memenuhi kebutuhan manusia yang terus berubah dan sekaligus mempertahankan

atau meningkatkan kualitas lingkungan, dan melestarikan sumber daya alam.

Sistem produksi kopi yang berkelanjutan memiliki 4 dimensi, yaitu dimensi

lingkungan fisik, dimensi ekonomi, dimensi sosial serta dimensi kesehatan.

Dimensi lingkungan fisik meliputi kelestarian lahan (tanah, air, dan sumberdaya

genetik flora dan fauna) dan kelestarian produksi kopi. Dimensi ekonomi adalah

adanya saling ketergantungan dan saling menguntungkan antar pelaku agribisnis

kopi. Dimensi sosial meliputi dampak sosial agribisnis kopi serta kesejahteraan

petani dan karyawan yang terlibat dalam agribisnis kopi. Dimensi kesehatan

berarti tidak berdampak negatif terhadap kesehatan. Dengan demikian terdapat 3

ciri agroindustri kopi rakyat yang berkelanjutan.

1. Produktivitas dan keuntungan dapat dipertahankan atau ditingkatkan dalam

waktu yang relatif lama memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang

atau masa mendatang.

2. Sumberdaya alam khususnya sumber daya pertanian kopi rakyat yang

(30)

baik dan bahkan terus ditingkatkan karena keberlanjutan agroindustri tersebut

sangat tergantung dari tersedianya bahan baku.

3. Dampak negatif dari adanya pemanfaatan sumber daya alam dan adanya

agroindustri kopi dapat diminimalkan.

Teknologi memainkan peran sangat penting dalam pembangunan pertanian

kopi berkelanjutan karena teknologi merupakan salah satu jalan yang sangat

penting dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dengan teknologi, sumberdaya

alam dieksplorasi, memodifikasinya untuk kepentingan manusia, dan

mengadaptasinya dengan ruang untuk manusia. Penggunaan teknologi mampu

memberikan perubahan drastis dalam kualitas kehidupan banyak orang. Teknologi

yang berkelanjutan merupakan suatu cara untuk memajukan kehidupan sosial

menuju keberlanjutan. Teknologi berkelanjutan merupakan solusi praktis untuk

mencapai pembangunan ekonomi dan kepuasan manusia agar selaras dengan

lingkungan. Teknologi ini haruslah mendukung, berkontribusi terhadap

pembangunan berkelanjutan melalui pengurangan resiko, meningkatkan efektifitas

biaya, meningkatkan efisiensi proses, dan menciptakan proses, produk atau jasa

yang secara lingkungan menguntungkan, tidak membahayakan, dan

menguntungkan bagi manusia. Teknologi yang berkelanjutan haruslah memenuhi

karakteristik berikut.

1. Meminimalkan konsumsi bahan baku dan energi. Penggunaan energi dan

sumber daya tidak terbaharukan haruslah diminimalkan karena konsumsi

sumberdaya telah mencakup peningkatan kekacauan material dan energi,

menurunkan kemampuan penggunaannya di masa depan. Melalui pemanfaatan

material dan energi untuk proses konsumsi berarti menurunkan potensi

penggunaannya untuk generasi saat ini dan mendatang. Oleh karena itu,

penggunaan sedikit mungkin bahan dan energi “doing more with less,”

merupakan tujuan mendasar dari keberlanjutan.

2. Menjaga kepuasan manusia. Teknologi yang berkelanjutan haruslah mampu

memenuhi kebutuhan populasi. Dengan demikian dibutuhkan teknologi yang

mampu menyesuaikan keinginan manusia dan perbedaan budaya.

Kemungkinan terjadinya konflik antara kriteria lingkungan dan ekonomi

(31)

Pemenuhan keinginan berarti perbedaan antara bertahan untuk hidup dan

kehidupan.

3. Meminimalkan dampak negatif lingkungan. Merupakan hal yang penting untuk

meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif

lingkungan sebagai tujuan yang penting karena lingkungan terdiri dari

ekosistem yang harus mampu mendukung kehidupan manusia di bumi.

Keberlanjutan ras manusia membutuhkan pemeliharaan dan penjagaan

ekosistem untuk melakukan penjagaan keanekaragaman, habitat yang memadai

dan daya lenting ekosistem.

Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam suatu usaha industri maka

kerangka keberlanjutan menurut Spangenberg dan Bonniot (1998) diacu dalam

Adams dan Ghaly (2007) dapat digunakan seperti yang disajikan pada Gambar 8.

Berdasarkan Kerangka Wuppertal, semua teknologi yang digunakan serta

kelembagaan yang terlibat dalam proses pembangunan diarahkan untuk

memenuhi kepentingan manusia masa sekarang maupun masa mendatang. Jadi

teknologi yang digunakan sesuai dengan daya dukung sumber daya alam, tidak

ada degradasi lingkungan, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial

diterima oleh masyarakat.

Gambar 8 Indikator keberlanjutan Kerangka Wuppertal (Spangenberg dan

(32)

Menurut Pelupessy (2003), berdasarkan studi yang dilakukan oleh Nestel

tahun 1995 mengenai aktivitas perkopian di Mexico, penerapan sistem ekologis

dan sosial ekonomi masih dilakukan secara terpisah dan hanya terhubung saat

berkaitan dengan aktivitas petani produsen. Pemanfaatan teknologi dalam

aktivitas pengolahan kopi masih memiliki potensi menimbulkan dampak negatif

terhadap lingkungan. Oleh karena itu perlu dipetakan dampak lingkungan utama

untuk setiap tahapan aktivitas pengolahan dalam sistem input output pengolahan

kopi

2.4 Proses Pengolahan Kopi

Proses pengolahan kopi adalah tahapan yang mengubah buah kopi setelah

panen menjadi biji kopi yang dapat diperdagangkan (biji kopi beras). Menurut

Mulato et al. (2006), buah kopi atau kopi gelondong basah adalah buah kopi hasil

panen dari kebun, kadar airnya masih berkisar antara 60-65% dan biji kopinya

masih terlindung oleh kulit buah, daging buah, lapisan lendir, kulit tanduk, dan

kulit ari. Biji kopi beras adalah biji kopi yang sudah dikeringkan dengan kadar air

berkisar antara 12 – 13%. Biji kopi ini telah mengalami beberapa tingkat proses

pengolahan sudah terlepas dari daging buah, kulit tanduk, dan kulit arinya.

Secara umum pengolahan kopi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu

pengolahan kering dan basah. Pengolahan kopi secara basah biasa disebut W.I.B

(West Indische Bereiding), sedangkan pengolahan kering disebut O.I.B (Oost Indische Bereiding) atau disebut pula dengan cara G.B (Gawone Bereiding) (Ciptadi dan Nasution 1985). Menurut Najiyati dan Danarti (2006), pengolahan

kering terutama ditujukan untuk kopi Robusta. Di perkebunan besar, pengolahan

kering hanya digunakan untuk kopi berwarna hijau, kopi rambang dan kopi yang

terserang bubuk. Selain pengolahan basah dan pengolahan kering, saat ini dikenal

metode pengolahan semi basah (semi wet method) yang terutama dilakukan di

Brazil.

2.4.1. Proses Pengolahan Kering

Pengolahan kering dibagi beberapa tahap, yaitu sortasi gelondong,

pengeringan, dan pengupasan. Tahap pengupasan kulit (hulling) pada pengolahan

(33)

bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulit buah, kulit tanduk, dan kulit ari.

Umumnya proses pengolahan kering membutuhkan waktu 2 minggu dan hanya

dapat dilakukan di daerah yang beriklim kering dan panas (Winston et al. 2005).

Menurut Clarke dan Macrae (1989), pengolahan kering adalah metode yang

paling lama digunakan. Metode ini mudah dikerjakan dan membutuhkan lebih

sedikit mesin, lebih ekonomis dan sederhana dibandingkan pengolahan basah.

Pengolahan dilakukan dengan pengeringan pada seluruh buah. Terdapat 3

langkah dasar pengolahan kering yaitu pembersihan, pengeringan, dan pengulitan.

Buah yang telah dipanen disortir dan dibersihkan untuk memisahkan yang belum

matang, terlalu matang dan buah rusak serta untuk menghilangkan kotoran, tanah,

ranting, dan daun. Kemudian buah kopi dihamparkan di bawah sinar matahari

baik di atas semen, bata atau di atas tikar dengan ketebalan lapisan tidak lebih dari

5 cm. Pengadukan dengan menggaruk atau pembalikan dilakukan beberapa kali

untuk mencapai efisiensi pengeringan. Proses ini dapat menghabiskan waktu 4

minggu sebelum buah kering dengan kandungan air maksimum 12,5% tergantung

pada kondisi cuaca (Clifford dan Wilson 1985). Pada perkebunan besar, mesin

pengering sesekali dapat digunakan untuk mempercepat proses setelah kopi

melalui pengeringan awal di bawah sinar matahari selama beberapa hari.

Proses pengeringan merupakan tahap terpenting pada pengolahan kering

karena dapat memberikan efek pada kualitas akhir biji kopi beras. Kopi yang

terlalu kering akan mengkerut dan menghasilkan terlalu banyak biji hancur pada

saat pengupasan. Kopi yang tidak kering memiliki kadar air tinggi dan cenderung

cepat rusak akibat serangan jamur dan bakteri. Sebelum dijual, buah kering

dikuliti, disortasi, dan diklasifikasi (grading). Semua lapisan luar buah kering

dibuang pada pemrosesan di mesin pengupasan. Sebagian besar kopi Robusta

diproses dengan metode ini. Akan tetapi metode ini sebaiknya tidak digunakan di

daerah yang memiliki curah hujan tinggi karena kelembaban yang tinggi ataupun

frekuensi hujan yang tinggi selama pemanenan. Biji kopi hasil pengolahan kering

umumnya tidak seragam terutama yang berasal dari kopi rakyat harganya lebih

(34)

Sortasi Buah

Gambar 9 Diagram alir pengolahan biji kopi

Sumber: Winston et al. (2005) ; Mulato et al. (2006)

Di beberapa daerah di Jawa Timur, pengolahan kering dilakukan dengan

terlebih dahulu memecah kulit buah kopi. Setelah pemanenan, buah dipecah

dengan mesin pemecah (kneuzer) yang bersih. Kemudian buah dihamparkan di

alas/lantai jemur dengan ketebalan < 4cm. Buah pecah kulit tidak boleh dijemur

langsung di atas tanah karena biji dapat terserang jamur. Proses pengeringan

dituntaskan hingga kadar air 12%. Waktu pengeringan pada metode olah kering

dengan buah pecah kulit umumnya lebih cepat dibandingkan metode olah kering

umumnya, akan tetapi membutuhkan penanganan khusus untuk mencegah

(35)

2.4.2. Proses Pengolahan Basah

Menurut Sivetz dan Desrosier (1979), proses pengolahan basah

membutuhkan penggunaan alat spesifik dan kuantitas air yang mencukupi.

Apabila dilakukan dengan baik, metode ini menjamin kualitas biji kopi terjaga

dengan baik, menghasilkan biji kopi beras (green coffee) yang seragam dan lebih

sedikit kerusakan. Oleh karena itu kopi yang diolah dengan metode ini umumnya

mendapatkan kualitas yang lebih baik dan harganya lebih tinggi. Karena

membutuhkan air dalam jumlah banyak dapat menyebabkan terjadinya masalah

kekurangan air terutama pada saat musim kemarau.

Proses pengolahan basah dimulai dengan pemanenan yang lebih teliti

dengan hanya mengambil buah-buah kopi yang berwarna merah dan sedikit

mungkin buah yang belum atau terlalu masak. Pengolahan secara basah

memerlukan modal besar tetapi proses lebih cepat dan mutu yang dihasilkan lebih

baik. Oleh karena itu, pengolahan basah banyak dilakukan oleh perkebunan

nasional (PT Perkebunan Nusantara), perkebunan swasta yang cukup besar atau

kelompok tani yang membentuk koperasi. Perbedaan pokok antara pengolahan

kering dan pengolahan basah adalah pada olah kering pengupasan daging buah,

kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering (kopi gelondong), sedangkan

pengolahan basah pengupasan daging buah dilakukan sewaktu masih basah,

meningkatkan mutu dan rasa kopi setelah menjadi bubuk dan diminum.

Mulato et al. (2006); Najiyati dan Danarti (2006), pengolahan basah

dilakukan melalui tujuh tahap, yaitu tahap sortasi buah, pengupasan kulit dan

daging buah (pulping), fermentasi, pencucian, pengeringan, hulling, dan sortasi

biji.

a. Sortasi Buah

Sortasi buah sebaiknya telah dilakukan sejak di kebun untuk memisahkan

buah merah dan buah campuran hijau-kuning-merah. Kotoran seperti daun,

ranting, tanah, dan kerikil juga harus dibuang karena dapat merusak mesin

pengupas (pulper). Pada tahap sortasi gelondong, buah kopi merah yang telah

ditimbang dimasukkan ke dalam bak sortasi yang berisi air akan terpisah antara

buah kopi yang sehat dan berisi dengan buah kopi yang hampa dan terserang

(36)

mesin pulper, sedangkan gelondong yang terapung diolah secara kering (Clifford dan Wilson 1985).

b. Pengupasan Buah Kopi (Pulping)

Pengupasan kulit dan daging buah kopi (pulping) merupakan salah satu

tahapan proses yang sangat penting dalam pengolahan kopi basah. Proses

pengupasan dilakukan dengan menggunakan mesin pengupas yang dapat dibuat

dari bahan logam. Pada pengolahan basah, buah kopi sebaiknya telah mencapai

tingkat kematangan optimal antara lain ditandai dengan kulit buah berwarna

merah seragam dan segar yang harus dikupas dan dipisahkan dari bagian biji HS.

Pada saat pengupasan harus diusahakan agar kulit tanduk masih tetap melekat

pada butiran biji (Ciptadi dan Nasution 1985). Proses pengupasan sebaiknya tidak

lebih dari 12-24 jam setelah pemetikan untuk mencegah terjadinya pembusukan

buah (Clifford dan Wilson 1985).

Umumnya proses pengupasan dan pemisahan kulit buah dibantu oleh

sejumlah air dilakukan secara mekanis baik dengan sumber tenaga penggerak

manual maupun dengan motor listrik atau motor bakar. Pengupasan kulit buah

berlangsung di dalam celah di antara permukaan silinder yang berputar (rotor) dan

permukaan plat atau pisau yang diam (stator) (Mulato et al. 2006; Clifford dan

Wilson 1985).

Menurut Widyotomo et al. (2009), dasar kerja mesin pulper yaitu

menggencet buah kopi dengan suatu silinder yang berputar terhadap suatu dasar

plat yang bertonjolan. Buah kopi yang masuk ke dalam corong mesin pulper,

kemudian jatuh pada permukaan silinder yang sedang berputar. Selanjutnya buah

kopi didesak dan dihimpit di antara silinder dan sebuah alat pememar. Dengan

tekanan himpit tersebut maka biji yang masih berkulit tanduk dan sebagian lendir

terlepas dari daging buahnya. Kedua bagian dari buah kopi tersebut dipisahkan

oleh suatu plat dari karet.

Mengingat pengupasan dilakukan secara mekanik, terkadang masih

meninggalkan sejumlah daging buah residu selain lendir yang melekat pada biji.

Residu ini harus dibuang seluruhnya untuk mencegah kontaminasi biji kopi oleh

bahan yang akan dihasilkan oleh degradasi lendir saat fermentasi. Proses

(37)

c. Fermentasi

Clarke dan Macrae (1989) menjelaskan setelah proses pulping (pengupasan

kulit buah), dilakukan fermentasi yang bertujuan untuk membantu melepaskan

lapisan lendir yang menyelimuti kopi yang keluar dari mesin pulper. Proses

fermentasi akan mengurai pulpa (lendir) biji kopi lebih mudah dicuci. Sivetz dan

Desrosier (1979), pulpa yang menempel pada kulit dapat menimbulkan resiko

kerusakan cita rasa. Lendir mengandung enzim yang dapat menghidrolisa dan

mendegradasi pektin. Biji yang telah dikupas atau dicuci pada proses olah basah

diletakkan di tangki fermentasi besar selama 24-36 jam, tergantung suhu, lapisan

lendir, dan konsentrasi enzim. Akhir proses fermentasi dapat diduga dengan

meraba permukaan biji. Apabila biji kopi telah kehilangan tekstur halusnya dan

terasa lebih kasar, fermentasi berakhir.

Menurut Clifford dan Wilson (1985); Mulato et al. (2006), prinsip

fermentasi adalah peruraian senyawa-senyawa yang terkandung di dalam lapisan

lendir oleh mikroba alami dan dibantu dengan oksigen dari udara. Proses

fermentasi dapat dilakukan secara basah (merendam biji kopi dalam genangan air)

dan secara kering (tanpa rendaman air). Selama proses fermentasi, akan terjadi

pemecahan komponen lapisan lendir (protopektin dan gula) dengan dihasilkannya

asam-asam dan alkohol. Proses fermentasi yang terlalu lama akan menghasilkan

kopi beras yang berbau apek karena terjadi pemecahan komponen isi lembaga

(Ciptadi dan Nasution 1985).

Secara rinci Clarke dan Macrae (1989), menjelaskan perubahan yang dapat

terjadi selama proses fermentasi adalah sebagai berikut.

1. Pemecahan komponen lendir. Bagian terpenting dari lapisan lendir ini adalah

komponen protopektin yaitu suatu material kompleks yang tidak larut dari

daging buah. Material inilah yang terpecah dalam proses fermentasi. Ada

yang berpendapat bahwa terjadinya pemecahan lendir adalah sebagai akibat

bekerjanya suatu enzim yang terdapat dalam buah kopi. Enzim ini termasuk

sejenis katalase yang akan memecah protopektin dalam buah kopi. Dengan

bertambah matangnya buah kopi, maka kandungan pektinase bertambah

banyak. Enzim ini adalah protopektinase yang sangat sensitif terhadap

Gambar

Gambar 8 Indikator keberlanjutan Kerangka Wuppertal (Spangenberg dan Bonniot 1998) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007)
Gambar 9 Diagram alir pengolahan biji kopi
Gambar 10  Proses giling basah (modifikasi proses olah basah)  Sumber: Mulato et al. (2006)
Gambar 11  Definisi dan ruang lingkup produksi bersih (UNIDO 2002 diacu dalam Indrasti dan Fauzi 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Halophila ovalis memiliki nilai kerapatan rendah di Desa Sitardas, Tapanuli Tengah yaitu 2 individu/m² dan hanya ditemukan pada stasiun I bersubstrat pasir

ROTD yang mungkin adalah suatu reaksi yang mengikuti suatu pola respons yang diketahui dari obat yang dicurigai, tetapi yang telah dihasilkan oleh status klinik

Strategi S-T adalah strategi yang menggunakan kekuatan internal usahaa pengolahan minyak karo putihuntuk menghindari atau mengurangi ancaman eksternal. Kekuatan yang

Hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu ekstraksi maka semakin besar kadar poligalakturonat yang dihasilkan sehingga semakin banyak rantai polimer

Hasil analisa dengan Rank Spearman diperoleh nilai p=0,000 karena nilai p&lt;0,05 maka dapat disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna ketaatan dengan derajat

Dengan demikian anak yang mengidap disleksia membutuhkan perhatian dan motivasi khusus untuk menumbuhkan semangat belajarnya agar dapat bersaing dan berkembang

a. Lingkungan kerja memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap motivasi kerja karyawan. Lingkungan kerja mempengaruhi 11,7% perubahan motivasi kerja karyawan.

Kuersetin digunakan sebagai standar pembanding dalam mengukur NDQGXQJDQ ÀDYRQRLG WRWDO PHQJJXQDNDQ 6SHNWURIRWRPHWHU 89 9LV $QDOLVLV KDVLO GLODNXNDQ GHQJDQ PHPEDQGLQJNDQ NDGDU