DESAIN PROSES PENGOLAHAN PADA
AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA MENGGUNAKAN
MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH
BERBASIS PRODUKSI BERSIH
ELIDA NOVITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Proses Pengolahan Pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juni 2012
Elida Novita
Modified Wet Process Technology Based on Cleaner Production. Under direction of RIZAL SYARIEF, ERLIZA NOOR, and RUBIYO.
Coffee in Indonesia included 5 main crops commodities, and 10 main export commodities. Since 2008, Indonesia is the third exporter countries after Brazil, and Vietnam. Coffee has been shown to have definitely beneficial for Indonesian farmer as source of income, and contributes for regional development, so its sustainability should be maintained. One of constraints faced by farmers is low quality of coffee beans due to post-harvest handling. Most coffee producer in Indonesia is smallholder Robusta coffee which used to dry process for coffee berry. Application of wet process is more sophisticated than the dry process, but leads to better quality coffee bean, though need high input of water, and produce wastewater that can pollute the environment. It should be designed coffee processing based on clean production to minimize, and prevent the wastewater generated from processing. Development of processing technologies based on cleaner production is a part of sustainability development strategies on smallholder coffee agroindustry. Therefore, the main objective of this research is to design sustainability of smallholder coffee processing using wet technology that has quality oriented to improve farmer productivity, and incomes without dismissing social, and environmental interests. In particular, the general objective is achieved through several phases with their aims as follows; (1) to formulate coffee agroindustry sustainability framework based on economic, environmental, social, and institutional indicators, (2) to determine the sustainability status of smallholder coffee agroindustry, (3) to modify wet technology on Robusta coffee processing by water minimizing, (4) to design of waste treatment system on smallholder coffee agroindustry, (5) to formulate the structure of smallholder coffee agroindustry development which based on cleaner production. Research is conducted through several stages in the research field of coffee plantation area (Sidomulyo village, Jember Regency), laboratories (Jember University, and AWMC, The University of Queensland), and pilot plant unit (Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute). Sustainability analysis showed the value of sustainability is 58,94% (sustainable enough) with 10 main leverage factors. Modified wet technology through water minimization can reach optimum levels at
2,987 – 3,345 m3/tonne of coffee berry. Within this volume, the quality of green
coffee could be maintained, and wastewater minimized until 67% compared to conventional wet processing. Waste treatment designed of coffee processing have been done through reduce, reuse, and recycle (3R) to obtain the economic value of by-products. Economic analysis showed smallholder coffee agroindustry which applied modified wet technology based on cleaner production has higher feasibility, and flexibility compared with the dry processing mainly deal with fluctuation of world coffee prices. Development of smallholder Robusta coffee can be performed based on the structures of needs, constraints, required changes, goals, and indicators obtained through the ISM simulation.
Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, ERLIZA NOOR, dan RUBIYO.
Kopi termasuk 10 komoditas ekspor utama Indonesia, dan 5 komoditas perkebunan utama yang peranannya cukup penting terhadap perekonomian nasional. Sekitar 96% produksi kopi Indonesia berasal dari perkebunan rakyat dengan jumlah keluarga petani yang terlibat sebanyak 1,9 juta. Sebagai salah satu dari 5 besar negara produsen kopi di dunia, terutama kopi Robusta, Indonesia ternyata masih menghadapi berbagai macam kendala yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pertanian kopi. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kendala pasca panen yang mempengaruhi mutu kopi terutama di tingkat petani. Rendahnya mutu kopi Robusta yang dihasilkan petani umumnya disebabkan upaya pengolahan pasca panen yang masih menghasilkan kopi asalan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu kopi adalah penerapan pengolahan basah. Pada pengolahan basah, buah kopi akan melalui proses sortasi dan fermentasi yang dipercaya dapat meningkatkan cita rasa. Akan tetapi pengolahan basah membutuhkan input dan menghasilkan keluaran limbah cair yang besar sehingga menimbulkan dampak lingkungan.
Untuk meminimalkan dan mencegah limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan basah, perlu dirancang suatu proses pengolahan yang berbasis produksi bersih. Pengembangan teknologi pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih adalah bagian dari strategi pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat secara berkelanjutan. Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini adalah mendesain proses pengolahan kopi Robusta menggunakan teknologi olah basah yang berorientasi mutu secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani tanpa mengabaikan kepentingan sosial dan lingkungan. Penelitian dilakukan secara bertahap dengan tujuan masing-masing tahap penelitian adalah : (1) menyusun kerangka penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat berdasarkan indikator ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan, (2) menentukan status keberlanjutan agroindustri kopi rakyat, (3) melakukan modifikasi teknologi pengolahan kopi Robusta menggunakan teknologi olah basah melalui upaya meminimalkan air, (4) mendesain sistem penanganan limbah proses pengolahan kopi rakyat, (5) merumuskan struktur pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat berbasis produksi bersih.
Penelitian dilaksanakan melalui studi literatur, penelitian lapangan,
penelitian skala laboratorium, dan pilot plan untuk mendapatkan data sekunder,
dan primer. Metode pengumpulan data untuk penyusunan kerangka keberlanjutan, penilaian status keberlanjutan, dan strukturisasi pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuisioner, dan survey lapangan. Penilaian keberlanjutan menggunakan metode
multidimensional scaling (MDS) dalam software Rap-Coffee hasil modifikasi Rapfish. Strukturisasi elemen pengembangan agroindustri kopi dilakukan
menggunakan software ISM (Interpretative Structural Modelling). Metode
dilakukan untuk menentukan titik sumber limbah, volume air, dan jenis bahan bakar yang terbaik dalam konsep produksi bersih. Analisis mutu fisik, dan cita rasa kopi dibutuhkan untuk menentukan rentang optimum penggunaan air yang dapat diterapkan pada pengolahan kopi. Karakterisasi limbah cair, dan limbah padat yang dihasilkan dari proses pengolahan membantu menentukan jenis, dan tahapan penanganan limbah yang dapat diaplikasikan pada agroindustri kopi rakyat. Untuk mengetahui kelayakan penerapan modifikasi teknologi olah basah dilakukan analisis kelayakan lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Hasil penelitian menunjukkan kerangka keberlanjutan agroindustri dibutuhkan untuk melakukan penilaian terhadap keberadaan agroindustri kopi Robusta rakyat terutama dalam menghadapi perkembangan isu lingkungan, dan sosial. Kerangka umum keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dalam penelitian ini dibangun berdasarkan dimensi ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan. Simulasi Rap-Coffee untuk mengetahui nilai keberlanjutan agroindustri kopi rakyat saat ini di KUPK Sidomulyo, Jember menunjukkan nilai cukup berlanjut (58,94%). Berdasarkan analisis faktor pengaruh dalam Rap-Coffee, terdapat 6 faktor dimensi ekonomi, 1 faktor dimensi lingkungan, 2 faktor dimensi sosial, dan 1 faktor dimensi kelembagaan yang menentukan tingkat keberlanjutan. Kualitas atau mutu produk sebagai bagian dari faktor pengaruh dimensi ekonomi harus ditingkatkan karena menentukan kontinuitas ekspor kopi Indonesia sebagai salah satu produsen kopi dunia.
Peningkatan mutu kopi rakyat dapat dilakukan melalui penerapan pengolahan basah meskipun menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Penerapan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih melalui minimisasi air proses hingga 67% mampu mempertahankan mutu kopi secara fisik, dan cita rasa jika dibandingkan pengolahan basah konvensional sekaligus meminimalkan volume air limbah yang dihasilkan. Volume total air
proses minimum dapat dilakukan pada rentang 2,987 – 3,345 m3/ton buah kopi
dengan volume air pengupasan 0,731 – 0,784 m3 , dan volume air pencucian
2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi. Konsep produksi bersih juga dapat diterapkan
melalui pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar mesin-mesin pengolahan kopi.
Pemanfaatan biodiesel dengan rasio 8 : 2 untuk solar, dan residu CPO (crude palm
oil) yang dilakukan mampu menurunkan emisi CO2 hingga 40%.
Aplikasi teknologi olah basah dengan minimisasi air harus terintegrasi dengan sistem penanganan limbah karena tingginya konsentrasi bahan organik yang dihasilkan. Penanganan limbah cair, dan limbah padat dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomis dari produk samping. Sistem penanganan limbah cair proses pengolahan kopi dilakukan melalui tahapan pengolahan primer anaerobik, pengolahan sekunder koagulasi flokulasi, dan pengolahan tersier adsorpsi-filtrasi. Pengolahan primer limbah cair pengolahan kopi menggunakan digester anaerobik mampu menghasilkan biogas dengan konsentrasi gas metan
hingga 60% (teoritis 70%) dengan tingkat produksi 38,7 m3/hari. Nilai ini lebih
tinggi daripada pemanfaatan limbah kotoran ternak yang mencapai 16 – 18
m3/hari. Pengolahan tersier pada tahapan penanganan limbah cair dapat
Hasil analisis kelayakan ekonomi berdasarkan parameter NPV, IRR, B/C dan PBP menunjukkan bahwa agroindustri kopi rakyat yang menerapkan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih memiliki nilai kelayakan ekonomi lebih besar dibandingkan pengolahan kering yang selama ini dilakukan petani. Pada perhitungan umur industri selama 10 tahun, NPV yang dapat dicapai sebesar Rp. 1.131.058.923, IRR sebesar 51,94%, B/C sebesar 3,88, dan masa pengembalian modal adalah 1,8 tahun. Analisis sensitivitas terhadap penurunan harga biji kopi hingga 10% menunjukkan kemampuan agroindustri yang menerapkan pengolahan basah berbasis produksi bersih lebih tinggi menghadapi fluktuasi harga kopi dunia.
Strukturisasi pengembangan agroindustri kopi rakyat di KUPK Sidomulyo dapat dilakukan melalui pencapaian elemen-elemen kunci dalam penentuan kebutuhan, kendala pengembangan, perubahan yang diinginkan, tujuan yang ingin dicapai, dan indikator pengembangan yang terjadi. Hasil analisis ISM menghasilkan kebutuhan pengembangan pasar, dan peningkatan pendapatan untuk mengatasi kendala keterbatasan akses pasar. Analisis ISM juga menghasilkan elemen kunci tujuan yang harus dicapai adalah pencapaian peningkatan kualitas bahan baku, dan produk, peningkatan nilai ekspor, dan adanya perbaikan kinerja kelembagaan. Elemen perubahan yang harus diupayakan adalah dengan melalui pengembangan pola pengolahan kopi rakyat yang berbasis kelompok, dan berorientasi bisnis serta perluasan pasar. Indikator kunci yang menunjukkan telah berhasilnya pengembangan agroindustri kopi rakyat adalah bila telah terpenuhinya kebutuhan mendasar dari para pekerja, dan petani dalam agroindustri kopi secara berkelanjutan.
©
Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-UndangDilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA MENGGUNAKAN
MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH
BERBASIS PRODUKSI BERSIH
ELIDA NOVITA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi
Pada Ujian Tertutup: Senin, 14 Mei 2012 pukul 14.00 WIB
1. Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S.
2. Dr. Ir. S. Joni Munarso, M.S.
Pada Ujian Terbuka: Rabu, 30 Mei 2012 pukul 13.00 WIB
1. Dr. Ir. Ade Wachyar, M.S.
Nama : Elida Novita
NRP : P062070171
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Erliza Noor Dr. Ir. Rubiyo, M.Si.
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
karunia, dan ridho-Nya, sehingga penyusunan, dan penulisan disertasi ini dapat
diselesaikan. Rangkaian tahapan penelitian dengan judul “Desain Proses Pengolahan pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi
Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih” telah dilaksanakan mulai
bulan Juli 2009 hingga September 2011.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS., Prof. Dr. Ir. Erliza Noor, Dr. Ir. Rubiyo, M.Si, dan Dr. Ir. Sri Mulato, M.S., APU, atas perhatian, kepercayaan, kesabaran, bimbingan, arahan, wawasan ilmu yang
diberikan, kritik, saran, serta waktu yang disediakan selama penulisan proposal,
pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi ini. Penghargaan dan ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo dan Dr. Ir. S. Joni Munarso, M.S yang telah memberikan waktunya, saran, dan perbaikan membangun pada disertasi ini sebagai penguji pada ujian tertutup. Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ade Wachyar, M.S. dan Dr. Siswoyo Soekarno, S.T.P, M.Eng sebagai penguji pada ujian terbuka atas saran-sarannya untuk kesempurnaan disertasi ini.
Penghargaan , dan ucapan terima kasih yang besar juga disampaikan kepada
Ketua Program Studi PSL periode 2007 – 2010, Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo,
M.S., Ketua Pelaksana Harian periode tahun 2010, Dr.drh. Hasim, dan Ketua Program Studi PSL periode 2011 hingga saat ini, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ketua Jurusan Teknik Pertanian , dan Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, Rektor Universitas Jember, dan Direktur Eksekutif I-MHERE Project Universitas Jember yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan pada
jenjang S3 di IPB melalui beasiswa domestic degree training I-MHERE Project.
Demikian pula ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program Sandwich-Like selama 3,5 bulan di The University of Queensland, Queensland, Australia tahun 2009-2010 dan mendapatkan bantuan dana penelitian melalui Hibah Disertasi Doktor tahun 2011.
Dr. Evita Soliha Hani, Dr. Pujiyanto, Dr. Jani Januar, Ir. Djoko Soejono, MP, Luh Putu Suciati, SP, M.Si., Dr. Demitria Dewi yang telah banyak memberikan bantuan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis selama
penelitian. Greatly grateful and appreciation for Prof. Dr. Ricardo Bello
Mendoza, Dr. Gatut Sudarjanto, Dr. Wolfgang Gernjak, Dr.Krisantini, Arseto
Bagastyo, S.T, M.Sc for their assistance and amazing discussion selama
menjalankan penelitian sebagai bagian dari kegiatan sandwich-like di Advance
Water Management Centre, The University of Queensland, Australia.
Penghargaan yang tulus atas kerja samanya kepada rekan-rekan peneliti, mahasiswa dan teknisi yang membantu selama penelitian, Mustapit, S.P., M.Si, Sudarko, S.P, M.Si, Ir. Suryanto, M.P., Abdul Mukhlis Ritonga, S.T.P., M.Sc, Ahmad Cholid, S.T.P., Yunanti, S.T.P., Putri Framitasari, S.T.P., Anwar Suhadi, S.T.P., dan Suhardi S.T.
Penghormatan dan ucapan terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus dari ayahanda Masril Ridwan (alm), ibunda Astikanah Tries Prayoganingsih, suami Heri Supriyanto dan putra-putriku tercinta, Daffa Hilmy Novriyanto dan Tsanya Hutari Balqis Zayyanti (Nina). Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), khususnya angkatan 2007 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh karyawan Program Studi PSL (Mas Subur, Mbak Ririn, Mbak Suli, Mbak Erlin dan Mas Kris) yang telah banyak memberikan bantuan selama menempuh pendidikan doktor di PSL.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2012
Nopember 1973 sebagai anak satu-satunya dari pasangan Masril Ridwan dan Astikanah Tries Prayoganingsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIN), Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 1997. Pada tahun 1997, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke Program Studi Teknik dan Manajemen Sumberdaya Air Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui beasiswa Karyasiswa DUE-Project dengan ikatan dinas di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Program Magister Teknik ITS diselesaikan awal tahun 2000. Pada tahun 2007, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan (PSL) melalui beasiswa pendidikan dalam negeri (domestic
degree training) I-MHERE Project Universitas Jember.
Penulis saat ini bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember sejak tahun 1998 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh terutama berada dalam lingkup Laboratorium Teknik Pengendalian dan Konservasi Lingkungan (TPKL) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Beberapa mata kuliah yang diasuh adalah Teknik Pengendalian Sumberdaya Air, Pengantar Ilmu Lingkungan, Manajemen Kualitas Air, Mekanika Fluida, Ekonomi Teknik, dan Riset Operasional.
Artikel ilmiah penulis sebagai bagian dari disertasi yang telah diterbitkan adalah sebagai berikut:
1. Analisis Neraca Massa Pada Rancangan Minimalisasi Air Proses Pengolahan Biji Kopi dalam Agro Techno Vol.1 No. 8 Juli-Desember 2009 ISSN 1829-6149.
2. Peningkatan Mutu Biji Kopi Rakyat dengan Pengolahan Semi Basah Berbasis Produksi Bersih diterbitkan dalam Jurnal Agroteknologi Vol.4, No.1, Januari 2010 ISSN 1978-1555.
3. Smallholder Coffee Processing Design Using Wet Technology Based On Clean Production diterbitkan dalam Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation Vol.7 No. 2, June 2012 ISSN 0126-2807.
4. Biodegradability Simulation of Coffee Wastewater Using Instant Coffee telah diterima dan akan diterbitkan dalam jurnal BIOTROPIA Vol. 19 No. 1 June 2012 ISSN 0215-2334.
5. Sustainability Analysis of Smallholder Coffee Agroindustry disampaikan
secara oral dalam 1st International Conference on Energy, Environment and
11 2.1. Pertanian Kopi
Menurut Najiyati dan Danarti (2006), kopi adalah spesies tanaman tahunan
berbentuk pohon. Di dunia perdagangan, dikenal beberapa golongan kopi, tetapi
yang paling sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika.
Secara lengkap, klasifikasi botani kopi adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi: Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Coffea
Spesies : coffea sp.
Pada umumnya tanaman kopi berbunga setelah berumur sekitar dua tahun.
Bila bunga sudah dewasa, terjadi penyerbukan dengan pembukaan kelopak dan
mahkota yang akan berkembang menjadi buah. Kulit buah yang berwarna hijau
akan menguning dan menjadi merah tua seiring dengan pertumbuhannya. Waktu
yang diperlukan dari bunga menjadi buah matang sekitar 6-11 bulan, tergantung
jenis dan lingkungan. Kopi Arabika membutuhkan waktu 6-8 bulan, sedangkan
kopi Robusta 8-11 bulan. Bunga umumnya mekar awal musim kemarau dan buah
siap dipetik di akhir musim kemarau. Di awal musim hujan, cabang primer akan
memanjang dan membentuk daun-daun baru yang siap mengeluarkan bunga pada
awal musim kemarau mendatang (Najiyati dan Danarti 2006). Jika dibandingkan
dengan kopi Arabika, pohon kopi Robusta lebih rendah dengan ketinggian sekitar
1,98 hingga 4,88 meter saat tumbuh liar di kawasan hutan. Pada saat
dibudidayakan melalui pemangkasan, tingginya sekitar 1,98 hingga 2,44 meter
(Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).
Buah kopi terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah terdiri dari tiga
lapisan yaitu lapisan kulit luar (exocarp), daging buah (mesocarp), dan kulit
tanduk (endocarp) yang tipis, tetapi keras. Kulit luar terdiri dari satu lapisan tipis.
menjadi hijau kuning, kuning, dan akhirnya menjadi merah, merah hitam jika
buah tersebut sudah masak sekali. Daging buah yang sudah masak akan berlendir
dan rasanya agak manis. Biji terdiri dari kulit biji dan lembaga (Ciptadi dan
Nasution 1985; Najiyati dan Danarti 2006). Kulit biji atau endocarp yang keras
biasa disebut kulit tanduk. Lembaga (endosperma) merupakan bagian yang
dimanfaatkan untuk membuat minuman kopi (Gambar 4.)
Gambar 3 Bunga kopi (a) dan tahap awal perkembangan buah (b)
(Sumber: Najiyati dan Danarti 2006)
Gambar 4 Bagian-bagian buah kopi Gambar 5 Kopi Robusta
(Sumber: Najiyati dan Danarti 2006)
Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), buah kopi umumnya mengandung 2
butir biji, tetapi kadang-kadang hanya mengandung satu butir saja. Biji kopi ini
disebut biji kopi lanang/kopi jantan/kopi bulat. Buah kopi yang sudah masak
pada umumnya akan berwarna kuning kemerahan sampai merah tua. Tetapi ada
juga yang belum cukup tua tetapi telah terlihat berwarna kuning kemerahan pucat
yaitu kopi yang terserang hama bubuk buah kopi. Buah kopi yang terserang hama
bubuk ini mengering di tangkai atau luruh ke tanah. Buah kopi yang kering
tersebut dipetik dan yang luruh di tanah dipungut secara terpisah dari buah masak
yang dinamakan pungutan ”lelesan”. Pada akhir masa panen dikenal rampasan
atau racutan yaitu memetik semua buah yang tertinggal di pohon sampai habis,
termasuk yang masih muda. Petikan rampasan ini dimaksudkan guna memutus
siklus hidup hama bubuk buah. Pemetikan buah kopi dilakukan secara manual
(Ciptadi dan Nasution 1985; Najiyati dan Danarti 2006).
Di dunia perdagangan dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling
sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika. Kopi Robusta
bukan nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari beberapa spesies
kopi terutama Coffea canephora. Kopi Robusta berasal dari hutan-hutan
khatulistiwa di Afrika, yang membentang dari Uganda hingga Sudan Selatan,
bahkan sampai Abyssinia Barat sepanjang curah hujan mencukupi. Kopi ini
masuk ke Indonesia pada tahun 1900 dan saat ini termasuk jenis yang
mendominasi perkebunan kopi di Indonesia (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).
Di beberapa negara Afrika dan Asia, kopi menjadi sumber pendapatan
utama dalam pertanian subsisten untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti
kesehatan, pendidikan dll. Petani di negara-negara tersebut tergantung hampir
sepenuhnya pada kopi. Di awal abad 21, pada saat harga kopi dunia menurun,
pernah terjadi kelaparan di beberapa daerah penghasil kopi di negara Nicaragua
dan Guatemala. Ditinjau dari sisi sosial ekonomi, kopi juga telah membentuk
aktivitas-aktivitas pengolahan, jasa, dan tradisi yang berkaitan secara historis
terhadap terbentuknya kelas kapitalis dan institusi sosial lainnya.
Kopi merupakan sumber pendapatan untuk lebih 125 juta masyarakat di 52
negara berkembang. Sekitar 25 juta orang yang sebagian besar adalah usaha kecil
menengah menanam kopi pada 11,8 juta ha lahan, menghasilkan 6,6 juta ton kopi
per tahun. Seperempat kopi yang ditanam dikonsumsi di negara asal dan tiga
perempatnya diperdagangkan secara global. Kopi merupakan komoditas ke-2
terbesar yang diperdagangkan di dunia setelah minyak (Pelupessy 2003). Buah
kopi dipetik kemudian diubah menjadi biji kopi yang siap diekspor dalam rantai
perdagangan global. Biji kopi diolah menjadi kopi bubuk, dikemas, dan dijual
Tabel 1 Total produksi tahunan negara eksportir kopi beras
Negara Volume ekspor (x 1000 bags)
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Produsen kopi utama dunia adalah Brazil. Vietnam yang merupakan
pendatang baru menjadi pesaing utama Indonesia karena memproduksi kopi yang
sejenis. Pada saat ini perkebunan kopi Indonesia kalah bersaing dengan
perkebunan kopi Vietnam karena perkebunan kopi Indonesia umumnya sudah
berumur tua dan produktivitasnya rendah (Herman 2008). Seiring penurunan
ekspor biji kopi dari Colombia, posisi Indonesia saat ini naik menjadi nomor 3
sejak tahun 2008.
Komoditas kopi memegang peranan penting dalam sejarah perekonomian
Indonesia sejak periode kolonial Belanda. Berjangkitnya penyakit tanaman kopi
antara tahun 1910-1914 menyebabkan penurunan produksi kopi secara drastis dan
mulai diperkenalkannya varietas kopi Robusta yang lebih tahan penyakit di Jawa.
Kopi Robusta segera menyebar ke daerah lain di luar Jawa khususnya Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Lampung, dan Aceh. Pertumbuhan kopi Robusta
melampaui produksi kopi Arabika pada tahun 1935-1940. Masa suram produksi
kopi terjadi pada masa Perang Dunia II (PD II) ketika Indonesia dijajah Jepang
hingga masa setelah proklamasi. Perkebunan kopi yang tidak terawat dengan baik
menyebabkan merosotnya produk kopi yang berada di bawah perkebunan besar.
Di sisi lain, areal dan produk kopi rakyat cenderung meningkat. Pada tahun 1955,
luas areal tanaman kopi rakyat mencapai 148.000 ha, sedangkan luas areal
perkebunan besar kopi mencapai 47.100 ha. Produksi kopi rakyat pada saat yang
sama mencapai 47.300 ton, sedangkan produksi kopi perkebunan besar mencapai
Sejak orde baru, terjadi pergeseran struktur industri kopi yang semula
didominasi oleh perkebunan besar di masa kolonial Belanda menuju struktur
industri yang didominasi perkebunan kopi rakyat. Pada tahun 1940, perbandingan
antara perkebunan besar dan rakyat adalah 19:1. Pada tahun 1988, perbandingan
tersebut berubah menjadi 1:19 yang terutama didominasi perkebunan rakyat di
luar Pulau Jawa. Pergeseran dominasi ini memberikan kontribusi dalam daya
adaptasi perkebunan kopi terhadap situasi harga kopi yang cenderung fluktuatif di
pasar internasional. Pada saat harga di pasar internasional turun, perkebunan
besar cenderung menurunkan jumlah kopi yang dipetik dan mengurangi lahan
usaha. Sebaliknya, petani kopi melakukan penanaman tumpang sari yang
menjamin stabilitas pendapatan petani dan meningkatkan jumlah kopi yang
dipetik untuk dapat mempertahankan derajat kehidupan subsistensi. Pada saat
harga jatuh, petani berusaha di luar sektor kopi yang pada saat harga kopi tinggi,
usaha tersebut ditinggalkan.
Perubahan struktur dari dominasi perkebunan besar ke dominasi perkebunan
rakyat akan mempengaruhi karakteristik output yang dihasilkan. Menurut
Kasyrino (2002), beberapa perbedaan karakteristik output antara perkebunan besar
dan perkebunan rakyat adalah meliputi; (1) skala usaha, (2) teknologi yang
diterapkan, dan (3) tingkat interaksi yang diterapkan. Pada saat ini terdapat 3
kelompok produsen kopi di Indonesia, yaitu Perkebunan Besar Negara (PBN),
Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat. Perkebunan rakyat
mendominasi perkebunan kopi yang ada di Indonesia. Terdapat perbedaan
karakteristik antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Bagi perkebunan
besar, usaha tani kopi adalah suatu perusahaan, menerapkan prinsip-prinsip
perusahaan yang jelas. Sebaliknya, tanaman kopi bagi rakyat merupakan jaminan
kelangsungan hidupnya prinsip safety first merupakan pedoman utama bagi
petani. Adanya perbedaan tempat dan perilaku menimbulkan perbedaan dalam
produksi dan mutu kopi yang dihasilkan. Mutu kopi Indonesia terutama kopi
rakyat hingga saat ini masih menjadi masalah karena mutunya yang dinilai kurang
2.2. Pengembangan Kopi Rakyat Berbasis Agroindustri
Kopi telah memberikan keuntungan bagi petani kopi, tetapi belum dapat
menjamin untuk memenuhi keperluan rumah tangga petani. Karena dibandingkan
dengan para pelaku ekonomi dalam rantai usaha tani dan pemasaran kopi, petani
memiliki posisi paling lemah. Para pedagang dan eksportir memiliki peluang
untuk memperoleh keuntungan meskipun pada tingkat harga terendah. Petani
yang telah mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan tidak dapat menyesuaikan
dengan rendahnya harga kopi. Hal ini akan mempengaruhi pola pengelolaan kopi
pada tahap berikutnya yang selanjutnya berpengaruh terhadap mutu kopi yang
dihasilkan dan pendapatan petani (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).
Beberapa keterbatasan petani kopi dan industri pengolahan kopi rakyat skala
kecil adalah sebagai berikut:
1. Keseragaman dan kepastian ketersediaan produk yang rendah yang
menyebabkan rendahnya standar dan harga produk.
2. Keterbatasan akses terhadap pembiayaan.
3. Ketidakmampuan memenuhi volume yang dipersyaratkan pembeli komersial.
4. Umumnya tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan pembiayaan
operasional dari sumber-sumber formal.
5. Kesulitan untuk mengakses pasar terkait faktor logistik, ketidaktepatan, dan
rendahnya persiapan pengolahan kopi yang bermutu baik.
6. Mekanisme resiko yang terbatas meskipun bergerak dalam suatu kelompok
tani.
7. Kelompok tani cenderung berorientasi sosial, memiliki manajemen
pengelolaan yang rendah.
Pembangunan pertanian pada dasarnya adalah suatu upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup petani, yang dicapai melalui strategi investasi dan
kebijaksanaan pengembangan profesionalitas dan produktivitas tenaga kerja
pertanian, pengembangan sarana, dan prasarana ekonomi, pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi disertai dengan penataan dan pengembangan
kelembagaan pedesaan (Kasryno 2002). Potensi pertanian memiliki potensi besar
dalam menghasilkan produk pertanian dan potensi kebutuhan potensial terhadap
Menurut Yusdja dan Iqbal (2002), agroindustri mempunyai peran yang
sangat besar dalam pembangunan pertanian di Indonesia terutama dalam rangka
transformasi struktur perekonomian dan dominasi sektor pertanian ke dominasi
sektor industri. Peran agroindustri adalah menciptakan nilai tambah hasil
pertanian di dalam negeri, penyediaan lapangan kerja khususnya dapat menarik
tenaga kerja sektor pertanian ke sektor agroindustri, meningkatkan penerimaan
devisa melalui ekspor hasil agroindustri, memperbaki pembagian pendapatan dan
menarik pembangunan sektor pertanian. Agroindustri dapat dipandang sebagai
langkah pertama menuju industrialisasi.
Agroindustri berasal dari 2 kata yaitu agricultural dan industry yang berarti
suatu industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya;
atau suatu industri yang menghasilkan suatu produk yang digunakan sebagai
sarana atau input dalam usaha pertanian. Austin (1981) diacu dalam Yusdja dan
Iqbal (2002), mengidentifikasikan agroindustri sebagai pengolahan bahan baku
yang bersumber dari tanaman atau binatang. Pengolahan yang dimaksud meliputi
pengolahan berupa proses transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik
atau kimiawi, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Ciri kegiatan agroindustri
adalah (i) meningkatkan nilai tambah, (ii) menghasilkan produk yang dapat
dipasarkan atau digunakan atau dimakan, (iii) meningkatkan daya simpan, dan
(iv) menambah pendapatan dan keuntungan produsen. Said dan Haritz (1998),
mendefinisikan agroindustri sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil
pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa
untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian agroindustri meliputi industri
pengolahan hasil pertanian, industri yang memproduksi peralatan dan mesin
pertanian, industri input pertanian, dan industri jasa sektor pertanian.
Menurut Saptana dan Sumaryanto (2002), di antara komoditas pertanian,
komoditas perkebunan mempunyai interdependensi yang sangat kuat dengan
industri pengolahan karena sebagian besar output sektor perkebunan digunakan
sebagai bahan baku industri pengolahan. Kelembagaan merupakan salah satu
aspek yang sangat strategis dalam pengembangan industri perkebunan.
pembangunan agroindustri adalah petani atau kelompok tani, koperasi petani,
pedagang, perusahaan lokal, perusahaan multinasional, dan BUMN.
Aspek lain yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan agroindustri
perkebunan adalah pemilihan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan
kualitas hasil perkebunan. Teknologi pengolahan yang dibutuhkan harus sesuai
dengan (i) kebutuhan pasar terutama menyangkut kualitas yang dipersyaratkan,
(ii) mempertimbangkan kompleksitas teknologi dan biaya yang dibutuhkan, (iii)
sesuai dengan kapasitas yang akan digunakan, dan (iv) sesuai dengan kapasitas
kemampuan manajemen.
Nilai tambah dari agroindustri perkebunan umumnya bersumber dari usaha
tani tanaman perkebunan dan pengolahan produk primer. Apabila teknologi yang
digunakan sederhana, maka kualitas produk perkebunan rakyat umumnya juga
beragam. Oleh karena itu peningkatan nilai tambah agroindustri perkebunan
sebaiknya dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan mutu hasil usahatani,
usaha pengolahan, dan sistem pemasarannya secara simultan.
Sebagai salah satu tanaman perkebunan yang memegang peranan penting
dalam perekonomian nasional, Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal
Perkebunan berusaha untuk tetap memperkuat peranan kopi, baik di luar negeri,
dan dalam negeri melalui upaya-upaya yang tertuang dalam Road Map
Komoditas Kopi 2005-2025
1. Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu tanaman kopi
2. Peningkatan ekspor dan nilai tambah kopi
3. Dukungan penyediaan pembiayaan
4. Pemberdayaan petani
Hasil Simposium Kopi tahun 2006 meletakkan landasan bagi
pengembangan agroindustri kopi rakyat dengan menitikberatkan pada
faktor-faktor berikut: (1) pengembangan komoditas kopi rakyat sebagai komoditas
potensial penghasil pendapatan petani, devisa negara, dan pelestarian lingkungan
melalui pengkajian aspek-aspek keunggulan komparatifnya, (2) penyempurnaan
teknologi pengolahannya termasuk yang berteknologi tinggi, (3) pemasyarakatan
program Prima Tani, dan (4) Revitalisasi Kopi. Program Revitalisasi Kopi yang
dapat diterapkan untuk mendukung agroindustri kopi rakyat meliputi
a. Perbaikan mutu hasil dan sistem pemasaran
b. Pembinaan penerapan teknologi olah basah di tingkat kelompok tani
c. Adopsi program pendampingan untuk meningkatkan produktivitas, mutu
hasil, harga jual, dan pendapatan para petani.
d. Diversifikasi, intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan
e. Perluasan segmentasi pasar kopi dengan upaya mengurangi hambatan antara
lain penerapan 4C (Common Code for Coffee Community).
f. Menerapkan inovasi teknologi pascapanen untuk pengolahan dan
pengembangan diversifikasi produk kopi skala UMKM.
g. Peningkatan permintaan produk-produk kopi yang dikaitkan dengan isu
keamanan pangan, lingkungan, kesejahteraan pekerja serta keberlanjutan,
perlu diantisipasi sejak dini oleh para pelaku agribisnis dan disosialisasikan
kepada para petani kopi.
h. Teknologi olah basah hemat air yang dihasilkan Puslitkoka perlu
dimanfaatkan dalam penerapan pengolahan kopi basah melalui sistem
kelompok tani untuk meningkatkan mutu kopi rakyat dan pendapatan petani
serta melestarikan sumber daya alam.
i. Penerapan model sistem usaha tani perkebunan kopi terintegrasi dengan
ternak, pemanfaatan limbah kebun dengan teknologi pengomposan,
penanganan susu kambing, dan perbaikan sistem budidaya.
Sebagai komoditas pertanian penting yang diperdagangkan di dunia, saat ini
usaha pertanian, agroindustri, dan pemasarannya dituntut untuk dilaksanakan
berdasarkan konsep berkelanjutan. Sertifikasi kopi merupakan salah satu langkah
untuk menjamin pelaksanaan pertanian kopi secara berkelanjutan. Beberapa
contoh sertifikasi kopi yang ada adalah Organic, Fairtrade, Rainforest Alliance
dan lainnya. Sejumlah klasifikasi telah ditetapkan untuk menilai kelayakan
keberlanjutan perkebunan kopi berdasarkan standar ekonomi, sosial dan
lingkungan. Standar ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan yang
dicetuskan oleh WCED tahun 1983 yang kemudian diadopsi di berbagai bidang
2.3 Konsep Pembangunan Berkelanjutan pada Agroindustri Kopi Rakyat
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat saat ini dengan memperhatikan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED 1987 diacu dalam
Munasinghe 1993). Konsep ini mencakup 3 perspektif utama yaitu ekonomi,
sosial dan lingkungan. Ekonomi mengarah pada peningkatan kesejahteraan
manusia, terutama peningkatan konsumsi barang dan jasa. Domain lingkungan
memfokuskan pada perlindungan dari integritas dan daya lenting sistem ekologis.
Domain sosial menekankan pada pengayaan hubungan antara manusia,
pencapaian aspirasi kelompok dan individu, serta memperkuat institusi dan
nilai-nilai sosial (Munasinghe 2010).
Equity intra generasi,
Pembangunan dalam kerangka keberlanjutan, digambarkan sebagai proses
untuk meningkatkan kesempatan yang memungkinkan manusia secara individu
dan komunitas untuk mencapai aspirasinya dan seluruh potensinya dalam periode
waktu yang mendukung, dengan menjaga daya lenting (resiliensi) dari sistem
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan
peningkatan kapasitas adaptif dan kesempatan untuk memperbaiki sistem
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam pembangunan berkelanjutan terjadi
proses perubahan yang didalamnya terdapat upaya eksploitasi sumber daya, arah
keadaan selaras serta berupaya meningkatkan potensi masa kini dan masa depan
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Munasinghe 2010).
Keberlanjutan ekonomi mencari untuk memaksimumkan aliran pendapatan
yang dapat dibangkitkan dengan upaya sedikitnya dalam menjaga keberadaan aset
(kapital) yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan
lingkungan menitikberatkan pada kelangsungan hidup menyeluruh dan fungsi dari
sistem alami. Keberlanjutan sosial umumnya merujuk pada perbaikan keberadaan
manusia dan seluruh kesejahteraan sosial yang menghasilkan peningkatan dalam
kapital sosial. Sistem sosioekonomik-ekologis dapat menyusun sekaligus
menjaga tingkat keragaman yang menjamin daya lenting dari ekosistem dimana
konsumsi dan produksi manusia tergantung padanya (Munasinghe 2010).
Paradigma pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada
berbagai sektor maupun bidang, definisi keberlanjutan secara operasional
mempunyai berbagai dimensi yang luas (Glavic dan Lukman 2007). Meskipun
demikian, menurut Pulselli et al. (2008), konsep keberlanjutan masih
menunjukkan ketidakkonsistenan terkait pelaksanaan antara pemerintah dengan
swasta, terutama terkait dengan prioritas tujuan yang akan dicapai, aspek sosial
ekonomi, dan perbedaan pemahaman waktu antara siklus ekonomi dan politik.
Beberapa prinsip dan aturan telah dihasilkan untuk memudahkan
pelaksanaan konsep keberlanjutan. Sebagai contoh adalah Daly (1990) diacu
dalam Pulselli et al. (2008), menjelaskan beberapa prinsip dasar keberlanjutan adalah: (a) penggunaan sumber daya alam yang tidak boleh melebihi kemampuan
regenerasinya, (b) emisi yang dihasilkan dari proses produksi dan konsumsi tidak
boleh melebihi kemampuan absorpsi dan kapasitas regenerasi dari ekosistem, (c)
penggunaan sumber daya yang tidak terbaharukan haruslah melahirkan
kompensasi terhadap substitusi penggunaan sumberdaya terbarukan yang
mencukupi.
Daly (1992) diacu dalam Pulselli et al. (2008), mengajukan 3 kriteria untuk
melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu, (1)
aktivitas manusia yang dilakukan dalam skala keberlanjutan, (2) efisiensi alokasi
sumber daya, yang mencakup pula sumber daya ekologi yang langka secara
penilaian keberlanjutan yang telah dikembangkan. Menurut Singh et al. (2009), indikator dan indikator gabungan telah banyak digunakan sebagai alat untuk
pengambilan kebijakan dan menilai penampilan dari perkembangan lingkungan,
ekonomi, sosial, dan teknologi. Indikator ini dibangun dari nilai-nilai dan
pengetahuan yang dibentuk oleh manusia dan digunakan untuk memberikan
kesimpulan, pemusatan dan pertimbangan terhadap kompleksitas lingkungan yang
dinamis dapat memberikan sejumlah informasi yang bermakna.
Indikator dapat membantu menentukan keputusan terbaik dan paling efektif
dengan menyederhanakan, memperjelas, dan menggabungkan berbagai informasi
yang tersedia bagi pemegang kebijakan. Indikator juga dapat membantu
menghubungkan pengetahuan sosial dan fisik dapat digunakan untuk mengukur
dan mengkalibrasi perkembangan yang ada menuju tercapainya tujuan
pembangunan berkelanjutan. Indikator juga dapat berfungsi sebagai peringatan
awal untuk mencegah kemunduran dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Indikator juga merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk mengkomunikasikan
ide, pemikiran, dan nilai-nilai. Pemilihan terhadap indikator secara lebih luas
ditentukan oleh tujuan pembuatan indikator tersebut (United Nations 2007).
Penilaian keberlanjutan dalam sektor usaha ataupun industri telah
dipusatkan pada studi keberlanjutan proses pengolahan dalam industri. Menurut
Adams dan Ghaly (2007), penilaian keberlanjutan dalam industri spesifik
umumnya berdasarkan tiga pilar keberlanjutan yaitu lingkungan, ekonomi, dan
sosial. Menurut Reed (1997) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007),
keberlanjutan sistem lingkungan berarti: (a) kestabilan sumber daya yang menjadi
basis usaha industri, (b) mencegah usaha eksploitasi berlebihan terhadap sumber
daya yang dapat pulih, (c) pengurangan terhadap sumberdaya yang tidak dapat
pulih hanya apabila dapat dilakukan investasi untuk sumberdaya substitusi.
Labuschagne et al. (2005); Hall (2000) dan Pauli (1998) diacu dalam Adams
dan Ghaly (2007), menggariskan poin-poin keberlanjutan ekonomi meliputi
hal-hal sebagai berikut; (a) sistem ekonomi yang berkelanjutan harus mampu
menghasilkan barang dan jasa secara terus menerus, (b) adanya penjagaan
terhadap tingkat pengelolaan oleh pemerintah dan investor luar, (c) menghindari
efisiensi dalam penggunaan sumber daya alam, dan (e) peningkatan nilai tambah
produk dari sumber-sumber tersebut.
Reed (1997) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007), menekankan pentingnya
kestabilan sistem sosial secara berkelanjutan agar tercapainya kesamaan dalam
distribusi dan kesempatan dalam jasa sosial seperti kesehatan dan keamanan,
kesamaan gender dan kekuasaan, akuntabilitas politik dan partisipasi serta laju
populasi yang berkelanjutan. Keberlanjutan kelembagaan menurut UN (1992)
dan Spangenberg et al. (2002) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007) meliputi
kerangka dan kapasitas kelembagaan yang memusatkan pada keberadaan
organisasi kelembagaan dan sistem yang mendukung keberlanjutan pembangunan
dan adanya efektivitas dari organisasi. Oleh karena itu untuk membangun suatu
kerangka penilaian keberlanjutan, metodologi yang mencakup seluruh dimensi
keberlanjutan merupakan langkah pertama yang harus dibangun. Berdasarkan
metodologi ini, pembagian kerangka, kriteria spesifik, dan batasan akan
ditentukan.
Gambar 7 Penilaian atribut kepentingan pembelian kopi berkelanjutan
Sumber: Giovannucci 2001
Menurut Giovannucci (2001), alat penilaian keberlanjutan pertanian kopi
saat ini yang telah dilakukan adalah melalui pemberian sertifikasi Organic, Shade
Coffee, dan Fair Trade. Meskipun belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap lingkungan, dan sosial, tetapi melalui sertifikasi ini, kopi yang
untuk memberikan manfaat lingkungan, ekonomi, dan sosial bagi produsen
(petani kopi). Pencapaian kopi berkelanjutan berarti seorang produsen yang
berkelanjutan harus memenuhi tujuan lingkungan dan sosial jangka panjang serta
mampu bersaing secara efektif dengan pelaku pasar lainnya untuk mencapai harga
yang mampu menutupi biaya produksi dan memungkinkan baginya untuk
menerima margin keuntungan dari perdagangan produk kopi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembelian kopi yang berkelanjutan
disajikan pada Gambar 7. Kualitas atau mutu kopi merupakan landasan untuk
mencapai keberlanjutan. Hal ini didasarkan pendapat bahwa keberlanjutan
pertanian kopi dapat dicapai melalui pemeliharaan tanaman kopi dan produk kopi
yang berkualitas baik. Melalui kualitas kopi yang memadai, petani akan mampu
bersaing secara kompetitif. Meskipun terkadang pasar tidak selalu menghargai
kopi yang bermutu tinggi, dibutuhkan standar mutu kopi. Importir, distributor,
pengecer, dan penjual kopi bubuk belum sepenuhnya terlibat untuk meningkatkan
keberlanjutan kopi. Hal ini dimungkinkan karena industri hilir telah mendapatkan
manfaat dari peningkatan kualitas dan harga premium dari sertifikasi kopi.
Keberlanjutan usaha pertanian kopi haruslah terus diusahakan agar terdapat
sinergi antara petani dan pasar.
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memperoleh sertifikasi
kopi berkelanjutan dengan dominasi kopi organik sekitar 24%. Persyaratan utama
yang harus dilakukan oleh petani organik adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah melalui pengomposan
dan metode alamiah lainnya seperti penanaman tanaman penyumbang
nitrogen ataupun pupuk hewani.
2. Menggunakan metode ekologis untuk mengontrol hama dan penyakit
daripada menggunakan pestisida atau fungisida kimia.
3. Memberikan perlindungan terhadap burung-burung dan hewan yang berada
di perkebunan kopi.
4. Melindungi keragaman tanaman dengan penanaman tanaman selain tanaman
kopi.
6. Menyediakan keamanan ekonomi di daerah perdesaan dengan menyediakan
pekerjaan padat karya terutama pada saat panen dan menumbuhkan berbagai
varietas tanaman pangan yang bermanfaat.
7. Meminimalkan pencemaran dari limbah cair pengolahan kopi dengan
mengurangi penggunaan air, melakukan resirkulasi air jika memungkinkan,
dan menerapkan sistem anaerobik untuk menghasilkan air bersih setelah
pemanfaatannya.
8. Mengikuti standar organik yang ketat untuk menghasilkan tanaman yang
berkualitas dan memenuhi persyaratan sertifikasi organik.
9. Melindungi dan mempertahankan keberadaan pertanian tradisional yang telah
dibangun berdasarkan keselarasan dengan alam.
Dengan demikian pengusahaan agroindustri kopi yang berkelanjutan
hendaknya diupayakan berdasarkan persyaratan sertifikasi pertanian kopi yang
berkelanjutan. Menurut Pujiyanto (2007), konsep produksi kopi berkelanjutan
pada dasarnya mengacu pada konsep pertanian berkelanjutan. Pertanian
berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang terus berubah dan sekaligus mempertahankan
atau meningkatkan kualitas lingkungan, dan melestarikan sumber daya alam.
Sistem produksi kopi yang berkelanjutan memiliki 4 dimensi, yaitu dimensi
lingkungan fisik, dimensi ekonomi, dimensi sosial serta dimensi kesehatan.
Dimensi lingkungan fisik meliputi kelestarian lahan (tanah, air, dan sumberdaya
genetik flora dan fauna) dan kelestarian produksi kopi. Dimensi ekonomi adalah
adanya saling ketergantungan dan saling menguntungkan antar pelaku agribisnis
kopi. Dimensi sosial meliputi dampak sosial agribisnis kopi serta kesejahteraan
petani dan karyawan yang terlibat dalam agribisnis kopi. Dimensi kesehatan
berarti tidak berdampak negatif terhadap kesehatan. Dengan demikian terdapat 3
ciri agroindustri kopi rakyat yang berkelanjutan.
1. Produktivitas dan keuntungan dapat dipertahankan atau ditingkatkan dalam
waktu yang relatif lama memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang
atau masa mendatang.
2. Sumberdaya alam khususnya sumber daya pertanian kopi rakyat yang
baik dan bahkan terus ditingkatkan karena keberlanjutan agroindustri tersebut
sangat tergantung dari tersedianya bahan baku.
3. Dampak negatif dari adanya pemanfaatan sumber daya alam dan adanya
agroindustri kopi dapat diminimalkan.
Teknologi memainkan peran sangat penting dalam pembangunan pertanian
kopi berkelanjutan karena teknologi merupakan salah satu jalan yang sangat
penting dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dengan teknologi, sumberdaya
alam dieksplorasi, memodifikasinya untuk kepentingan manusia, dan
mengadaptasinya dengan ruang untuk manusia. Penggunaan teknologi mampu
memberikan perubahan drastis dalam kualitas kehidupan banyak orang. Teknologi
yang berkelanjutan merupakan suatu cara untuk memajukan kehidupan sosial
menuju keberlanjutan. Teknologi berkelanjutan merupakan solusi praktis untuk
mencapai pembangunan ekonomi dan kepuasan manusia agar selaras dengan
lingkungan. Teknologi ini haruslah mendukung, berkontribusi terhadap
pembangunan berkelanjutan melalui pengurangan resiko, meningkatkan efektifitas
biaya, meningkatkan efisiensi proses, dan menciptakan proses, produk atau jasa
yang secara lingkungan menguntungkan, tidak membahayakan, dan
menguntungkan bagi manusia. Teknologi yang berkelanjutan haruslah memenuhi
karakteristik berikut.
1. Meminimalkan konsumsi bahan baku dan energi. Penggunaan energi dan
sumber daya tidak terbaharukan haruslah diminimalkan karena konsumsi
sumberdaya telah mencakup peningkatan kekacauan material dan energi,
menurunkan kemampuan penggunaannya di masa depan. Melalui pemanfaatan
material dan energi untuk proses konsumsi berarti menurunkan potensi
penggunaannya untuk generasi saat ini dan mendatang. Oleh karena itu,
penggunaan sedikit mungkin bahan dan energi “doing more with less,”
merupakan tujuan mendasar dari keberlanjutan.
2. Menjaga kepuasan manusia. Teknologi yang berkelanjutan haruslah mampu
memenuhi kebutuhan populasi. Dengan demikian dibutuhkan teknologi yang
mampu menyesuaikan keinginan manusia dan perbedaan budaya.
Kemungkinan terjadinya konflik antara kriteria lingkungan dan ekonomi
Pemenuhan keinginan berarti perbedaan antara bertahan untuk hidup dan
kehidupan.
3. Meminimalkan dampak negatif lingkungan. Merupakan hal yang penting untuk
meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif
lingkungan sebagai tujuan yang penting karena lingkungan terdiri dari
ekosistem yang harus mampu mendukung kehidupan manusia di bumi.
Keberlanjutan ras manusia membutuhkan pemeliharaan dan penjagaan
ekosistem untuk melakukan penjagaan keanekaragaman, habitat yang memadai
dan daya lenting ekosistem.
Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam suatu usaha industri maka
kerangka keberlanjutan menurut Spangenberg dan Bonniot (1998) diacu dalam
Adams dan Ghaly (2007) dapat digunakan seperti yang disajikan pada Gambar 8.
Berdasarkan Kerangka Wuppertal, semua teknologi yang digunakan serta
kelembagaan yang terlibat dalam proses pembangunan diarahkan untuk
memenuhi kepentingan manusia masa sekarang maupun masa mendatang. Jadi
teknologi yang digunakan sesuai dengan daya dukung sumber daya alam, tidak
ada degradasi lingkungan, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial
diterima oleh masyarakat.
Gambar 8 Indikator keberlanjutan Kerangka Wuppertal (Spangenberg dan
Menurut Pelupessy (2003), berdasarkan studi yang dilakukan oleh Nestel
tahun 1995 mengenai aktivitas perkopian di Mexico, penerapan sistem ekologis
dan sosial ekonomi masih dilakukan secara terpisah dan hanya terhubung saat
berkaitan dengan aktivitas petani produsen. Pemanfaatan teknologi dalam
aktivitas pengolahan kopi masih memiliki potensi menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan. Oleh karena itu perlu dipetakan dampak lingkungan utama
untuk setiap tahapan aktivitas pengolahan dalam sistem input output pengolahan
kopi
2.4 Proses Pengolahan Kopi
Proses pengolahan kopi adalah tahapan yang mengubah buah kopi setelah
panen menjadi biji kopi yang dapat diperdagangkan (biji kopi beras). Menurut
Mulato et al. (2006), buah kopi atau kopi gelondong basah adalah buah kopi hasil
panen dari kebun, kadar airnya masih berkisar antara 60-65% dan biji kopinya
masih terlindung oleh kulit buah, daging buah, lapisan lendir, kulit tanduk, dan
kulit ari. Biji kopi beras adalah biji kopi yang sudah dikeringkan dengan kadar air
berkisar antara 12 – 13%. Biji kopi ini telah mengalami beberapa tingkat proses
pengolahan sudah terlepas dari daging buah, kulit tanduk, dan kulit arinya.
Secara umum pengolahan kopi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu
pengolahan kering dan basah. Pengolahan kopi secara basah biasa disebut W.I.B
(West Indische Bereiding), sedangkan pengolahan kering disebut O.I.B (Oost Indische Bereiding) atau disebut pula dengan cara G.B (Gawone Bereiding) (Ciptadi dan Nasution 1985). Menurut Najiyati dan Danarti (2006), pengolahan
kering terutama ditujukan untuk kopi Robusta. Di perkebunan besar, pengolahan
kering hanya digunakan untuk kopi berwarna hijau, kopi rambang dan kopi yang
terserang bubuk. Selain pengolahan basah dan pengolahan kering, saat ini dikenal
metode pengolahan semi basah (semi wet method) yang terutama dilakukan di
Brazil.
2.4.1. Proses Pengolahan Kering
Pengolahan kering dibagi beberapa tahap, yaitu sortasi gelondong,
pengeringan, dan pengupasan. Tahap pengupasan kulit (hulling) pada pengolahan
bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulit buah, kulit tanduk, dan kulit ari.
Umumnya proses pengolahan kering membutuhkan waktu 2 minggu dan hanya
dapat dilakukan di daerah yang beriklim kering dan panas (Winston et al. 2005).
Menurut Clarke dan Macrae (1989), pengolahan kering adalah metode yang
paling lama digunakan. Metode ini mudah dikerjakan dan membutuhkan lebih
sedikit mesin, lebih ekonomis dan sederhana dibandingkan pengolahan basah.
Pengolahan dilakukan dengan pengeringan pada seluruh buah. Terdapat 3
langkah dasar pengolahan kering yaitu pembersihan, pengeringan, dan pengulitan.
Buah yang telah dipanen disortir dan dibersihkan untuk memisahkan yang belum
matang, terlalu matang dan buah rusak serta untuk menghilangkan kotoran, tanah,
ranting, dan daun. Kemudian buah kopi dihamparkan di bawah sinar matahari
baik di atas semen, bata atau di atas tikar dengan ketebalan lapisan tidak lebih dari
5 cm. Pengadukan dengan menggaruk atau pembalikan dilakukan beberapa kali
untuk mencapai efisiensi pengeringan. Proses ini dapat menghabiskan waktu 4
minggu sebelum buah kering dengan kandungan air maksimum 12,5% tergantung
pada kondisi cuaca (Clifford dan Wilson 1985). Pada perkebunan besar, mesin
pengering sesekali dapat digunakan untuk mempercepat proses setelah kopi
melalui pengeringan awal di bawah sinar matahari selama beberapa hari.
Proses pengeringan merupakan tahap terpenting pada pengolahan kering
karena dapat memberikan efek pada kualitas akhir biji kopi beras. Kopi yang
terlalu kering akan mengkerut dan menghasilkan terlalu banyak biji hancur pada
saat pengupasan. Kopi yang tidak kering memiliki kadar air tinggi dan cenderung
cepat rusak akibat serangan jamur dan bakteri. Sebelum dijual, buah kering
dikuliti, disortasi, dan diklasifikasi (grading). Semua lapisan luar buah kering
dibuang pada pemrosesan di mesin pengupasan. Sebagian besar kopi Robusta
diproses dengan metode ini. Akan tetapi metode ini sebaiknya tidak digunakan di
daerah yang memiliki curah hujan tinggi karena kelembaban yang tinggi ataupun
frekuensi hujan yang tinggi selama pemanenan. Biji kopi hasil pengolahan kering
umumnya tidak seragam terutama yang berasal dari kopi rakyat harganya lebih
Sortasi Buah
Gambar 9 Diagram alir pengolahan biji kopi
Sumber: Winston et al. (2005) ; Mulato et al. (2006)
Di beberapa daerah di Jawa Timur, pengolahan kering dilakukan dengan
terlebih dahulu memecah kulit buah kopi. Setelah pemanenan, buah dipecah
dengan mesin pemecah (kneuzer) yang bersih. Kemudian buah dihamparkan di
alas/lantai jemur dengan ketebalan < 4cm. Buah pecah kulit tidak boleh dijemur
langsung di atas tanah karena biji dapat terserang jamur. Proses pengeringan
dituntaskan hingga kadar air 12%. Waktu pengeringan pada metode olah kering
dengan buah pecah kulit umumnya lebih cepat dibandingkan metode olah kering
umumnya, akan tetapi membutuhkan penanganan khusus untuk mencegah
2.4.2. Proses Pengolahan Basah
Menurut Sivetz dan Desrosier (1979), proses pengolahan basah
membutuhkan penggunaan alat spesifik dan kuantitas air yang mencukupi.
Apabila dilakukan dengan baik, metode ini menjamin kualitas biji kopi terjaga
dengan baik, menghasilkan biji kopi beras (green coffee) yang seragam dan lebih
sedikit kerusakan. Oleh karena itu kopi yang diolah dengan metode ini umumnya
mendapatkan kualitas yang lebih baik dan harganya lebih tinggi. Karena
membutuhkan air dalam jumlah banyak dapat menyebabkan terjadinya masalah
kekurangan air terutama pada saat musim kemarau.
Proses pengolahan basah dimulai dengan pemanenan yang lebih teliti
dengan hanya mengambil buah-buah kopi yang berwarna merah dan sedikit
mungkin buah yang belum atau terlalu masak. Pengolahan secara basah
memerlukan modal besar tetapi proses lebih cepat dan mutu yang dihasilkan lebih
baik. Oleh karena itu, pengolahan basah banyak dilakukan oleh perkebunan
nasional (PT Perkebunan Nusantara), perkebunan swasta yang cukup besar atau
kelompok tani yang membentuk koperasi. Perbedaan pokok antara pengolahan
kering dan pengolahan basah adalah pada olah kering pengupasan daging buah,
kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering (kopi gelondong), sedangkan
pengolahan basah pengupasan daging buah dilakukan sewaktu masih basah,
meningkatkan mutu dan rasa kopi setelah menjadi bubuk dan diminum.
Mulato et al. (2006); Najiyati dan Danarti (2006), pengolahan basah
dilakukan melalui tujuh tahap, yaitu tahap sortasi buah, pengupasan kulit dan
daging buah (pulping), fermentasi, pencucian, pengeringan, hulling, dan sortasi
biji.
a. Sortasi Buah
Sortasi buah sebaiknya telah dilakukan sejak di kebun untuk memisahkan
buah merah dan buah campuran hijau-kuning-merah. Kotoran seperti daun,
ranting, tanah, dan kerikil juga harus dibuang karena dapat merusak mesin
pengupas (pulper). Pada tahap sortasi gelondong, buah kopi merah yang telah
ditimbang dimasukkan ke dalam bak sortasi yang berisi air akan terpisah antara
buah kopi yang sehat dan berisi dengan buah kopi yang hampa dan terserang
mesin pulper, sedangkan gelondong yang terapung diolah secara kering (Clifford dan Wilson 1985).
b. Pengupasan Buah Kopi (Pulping)
Pengupasan kulit dan daging buah kopi (pulping) merupakan salah satu
tahapan proses yang sangat penting dalam pengolahan kopi basah. Proses
pengupasan dilakukan dengan menggunakan mesin pengupas yang dapat dibuat
dari bahan logam. Pada pengolahan basah, buah kopi sebaiknya telah mencapai
tingkat kematangan optimal antara lain ditandai dengan kulit buah berwarna
merah seragam dan segar yang harus dikupas dan dipisahkan dari bagian biji HS.
Pada saat pengupasan harus diusahakan agar kulit tanduk masih tetap melekat
pada butiran biji (Ciptadi dan Nasution 1985). Proses pengupasan sebaiknya tidak
lebih dari 12-24 jam setelah pemetikan untuk mencegah terjadinya pembusukan
buah (Clifford dan Wilson 1985).
Umumnya proses pengupasan dan pemisahan kulit buah dibantu oleh
sejumlah air dilakukan secara mekanis baik dengan sumber tenaga penggerak
manual maupun dengan motor listrik atau motor bakar. Pengupasan kulit buah
berlangsung di dalam celah di antara permukaan silinder yang berputar (rotor) dan
permukaan plat atau pisau yang diam (stator) (Mulato et al. 2006; Clifford dan
Wilson 1985).
Menurut Widyotomo et al. (2009), dasar kerja mesin pulper yaitu
menggencet buah kopi dengan suatu silinder yang berputar terhadap suatu dasar
plat yang bertonjolan. Buah kopi yang masuk ke dalam corong mesin pulper,
kemudian jatuh pada permukaan silinder yang sedang berputar. Selanjutnya buah
kopi didesak dan dihimpit di antara silinder dan sebuah alat pememar. Dengan
tekanan himpit tersebut maka biji yang masih berkulit tanduk dan sebagian lendir
terlepas dari daging buahnya. Kedua bagian dari buah kopi tersebut dipisahkan
oleh suatu plat dari karet.
Mengingat pengupasan dilakukan secara mekanik, terkadang masih
meninggalkan sejumlah daging buah residu selain lendir yang melekat pada biji.
Residu ini harus dibuang seluruhnya untuk mencegah kontaminasi biji kopi oleh
bahan yang akan dihasilkan oleh degradasi lendir saat fermentasi. Proses
c. Fermentasi
Clarke dan Macrae (1989) menjelaskan setelah proses pulping (pengupasan
kulit buah), dilakukan fermentasi yang bertujuan untuk membantu melepaskan
lapisan lendir yang menyelimuti kopi yang keluar dari mesin pulper. Proses
fermentasi akan mengurai pulpa (lendir) biji kopi lebih mudah dicuci. Sivetz dan
Desrosier (1979), pulpa yang menempel pada kulit dapat menimbulkan resiko
kerusakan cita rasa. Lendir mengandung enzim yang dapat menghidrolisa dan
mendegradasi pektin. Biji yang telah dikupas atau dicuci pada proses olah basah
diletakkan di tangki fermentasi besar selama 24-36 jam, tergantung suhu, lapisan
lendir, dan konsentrasi enzim. Akhir proses fermentasi dapat diduga dengan
meraba permukaan biji. Apabila biji kopi telah kehilangan tekstur halusnya dan
terasa lebih kasar, fermentasi berakhir.
Menurut Clifford dan Wilson (1985); Mulato et al. (2006), prinsip
fermentasi adalah peruraian senyawa-senyawa yang terkandung di dalam lapisan
lendir oleh mikroba alami dan dibantu dengan oksigen dari udara. Proses
fermentasi dapat dilakukan secara basah (merendam biji kopi dalam genangan air)
dan secara kering (tanpa rendaman air). Selama proses fermentasi, akan terjadi
pemecahan komponen lapisan lendir (protopektin dan gula) dengan dihasilkannya
asam-asam dan alkohol. Proses fermentasi yang terlalu lama akan menghasilkan
kopi beras yang berbau apek karena terjadi pemecahan komponen isi lembaga
(Ciptadi dan Nasution 1985).
Secara rinci Clarke dan Macrae (1989), menjelaskan perubahan yang dapat
terjadi selama proses fermentasi adalah sebagai berikut.
1. Pemecahan komponen lendir. Bagian terpenting dari lapisan lendir ini adalah
komponen protopektin yaitu suatu material kompleks yang tidak larut dari
daging buah. Material inilah yang terpecah dalam proses fermentasi. Ada
yang berpendapat bahwa terjadinya pemecahan lendir adalah sebagai akibat
bekerjanya suatu enzim yang terdapat dalam buah kopi. Enzim ini termasuk
sejenis katalase yang akan memecah protopektin dalam buah kopi. Dengan
bertambah matangnya buah kopi, maka kandungan pektinase bertambah
banyak. Enzim ini adalah protopektinase yang sangat sensitif terhadap