• Tidak ada hasil yang ditemukan

Processing design at robusta coffee agroindustry using modified wet process technology based on cleaner production

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Processing design at robusta coffee agroindustry using modified wet process technology based on cleaner production"

Copied!
325
0
0

Teks penuh

(1)

DESAIN PROSES PENGOLAHAN PADA

AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA MENGGUNAKAN

MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH

BERBASIS PRODUKSI BERSIH

ELIDA NOVITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Proses Pengolahan Pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2012

(4)

ELIDA NOVITA. Processing Design at Robusta Coffee Agroindustry Using Modified Wet Process Technology Based on Cleaner Production. Under direction of RIZAL SYARIEF, ERLIZA NOOR, and RUBIYO.

Coffee in Indonesia included 5 main crops commodities, and 10 main export commodities. Since 2008, Indonesia is the third exporter countries after Brazil, and Vietnam. Coffee has been shown to have definitely beneficial for Indonesian farmer as source of income, and contributes for regional development, so its sustainability should be maintained. One of constraints faced by farmers is low quality of coffee beans due to post-harvest handling. Most coffee producer in Indonesia is smallholder Robusta coffee which used to dry process for coffee berry. Application of wet process is more sophisticated than the dry process, but leads to better quality coffee bean, though need high input of water, and produce wastewater that can pollute the environment. It should be designed coffee processing based on clean production to minimize, and prevent the wastewater generated from processing. Development of processing technologies based on cleaner production is a part of sustainability development strategies on smallholder coffee agroindustry. Therefore, the main objective of this research is to design sustainability of smallholder coffee processing using wet technology that has quality oriented to improve farmer productivity, and incomes without dismissing social, and environmental interests. In particular, the general objective is achieved through several phases with their aims as follows; (1) to formulate coffee agroindustry sustainability framework based on economic, environmental, social, and institutional indicators, (2) to determine the sustainability status of smallholder coffee agroindustry, (3) to modify wet technology on Robusta coffee processing by water minimizing, (4) to design of waste treatment system on smallholder coffee agroindustry, (5) to formulate the structure of smallholder coffee agroindustry development which based on cleaner production. Research is conducted through several stages in the research field of coffee plantation area (Sidomulyo village, Jember Regency), laboratories (Jember University, and AWMC, The University of Queensland), and pilot plant unit (Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute). Sustainability analysis showed the value of sustainability is 58,94% (sustainable enough) with 10 main leverage factors. Modified wet technology through water minimization can reach optimum levels at 2,987 – 3,345 m3/tonne of coffee berry. Within this volume, the quality of green coffee could be maintained, and wastewater minimized until 67% compared to conventional wet processing. Waste treatment designed of coffee processing have been done through reduce, reuse, and recycle (3R) to obtain the economic value of by-products. Economic analysis showed smallholder coffee agroindustry which applied modified wet technology based on cleaner production has higher feasibility, and flexibility compared with the dry processing mainly deal with fluctuation of world coffee prices. Development of smallholder Robusta coffee can be performed based on the structures of needs, constraints, required changes, goals, and indicators obtained through the ISM simulation.

(5)

Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, ERLIZA NOOR, dan RUBIYO.

Kopi termasuk 10 komoditas ekspor utama Indonesia, dan 5 komoditas perkebunan utama yang peranannya cukup penting terhadap perekonomian nasional. Sekitar 96% produksi kopi Indonesia berasal dari perkebunan rakyat dengan jumlah keluarga petani yang terlibat sebanyak 1,9 juta. Sebagai salah satu dari 5 besar negara produsen kopi di dunia, terutama kopi Robusta, Indonesia ternyata masih menghadapi berbagai macam kendala yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pertanian kopi. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kendala pasca panen yang mempengaruhi mutu kopi terutama di tingkat petani. Rendahnya mutu kopi Robusta yang dihasilkan petani umumnya disebabkan upaya pengolahan pasca panen yang masih menghasilkan kopi asalan.

Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu kopi adalah penerapan pengolahan basah. Pada pengolahan basah, buah kopi akan melalui proses sortasi dan fermentasi yang dipercaya dapat meningkatkan cita rasa. Akan tetapi pengolahan basah membutuhkan input dan menghasilkan keluaran limbah cair yang besar sehingga menimbulkan dampak lingkungan.

Untuk meminimalkan dan mencegah limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan basah, perlu dirancang suatu proses pengolahan yang berbasis produksi bersih. Pengembangan teknologi pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih adalah bagian dari strategi pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat secara berkelanjutan. Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini adalah mendesain proses pengolahan kopi Robusta menggunakan teknologi olah basah yang berorientasi mutu secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani tanpa mengabaikan kepentingan sosial dan lingkungan. Penelitian dilakukan secara bertahap dengan tujuan masing-masing tahap penelitian adalah : (1) menyusun kerangka penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat berdasarkan indikator ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan, (2) menentukan status keberlanjutan agroindustri kopi rakyat, (3) melakukan modifikasi teknologi pengolahan kopi Robusta menggunakan teknologi olah basah melalui upaya meminimalkan air, (4) mendesain sistem penanganan limbah proses pengolahan kopi rakyat, (5) merumuskan struktur pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat berbasis produksi bersih.

(6)

teknologi pengolahan basah. Analisis neraca massa dan emisi pengolahan dilakukan untuk menentukan titik sumber limbah, volume air, dan jenis bahan bakar yang terbaik dalam konsep produksi bersih. Analisis mutu fisik, dan cita rasa kopi dibutuhkan untuk menentukan rentang optimum penggunaan air yang dapat diterapkan pada pengolahan kopi. Karakterisasi limbah cair, dan limbah padat yang dihasilkan dari proses pengolahan membantu menentukan jenis, dan tahapan penanganan limbah yang dapat diaplikasikan pada agroindustri kopi rakyat. Untuk mengetahui kelayakan penerapan modifikasi teknologi olah basah dilakukan analisis kelayakan lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Hasil penelitian menunjukkan kerangka keberlanjutan agroindustri dibutuhkan untuk melakukan penilaian terhadap keberadaan agroindustri kopi Robusta rakyat terutama dalam menghadapi perkembangan isu lingkungan, dan sosial. Kerangka umum keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dalam penelitian ini dibangun berdasarkan dimensi ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan. Simulasi Rap-Coffee untuk mengetahui nilai keberlanjutan agroindustri kopi rakyat saat ini di KUPK Sidomulyo, Jember menunjukkan nilai cukup berlanjut (58,94%). Berdasarkan analisis faktor pengaruh dalam Rap-Coffee, terdapat 6 faktor dimensi ekonomi, 1 faktor dimensi lingkungan, 2 faktor dimensi sosial, dan 1 faktor dimensi kelembagaan yang menentukan tingkat keberlanjutan. Kualitas atau mutu produk sebagai bagian dari faktor pengaruh dimensi ekonomi harus ditingkatkan karena menentukan kontinuitas ekspor kopi Indonesia sebagai salah satu produsen kopi dunia.

Peningkatan mutu kopi rakyat dapat dilakukan melalui penerapan pengolahan basah meskipun menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Penerapan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih melalui minimisasi air proses hingga 67% mampu mempertahankan mutu kopi secara fisik, dan cita rasa jika dibandingkan pengolahan basah konvensional sekaligus meminimalkan volume air limbah yang dihasilkan. Volume total air proses minimum dapat dilakukan pada rentang 2,987 – 3,345 m3/ton buah kopi dengan volume air pengupasan 0,731 – 0,784 m3 , dan volume air pencucian 2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi. Konsep produksi bersih juga dapat diterapkan melalui pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar mesin-mesin pengolahan kopi. Pemanfaatan biodiesel dengan rasio 8 : 2 untuk solar, dan residu CPO (crude palm oil) yang dilakukan mampu menurunkan emisi CO2 hingga 40%.

(7)

Hasil analisis kelayakan ekonomi berdasarkan parameter NPV, IRR, B/C dan PBP menunjukkan bahwa agroindustri kopi rakyat yang menerapkan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih memiliki nilai kelayakan ekonomi lebih besar dibandingkan pengolahan kering yang selama ini dilakukan petani. Pada perhitungan umur industri selama 10 tahun, NPV yang dapat dicapai sebesar Rp. 1.131.058.923, IRR sebesar 51,94%, B/C sebesar 3,88, dan masa pengembalian modal adalah 1,8 tahun. Analisis sensitivitas terhadap penurunan harga biji kopi hingga 10% menunjukkan kemampuan agroindustri yang menerapkan pengolahan basah berbasis produksi bersih lebih tinggi menghadapi fluktuasi harga kopi dunia.

Strukturisasi pengembangan agroindustri kopi rakyat di KUPK Sidomulyo dapat dilakukan melalui pencapaian elemen-elemen kunci dalam penentuan kebutuhan, kendala pengembangan, perubahan yang diinginkan, tujuan yang ingin dicapai, dan indikator pengembangan yang terjadi. Hasil analisis ISM menghasilkan kebutuhan pengembangan pasar, dan peningkatan pendapatan untuk mengatasi kendala keterbatasan akses pasar. Analisis ISM juga menghasilkan elemen kunci tujuan yang harus dicapai adalah pencapaian peningkatan kualitas bahan baku, dan produk, peningkatan nilai ekspor, dan adanya perbaikan kinerja kelembagaan. Elemen perubahan yang harus diupayakan adalah dengan melalui pengembangan pola pengolahan kopi rakyat yang berbasis kelompok, dan berorientasi bisnis serta perluasan pasar. Indikator kunci yang menunjukkan telah berhasilnya pengembangan agroindustri kopi rakyat adalah bila telah terpenuhinya kebutuhan mendasar dari para pekerja, dan petani dalam agroindustri kopi secara berkelanjutan.

(8)

©

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(9)

AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA MENGGUNAKAN

MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH

BERBASIS PRODUKSI BERSIH

ELIDA NOVITA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi

Pada Ujian Tertutup: Senin, 14 Mei 2012 pukul 14.00 WIB 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S.

2. Dr. Ir. S. Joni Munarso, M.S.

Pada Ujian Terbuka: Rabu, 30 Mei 2012 pukul 13.00 WIB 1. Dr. Ir. Ade Wachyar, M.S.

(11)

Nama : Elida Novita

NRP : P062070171

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS.

Ketua

Prof. Dr. Ir. Erliza Noor Dr. Ir. Rubiyo, M.Si.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(12)

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, dan ridho-Nya, sehingga penyusunan, dan penulisan disertasi ini dapat

diselesaikan. Rangkaian tahapan penelitian dengan judul “Desain Proses Pengolahan pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi

Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih” telah dilaksanakan mulai

bulan Juli 2009 hingga September 2011.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS., Prof. Dr. Ir. Erliza Noor, Dr. Ir. Rubiyo, M.Si, dan Dr. Ir. Sri Mulato, M.S., APU, atas perhatian, kepercayaan, kesabaran, bimbingan, arahan, wawasan ilmu yang diberikan, kritik, saran, serta waktu yang disediakan selama penulisan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi ini. Penghargaan dan ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo dan Dr. Ir. S. Joni Munarso, M.S yang telah memberikan waktunya, saran, dan perbaikan membangun pada disertasi ini sebagai penguji pada ujian tertutup. Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ade Wachyar, M.S. dan Dr. Siswoyo Soekarno, S.T.P, M.Eng sebagai penguji pada ujian terbuka atas saran-sarannya untuk kesempurnaan disertasi ini.

Penghargaan , dan ucapan terima kasih yang besar juga disampaikan kepada Ketua Program Studi PSL periode 2007 – 2010, Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S., Ketua Pelaksana Harian periode tahun 2010, Dr.drh. Hasim, dan Ketua Program Studi PSL periode 2011 hingga saat ini, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ketua Jurusan Teknik Pertanian , dan Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, Rektor Universitas Jember, dan Direktur Eksekutif I-MHERE Project Universitas Jember yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang S3 di IPB melalui beasiswa domestic degree training I-MHERE Project. Demikian pula ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program Sandwich-Like selama 3,5 bulan di The University of Queensland, Queensland, Australia tahun 2009-2010 dan mendapatkan bantuan dana penelitian melalui Hibah Disertasi Doktor tahun 2011.

(13)

Dr. Evita Soliha Hani, Dr. Pujiyanto, Dr. Jani Januar, Ir. Djoko Soejono, MP, Luh Putu Suciati, SP, M.Si., Dr. Demitria Dewi yang telah banyak memberikan bantuan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis selama penelitian. Greatly grateful and appreciation for Prof. Dr. Ricardo Bello Mendoza, Dr. Gatut Sudarjanto, Dr. Wolfgang Gernjak, Dr.Krisantini, Arseto Bagastyo, S.T, M.Sc for their assistance and amazing discussion selama menjalankan penelitian sebagai bagian dari kegiatan sandwich-like di Advance Water Management Centre, The University of Queensland, Australia.

Penghargaan yang tulus atas kerja samanya kepada rekan-rekan peneliti, mahasiswa dan teknisi yang membantu selama penelitian, Mustapit, S.P., M.Si, Sudarko, S.P, M.Si, Ir. Suryanto, M.P., Abdul Mukhlis Ritonga, S.T.P., M.Sc, Ahmad Cholid, S.T.P., Yunanti, S.T.P., Putri Framitasari, S.T.P., Anwar Suhadi, S.T.P., dan Suhardi S.T.

Penghormatan dan ucapan terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus dari ayahanda Masril Ridwan (alm), ibunda Astikanah Tries Prayoganingsih, suami Heri Supriyanto dan putra-putriku tercinta, Daffa Hilmy Novriyanto dan Tsanya Hutari Balqis Zayyanti (Nina). Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), khususnya angkatan 2007 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh karyawan Program Studi PSL (Mas Subur, Mbak Ririn, Mbak Suli, Mbak Erlin dan Mas Kris) yang telah banyak memberikan bantuan selama menempuh pendidikan doktor di PSL.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012

(14)

Penulis dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 30 Nopember 1973 sebagai anak satu-satunya dari pasangan Masril Ridwan dan Astikanah Tries Prayoganingsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIN), Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 1997. Pada tahun 1997, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke Program Studi Teknik dan Manajemen Sumberdaya Air Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui beasiswa Karyasiswa DUE-Project dengan ikatan dinas di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Program Magister Teknik ITS diselesaikan awal tahun 2000. Pada tahun 2007, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) melalui beasiswa pendidikan dalam negeri (domestic degree training) I-MHERE Project Universitas Jember.

Penulis saat ini bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember sejak tahun 1998 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh terutama berada dalam lingkup Laboratorium Teknik Pengendalian dan Konservasi Lingkungan (TPKL) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Beberapa mata kuliah yang diasuh adalah Teknik Pengendalian Sumberdaya Air, Pengantar Ilmu Lingkungan, Manajemen Kualitas Air, Mekanika Fluida, Ekonomi Teknik, dan Riset Operasional.

Artikel ilmiah penulis sebagai bagian dari disertasi yang telah diterbitkan adalah sebagai berikut:

1. Analisis Neraca Massa Pada Rancangan Minimalisasi Air Proses Pengolahan Biji Kopi dalam Agro Techno Vol.1 No. 8 Juli-Desember 2009 ISSN 1829-6149.

2. Peningkatan Mutu Biji Kopi Rakyat dengan Pengolahan Semi Basah Berbasis Produksi Bersih diterbitkan dalam Jurnal Agroteknologi Vol.4, No.1, Januari 2010 ISSN 1978-1555.

3. Smallholder Coffee Processing Design Using Wet Technology Based On Clean Production diterbitkan dalam Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation Vol.7 No. 2, June 2012 ISSN 0126-2807.

4. Biodegradability Simulation of Coffee Wastewater Using Instant Coffee telah diterima dan akan diterbitkan dalam jurnal BIOTROPIA Vol. 19 No. 1 June 2012 ISSN 0215-2334.

(15)

11

2.1. Pertanian Kopi

Menurut Najiyati dan Danarti (2006), kopi adalah spesies tanaman tahunan berbentuk pohon. Di dunia perdagangan, dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika. Secara lengkap, klasifikasi botani kopi adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Subdivisi: Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Coffea Spesies : coffea sp.

Pada umumnya tanaman kopi berbunga setelah berumur sekitar dua tahun. Bila bunga sudah dewasa, terjadi penyerbukan dengan pembukaan kelopak dan mahkota yang akan berkembang menjadi buah. Kulit buah yang berwarna hijau akan menguning dan menjadi merah tua seiring dengan pertumbuhannya. Waktu yang diperlukan dari bunga menjadi buah matang sekitar 6-11 bulan, tergantung jenis dan lingkungan. Kopi Arabika membutuhkan waktu 6-8 bulan, sedangkan kopi Robusta 8-11 bulan. Bunga umumnya mekar awal musim kemarau dan buah siap dipetik di akhir musim kemarau. Di awal musim hujan, cabang primer akan memanjang dan membentuk daun-daun baru yang siap mengeluarkan bunga pada awal musim kemarau mendatang (Najiyati dan Danarti 2006). Jika dibandingkan dengan kopi Arabika, pohon kopi Robusta lebih rendah dengan ketinggian sekitar 1,98 hingga 4,88 meter saat tumbuh liar di kawasan hutan. Pada saat dibudidayakan melalui pemangkasan, tingginya sekitar 1,98 hingga 2,44 meter (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).

(16)

menjadi hijau kuning, kuning, dan akhirnya menjadi merah, merah hitam jika buah tersebut sudah masak sekali. Daging buah yang sudah masak akan berlendir dan rasanya agak manis. Biji terdiri dari kulit biji dan lembaga (Ciptadi dan Nasution 1985; Najiyati dan Danarti 2006). Kulit biji atau endocarp yang keras biasa disebut kulit tanduk. Lembaga (endosperma) merupakan bagian yang dimanfaatkan untuk membuat minuman kopi (Gambar 4.)

Gambar 3 Bunga kopi (a) dan tahap awal perkembangan buah (b)

(Sumber: Najiyati dan Danarti 2006)

Gambar 4 Bagian-bagian buah kopi Gambar 5 Kopi Robusta (Sumber: Najiyati dan Danarti 2006)

Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), buah kopi umumnya mengandung 2 butir biji, tetapi kadang-kadang hanya mengandung satu butir saja. Biji kopi ini disebut biji kopi lanang/kopi jantan/kopi bulat. Buah kopi yang sudah masak pada umumnya akan berwarna kuning kemerahan sampai merah tua. Tetapi ada juga yang belum cukup tua tetapi telah terlihat berwarna kuning kemerahan pucat yaitu kopi yang terserang hama bubuk buah kopi. Buah kopi yang terserang hama bubuk ini mengering di tangkai atau luruh ke tanah. Buah kopi yang kering

(17)

tersebut dipetik dan yang luruh di tanah dipungut secara terpisah dari buah masak

yang dinamakan pungutan ”lelesan”. Pada akhir masa panen dikenal rampasan

atau racutan yaitu memetik semua buah yang tertinggal di pohon sampai habis, termasuk yang masih muda. Petikan rampasan ini dimaksudkan guna memutus siklus hidup hama bubuk buah. Pemetikan buah kopi dilakukan secara manual (Ciptadi dan Nasution 1985; Najiyati dan Danarti 2006).

Di dunia perdagangan dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika. Kopi Robusta bukan nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari beberapa spesies kopi terutama Coffea canephora. Kopi Robusta berasal dari hutan-hutan khatulistiwa di Afrika, yang membentang dari Uganda hingga Sudan Selatan, bahkan sampai Abyssinia Barat sepanjang curah hujan mencukupi. Kopi ini masuk ke Indonesia pada tahun 1900 dan saat ini termasuk jenis yang mendominasi perkebunan kopi di Indonesia (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).

Di beberapa negara Afrika dan Asia, kopi menjadi sumber pendapatan utama dalam pertanian subsisten untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti kesehatan, pendidikan dll. Petani di negara-negara tersebut tergantung hampir sepenuhnya pada kopi. Di awal abad 21, pada saat harga kopi dunia menurun, pernah terjadi kelaparan di beberapa daerah penghasil kopi di negara Nicaragua dan Guatemala. Ditinjau dari sisi sosial ekonomi, kopi juga telah membentuk aktivitas-aktivitas pengolahan, jasa, dan tradisi yang berkaitan secara historis terhadap terbentuknya kelas kapitalis dan institusi sosial lainnya.

(18)

Tabel 1 Total produksi tahunan negara eksportir kopi beras

Negara Volume ekspor (x 1000 bags)

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Brazil 42512 36064 45992 39470 48095 43484 Vietnam 19340 16467 18500 18200 19467 18300 Colombia 12541 12504 8664 8098 8523 7800

Indonesia 7483 7777 9612 11380 9129 8250

Ethiopia 5551 5967 4949 6931 7500 8312

India 4563 4319 3950 4764 5033 5333

Mexico 4200 4150 4651 4200 4850 4300

Guatemala 3950 4100 3785 3835 3950 3750 Honduras 3461 3842 3450 3575 4326 4500

Peru 4319 3063 3872 3286 3986 5443

Sumber: ICO (2012)

Produsen kopi utama dunia adalah Brazil. Vietnam yang merupakan pendatang baru menjadi pesaing utama Indonesia karena memproduksi kopi yang sejenis. Pada saat ini perkebunan kopi Indonesia kalah bersaing dengan perkebunan kopi Vietnam karena perkebunan kopi Indonesia umumnya sudah berumur tua dan produktivitasnya rendah (Herman 2008). Seiring penurunan ekspor biji kopi dari Colombia, posisi Indonesia saat ini naik menjadi nomor 3 sejak tahun 2008.

(19)

Sejak orde baru, terjadi pergeseran struktur industri kopi yang semula didominasi oleh perkebunan besar di masa kolonial Belanda menuju struktur industri yang didominasi perkebunan kopi rakyat. Pada tahun 1940, perbandingan antara perkebunan besar dan rakyat adalah 19:1. Pada tahun 1988, perbandingan tersebut berubah menjadi 1:19 yang terutama didominasi perkebunan rakyat di luar Pulau Jawa. Pergeseran dominasi ini memberikan kontribusi dalam daya adaptasi perkebunan kopi terhadap situasi harga kopi yang cenderung fluktuatif di pasar internasional. Pada saat harga di pasar internasional turun, perkebunan besar cenderung menurunkan jumlah kopi yang dipetik dan mengurangi lahan usaha. Sebaliknya, petani kopi melakukan penanaman tumpang sari yang menjamin stabilitas pendapatan petani dan meningkatkan jumlah kopi yang dipetik untuk dapat mempertahankan derajat kehidupan subsistensi. Pada saat harga jatuh, petani berusaha di luar sektor kopi yang pada saat harga kopi tinggi, usaha tersebut ditinggalkan.

(20)

2.2. Pengembangan Kopi Rakyat Berbasis Agroindustri

Kopi telah memberikan keuntungan bagi petani kopi, tetapi belum dapat menjamin untuk memenuhi keperluan rumah tangga petani. Karena dibandingkan dengan para pelaku ekonomi dalam rantai usaha tani dan pemasaran kopi, petani memiliki posisi paling lemah. Para pedagang dan eksportir memiliki peluang untuk memperoleh keuntungan meskipun pada tingkat harga terendah. Petani yang telah mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan tidak dapat menyesuaikan dengan rendahnya harga kopi. Hal ini akan mempengaruhi pola pengelolaan kopi pada tahap berikutnya yang selanjutnya berpengaruh terhadap mutu kopi yang dihasilkan dan pendapatan petani (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).

Beberapa keterbatasan petani kopi dan industri pengolahan kopi rakyat skala kecil adalah sebagai berikut:

1. Keseragaman dan kepastian ketersediaan produk yang rendah yang menyebabkan rendahnya standar dan harga produk.

2. Keterbatasan akses terhadap pembiayaan.

3. Ketidakmampuan memenuhi volume yang dipersyaratkan pembeli komersial. 4. Umumnya tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan pembiayaan

operasional dari sumber-sumber formal.

5. Kesulitan untuk mengakses pasar terkait faktor logistik, ketidaktepatan, dan rendahnya persiapan pengolahan kopi yang bermutu baik.

6. Mekanisme resiko yang terbatas meskipun bergerak dalam suatu kelompok tani.

7. Kelompok tani cenderung berorientasi sosial, memiliki manajemen pengelolaan yang rendah.

(21)

Menurut Yusdja dan Iqbal (2002), agroindustri mempunyai peran yang sangat besar dalam pembangunan pertanian di Indonesia terutama dalam rangka transformasi struktur perekonomian dan dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri. Peran agroindustri adalah menciptakan nilai tambah hasil pertanian di dalam negeri, penyediaan lapangan kerja khususnya dapat menarik tenaga kerja sektor pertanian ke sektor agroindustri, meningkatkan penerimaan devisa melalui ekspor hasil agroindustri, memperbaki pembagian pendapatan dan menarik pembangunan sektor pertanian. Agroindustri dapat dipandang sebagai langkah pertama menuju industrialisasi.

Agroindustri berasal dari 2 kata yaitu agricultural dan industry yang berarti suatu industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya; atau suatu industri yang menghasilkan suatu produk yang digunakan sebagai sarana atau input dalam usaha pertanian. Austin (1981) diacu dalam Yusdja dan Iqbal (2002), mengidentifikasikan agroindustri sebagai pengolahan bahan baku yang bersumber dari tanaman atau binatang. Pengolahan yang dimaksud meliputi pengolahan berupa proses transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Ciri kegiatan agroindustri adalah (i) meningkatkan nilai tambah, (ii) menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan, (iii) meningkatkan daya simpan, dan (iv) menambah pendapatan dan keuntungan produsen. Said dan Haritz (1998), mendefinisikan agroindustri sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian, industri yang memproduksi peralatan dan mesin pertanian, industri input pertanian, dan industri jasa sektor pertanian.

(22)

pembangunan agroindustri adalah petani atau kelompok tani, koperasi petani, pedagang, perusahaan lokal, perusahaan multinasional, dan BUMN.

Aspek lain yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan agroindustri perkebunan adalah pemilihan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan kualitas hasil perkebunan. Teknologi pengolahan yang dibutuhkan harus sesuai dengan (i) kebutuhan pasar terutama menyangkut kualitas yang dipersyaratkan, (ii) mempertimbangkan kompleksitas teknologi dan biaya yang dibutuhkan, (iii) sesuai dengan kapasitas yang akan digunakan, dan (iv) sesuai dengan kapasitas kemampuan manajemen.

Nilai tambah dari agroindustri perkebunan umumnya bersumber dari usaha tani tanaman perkebunan dan pengolahan produk primer. Apabila teknologi yang digunakan sederhana, maka kualitas produk perkebunan rakyat umumnya juga beragam. Oleh karena itu peningkatan nilai tambah agroindustri perkebunan sebaiknya dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan mutu hasil usahatani, usaha pengolahan, dan sistem pemasarannya secara simultan.

Sebagai salah satu tanaman perkebunan yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan berusaha untuk tetap memperkuat peranan kopi, baik di luar negeri, dan dalam negeri melalui upaya-upaya yang tertuang dalam Road Map Komoditas Kopi 2005-2025

1. Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu tanaman kopi 2. Peningkatan ekspor dan nilai tambah kopi

3. Dukungan penyediaan pembiayaan 4. Pemberdayaan petani

(23)

program Prima Tani, dan (4) Revitalisasi Kopi. Program Revitalisasi Kopi yang dapat diterapkan untuk mendukung agroindustri kopi rakyat meliputi

a. Perbaikan mutu hasil dan sistem pemasaran

b. Pembinaan penerapan teknologi olah basah di tingkat kelompok tani

c. Adopsi program pendampingan untuk meningkatkan produktivitas, mutu hasil, harga jual, dan pendapatan para petani.

d. Diversifikasi, intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan

e. Perluasan segmentasi pasar kopi dengan upaya mengurangi hambatan antara lain penerapan 4C (Common Code for Coffee Community).

f. Menerapkan inovasi teknologi pascapanen untuk pengolahan dan pengembangan diversifikasi produk kopi skala UMKM.

g. Peningkatan permintaan produk-produk kopi yang dikaitkan dengan isu keamanan pangan, lingkungan, kesejahteraan pekerja serta keberlanjutan, perlu diantisipasi sejak dini oleh para pelaku agribisnis dan disosialisasikan kepada para petani kopi.

h. Teknologi olah basah hemat air yang dihasilkan Puslitkoka perlu dimanfaatkan dalam penerapan pengolahan kopi basah melalui sistem kelompok tani untuk meningkatkan mutu kopi rakyat dan pendapatan petani serta melestarikan sumber daya alam.

i. Penerapan model sistem usaha tani perkebunan kopi terintegrasi dengan ternak, pemanfaatan limbah kebun dengan teknologi pengomposan, penanganan susu kambing, dan perbaikan sistem budidaya.

(24)

2.3 Konsep Pembangunan Berkelanjutan pada Agroindustri Kopi Rakyat

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dengan memperhatikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED 1987 diacu dalam Munasinghe 1993). Konsep ini mencakup 3 perspektif utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Ekonomi mengarah pada peningkatan kesejahteraan manusia, terutama peningkatan konsumsi barang dan jasa. Domain lingkungan memfokuskan pada perlindungan dari integritas dan daya lenting sistem ekologis. Domain sosial menekankan pada pengayaan hubungan antara manusia, pencapaian aspirasi kelompok dan individu, serta memperkuat institusi dan nilai-nilai sosial (Munasinghe 2010).

Equity intra generasi,

Kesempatan kerja Valuasi,

Internalisasi

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

SOSIAL Kemiskinan, pemberdayaan, kultur

LINGKUNGAN Biodiversity, SDA,

polusi EKONOMI

Efisiensi, pertumbuhan, stabilitas

Equity intra generasi, Partisipasi

Gambar 6 Elemen pembangunan berkelanjutan

(25)

keadaan selaras serta berupaya meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Munasinghe 2010).

Keberlanjutan ekonomi mencari untuk memaksimumkan aliran pendapatan yang dapat dibangkitkan dengan upaya sedikitnya dalam menjaga keberadaan aset (kapital) yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan lingkungan menitikberatkan pada kelangsungan hidup menyeluruh dan fungsi dari sistem alami. Keberlanjutan sosial umumnya merujuk pada perbaikan keberadaan manusia dan seluruh kesejahteraan sosial yang menghasilkan peningkatan dalam kapital sosial. Sistem sosioekonomik-ekologis dapat menyusun sekaligus menjaga tingkat keragaman yang menjamin daya lenting dari ekosistem dimana konsumsi dan produksi manusia tergantung padanya (Munasinghe 2010).

Paradigma pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai sektor maupun bidang, definisi keberlanjutan secara operasional mempunyai berbagai dimensi yang luas (Glavic dan Lukman 2007). Meskipun demikian, menurut Pulselli et al. (2008), konsep keberlanjutan masih menunjukkan ketidakkonsistenan terkait pelaksanaan antara pemerintah dengan swasta, terutama terkait dengan prioritas tujuan yang akan dicapai, aspek sosial ekonomi, dan perbedaan pemahaman waktu antara siklus ekonomi dan politik.

Beberapa prinsip dan aturan telah dihasilkan untuk memudahkan pelaksanaan konsep keberlanjutan. Sebagai contoh adalah Daly (1990) diacu dalam Pulselli et al. (2008), menjelaskan beberapa prinsip dasar keberlanjutan

adalah: (a) penggunaan sumber daya alam yang tidak boleh melebihi kemampuan regenerasinya, (b) emisi yang dihasilkan dari proses produksi dan konsumsi tidak boleh melebihi kemampuan absorpsi dan kapasitas regenerasi dari ekosistem, (c) penggunaan sumber daya yang tidak terbaharukan haruslah melahirkan kompensasi terhadap substitusi penggunaan sumberdaya terbarukan yang mencukupi.

(26)

penilaian keberlanjutan yang telah dikembangkan. Menurut Singh et al. (2009), indikator dan indikator gabungan telah banyak digunakan sebagai alat untuk pengambilan kebijakan dan menilai penampilan dari perkembangan lingkungan, ekonomi, sosial, dan teknologi. Indikator ini dibangun dari nilai-nilai dan pengetahuan yang dibentuk oleh manusia dan digunakan untuk memberikan kesimpulan, pemusatan dan pertimbangan terhadap kompleksitas lingkungan yang dinamis dapat memberikan sejumlah informasi yang bermakna.

Indikator dapat membantu menentukan keputusan terbaik dan paling efektif dengan menyederhanakan, memperjelas, dan menggabungkan berbagai informasi yang tersedia bagi pemegang kebijakan. Indikator juga dapat membantu menghubungkan pengetahuan sosial dan fisik dapat digunakan untuk mengukur dan mengkalibrasi perkembangan yang ada menuju tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Indikator juga dapat berfungsi sebagai peringatan awal untuk mencegah kemunduran dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Indikator juga merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk mengkomunikasikan ide, pemikiran, dan nilai-nilai. Pemilihan terhadap indikator secara lebih luas ditentukan oleh tujuan pembuatan indikator tersebut (United Nations 2007).

Penilaian keberlanjutan dalam sektor usaha ataupun industri telah dipusatkan pada studi keberlanjutan proses pengolahan dalam industri. Menurut Adams dan Ghaly (2007), penilaian keberlanjutan dalam industri spesifik umumnya berdasarkan tiga pilar keberlanjutan yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial. Menurut Reed (1997) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007), keberlanjutan sistem lingkungan berarti: (a) kestabilan sumber daya yang menjadi basis usaha industri, (b) mencegah usaha eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang dapat pulih, (c) pengurangan terhadap sumberdaya yang tidak dapat pulih hanya apabila dapat dilakukan investasi untuk sumberdaya substitusi.

(27)

efisiensi dalam penggunaan sumber daya alam, dan (e) peningkatan nilai tambah produk dari sumber-sumber tersebut.

Reed (1997) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007), menekankan pentingnya kestabilan sistem sosial secara berkelanjutan agar tercapainya kesamaan dalam distribusi dan kesempatan dalam jasa sosial seperti kesehatan dan keamanan, kesamaan gender dan kekuasaan, akuntabilitas politik dan partisipasi serta laju populasi yang berkelanjutan. Keberlanjutan kelembagaan menurut UN (1992) dan Spangenberg et al. (2002) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007) meliputi kerangka dan kapasitas kelembagaan yang memusatkan pada keberadaan organisasi kelembagaan dan sistem yang mendukung keberlanjutan pembangunan dan adanya efektivitas dari organisasi. Oleh karena itu untuk membangun suatu kerangka penilaian keberlanjutan, metodologi yang mencakup seluruh dimensi keberlanjutan merupakan langkah pertama yang harus dibangun. Berdasarkan metodologi ini, pembagian kerangka, kriteria spesifik, dan batasan akan ditentukan.

Gambar 7 Penilaian atribut kepentingan pembelian kopi berkelanjutan

Sumber: Giovannucci 2001

Menurut Giovannucci (2001), alat penilaian keberlanjutan pertanian kopi saat ini yang telah dilakukan adalah melalui pemberian sertifikasi Organic, Shade Coffee, dan Fair Trade. Meskipun belum sepenuhnya menjamin perlindungan

(28)

untuk memberikan manfaat lingkungan, ekonomi, dan sosial bagi produsen (petani kopi). Pencapaian kopi berkelanjutan berarti seorang produsen yang berkelanjutan harus memenuhi tujuan lingkungan dan sosial jangka panjang serta mampu bersaing secara efektif dengan pelaku pasar lainnya untuk mencapai harga yang mampu menutupi biaya produksi dan memungkinkan baginya untuk menerima margin keuntungan dari perdagangan produk kopi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembelian kopi yang berkelanjutan disajikan pada Gambar 7. Kualitas atau mutu kopi merupakan landasan untuk mencapai keberlanjutan. Hal ini didasarkan pendapat bahwa keberlanjutan pertanian kopi dapat dicapai melalui pemeliharaan tanaman kopi dan produk kopi yang berkualitas baik. Melalui kualitas kopi yang memadai, petani akan mampu bersaing secara kompetitif. Meskipun terkadang pasar tidak selalu menghargai kopi yang bermutu tinggi, dibutuhkan standar mutu kopi. Importir, distributor, pengecer, dan penjual kopi bubuk belum sepenuhnya terlibat untuk meningkatkan keberlanjutan kopi. Hal ini dimungkinkan karena industri hilir telah mendapatkan manfaat dari peningkatan kualitas dan harga premium dari sertifikasi kopi. Keberlanjutan usaha pertanian kopi haruslah terus diusahakan agar terdapat sinergi antara petani dan pasar.

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memperoleh sertifikasi kopi berkelanjutan dengan dominasi kopi organik sekitar 24%. Persyaratan utama yang harus dilakukan oleh petani organik adalah sebagai berikut.

1. Meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah melalui pengomposan dan metode alamiah lainnya seperti penanaman tanaman penyumbang nitrogen ataupun pupuk hewani.

2. Menggunakan metode ekologis untuk mengontrol hama dan penyakit daripada menggunakan pestisida atau fungisida kimia.

3. Memberikan perlindungan terhadap burung-burung dan hewan yang berada di perkebunan kopi.

4. Melindungi keragaman tanaman dengan penanaman tanaman selain tanaman kopi.

(29)

6. Menyediakan keamanan ekonomi di daerah perdesaan dengan menyediakan pekerjaan padat karya terutama pada saat panen dan menumbuhkan berbagai varietas tanaman pangan yang bermanfaat.

7. Meminimalkan pencemaran dari limbah cair pengolahan kopi dengan mengurangi penggunaan air, melakukan resirkulasi air jika memungkinkan, dan menerapkan sistem anaerobik untuk menghasilkan air bersih setelah pemanfaatannya.

8. Mengikuti standar organik yang ketat untuk menghasilkan tanaman yang berkualitas dan memenuhi persyaratan sertifikasi organik.

9. Melindungi dan mempertahankan keberadaan pertanian tradisional yang telah dibangun berdasarkan keselarasan dengan alam.

Dengan demikian pengusahaan agroindustri kopi yang berkelanjutan hendaknya diupayakan berdasarkan persyaratan sertifikasi pertanian kopi yang berkelanjutan. Menurut Pujiyanto (2007), konsep produksi kopi berkelanjutan pada dasarnya mengacu pada konsep pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus berubah dan sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan, dan melestarikan sumber daya alam. Sistem produksi kopi yang berkelanjutan memiliki 4 dimensi, yaitu dimensi lingkungan fisik, dimensi ekonomi, dimensi sosial serta dimensi kesehatan. Dimensi lingkungan fisik meliputi kelestarian lahan (tanah, air, dan sumberdaya genetik flora dan fauna) dan kelestarian produksi kopi. Dimensi ekonomi adalah adanya saling ketergantungan dan saling menguntungkan antar pelaku agribisnis kopi. Dimensi sosial meliputi dampak sosial agribisnis kopi serta kesejahteraan petani dan karyawan yang terlibat dalam agribisnis kopi. Dimensi kesehatan berarti tidak berdampak negatif terhadap kesehatan. Dengan demikian terdapat 3 ciri agroindustri kopi rakyat yang berkelanjutan.

1. Produktivitas dan keuntungan dapat dipertahankan atau ditingkatkan dalam waktu yang relatif lama memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang atau masa mendatang.

(30)

baik dan bahkan terus ditingkatkan karena keberlanjutan agroindustri tersebut sangat tergantung dari tersedianya bahan baku.

3. Dampak negatif dari adanya pemanfaatan sumber daya alam dan adanya agroindustri kopi dapat diminimalkan.

Teknologi memainkan peran sangat penting dalam pembangunan pertanian kopi berkelanjutan karena teknologi merupakan salah satu jalan yang sangat penting dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dengan teknologi, sumberdaya alam dieksplorasi, memodifikasinya untuk kepentingan manusia, dan mengadaptasinya dengan ruang untuk manusia. Penggunaan teknologi mampu memberikan perubahan drastis dalam kualitas kehidupan banyak orang. Teknologi yang berkelanjutan merupakan suatu cara untuk memajukan kehidupan sosial menuju keberlanjutan. Teknologi berkelanjutan merupakan solusi praktis untuk mencapai pembangunan ekonomi dan kepuasan manusia agar selaras dengan lingkungan. Teknologi ini haruslah mendukung, berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan melalui pengurangan resiko, meningkatkan efektifitas biaya, meningkatkan efisiensi proses, dan menciptakan proses, produk atau jasa yang secara lingkungan menguntungkan, tidak membahayakan, dan menguntungkan bagi manusia. Teknologi yang berkelanjutan haruslah memenuhi karakteristik berikut.

1. Meminimalkan konsumsi bahan baku dan energi. Penggunaan energi dan sumber daya tidak terbaharukan haruslah diminimalkan karena konsumsi sumberdaya telah mencakup peningkatan kekacauan material dan energi, menurunkan kemampuan penggunaannya di masa depan. Melalui pemanfaatan material dan energi untuk proses konsumsi berarti menurunkan potensi penggunaannya untuk generasi saat ini dan mendatang. Oleh karena itu, penggunaan sedikit mungkin bahan dan energi “doing more with less,” merupakan tujuan mendasar dari keberlanjutan.

(31)

Pemenuhan keinginan berarti perbedaan antara bertahan untuk hidup dan kehidupan.

3. Meminimalkan dampak negatif lingkungan. Merupakan hal yang penting untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif lingkungan sebagai tujuan yang penting karena lingkungan terdiri dari ekosistem yang harus mampu mendukung kehidupan manusia di bumi. Keberlanjutan ras manusia membutuhkan pemeliharaan dan penjagaan ekosistem untuk melakukan penjagaan keanekaragaman, habitat yang memadai dan daya lenting ekosistem.

Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam suatu usaha industri maka kerangka keberlanjutan menurut Spangenberg dan Bonniot (1998) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007) dapat digunakan seperti yang disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Kerangka Wuppertal, semua teknologi yang digunakan serta kelembagaan yang terlibat dalam proses pembangunan diarahkan untuk memenuhi kepentingan manusia masa sekarang maupun masa mendatang. Jadi teknologi yang digunakan sesuai dengan daya dukung sumber daya alam, tidak ada degradasi lingkungan, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial diterima oleh masyarakat.

Gambar 8 Indikator keberlanjutan Kerangka Wuppertal (Spangenberg dan

(32)

Menurut Pelupessy (2003), berdasarkan studi yang dilakukan oleh Nestel tahun 1995 mengenai aktivitas perkopian di Mexico, penerapan sistem ekologis dan sosial ekonomi masih dilakukan secara terpisah dan hanya terhubung saat berkaitan dengan aktivitas petani produsen. Pemanfaatan teknologi dalam aktivitas pengolahan kopi masih memiliki potensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu perlu dipetakan dampak lingkungan utama untuk setiap tahapan aktivitas pengolahan dalam sistem input output pengolahan kopi

2.4 Proses Pengolahan Kopi

Proses pengolahan kopi adalah tahapan yang mengubah buah kopi setelah panen menjadi biji kopi yang dapat diperdagangkan (biji kopi beras). Menurut Mulato et al. (2006), buah kopi atau kopi gelondong basah adalah buah kopi hasil panen dari kebun, kadar airnya masih berkisar antara 60-65% dan biji kopinya masih terlindung oleh kulit buah, daging buah, lapisan lendir, kulit tanduk, dan kulit ari. Biji kopi beras adalah biji kopi yang sudah dikeringkan dengan kadar air berkisar antara 12 – 13%. Biji kopi ini telah mengalami beberapa tingkat proses pengolahan sudah terlepas dari daging buah, kulit tanduk, dan kulit arinya.

Secara umum pengolahan kopi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pengolahan kering dan basah. Pengolahan kopi secara basah biasa disebut W.I.B (West Indische Bereiding), sedangkan pengolahan kering disebut O.I.B (Oost Indische Bereiding) atau disebut pula dengan cara G.B (Gawone Bereiding)

(Ciptadi dan Nasution 1985). Menurut Najiyati dan Danarti (2006), pengolahan kering terutama ditujukan untuk kopi Robusta. Di perkebunan besar, pengolahan kering hanya digunakan untuk kopi berwarna hijau, kopi rambang dan kopi yang terserang bubuk. Selain pengolahan basah dan pengolahan kering, saat ini dikenal metode pengolahan semi basah (semi wet method) yang terutama dilakukan di Brazil.

2.4.1. Proses Pengolahan Kering

(33)

bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulit buah, kulit tanduk, dan kulit ari. Umumnya proses pengolahan kering membutuhkan waktu 2 minggu dan hanya dapat dilakukan di daerah yang beriklim kering dan panas (Winston et al. 2005).

Menurut Clarke dan Macrae (1989), pengolahan kering adalah metode yang paling lama digunakan. Metode ini mudah dikerjakan dan membutuhkan lebih sedikit mesin, lebih ekonomis dan sederhana dibandingkan pengolahan basah. Pengolahan dilakukan dengan pengeringan pada seluruh buah. Terdapat 3 langkah dasar pengolahan kering yaitu pembersihan, pengeringan, dan pengulitan. Buah yang telah dipanen disortir dan dibersihkan untuk memisahkan yang belum matang, terlalu matang dan buah rusak serta untuk menghilangkan kotoran, tanah, ranting, dan daun. Kemudian buah kopi dihamparkan di bawah sinar matahari baik di atas semen, bata atau di atas tikar dengan ketebalan lapisan tidak lebih dari 5 cm. Pengadukan dengan menggaruk atau pembalikan dilakukan beberapa kali untuk mencapai efisiensi pengeringan. Proses ini dapat menghabiskan waktu 4 minggu sebelum buah kering dengan kandungan air maksimum 12,5% tergantung pada kondisi cuaca (Clifford dan Wilson 1985). Pada perkebunan besar, mesin pengering sesekali dapat digunakan untuk mempercepat proses setelah kopi melalui pengeringan awal di bawah sinar matahari selama beberapa hari.

(34)

Sortasi Buah

Gambar 9 Diagram alir pengolahan biji kopi

Sumber: Winston et al. (2005) ; Mulato et al. (2006)

(35)

2.4.2. Proses Pengolahan Basah

Menurut Sivetz dan Desrosier (1979), proses pengolahan basah membutuhkan penggunaan alat spesifik dan kuantitas air yang mencukupi. Apabila dilakukan dengan baik, metode ini menjamin kualitas biji kopi terjaga dengan baik, menghasilkan biji kopi beras (green coffee) yang seragam dan lebih sedikit kerusakan. Oleh karena itu kopi yang diolah dengan metode ini umumnya mendapatkan kualitas yang lebih baik dan harganya lebih tinggi. Karena membutuhkan air dalam jumlah banyak dapat menyebabkan terjadinya masalah kekurangan air terutama pada saat musim kemarau.

Proses pengolahan basah dimulai dengan pemanenan yang lebih teliti dengan hanya mengambil buah-buah kopi yang berwarna merah dan sedikit mungkin buah yang belum atau terlalu masak. Pengolahan secara basah memerlukan modal besar tetapi proses lebih cepat dan mutu yang dihasilkan lebih baik. Oleh karena itu, pengolahan basah banyak dilakukan oleh perkebunan nasional (PT Perkebunan Nusantara), perkebunan swasta yang cukup besar atau kelompok tani yang membentuk koperasi. Perbedaan pokok antara pengolahan kering dan pengolahan basah adalah pada olah kering pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering (kopi gelondong), sedangkan pengolahan basah pengupasan daging buah dilakukan sewaktu masih basah, meningkatkan mutu dan rasa kopi setelah menjadi bubuk dan diminum.

Mulato et al. (2006); Najiyati dan Danarti (2006), pengolahan basah dilakukan melalui tujuh tahap, yaitu tahap sortasi buah, pengupasan kulit dan daging buah (pulping), fermentasi, pencucian, pengeringan, hulling, dan sortasi biji.

a. Sortasi Buah

(36)

mesin pulper, sedangkan gelondong yang terapung diolah secara kering (Clifford dan Wilson 1985).

b. Pengupasan Buah Kopi (Pulping)

Pengupasan kulit dan daging buah kopi (pulping) merupakan salah satu tahapan proses yang sangat penting dalam pengolahan kopi basah. Proses pengupasan dilakukan dengan menggunakan mesin pengupas yang dapat dibuat dari bahan logam. Pada pengolahan basah, buah kopi sebaiknya telah mencapai tingkat kematangan optimal antara lain ditandai dengan kulit buah berwarna merah seragam dan segar yang harus dikupas dan dipisahkan dari bagian biji HS. Pada saat pengupasan harus diusahakan agar kulit tanduk masih tetap melekat pada butiran biji (Ciptadi dan Nasution 1985). Proses pengupasan sebaiknya tidak lebih dari 12-24 jam setelah pemetikan untuk mencegah terjadinya pembusukan buah (Clifford dan Wilson 1985).

Umumnya proses pengupasan dan pemisahan kulit buah dibantu oleh sejumlah air dilakukan secara mekanis baik dengan sumber tenaga penggerak manual maupun dengan motor listrik atau motor bakar. Pengupasan kulit buah berlangsung di dalam celah di antara permukaan silinder yang berputar (rotor) dan permukaan plat atau pisau yang diam (stator) (Mulato et al. 2006; Clifford dan Wilson 1985).

Menurut Widyotomo et al. (2009), dasar kerja mesin pulper yaitu menggencet buah kopi dengan suatu silinder yang berputar terhadap suatu dasar plat yang bertonjolan. Buah kopi yang masuk ke dalam corong mesin pulper, kemudian jatuh pada permukaan silinder yang sedang berputar. Selanjutnya buah kopi didesak dan dihimpit di antara silinder dan sebuah alat pememar. Dengan tekanan himpit tersebut maka biji yang masih berkulit tanduk dan sebagian lendir terlepas dari daging buahnya. Kedua bagian dari buah kopi tersebut dipisahkan oleh suatu plat dari karet.

(37)

c. Fermentasi

Clarke dan Macrae (1989) menjelaskan setelah proses pulping (pengupasan kulit buah), dilakukan fermentasi yang bertujuan untuk membantu melepaskan lapisan lendir yang menyelimuti kopi yang keluar dari mesin pulper. Proses fermentasi akan mengurai pulpa (lendir) biji kopi lebih mudah dicuci. Sivetz dan Desrosier (1979), pulpa yang menempel pada kulit dapat menimbulkan resiko kerusakan cita rasa. Lendir mengandung enzim yang dapat menghidrolisa dan mendegradasi pektin. Biji yang telah dikupas atau dicuci pada proses olah basah diletakkan di tangki fermentasi besar selama 24-36 jam, tergantung suhu, lapisan lendir, dan konsentrasi enzim. Akhir proses fermentasi dapat diduga dengan meraba permukaan biji. Apabila biji kopi telah kehilangan tekstur halusnya dan terasa lebih kasar, fermentasi berakhir.

Menurut Clifford dan Wilson (1985); Mulato et al. (2006), prinsip fermentasi adalah peruraian senyawa-senyawa yang terkandung di dalam lapisan lendir oleh mikroba alami dan dibantu dengan oksigen dari udara. Proses fermentasi dapat dilakukan secara basah (merendam biji kopi dalam genangan air) dan secara kering (tanpa rendaman air). Selama proses fermentasi, akan terjadi pemecahan komponen lapisan lendir (protopektin dan gula) dengan dihasilkannya asam-asam dan alkohol. Proses fermentasi yang terlalu lama akan menghasilkan kopi beras yang berbau apek karena terjadi pemecahan komponen isi lembaga (Ciptadi dan Nasution 1985).

Secara rinci Clarke dan Macrae (1989), menjelaskan perubahan yang dapat terjadi selama proses fermentasi adalah sebagai berikut.

(38)

cukup cepat. Apabila pH diturunkan menjadi 4 maka kecepatan pemecahan menjadi 2 kali lipat lebih cepat. Pada saat proses pengupasan buah kopi, sebagian besar enzim tersebut terpisahkan dari kulit dan daging buah, akan tetapi sebagian kecil masih tertinggal dalam bagian sari buah kopi.

2. Pemecahan gula. Sukrosa merupakan komponen penting dalam daging buah. Kadar gula akan meningkat dengan cepat selama proses pematangan buah yang dapat diketahui dengan adanya rasa manis pada buah kopi. Gula merupakan senyawa yang larut dalam air. Dengan adanya tahap pencucian akan menyebabkan kehilangan kandungan gula. Proses ini terjadi sewaktu perendaman dalam bak pengumpul dan pemisahan buah. Oleh karena itu kadar gula dalam daging biji akan mempengaruhi konsentrasi gula di dalam lendir beberapa jam setelah fermentasi. Gula merupakan substrat bagi mikroorganisme. Bakteri pemecah gula ini bekerja 5 sampai 24 jam dalam proses fermentasi. Sebagai hasil proses pemecahan gula adalah asam laktat dan asam asetat dengan kadar asam laktat yang lebih besar. Dengan terbentuknya asam ini pH akan turun menjadi lebih kecil dari 5. Akan tetapi pada akhir fermentasi asam laktat akan dikonsumsi oleh bakteri terjadi kenaikan pH lagi. Asam-asam lain yang dihasilkan dari proses fermentasi ini adalah etanol, asam butirat dan propionat

3. Perubahan warna kulit. Biji kopi yang telah terpisahkan dari pulp, maka kulit ari akan berwarna coklat. Demikian pula jaringan daging biji akan berwarna sedikit kecoklatan yang semula berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan. Proses pencoklatan ini terjadi akibat oksidasi polifenol. Warna coklat yang kurang menarik ini dapat dicegah dalam proses fermentasi dengan menggunakan air pencucian yang bersifat alkalis.

Lebih lanjut Sulistyowati dan Sumartona (2002), menjelaskan fermentasi yang lama akan menyebabkan keasaman kopi meningkat karena terbentuknya asam-asam alifatik. Apabila fermentasi diperpanjang, terjadi perubahan komposisi kimia biji kopi dimana asam-asam alifatik akan berubah menjadi ester-ester asam karboksilat yang dapat menyebabkan cacat dan cita rasa busuk.

(39)

terjadi seiring produksi alkohol dan asam-asam. Akan tetapi jika proses fermentasi dihentikan tepat setelah lapisan lendir dikonsumsi, konsumsi biji kopi (endosperma) tidak akan terjadi dan kualitas biji terjaga. Sebaliknya, jika proses fermentasi diteruskan, lapisan selular biji kopi akan terdegradasi, beberapa komponen kimia akan rusak dan mempengaruhi rasa dan aroma, dengan munculnya Rio flavor, earthy, ataupun fermented dan terbentuknya biji cacat berwarna hitam dan stinker. Pemahaman mengenai proses fermentasi ini melahirkan metode pengolahan baru yang dikenal dengan metode semi basah ”semi wet method”.

Pada metode semi basah, kulit buah kopi yang masak dilepaskan secara manual ataupun mekanis menggunakan pulper dengan penambahan air sebagaimana proses olah basah. Lendir yang masih menempel dilepaskan

menggunakan alat khusus ”demucilager”. Biji kopi kemudian dikeringkan hingga mencapai kadar air 12%, tanpa ada proses fermentasi (Winston et al. 2005). Unit ini lebih efisien dan efektif tanpa proses fermentasi dan pencucian. Hanya menggunakan air sebesar 0,5 L/kg buah kopi.

Menurut Calvert (1999), proses semi basah merupakan langkah lebih maju untuk memperbaiki mutu biji kopi yang dihasilkan dari proses pengolahan kering. Meskipun proses semi basah lebih cepat dibandingkan pengolahan basah, akan tetapi tidak sepenuhnya demucilager mampu membersihkan lendir yang terdapat pada buah kopi, masih mempengaruhi cita rasa kopi setelah disangrai. Oleh karena itu disarankan, biji kopi yang telah dikupas lendirnya melalui tahap fermentasi beberapa jam agar bakteri dapat mendegradasi lendir yang tersisa. Kemudian proses selanjutnya adalah pencucian dan pengeringan untuk mempertahankan mutu biji kopi.

d. Pencucian (Washing).

(40)

mendorong biji kopi dengan air tetap mengalir. Pengaduk mekanik ini akan memisahkan lapisan lendir yang masih melekat pada biji dan lapisan lendir yang telah terpisah ini akan terbuang lewat aliran air yang seterusnya terbuang. Metode pencucian juga dapat dilakukan secara sederhana dengan melakukannya pada bak memanjang yang airnya terus mengalir. Di dalam bak tersebut, kopi diaduk-aduk dengan tangan atau kaki untuk melepaskan sisa lendir yang masih melekat. Pencucian berakhir apabila biji kopi tidak terasa licin lagi bila diraba. Kandungan air biji setelah proses pencucian adalah sekitar 60%.

e. Pengeringan

Proses pengeringan dilakukan setelah pencucian untuk mengurangi kandungan air dari dalam biji kopi HS yang semula 60-65% hingga menjadi 12%. Pada kadar air ini, biji kopi HS relatif aman untuk dikemas dalam karung dan disimpan di dalam gudang pada kondisi lingkungan tropis. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara penjemuran, mekanis dan kombinasi keduanya (Clifford dan Wilson 1985; Mulato et al. 2006; Najiyati dan Danarti 2006). Penjemuran merupakan cara yang mudah dan murah untuk pengeringan biji kopi. Jika cuaca memungkinkan, proses pengeringan sebaiknya dipilih dengan cara penjemuran penuh (full sun drying) hingga kadar air 20-25% kemudian dilanjutkan dengan pengering mekanis untuk menjaga kontinuitas sumber panas. Secara teknis, penjemuran akan memberikan hasil yang baik jika terpenuhi syarat-syarat berikut.

1. Sinar matahari mempunyai intensitas yang cukup dan dapat dimanfaatkan secara maksimal.

2. Lantai jemur dibuat dari bahan yang mempunyai sifat menyerah panas. 3. Tebal tumpukan biji kopi di lantai jemur haruslah optimal.

4. Pembalikan rutin dilakukan untuk efisiensi panas. 5. Biji kopi berasal dari buah kopi yang masak.

6. Penyerapan ulang air dari permukaan lantai jemur harus dicegah.

(41)

mekanis secara terus menerus (siang dan malam), maka kadar air 12% dapat dicapai selama 48 – 54 jam.

f. Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling)

Setelah proses pengeringan, biji kopi sebaiknya didiamkan terlebih dahulu hingga 24 jam untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan sebelum digiling. Hulling atau pengupasan kulit tanduk bertujuan untuk memisahkan biji kopi yang sudah kering dari kulit tanduk dan kulit ari. Di dalam mesin huller, biji kopi dihimpit dan diremas kulit tanduk dan kulit ari terlepas. Kulit yang sudah terlepas dari biji akan dihembuskan keluar biji keluar dari mesin dalam keadaan bersih. Biji kopi yang keluar dari huller adalah kopi beras yang siap disortasi untuk diklasifikasikan mutunya.

Biji kopi beras juga harus disortasi secara fisik atas dasar ukuran dan cacat bijinya. Sortasi biji kopi beras juga bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kotoran-kotoran non kopi seperti serpihan daun, kayu atau kulit kopi. Pemisahan berdasarkan ukuran dapat menggunakan ayakan mekanis maupun manual. Biji kopi yang telah disortasi kemudian dikemas dalam karung goni. Setiap karung mempunyai berat bersih 60 kg dan diberi label yang menunjukkan jenis mutu dan identitas produsen.

Penanganan pasca panen sangat mempengaruhi mutu kopi. Mutu kopi rakyat yang masih rendah karena kurang tepatnya penanganan pascapanen sering menjadi masalah. Di tingkat petani, seringkali kurang diperhatikan hal-hal yang menyangkut tingkat kematangan buah. Petik buah merah sering dicampur dengan buah hijau kemudian langsung dikeringkan. Hal yang juga sering terjadi adalah pada saat pengolahan kering, kopi setengah kering dibungkus karung dan disimpan di rumah hingga menunggu matahari bersinar. Selain itu karung yang digunakan hendaknya benar-benar bersih untuk menghindari pembusukan buah yang akhirnya menimbulkan cacat biji.

(42)

pengolahan kembali atas kopi asalan ini untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih tercampur di dalamnya seperti batu, kulit kering, ranting dan benda asing lainnya serta mengeringkannya kembali hingga kadar airnya 12%.

Menurut Wibawa et al. (2005), mutu cita rasa kopi Robusta hasil olah kering mempunyai nilai rendah dengan kisaran sangat buruk hingga dapat diterima. Nilai cita rasa body cukup baik, tetapi aroma dan flavor rendah hingga sedang. Apabila penjemuran telah menggunakan lantai jemur yang baik, bau tanah/earthy rendah atau hampir tidak ada. Sementara itu, cita rasa kopi olah basah jauh lebih baik dengan aroma, flavor, dan body lebih kuat.

Berdasarkan analisis cita rasa, kopi olah basah umumnya memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan kopi olah kering. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, pada kopi olah basah, persentase buah masak lebih tinggi, sebaliknya pada kopi olah kering mengandung campuran buah mentah dan terlalu masak. Perbedaan jenis pengolahan juga memiliki efek yang berbeda terhadap kandungan gula dan flavor biji kopi yang akhirnya mempengaruhi proses metabolisme yang kompleks pada biji selama pengolahan dan pengeringan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa metabolisme selama proses panen turut mempengaruhi mutu kopi hingga panen berakhir. Akhirnya proses pengeringan juga turut menentukan kualitas kopi, terutama jika kadar air tinggi pada biji dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba dan pembentukan mikotoksin (Weldesenbet et al. 2008).

Proses pengolahan basah terutama dilakukan untuk kopi Arabika. Biji kopi yang dihasilkan mempunyai kualitas lebih baik harga lebih tinggi seperti jenis Colombia dan Other Milds. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cortez dan

(43)

BOD yang mencemari perairan (Calvert 1998). Menurut Pelupessy (2003), input lingkungan pada proses pengolahan basah adalah air bersih, energi dan bahan bakar seperti minyak, dan kayu bakar. Sementara output yang dikeluarkan berupa pencemaran air oleh bahan-bahan organik, limbah padat (buah yang belum masak, rusak, terlalu masak, dan daging buah/pulp), bau yang tidak sedap, dan kulit ari. Biji kopi beras yang dihasilkan sekitar 18,5 % sementara 80% lebih berupa limbah organik dan cair. Sebagian dari limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali. Untuk setiap ton biji kopi yang diekspor, perkebunan kopi yang umumnya berada di pedesaan harus melakukan penanganan lanjutan untuk 3 ton pulp basah, 150 kg kulit tanduk, dan 6 ton limbah cair yang memiliki konsentrasi bahan organik tinggi.

Di beberapa negara Amerika Tengah seperti Costa Rica, industri pengolahan kopi menyumbangkan polusi terbesar untuk sektor agroindustri. Pada tahun 1990, banyak industri pengolahan kopi yang membuang limbah cairnya langsung ke sungai dan menimbulkan beban organik yang sangat tinggi. Saat ini, peraturan membatasi konsentrasi limbah cair yang boleh dibuang ke sungai adalah 1250 mg/L untuk BOD dan 1500 mg/L untuk COD (Adams dan Ghaly 2005). Beban pencemaran yang cukup tinggi serta kebutuhan peralatan yang cukup banyak pada proses pengolahan basah tentu membutuhkan investasi dan biaya penanganan yang besar. akan sulit diterapkan pada usaha kopi rakyat yang umumnya terbatas pada modal dan lahan. Menurut Pelupessy (2003), secara umum terlihat adanya korelasi negatif antara harga/kualitas dari varietas kopi (Colombian Milds, Other Milds, Brazilian Naturals, dan Robusta) terhadap sifat ramah lingkungan.

(44)

Sortasi Buah

Pengupasan buah (pulping) + air

Buah terpisah dari kulit dan lendir Panen Buah

Fermentasi kering

Pencucian

Biji kopi dengan kulit tanduk

Pengeringan

Sortasi

Penggudangan

Modifikasi Olah Basah Pengupasan Kulit

Tanduk (Hulling)

Gambar 10 Proses giling basah (modifikasi proses olah basah)

Sumber: Mulato et al. (2006)

(45)

yang diolah dengan cara ini biasanya memiliki tingkat keasaman lebih rendah dengan body lebih kuat dibanding dengan kopi olah basah tradisional umumnya. Proses giling basah juga dapat diterapkan untuk kopi Robusta. Secara umum kopi yang diolah secara basah mutunya sangat baik. Melalui modifikasi proses basah dapat mempersingkat waktu proses dibandingkan pengolahan basah umumnya.

2.5 Mutu Kopi

Menurut Heuman (1994); Leroy et al. (2006), mutu kopi menggambarkan karakteristik yang melekat pada kopi dan umumnya ditentukan oleh konsumen sebagaimana produk pangan atau minuman lainnya. Pemahaman terhadap mutu kopi dapat berbeda mulai tingkat produsen hingga konsumen. Bagi produsen terutama petani, mutu kopi dipengaruhi oleh kombinasi tingkat produksi, harga, dan budaya. Pada tingkat eksportir maupun importir, mutu kopi dipengaruhi oleh ukuran biji, jumlah cacat, peraturan, ketersediaan produk, karakteristik, dan harga. Pada tingkat pengolahan kopi bubuk, kualitas kopi tergantung pada kadar air, stabilitas karakteristik, asal daerah, harga, komponen biokimia, dan kualitas cita rasa. Bahkan cita rasa dapat berbeda untuk setiap konsumen ataupun negara. Pada level konsumen, pilihan kopi tergantung pada harga, aroma, dan selera, pengaruh terhadap kesehatan serta aspek lingkungan maupun sosial (Salla 2009).

Gambar

Gambar 8 Indikator keberlanjutan Kerangka Wuppertal (Spangenberg dan Bonniot 1998) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007)
Gambar 9 Diagram alir pengolahan biji kopi
Gambar 10  Proses giling basah (modifikasi proses olah basah)  Sumber: Mulato et al. (2006)
Gambar 11  Definisi dan ruang lingkup produksi bersih (UNIDO 2002 diacu dalam Indrasti dan Fauzi 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait